Anda di halaman 1dari 24

The continuing challenges of leprosy (Scollard DM, Adams LB, Gillis TP).

Dr. Nanda Earlia SpKK

REAKSI LEPRA

Reaksi-reaksi lepra merupakan komplikasi inflamasi akut, seringkali hadir


sebagai kegawatdaruratan medis selama perjalanan penyakit Hansen ini, baik yang
diterapi maupun tidak. Ada dua tipe utama reaksi lepra, secara keseluruhan keduanya
menyerang sekitar 30-50% penderita lepra (28, 226, 352). Karena M. leprae menginfeksi
saraf perifer, proses inflamasi yang berkaitan dengan reaksi-reaksi ini adalah
kegawatdaruratan medis, sebab kerusakan saraf yang berat dapat berkembang secara
cepat, dengan adanya loss of sensation yang nyata, serta paralysis dan deformitas.
Baik penyebab, mekanisme terjadinya, maupun pengobatan dari reaksi-reaksi ini
masih menjadi masalah besar bagi para klinisi maupun para peneliti. Tipe reaksi yang
berbeda-beda tampaknya didasari oleh mekanisme imunologis yang berbeda pula, namun
hal ini sulit dijelaskan meskipun sudah didapatkan deskripsi fisik yang mendetail, dan
juga faktor-faktor yang menjadi pemicu masih belum diketahui.

Manifestasi Klinis, Diagnosis, dan Histopatologi

Reaksi tipe 1 muncul pada penderita-penderita dengan spectrum penyakit jenis


Borderline (yaitu BL, BB, dan BT). Dikenal juga sebagai reaksi reversal, karena hasil
penelitian terdahulu menyebutkan bahwa setelah reaksi ini mereda, bukti klinis dan
histopatologis mengarah pada adanya perubahan imunologis pada lesi, baik meningkat
(upgrading) ataupun menurun (downgrading) (320). Namun reaksi downgrading jarang
ditemukan di era kemajuan terapi mikrobial sekarang ini, dan bukti-bukti sehubungan
dengan reaksi tipe 1 yang akan diulas di sini adalah berdasarkan studi pada reaksi
upgrading.

1
Reaksi ini muncul berupa indurasi dan eritema daerah lesi, seringkali disertai
edema akral dan neuritis progrosif, yang menyebabkan neuropati sensorik dan motorik
(Tabel 6). Pada reaksi yang berat (severe) lesi dapat mengalami ulserasi. Reaksi tipe 1
biasanya berkembang secara bertahap dan siklus alaminya bisa berlangsung sampai
beberapa minggu.

TABLE 6. Comparison of clinical features of type 1 and type 2 leprosy


reactions

Parameter Type 1 Type 2


Resiko pada penderita BL,BT, BB LL, BL
Onset reaksi Gradual, lebih dari Mendadak
beberapa minggu
Lesi kulit Eritema yang meninggi Nodul yang eritematus,
dan indurasi dari lesi nyeri, pada wajah,
sebelumnya ekstremitas, trunkal,
tidak berhubungan
Neuritis dengan lesi sebelumnya
Gejala sistemik Sering, biasanya berat Sering berat
Gambaran Histo PA Malaise, demam Malaise
Tidak spesifik Infiltrat PMN pada lesi
berusia 24 jam
Perjalanan penyakit
(tanpa terapi) Beberapa minggu atau Beberapa hari –minggu
Penatalaksanaan bulan
Thalidomide,
Kortikosteroid Kortikosteroid

Reaksi tipe 2, yang dikenal juga sebagai eritema nodosum leprosum, muncul pada
penderita multibasiler (LL dan BL). Penderita-penderita ini mengalami onset akut berupa
nodul-nodul eritematus yang sangat nyeri, yang timbul pada wajah, ektremitas, atau
batang tubuh tanpa predileksi dari lesi yang sudah ada. Secara sistemik, penderita-
penderita ini juga mengalami gejala-gejala seperti demam, malaise, dan neuritis sampai
derajat tertentu yang disertai neuropati sensorik dan motorik. Iridosiklitis dan episkleritis,
orkhitis, arthritis, dan miositis juga bisa menyertai reaksi ini. Pada reaksi tipe 2 yang
berat, beberapa lesi pada kulit dapat mengalami ulserasi. Perjalanan alamiah reaksi tipe 2
ini berlangsung sekitar 1-2 minggu, tapi penderita dapat mengalami
rekurensi/kekambuhan berulang dalam kurun waktu beberapa bulan.

2
Fenomena Lucio adalah suatu necrotizing vasculitis yang akut dan berat, yang
pertama kali muncul pada penderita-penderita dari keturunan Meksiko (96). Untungnya,
komplikasi ini jarang terjadi, karena komplikasi ini dihubungkan dengan angka kesakitan
dan angka kematian yang cukup tinggi. Reaksi-reaksi ini dihubungkan dengan adanya
kadar cryoglobulin yang tinggi, dan antigen M. leprae juga diduga memiliki hubungan
dengan hal ini (100, 305), namun perannya dalam menimbulkan reaksi ini masih belum
jelas. Secara khas, sel-sel endothelial tampak terinfeksi berat dan dijumpai dalam proses
degenerasi sel dalam berbagai tingkatan. Reaksi Lucio bisa disertai dengan anemia yang
nyata, dan pada kasus-kasus berat dibutuhkan perawatan luka yang intensif serta
debridement, seperti pada kasus-kasus luka baker yang berat. Reaksi ini membutuhkan
perawatan intensif di rumah sakit, dan di USA, direkomendasikan untuk konsul dengan
“National Hansen’s Disease Program”.

Profil Imunologis dari Reaksi

Bukti-bukti yang Berkaitan dengan Mekanisme Terjadinya Reaksi Lepra. Semua


tipe reaksi lepra dipercaya diperantarai oleh proses imunologis, tapi mekanisme yang
bertanggung jawab untuk tiap-tiap tipe reaksi masih belum jelas. Walaupun reaksi tipe 1
dan 2 secara total terjadi pada 40-50% dari semua penderita sebanyak satu kali sepanjang
perjalanan penyakit, tidak ada pemeriksaan klinis ataupun laboratorium yang dapat
memprediksi secara akurat penderita mana yang akan terkena serangan reaksi lepra
ataupun kapan serangan itu akan muncul. Oleh karena itu, faktor-faktor yang memicu
terjadinya reaksi dan gejala-gejala di awal perkembangan munculnya reaksi lepra juga
tidak diketahui.

(i) Reaksi tipe 1 (Reaksi Reversal).


Bukti-bukti yang ada saat ini mendukung dugaan bahwa reaksi tipe 1 adalah hasil
dari induksi spontan imunitas seluler dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap
antigen M.leprae, tapi penyebab dan mekanisme dari induksi respon imun ini masih
belum diketahui dengan jelas. Studi fungsional terdahulu mengenai limfosit menunjukkan

3
adanya peningkatan proliferasi limfosit sebagai respon terhadap antigen M.leprae in vitro
selama reaksi tipe 1 berlangsung (26,135). Studi imuno-fenotipe lanjutan menunjukkan
bahwa jumlah dan prosentase sel-T CD4+ meningkat pada lesi-lesi kulit yang mengalami
proses reaksi (267,269,353; review pada referensi 270). Pengukuran kadar reseptor IL-2
solubel dalam serum penderita ternyata tinggi kadarnya pada reaksi tipe 1 saat penderita
pertama kali datang untuk berobat, dan ditemukan pula bahwa kadar ini menurun secara
bertahap selama masa terapi (416).
Selama reaksi tipe 1 didapatkan peningkatan ekspresi gen dari beberapa sitokin
pro-inflamasi, termasuk IL-1, IL-2, IL-12, IFN-γ, dan TNF-α, yang pada saat ini telah
didokumentasikan pada beberapa studi (Tabel 7). Aktivasi ini terjadi baik secara lokal,
yaitu pada lesi kulit yang mengalami reaksi, dan secara sistemik, pada serum dan lekosit
dalam sirkulasi. Pola dari ekspresi gen sitokin-sitokin ini menurut beberapa peneliti
mengarah pada dugaan bahwa reaksi lepra tipe 1 mewakili suatu respon induksi spontan
dari Th-1. namun, penelitian-penelitian tersebut tidak dapat membedakan dengan jelas
perubahan mana selama proses observasi yang merupakan hasil dari reaksi, dan yang
mana yang merupakan keadaan awal yang malah memicu terjadinya reaksi, dan juga
beberapa laporan tidak bisa membedakan dengan jelas antara fenomena imunologis
dengan proses inflamasi.

TABLE 7. Perubahan Ekspresi Gen Sitokin Selama Reaksi Tipe 1 dan 2

4
Studi klinis telah menunjukkan bahwa kadar serum dari beberapa sitokin ini
mengalami penurunan selama proses terapi yang baik dengan Prednisolon untuk reaksi
tipe 1, tapi menunjukkan sedikit atau bahkan tidak ada penurunan kadarnya selama
pengobatan untuk reaksi tipe 2. penurunan kadar yang telah didokumentasikan
diantaranya adalah indicator untuk inflamasi seperti neopterin dan iNOS (114,233), serta
sitokin-sitokin dan reseptor-reseptor yang lebih spesifik untuk fungsi imunologis seperti
reseptor IL-2 solubel, IFN-γ, IL-6, IL-10, IL-12, dan IL-13 (21,233,416). Observasi ini
mengarah pada dugaan bahwa sebagai tambahan dari efek anti inflamasi nonspesifik dari
Prednisolon, juga bisa didapatkan beberapa efek penghambat mekanisme imunologis
yang mungkin mendasari terjadinya reaksi ini, walaupun hal ini belum terbukti benar.
Kejadian atau kondisi-kondisi yang memicu reaksi lepra tipe 1 masih belum
diketahui; sebagai catatan, hanya sekitar 15-30% penderita yang berisiko (yaitu jenis BL,
BB, dan BT) yang mengalami reaksi ini. Reaksi tipe 1 menurut penelitian akan terjadi
mengikuti imunisasi dengan agen mikobakteria lain pada keadaan-keadaan tertentu
(433,452), dan berbagai macam faktor lingkungan telah diduga, meski belum
dikonfirmasi, berhubungan dengan onset reaksi. Kemungkinan bahwa factor genetic
menjadi salah satu factor predisposisi bagi penderita untuk mengalami reaksi tipe 1,
sejauh ini belum diteliti (lihat bagian Pengaruh Genetik, pembahasan sebelumnya). Perlu
dicatat bahwa penelitian mengenai inokulasi intradermal IL-2 maupun IFN-γ tidak
memicu terjadinya reaksi tipe 1 (198,332). Dan sebagai tambahan, walaupun Talidomid
telah dilaporkan menghambat TNF-α pada beberapa kondisi penelitian (410), namun obat
ini tidak memberikan manfaat dalam pengobatan reaksi tipe 1.

(ii) Reaksi Lepra Tipe 2 (Eritema Nodosum Leprosum = ENL)

5
Reaksi tipe 2 muncul pada penderita dengan imunitas seluler yang buruk terhadap
M.leprae, dengan jumlah kuman yang banyak (termasuk antigen) pada lesi kulit dan saraf
perifer, serta dengan suatu respon antibodi poliklonal yang memiliki kadar
immunoglobulin tinggi dalam sirkulasi. Menurut hasil observasi terdahulu yang sudah
lama mendominasi pola piker mengenai reaksi ini, lesi yang timbul secara akut ditandai
dengan suatu infiltrat netrofilik, yang tersusun di atas suatu pola lepromatous kronik.
Terutama berdasarkan bukti-bukti histologis, Wemambu dan koleganya menyebutkan
bahwa ENL menghadirkan suatu fenomena Arthus-like yang diperantarai oleh kompleks-
kompleks imun (431). Telah diteliti bahwa timbunan immunoglobulin dan komplemen
terdapat pada lesi klit, dan komplemen serum akan menurun kadarnya pada penderita
dengan reaksi ini, sesuai hasil hipotesis, dan beberapa komponen penyusun mikobakterial
juga telah diidentifikasi pada beberapa kompleks ini (322). Namun, baik kompleks imun
yang beredar pada sirkulasi maupun yang menetap (fixed) keduanya sama-sama tidak
diteliti apakah didapatkan reproduksinya pada lesi ENL. Demonstrasi mengenai
kompleks imun dalam lesi penyakit lain secara klinis juga sulit dan cukup dilematis untuk
dilakukan, sehingga teori mengenai kompleks imun pada ENL tidak dapat dibuktikan
maupun disangkal.
Penelitian lainnya telah mengidentifikasi adanya bukti lain berupa kemungkinan
adanya aktivasi imunitas seluler pada reaksi tipe 2, termasuk peningkatan IFN-γ, TNF-α,
dan IL-2 (Tabel 7) (449). Peningkatan kadar mRNA untuk sitokin-sitokin ini juga telah
ditemukan dalam hasil biopsy yang diambil dari lesi kulit, yang mengarah pada dugaan
bahwa aktivasi imunitas seluler dapat muncul secara local. Sebaliknya, peningkatan
ekspresi mRNA dari IL-6, IL-8, dan IL-10 serta hambatan ekspresi mRNA dari IL-4 dan
IL-5, semua netrofil sitokin yang berhubungan dengan kemotaksis netrofil, produksi
antibody, dan penurunan CMI (cell mediated immunity), telah diteliti terdapat pada lesi-
lesi ENL.
Faktor-faktor yang memicu reaksi tipe 2 lebih sulit lagi untuk dideteksi
dibandingkan dengan mekanisme imunologis dari reaksi itu sendiri. Infeksi lainnya,
seperti infeksi virus, demam, imunisasi, dan stress psikologis semuanya dicurigai memicu
reaksi, tapi tidak bukti yang mendukung dugaan ini. Kehamilan tampaknya memiliki efek

6
penghambat pada reaksi tipe 2, di mana reaksi ini akan muncul kembali dengan lebih
hebat saat periode postpartum pada wanita-wanita dengan lepra jenis lepromatous
(101,236). Ada laporan yang menyiratkan anekdot bahwa pada beberapa wanita, derajat
keparahan reaksi tipe 2 akan berfluktuasi seiring siklus menstruasi, dan ada bukti lainnya
yang juga menyiratkan anekdot bahwa reaksi tipe 2 akan muncul lebih sering dan lebih
hebat pada anak-anak yang terinfeksi lepra bersamaan dengan onset masa pubertas (81).
Satu-satunya stimulus yang diketahui dapat memicu reaksi tipe 2 adalah injeksi
IFN-γ intralesi (332). Pada percobaan-percobaan imunoterapi, injeksi IFN-γ intradermal
lebih dari 6-12 bulan memicu reaksi ini pada 6 dari 10 penderita lepromatus yang
diobservasi; 6 orang itu semuanya terinfeksi lepra yang termasuk polar LL. 4 orang
penderita yang tidak mengalami reaksi, semuanya terinfeksi lepra jenis BL atau subpolar
LL, di mana kemampuan untuk mengadakan CMI terhadap M.leprae sangat jauh
menurun tapi tidak hilang seluruhnya. Observasi bahwa reaksi tipe 2 terjadi pada
penderita-penderita yang tidak mampu untuk mengadakan CMI terhadap M.leprae
mungkin memiliki arti bahwa, pada penderita-penderita tersebut, efek IFN-γ adalah untuk
mengaktivasi mekanisme imunologis yang, karena tidak mampu membangkitkan CMI,
maka akan beralih pada jalur yang mengarah pada aktivitas imun humoral, yaitu respon
sitokin Th-2. perlu dicatat bahwa injeksi IL-2 intradermal pada penderita lepromatus
tidak merangsang reaksi tipe 2 (148).

Fakta-fakta dari Uji Coba Terapi yang Berkaitan dengan Mekanisme Terjadinya
Reaksi.

Reaksi-reaksi ini masih sulit untuk dijelaskan, di mana penatalaksanaannya


seringkali sulit dan membingungkan. Kortikosteroid adalah pilihan utama untuk terapi
reaksi tipe 1; kadang-kadang dibutuhkan dalam dosis tinggi, terkadang bahkan untuk
jangka waktu yang cukup lama (40), dengan menanggung risiko efek samping yang
cukup serius (397). Untuk reaksi tipe 2, pilihan terapinya adalah Talidomid (405).
(selama beberapa dekade, reaksi tipe 2 merupakan satu-satunya indikasi yang jelas
untuk penggunaan terapi dengan Talidomid, dan obat ini hampir saja terlupakan kalau
saja tidak berguna terapi reaksi ini). Efek anti inflamasi dari klofazimin juga berguna

7
untuk terapi reaksi tipe 2. Kortikosteroid juga digunakan secara luas untuk pengobatan
reaksi ini (235,249), kadang-kadang karena penderita tidak memberi respon yang baik
terhadap Talidomid, dan yang lebih sering adalah karena obat ini sangat dibatasi
pemakaiannya atau malah tidak tersedia sama sekali. Terapi antimikroba harus
dipertahankan selama masa terapi kedua jenis reaksi ini.
Sulitnya menentukan terapi untuk reaksi lepra, memberikan gambaran mengenai
betapa pentingnya memahami mekanisme terjadinya: yaitu, karena penyebab dan
mekanisme yang mendasari terjadinya reaksi masih sulit dimengerti, pemberian terapi
juga berdasarkan empiris saja dan seringkali kurang optimal. Oleh karena itu, sejumlah
agen imunosupresif lainnya telah diujicobakan efeknya pada reaksi dalamrangka mencari
regimen tambahan yang mungkin efektif bila diberikan sebagai terapi tunggal atau paling
tidak memiliki efek pendukung saat pemberian bersama steroid (memiliki steroid-
sparing effect). Karena agen/obat imunosupresif ini memiliki aktivitas pada titik yang
berbeda pada respon imunologis, dan ada beberapa informasi yang tersedia mengenai
mekanisme kerja mereka, maka review mengenai percobaan obat-obat ini cukup menjadi
fokus perhatian dalam mencoba memahami mekanisme imunologis yang menyebabkan
reaksi (Tabel 8).

TABLE 8. Pengaruh bahan imunosupresif terhadap reaksi leprae

8
Kortikosteroid, karena memiliki efek anti-inflamasi yang luas, secara klinis sangat
efektif digunakan untuk reaksi tipe 1 maupun tipe 2. Namun, masih belum jelas apakah
terapi ini memiliki efek yang signifikan terhadap mekanisme dasar dari kedua jenis reaksi
lepra ini (282,283). Penurunan kadar sitokin pro-inflamasi telah didapatkan pada monosit
darah tepi dari penderita yang mendapat terapi dengan kortikosteroid untuk reaksi tipe 1
(245), namun studi lain menyatakan bahwa perubahan kadar sitokin tidak selalu
ditemukan pada penderita yang ternyata mendapat perbaikan secara klinis dariterapi anti
inflamasi (12,275,405).
Memang telah dibuktikan bahwa Talidomid luar biasa efektif untuk terapi reaksi
tipe 2 sebelum efek teratogeniknya disadari (367). Namun mekanisme mengenai
bagaimana Talidomid bisa menghasilkan efek anti-inflamasi yang begitu kuat untuk
reaksi tipe 2 masih belum dipahami sampai saat ini, meskipun banyak penelitian yang
tertarik untuk menyelidiki aktivitas penghambat yang jelas dari Talidomid terhadap TNF-
α (410). Efek Talidomid sangat jauh berbeda bila konsentrasinya dalam rentang yang
berbeda pula, dan pada konsentrasi yang digunakan secara klinis, menurut penelitian obat
ini juga dikenal memiliki efek merangsang apoptosis netrofil (19), di mana keduanya
berpotensi memiliki efek yang signifikan dalam konteks reaksi tipe 2.
Siklosporin juga telah digunakan untuk mengobati reaksi tipe 2, dengan hasil
yang berbeda-beda (260,421,418). Siklosporin adalah suatu supresor kuat bagi imunitas
seluler, memblokir proses transkripsi IL-2 dan beberapa sitokin lain dengan cara
mengintervensi proses translokasi calcineurin-dependent dari NFAT (nuclear factor of T-
cell activation) terhadap nukleus (27,211,250). Bukti-bukti bahwa siklosporin bermanfaat
dalam beberapa kasus reaksi tipe 2 yang berat, mungkin berarti bahwa hal-hal yang
mendasari terjadinya reaksi ini adalah sesuatu yang tidak homogen. Mekanisme yang
berhubungan dengan sel-T mungkin terlibat dalam proses patogenesis dari ENL yang

9
berat atau berulang. Namun pada penelitian yang lebih luas, di mana siklosporin memiliki
sedikit manfaat, mengarah pada dugaan bahwa fungsi sel-T mungkin bukan menjadi
faktor penentu pada sebagian besar reaksi tipe 2.
Azatioprin adalah suatu antagonis purin dan menurut penelitian terbukti
menghambat proliferasi limfosit, walaupun bagaimana terjadinya mekanisme
imunosupresi ini belum diketahui secara pasti (27). Saat diikuti dengan pemberian
Prednisolon, ditemukan bahwa Azatioprin menghasilkan efek yang serupa dengan
pemberian Prednisolon saja sebagai terapi tunggal untuk reaksi tipe 1 (246), dan dengan
kata lain menghasilkan suatu regimen terapi yang steroid-sparing pada pengobatan
reaksi. Namun Azatioprin sendiri tidak menghasilkan hasil yang memuaskan dalam
penelitian ini, sehingga mengarah pada adanya dugaan bahwa efek imunosupresi luas
yang berhubungan dengan obat ini tidak memberi intervensi bagi mekanisme dasar
reaksi. Azatioprin sebagai obat tunggal tidak pernah digunakan untuk terapi reaksi tipe 2,
namun pada laporan lain dinyatakan berguna untuk kombinasi bersama prednisolon
dalam penatalaksanaan reaksi tipe 2 intractable yang tidak membaik pada terapi dengan
prednisolon saja (243). Sayangnya hal ini tidak dievaluasi dengan studi kontrol.
Metotreksat baru-baru ini dilaporkan efektif saat digunakan untuk kombinasi
bersama kortikosteroid pada penderita-penderita dengan reaksi tipe 2 yang tidak
terkontrol dengan pemberian kortikosteroid saja (202). Namun hal ini masih perlu
dikonfirmasi dengan studi kontrol.
Pentoksifilin, seperti halnya Talidomid, telah diteliti menurunkan kadar TNF-α
pada sirkulasi penderita dengan reaksi tipe 2, dan juga menghambat mRNA TNF-α pada
lesi kulit (275,331,304). Namun, secara klinis Pentoksifilin tidak memiliki manfaat yang
sebanding dengan Talidomid (82, 276), dan beberapa bukti yang ada mengarah pada
dugaan bahwa hambatan pada TNF-α bukan menjadi efek Talidomid yang
menguntungkan bagi terapi ENL (276).
Mycophenolate mofetil, suatu agen penghambat proliferasi sel-B dan sel-T yang
memblok produksi nukleotida Guanosin yang dibutuhkan untuk sintesis DNA (27), pada
suatu studi kecil tidak menunjukkan manfaat untuk reaksi tipe 2 (47), walaupun efeknya

10
pada dosis yang lebih tinggi belum pernah diteliti. Obat ini belum pernah diteliti untuk
reaksi tipe 1.
Sebagai ringkasan, hambatan proliferasi limfosit oleh beberapa anti metabolit
hanya memiliki sedikit efek atau bahkan tidak memiliki efek apapun yang konsisten
untuk pengobatan kedua jenis reaksi lepra. Tentu saja, inhibitor klinis dari TNF-α, IL-2,
dan sitokin-sitokin lain memiliki efek minimal pada kebanyakan kasus reaksi lepra.
Mekanisme mengenai bagaimana bisa Talidomid meiliki manfaat luar biasa untuk terapi
reaksi tipe 2 masih belum dapat dijelaskan. Tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa
terapi anti-inflamasi benar-benar mengintervensi proses imunologis yang mendasari
terjadinya reaksi. Secara keseluruhan, manfaat kortikosteroid untuk terapi kedua jenis
reaksi kemungkinan besar disebabkan oleh mekanisme anti-inflamasinya. Walaupun
kortikosteroid dan talidomid sangat membantu dalam mengurangi keluhan penderita dan
meringankan kerusakan saraf, masih ada kemungkinan bahwa proses-proses imunologis
yang memicu terjadinya reaksi muncul dengan sendirinya dan berkurang dengan
sendirinya tidak tergantung dari pemberian terapi anti-inflamasi.

MEKANISME KERUSAKAN SARAF

Diantara bakteri-bakteri patogen, infeksi yang menyerang saraf perifer adalah ciri
unik dari M.leprae. Infeksi pada saraf perifer adalah sine qua non dari lepra, namun
banyak detail klinis sehubungan dengan frekuensi dan luasnya kerusakan saraf yang baru
dapat dijelaskan akhir-akhir ini, sedangkan mekanisme yang mendasari kerusakan saraf
pada lepra masih belum dapat dijelaskan (354).
Neuropati pada lepra muncul tidak hanya dari infeksi langsung M.leprae pada
saraf perifer, tapi juga dari respon inflamasi dan imunologi dari kuman ini. Neuropati ini
seringkali terasa menyiksa bagi kesehatan dan kesejahteraan penderita, mulai dari
anestesi, paralisis, dan potensi deformitas yang menyebabkan cacat pada jari-jari tangan
dan kaki, yang disebabkan oleh neuritis nervus ulnaris, radialis medius, peroneus, dan
tibialis posterior, atau bahkan sampai kerusakan mata pada kasus-kasus yang melibatkan

11
kerusakan saraf wajah. Studi mengenai patogenesa terjadinya neuropati pada lepra telah
mengalami penurunan antusiasme karena kurangnya model penelitian yang baik dan
karena biopsi dari lokasi yang mengalami inflamasi aktif terparah pada saraf yang terkena
tidaklah mungkin untuk dilakukan.
Walaupun terjadinya anestesi secara lokal merupakan kosekuensi lepra yang
serius dan paling dikenal oleh masyarakat, bukti terbaru juga menyebutkan bahwa
sejumlah besar penderita mengalami nyeri neuropati (142,196), kadang-kadang lama
setelah para penderita itu tampak sembuh dari infeksinya sendiri. Hanya sedikit penelitian
yang dilakukan untuk menyelidiki mekanisme nyeri neuropati pada lepra, dan selebihnya
diskusi berikut ini akan menitikberatkan pada mekanisme yang berhubungan secara
langsung dengan kerusakan saraf yang berujung pada anestesia dan akhirnya, paralisa.
Perkembangan terbaru dalam penelitian mengenai kerusakan saraf pada lepra
terutama dipusatkan pada 5 hal berikut ini : penemuan kemajuan dalam tes saraf sensoris
secara klinis dengan monofilamen, penemuan bahwa mekanisme terlokalisirnya M.leprae
dalam saraf mungkin melibatkan endotel pembuluh darah, pemeriksaan langsung dari
parameter-parameter dalam sampel hasil biopsi saraf yang terserang lepra, identifikasi
dari mekanisme terikatnya M.leprae dengan sel-sel Schwann secara biomolekuler , serta
perkembangan terbaru dalam model kultur sel Schwann untuk studi in vitro sehubungan
dengan infeksi M.leprae.
Pengukuran fungsi sensoris yang akurat dan mudah untuk direproduksi, dengan
menggunakan monofilamen Semmes-Weinstein terkalibrasi, telah menjadi suatu
kemajuan besar dalam studi mengenai kerusakan saraf akibat lepra (231). Pemeriksaan
semacam ini bisa mengidentifikasi dengan jelas hilangnya sensasi yang melindungi kulit
sebelum berakhir menjadi ulserasi dan kerusakan lainnya, serta bisa mendeteksi neuropati
dini, tanpa gangguan fungsional yang jelas, sehingga kadang-kadang tidak disadari. Hal
ini telah memberi kontribusi bagi perkembangan tindakan pencegahan kecacatan akibat
lepra (419). Dengan menggunakan metode ini, suatu studi follow-up 5-tahunan mengenai
gangguan fungsi saraf pada lebih dari 200 orang penderita telah membuktikan bahwa
kerusakan saraf terus menjadi masalah meskipun infeksi lepra itu sendiri telah mendapat
terapi dan dinyatakan sembuh (316).

12
Walaupun neuritis dan neuropati telah sering dijadikan bahan penelitian dan
diskusi dalam konteks reaksi lepra, di mana reaksi ini memang menimbulkan neuritis,
penemuan lain dengan metode yang lebih sensitif untuk mengetahui hilangnya
kemampuan sensoris juga telah membuktikan bahwa gangguan fungsi saraf adalah timbul
berdiri sendiri, terlepas dari muncul atau tidaknya reaksi (419). Dengan metode yang
lebih sensitif ini, sekarang jelas bahwa gangguan fungsi saraf yang dini muncul lebih
awal pada penderita jenis lepromatous daripada pada penderita dengan jenis tuberkuloid
(258,316,339). Sebagai tambahan, suatu studi mengenai terapi profilaksis dengan
prednisolon menunjukkan bahwa terapi ini mengurangi gangguan fungsi saraf yang bisa
diukur selama 4 bulan , namun perbaikan ini tidak lagi ada setelah lewat masa 1 tahun
(385). Oleh karena itu, kemampuan klinis untuk mengevaluasi derajat yang berbeda dari
neuropati dan kemudian menghubungkan hal ini dengan respon-respon untuk
mengintervensi, telah memiliki implikasi penting baik bagi praktek secara klinis maupun
bagi penelitian untuk mempelajari mekanisme kerusakan saraf pada lepra.
Neuropati sensoris dan motoris yang bisa dilihat dengan jelas dan membuat
penderita segera mencari pertolongan medis, seringkali muncul lebih dini dan lebih intens
pada penderita yang lesinya hanya mengandung sedikit kuman (tipe BT dan TT),
kebanyakan karena respon inflamasi granulomatus terhadap M.leprae pada penderita-
penderita ini mengarah pada kerusakan saraf yang berdekatan. Sebaliknya, penderita
lepromatous seringkali mengeluhkan timbulnya neuropati yang parh dengan lebih lambat,
walaupun sel Schwann dan makrofag pada saraf perifer mereka terinfeksi lebih berat oleh
M.leprae. Namun, setelah infeksi yang lama dan tidak diobati, saraf-saraf pada penderita
dengan semua tipe lepra berada pada risiko inflamasi kronis dan fibrosis yang menjadi
jalur akhir yang lazim ditemukan pada kerusakan ini, dan berpotensi menjadi anestesi
disertai paralisis pada otot intrinsik dan otot ekstensor pada tangan dan kaki. Ekstremitas
yang terkena berisiko mengalami kecelakaan maupun mutilasi, serta proses-proses yang
mempercepat proses resorbsi tulang dan berakhir pada putusnya jari-jari. Keterlibatan
saraf-saraf pada wajah menyebabkan penderita berisiko mengalami anestesi dan abrasi
pada kornea, dan akhirnya menjadi buta.

13
Empat aspek yang berhubungan dengan kerusakan saraf akibat lepra harus
menjadi bahan pertimbangan dalam memahami patogenesa neuritis pada lepra adalah
sebagai berikut : terlokalisirnya M.leprae pada saraf perifer, infeksi sel-sel Schwann,
respon imunologis, dan proses inflamasi. Dari semua hal ini, infeksi pada sel Schwann
adalah yang apling jelas terlihat dan secara luas cukup menarik perhatian untuk diteliti,
dan aspek-aspek lainnya tidak dieksplorasi lebih jauh terutama karena biopsi pada saraf
yang terkena jarang menjadi suatu indikasi klinis sehingga juga tidak etis untuk
dilakukan. Armadilo tampaknya cukup sesuai sebagai model penelitian dalam beberapa
aspek terkait neuropati karena ada beberapa kemiripan dengan manusia, namun
sayangnya sebagai hewan coba masih memiliki keterbatasan.

Terlokalisirnya M.leprae pada Saraf Perifer

Langkah pertama yang penting dalam neuritis lepra adalah proses terlokalisirnya
M. Leprae pada saraf perifer. Sejak pembedahan otopsi pada tahun 1980an (85,130), yang
menelusuri perjalanan saraf yang terinfeksi mulai dari lesi pada kulit sampai saraf spinal,
infeksi saraf perifer telah dianggap sebagai neuropati ascending yang bermula dari saraf
sensoris pada kulit dan berjalan ke arah proksimal untuk melibatkan serabut saraf yang
lebih besar, yang mengandung komponen sensoris dan motoris (327). Hal ini
menyiratkan bahwa M.leprae pada mulanya terikat pada sel Schwann yang terekspose
(tak bermielin) pada dermis dan berjalan proksimal sepanjang perjalanan saraf, dengan
istilah “bagaikan ikan berenang mengikuti arus” (swimming like fish up a stream) (209).
Namun, studi baru-baru ini mengenai saraf perifer pada armadilo yang sengaja
diinfeksi dengan M.leprae telah meyimpulkan bahwa M.leprae menginfeksi serabut saraf
mulai dari luar ke dalam, mula-mula beragregasi pada sistem limfatik dan pembuluh
darah epineural, lalu kemudian memasuki kompartemen endoneurial melalui bersama
masuknya suplai darah (347,351).
Suatu model yang menggambarkan hipotesis mengenai terlokalisirnya M. Leprae
pada saraf perifer digambarkan pada Gambar 6 (347). Pandangan mengenai patogenesa

14
infeksi saraf perifer ini menimbulkan akibat yang signifikan baik untuk memahami
proses terjadinya serta menemukan titik-titik yang memungkinkan untuk dilakukan
tindakan pencegahan maupun untuk terapi preventif. Jika ada beberapa langkah
dibutuhkan untuk proses masuknya M.leprae secara total ke dalam sel Schwann, maka
ada beberapa titik potensial pula untuk melakukan intervensi, misalnya saat melakukan
ikatan dengan sel-sel endotel, saat masuk ke dalam endotelium, keluar dari sel endotel
menuju endoneurium, dan kemudian berikatan dengan sel Schwann. Bila sebaliknya,
M.leprae memasuki saraf secara eksklusif lewat satu langkah berupa ikatan langsung
terhadap sel Schwann pada dermis, maka langkah ini juga menjadi satu-satunya
kesempatan untuk melakukan intervensi pencegahan dan terapi, sehingga kemungkinan
untuk bisa melakukan intervensi jadi menurun drastis.

15
Gambar 6. Contoh model saraf perifer yang terinfeksi M.leprae melalui pembuluh
darah. Suatu saraf perifer dengan 3 fasikula digambarkan di sini untuk menjelaskan
langkah-langkah yang diduga sebgai proses patogenesa infeksi M.leprae pada saraf
perifer.
(A). Mula-mula, kolonisasi pada epineurium (e) muncul saat basil-basil lepra (warna
merah) terlokalisir di dalam sel dan di sekitar pembuluh darah (warna biru). Mungkin hal

16
ini diperberat oleh aliran drainase kuman melalui sistem limfatik (warna hijau) yang
saling bersilangan dengan pembuluh darah pada epineurium (sistem limfatik di sini
digambarkan hanya pada bagian akhir gambar). Penimbunan kuman di dalam dan sekitar
sel-sel endotelial sangat memperbesar kemungkinan kuman beredar dalam sirkulasi
melalui pembuluh darah endoneurial yang menjadi cabang-cabang dari pembuluh darah
epineurial.
(B). Masuknya M.leprae ke dalam kompartemen endoneurial berlangsung sepanjang
pembuluh darah mulai dari fokus masuknya dan dalam perineurium (p), meluas menuju
interior saraf. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap masuknya ke dalam ruang
interstisial dari endoneurium masih belum dapat ditentukan. Namun, sesudah kuman
berada di dalam, kuman merangsang terjadinya fagositosis oleh sel Schwann (SC), yang
digambarkan di sini sebagai lapisan konsentris dari mielin yang mengelilingi akson.
Walaupun langkah-langkah yang mengawali proses terlokalisir dan masuknya M.leprae
ke dalam saraf perifer dikatakan tidak berhubungan dengan fungsi sistem imun spesifik,
tahap patogenesa selanjutnya pada neuritis akibat lepra sebagian besar mungkin
bergantung pada imunitas penderita itu sendiri terhadap kuman lepra.
(C). Jika respon imun yang efektif tidak bisa dibangkitkan (misalnya pada lepra jenis
lepromatous), kuman akan berproliferasi dalam makrofag dan sel Schwann. Hal ini
akhirnya menyebabkan inflamasi perineural dan penebalan (proliferasi) dan suatu
peningkatan jumlah bakteri (bacterial load) baik pada epineurium maupun dalam
endoneurium. Namun karena M.leprae adalah suatu kuman intraseluler yang bergerak
lamban dan mudah beradaptasi, maka akson tidak akan mengalami kerusakan sampai
waktu yang lama dan fungsi saraf masih dapat dipertahankan dalam derajat yang
berbeda-beda sampai tahap akhir penyakit.
(D). Jika imunitas seluler yang efektif dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat memang
bisa berkembang (misalnya pada lepra jenis tuberkuloid), maka selajutnya suatu respon
granulomatus akan terjadi pada lokasi infeksi di dekat pembuluh darah epineurial dan
endoneurial serta pada sel- sel Schwann. Inflamasi yang dipicu mekanisme imunologis
akan mengeliminasi hampir semua kuman yang berada pada epi- dan perineurium, serta
merangsang penebalan fibrosis di daerah perineurial. Namun, basil-basil M.leprae yang

17
telah ditelan oleh sel Schwann mungkin relatif lebih terlindung dari destruksi akibat
akibat proses imunologis, dan bisa mempertahankan suatu infeksi persisten dalam sel-sel
ini untuk waktu yang cukup lama. Di sinilah tempat kuman seringkali ditemukan dari
hasil biopsi diagnostik untuk lesi tuberkuloid. Inflamasi granulomatus juga berpotensi
merusak jaringan sekitarnya. Pada saraf yang terinfeksi M.leprae, hal ini termasuk
kerusakan akson di sekitar granuloma, yang akhirnya menyebabkan kelainan fungsi saraf.
(dikutip dari referensi 347).

Sel Schwann, sel pendukung utama pada sistem saraf perifer, tampaknya menjadi
target utama M.leprae pada saraf perifer. Pada penderita dengan lepra yang sudah parah
(advanced), baik sel- sel Schwann yang bermielin maupun tidak, sama-sama terinfeksi
oleh M.leprae (163,179,180), walaupun ada beberapa laporan yang menyebutkan bahwa
ada kecenderungan untuk menyerang serabut saraf yang tidak bermielin (311). Secara in
vitro, kami telah mengobservasi suatu infeksi yang cepat dan berat pada kedua jenis sel
Schwann itu (144). Namun beberapa peneliti telah melaporkan infeksi yang terbatas pada
sel Schwann yang tidak bermielin secara in vitro (309).

Interaksi M.leprae dengan Sel-sel Schwann

Adesi dengan Sel-sel Schwann. Beberapa dugaan mengenai mekanisme ikatan


antara M.leprae dengan sel Schwann (SC) telah diuraikan (319,308,398). Antibodi yang
ditujukan bagi komponen poli sakarida dan lipid dari M.leprae akan menghambat
adesinya terhadap SC, sementara antibodi mereka yang ditujukan untuk epitop protein
permukaan dan protein sitoplasmik tidak menunjukkan efek tersebut (67), menandakan
bahwa hubungan M.leprae dengan SC mungkin diperantarai oleh lebih dari satu molekul
pada permukaan sel. Studi terbaru telah menunjukkan bahwa M.leprae secara spesifik
terikat terhadap α-dystroglycan dengan adanya domain G dari rantai α2 dari laminin-2
(310). Dengan menggunakan laminin α2 sebagai probe, telah diidentifikasi suatu protein

18
utama pada fraksi dinding sel M.leprae (ML-LBP21) yang mengikat laminin α2 pada
permukaan SC (370).
Phenolic glycolipid 1 (PGL-1) dari M.leprae telah dibuktikan terikat secara
spesifik pada laminin-2 dalam lamina basalis dari unit SC-akson (288). Oleh karena itu
PGL-1 tampaknya terlibat dalam invasi SC oleh M.leprae pada suatu jalur yang laminin-
2-dependent. Namun yang lebih penting lagi, bukti-bukti yang ada jelas menunjukkan
bahwa mekanisme ikatan terhadap permukaan SC via laminin α 2 bukan merupakan hal
yang patognomonis untuk M.leprae saja. Spesies mikobakterial lainnya, termasuk
M.tuberkulosis, M.chelonae, dan M.smegmatis telah menunjukkan suatu α2-laminin-
binding-capacity (247) dan spesies-spesies ini siap berinteraksi dengan ST88-14 pada
barisan sel schwannoma. Hal ini mengarah pada dugaan bahwa kemampuan untuk
mengikat laminin α2 terbatas pada genus Mycobacterium. Studi lain juga telah
mendemonstrasikan kemampuan mielin Po untuk mengikat M.leprae (398).

Ingesti (proses cerna) oleh SC. Setelah M.leprae terikat pada permukaan SC,
kuman ini akan dicerna secara perlahan, seperti yang dijabarkan dalam penelitian baru-
baru ini dengan menggunakan kultur SC tikus yang telah mengalami denervasi dan ko-
kultur neuron-SC (144) (Gambar 7). Setelah proses cerna terjadi, tampaknya SC tidak
mampu menghancurkan parasit intraseluler ini saat bahan kultur dipertahankan pada suhu
33°C (kondisi optimal di mana M.leprae tetap viabel dan juga merupakan suhu pada saraf
perifer) (414). Studi in vitro mengenai proses cerna M.leprae oleh barisan sel
Schwannoma (ST88-14) menemukan bahwa beberapa protein kinase sangat penting
untuk kelangsungan proses cerna ini, tapi tidak termasuk kinase-kinase yang cAMP-
dependen (11). Pada studi ini, proses asidifikasi vesikel yang mengandung kuman
M.leprae yang dilemahkan berlangsung normal, namun berlangsung minimal saat
digunakan kuman M.leprae hidup, yang mengarah pada dugaan bahwa M.leprae yang
masih viabel akan mengganggu proses maturasi endositik yang normal.

19
Gambar 7.
Transmission-electron micrograph dari ko-kultur SC-neuron
pada tikus yang terinfeksi M.leprae. Kultur yang terinfeksi diperoleh
dari paparan sel Schwann primer terhadap M.leprae selama 48 jam.
Setelah pertumbuhan selama 12 hari pada suhu 33°C.
A. sel Schwann yang bermielin
B. sel Schwann yang tidak bermielin
(dicetak ulang dengan izin dari referensi 144 © 2002 oleh
Infectious Diseases Society of America

Efek SC tehadap M.leprae. SC tampaknya menyediakan suatu lingkungan yang


sesuai untuk berlangsungnya kehidupan dan proliferasi M.leprae. Dengan menggunakan
suspensi M.leprae yang sangat viabel, yang diperoleh dari mencit, telah

20
didemonstrasikan bahwa viability dari kuman ini pada SC tikus sebanding dengan kuman
dalam makrofag pada studi in vitro, dan bahwa ketahanan organisme ini di dalam SC
akan lebih baik pada suhu 33°C daripada suhu 37°C (144). Ketahanan dalam SC ini
sesuai dengan faham lama hasil observasi histopatologis bahwa M.leprae tampaknya
bertahan hidup dan berkembang di dalam SC pada saraf manusia.

Efek M.leprae terhadap SC. Pengaruh kuman ini terhadap SC telah menjadi
subjek penelitian pada berbagai studi in vitro. Namun sebagai catatan, kondisi optimal
(mencakup keberadaan basil-basil kuman yang masih viable serta suhu lingkungan yang
lebih rendah) umumnya tidak diterapkan pada kebanyakan studi, mungkin dikarenakan
adanya berbagai laporan yang saling bertentangan dalam literature (264,279,382,392).
Infeksi SC dengan M.leprae yang utuh dan masih viable tidak dilaporkan menyebabkan
kerusakan total dari SC (144),dan tampaknya malah mempertahankan SC daripada
menyebabkan apoptosis (311). Namun, SC manusia memiliki reseptor yang Toll-like
(sering memakan korban) baik secara in vitro maupun in vivo, dan terikatnya lipoprotein
derivate M.leprae terhadap TLR-2 pada SC telah dilaporkan menyebabkan apoptosis
(294). Para peneliti ini juga telah mengidentifikasi SC yang telah mengalami apoptosis
pada hasil biopsi lesi kulit manusia. Namun sejauh mana arti penelitian ini untuk praktek
klinis yang berhubungan dengan kerusakan saraf masih belum dapat dipastikan.

M.leprae tampaknya juga tidak memiliki pengaruh terhadap unit SC-akson yang
matur dan intak, namun tetap merubah sejumlah kecil gen SC saat diperiksa (yaitu glial
fibrillary acidic protein, transforming growth factor B1, NCAM, ICAM, N-cadherin, dan
L1) (144). Namun, level transkripsi untuk semua gen-gen ini, kecuali gen yang
mengkode N-cadherin, cuma memiliki variasi kurang dari dua fold. Oleh karena itu, arti
fungsional dari perubahan ini masih belum dapat ditentukan.

Sebaliknya, Rambukkana dkk juga menggunakan sistem ko-kultur SC-akson


tikus, dan telah menyebutkan adanya demielinisasi cepat menyusul proses adesi M.leprae
terhadap SC selama sel-sel imun absen, diartikan sebagai suatu mekanisme yang contact-
dependent, tergantung pada TGL-1, yaitu komponen dinding sel M.leprae (311).

21
Penemuan serupa pada defisiensi sel-B dan sel-T (Rag1-/-) pada mencit, membuat para
peneliti ini menyimpulkan bahwa perlekatan M.leprae terhadap SC bermielin merupakan
hal yang penting untuk merangsang terjadinya demielinisasi cepat dari sel-sel ini,
begitulah dugaan tentang proses demielinisasi pada lepra (untuk review lebih jelas, lihat
referensi 309). Namun kesimpulan ini, cukup bertentangan dengan observasi klinis dan
histopatologis yang telah didokumentasikan sebelumnya. Pertama, karena penderita
dengan lepra jenis lepromatous yang tidak diterapi mungkin memiliki bermilyar-milyar
kuman dalam tubuhnya, namun menunjukkan sedikit atau bahkan tidak terdapat
demielinisasi. Kedua, karena demielinisasi cepat (yang muncul sebagai gejala klinis)
adalah suatu manifestasi yang muncul belakangan selama perjalanan penyakit ini, bukan
muncul di awal (295).

Respon Imun dan SC. Pada akhirnya, respon imun juga akan ditujukan pada SC
yang terinfeksi M.leprae. Kultur SC yang diisolasi dari manusia tampaknya mampu
memproses dan memaparkan antigen M.leprae terhadap sel-T CD4+ (387). SC yang
terinfeksi sangat rentan terhadap penghancuran oleh kloning sel-T sitotoksik CD4+ yang
diambil dari penderita lepra. Kultur jangka panjang dari SC manusia juga mengadakan
MHC kelas I dan II, ICAM-I, dan CD80, molekul-molekul permukaan yang terlibat saat
muncul antigen. Sel-sel ini memproses dan memaparkan M.leprae dan beberapa protein
antigen dan peptidanya terhadap MHC kelas II terbatas pada sel-T CD4+, dan secara
efektif akan dimusnahkan oleh sel-sel T yang aktif ini.

Sebagai akibat jangka panjang dari hal di atas dan beberapa mekanisme lain yang
masih belum diketahui, SC akhirnya tidak berfungsi atau dihancurkan dalam sel yang
terinfeksi. Hasil akhirnya adalah suatu neuropati demielinisasi (164,399). Demielinisasi
segmental tampaknya terkait dengan area infeksi, seperti yang telah dibahas di atas.
Atrofi aksonal dan demielinisasi yang menyertainya juga telah ditemui pada saraf-saraf
yang terserang lepra, dan hal ini dihubungkan dengan fosforilasi abnormalndari neuro-
filamen dengan berat molekul berat sampai sedang (340).

Sebagai ringkasan, basil M.leprae memiliki kemampuan unik untuk menginfeksi


saraf perifer, mungkin masuk ke dalam saraf lewat endotel pembuluh darah, melalui

22
mekanisme yang masih belum dapat dijelaskan. Setelah mereka mendapat akses ke dalam
kompartemen endoneurial, kuman-kuman M.leprae terikat kepada SC melalui beberapa
ikatan molekul pada permukaan membran. Kuman-kuman itu kemudian mengalami
ingesti (proses cerna) oleh SC, dan kuman yang masih viabel tampaknya mampu
mengintervensi proses maturasi endositik yang normal sehingga berpotensi berkembang
menjadi proses penghancuran sel. Pada SC in vitro, M.leprae mampu bertahan untuk
waktu tertentu. Pada suhu 33°C tampaknya M.leprae tidak menginduksi kematian SC,
baik melalui apoptosis ataupun proses lainnya, dan SC yang terinfeksi bisa berhubungan
secara normal dengan akson-akson in vitro. Namun menurut hasil observasi yang telah
dilakukan sejauh ini, infeksi ini memang bisa menyebabkan beberapa perubahan pada
tingkat gen.

SC yang terinfeksi juga dapat memproses dan memaparkan antigen M.leprae


terhadap sel-T sehingga bisa menjadi target respon imun. Inflamasi yang dipicu proses
imunologis mungkin bertanggung jawab terhadap banyaknya kerusakan saraf yang
bermanifestasi secara klinis, karena kelainan fungsi saraf muncul lebih cepat dan lebih
berat pada penderita-penderita dengan respon imun seluler yang kuat (yaitu pada
penderita jenis tuberkuloid). Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa mekanisme
imunologis yang terhadi dalam saraf serupa dengan proses pada kulit yang telah
dijelaskan dengan lebih detail. Pada penderita lepromatous, dengan respon imun minimal
terhadap M.leprae, saraf mungkin mengalami infeksi berat walaupun yang tampak dari
luar hanyalah kelainan fungsional yang ringan atau sedang. Namun pada akhirnya, saraf
perifer tertentu pada semua jenis lepra akan mengalami demielinisasi. Tanpa terapi yang
efektif, banyak saraf-saraf yang akan tidak berfungsi maksimal, menyebabkan penderita
mengalami insensate (gangguan sensoris) juga paralisa tangan dan kaki. Memahami
banyaknya mekanisme yang mendasari kerusakan saraf dan mengaplikasikannya sebagai
sarana klinis dan rehabilitatif untuk mencegah dan meminimalisir kerusakan saraf adalah
menjadi tantangan terbesar dan prioritas utama dalam penelitian lepra di zaman sekarang
ini.

23
24

Anda mungkin juga menyukai