Pembimbing :
dr. Sriandayani SpA
Disusun Oleh :
Hendra Susanto
11.2016.299
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................... I
DAFTAR ISI ...................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................... 1
BAB II. ANATOMI DAN FISIOLOGI DINJAL ............................. 2
II.1. Anatomi Ginjal ...................................................... 2
II.2. Fisiologi Dasar Ginjal ............................................ 3
BAB III. SINDROMA NEFROTIK ................................................ 5
III.1. Definisi .................................................................. 5
III.2. Insidens ................................................................ 5
III.3. Etiologi .................................................................. 6
III.4. Patofisiologi .......................................................... 8
III.5. Manifestasi Klinis .................................................. 16
III.6. Klasifikasi Histopatologis ...................................... 18
III.7. Komplikasi ............................................................ 32
III.8. Penatalaksanaan .................................................. 34
III.9. Prognosis .............................................................. 38
BAB IV. KESIMPULAN ............................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
2
apabila timbul sebagai bagian daripada penyakit Sistemik atau yang
berhubungan dengan obat / Toksin.
Pada anak-anak kira-kira 90% disebabkan oleh panyakit Glomerulus
primer dan 10% adalah sekunder disebabkan oleh penyakit Sistemik.Resiko
penyakit jantung koroner atau Aterosklerosis pada penderita Sindroma Nefrotik
anak belum diketahui dengan jelas. Dalam laporan-laporan pemeriksaan post
mortem pada anak-anak dan dewasa yang menderia Sindroma Nefrotik Idiopatik
tercatat adanya Ateroma yang awal.
Sampai pertengahan abad ke 20 Mordibitas SN pada anak masih tinggi,
yaitu melebihi 50% pasien-pasien ini dirawat untuk jangka waktu lama karena
Edema Anasarka dengan disertai Uiserasi dan Interaksi kulit.Dengan
ditemukannya obat Sulfonamid dan Penisillin tahun 1940 dan dipakainya hormon
Adreno Kortikotropik (ACTH) dan Kortikosteroid pada tahun 1950, mortilitas
penyakit ini diperkirakan mencapai 67% yagn sering disebabkan oleh komplikasi
Peritonitis dan Sepsis. Kematian menurun kembali mencapai 35% setelah obat
penisilin mulai digunakan tahun 1946-1950. Pada awal 1950-an kematian
menurun mencapai 20% setelah pemakaian ACTH atau Kortison. Diantara
pasien SN yang selamat dari infeksi sebelum Era Sulfonamid umumnya
kematian disebabkan oleh gagal ginjal kronik.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL
3
kira-kira 6 cm dan 24 g pada bayi cukup bulan sampai 12 cm atau lebih
dari 150 g pada orang dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks
yang berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimalis dan distalis dan
dukturs koletivus, serta di lapisan dalam, medula yang mengandung
bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa) Henie, vasa rekita dan
duktus koligens terminal.
Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis
utama yang keluar dari aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim
dijumpai. Arteri renalis utama membagi menjadi medula ke batas antara
korteks dan medula. Pada daerah ini, arteri interlobaris bercabang
membentuk arteri arkuata, dan membentuk arteriole aferen glomerulus.
Sel-sel otot yagn terspesialisasi dalam dinding arteriole aferen, bersama
dengan sel lacis dan bagian distal tubulus (mukula densa) yang
berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus jukstaglomeruler
yagn mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi menjadi
anyaman kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole
eferen. Arteriole eferen glomerulus dekat medula (glomerulus
jukstamedullaris) lebih besar dari pada arteriole di korteks sebelah luar dan
memberikan pasokan darah (vasa rakta) ke tubulus dan medula.
Setiap ginjal mengandung sekitar satu juga neron (glomerulus dan
tubulus terkait). Pada manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada
saat lahir, tetapi maturasi fungsional belum terjadi sampai di kemudian hari.
Karena tidak ada nefron baru yagn dapat dibentuk sesudah lahir, hilangnya
nefron secara progresif dapat menyebabkan insufisiensi ginjal.
Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai
mekanisme penyaringan ginjal. Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium
yagn mempunyai sitoplasma sangat tipis yagn berisi banyak lubang
(fenestrasi). Membrana basalis glomerulus (BMG) membentuk lapisan
berkelanjutan antara endotel dan sel mesangium pada satu sisi dengan sel
epitel pada sisi yang lain. Membran mempunyai 3 lapisan. (1) lamina
densa yang sentralnya padat-elektron, (2) lamina rara interna, yagn
4
terletak di antara lamina densa dan sel-sel endotelian ; dan (3) lamina rara
eksterna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel epitel. Sel epitel
viteviscera menutupi kapiler dan menonjolkan “tonjolan kaki” sitplasma,
yagn melekat pada lamina rara eksternal. Di antara tonjolan kaki ada
ruangan atau celah filtrasi. Mesangium (sel mesangium dan matriks)
teletak di antara kapiler-kapiler glomerulus pada sisi endotel membrana
basalis dan menbentuk bagian tengah dinding kapiler. Mesangium dapat
berperan sebagai struktur pendukung pada kepiler glomerulus dan
mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran darah glomerulus,
filtrasi dan pembangunan makromolekul (seperti kompleks imun) dari
glomerulius, melalui fagositosis intraseluler atau dengna pengakutan
melalui saluran interseluler ke daerah jukstagomerulus. Kapsula Bowman,
yagn mengelilingi glomerulus, terdiri dari (1) membrana basalis, yagn
merupakan kelanjutan dari membrana basalis kapiler glomerulus dan
tubulus proksimalis, dan (2) sel-sel epitel parietalis, yang merupakan
kelanjutan sel-sel epitel viscera.
5
Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama
urea, asam urat dan kreatinin.
Fungsi Non-ekskresi
Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah.
Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produk sel darah
merah oleh sumsum tulang.
Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Degenerasi insulin
Menghasilkan prostaglandin
BAB III
SINDROM NEFROTIK
III.1. DEFINISI
Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit tersendiri, melainkan
merupakan komplex gejala klinik yang dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
6
- edema umum (anasarka), terutama jelas pada muka dan jaringan
periorbital.
- Proteinuria, termasuk albuminuria ; sebagai batas biasanya ialah bila
kadar protein plasma total kurang dari 6 gram per 100 ml dan fraksi
albumin kurang dari 3 gram per 100 ml.
- Hiperlipidemi, khususnya hiperchlolesterolemi ; sebagai batas biasanya
ialah bila kadar cholesterol plasma total lebih dari 300 miligram per 100
ml.
- Lipiduria ; dapat berupa lemak bebas, sel epitel bulat yang
mengandung lemak (“ovel fat bodies”), torak lemak.
Kadang-kadang tidak semua gejala tersebut di atas ditemukan. Ada
yagn berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yagn masif
serta hipoalbuminemi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
sindrom nefrotik.
III.2. INSIDENS
Sindrom nefrotik yang tidak meneyrtai penyakit sistemik disebut
sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus-kasus ini
adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara resesif
autosom. Kelompok responsif steroid sebagai besar terdiri dari anak-anak
dengan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di
jakarta di antara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan KM.
Kelompok tidak responsif steroid atau resisten steroid terdiri dari anak-
anak dengan kelainan glomerulus lain. Disebut sindrom nefrotik sekunder
apabila penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik karena, obat-obatan,
alergen dan toksin, dll. Sindrom nefrotik dapat timbul dan bersifat
sementara pada tiap penyakit glomerulus dengan keluarnya protein dalam
jumlah yang cukup banyak dan cukup lama.
7
III.3. ETIOLOGI
Sebab yang pasti belum diketahui ; akhir-akhir ini dianggap sebagai
satu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :
I. Sindrom nefrotik bawaan
Dirurunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhaap semua pengobatan.
Gejala adalah edema pada masa neonatus.
Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak
berhasil.
Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya.
II. Sindrom nefrotik sekunder
1. Malaria kuartana atau parasit lain
2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid.
3. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosisis vena
renalis.
4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, racun oak, air raksa.
5. Amilodisosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano
proliferatif hipokomplementamik.
III. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui sebabnya).
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk.
Membangi dalam 4 golongan yaitu :
1. Kelainan minimal
8
Dengan mikrospok biasa glomerulus tampak normal, sedangkan
dengan mikroskop elektron terdapat IgG atau imunoglobulin bet-1C
pada dinding kapiler glomerulus.
Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang
dewasa.
2. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi set. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis kurang baik.
3. Glomerulonefritis proliferatif
a. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus.
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan
pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan Streptococcus
yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik.
Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat
penyembuhan setelah pengobatan yang lama.
b. Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai
(kapsular) dan viseral.
c. Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
simpai (simpai (kapsular) dan viseral.
d. Glomerulonefritis membranopliferatif.
Proliferasi sel mesangial dan penempaan fibrin yang menyerupai
membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta
1A rendah.
e. Lain-lain.
9
Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas.
IV. Glomeruloksklerosis fokal segmental.
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai
dengan atrofi tubulus.
Prognosis buruk.
III.4. PATOFISIOLOGI
Proteinuria
Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan
gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria
dinyatakan “berat” untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih
ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Eksresi protein sama
atau lebih besar dari 40 mg/jam/m 2 luas permukaan badan, dianggap
proteinuria berat.
Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi
bergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang
keluar hampir seluruhnya terdiri atas albimin dan disebut sebagai
proteinuria selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara
sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000)
dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari
0.2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio
rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid.
Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak
sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal)
dengan pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.
10
Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal
bergantung pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat
penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul, namun
terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin.
Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan
negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau
kelainan pada kedua-duanya.
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif
pada lamina rara interna dan eksterna merupakan sawar utama
penghambat keluarnya molekul muatan negatif, seperti albumin.
Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan hepartinase
mengakibatkan timbulnya albuminaria.
Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu polianion yang
terdapat pada tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan
negatif di daerah ini yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan
pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat
molekul 140.000 dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung
asam sialat ditemukan terbanyak kelainan pada model eksperimenal
nefrosisis aminonkleosid. Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali
normal sebagai respons pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya
proteinuria.
Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis
hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan
gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi
ini hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat
11
hubungan terbalik antara laju sekresi protein urin dan derajat
hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak responsif steroid, albumin
serumnya dapat kembali normal atau hampri normal dengan atau tanpa
perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN
dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau
normal.
Jumlah albumin absolut yagn didegradasi masih normal atau di
bawah normal, walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin
intravaskular secara relatif, maka katabolisme pool fraksional yagn
menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya katabolisme albumin di
tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat
menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yagn normal albumin
plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi
albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin
(terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus
renal) yang melampaui daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di
dalam plasma adalah menurunnya - 1 globulin, (normal atau rendah),
dan - 2-globulin, B globulin dna figrinogen meningkat secara relatif atau
absolut. Meningkatnya - 2 globulin disebabkan oleh retensi selektif
protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang
normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM
dapat meningkat dan IgG menurun.
12
hipoalbuminemia ringan. Pada pasien dengan analbuminemia kongenital
dapat juga timbul hiperlipidemia yang menunjukkan bahwa kelainan lipid ini
tidak hanya disebabkan oleh penyakti ginjalnya sendiri. Pada pasien SN
konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotien
densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok.
Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada
anak-anak dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol
total tetap rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat
disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang
menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya
produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin
dan sekudner terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun
meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang
normal. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya -
glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum
kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala
ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya, karena ofek yang
sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus pilivinilpirolidon tanpa
mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL
tetap meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain
VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuensi yang menetap
bahkan selama remisi. Lipid dapt juga ditemukan di dalam urin dalam
bentuk titik lemak oval dan maltase cross. Titik lemak itu merupakan
tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross
tersebut adalah ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di
tengah apbila dilihat dengan cahaya polarisal.
13
Edema
Keterangan klinik pembentukan edema pada sidnrom nefrotik
sudah dianggap jelas dan secara fisiologik memuaskan, namun beberapa
data menunjukkan bahwa mekanisme hipotesis ini tidak memberikan
penjelasan yang lengkap. Teori klasik mengenai pembentukan edema ini
(underfilled theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang
menyebabkan cairan merembes keruang interstisial. Dengan
meningkatnya permealiblitas kapiler glomerulus, albumin keluar
menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunya tekanan onkitik koloid
plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan
transudat melewati dinding kapiler dari ruagn intravaskular ke ruang
interstial yang menyebabkan terbentuknya edema.
14
Kelainan glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminemia
Tekanan onkotik hidorpatik koloid plasma
Volume plasma
Retensi Na renal sekunder
Edema
15
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi terjadi kenaikan kadar
renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal
ini tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN. Beberapa pasien SN
menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas
renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled.
Menurut teori ini retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan
cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling
cairan ke dalam ruang interstiasial. Teori overfilled ini dapat menerangkan
adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan
aldosteron menurun seukunder terhadap hipervolemia.
Kelainan glomerulus
Retensi Na renal primeri
Albuminuria
Hipoalbuminemia
Volume plasma
Edema
16
Karakteristik patofisiologi kelompok ini sesuai dengan teori tradisional
underfilled yaitu retensi natrium dan air merupakan fenomena sekunder. Di
pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai dengan volume
plasma tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan
aldosteron rendah yang meningkat sesudah persediaan natrium habis.
kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan LFG
yang relatif lebih rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok
petama. Karakteristik patofisiologi kelompok keduaini sesuai dengan teori
overfilled pada SN dengan retensi air dan natrium yang merupakan
fenomena primer intrarenal.
Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang
dinamis dan mungkin saja kedua proses underfilled berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu kombinasi rangsangan
yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan
nefritis. Akibat mengecilnya volume intravaskular akan merangsang
kelarnya renin dan menimbulkan rangsangan non osmotik untuk keluarnya
hormon volume urin yang sedikit dan pekat dengan sedikit natrium.
Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron
yang tinggi umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid,
sedangkan mereka dengan volume darah normal atau meningkat disertai
renin dan aldosteron rendah umumnya menderita kelainan BKM dan tidak
responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang
berguna untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid
atau tidak disamping adanya SNKM. Namun derajat tumpang tindihya
terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara kedua
kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida
natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis masih
belum pasti.
17
III.5. MANISFESTASI KLINIS
EDEMA
Di masa lalu orangtua menganggap penyakit SN ini adalah edema.
Nafsu makan yang kurang. Mudah terangsang adanya gangguan
gastrointestinal dan sering terkena infeksi berat merupakan keadaan yang
sangat erat hubungannya dengan beratnya edema, sehingga dianggap
gejala-gejala ini sebagai akibat edema.
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya
edema dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun
edema persisten dengan komplikasi yang menggangu merupakan masalah
klinik utama bagi mereka yang menjadi non responden dan pada mereka
yang edemanya tidak dapat segera diatasi. Edema umumnya terlihat pada
kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orangtua atau anak yang
besar sebelum kedokter melihat pasien untuk pertama kali dan
memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertabah, baik
lambat atau cepat atau dapat menghilangkan dan timbul kembali. Selama
periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau
alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut
dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah
nyata. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas
dalam posisi berdiri. Kadang-kadang pada edema yang masif terjadi
robekan pada kulit secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada
keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan
asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi plerura. Muka dan
tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan
jaringan seperti malnustrisi sebagai tanda adanya edema menyeluruh
sebelumnya.
18
Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN.
Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan
keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga
penyebabnya adalah edema submukosa di mukosa usus. Hepatomegali
dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis
albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa
pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada
keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau
peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksan
lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak
diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau
pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah
kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat
dengan beratnya edema yang diduga sebagai akibatnya. Anoreksia dan
hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat yang
kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten.
Pada keadaan asites terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi
pelura maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang
menjadigawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin
dan obat furosemid.
19
Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya
pada penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik
.Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian
untuk mengatasinya.
20
MORFOLOGI KELAINAN GLOMERULUS PRIMER
A. Penyakitkelainan minimal (KM)
ISKDC (1978) malaporkan pada penelitiannya diantara 521 pasien SN,
76,4% menderita KM. Pada penelitian di Jakarta (Wila Eirya, 1992)
diantara 364 pasien yang dibiopsi 44,2% menunjukkan Km.
21
D. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
Dikenal 3 subtipe pada kelainan ini yaitu tipe I yang merupakan tipe klasik
dan tipe III yang erat hubungannya, hanya berbeda paada letak deposit
imunnya. Sedang tipe II, atau penyakit deposit padat (denso-deposit
disease) walpun klinis hampir serupa, namun menunjukkan
kelainanmorfologis dan imunologis yang sangat berbeda, sehingga suatu
penyakit yang berbeda.
III.7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul pada penderit SN tergangung faktor-faktor
sebagai berikut : histopatologi renal, lamanya sakit, umur dan jenis
kelamin penderita.
1. Infeksi
Infeksi terjadi karena terjadinya penurunan mekanisme pertahanan
tubuh yaitu gama globulin serum, penurunan konsetnrasi IgG,
abnormalitas komplemen, penurunan konsentrasi transferin dan seng,
serta pungsi lekosit yang berkurang. Infeksi yang serign terjadi berupa
pertonitis primer, selulitas infeksi saluran kemih, bronkpneumonia dan
infeksi virus.
2. Tromboemboli dan gangguan koagulasi
22
pada penderita SN terjadi hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan
tromboemboli baik pada pembuluh darah vena maupun arteri. Keadaan
ini disebabkan oleh faktor-faktor :
perubahan zymogen dan kofaktor dalam hal ini penignkatan fakto
V.X.VII. Fibrinogen dan fakto von Willebrand.
perubahan fungsi platelet karena hipoalbuminemai, hiperlipodemia
perubahan fungsi sel endotelial karena perubahan sirkulasi lipid
Peran obat kortikosteroid : yakni meningkatkan konsentrasi Fc. VIII
dan memperpendek Protrombin time dan PTT Namun dalam dosisi
besar kostikosteroid akan menignkatkan AT III dan mencegah
agregasi trombost.
Diuretik akan menurunkan voluem plasma sehingga meninggikan
angka hematokrit dengan demikian viskositas darah dan konsentrasi
fibrinogen akan meningkat.
23
kronik. Sejumlah protein plasma yang penting pada transport besi,
hormon dan obat-obatan, karena molekulnya kacil, dengan mudah
keluar melalui urin, kehilangan zat-zat tersebut akan mengakibatkan
hal-hal sebagai berikut :
Transferin ion yang menurun menyebabkan anemia
Penurunan seruloplasmin belum dilaporkan akibat klinisnya
Berkurangnya albumin pengikat seng dan besi menyebabkan
hipogensia dan penurunan sel-sel imunitas.
Berhubungan protein pengikat vitamin D akan mempengaruhi
metabolisme kalsium sehingga terjadi osteomalasia dan hiper
paratiroid.
Berkurangnya protein pengikat kostisol menyebabkan dibutuhkannay
dosis lebih besar terhadap kortikosteroid.
Kehilangan sejumlah besar protein ini akan menyebabkan penderita
jatuh dalam keadaan malnutrisi. Karena itu dilanjutkan diet tinggi
protein diberikan 2-3 5 gram/kg/24 jam untuk mempertahankan
keseimbangan nitrogen. Diet rendha protein, meski dapat mengurangi
proteinuria dalam jangka penek mempunyai risiko kesimbangan negatif
di masa mendatang.
24
III.8. PENATALAKSANAAN
Kasus SNP dengan KM pada pemeriksaan histologisnya dapat
sembuh dengan pengobatan prednison dalam waktu sebulan atau dapat
meninggal dalam waktu setahun. Sebenarnya kalau anak sembuh atau
apabila penyakitnya berlangsung progresif cepat dan mengakibatkan
kematian tidak merupakan masalah. Namun akan menimbulkan masalah
psikologis apabila manifestasi klinis penyakitnya hilang timbul, kambuh
berulang, disertai gejala edema, asites dan proteinuria. Di samping itu
pemberian obat yang lama dapat menimbulkan efek samping seperti muka
rembulan, obesitas, hipertensi, katarak, osteoporosis, dan gangguan
pertumbuhan.
Efek samping yang paling seirng dijumpai adalah obesitas, habitus,
cushingoid, katarak, hipertensi, osteopororis, gangguan pertumbuhan dan
gangguan psiko-emosi. Sebetulnya semua sistem di dalam tubuh dapat
terkena efek samping obat tersebut.
Banyak peneliti yang melaporkan hasil yang dapat menurunkan
frekuensi dengan obat sitostatika, steroid jangka lama dengan dosis
rendah, atau pemberian levamisol.
1. Kortikosteroid
Pengobatan baku kortikosteroid menurut ISKDC (1978) adalah
prednison atau prenisolon dengan dosis 60 mg/m 2/hari (2 mg/kgBB)
setiap hari selama 4 minggu, dilanjutkan denan 40 mg/m 2/hari secara
intermiten (3 hari dalam 1 minggu) atau dosis alternating (selang
sehari) selama 4 minggu. Studi kolaboratif Jerman (1990) melaporkan
bahwa dengan memperpanjang cara pemberian sehari seperti yang
25
dilaporkan ISKDC didapatkan penurunan angka relaps 12 bulan setelah
obat dihentikan 36% kasus pada pemberian 12 minggu dibandingkan
dengan 81% kasus dengan cara pemberian baku ISKDC 8 minggu.
Bila terjadi kambuh setelah pengobatan dihentikan, maka pengobatan
diulang dengan cara buku ISKDC yaitu dosis penuh tiap hari sampel
terjadi remisi dan dilanjutkan dengan 4 minggu dosis intermiten atau
selang sehari. Menurut Ehrich dkk. dengan memperpanjang pemberian
prednison tersebut diharapkan akan mengurangi terjadinya kambuh
sering, tanpa menambah risiko efek samping steroid.
2. Sitostatika
Penggunaan obat sitostatika pada kasus SNP-KS dan SNP-DS telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti dan dapat memperpanjang remisi,
bahkan pada beberapa penderita menimbulkan remisi permanen.
Apabila dibandingkan pengobatan sitostatika pada penderita SNP-DS
dengan SNP-KS, hasilnya lebih baik pada kambuh sering daripada
yang dependen steroid.
26
b. Klorambusil
Klorombusil mempunyai efek sama dengan siklofosfamid
dalam memperpanjang masa remisi SNP-KS dan SNP-DS. Studi
kolaboratif Jerman mendaptkan remisi 87% kasus selama 30 bulan
pada penderita kambuh sering.
Alatas dkk. dalam suatu studi kontrol pada 20 kasus SNP-KS
melaporkan pada kelompok yang diberi klorambusil (8 minggu) dengan
prednison interminten selama pengobatan 12 bulan hanya 12% kasus
yang mengalami kekambuhan, sedangkan pada kelompok kontrol yang
diberi plasebo dengan prednison intermiten, 88% kasus mengalami
kekambuhan.
3. Siklosporin A
Siklosporin A (Si A) adalah suatu imunosupresan yang banyak
digunakan pada transplantasi ginjal, merupakan obat alternatif lain di
samping steroid. SiA besifat menghambatr generasi dan aktival sel T
sitotoksik. Akhir-akhir ini SiA dicoba pada SNP-KS dan resisten steroid.
Pada kasus SNP-KS dan SNP-DS. Tejani dkk melaporkan 11 dari 13
kasus mengalami remisi dengan pemberian SiA selam 8 minggu.
Niaudet dkk memberikan SiA 2-8 bulan, 80% dilaporkan mengalami
remisi. Namun bila obat dihentikan akan terjadi kekambuhan kembali,
sehingga dikatakan obat ini menimbulkan efek dependen SiA. Pada
kasus SNP-RS pemberian SiA tidak memberiakn hasil memuaskan.
Dosis yang dipakai adalah 5 mg/kgBB/hari, disesuaikan dengan kadar
SiA darah 200-400 /ml. Obat ini dapat menimbulkan nefritis
interstisialis sehingga pada pemberian jangka panjang perlu dilakukan
pemantauan denan biopsi ginjal. karena obat ini mahal harganya dan
27
hasilnya kurang memuaskan, pemakaian obat ini pada kasus SN belum
dapat diterima sebagai pengobatan alternatif. Jika SiA akan dipakai
sebaiknya untuk kasus yang sudah tidak mempan dengan obat
sitostatika lainnya.
4. Levamisol
Levamisol adalah suatu anti hemintik yang ternyata
mempunyai efek imunologis menstimuloasi sel T. sesuai dengan teori
Shalhoub pada sindrom nefrotik ditemukan adanya gangguan fungsi sel
T. akhir-akhir perhatian pada levamisol muncul kembali dengan waktu
pemberian yang lebih lama. Perhimpunan Nefrologi Pediatri Inggris
melakukan uji klinis dengan kontrol pada kasus SNP-DS dan
melaporkan bahwa levamisol dapat memperpanjang masa remisi. Efek
samping yang dilaporkan hanya sedikit dan sebagaian besar penderita
adalah SNP-KM. Dosis yang dipakai adalah 2-3 hari (+ 4 bulan) pada
61 kasus SNP-DS. Pada kasus yang diberi levamisol, 14 orang anak
tetap dalam remisi sedangkan pada yang tidak diberi levamisol hanya 4
orang anak yang tetap remisi. Efek samping yang dapat ditemukan
adalah gejala gastrointestinal, mual dan muntah, serta agranulositosis
yang bersifat reversibel apabila obat dihentikan.
III.9. PROGNOSIS
Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa factor antara
lain umur, jenis kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan
histopatologi ginjal. prognosis pada umur muda lebih baik daripada umur
lebih tua, pada wanita lebih baik daripada laki-laki. Makin dini terdapat
penyulitnya, biasanya prognosisnya lebih buruk. Kelainan minimal
mempunyai respons terahdap kortikosteroid lebih baik dibandingkan
28
dengan lesi dan mempunyai prognosis paling buruk pada glomerulonefritis
proliferatif.
Sebab kematian pada sindroma nefrotik berhubungan dengan
gagal ginjal kronis disertai sindroma uremia, infeksi sekunder (misalnya
pneumonia).
29
BAB IV
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
1.http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_Konse
nsus_-Tatalaksana_-Sindroma_-Nefrotik.pdf.pdf
3. M.W. Haznam, Terapi Standard Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUP – RSHS.
4. ISKDC. Nephrotic syndrome in children: prediction of histopathology from
clinical and laboratory characteristics at time of diagnosis.Kidney Int2013;13:159-
65.
5. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
31