SINDROM
Nikkkkkk0000
Oleh:
Hendra Susanto
Pembimbing :
dr. SriandayaniSp. A
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai
pada anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang
terdiri dari proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥2+), hipoalbuminemia
<2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan
glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui).1
2.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak
yang paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan
di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak
per tahun,dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak.1 Di
negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6
per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. 1
2.4 Patogenesis
Dinding kapiler glomerulus terdiri dari tiga struktur yang merupakan barier
yang selektif, yaitu : sel endotel dengan fenestrae, membran dasar glomerulus
yang terdiri atas jaringan matriks protein, dan sel-sel epitel khusus podosit yang
terhubung satu sama lain melalui jaringan interdigitating pada celah diafragma.
Berikut ini gambar skematis dinding kapiler glomerulus :
2. Hipoalbuminemia
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati
ruangan ekstra vaskular. Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul
69 kd. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh
kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme
kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk
mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra vaskular dan intra
vaskular.
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat
hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini
mungkin disebabkan beberapa faktor, diantaranya :
- Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus
(protein losing enteropathy)
- Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan
menurun dan mual-mual
- Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal
Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma
albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti
oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang
terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi
filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan
hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+
kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif
sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif
sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air
H2O yang berhubungan dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA)
dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda
aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini
(aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi
diuretik yang mengandung antagonis aldosteron.
3. Sembab
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-
kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis
dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan
volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi Na dan air.
Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan
tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab.
Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
a. Jalur langsung/direk
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung
menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan sembab.
b. Jalur tidak langsung/indirek
Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan
penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:
- Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron
- Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan
kelenjar adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi
hormone aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk
mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun.
- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.
- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin,
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat.
Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma
rennin dan angiotensin.
4. Hiperkolesterolemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)
dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis
lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran
lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah).
Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum
dan penurunan tekanan onkotik.
2.6 Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinis yang
khas, yaitu :
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom
nefrotik. Lebih dari 80% anak dengan sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik
kelainan minimal dengan cirri khasnya berupa histology ginjal yang normal pada
pemeriksaamn mikroskopis. Sisanya berupa GFS, 7%, GNMes, 5%, GNMP, 7%.
Dan GNM, 1-2%. Pasien yang menunjukkan gambaran klinis dan laboratorium
yang tidak sesuai dengan gejala kelainan minimal, sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal sebelum terapi steroid. Biopsi ginjal umunya tidak dilakukan pada sindrom
nefrotik yang sering kambuh atau dependen steroid selama masih sensitif steroid
2.7 Penatalaksanaan
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua (Trihono et al., 2008).
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan berikut: (Trihono et al., 2008)
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun cacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT)
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah (Trihono et al., 2008).
DIETETIK
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit
rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan
hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai
dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit
rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema
(Trihono et al., 2008).
DIURETIK
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Berikut ini algoritma pemberian diuretic pada kasus sidrom nefrotik :
IMUNISASI
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2
mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan
pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu
setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV
(Inactivated Polio Vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu
dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela.
Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap
infeksi pneumokokus dan varisela.
TERAPI KORTIKOSTEROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali
bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak
dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel
berikut:
Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison
60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis
terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full
dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3
dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari
setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak
terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel.
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal maupun secara
intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB,
yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian
CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi
sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x
seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit
<100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit
>5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil
diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa
kejang dan infeksi.
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen
steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten
steroid.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena
SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada
pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek samping
CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga
bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap :
- Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
- Kadar kreatinin darah berkala
- Biopsi ginjal setiap 2 tahun3.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan
dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA
jarang atau sangat selektif.
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau
klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000
mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.
2.8 Komplikasi
Komplikasi medis dari sindrom nefrotik dapat berpotensi serius.
Komplikasi ini dapat dibagi menjadi dua sub kelompok utama : komplikasi akut
yang berkaitan dengan keadaan nefrotik, terutama infeksi dan penyakit
tromboemboli, dan gejala sisa jangka panjang sindrom nefrotik dan pengobatan,
terutama efek pada tulang, pertumbuhan, dan sistem kardiovaskular. Sebuah
aspek penting yang ketiga adalah dampak psikologis dan tuntutan sosial pada
anak yang mengalami sindrom nefrotik, dan keluarga mereka .
a. Komplikasi Infeksi
Infeksi berat, khususnya selulitis dan peritonitis bakteri spontan dapat
menjadi komplikasi sindrom nefrotik. Ketahanan terhadap infeksi bakteri
bergantung pada berbagai faktor predisposisi. Kerusakan pada proses
opsonisasi bergantung pada komplemen dapat memperlambat proses klirens
mikroorganisme yang berkapsul, khususnya Streptococcus pneumonia.
Vaksinasi pneumokokus disarankan bagi pasien dengan sindromnefrotik.
Sebagian besar anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatikterserang
virus varicella non-immune, sehingga diperlukan perlakuan khusus agar
terhindar dari paparan virus varicella.Terapi profilaksis denganimun globulin
varicella zoster disarankan untuk pasien non-imun yang mendapatkan
perawatan imunosupresif. Apabila terjadi serangan remisi, imunisasi dengan
vaksin varisela dapat diberikan karena aman dan efektif, meskipun dosis
tambahan diperlukan untuk mencapai imunitas penuh. Penggunaan asiklovir
oral dapat mencegah infeksi varisela berat pada pasien yang mengkonsumsi
obat kortikosteroid.
b. Komplikasi Tromboembolik
Pasien nefrotik memiliki resiko yang signifikan terjadinya trombosis.
Meskipun angka resiko lebih kecil dari pada dewasa, kejadian thrombosis
dapat menjadi komplikasi yang hebat.Terdapat berbagai faktor yang memicu
disregulasi dari koagulasi pada pasien sindrom nefrotik, antara lain
peningkatan sintesis faktor pembekuan (fibrinogen, II, V, VII, VIII, IX, X, XII),
antikoagulan (antithrombin III) yang keluar melalui urine, abnormalitas platelet
( thrombositosis, peningkatan agregabilitas), hiperviskositas, dan hiperlipemia.
Meskipun demikian tidak ada satu tes laboratorium pun yang dapat
memprediksi resiko pasti trombosis. Faktor yang dapat meningkatkan resiko
thrombosis antara lain penggunaan diuretik, terapi kortikosteroid, imobilisasi,
dan adanyain-dwelling kateter. Apabila diketahui terdapat klot pada anak
dengan nefrotik sindrom, pemeriksaan abnormalitas koagulasi dapat
dilakukan.
Obat-obatan anti koagulan profilaksis tidak disarankan karena memiliki
resiko yang tinggi. Meski demikian, setelah diketahui adanya clot dan telah
mendapatkan terapi, penggunaan warfarin profilaksis disarankan selama 6
bulan dan selama terjadi relaps. Pemasangan kateter intravena harus
dihindari, namun amat penting, sehingga pemberian antikoagulan profilaksis
dapat dipertimbangkan.LMWH merupakan agen alternatif, namun
membutuhkan antithrombin III agar dapat efektif. Aspirin dapat berguna
sebagai antikoagulan, khususnya pada trombositosis berat.
c. Penyakit Kardiovaskular
Berbagai faktor dapat meningkatkan perhatian sekuel kardiovaskular
pada anak dengan nefrotik sindrom dalam jangka waktu yang lama, antara
lain paparan terhadap kortikosteroid, hiperlipidemia, stresoksidatif, hipertensi,
hiperkoagulabilitas, dan anemia. Resiko kardiovaskular pada anak dengan
sindrom nefrotik berkaca pada penelitian kasus sindrom nefrotik pada
dewasa. Pada dewasa pasien dengan sindrom nefrotik memiliki resiko
terserang penyakit jantung koroner. Akan tetapi penelitian tentang adanya
penyakit jantung yang disebabkan oleh sindrom nefrotik masih
terdapatkontroversi, khususnya karena penyakit ginjal pada sebagian besar
anak dapat diatasi.
2.9 Prognosis
Prognosis tergantung pada kausa sindrom nefrotik. Pada kasus anak,
prognosis adalah sangat baik kerana minimal change disease (MCD)
memberikan respon yang sangat baik pada terapi steroid dan tidak
menyebabkan terjadi gagal ginjal (chronic renal failure). Tetapi untuk penyebab
lain seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSG) sering menyebabkan
terjadi end stage renal disease (ESRD). Faktor – faktor lain yang memperberat
lagi sindroma nefrotik adalah level protenuria, control tekanan darah dan fungsi
ginjal.
Prognosis umumnya baik kecuali pada keadaan-keadaan teretnrtu
sebagai berikut :
- Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun
- Jenis kelamin laki-laki
- Disertai oleh hipertensi
- Disertai hematuria
- Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
- Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
- Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa
gambaran klinis
Pada umumnya sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer memberi
respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira
50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons
lagi dengan pengobatan steroid.
3.1 Kesimpulan
Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang
terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai
hiperlipidemia.
Etiologi sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital,
glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder akibat penyakit sistemik.
Gejala klinis sindrom nefrotik yang khas adalah pitting edema akibat
proteinuria dan hipoproteinemia. Gejala lain berupa komplikasi seperti
asites, efusi pleura, edema anasarka. Hipertensi juga dapat dijumpai
pada semua tipe sindrom nefrotik.
Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 hal, yaitu :
1. proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau
rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥
2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
Penatalaksanaan pasien dengan sindrom nefrotik meliputi pengaturan
diit, penanggulangan edema, pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
3.2 Saran
Pada penulisan tinjauan pustaka sindrom nefrotik selanjutnya disarankan
untuk membahas sejauh mana kompetensi dokter umum dalam penatalaksanaan
sindrom nefrotik pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
1.http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_
Konsensus_-Tatalaksana_-Sindroma_-Nefrotik.pdf.pdf
2.Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Sindrom Nefrotik.
Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
5. Wila Wirya IGN: Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis
sindrom nefrotik primer pada anak di Indonesia. Disertasi, FKUI. Jakarta 14
Oktober 2013.