Anda di halaman 1dari 76

Case Report

Anastesi pada Pasien Fornier Gangrene

Disusun oleh :

Adria Putra Farhandika 1102012010

Putri Cantika Reviera 1102013230

Pembimbing :

dr. Hayati Usman, Sp.An


dr. Dhadi Ginanjar Daradjat, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DR. SLAMET GARUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2018
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn. Doi
2. Jenis kelamin : Laki-laki
3. Usia : 83 tahun
4. Agama : Islam
5. Status : Menikah
6. No. RM : 0108xxxx
7. Tanggal Masuk RS : Jumat, 16 Februari 2018
8. Tanggal Operasi : Rabu, 21 Februari 2017
9. Masuk RS : IGD
10. Kamar : Topaz - ICU
11. Bagian : Bedah

B. ANAMNESIS
[Alloanamnesis dengan keluarga pasien]
1. Keluhan utama : Bengkak pada buah zakar
2. Keluhan tambahan : keluar cairan hitam dari buah zakar
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan adanya bengkak pada buah zakar sejak 2 hari SMRS
yang bertambah besar secara cepat menurut pengakuan pasien kepada istri pasien saat
dirumah. Saat 1 hari SMRS terdapat keluar cairan hitam kental dan berbau dari buah zakar
pasien. Menurut keluarga pasien sejak 2 hari SMRS pasien terdapat keluhan demam
disertai mual beberapa kali. Pasien sempat mengeluh sulit BAK saat 1 minggu SMRS,
tanpa disertai keluhan nyeri saat bak, keluar darah, ataupun perubahan warna urin. Untuk
keluhan bengkak pada buah zakar tidak pernah dikeluhkan pasien sebelumnya. Keluhan
sesak, muntah, benjolan pada buah zakar, sulit BAB pun disangkal oleh pasien.

4. Riwayat penyakit dahulu :


Ø Riwayat operasi disangkal.

Ø Riwayat darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, dan asma disangkal.
Ø Riwayat epilepsi disangkal.
Ø Riwayat alergi disangkal.
5. Riwayat penyakit keluarga:
Ø Riwayat kejadian serupa dalam keluarga disangkal.
Ø Riwayat darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, dan asma dalam keluarga
disangkal.

6. Riwayat obat-obatan:
§ Pasien tidak sedang mengonsumsi obat-obatan, suplemen, atau vitamin tertentu,
namun pasien sempat beberapa kali ke puskesmas untuk berobat masalah keluhan
pegal linunya saja.
§ Pasien tidak minum jamu.
§ Riwayat alergi obat disangkal.
7. Riwayat gaya hidup dan kebiasaan:
§ Pasien merokok, sehari 3 batang.
§ Pasien menyangkal minum alkohol, atau mengonsumsi obat-obatan terlarang.
§ Pasien biasa makan tidak teratur bisa 2-3 x sehari.Pasien tidak pemilih dan tidak
punya kesukaan tertentu terhadap makanan manis, asin, atau berlemak.
§ Pasien tidak pernah berolahraga

C. PEMERIKSAAN FISIK (16 Februari 2018)


Status Generalis:
• Keadaan umum: tampak sakit sedang
• Kesadaran: composmentis
• GCS E4V5M6 = 15
Tanda-tanda vital:
Ø Tekanan darah : 138/90 mmHg
Ø Suhu : 38.2 C
Ø Nadi : 100 x/menit
Ø Frekuensi nafas: 22 x/menit
Ø SpO2: 99%
• Kepala: normosefal, wajah tampak simetris, rambut hitam distribusi merata, lesi(-
), tanda perdarahan (-).
• Mata: lesi silia, supersilia, palpebral (-/-), strabismus (-/-), nistagmus (-/-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+), pupil bulat isokor ø 3 mm/3 mm.
• Telinga: ADS tampak simetris dan berbentuk anatomis normal, retroaurikula DS
tidak tampak kelainan.
• Hidung: deviasi septum (-), discharge (-).
• Mulut: mukosa bibir tampak kering, gigi geligi tampak lengkap, lidah tak tampak
kelainan.
• Leher: pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), perabaan massa (-), pembesaran
tiroid (-), arteri karotis teraba di kedua sisi.
Toraks:
Ø Pulmo:
Inspeksi: hemitoraks kanan dan kiri tampak simetris dalam statis dan dinamis,
lesi (-), retraksi (-).
Palpasi: fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri.
Perkusi: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: suara nafas vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
Ø Cor:
Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
Palpasi: ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi: Batas kanan jantung: ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas atas jantung: ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kiri jantung: ICS V linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Ø Abdomen :
Inspeksi : Cembung, sikatriks (-), caput medusae (-), sagging of flank(-),smiling
umbilicus (-), spider navy (-), striae (-).
Auskultasi : BU (+) 9 x/menit di 4 kuadran
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen, shifting dullnes (-).
Palpasi : Nyeri tekan di seluruh kuadran abdomen. Nyeri ketok CVA (-), defans
muskular (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), undulasi (+).
Ø Ekstremitas: akral hangat, capillary refill <2 detik, edema tungkai (+/+), A.
dorsalis pedis teraba (+/+).
D. DIAGNOSA
• Fornier Gangrene
• DM Tipe 2 tidak terkontrol
• AKI
E. PENATALAKSANAAN
• Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
• RL 500 ml (20 tpm) , Inf Nacl 0.9% 1000 cc (diguyur)
• Laboratorium lengkap (Darah lengkap dan elektrolit)
• EKG
• Kompres luka dengan kassa lembam
• Terapi : cefoperazone 2 x 1 gr IV
Metronidazole 3 x 500 mg IV
Ketorolac 2 x 30 mg IV
Omeperazole 1 x 40 mg IV
Ondansetron 3 x 4 mg IV
Ranitidin 2 x 1 amp IV
Insulin 180-200IU
• Advis dr. Yanti SpPd:
Nacl guyur 1000cc(30 gtt/menit)
Meropenam 2x1 gr IV à drip dalam 100 cc dalam 1 jam
Inj Vit K 3x1amp IV
Cek GD tiap 2 jam, target insulin 180-200 IU
• Advis dr. M. Rizal SpB
Acc Rawat bedah
Kompres luka dengan kassa lembab
Turunkan GD hingga < 200
Cito ND bila KU baik
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tgl 16 Februari 2018
Ø Darah Rutin
Hemoglobin 14.3g/dl 13 – 18 g/dl
Hematokrit 42% 40 – 52 %
Leukosit 13.190/mm3 3.800 - 10.600 /mm3
Trombosit 129.000/ mm3 130.000 - 440. 000/ mm3
Eritrosit 5.12jt/ mm3 3.5 - 6.3jt/ mm3
Ø Kimia Klinik
AST (SGOT) 48u/L s/d 37u/L
ALT (SGPT) 38u/L s/d40u/L
Ureum 147mg/dL 15-30 mg/dL
Kreatinin 2.5 0.7 – 1.3 mg/dL
GDS 658mg/dL <140mg/dL

Tgl 20 Februari 2018


Ø Kimia Klinik
Protein Total 5.90g/dL 6.6 – 8.7 g/dL
Albumin 2.46g/dL 3.5 – 5 g/dL
GDP 515mg/dL 70 – 110g/dL
Ø Elektrolit
Natrium 151mEq/L 135- 145 mEq/L
Kalium 3.5mEq/L 3.6 – 5.5 mEq/L
Kalsium 4.22mg/dL 4.7 – 5.2 mg/dL
BAB II : STATUS ANASTESI
A. PRE-OPERATIF
1. Informed consent: memberikan penjelasan kepada keluarga pasien mengenai rencana,
resiko, komplikasi, durasi, dan waktu pemulihan pasien.
2. Anamnesis (alloanamnesis):
i. Riwayat asma/alergi : disangkal
ii. Riwayat darah tinggi : disangkal
iii. Riwayat sakit jantung : disangkal
iv. Riwayat operasi : disangkal
v. Riwayat merokok : ada 1 minggu yang lalu
vi. Riwayat minum alkohol : disangkal
vii. Riwayat minum kopi : disangkal
viii. Makan terakhir : 21 Februari 2017
ix. Minum terakhir : 21 Februari 2017

3. Pemeriksaan fisik:
i. Keadaan umum: tampak sakit sedang
ii. Kesadaran: GCS 15
iii. Kesan gizi: baik
iv. Tanda-tanda vital:
Tekanan darah : 130/80 mmHg Suhu : afebris
Nadi : 118 x/menit Frekuensi nafas: 22 x/menit
v. Airway:
ü Hidung: sekret -/-, deviasi septum (-), patensi (+)
ü Mulut: Mallampati : gigi patah (-), gigi goyah (-), gigi tanggal (-), gigi palsu
(-).
vi. Breathing:
ü Pulmo: suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
ü Pola pengembangan dada tampak simetris hemitoraks kanan dan kiri dalam
keadaan dinamis dan statis.
vii. Circulation:
ü Cor: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
ü Perifer: akral dingin, capillary refill <2 detik (lambat), edema tungkai -/-
viii. Sistem hepatobilier: jaundice (-), hepar dan lien tidak dapat diperiksa.
ix. Sistem genitourinaria: dalam batas normal.
x. Sistem muskuloskeletal: dalam batas normal.
xi. Klasifikasi ASA: III E
kode E – pasien memerlukan operasi Necrotic debridement
xii. Premedikasi:
Ondansetron 4mg
B. PERI-OPERATIF
1. Siapkan stetoskop, sarung tangan steril, ETT no. 7, spuit 10 cc, stylet/mandarin, konektor,
mesin anestesi, gas (air, O2, gas volatil isoflurane), plester Hipafix®, suction, dan lampu
operasi.
2. Pasien diposisikan litotomi di atas meja operasi OK. Pasang EKG, manset tekanan darah,
saturasi oksigen, layar monitor dinyalakan, mesin anestesi dinyalakan.
3. Pukul 18. 50: induksi dimulai dengan injeksi propofol 150 mg secara bolus IV sebagai
hipnosedatif.
4. Pukul 18. 52 : dilanjutkan injeksi Atracurium 10 mg secara bolus IV sebagai muscle
relaxan.
5. Pukul 18. 53 : dilanjutkan injeksi fentanyl 100 µg sebagai analgesik. lalu dilakukan bagging
3- 5 menit.
6. Dilakukan pemasangan LMA
7. Airway maintenance dilakukan dengan teknik semi open dan pernapasan spontan yang
dihubungkan dengan pipa O2 : N2O : sevoflurane = 2 : 2 : 1
8. Pukul 19.00 : operasi dimulai. Tanda-tanda vital dimonitor setiap 15 menit.
9. Pukul 20.00 : operasi selesai. Mulai dilakukan tindakan pengeluaran LMA
10. Pukul 20.15 : tindakan anestesi dinyatakan selesai dengan total durasi anestesia 85 menit,
lalu pasien dipindahkan ke ruang pemulihan beberapa waktu kemudian.
11. Pemantauan tanda vital peri-operatif:
Jam T N R S INPUT OUTPUT KET

19.00 100/62 95 14 AF RL 500cc


19. 15 110/74 115 14 AF 500cc
19. 30 118/68 100 14 AF Gelatin 500cc 500cc
19. 45 98/58 105 14 AF 500cc
20. 00 90/50 99 14 AF 500cc
C. POST-OPERATIF
a. Aldrette score:
• Aktivitas = 2
• Pernafasan = 2
• Sirkulasi = 2
• Kesadaran = 2
• Warna kulit = 2
b. Instruksi post-op:
Pasien dirawat di ruang ICU sambil dilakukan:
• Observasi tanda-tanda vital: 1 jam pertama setiap 15 menit, dan 1 jam kedua dan
seterusnya setiap 30 menit.
• Pasien tidak puasa
• O2 3lpm dengan nasal canul
• Cek lab lengkap 6 jam post-op.
• Analgetik : fentanyl 15 tetes/menit dalam RL 500cc
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

FOURNIER GANGREN

A. PENDAHULUAN
Fournier gangren pertama kali ditemukan pada tahun 1883, ketika ahli penyakit
kelamin asal Perancis Jean Alfred Fournier mendapatkan dimana 5 laki-laki muda yang
sebelumnya sehat menderita gangren dengan cepat progresif pada penis dan skrotum tanpa
sebab yang jelas. Penyakit ini yang kemudian dikenal sebagai Fournier gangren, didefinisikan
sebagai fasciitis nekrotikans pada daerah perineum perianal atau genital. Berbeda dengan
deskripsi awal Fournier, penyakit ini tidak hanya terdapat pada laki-laki dewasa muda tapi pada
usia lanjut penyebab biasanya akibat gangguan sistem imun. Penyakit ini kebanyakan terjadi
pada penderita usia 40-70 tahun dengan faktor resiko keadaan umum kurang baik seperti gizi
buruk, penggunaaan imunosupresan, alkohol dan diabetes melitus.
Gejala yang bervariasi mulai dari nyeri pada daerah anorektal atau genital dengan
presentasi gejala minimal berupa nekrosis kulit, nekrosis yang cepat menyebar pada kulit dan
jaringan lunak, sepsis sistemik tanpa sumber infeksi yang jelas. Fournier Gangren adalah
kegawatdaruratan bedah, dan karena perbedaan dalam presentasi klinis, pasien mungkin
awalnya ditemui dalam berbagai keadaan klinis. Karena keterlambatan dalam diagnosis dan
pengobatan dari kondisi ini bisa berakibat fatal, sangat penting untuk tidak mengabaikan gejala,
bahkan jika gejala tidak spesifik. Setelah Fournier gangrene didiagnosis, pengobatan yang tepat
sangat penting. Penyakit ini merupakan kedaruratan di bidang urologi karena mula penyakitnya
(onset) berlangsung sangat mendadak, cepat berkembang, bisa menjadi ganggren yang luas dan
menyebabkan septisemia.

B. EPIDEMIOLOGI
Fournier gangren relatif jarang, namun kejadian yang tepat dari penyakit ini tidak
diketahui. Dalam review Fournier gangren pada tahun 1992, Paty dan rekan kerja terdapat
sekitar 500 kasus infeksi telah dilaporkan dalam literatur sejak 1883 laporan Fournier,
menghasilkan prevalensi 1 kasus di 7500 orang Sebuah tinjauan kasus retrospektif. Terungkap
1.726 kasus didokumentasikan dalam literatur dari 1950-1999, dengan rata-rata 97 kasus per
tahun dilaporkan dari 1989-1998. Peneliti lain telah melaporkan sekitar 600 kasus Fournier
gangren di dunia sejak tahun 1996, dimana Frekuensi Fournier gangren di dunia tidak berubah
secara bermakna.
Tidak ada variasi musiman yang terjadi pada Fournier gangren untuk setiap wilayah di
dunia, meskipun secara klinis terbesar berasal dari benua Afrika, seksual dan usia juga terkait
dalam insiden Fournier gangrene dengan rasio pria ke perempuan adalah sekitar 10:1. Kejadian
yang lebih rendah pada wanita dapat disebabkan oleh drainase yang lebih baik dari daerah
perineum melalui cairan vagina. Pria yang berhubungan seks dengan sesama jenis berada pada
risiko yang lebih tinggi, terutama untuk infeksi yang disebabkan terkait dengan methicillin-
resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Kebanyakan kasus yang dilaporkan terjadi pada
pasien berusia 30-60 tahun. Sebuah tinjauan literatur hanya ditemukan 56 kasus anak, dengan
66% dari mereka pada bayi yang lebih muda dari 3 bulan.

C. ETIOLOGI

Meskipun awalnya digambarkan sebagai gangren idiopatik alat kelamin, tetapi


penyebab Fournier ganggren dapat diidentifikasikan pada 75-95% dari jumlah kasusnya.
Proses nekrosis biasanya berasal dari infeksi di anorektal, saluran urogenital, atau kulit di
sekitar alat kelamin. Penyebab ganggren Fournier pada anorektal termasuk perianal, abses
perirektal, dan iskiorektalis, fisura anal, dan perforasi usus yang terjadi karena cedera
kolorektal atau komplikasi keganasan kolorektal, penyakit radang usus, divertikulitis kolon,
atau usus buntu. Pada saluran urogenital, penyebab ganggren Fournier mencakup infeksi di
kelenjar bulbourethral, cedera uretra, cedera iatrogenik sekunder untuk manipulasi striktur
uretra, epididimitis, orkitis, atau infeksi saluran kemih bawah (misalnya, pada pasien dengan
penggunaan jangka panjang kateter uretra). Sedangkan pada dermatologi, penyebabnya
termasuk supuratif hidradenitis, ulserasi karena tekanan skrotum, dan trauma.
Ketidakmampuan untuk menjaga kebersihan perineum seperti pada pasien lumpuh
menyebabkan peningkatan risiko. Terkadang akibat trauma, post operasi dan adanya benda
asing juga dapat menyebabkan penyakit. Pada wanita seperti sepsis aborsi, vulva atau abses
pada kelenjar Bartholini, histerektomi, dan episiotomi dapat dicurigai sebagai penyebab
Fournier ganggren. Pada pria, seks pada daerah anal dapat meningkatkan risiko infeksi
perineum, baik dari trauma tumpul langsung atau dengan penyebaran mikroba dari rektal.
Sedangkan pada anak-anak yang bisa menyebabkan Fournier ganggren seperti sirkumsisi,
strangulasi hernia inguinalis, omphalitis, gigitan serangga, trauma, perirektal abses dan infeksi
sistemik.
Kultur dari pasien dengan Fournier gangren adalah infeksi polimikroba dengan rata-rata 4
isolat per kasus. Escherichia coli adalah aerob dominan, dan Bacteroides adalah anaerob
dominan. Mikroorganisme umum lainnya adalah sebagai berikut :

v Gram-negative
• E. coli
• Klebsiella pneumoniae
• Pseudomonas aeruginosa
• Proteus mirabilis
• Enterobacteria
v Gram-positive
• Staphylococcus aureus
• Beta Hemolytic Streptococcus Group B
• Streptococcus faecalis
• Staphylococcus epidermidis
v Anaerobes
• Peptococcus
• Fusobacterium
• Clostridium perfringens
v Mycobacteria
Mycobacterium tuberculosis
v Yeasts
Candida albican
D. ANATOMI GENITALIA EKSTERNA PRIA

Gambar Anatomi Genitalia Pria

E. PENIS
Penis berasal dari bahasa Latin yang artinya berarti "ekor", akar katanya sama dengan
phallus, yang memiliki arti sama adalah alat kelamin jantan. Penis merupakan organ eksternal,
karena berada di luar ruang tubuh. Pemakaian istilah "penis" praktis selalu dalam konteks
biologi atau kedokteran. Istilah "falus" (dari phallus) dipakai dalam konteks budaya, khususnya
menerangkan gambran penis yang menegang (ereksi). Lingga (atau lingam) adalah salah satu
penggambaran falus. Penis terdiri dari:
• Akar (menempel pada dinding perut)
• Badan (merupakan bagian tengah dari penis)
• Glans penis (ujung penis yang berbentuk seperti kerucut)
Lubang uretra (saluran tempat keluarnya semen dan air kemih) terdapat di ujung glans
penis. Dasar glans penis disebut korona. Pada pria yang tidak disunat (sirkumsisi), kulit depan
(preputium) membentang mulai dari korona menutupi glans penis. Badan penis terdiri dari 3
rongga silindris (sinus) jaringan erektil. Dua rongga yang berukuran lebih besar disebut korpus
kavernosum yang terletak bersebelahan. Rongga yang ketiga disebut korpus spongiosum,
mengelilingi uretra. Jika rongga tersebut terisi darah, maka penis menjadi lebih besar, kaku dan
tegak (mengalami ereksi).
Gambar Struktur Internal Penis

Penis terletak menggantung didepan skrotum, bagian ujung disebut glans penis, bagian
tangah disebut korpus penis, bagian pangkal disebut radiks penis. Kulit ini berhubungan
dengan pelvis, skrotum, dan perineum. Penis adalah alat kelamin laki-laki dan berisi saluran
keluar bersama untuk urin dan cairan mani.
Penis terdiri dari tiga badan jaringan erektil karvenosus silindris yang diliputi oleh
kapsula fibrosa, yakni tunika albugenia. Di sebelah luar tunika albugenia terdapat fascia penis
profunda yang membentuk pembungkus bersama untuk corpus spongiosum penis dan kedua
korpus kavernosum penis. Di dalam korpus kavernosum penis melintas pars spongiosa urethra.
Kedua korpus kavernosum penis saling bersentuhan di bidang medial, kecuali di sebelah dorsal
yang berpisah untuk membentuk crus masing-masing yang melekat pada ramus bersama os
pubis dan os ischii di sebelah kanan dan sebelah kiri.

F. SCROTUM
Merupakan sebuah kantong kulit yang terletak di bagian bawah dinding anterior
abdomen dan berisi testis, epididymis, dan ujung bawah funiculus spermaticus. Dinding
scortum terdiri atas lapisan-lapisan:
1) Cutis. Cutis scrotum tipis, berkerut, berpigmen dan membentuk suatu kantong
tunggal.
2) Fascia superficilais, melanjutkan diri sebagai panniculus adiposus dan stratum
membranosum dinding anterior abdomen. Panniculus adiposus diganti oleh otot
polos yang disebut m.dartos, yang dipersarafi oleh srabut saraf simpatis dan
berfungsi untuk pengerutan kulit di atasnya.
Fascia spermaticae, terletak di bawah fascia superficialis dan berasal dari tiga
lapisan dinding anterior abdomen.
3) Fascia spermatica externa berasal dari aponeurosis m.obliquus externus abdominis;
4) fascia cremasterica berasal dari m.obliquus internus abdominis; dan
5) fascia spermatica interna berasal dari fascia transversalis.
6) Tunika vaginalis. Terletak di dalam fascia spermatica dan meliputi permukaan
anterior, media, dan lateralis masing-masing testis.

Gambar Struktur Internal Scrotum

Vaskularisasi scrotum berasal dari arteria pudenda externa dari arteria femoralis dan
rami scrotales arteria pudenda interna, vena mengikuti arteria yang senama.

G. FAKTOR RESIKO

Setiap kondisi yang menekan imunitas seluler dapat mempengaruhi pasien untuk
terjadinya fournier gangren, seperti :

• Diabetes mellitus (sebanyak 60% dari kasus)


• Malnutrisi
• Alkoholisme
• Usia lanjut
• Vascular penyakit panggul
• Keganasan
• Lupus eritematosus sistemik
• Penyakit crohn
• Infeksi HIV
• Iatrogenik kekebalan (misalnya terapi jangka panjang kortikosteroid).

H. PATOFISIOLOGI
Infeksi lokal berdekatan dengan portal masuk adalah dasar terjadinya fournier gangren.
Pada akhirnya, suatu endarteritis obliterative berkembang menyebabkan kulit, subkutan dan
pembuluh darah menjadi nekrosis kemudian berlanjut iskemia lokal dan proliferasi bakteri.
Tingkat kerusakan fasia setinggi 2-3 cm. Infeksi fasia perineum (fasia colles) dapat menyebar
ke penis dan skrotum melalui fasia buck dan dartos, atau ke dinding perut anterior melalui fasia
scarpa, atau sebaliknya. Fasia colles melekat pada perineum dan posterior diafragma
urogenitalia dan lateral dari ramus pubis, sehingga membatasi perkembangan ke arah ini.
Keterlibatan testis jarang, karena arteri testis berasal langsung dari aorta dan dengan demikian
memiliki suplai darah terpisah dari infeksi lokal.

Infeksi merupakan ketidakseimbangan antara (1) imunitas host, yang sering terganggu
oleh satu atau lebih proses sistemik penyerta, dan (2) virulensi dari mikroorganisme penyebab.
Faktor etiologi memungkinkan untuk masuknya mikroorganisme ke dalam perineum, sistem
imun yang turun memberikan lingkungan yang baik untuk memulai infeksi, dan virulensi
mikroorganisme mempromosikan penyebaran yang cepat penyakit ini.

Virulensi mikroorganisme hasil dari produksi toksin atau enzim yang menciptakan lingkungan
yang kondusif untuk multiplikasi mikroba yang cepat, Meskipun Meleney pada tahun 1924
menjelaskan penyebab infeksi nekrotikans hanya dari spesies Streptococcus saja, tapi klinis
selanjutnya telah menekankan sifat multiorganisme dari kebanyakan kasus dari infeksi
nekrotiknas, termasuk fournier gangren. Keterlibatan polimikroba diperlukan untuk
menciptakan sinergi produksi enzim yang mempromosikan penyebaran fournier gangren.
Sebagai contoh, salah satu mikroorganisme dapat menghasilkan enzim yang diperlukan untuk
menyebabkan koagulasi dari pembuluh darah.

Trombosis pembuluh darah ini dapat mengurangi suplai darah lokal dengan demikian
suplai oksigen ke jaringan menjadi berkurang. Hipoksia jaringan yang dihasilkan
memungkinkan pertumbuhan fakultatif anaerob dan organisme mikroaerofilik.
Mikroorganisme kemudian pada gilirannya dapat menghasilkan enzim (misalnya, lesithinase,
kolagenase) yang menyebabkan kerusakan dari fasia, sehingga memicu perluasan cepat infeksi.
Nekrosis fasia adalah awal dasar dari proses penyakit, hal ini penting untuk sebagai penanda
klinis dalam keterlibatan jaringan. Secara khusus, jika potongan fasia dapat dipisahkan dengan
mudah dari jaringan sekitarnya dengan diseksi tumpul sangat mungkin terlibat dengan proses
iskemik-infkesi, oleh karena itu setiap jaringan harus dieksisi.

I. Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Ciri fournier gangren adalah rasa sakit dan nyeri tekan di alat kelamin. Perjalanan klinis
biasanya berlangsung melalui tahap-tahap berikut:
• Gejala prodromal demam dan letargi, yang muncul dalam 2-7 hari
• Rasa sakit dan nyeri tekan yang berhubungan dengan edema pada kulit di atasnya
yang disertai pruritus
• Meningkatkan nyeri genital dengan eritema dikulit atasnya
• Gambaran duski di kulit atasnya (subkutan krepitasi)
• Gangren jelas dari bagian alat kelamin disertai drainase purulen dari luka

Gambar Edema dinding skrotum dan perubahan warna kulit


Pada awal perjalanan penyakit, rasa sakit tidak sesuai dengan temuan fisik. Gangren
dapat berkembang, tetapi nyeri dapat hilang akibat jaringan saraf menjadi nekrotik. Efek
sistemik dari proses ini bervariasi dari nyeri lokal tanpa disertai syok septik dan kemerahan.
Secara umum, semakin besar derajat nekrosis, yang lebih mendalam efek sistemik. Pada
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah palpasi dari alat kelamin, perineum dan
pemeriksaan colok dubur, untuk menilai tanda-tanda penyakit dan untuk mencari potensi
masuknya portal infeksi. Dapat juga ditemukan krepitasi jaringan lunak, nyeri lokal, ulkus yang
disertai eritem, edema, sianosis, indurasi, blister, maupun gangren. Dari inspeksi kulit tersebut
dapat menentukan derajat dari bau amis yang ditimbulkan akibat infeksi dari bakteri anaerob
dan krepitasi yang disebabkan mikroorganisme Clostridium yang dapat memproduksi gas.
Gejala sistemik dapat terjadi seperti demam, takikardia dan hipotensi.

2. Pemeriksaan penunjang
a) Tes Darah Lengkap
Untuk menilai respon kekebalan yang ditimbulkan oleh proses infeksi dan untuk
memeriksa jumlah dari sel darah merah, dan mengevaluasi potensi sepsis yang menyebabkan
trombositopenia. Profil koagulasi seperti, prothrombin time (PT), Activated Partial
Thromboplastin Time (APTT), jumlah trombosit, kadar fibrinogen sangat membantu untuk
mencari sepsis-induced koagulopati seperti pada ITP. Kultur darah juga diperlukan untuk
mengetahui jenis mikroba yang terlibat serta menilai keadaan septisemia. Kimia darah untuk
mengevaluasi gangguan elektrolit, untuk mencari bukti dehidrasi dapat diperiksa blood urea
nitrogen (BUN) kreatinin rasio, yang cenderung terjadi sebagai akibat perlangsungan penyakit,
juga kadar gula dalam darah mengevaluasi intoleransi glukosa, yang mungkin disebabkan oleh
diabetes atau sepsis yang disebabkan gangguan metabolisme. Arterial blodd gas (ABG) untuk
memberikan penilaian yang lebih akurat gangguan asam dan basa. Asidosis yang dapat terjadi
dengan hiperglikemia atau hipoglikemia.
b) Foto Polos Radiologi
Foto polos radiologi harus dipertimbangkan untuk mengevaluasi keberadaan dan
luasnya penyakit fournier, terutama jika dari pemeriksaan klinis tidak dapat disimpulkan. Gas
dalam jaringan lunak dapat lebih mudah terdeteksi modalitas pencitraan dibandingkan dengan
pemeriksaan fisik. Radiografi polos harus menjadi pemeriksaan pencitraan awal. Untuk
mengetahui seberapa besar jumlah gas jaringan lunak, benda asing, atau edema pada jaringan
skrotum. Gas dalam jaringan lunak bermanifestasi sebagai daerah hiperlusen. Namun, tidak
adanya gas (hiperlusen) pada foto polos tidak dapat menyingkirkan diagnosis.
Gambar Fournier gangren pada pria umur 32 tahun dengan riwayat nyeri testis dan infeksi kulit. Pada
foto polos radoiografi anteroposterior menunjukkan tanda radiolusen (panah) dalam jaringan lunak
yang melapisi daerah skrotum dan perineum yang dapat dicurigai sebagai emfisema subkutan

c) CT-Scan (Computed Tomography)


Meskipun diagnosis Fournier gangren adalah paling sering dibuat secara klinis, CT-
scan dapat membantu pada pasien yang diagnosis tidak jelas atau sulit untuk menetukan
luasnya penyakit. CT-scan memiliki kekhususan yang lebih besar untuk mengevaluasi penyakit
dibandinkan foto polos radiografi, USG, atau pemeriksaan fisik. CT-scan memainkan peran
penting dalam diagnosis serta evaluasi penyakit, jalur anatomi penyebaran gangren, akumulasi
cairan, abses, emfisema subkutan dan perluasannya yang paling baik dinilai dengan CT-scan.
CT-scan juga tidak hanya membantu mengevaluasi struktur perineum yang dapat
terlibat oleh fournier gangren, tetapi membantu menilai retroperitoneum yang dapat menyebar
pada penyakit ini. CT-scan dapat mengidentifikasi udara dalam jaringan lunak sebelum
krepitasi terdeteksi. Hingga 90% dari pasien dengan fournier gangren telah dilaporkan
memiliki emfisema subkutan, sehingga setidaknya 10% tidak menunjukkan pada temuan ini.
CT-scan dapat membantu mengevaluasi baik bagian superfisial dan profunda dari fasia.
Dalam banyak kasus, pemeriksaan fisik tidak akurat membantu memprediksi tingkat nekrosis
ditemukan di operasi. CT-scan juga penting dalam membedakan fournier gangren dari yang
lain kurang agresif seperti jaringan lunak edema atau selulitis, yang mungkin tampak mirip
dengan fournier gangren pada pemeriksaan fisik. Selain itu, CT-scan sangat bermanfaat dalam
post treatment yang merupakan tindak lanjut dari terapi respon seperti pada pemberian
antibiotik spektrum luas dan debridemen yang penting untuk keberhasilan.
Gambar
Fournier
gangren
pada
seorang pria 61 tahun dengan pembengkakan skrotum, nyeri, dan kemerahan yang bersama dengan
nyeri perut. CT-scan kontrast yang diperbesar menunjukkan skrotum yang mengandung fokus gas
(Panah gambar a) Pada daerah sisi kanan dan kiri terjadi perluasan pada daerah perineum dan
jaringan subkutan dari daerah medial kanan di region glutealis melalui fasia Colles (panah gambar
b).

d) USG (Ultrasonografi)

Gambaran USG pada fournier gangren dinding skrotum menebal mengandung fokus
hiperekoik yang menunjukkan mewakili gas dalam dinding skrotum. Bukti gas dalam skrotum
dinding dapat dilihat sebelum pemeriksaan fisik yang ditemukan adanya krepitasi. Biasanya
juga terdapat hidrokel unilateral atau bilateral. Testis dan epididimis sering normal dalam
ukuran dan ekotekstur karena vaskularisasi yang berbeda. Jika terdapat keterlibatan testis, ada
kemungkinan sumber infeksi berasal dari intra abdominal atau retroperitoneal.
USG juga berguna dalam membedakan fournier gangren dari hernia inguinal skrotalis.
Dalam fase lanjut, gas dapat diamati dalam lumen usus, jauh dari dinding skrotum. USG lebih
unggul dalam foto polos radiografi, karena isi skrotum dapat diperiksa bersama dengan aliran
darah Doppler. Jaringan lunak udara juga lebih jelas di USG daripada di radiografi, tetapi CT
lebih unggul baik di USG dan radiografi menunjukkan fournier gangren baik melaui
perluasannya dan penyakit yang mendasarinya.
Gambar Fournier gangren pada seorang pria umut 71tahun dengan demam. USG menunjukkan daerah
hyperechoic (panah melengkung) dengan bayangan ang kabur yang mewakili udara di dinding skrotum
dan perineum. Terdapat juga akumulasi cairan (tanda panah) di jaringan subkutan.
e) Histopatologis

Biopsi insisional pada saat debridemen memungkinkan jenis patologis fournier gangren
yaitu nekrosis infeksi dari selulitis. Yang pertama akan mendapat manfaat dari debridement
eksisional, sedangkan yang kedua jarang membutuhkan bedah eksisi. Sampel biopsi harus
diambil mencakup kulit dan fasia superfisialis dan profunda. Sampel ini dapat dikirim untuk
frozen section untuk menilai nekrosis fasia. Keterlibatan fasia muncul sebagai pembengkakan
juga akibat nekrosis pada analisis mikroskopis.

Gambar Temuan Histologis (mikroskop optic dengan eosin-hematoxilin) necrotizing fasciitis dari
dinding skrotum. Tampak jaringan granulasi. Panah menunjuk ke absen epidermis, menunjukkan
ulserasi. Bagian kulit skrotum hiper-dan parakeratotic memberi jalan untuk ulserasi luas.
J. PENATALAKSAAN
Prinsip terapi pada gangren Fournier ada terapi suportif memperbaiki keadaan umum
pasien, pemberian antibiotik, dan debridemen. Pengobatan Fournier gangren melibatkan
beberapa modalitas. Pembedahan diperlukan untuk diagnosis definitif dan eksisi jaringan
nekrotik. Pada pasien dengan gejala sistemik terjadi hipoperfusi atau kegagalan organ,
resusitasi agresif untuk memulihkan perfusi organ normal harus lebih diutamakan daripada
prosedur diagnostik. Dengan demikian, pengobatan pasien dengan gangren Fournier meliputi
resusitasi agresif dalam mengantisipasi operasi. Menyediakan manajemen jalan nafas jika ada
indikasi, berikan oksigen tambahan, dan membangun intravena (IV) akses dan pemantauan
jantung terus menerus. Pengganti kristaloid diindikasikan untuk pasien yang mengalami
dehidrasi atau menampilkan tanda-tanda syok. Awal, antibiotik spektrum luas yang
ditunjukkan. Tetanus profilaksis diindikasikan jika terjadi ulkus pada jaringan lunak.Selain itu,
kondisi komorbiditas yang mendasari (misalnya, diabetes, alkoholisme) harus diatasi. Kondisi
seperti itu sering terjadi pada pasien-pasien dan berpotensi sebagai faktor predisposisi Fournier
ganggren. Kegagalan untuk memadai mengelola kondisi komorbiditas dapat mengancam
keberhasilan bahkan intervensi yang paling tepat untuk menyelesaikan Penyakit menular.
§ Antibiotik
Pengobatan Fournier gangren melibatkan antibiotik spektrum luas terapi antibiotik.
Spektrum harus mencakup staphylococci, streptokokus, Enterobacteriaceae organisme, dan
anaerob. Dimana secara empiris ciprofloksasin dan klindamisin dapat digunakan. Klindamisin
sangat berguna dalam pengobatan nekrosis jaringan lunak infeksi karena spektrum gram positif
dan anaerob. Klindamisin telah terbukti untuk menghasilkan tingkat respons unggul daripada
penisilin atau eritromisin. Pilihan lain yang mungkin termasuk ampisilin / sulbaktam, tikarsilin
/ klavulanat, atau piperasilin / Tazobactam dalam bentuk kombinasi dengan aminoglikosida
dan metronidazole atau Klindamisin. Vankomisin dapat digunakan untuk menyediakan
cakupan untuk methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Dalam kasus yang
berhubungan dengan sindrom sepsis, terapi dengan imunoglobulin intravena (IVIG), yang
diduga untuk menetralisir superantigens (misalnya, streptotoxins A dan B) diyakini
mengurangi respon sitokin berlebihan, telah terbukti menjadi pembantu yang baik untuk
antibiotik dan bedah debridemen. Jika pada tes kalium hidroksida (KOH) menunjukkan
adanya jamur, tambahkan agen empirik anti jamur seperti amfoterisin B atau caspofungin.
§ Debridemen
Tujuan debridemen adalah mengangkat seluruh jaringan nekrosis (devitalized tissue)
sebelum dilakukan debridement sebaiknya dicari sumber infeksi dari uretra atau dari kolorektal
dengan melakukan uretroskoi atau proktoskopi. Kadang-kadang perlu dilakukan diversi urine
melalui sistotomi atau diversi feces dengan melakukan kolostomi. Setelah nektrotomi,
dilakukan perwatan terbuka dan kalau perlu pemasangan pipa drainase. Setelah 12 dan 24 jam
lagi dilakukan evaluasi untuk menilai demarkasi jaringan nekrosis dan kalau perlu dilakukan
operasi ulang. Debridement yang kurang sempurna seringkali membutuhkan operasi ulang
bahkan dilaporkan dapat terjadi dua atau empat kali harus masuk kamar operasi. Pemberian
oksigen hiperbarik masih kontroversi. Terapi ini bermanfaat pada infeksi kuman anrobik.
Perawatan luka pasca operasi dengan hidroterapi dengan kombinasi rendam duduk hangat, dan
pemberian hydrogen peroksida. Pemberian madu yang belum diproses bergun dalam
membersihkan jaringan nekrosis secara enzimatik mneguangi bau, mampu menstrilkan luka,
menyerap air dari luk dan memperbaiki oksigenasi jaringan dan meningkatkan epiteliisasi.
Angka mortalis gangren Founier berkisar ari 7-75% dengan rerata 20. Berbagai faktor yang
mempengaruhi terjadinya mortalitas adalah usia lanjut , penyakit yang sudah menjalar uar,
syok atau sepsis, kultur darah menunjukan bakteriemia, dan uremia.

Gambar
Ektensif debridemen dari Fournier gangren

• Oksigen Hiperbarik

Oksigen hiperbarik (HBO) telah digunakan sebagai tambahan dalam pengobatan


gangren Fournier. Protokol yang biasa digunakan antara lain : ismultiple sesi sebesar 2,5%
90min dan atmfor 100 oksigen inhalasi setiap 20 menit. HBO meningkatkan kadar tekanan
oksigen dalam jaringan dan memiliki efek menguntungkan berbagai penyembuhan luka.
Oksigen radikal bebas adalah jaringan dari hipoksik yang dibebaskan, yang secara langsung
beracun terhadap bakteri anaerob. Aktifitas fibroblast meningkat dengan angiogenesis
berikutnya mengarah ke penyembuhan luka dipercepat. Ini merupakan kontraindikasi untuk
ruang vakum udara di dalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan karena ekspansi setelah
kembali tekanan atmosfer normal, seperti sinusitis, otitis media, asma, dan penyakit paru
bulosa. Pada pasien diabetes, seperti hipoglikemia dapat diperburuk oleh HBO. Beberapa
penulis mempertanyakan efektivitas empiris HBO, menunjukkan bahwa pasien harus dipilih
hanya jika ada permukaan tubuh daerah besar keterlibatan yang siap untuk transplantasi kulit
dalam menanggapi reaksi infeksi bakteri anaerob.
• Rekonstruksi Bedah
Tergantung pada tingkat cacat kulit, pilihan dalam rekonstruksi menjahit, ketebalan
kulit perpecahan pencangkokan, atau vaskularisasi miomukotaneus pedikel. Cacat kecil dapat
ditutup oleh penjahitan primer, terutama dikulit yang lentur seperti pada skrotum. Kecacatan
besar biasa paling sering timbul saat pencangkokan kulit. Kulit kaki yang sehat, pantat, dan
lengan dapat digunakan untuk pencangkokan. Cacat pada kulit batang penis harus terhindar
dari pencangkokkan untuk mencegah pembentukan bekas luka fibrosis karena berhubungan
dengan masalah ereksi. Pada cacat yang luas, terutama di mana tendon yang terkena
vaskularisasi miokutaneus harus digunakan. Pada daerah medial paha misalnya myocutaneous
gracilis flap pedikel dapat memberikan hasil terbaik karena dapat menutup kedekatan dengan
mobilitas dan perineum yang baik. Flaps lain yang menggunakan arteri epigastrika inferior
juga dapat dipertimbangkan. Pada pria dengan penyakit striktur uretra yang mendasarinya,
uretroplasti mungkin sangat sulit atau tidak mungkin karena kehilangan kulit penoskrotal yang
cukup luas dan bahkan dari uretra sendiri. Mukosa bukal dapat digunakan untuk
merekonstruksi uretra, tetapi dalam beberapa kasus dengan jaringan yang luas tidaklah
mendapatkan hasil memuaskan, uretrostomi perineum permanen mungkin solusi terbaik.

Gambar
Transplantasi kulit pada Fournier ganggrene5

K. KOMPLIKASI
Sepsis mungkin karena debridemen yang tidak lengkap, infeksi sistemik, atau respon
yang kurang baik. Banyak pasien yang gagal karea kekebalan organ yang merupakan
konsekuensi paling ditakuti sepsis yang belum terselesaikan dan biasanya melibatkan paru,
kardiovaskular, sistem ginjal, koagulopati, kolesistitis acalculous, dan cedera serebrovaskular
juga telah. Miositis dan mionekrosis dari paha atas dapat terjadi sebagai akibat sepsis yang
berasal dari kantong testis subkutan saat dilakukan debridemen. Komplikasi akhir meliputi5&15:
§ Chordee, ereksi yang menyakitkan, dan disfungsi ereksi
§ Infertilitas akibat memindahkan testis di paha kantong (suhu tinggi)
§ Karsinoma sel skuamosa pada jaringan parut
§ Imobilisasi dengan kontraktur yang lama
§ Perubahan sekunder pada perubahan tubuh karena gangguan depresi dismorfik
§ Lymphodema dari kaki sekunder untuk debridement panggul yang selanjutnya
thrombophlebitis.

L. PROGNOSIS

Kecacatan pada skrotum, perineum, penis, dan kulit di perut memerlukan prosedur
rekonstruksi. Prognosis untuk pasien setelah rekonstruksi Fournier gangren biasanya baik.
Skrotum memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan regenerasi setelah infeksi dan terjadi
nekrosis Namun demikian, sekitar 50% dari laki-laki dengan keterlibatan penis mengalami
sakit dengan ereksi, sering berhubungan dengan jaringan parut pada daerah genital. Jika
jaringan lunak yang luas hilang, mungkin terjadi gangguan pada drainase limfatik, sehingga
terjadi, edema dan selulitis. Fournier Gangrene Severity Index (FGSI) mendasar pada
penyimpangan dari rentang referensi parameter klinis berikut1&16:
• Suhu
• Denyut jantung
• Pernapasan Tingkat
• Darah putih jumlah sel
• Hematokrit
• Serum natrium
• Serum kalium
• Serum kreatinin
• Serum bikarbonat

Resiko kematian berbanding lurus dengan usia pasien dan tingkat toksisitas sistemik
pada saat masuk, serta keterlibatan jaringan lokal. Prognosis yang lebih baik ada pada usia
yang lebih muda dari 60 tahun, penyakit klinis lokal, tidak adanya toksisitas sistemik
(misalnya, FGSI rendah), dan kultur darah steril. Pada penyakit diabetes dan infeksi HIV tidak
terkait dengan kematian yang lebih tinggi. Dalam beberapa penelitian, Fournier gangren yang
berasal dari penyakit anorektal membawa prognosis yang lebih buruk daripada kasus yang
disebabkan oleh faktor-faktor lain. Tingkat kematian dilaporkan untuk Fournier gangren
bervariasi mulai setinggi 75%. Namun, dalam 600 kasus Fournier gangren ditemukan 100
kematian terjadi untuk tingkat kematian 16,5%. Dalam seri yang mencakup lebih dari 20
pasien, angka kematian berkisar 4-54%, dengan sebagian besar studi melaporkan tingkat
kematian dari 20-30%. Faktor yang terkait dengan kematian yang tinggi termasuk sumber
anorektal, usia lanjut, penyakit yang luas (melibatkan dinding perut atau paha), syokatau sepsis
pada presentasi, gagal ginjal, dan disfungsi hati. Kematian biasanya terjadi akibat penyakit
sistemik seperti sepsis (biasanya gram negatif), koagulopati, gagal ginjal akut, diabetik
ketoasidosis, atau kegagalan organ multipel. Mortalitas pada tetanus yang terkait dengan
Fournier gangren telah dilaporkan dalam literatur.

M. PROGNOSIS
Kecacatan pada skrotum, perineum, penis, dan kulit di perut memerlukan prosedur
rekonstruksi. Prognosis untuk pasien setelah rekonstruksi Fournier gangren biasanya baik.
Skrotum memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan regenerasi setelah infeksi dan terjadi
nekrosis. Namun demikian, sekitar 50% dari laki-laki dengan keterlibatan penis mengalami
sakit dengan ereksi, sering berhubungan dengan jaringan parut pada daerah genital. Jika
jaringan lunak yang luas hilang, mungkin terjadi gangguan pada drainase limfatik, sehingga
terjadi edema dan selulitis.
Fournier Gangrene Severity Index (FGSI) mendasar pada penyimpangan dari rentang
referensi parameter klinis berikut: suhu, denyut jantung, pernapasan tingkat, darah putih jumlah
sel, hematokrit, serum natrium, serum kalium, serum kreatinin, serum bikarbonat.
Resiko kematian berbanding lurus dengan usia pasien dan tingkat toksisitas sistemik
pada saat masuk, serta keterlibatan jaringan lokal. Prognosis yang lebih baik ada pada usia
yang lebih muda dari 60 tahun, penyakit klinis lokal, tidak adanya toksisitas sistemik
(misalnya, FGSI rendah), dan kultur darah steril. Pada penyakit diabetes dan infeksi HIV tidak
terkait dengan kematian yang lebih tinggi. Dalam beberapa penelitian, Fournier gangren yang
berasal dari penyakit anorektal membawa prognosis yang lebih buruk daripada kasus yang
disebabkan oleh faktor-faktor lain.
Tingkat kematian dilaporkan untuk Fournier gangren bervariasi mulai setinggi 75%.
Namun, dalam 600 kasus Fournier gangren ditemukan 100 kematian terjadi untuk tingkat
kematian 16,5%. Dalam seri yang mencakup lebih dari 20 pasien, angka kematian berkisar 4-
54%, dengan sebagian besar studi melaporkan tingkat kematian dari 20-30%. Faktor yang
terkait dengan kematian yang tinggi termasuk sumber anorektal, usia lanjut, penyakit yang luas
(melibatkan dinding perut atau paha), syok atau sepsis pada presentasi, gagal ginjal, dan
disfungsi hati. Kematian biasanya terjadi akibat penyakit sistemik seperti sepsis (biasanya gram
negatif), koagulopati, gagal ginjal akut, diabetik ketoasidosis, atau kegagalan organ multipel.
SEPSIS

A. DEFINISI DAN KLASIFIKASI

Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam nyawa yang disebabkan oleh respon
host yang tidak teratur terhadap infeksi. Sepsis dan syok sepsis adalah masalah kesehatan besar
yang terjadi pada jutaan orang di dunia setiap tahunnya. Identifikasi dini dan penanganan yang
tepat dapat meningkatkan hasil yang baik. Syok sepsis adalah bagian dari sepsis dengan
disfungsi sirkular atau selular atau metabolik yang terkait dengan resiko kematian yang tinggi.

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan
positif terhadap organisme dan tempat tersebut). Biakan darah tidak harus positif. Meskipun
SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus
terdapat bakterimia. Bakterimia adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen caira darah.
Bakterimia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa,
primer (tanpa focus infeksi teridentifikasi) atau seringkali sekunder terhadap focus infeksi
intravaskular atau ekstravaskular.

Tabel 2.1 Derajat Sepsis (Sumber: Chen et. al, 2009)

Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS : systemic inflammatory response syndrome)


Respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih keadaan berikut :
- Suhu > 380C atau < 360C
- Frekuensi Jantung > 90x/menit
- Frekuensi Napas > 20x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
- Lekosit darah > 12.000/mm3, < 4.000/mm3 atau batang > 10%
Sepsis
Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS.
Sepsis berat
Sepsis yang disertai MODS/MOF (Multi Organ Dysfunction Syndrome/Multi Organ
Failure), hipotensi oligouri bahkan anuri.

Sepsis dengan hipotensi


Sepsis dengan hipotensi (tek. Sistolik < 90 mmHg atau penurunan tek. Sistolik > 40 mmHg).

Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang
diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai
hipoperfusi jaringan

Hal yang terpenting adalah dengan memasukkan petanda biomolekular yaitu


procalcitonin (PCT) dan C-recative protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosa
sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan
Predisposition, Insult Infection, Response and Organ Dysfunction (PIRO) untuk menentukan
pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan
risiko yang individual.

Gambar 1. Predisposisi, Infeksi, Respon, Disfungsi Organ

Tabel 2.2 Pre Predisposisi, Infeksi, Respon, Disfungsi Organ


B. ETIOLOGI

Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70% (Pseudomonas
auriginosa, Klebsiella, Enterobacter, E-coli, Proteus, Neisseria). Infeksi bakteri gram positif
20 – 40% (Staphylococcus aureus, Streptococcus, Pneumococcus), infeksi jamur dan virus 2 –
3% (Dengue Haemorrhagic Fever, Herpes Virus), Protozoa (Malaria Falciparum).
Insidensnya meningkat, antara lain karena :
a. pemberian antibiotik yang berlebihan;
b. meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif;
c. meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasif seperti kateter
intravaskuler;
d. meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama;
e. meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap
antibiotik.

Tabel 2.3 Penyebab umum sepsis pada orang sehat

Sumber Mikroorganisme
Kulit Staphylococcus aureus dan gram positif
bentuk cocci lainnya
Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif bentuk
batang lainnya
Saluran pernapasan Streptococcus pneumonia
Usus dan kantung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan gram
negatif bentuk batang lainnya, Bacteriodes
fragilis
Organ pelvis Neisseria gonorrhea, anaerob
Tabel 2.4 Penyebab umum sepsis pada pasien yang dirawat

Masalah Klinis Mikroorganisme


Pemasangan kateter Eschericia coli, Klebsiella spp., Proterus
spp., Serratia spp., Pseudomonas spp.
Penggunaan IV catheter Staphylococcus aureus, Staph. Epidermidis,
Klebsiella spp., Pseudomonas spp., Candida
albicans
Setelah operasi :
• Wound infection Staph. Aureus, E. coli, anaerob (tergantung
lokasinya
• Deep infection Tergantung lokasi anatominya
Luka bakar Coccus gram-positif, Pseudomonas spp.,
Candida albicans
Pasien immunocompromised Semua mikroorganisme diatas

C. EPIDEMIOLOGI

Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram negatif
di AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini meningkat
antara 300.000-500.000 kasus pertahun (Bone 1987, Root 1991).
Syok akibat sepsis terjadi karena adanya respon sistemik pada infeksi yang serius.
Walaupun insiden syok sepsis ini tak diketahui namun dalam beberapa tahun terakhir hal ini
cukup tinggi. Hal ini disebabkan cukup banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis
antara lain diabetes melitus, sirosis hati, alkoholisme, leukemia, limfoma, keganasan, obat
sitotoksis dan imunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde, infeksi traktus urinarius dan
gastrointestinal. Terjadinya syok septik akan meningkat jika dokter melakukan tindakan
operasi yang lebih agresif, organisme yang ada semakin resisten, dan penurunan daya tahan
tubuh akibat penyakit dan penggunaan obat imunosupresan. Di AS syok sepsis adalah
penyebab kematian yang sering di ruang ICU.
D. PATOFISIOLOGI

Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada bakteri
gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam plasma,
dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh hepatosit,
diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian
akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS
akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan
dengan CD14.1,2 Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui
nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor
transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14
terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid
(LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan
sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang
menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen
presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam
jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih.

Peran Sitokin pada Sepsis


Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi
dan invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator
inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik,
aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi
kaskade protein plasma seperti komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid,
oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator
antiinflamasi seperti sitokin antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut,
inhibitor proteinase dan berbagai hormon (Widodo, 2004).
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang
terpenting adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan IL-
10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel menyebabkan
permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi trombomodulin
sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1, ELAM,
V-CAM1, PDGF, hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2,
pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 yang merupakan mediator
primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2),
tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti
bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin
di samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari sistem komplemen (Nelwan,
2004).
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi
pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi antiinflamasi .

Peran Komplemen pada Sepsis


Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi,
aktivasi respons imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk
inflamasi dari sirkulasi. Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur
alternatif, selain jalur klasik. Potongan fragmen pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a
dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan pada reseptor di sel menimbulkan respons
inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi pembentukan radikal
oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan ekspresi faktor
jaringan (Widodo, 2004).

Peran NO pada Sepsis


NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus
vaskular. Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan
gangguan hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan reaksi
inflamasi karena dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul
adhesi dan menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO pada sepsis
berkaitan dengan renjatan septik yang tidak responsif dengan vasopresor (Widodo,
2004).

Peran Netrofil pada Sepsis


Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan
pengaruh mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam sirkulasi
umumnya meningkat, walaupun pada sepsis berat jumlahnya dapat menurun. (Widodo,
2004). Netrofil seperti pedang bermata dua pada sepsis. Walaupun netrofil penting
dalam mengeradikasi kuman, namun pelepasan berlebihan oksidan dan protease oleh
netrofil dipercaya bertanggungjawab terhadap kerusakan organ. (Hotckin, 2003).
Terdapat 2 studi klinis yang menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk
mencegah komplikasi sepsis tidak efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan
fungsi netrofil pada pasien dengan sepsis juga tidak efektif (Hotckin, 2003).
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan
vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer.
Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas
vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan terjadinya hipovolemia relatif,
sedangkan pe ningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan
intravaskular ke interstisial yang terlihat sebagai edema.
Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan
perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen
karena toksin kuman (anonim, 2008).
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan gangguan
fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multiple
(MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat seluler
(termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat
hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut
berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant
substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada
eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Khei Chen, 2006).
E. MANIFESTASI KLINIS
SEPSIS

• Suhu tubuh >38.3oC atau <36oC


• Nadi >90x/menit
• Laju pernafasan >20x/menit

SEPSIS BERAT

• Penurunan urine output secara signifikan


• Perubahan status kesadaran
• Penurunan jumlah trombosit
• Kesulitan bernafas
• Denyut jantung abnormal
• Nyeri perut

SYOK SEPSIS

• Tanda-tanda sepsis berat dengan tekanan darah yang sangat rendah dan
tidak merespon cairan yang diberikan

a. Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.
b. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras
dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan
ekstremitas hangat.
c. Disertai tanda-tanda sepsis.
d. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari,
perubahan status mental.

Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik,
takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis
(tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan tersangka
sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau lekopenia,
trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), LED
meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda
syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan
penurunan tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam,
tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis
dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia,
kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis

• Menentukan apakah infeksi didapat dari komunitas atau nosocomial atau apakah pasien
imunokompromais
• Demam
• Sesak napas
• Disorientasi, bingung, perubahan status mental
• Perdarahan
• Mual, muntah, diare

Pemeriksaan Fisik

• Hipotensi
• Sianosis
• Nekrosis iskemik jaringan perifer, umumnya jari
• Selulitis, pustule, bula atau lesi hemoragik pada kulit
• Ikterik
• Pemeriksaan fisik lengkap untuk mencari sumber infeksi

Pemeriksaan penunjang

• Darah perifer lengkap dengan hitung diferensial


• Urinalisis
• Gambaran koagulasi
• Glukosa darah
• Ureum, kreatinin
• Tes fungsi hati
• Kadar asam laktat
• Analisis gas darah
• Biakan darah, (minimal 2 set dalam 24 jam), seputum, urin, dan tempat lain yang
dicurigai terinfeksi.
• Pemeriksaan radiologi (X-ray, CT Scan, USG, MRI) jika lokasi infeksi tidak begitu
jelas

G. TATALAKSANA

EGDT (early goal directed therapy) merupakan upaya untuk menentukan titik akhir
resusitasi untuk membantu menyadarkan pasien pada syok sepstik. 2 yang penting dari EGDT
termasuk :
1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg

2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg

3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%

4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan


oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik).

Nonfarmakologis

• Stabilisasi pasien (pemulihan airway, breathing, circulation)


• Perawatan ICU
• Dialisis
• Nutrisi, pemantauan glukosa hingga < 150 mg/dL setiap 1 – 2 jam hingga
4 hari
• Transfusi darah PRC apabila Hb < 7gr/dL, TC apabila trombosit < 5000
tanpa perdarahan atau 5000 – 30000dengan perdarahan
• Menghilangkan focus infeksi (penyaluran eksudat purulent, nekrotomi,
drainase abses)

Farmakologis

• Cairan kristaloid atau koloid


• Obat – obatan vasoaktif untuk kondisi syok: dopamine (> 8
mcg/kg/menit), norepinefrin (0,03 – 1,5 mcg/kg/menit), epinefrin (0,1 –
0,5 mcg /kg/menit) atau fenilefrin (0,5 – 8 mcg/kg/menit)
• Dalam 6 jam pertama, target resusitasi adalah: tekanan vena sentral 8 -12
mmHg, MAP ≥ 65 mmHg, urin output ≥ 0,5 ml/kg/jam, saturasi oksigen
vena sentral atau campuran berturut – turut ≥ 70% atau ≥ 65%. Target
tekanan vena sentral pada penggunaan ventilasi mekanik atau penurunan
compliance ventrikel adalah12 – 15 mmHg.
• Sodium bikarbonat bila pH < 7,2 atau bikarbonat serum < 9 meq/L
• Antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton pada sepsis berat
untuk mencegah stress ulcer
• Kortikosteroid dosis rendah (hidrokortison 200 – 300 mg/hari terbagi
dalam 3 – 4 dosis selama 7 hari) bila terbukti insufisiensi adrenal
• Bila terdapat KID(Koagulasi Intravaskular Diseminata) dan didapatkan
bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin dengan dosis 100
IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15 – 25 IU/kgBB/jam dengan infus kontinu,
dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5 – 2 kali control
atau antikoagulan lainnya.
• Antimikroba empiric diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dengan
kuman penyabab, profil antimikroba (farmakokinetik dan farmako
dinamik), keadaan fungsi ginjal dan fungsi hati. Antimikroba definitive
diberikan bila hasil kultur mikroorganisme telah diketahui, antimikroba
dapat diberikan sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme. Antimikroba
yang dipakai adalah yang dianggap menimbulkan masalah yang lebih
banyak. Antimikroba yang dianggap tidak menyebabkan perburukan
adalah : karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida,
kuinolon.

Berikut adalah pilihan antimikroba sesuai sumber infeksi :


- Pneumonia komuniti : 2 regimen obat, yaitu sefalosporin generasi 3
(seftriakson 1x1 gr selama 2 minggu) atau keempat (sefepim 2x2 gr
selama 2 minggu) dan aminoglikosida (gentamisin iv atau im
2mg/kgBB dilanjutkan dengan 3 x 1,7 mg/kgBB atau 1 x 5 mg/kgBB
selama 14 – 21 hari atau amikacin 1 x 15 mg/kgBB atau tobramisin
1 x 1,7 mg/kgBB)
- Pneumonia nosocomial : Sefepim (2x2 gr selama 2 minggu) atau
imipenem – silastatin (4x0,5 gr) dan aminoglikosida
- Infeksi abdomen : imipenem – silastatin (4x0,5 gr) atau piperasilin
– tazobaktam (4 – 6x3,375gr) dan aminoglikosida
- Infeksi abdomen nosocomial : imipenem – silastatin (4x0,5 gr) dan
aminoglikosida atau piperasilin – tazobaktam (4 – 6x3,375 g) dan
amfoterisin B (dosis inisial 0,25 – 0,3 mg/kgBB/hari, tingkatkan
perlahan – lahan hingga mencapai dosis biasa 0,5 – 1 mg/kgBB atau
hingga 1,5 mg/kgBB, pada keadaan mengancam nyawa dosis inisial
dapa langsung diberikan 0,6 – 0,7mg/kgBB).
- Kulit/jaringan lunak nosocomial : vankomisin (2x15 mg/kgBB) dan
sefepim (2x2 gr selama 2 minggu)
- Infeksi traktus urinarius : siprofloksasin (2x400 mg) dan
aminoglikosida
- Infeksi traktur urinarius nosocomial : vankomisin (2x15 mg/kgBB)
dan sefepim (2x2 gr selama 2 minggu)
- Infeksi SSP : vankomisin (2x15 mg/kgBB) dan sefalosporin
generasi ketiga atau meropenem (3x1 gr)
- Infeksi SSP nosocomial : meropenem (3x1 gr) dan vankomisin
(2x15 mg/kgBB)

6 – Hour Bundle

• Untuk dilengkapi dalam 3 jam :


o Ukur tingkat laktat
o Dapatkan kultur darah sebelum pemberian antibiotic
o Berikan antibiotic spectrum luas
o Berikan 30 ml/Kg cairan kristaloid
• Dilengkapi dalam 6 jam :
o Masukkan vassopresor (untuk hipotensi yang tidak merespon resusitasi cairan
awal) untuk mempertahankan Tekanan arteri rata – rata (MAP) ≥ 65 mmHg.
o Jika terjadi hipotensi terus – menerus setelah pemberian cairan awal (MAP <
65 mmHg) atau jika laktat awal ≥ 4 mmol/L, periksa lagi status volume dan
perfusi jaringan
o Ulangi lagi jika hasil laktat awal meningkat.

A. RESUSITASI AWAL
1. Sepsis dan syok septik adalah keadaan darurat medis, dan direkomendasikan agar
perawatan dan resusitasi segera dimulai (BPS).
2. Dalam resusitasi dari hipoperfusi yang diinduksi sepsis, setidaknya 30 mL / kg cairan
kristaloid IV diberikan dalam 3 jam pertama.(rekomendasi kuat, kualitas bukti rendah)
3. Setelah resusitasi cairan awal, cairan tambahan dipandu oleh penilaian ulang status
hemodinamik yang sering (BPS). Penilaian ulang harus mencakup pemeriksaan klinis
menyeluruh dan evaluasi variabel fisiologis yang tersedia (denyut jantung, tekanan
darah, saturasi oksigen, tingkat pernapasan, suhu, urin output, dan lain-lain) serta
pemantauan invasif atau non-invasif lainnya.
4. Penilaian hemodinamik lebih lanjut (seperti menilai fungsi jantung) untuk menentukan
jenis syok jika pemeriksaan klinis tidak menyebabkan diagnosis yang jelas (BPS).
5. Variabel dinamis digunakan untuk memprediksi respon cairan, jika tersedia
(rekomendasi lemah, rendahnya kualitas bukti).
6. Target awal rata-rata tekanan arteri (MAP : mean arterial pressure) dari 65 mm Hg
pada pasien dengan syok septik membutuhkan vasopresor (rekomendasi kuat, kualitas
bukti moderat).
7. Resusitasi untuk menormalkan laktat pada pasien dengan tingkat laktat yang tinggi
sebagai penanda hipoperfusi jaringan (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).

Hipoperfusi yang diinduksi sepsis dapat dimanifestasikan oleh disfungsi organ akut dan
/ atau ± penurunan tekanan darah dan peningkatan serum laktat. Oleh karena itu,
direkomendasikan agar pasien ini dipandang memiliki keadaan darurat medis yang
memerlukan penanganan dan penilaian segera. Sebagai bagian dari ini, agar resusitasi
cairan awal dimulai dengan 30 mL / kg kristaloid dalam 3 jam pertama. Volume fluida
tetap ini memungkinkan klinisi untuk memulai resusitasi sambil mendapatkan informasi
yang lebih spesifik mengenai pasien dan sambil menunggu pengukuran hemodinamik yang
lebih tepat.
Evaluasi harus dimulai dengan pemeriksaan klinis menyeluruh dan evaluasi fisiologis
yang dapat menggambarkan keadaan klinis pasien (denyut jantung, tekanan darah, saturasi
oksigen, pernapasan, suhu, urin output, dan lainnya).
MAP (Mean Arteri Pressure) adalah tekanan penggerak perfusi jaringan. Sementara
perfusi organ penting seperti otak atau ginjal dapat terlindungi dari hipotensi sistemik oleh
autoregulasi perfusi regional, di bawah ambang batas MAP, perfusi jaringan menjadi tidak
bergantung secara linear pada tekanan arteri. Menargetkan MAP 85 mmHg menghasilkan
risiko aritmia yang jauh lebih tinggi secara signifikan, namun subkelompok pasien dengan
hipertensi kronis terdiagnosis sebelumnya memiliki kebutuhan terapi renal replacement
(RRT) yang berkurang pada MAP yang lebih tinggi ini.
Peningkatan kadar laktat serum dapat mewakili hipoksia jaringan, glikolisis aerobik
yang dipercepat yang didorong oleh stimulasi beta-adrenergik berlebih, atau penyebab
lainnya (misalnya, gagal hati). Karena laktat adalah tes laboratorium standar dengan teknik
yang ditentukan untuk pengukurannya, ini mungkin berfungsi sebagai pengganti yang lebih
obyektif untuk perfusi jaringan dibandingkan dengan pemeriksaan fisik atau keluaran urin.

B. SKRINING SEPSIS DAN PENINGKATAN KINERJA


1. Kami merekomendasikan bahwa rumah sakit dan sistem rumah sakit memiliki program
peningkatan kinerja untuk sepsis, termasuk skrining sepsis untuk pasien berisiko tinggi
akut (BPS).

C. DIAGNOSIS
1. Sebaiknya kultur mikrobiologi rutin yang sesuai (termasuk darah) dapat diperoleh
sebelum memulai terapi antimikroba pada pasien dengan dugaan sepsis atau syok septik
jika tidak menyebabkan penundaan substansial pada awal antimikroba (BPS).

Pada pasien dengan dugaan sepsis atau syok septik, kultur mikrobiologi rutin yang
sesuai harus diberikan sebelum memulai terapi antimikroba dari semua lokasi yang
dianggap sebagai sumber infeksi potensial jika tidak mengakibatkan penundaan substansial
pada awal antimikroba. Ini mungkin termasuk darah, cairan serebrospinal, urin, luka,
sekresi pernapasan, dan cairan tubuh lainnya, namun biasanya tidak termasuk sampel yang
memerlukan prosedur invasif seperti bronkoskopi atau operasi terbuka.
Pada pasien yang berpotensi mengalami septik dengan kateter intravaskular (di tempat>
48 jam) di tempat infeksi tidak terlihat secara klinis atau kecurigaan adanya infeksi terkait
kateter intravaskular ada, setidaknya satu set kultur darah harus diperoleh dari kateter
(bersama Dengan kultur darah perifer simultan). Hal ini dilakukan untuk membantu
diagnosis infeksi aliran darah terkait kateter yang potensial.
Pada pasien tanpa kecurigaan adanya infeksi yang berhubungan dengan kateter dan di
tempat dugaan infeksi klinis lain, setidaknya satu kultur darah (dari dua atau lebih yang
dibutuhkan) harus diperoleh secara perifer.

D. TERAPI ANTIMIKROBA
1. Kami merekomendasikan agar pemberian antimikroba IV dimulai sesegera mungkin
setelah dikenali dan dalam 1 jam untuk sepsis dan syok septik (rekomendasi kuat,
kualitas bukti sedang; grade berlaku untuk kedua kondisi).
Dengan adanya sepsis atau syok septik, setiap penundaan jam dalam pemberian
antimikroba yang sesuai dikaitkan dengan peningkatan mortalitas yang terukur. Dalam
memilih rejimen antimikroba, beberapa agen antimikroba (terutama β-laktam)
memiliki keuntungan untuk dapat dengan aman diberikan sebagai bolus atau infus yang
cepat, sementara yang lainnya memerlukan infus yang panjang. Jika akses vaskular
terbatas dan banyak agen yang berbeda harus diinfuskan, obat-obatan yang dapat
diberikan sebagai bolus atau infus cepat dapat memberi keuntungan bagi pencapaian
tingkat terapeutik dengan cepat untuk dosis awal.
Di samping itu, persiapan intramuskular disetujui dan tersedia untuk beberapa
lini pertama β-laktam, termasuk imipenem / cilastatin, sefepim, ceftriaxone, dan
ertapenem. Β-laktam lini pertama juga dapat diberikan secara efektif secara
intramuskular dalam situasi darurat jika akses vaskular dan intraosseus tidak tersedia,
walaupun persetujuan peraturan untuk pemberian intramuskular untuk obat-obatan ini
kurang.
2. Kami merekomendasikan terapi spektrum luas empiris dengan satu atau lebih
antimikroba untuk pasien yang mengalami sepsis atau syok septik untuk mencakup
semua kemungkinan patogen (termasuk cakupan bakteri dan berpotensi jamur atau
viral) (rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).
3. Kami menyarankan agar terapi antimikroba empiris disempit begitu identifikasi dan
sensitivitas patogen ditetapkan dan / atau perbaikan klinis yang memadai dicatat (BPS).
Faktor-faktor utama pasien termasuk sifat sindrom klinis / tempat infeksi,
penyakit yang menyertai, kegagalan organ kronis, obat-obatan, alat tinggal, adanya
imunosupresi atau bentuk imunokompromi lainnya, infeksi atau kolonisasi yang
diketahui baru-baru ini dengan patogen tertentu, dan tanda terima Antimikroba dalam
tiga bulan sebelumnya.
Patogen yang paling umum yang menyebabkan syok septik adalah bakteri gram
negatif, gram positif, dan mikroorganisme bakteri campuran. kandidiasis invasif,
sindrom syok toksik, dan berbagai patogen jarang harus dipertimbangkan pada pasien
tertentu. Pasien dengan infeksi nosokomial rentan terhadap sepsis dengan Methicillin
Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) dan Vancomisin Resistant Enterococci.
Beberapa faktor harus dinilai dan digunakan dalam menentukan rejimen
antimikroba yang sesuai di setiap pusat kesehatan dan untuk setiap pasien. Ini termasuk:
o Bagian anatomi infeksi sehubungan dengan profil patogen yang khas dan sifat-
sifat antimikroba individu untuk menembus bagian tersebut.
o Prevalensi patogen di dalam masyarakat, rumah sakit, dan bahkan bangsal rumah
sakit.
o Pola resistensi dari patogen yang umum.
o Adanya defek imun spesifik seperti neutropenia, splenektomy, infeksi HIV yang
tidak terkontrol dengan baik dan defisiensi imunoglobulin, komplemen atau
leukosit atau bawaan yang didapat atau bawaan.
o Komorbiditas usia dan pasien termasuk penyakit kronis (mis., Diabetes) dan
disfungsi organ kronis (misalnya, gagal hati atau ginjal), adanya perangkat invasif
(misalnya, jalur vena sentral atau kateter urin) yang membahayakan pertahanan
terhadap infeksi. Karena sebagian besar pasien dengan sepsis berat dan syok septik
memiliki satu atau lebih bentuk imunokompromais, rejimen empiris awal harus
cukup luas untuk menutupi sebagian besar patogen yang terisolasi pada infeksi
terkait perawatan kesehatan.
Paling sering, spektrum luas carbapenem (misalnya, meropenem, imipenem /
cilastatin atau doripenem) atau long-range kombinasi penisilin / β-laktamase
inhibitor (misalnya, piperacillin / Tazobactam atau tikarsilin / klavulanat)
digunakan.
Penambahan agen gram-negatif tambahan ke rejimen empirik
direkomendasikan untuk pasien septik yang sakit parah dengan risiko tinggi
terinfeksi dengan patogen tahan-multidrug semacam itu (misalnya Pseudomonas,
Acinetobacter, dll.) Untuk meningkatkan probabilitas paling sedikit satu orang
yang aktif. Agen sedang diurus. Vancomycin, teicoplanin, atau agen anti-MRSA
lainnya dapat digunakan saat faktor risiko MRSA ada. Risiko infeksi yang
signifikan dengan spesies Legionella mengamanatkan penambahan makrolida atau
fluoroquinolone.

Dokter juga harus mempertimbangkan apakah spesies Candida kemungkinan


patogen saat memilih terapi awal. Faktor risiko infeksi jamur Candida meliputi
status immunocompromised (neutropenia, kemoterapi, transplantasi, diabetes
melitus, gagal hati kronis, gagal ginjal kronis), perangkat vaskular invasif yang
berkepanjangan (kateter hemodialisis, kateter vena sentral), nutrisi parenteral total,
pankreatitis nekrosis, mayor baru-baru ini Operasi (terutama abdominal),
pemberian antibiotik broad spectrum yang berkepanjangan, penerimaan rumah
sakit / ICU yang berkepanjangan, infeksi jamur baru-baru ini, dan kolonisasi
multisite. Penggunaan empiris dari echinocandin (anidulafungin, micafungin, atau
caspofungin) lebih disukai pada kebanyakan pasien dengan penyakit parah,
terutama pada pasien dengan syok septik, yang baru saja diobati dengan agen
antijamur lainnya, atau jika Candida glabrata atau infeksi Candida krusei dicurigai.
Dari data budaya sebelumnya. Triazol dapat diterima pada penderita hemodinamik
stabil, kurang sakit yang belum pernah terpapar triazol sebelumnya dan tidak
diketahui terjajah dengan spesies tahan azol. Formulasi liposomal amfoterisin B
adalah alternatif yang masuk akal untuk echinocandins pada pasien dengan
intoleransi echinocandin atau toksisitas.

Pasien dengan sepsis atau syok septik umumnya menganjurkan terapi spektrum
luas empiris sampai organisme penyebab dan kerentanan antimikrobanya
didefinisikan. Pada titik itu, spektrum cakupan harus dipersempit dengan
menghilangkan antimikroba yang tidak dibutuhkan dan mengganti agen spektrum
luas dengan agen yang lebih spesifik.
Bila infeksi ditemukan tidak ada, terapi antimikroba harus segera dihentikan
untuk meminimalkan kemungkinan pasien terinfeksi dengan patogen antimikroba
atau mengembangkan efek samping yang terkait dengan obat.
4. Kami merekomendasikan untuk melawan profilaksis antimikroba sistemik yang
berkelanjutan pada pasien dengan keadaan inflamasi parah yang tidak menular (mis.,
Pankreatitis parah, luka bakar luka bakar) (BPS).
Respon inflamasi sistemik tanpa infeksi tidak mewajibkan terapi antimikroba.
Jika ada kecurigaan yang kuat terhadap sepsis atau syok septik pada pasien dengan
keadaan inflamasi parah yang tidak menular (walaupun ada presentasi klinis yang
tumpang tindih), terapi antimikroba ditunjukkan.
5. Sebaiknya strategi pemberian dosis antimikroba dioptimalkan berdasarkan prinsip
farmakokinetik / farmakodinamik yang diterima dan sifat obat spesifik pada pasien
dengan sepsis atau syok septik (BPS).
Tingkat keberhasilan klinis untuk pengobatan infeksi serius berkorelasi dengan
tingkat puncak darah yang lebih tinggi fluoroqiunolon (Pneumonia nosocomial, dan
infeksi serius lainnya) dan aminoglikosida (bakteri gram negative, pneumonia
nosocomial, dan infeksi serius lainnya). Untuk β-laktam, pengobatan klinis dan
mikrobiologi yang superior tampaknya terkait dengan durasi konsentrasi konsentrat
plasma yang lebih lama di atas MIC (minimum inhibitory concentration) pathogen
terutama pada pasien yang kritis.
Untuk aminoglikosida, ini paling mudah dicapai dengan dosis sekali sehari (5 –
7 mg/kg setara gentamisin setiap hari). Dosis sekali sehari menghasilkan setidaknya
kemanjuran klinis yang sebanding dengan kemungkinan penurunan toksisitas ginjal
dibandingkan dengan rejimen dosis ganda setiap hari. Pasien dengan gangguan fungsi
ginjal kronis ringan masih harus menerima dosis setara satu kali sehari tetapi biasanya
akan memiliki jangka waktu lebih lama sebelum dosis berikutnya.
Vancomycin adalah antibiotik lain yang kemanjurannya setidaknya bergantung
pada konsentrasi parsial. Dosis pada target 15-20 mg / L direkomendasikan oleh
beberapa pihak untuk memaksimalkan kemungkinan pencapaian target
farmakodinamik yang sesuai, memperbaiki penetrasi jaringan, dan mengoptimalkan
hasil klinis. Untuk sepsis dan syok septik, dosis pemuatan IV 25-30 mg / kg
(berdasarkan berat badan sebenarnya) disarankan untuk mencapai target dengan cepat
melalui konsentrasi obat.
Kami menyarankan sebelumnya bahwa dosis awal β-laktam dapat diberikan
sebagai bolus atau infus cepat untuk mencapai tingkat darah terapeutik dengan cepat.
Beberapa meta-analisis menunjukkan bahwa infus β-laktam yang diperpanjang / terus
menerus mungkin lebih efektif daripada infus cepat intermiten, terutama untuk
organisme yang relatif resisten dan pada pasien yang sakit kritis dengan sepsis.
Kelompok sasaran pasien yang sakit kritis dan septik menunjukkan berbagai
gangguan fisiologis yang secara dramatis mengubah farmakokinetik antimikroba. Ini
termasuk hemodinamik yang tidak stabil, peningkatan curah jantung, peningkatan
volume ekstraselular (peningkatan volume distribusi), perfusi ginjal dan hati yang
bervariasi (mempengaruhi pemberian obat) dan pengikatan obat yang berubah karena
albumin serum berkurang.
6. Kami menyarankan terapi kombinasi empiris (menggunakan setidaknya dua antibiotik
dari berbagai kelas antimikroba) yang ditujukan pada patogen bakteri yang paling
mungkin untuk penanganan awal syok septik (rekomendasi lemah, kualitas bukti
rendah).
7. Kami menyarankan agar terapi kombinasi tidak rutin digunakan untuk perawatan yang
terus menerus terhadap sebagian besar infeksi serius lainnya, termasuk bakteremia dan
sepsis tanpa syok (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
8. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan terapi kombinasi untuk
pengobatan rutin sepsis / bakteriemia neutropenik (rekomendasi kuat, kualitas bukti
moderat).
9. Jika terapi kombinasi awalnya digunakan untuk syok septik, kami merekomendasikan
de-eskalasi dengan penghentian terapi kombinasi dalam beberapa hari pertama dalam
menanggapi perbaikan klinis dan / atau bukti adanya resolusi infeksi. Ini berlaku untuk
terapi kombinasi yang ditargetkan (untuk infeksi positif kultur) dan terapi kombinasi
empiris (untuk infeksi kultur-negatif) (BPS).
Ungkapan “terapi kombinasi” dalam konteks pedoman ini berkonotasi
penggunaan dua kelas yang berbeda antibiotik (biasanya β-laktam dengan
fluorokuinolon, aminoglikosida, atau makrolida) untuk patogen diduga tunggal
diharapkan peka terhadap keduanya, terutama untuk Tujuan mempercepat pembersihan
pathogen. Istilah ini tidak digunakan di mana tujuan strategi multidrug adalah untuk
secara ketat memperluas jangkauan aktivitas antimikroba (misalnya, vankomisin yang
ditambahkan ke ceftazidime, metronidazol ditambahkan ke aminoglikosida atau
echinocandin yang ditambahkan ke β-laktam).
Bukti yang menunjukkan manfaat terapi kombinasi dalam syok septik,
pendekatan ini belum terbukti efektif untuk pengobatan infeksi serius lainnya, termasuk
bakteremia dan sepsis tanpa syok.
10. Kami menyarankan bahwa durasi pengobatan antimikroba 7-10 hari cukup untuk
sebagian besar infeksi serius yang terkait dengan sepsis dan syok septik (rekomendasi
lemah, kualitas bukti rendah).
11. Kami menyarankan agar kursus yang lebih lama sesuai pada pasien yang memiliki
respons klinis lambat, fokus infeksi yang tidak dapat dilakukan, bakteremia withS.
Aureus, beberapa infeksi jamur dan virus, atau kekurangan imunologis, termasuk
neutropenia (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah)
12. Kami menyarankan agar kursus yang lebih pendek sesuai untuk beberapa pasien,
terutama dengan resolusi klinis yang cepat setelah kontrol sumber efektif sepsis intra-
abdomen atau urin dan yang mengandung pyelonephritis anatomis tidak rumit
(rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
13. Kami merekomendasikan penilaian harian untuk de-eskalasi terapi antimikroba pada
pasien dengan sepsis dan syok septik (BPS).
faktor pasien akan mempengaruhi lamanya terapi antibiotik, durasi pengobatan
7-10 hari (jika tidak ada masalah kontrol sumber) umumnya cukup untuk sebagian
besar infeksi serius. Pedoman saat ini menganjurkan terapi 7 hari terapi untuk
pneumonia nosokomial [baik pneumonia yang diakuisisi di rumah sakit dan ventilator
(VAP)]
Secara khusus, bakteremia S. aureus yang tidak rumit memerlukan terapi
minimal 14 hari, sementara bakteriemia yang rumit memerlukan perawatan sebagai
infeksi endovaskular dengan terapi selama 6 minggu. Bakteri tanpa komplikasi telah
didefinisikan sebagai: (1) pengecualian endokarditis, (2) tidak ada prostesis yang
ditanamkan, 3) hasil negatif dari kultur darah lanjutan yang diambil 2-4 hari setelah set
awal, (4) defensif dalam waktu 72 jam setelah Inisiasi terapi antibiotik yang efektif,
dan (5) tidak ada bukti infeksi metastatic. Sifat dan lokasi infeksi juga dapat
mempengaruhi durasi terapi. Meskipun diketahui bahwa endokarditis memerlukan
terapi antimikroba berkepanjangan, penyakit berat lebih sering muncul sebagai gagal
jantung / syok kardiogenik dan emboli daripada sepsis atau syok septik.
14. Kami menyarankan agar pengukuran tingkat procalcitonin dapat digunakan untuk
mendukung pemendekan durasi terapi antimikroba pada pasien sepsis (rekomendasi
lemah, kualitas bukti rendah).
15. Kami menyarankan agar tingkat procalcitonin dapat digunakan untuk mendukung
penghentian antibiotik empiris pada pasien yang pada awalnya tampak memiliki sepsis,
namun kemudian memiliki bukti infeksi klinis yang terbatas (rekomendasi lemah,
kualitas bukti rendah).
Penggunaan galactomannan dan β-d-glucan untuk membantu dalam penilaian
aspergillus invasif (dan berbagai patogen jamur) telah diterima dengan baik. Kesamaan,
pengukuran serum procalcitonin umumnya digunakan di banyak bagian dunia untuk
membantu diagnosis infeksi akut dan untuk membantu menentukan durasi terapi
antimikroba.

E. SUMBER PENGENDALIAN
1. Kami merekomendasikan bahwa diagnosis anatomis spesifik dari infeksi yang
memerlukan kontrol sumber emergen diidentifikasi atau dikecualikan secepat mungkin
pada pasien dengan sepsis atau syok septik, dan bahwa setiap intervensi pengendalian
sumber yang diperlukan harus dilaksanakan segera setelah dilakukan secara medis dan
logistik setelah diagnosis dilakukan. (BPS).
2. Kami menyarankan agar segera membuang perangkat akses intravaskular yang
merupakan sumber kemungkinan sepsis atau syok septik setelah akses vaskular lainnya
telah ditetapkan (BPS).
Perangkat intravaskular seperti kateter vena sentral bisa menjadi sumber sepsis
atau syok septik. Perangkat intravaskular yang diduga sebagai sumber sepsis umumnya
harus segera diangkat setelah membuat situs lain untuk akses vaskular. Dengan tidak
adanya syok septik dan fungemia, beberapa infeksi kateter terowlet yang
diimplantasikan dapat diobati secara efektif dengan terapi antimikroba yang
berkepanjangan jika pengangkatan kateter tidak praktis.

F. TERAPI CAIRAN
1. Kami merekomendasikan bahwa teknik tantangan cairan diterapkan di mana pemberian
cairan dilanjutkan selama faktor hemodinamik terus meningkatkan (BPS).
2. Kami merekomendasikan kristaloid sebagai cairan pilihan untuk resusitasi awal dan
penggantian volume intravaskular berikutnya pada pasien dengan sepsis dan syok
septik (rekomendasi kuat, kualitas bukti sedang).
3. Kami sarankan baik menggunakan kristaloid seimbang atau saline (garam) untuk
resusitasi cairan pasien dengan sepsis atau syok septik (rekomendasi lemah, rendahnya
kualitas bukti).
4. Sebaiknya gunakan albumin selain kristaloid untuk resusitasi awal dan penggantian
volume intravaskular berikutnya pada pasien dengan sepsis dan syok septik saat pasien
memerlukan sejumlah besar kristaloid (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
5. Kami merekomendasikan agar tidak menggunakan starches hydroxyethyl (HESs)
untuk penggantian volume intravaskular pada pasien sepsis atau syok septik
(rekomendasi kuat, bukti kualitas tinggi).
6. Sebaiknya gunakan kristaloid di atas gelatin saat melakukan resusitasi pasien dengan
sepsis atau syok septik (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
Tidak adanya manfaat yang jelas setelah pemberian koloid dibandingkan
dengan larutan kristaloid pada subkelompok sepsis gabungan, bersamaan dengan biaya
albumin, mendukung rekomendasi kuat untuk penggunaan larutan kristaloid pada
resusitasi awal pasien dengan sepsis dan syok septik.

G. PENGOBATAN VASOAKTIF
1. Kami merekomendasikan norepinephrine sebagai pilihan pertama vasopressor
(rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).
2. Kami menyarankan untuk menambahkan vasopresin (sampai 0,03 U / menit)
(rekomendasi lemah, kualitas bukti sedang) atau epinefrin (rekomendasi lemah, bukti
kualitas rendah) terhadap norepinephrine dengan maksud untuk meningkatkan MAP ke
target, atau menambahkan vasopressin (sampai 0,03 U / menit) (rekomendasi lemah,
kualitas bukti sedang) untuk menurunkan dosis norepinephrine.
3. Sebaiknya gunakan dopamin sebagai agen vasopresor alternatif untuk norepinephrine
hanya pada pasien yang sangat terpilih (misalnya, pasien dengan risiko takiaritmia dan
bradikardi yang rendah atau relatif rendah) (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
4. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan dopamin dosis rendah untuk
perlindungan ginjal (rekomendasi kuat, bukti berkualitas tinggi).
5. Sebaiknya gunakan dobutamin pada pasien yang menunjukkan bukti hipoperfusi
persisten meskipun ada pemuatan cairan yang adekuat dan penggunaan agen
vasopresor (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
Jika dimulai, dosis vasopressor harus dititrasi ke titik akhir yang mencerminkan
perfusi, dan agen dikurangi atau dihentikan dalam menghadapi hipotensi atau aritmia
yang memburuk. Norepinephrine meningkatkan MAP karena efek vasokonstrikonya,
dengan sedikit perubahan denyut jantung dan sedikit peningkatan volume stroke
dibandingkan dengan dopamin. Dopamin meningkatkan MAP dan curah jantung,
terutama karena peningkatan volume stroke dan denyut jantung. Norepinefrin lebih
kuat daripada dopamin dan mungkin lebih efektif dalam membalikkan hipotensi pada
pasien dengan syok septik. Dopamin mungkin sangat berguna pada pasien dengan
fungsi sistolik yang terganggu tetapi menyebabkan lebih banyak takikardia dan
mungkin lebih bersifat aritmogenik dibandingkan norepinefrin. Mungkin juga
mempengaruhi respons endokrin melalui sumbu hipofisis hipotalamus dan mungkin
memiliki efek imunosupresif.
Epinephrine dapat meningkatkan produksi laktat aerobik melalui stimulasi
reseptor β2-adrenergik otot skeletal dan dengan demikian dapat menghalangi
penggunaan clearance laktat untuk memandu resusitasi. Vasopresin dosis rendah
mungkin efektif dalam meningkatkan tekanan darah pada pasien yang tidak tahan
terhadap vasopresor lain dan mungkin memiliki manfaat fisiologis potensial lainnya.
Konsentrasi vasopressin meningkat pada syok septik awal, namun menurun pada
kisaran normal pada sebagian besar pasien antara 24 dan 48 jam karena syok terus
berlanjut. Temuan ini disebut defisiensi vasopressin relatif karena, dengan adanya
hipotensi, vasopresin diperkirakan akan meningkat. Norepinephrine, tetap menjadi
pilihan pertama vasopressor untuk mengobati pasien dengan syok septik.
Dobutamin adalah pilihan pertama inotrop untuk pasien dengan hasil curah
jantung rendah yang diukur atau dicurigai dengan adanya tekanan pengisian ventrikel
kiri yang adekuat (atau penilaian klinis resusitasi cairan yang adekuat) dan MAP yang
memadai. Memantau respons indeks perfusi terhadap peningkatan curah jantung yang
diukur adalah cara terbaik untuk menargetkan terapi semacam itu.
Levosimendan meningkatkan respons kalsium myocyte kalsium dan juga
membuka saluran kalium ATP-dependent, memberi obat baik sifat inotropik maupun
vasodilatasi. Mengingat peran potensial penanganan kalsium abnormal pada depresi
miokard sepsis, penggunaan levosimendan juga telah diusulkan dalam syok septik.
Dengan adanya bukti berkualitas rendah yang tersedia dan biaya yang lebih tinggi
terkait dengan levosimendan, dobutamin tetap menjadi pilihan utama populasi ini.
6. Kami menyarankan bahwa semua pasien yang membutuhkan vasopressor memiliki
kateter arteri ditempatkan sesegera mungkin jika sumber daya yang tersedia
(rekomendasi lemah, kualitas sangat rendah bukti).
Penyisipan kateter arteri radial pada umumnya aman; Tinjauan sistematis
terhadap penelitian observasional menunjukkan kejadian iskemik ekstremitas dan
perdarahan kurang dari 1%, dengan komplikasi yang paling umum adalah hematoma
lokal (14%).
Mengingat tingkat komplikasi yang rendah dan kemungkinan perkiraan tekanan
darah yang lebih baik namun sumber daya yang berpotensi terbatas di beberapa negara,
dan kurangnya studi berkualitas tinggi, manfaat kateter arteri mungkin lebih besar
daripada risikonya.

H. KORTIKOSTEROID
1. Kami menyarankan untuk tidak menggunakan hidrokortison IV untuk mengobati
pasien syok septik jika resusitasi cairan dan terapi vasopressor mampu memulihkan
stabilitas hemodinamik. Jika ini tidak dapat dicapai, kami menyarankan hidrokortison
IV dengan dosis 200 mg per hari (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
Dengan tidak adanya bukti manfaat yang meyakinkan, kami mengeluarkan
rekomendasi yang lemah terhadap penggunaan kortikosteroid untuk mengobati pasien
syok septik jika resusitasi cairan dan terapi vasopressor mampu memulihkan stabilitas
hemodinamik. Steroid sebaiknya tidak digunakan pada pasien septik untuk mencegah
syok septik. Beberapa uji coba secara acak mengenai penggunaan hidrokortison dosis
rendah pada pasien syok septik mengungkapkan peningkatan signifikan hiperglikemia
dan hipernatremia.
I. TRANSFUSI DARAH
1. Kami merekomendasikan bahwa transfusi RBC hanya terjadi bila konsentrasi
hemoglobin turun menjadi <7.0 g / dL pada orang dewasa tanpa keadaan yang
meringankan, seperti iskemia miokard, hipoksemia berat, atau perdarahan akut
(rekomendasi kuat, bukti berkualitas tinggi).
2. Kami merekomendasikan penggunaan eritropoietin untuk pengobatan anemia yang
terkait dengan sepsis (rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).
3. Kami menyarankan agar tidak menggunakan fresh frozen plasma untuk memperbaiki
kelainan pembekuan dengan tidak adanya prosedur invasif atau pendarahan yang
direncanakan (rekomendasi lemah, kualitas bukti yang sangat rendah).
Transfusi plasma beku segar biasanya gagal memperbaiki waktu protrombin
pada pasien yang tidak mengalami kelainan ringan. Tidak ada penelitian yang
menunjukkan bahwa koreksi kelainan koagulasi yang lebih parah bermanfaat bagi
pasien yang tidak mengalami perdarahan.
4. Kami menyarankan transfusi trombosit profilaksis bila dihitung <10.000 / mm3 (10 ×
109 / L) tanpa adanya perdarahan yang jelas dan bila jumlahnya <20.000 / mm3 (20 ×
109 / L) jika pasien memiliki risiko pendarahan yang signifikan. Jumlah trombosit yang
lebih tinggi [≥50,000 / mm3 (50 × 109 / L)] disarankan untuk prosedur pendarahan,
pembedahan, atau invasif aktif (rekomendasi lemah, kualitas bukti sangat rendah).
Trombositopenia pada sepsis kemungkinan disebabkan oleh patofisiologi produksi
trombosit yang berbeda dan peningkatan konsumsi trombosit. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan risiko pendarahan dan menunjukkan perlunya jumlah trombosit yang
lebih tinggi sering ditemukan pada pasien dengan sepsis.

J. IMUNOGLOBULIN
1. Kami menyarankan untuk melawan penggunaan imunoglobulin IV pada pasien sepsis
atau syok septik (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
K. PENYARINGAN DARAH
1. Kami tidak membuat rekomendasi mengenai penggunaan teknik pemurnian darah.
L. ANTIKOAGULAN
1. Kami merekomendasikan penggunaan antitrombin untuk pengobatan sepsis dan syok
septik (rekomendasi kuat, kualitas bukti sedang).
Antitrombin adalah antikoagulan yang paling melimpah yang beredar di
plasma. Penurunan aktivitas plasma pada saat onset sepsis berkorelasi dengan koagulasi
intravaskular diseminata (DIC) dan hasil mematikan.
2. Kami tidak memberikan rekomendasi mengenai penggunaan trombomodulin atau
heparin untuk pengobatan sepsis atau syok septik.

M. VENTILASI MEKANIK
1. Sebaiknya gunakan volume tidal target 6 mL / kg berat badan yang diprediksi (PBW)
dibandingkan dengan 12 mL / kg pada pasien dewasa dengan ARDS sepsis
(rekomendasi kuat, bukti kualitas tinggi).
2. Sebaiknya gunakan sasaran batas atas untuk tekanan dataran tinggi 30 cmH2O pada
tekanan dataran tinggi yang lebih tinggi pada pasien dewasa dengan ARDS yang
diinduksi sepsis (rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).
Untuk dokumen saat ini, kami menggunakan definisi Berlin 2012 dan
persyaratan ARDS ringan, sedang, dan berat (Pao2 / Fio2 ≤300, ≤200, dan ≤100 mm
Hg). Pasien dengan asidosis metabolik yang dalam, ventilasi menit yang tinggi, atau
perawakan pendek mungkin memerlukan manipulasi volume tidal tambahan. Beberapa
klinisi percaya bahwa aman untuk di ventilasi dengan volume tidal> 6 mL / kg PBW
selama tekanan plateau dapat dipertahankan ≤30 cmH2O. Sebaliknya, pasien dengan
dinding dada / abdomen yang sangat kaku dan tekanan pleura yang tinggi dapat
mentolerir tekanan dataran tinggi> 30 cmH2O karena tekanan transpulmonary akan
lebih rendah.
3. Kami menyarankan untuk menggunakan PEEP yang lebih tinggi pada PEEP yang lebih
rendah pada pasien dewasa yang memiliki ARDS sedang sampai berat yang sepsis,
rekomendasi lemah, kualitas bukti sedang).
4. Kami menyarankan untuk menggunakan manuver rekrutmen pada pasien dewasa
dengan sepsis yang diinduksi, ARDS berat (rekomendasi lemah, kualitas bukti sedang)
5. Sebaiknya gunakan posisi rawan pada posisi terlentang pada pasien dewasa dengan
ARDS sepsis dan Pao2 / Fio2ratio <150 (rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat)
6. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan ventilasi osilasi frekuensi tinggi
(HFOV) pada pasien dewasa dengan ARDS sepsis-induced (rekomendasi kuat, kualitas
bukti moderat).
7. Kami tidak memberikan rekomendasi mengenai penggunaan ventilasi noninvasive
(NIV) untuk pasien dengan ARDS yang diinduksi sepsis.
8. Kami menyarankan menggunakan agen penghambat neuromuskular (NMBAs) untuk
≤48 jam pada pasien dewasa dengan ARDS sepsis dan Pao2 / Fio2ratio <150 mmHg
(rekomendasi lemah, kualitas bukti sedang).
9. Kami merekomendasikan strategi cairan konservatif untuk pasien dengan ARDS sepsis
yang diinduksi yang tidak memiliki bukti hipoperfusi jaringan (rekomendasi kuat,
kualitas bukti moderat).
10. Kami merekomendasikan untuk melawan penggunaan agonis β-2 untuk pengobatan
pasien dengan ARDS yang diinduksi sepsis tanpa bronkospasme (rekomendasi kuat,
kualitas bukti moderat).
11. Kami merekomendasikan untuk melawan penggunaan rutin kateter PA untuk pasien
dengan ARDS yang diinduksi sepsis (rekomendasi kuat, bukti berkualitas tinggi).
12. Kami menyarankan agar menggunakan volume tidal lebih rendah pada volume tidal
yang lebih tinggi pada pasien dewasa dengan kegagalan pernapasan akibat sepsis tanpa
ARDS (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
13. Sebaiknya pasien sepsis mekanis berventilasi dipertahankan dengan kepala tempat tidur
ditinggikan antara 30 ° dan 45 ° untuk membatasi risiko aspirasi dan untuk mencegah
pengembangan VAP (rekomendasi kuat, kualitas bukti rendah).
14. Sebaiknya gunakan uji coba pernafasan spontan pada pasien dengan ventilasi mekanis
dengan sepsis yang siap menyapih (rekomendasi kuat, bukti kualitas tinggi).
15. Sebaiknya gunakan protokol penyapihan pada pasien dengan ventilasi mekanis dengan
kegagalan pernafasan sepsis yang dapat mentoleransi penyapihan (rekomendasi kuat,
kualitas bukti yang moderat).

N. SEDASI DAN ANALGESIK


1. Kami merekomendasikan bahwa sedasi kontinu atau intermiten diminimalkan pada
pasien sepsis dengan ventilasi mekanis, yang menargetkan titik akhir titrasi spesifik.
(BPS).

O. KONTROL GLUKOSA
1. Kami merekomendasikan pendekatan terstruktur untuk manajemen glukosa darah pada
pasien ICU dengan sepsis, memulai dosis insulin ketika dua kadar glukosa darah
berturut-turut> 180 mg / dL. Pendekatan ini harus menargetkan kadar glukosa darah
atas ≤180 mg / dL daripada tingkat glukosa darah target atas ≤110 mg / dL
(rekomendasi kuat, bukti kualitas tinggi)
2. Kami merekomendasikan agar nilai glukosa darah dipantau setiap 1-2 jam sampai nilai
glukosa dan tingkat infus insulin stabil, maka setiap 4 jam setelahnya pada pasien yang
menerima infus insulin (BPS).
3. Kami merekomendasikan bahwa kadar glukosa yang diperoleh dengan pengujian
perawatan darah kapiler ditafsirkan dengan hati-hati karena pengukuran semacam itu
mungkin tidak memperkirakan secara akurat kadar glukosa darah atau plasma glukosa
(BPS)
4. Kami menyarankan penggunaan darah arterial daripada darah kapiler untuk pengujian
perawatan dengan menggunakan meter glukosa jika pasien memiliki kateter arteri
(rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).

P. TERAPI PENGGANTIAN GINJAL


1. Kami menyarankan agar RRT (CRRT) kontinu atau RRT intermiten digunakan pada
pasien dengan sepsis dan cedera ginjal akut (rekomendasi lemah, kualitas bukti
sedang).
2. Kami menyarankan agar menggunakan CRRT untuk memudahkan pengelolaan
keseimbangan cairan pada pasien septik hemodinamik yang tidak stabil (rekomendasi
lemah, kualitas bukti sangat rendah).
3. Kami menyarankan agar tidak menggunakan RRT pada pasien dengan sepsis dan
cedera ginjal akut untuk meningkatkan kreatinin atau oliguria tanpa indikasi pasti
lainnya untuk dialisis (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).

Q. TERAPI BIKARBONAT
1. Kami menyarankan untuk tidak menggunakan terapi sodium bicarbonate untuk
memperbaiki hemodinamik atau untuk mengurangi kebutuhan vasopressor pada pasien
dengan asidosis laktat akibat hipoperfusi dengan pH ≥ 7.15 (rekomendasi lemah,
kualitas bukti sedang).

R. VENOUS THROMBOEMBOLISM PROPHYLAXIS


1. Kami merekomendasikan profilaksis farmakologi [heparin tak terpecah (UFH) atau
heparin berat molekul rendah (LMWH)] terhadap tromboemboli vena (VTE) dengan
tidak adanya kontraindikasi dengan penggunaan agen ini (rekomendasi kuat, kualitas
moderat bukti)
2. Kami merekomendasikan LMWH daripada UFH untuk profilaksis VTE tanpa adanya
kontraindikasi terhadap penggunaan LMWH (rekomendasi kuat, kualitas bukti
moderat).
3. Kami menyarankan kombinasi profilaksis VTE farmakologis dan profilaksis mekanis,
bila memungkinkan (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
4. Kami menyarankan profilaksis VTE mekanis ketika VTE farmakologis
dikontraindikasikan (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah)

S. STRESS ULCER PROPHYLAXIS


1. Kami merekomendasikan bahwa profilaksis stres ulkus diberikan kepada pasien dengan
sepsis atau syok septik yang memiliki faktor risiko pendarahan gastrointestinal (GI)
(rekomendasi kuat, kualitas bukti rendah).
Stress ulcer berkembang di saluran gastrointestinal pada pasien yang kritis dan dapat
di kaitak dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Mekanisme pasitnya tidak
sepenuhnya dipahami, namun diyakini terkait dengan gangguan mekanisme protektif
terhadap asam lambung, hipoperfusi mukosa lambung, peningkatan produksi asam, dan
cedera oksidatif pada jalur pencernaan.
2. Sebaiknya gunakan inhibitor pompa proton (PPI) atau antagonis reseptor histamin-2
(H2RA) bila profilaksis ulkus stres ditunjukkan (rekomendasi lemah, kualitas bukti
rendah).
3. Kami merekomendasikan terhadap profilaksis stres ulkus pada pasien tanpa faktor
risiko perdarahan GI (BPS).

T. NUTRISI
1. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan nutrisi parenteral dini saja atau
nutrisi parenteral yang dikombinasikan dengan makanan enteral (tapi juga memulai
nutrisi enteral awal) pada pasien kritis dengan sepsis atau syok septik yang dapat diberi
makan secara enteral (rekomendasi kuat, kualitas bukti sedang).
2. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan nutrisi parenteral saja atau
dikombinasikan dengan pakan enteral (tetapi untuk memulai glukosa IV dan
memasukkan pakan enteral sebagai yang ditoleransi) selama 7 hari pertama pada pasien
kritis dengan sepsis atau syok septik yang pemberian makanan enteral awal tidak Layak
(rekomendasi kuat, kualitas bukti sedang).
3. Kami menyarankan inisiasi awal pemberian makanan enteral daripada glukosa IV cepat
atau hanya satu pada pasien kritis dengan sepsis atau syok septik yang dapat diberi
makan secara enteral (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
4. Kami menyarankan pemberian makanan enterik awal / hipokorik atau awal penuh pada
pasien kritis dengan sepsis atau syok septik; Jika pemberian trofik / hipokorik
merupakan strategi awal, maka pakan harus ditingkatkan sesuai dengan toleransi pasien
(rekomendasi lemah, kualitas bukti sedang).
5. Kami merekomendasikan penggunaan asam lemak omega-3 sebagai suplemen
kekebalan pada pasien kritis dengan sepsis atau syok septik (rekomendasi kuat, kualitas
bukti rendah).
6. Kami menyarankan agar tidak secara rutin memantau volume residu lambung (GRV)
pada pasien kritis dengan sepsis atau syok septik (rekomendasi lemah, kualitas bukti
rendah). Namun, kami menyarankan pengukuran residu lambung pada pasien dengan
intoleransi makan atau yang dianggap berisiko tinggi mengalami aspirasi (rekomendasi
lemah, kualitas bukti sangat rendah).
7. Kami menyarankan penggunaan agen prokinetik pada pasien kritis dengan sepsis atau
syok septik dan intoleransi makan (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
8. Kami menyarankan penempatan tabung makanan pasca-pilorus pada pasien kritis
dengan sepsis atau syok septik dengan intoleransi makan atau yang dianggap berisiko
tinggi mengalami aspirasi (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
9. Kami merekomendasikan untuk melawan penggunaan selenium IV untuk mengobati
sepsis dan syok septik (rekomendasi kuat, kualitas bukti sedang).
10. Kami menyarankan agar tidak menggunakan arginin untuk mengobati sepsis dan syok
septik (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
11. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan glutamin untuk mengobati sepsis
dan syok septik (rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat)

U. MENGATUR TUJUAN PERAWATAN


1. Kami merekomendasikan agar tujuan perawatan dan prognosis dibahas dengan pasien
dan keluarga (BPS)
2. Kami merekomendasikan agar tujuan perawatan dimasukkan ke dalam perawatan dan
perencanaan perawatan seumur hidup, dengan menggunakan prinsip perawatan paliatif
jika sesuai (rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).
3. Kami menyarankan agar tujuan perawatan ditangani sedini mungkin, namun paling
lambat dalam waktu 72 jam setelah masuk ICU (rekomendasi lemah, kualitas bukti
rendah).
H. KOMPLIKASI

Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang


mungkin terjadi meliputi:

1) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi
akut (acute respiratory distress syndrome)
Inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya cairan
inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps
paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan
hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar
kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas
paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya
tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien
mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.

2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)


Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus
sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya
bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai
spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang
baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan trombosit
dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko mengalami
komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis
berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.
3) Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme yang
diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi ketimbang
penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang
berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium
(MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropik dan vasopresor
(yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati
bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.

4) Gangguan fungsi hati


Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan peningkatan
bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak
berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu
yang lama.

5) Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal ginjal pada
keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan
pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi
yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis)
diindikasikan.

6) Multi-Organ Dysfunction Syndrome (MODS)


Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis.
• Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau trauma
pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada keadaan
pneumonia yang berat.

• Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons peradangan yang
menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS pada keadaan urosepsis.
ANESTESI PADA PASIEN FORNIER GANGRENE

Secara umum, pada pasien dengan hernia inguinalis inkersarata yang akan dilakukan
laparatomi eksplorasi menggunakan anestesi umum. Untuk monitoring, dibutuhkan alat-alat
rutin seperti EKG, manset tekanan darah non-invasif, pulse oximeter, dan stetoskop. Pada
pasien ini general anestesi dengan pemasangan Laryngeal mask airway

Regional Anastesi
Apabila pasien harus menjalani operasi hernia inguinalis, maka jenis anestesi yang paling
cocok adalah regional anestesi (RA), baik epidural, spinal, ataupun CSE (combined spinal-
epidural). Teknik yang populer adalah blok epidural. Sebelumnya, blok spinal dianggap
berbahaya oleh karena resiko tinggi terjadinya edema paru dan penurunan curah jantung. Akan
tetapi semakin banyak bukti baru yang menunjukkan bahwa anestesi spinal dan CSE pun aman
bagi pasien, terutama setelah ditemukannya jarum spinal ujung pensil.
Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan orang-orang dengan
penyakit sistemik seperti penyakit pernapasan kronis, hati, ginjal dan gangguan endokrin
seperti diabetes. Banyak pasien dengan penyakit jantung ringan mendapat manfaat dari
vasodilatasi yang menyertai anestesi spinal kecuali orang-orang dengan penyakit katub
pulmonalis atau hipertensi tidak terkontrol. Sangat cocok untuk menangani pasien dengan
trauma yang telah mendapatkan resusitasi yang adekuat dan tidak mengalami hipovolemik.
Indikasi:
• Bedah ekstremitas bawah
• Bedah panggul
• Tindakan sekitar rektum perineum
• Bedah obstetrik-ginekologi
• Bedah urologi
• Bedah abdomen bawah
• Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan
anesthesia umum ringan. Berikut adalah tabel yang membandingkan tekanan darah
antara general anestesi (GA), epidural blok (EDB), dan teknik CSE.

Tabel 1. Tekanan arterial sistemik selama operasi Caesar dengan general anestesi (GA),
epidural blok (EDB), dan combined spinal-epidural (CSE)3
Tekanan arterial GA EDB CSE
Tekanan sistolik tertinggi 170 163 158
Tekanan diastolik tertinggi 108 103 102
Tekanan sistolik terendah 112 110 110
Tekanan diastolik terendah 60 59 61
Namun pada pasien ini tidak dapat dilakukan regional anastesi karena pada pasien sudah terjadi
syok hipovolemik yang merupakan kontraindikasi dilakukan regional anestesi. Berikut
kontraindikasi dilakukan general anastesi.
Kontra indikasi absolut:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relatif:
1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Panduan untuk RA dalam kasus ini sama dengan panduan RA klasik :
a) Spinal: gunakan jarum ujung pensil berukuran 25G atau yang lebih kecil, dengan
bupivacaine 0.5% dalam 1.6-2.0 ml dekstrosa, tergantung dari tinggi dan ukuran
lingkar perut pasien. Pasien yang lebih tinggi diberikan dosis yang lebih banyak,
sementara pasien yang lebih berat diberikan lebih kecil, karena tekanan ruang
spinalnya lebih tinggi. Tinggi blok biasanya pada level T6.
b) Epidural: kanula diposisikan di ruang L2/3 atau L3/4, dan dosis uji standar digunakan.
Dosis utama (loading dose) diberikan tahap demi tahap untuk menaikkan tinggi blok
dengan perlahan, sampai mencapai level T6.
Untuk menambah kekuatan blok sensoris, dapat ditambahkan fentanyl dosis 10 mcg pada
spinal dan dosis 50-100 mcg pada epidural.
Hipotensi yang terjadi biasanya tidak dapat ditangani hanya dengan kristaloid. Adalah lebih
baik untuk menyeimbangkan antara koloid sintetis (500 ml starch solution) dengan kristaloid
(Ringer’s lactate 1000 ml), ditambah efedrin dengan peningkatan dosis 5 mg setiap kali.

General Anestesi (GA)


Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari
hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi
umum. Meskipun teknik RA merupakan teknik yang dipilih dalam kebanyakan operasi hernia,
terutama pada pasien-pasien sehat, teknik GA tetap dibutuhkan dalam kasus tertentu. Teknik
ini digunakan untuk pembedahan abdomen yang luas, intraperitoneum, toraks, intrakranial,
pembedahan yang berlangsung lama, dan operasi dengan posisi tertentu yang memerluakn
pengendalian pernafasan. Pada pasien ini dilakukan general anestesi dikarenakan adanya factor
kontraindikasi dari regional anastesi dan pasien juga menjalani pembedahan abdomen luas
dikarenakan hernia inkerserata yang telah menyebabkan kerusakan vascular yang luas pada
colon.

Tabel berikut menyajikan perbandingan keuntungan dan kerugian relatif dari RA dan GA
:
Tabel 2. Keuntungan dan kerugian relatif dari RA dan GA
RA GA
Keuntungan Kerugian Keuntungan Kerugian
Jalan nafas • Tidak ada Tidak dapat Kontrol • Respon
respon intubasi dikontrol intubasi yang
• Tidak ada berlebihan
resiko gagal • Resiko gagal
intubasi intubasi
Kejang - • Tidak dapat Kontrol
dikontrol
• Resiko kejang
Obat dan Tidak perlu • Resiko kejang • Kecemasan ibu
teknik obat-obatan • Resiko blok • Depresi fetal
sedative tinggi
Onset Spinal – cepat: Epidural – Cepat – kurang
5-10 menit lambat: 20-30 dari 5 menit
menit
Kontrol • Katekolamin Resiko hipotensi Minim resiko • Katekolamin ↑
tekanan darah lebih rendah hipotensi • ↑ TD, PAWP,
• Lebih stabil CVP dg
intubasi
Koagulasi Tidak ada Resiko Menghindari Resiko
instrumen hematoma spinal perdarahan
airway hematoma airway

Resiko utama dari GA adalah kesulitan manajemen jalan nafas (airway). Resiko utama
yang juga tinggi adalah resiko aspirasi isi lambung; hanya sekitar 30 ml aspirasi asam lambung
dibutuhkan untuk terjadinya pneumonitis yang fatal (sindroma Mendelson’s). Resiko aspirasi
dan gagal intubasi meningkat pada GA karena adanya perubahan anatomis dan fisiologis jalan
nafas pada pasien-pasien cito. Perubahan fisiologis ini meliputi tekanan intraabdominal yang
meningkat, sekresi asam lambung yang meningkat, serta penurunan motilitas gaster dan
intestinal.
Pada pasien dengan syok, GA memberikan kontrol yang lebih baik atas fisiologis
jantung dan juga onset kerja yang lebih cepat dibandingkan epidural blok, sehingga operasi
dapat segera dilangsungkan.
Panduan untuk GA:
A. Penilaian jalan nafas – edema jalan nafas tidak selalu dapat diprediksi, tetapi adanya
stridor dan/atau edema wajah dapat merupakan petunjuk. Laserasi lidah atau mukosa
pasca-kejang mungkin menjadi penyulit intubasi; dalam kasus ini, mungkin diperlukan
intubasi nasotrakeal (pasien dalam keadaan bangun). Semakin lengkap ketersediaan
alat-alat untuk menangani berbagai kesulitan jalan nafas (introducer, LMA, surgical
airway) maka semakin baik.
B. Induksi.
o Pre-oksigenasi sedikitnya 3 menit diikuti dengan agen induksi kerja cepat:
thiopentone (thiopental) 4-5 mg/kg atau etomidate 0.2 mg/kg, dan
suxamethonium 1-1.5 mg/kg.
C. Intubasi.
a. Untuk menangani respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi, dapat
dipilih:
• Ketamin adalah suatu “rapid acting non barbiturat general anesthethic” termasuk
golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0-chlorophenil) – 2
(methylamino) cyclohexanone hydrochloride. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino
dan Carsen pada tahun 1965. Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat sekali akan
tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan keadaan
lingkungan yang salah (anestesi disosiasi). Ketamin merupakan zat anestesi dengan
aksi satu arah yang berarti efek analgesinya akan hilang bila obat itu telah
didetoksikasi/dieksresi, dengan demikian pemakaian lama harus dihindarkan. Anestetik
ini adalah suatu derivat dari pencyclidin suatu obat anti psikosa. dosis 1-4 mg/kgBB,
dengan dosis rata-rata 2 mg/kgBB dengan lama kerja ± 15-20 menit, dosis tambahan
0,5 mg/kgBB sesuai kebutuhan. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun
sebagai induksi pada anestesi umum :
v Untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misalnya pada koreksi
jaringan sikatrik daerah leher, disini untuk melakukan intubasi kadang-kadang
sukar.
v Untuk prosedur diagnostik pada bedah syaraf/radiologi (arteriografi).
v Tindakan orthopedi (reposisi, biopsi).
v Pada pasien dengan resiko tinggi : ketamin tidak mendepresi fungsi vital. Dapat
dipakai untuk induksi pada shock.
v Untuk tindakan operasi kecil.
v Di tempat di mana alat-alat anestesi tidak ada.
v Pada asma, merupakan obat pilihan untuk induksinya.

INTUBASI TRAKEA
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.sedangkan ekstubasi trakea adalah
tindakan pengeluaran pipa endotrakeal. Intubasi trakea bertujuan untuk :
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi intubasi trakea adalah: tindakan resusitasi, tindakan anestesi, pemeliharaan jalan nafas,
dan pemberian ventilasi mekanis jangka panjang. Komplikasi tindakan intubasi trakea dapat
terjadi saat dilakukannya tindakan laringoskopi dan intubasi, selama pipa endotrakeal
dimasukkan, dan setelah ekstubasi.

Laryngeal Mask Airway


Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya
pengendalian jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas. Tanggung jawab dokter anestesi
adalah untuk menyediakan respirasi dan managemen jalan nafas yang adekuat untuk pasien.
LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face
mask. LMA di insersi secarablind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan
rendah sekeliling pintu masuk laring. Dibawah ini tabel 2 keuntungan dan kerugian pemakaian
LMA jika dibandingkan dengan ventilasi facemask atau intubasi ET:
Ø Desain dan Fungsi
Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk
memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan
memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini
tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.
Gambar 1. Berbagai macam ukuran LMA

Ø b.2. Macam-macam LMA


LMA dapat dibagi menjadi 3:
1. Clasic LMA
2. Fastrach LMA
3. Proseal LMA
4. Flexible LMA
Indikasi:
• Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untukairway
management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi
suatu indikasi.
• Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan.
• Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.
Kontraindikasi:
• Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada emergency
adalah pengecualian ).
• Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karenaseal yang
bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan
inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanainspirasi puncak
harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan
pengembangan lambung.
• Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
• Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yangintack karena insersi dapat
memicu terjadinya laryngospasme.
Efek Sampinng :

Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan insidensi
10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek samping yang utama adalah
aspirasi.

v INDUKSI
DI-ISOPROPYL PHENOL (PROPOFOL, DIPRIVAN)
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10% minyak kedelai,
2,25% gliserol, dan 1,2 % phosphatide telur. Pemberian intravena propofol (2 mg/kg BB)
menginduksi anestesi secara cepat seperti tiopental. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat
suntikan, tetapi jarang disertai dengan phlebitis atau trombosis. Propofol tidak menimbulkan
aritmia atau iskemik otot jantung. Sesudah pemberian Propofol IV terjadi depresi pernapaasan
sampai apnea selama 30 detik. Hal ini diperkuat dengan premedikasi dengan opiat. Propofol
tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan
intrakanial akan menurun. Tak jelas adanya interaksi dengan obat pelemas otot. Keuntungan
Propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal.
Terjadi mual, muntah dan sakit kepala mirip dengan thiopental. Cepatnya induksi dan
pemulihan dari anestesi berguna dalam pasien rawat jalan yang memerlukan prosedur yang
cepat dan singkat.
Sediaan : dalam ampul, 200mg/20cc
Dosis : 1,5-2,5 mg/kg BB
Pemberian : IV

v PEMELIHARAAN
Obat anestesi maintenance yang digunakan dalam kasus ini adalah:
• Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat
dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium
induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat
merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada
masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-
ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau
kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi
N2O: O2 adalah sebagai berikut 60%:40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.

ANALGETIK
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil
merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih
mudah menembus sawar jaringan.

Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan
jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , µ,Ќ,δ,σ. Walaupun opioid menimbulkan
sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari spesifik opioid
tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi
reseptor opiat menghambat presinaptik dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter
ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif. Turunan fenilpiperidin ini merupakan
agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan
dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid
yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil meningkatkan aksi
anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal
yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid
pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan
neureptanalgesia.

Sistem kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun
tonus otot pembuluh darah. Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi
penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada pemberian
meperidin atau morfin karena adanya pelepasan histamin.

Sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi nafas, dengan
jumlah volume tidal yang menurun. PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul
sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu
menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid
juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.

Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga terhambat.

Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anesthesia dan
pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.
Fentanil bersifat lipofilik yang memungkinkan obat ini masuk susunan saraf pusat
dengan cepat.. Kadar puncak fentanil dalam darah dicapai dalam 5–15 menit, onset secara
suntikan intravena tercapai dalam 30 detik, dan diikuti lama kerjanya obat dalam darah selama
30–60 menit. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir
sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali
melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan,
sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Indikasi fentanyl:
• Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya.
• Anestesi general : anestesi durante operasi, induksi anestesia.
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan
pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma,
ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil,
yang dimetabolisir oleh esterase plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu
paruh yang singkat, tidak seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan
durasi infusinya.
Dosis 1-3 mg/kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150
mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi
bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah
cairan injeksi 50 mg/ml.

OBAT PELUMPUH OTOT


Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan
kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2
golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat
penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini
memudahkan dan menguragi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi
relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. 2 golongan obat
pelumpuh otot yaitu:
a. Depolarisasi.
- Ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan antikolinesterase
- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik
- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik
- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot non depolarisasi dan
asidosis
- Contoh: suksametonium (suksinil kolin)

b. Non depolarisasi
- Tidak ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi, eter,
halothane, enfluran, isoflurane
- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik
- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
- Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium bromida), norkuron
(pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida).

Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :


1. Atrakurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur
benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan
atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah :
• Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik
yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan
ginjal.
• Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang.
• Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Kemasan dibuat
dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atrakurium besilat. Stabilitas larutan
sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap
penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada umumnya mula
kerja atrakurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedangkan lama kerja atrakurium
dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi syaraf otot dapat terjadi secara spontan
(sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase.
Atrakurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit
jantung, hati, dan ginjal yang berat.
Bagaimana tata laksana pada pasien ini?
PERHITUNGAN RENCANA PEMBERIAN CAIRAN
BB : 50 Kg
Lama operasi : 60 menit
Perdarahan : 100 cc (selama operasi)
Cairan yang diberikan : Kristaloid 500 cc
Koloid 500 cc
Urin :-

Kebutuhan cairan maintenance untuk pasien dengan berat badan 50 kg :

4 x 10 = 40
2 x 10 = 20
1 x 40 = 30 +
90 cc
Puasa = (pasien mengaku tidak makan selama 9 jam sebelum operasi)
= 9 x 100 cc = 900 cc

Jumlah cairan selama operasi besar :


7 x 50 x 1jam = 350 cc

Perdarahan selama operasi :

Suction = -
Cuci NaCl = 200 cc
Perdarahan 200 cc

Kassa besar = 10 kassa x 10 cc = 100 cc


Jumlah perdarahan = 300 cc

Perdarahan = 300 cc
EBV ( 70 x 50 ) = 350 cc

Grade Perdarahan ;
300 x 100% = 0.085% (kurang dari 15%---RINGAN)
3500

Total cairan yang dibutuhkan :


Cairan selama operasi (IWL) = 350cc
Puasa = 900cc
= 1250cc
Koreksi cairan yang di berikan
Kristaloid + Koloid = 500cc + 500 cc = 1000 cc
Perdarahan = 300 cc 300 cc -
700 cc (sisa)
Total cairan yang di butuhkan :
= Puasa + IWL + koreksi cairan yang belum diberikan + urin
= 900 + 350 + 700+ (urin tidak ada)
= 500 cc

Kebutuhan cairan post operasi :


= 24 – (1jam op + 9 jam puasa) = 14
= 14x 100 = 1400 cc

Total cairan post operasi :


= 500 + 1400 = 1900/ 14 jam
= 1900/ 14 = 111.7 gtt/jam = 111.7/4 à 28 gtt/ menit

Perawatan pascaoperasi
Pasien dengan tindakan operasi necrotomic debridement karena fornier gangrene dan disertai
syok sepsis yang telah dikoreksi dapat dirawat diruang ICU.
BAB IV DISKUSI

Pada kasus ini dilakukan operasi nekrotik debridement cito dengan GA. GA dipilih oleh
karena beberapa keuntungannya sesuai dengan tinjauan pustaka, yaitu onsetnya yang cepat
(kurang dari 5 menit), serta terkontrolnya tekanan darah. Selain itu, sehingga pemberian RA
yang mengharuskan pasien berada dalam posisi tertentu menjadi lebih sulit.
Untuk induksi, pada kasus ini diberikan propofol 150 mg. Propofol tidak menimbulkan
aritmia atau iskemik otot jantung.. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah
ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakanial akan menurun. Keuntungan Propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal. Terjadi mual,
muntah dan sakit kepala mirip dengan thiopental. Cepatnya induksi dan pemulihan dari
anestesi berguna dalam pasien rawat jalan yang memerlukan prosedur yang cepat dan singkat.
Pemberian atracorium bromide sebagai agen relaksan otot skeletal juga membantu
prosedur ini karena ia mencegah terjadinya spasme laring dan refleks jalan nafas atas, sehingga
memudahkan pengendalian pernafasan selama operasi. Penggunaan sevofluranesebagai agen
rumatan anestesi sudah tepat. sevoflurane merupakan gas yang paling aman di antara gas-gas
volatil lainnya.
Pasien dengan nekrotik debridement ini harus dilakukan perawatan di ruang ICU
dikarenakan kondisi pasien yang tidak stabil setiap harinya sehingga dapat dilakukan
pemantaun lebih intesif kembali.
REFERENSI

1. Pais, Vernon M. Fournier Gangerene Medication. [online]. 2011. [citied Agustus, 2012].
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/2028899-overview
2. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi :2. Jakarta : EGC. 2008. 795-800
3. Morpurgo, Emillio, Susan. Fournier gangrene. [online]. 2006. [citied Agutus 2012]. Available
from : http://www/midcf.org/journlas/4335.pdf
4. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar Urologi. Edisi : 2. Malang : Sagung Seto, 2008. 50-56.
5. Hohenfellner, Markus, Richard. Emergencies and Urology. London : Springer. 2006. 50-140
6. Slone, Ethel. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : EGC. 2005. 347-52
7. Putz, R, Pabst. Sobotta Atlas of Human Anatomy. Volume 2, 14th edition. Elsevier. 2005. 198
8. Price, Sylvia A, Lorraine. Patofiiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi : 6, volume
:2. 2005. Jakarta : EGC. 1311-22.
9. Hansen JT, Koeppen BM. Netter’s Atlas of Human Physiology. Volume 1, 10th edition.
Elsevier. 20010. 365
10. H. Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi FK-UI,
Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.
11. Stockinger, Zsolt. Fournier Gangrene. [online]. 2011. [citied Agustus, 8 2012]. Available from
: http://www.guttmacher.org/pubs/journals/3116205.pdf
12. Burch, Draion, Timothy, Vincent. Fournier’s Gangrene : Be Alert forThis Medical Emergency.
[online]. 2007. [citied Agustus, 8 2012]. Available from
http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNACW770.pdf
13. Thwaini, Khan A, Malik A. Fournier’s gangrene and its Emergency Management. [online].
2005. [citied Agustus, 8 2012]. Available from http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNACW780.pdf
14. Levenson, Robin B, Ajay K, Noveline Robert. Fournier Gangrene : Role of Imaging1. [online].
2008. [citied agustus, 8 2012]. Avaiabe from
http://pdf.guttmacher.org/pubs/journals/311267.pdf
15. Zgraj, Oskar, Sri Paran, Maureen. Neonatal Scrotal Wall Necrotizing Fasciitis (Fournier
Gangrene) : A Case Report. [online]. 2011. [citied Agustus, 8 2012]. Available from :
http://creative.commons.org/licenses/by/2.0
16. Thimons, Jhon. Recognizing Necrotising fasciitis. [online].2012. [citied Agustus, 8 2012].
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22621627.pdf
17. Andrew Rhodes, et all., 2017. Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines of
Management Sepsis and Septic Shock : 2016. Critical Care Medicine, 45(3), pp. 1-67.
18. Anon., 2017. Mayo Clinic. [Online] Available at: http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/sepsis/home/ovc-20169784 Accessed 16 September 2017].
19. 3 Hour Bundle. Surviving Service Campaign. 2013
20. 6 Hour Bundle. Surviving Service Campaign. 2013
21. Hermawan, Guntur et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI.
InternaPublishing. Jakarta
22. Khie Chen, H. P., 2014. Penatalaksanaan Syok Sepsis. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. V
ed. Jakarta: Interna Publishing, pp. 252-261.

Anda mungkin juga menyukai