Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
2. Fisiologi
Menjelang aterm, diperkirakan bahwa sekitar 600 ml/ mnt darah mengalir melalui
ruang antarvilus. Saat plasenta terlepas, banyak arteri dan vena yang menyalurkan darah
menuju dan dari plasenta terputus secara mendadak. Di tempat implantasi plasenta, diperlukan
kontraksi dan retraksi miometrium untuk menekan pembuluh-pembuluh tersebut dan
menyebabkan obliterasi lumen agar perdarahan dapat dikendalikan. Potongan plasenta atau
bekuan darah yang melekat akan menghambat kontraksi dan retraksi efektif miometrium
sehingga hemostasis di tempat implantasi tersebut terganggu. Jika miometrium di tempat
implantasi plasenta dan disekitarnya berkontraksi dan beretraksi dengan kuat, kecil
kemungkinan terjadi perdarahan yang fatal meskipun terjadi gangguan mekanisme
pembekuan yang hebat
1
Selama kala tiga persalinan, akan terjadi perdarahan tak-terhindarkan yang disebabkan
oleh pemisahan parsial sementara plasenta. Sewaktu plasenta terlepas, darah dari tempat
implantasi dapat cepat lolos kedalam vagina (pemisahan duncan) atau tersembunyi di balik
plasenta dan membran (pemisahan schultze) sampai plasenta lahir. Pengeluaran plasenta harus
diupayakan melalui tekanan manual di fundus seperti di jelaskan di Bab 19. Turunnya
plasenta ditandai oleh kendurnya tali pusat. Jika perdarahan menetap, diindikasikan
pengeluaran plasenta secara manual. Uteus harus di pijat jika tidak berkontraksi dengan kuat.
(Leveno, Kennethj 2009).
3. Etiologi
Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan
lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat
pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti
agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat,
beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri
(korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus
couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru
menyebutkan bahwa grandemultiparitas merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya
perdarahan post partum (Admin, 2009).
a. Umur : Umur yang terlalu muda atau tua
b. Paritas : Sering dijumpai para multipara dan grandemultipara
c. Partus lama dan partus terlantar
d. Obstein operatif dan narkosa
e. Uterus terlalu tegang dan besar, misalnya pada gemeli, hidramnion, atau janin besar
f. Kelainan pada uterus, seperti mioma uteri, uterus cauvelair pada solusio plasenta.
g. Faktor sosio ekonomi, yaitu mamumsi
2
3. Persalinan yang terlalu cepat atau persalinan spontan
4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5. Multiparitas yang sangat tinggi
6. Ibu dengan usia yang terlalu muda dan terlalu tua serta keadaan umum ibu yang jelek,
anemis, atau menderita penyakit menahun. Terjadinya peningkatan kejadian atonia uteri
sejalan dengan meningkatnya umur ibu yang diatas 35 tahun dan usia yang seharusnya
belum siap untuk dibuahi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin
tinggi frekuensi perdarahan yang terjadi (Prawirihardjo, 2006).
7. Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari dua tahun).
8. Bekas operasi Caesar.
9. Pernah abortus (keguguran) sebelumnya. Bila terjadi riwayat persalinan kurang baik, ibu
sebaiknya melahirkan dirumah sakit, dan jangan di rumah sendiri.
10. Dapat terjadi akibat melahirkan plasenta dengan memijat dan mendorong uterus kebawah
sementara uterus belum terlepas dari tempat implannya atau uterus.
Perdarahan yang banyak dalam waktu singkat dapat diketahui. Tetapi, bila perdarahan
sedikit dalam waktu banyak tanpa disadari, pasien (ibu) telah kehilangan banyak darah
sebelum ibu tanpak pucat dan gejala lainnya. Perdarahan karena atonia uteri, uterus
tanpak lembek membesar (Anik-Yulianingsih 2009).
4. Patofisiologi
Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi secara
memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus, perdarahan postpartum dapat diperkirakan
jauh sebelum pelahiran. Contoh-contoh ketika trauma dapat menyebabkan perdarahan
postpartum anatara lain pelahiran janin besar, pelahiran dengan forseps tengah, rotasi forseps,
setiap manipulasi intrauterus, dan mungkin persalinan pervaginam setelah seksio sesarea
(VBAC) atau insisi uterus lainnya. Atonia uteri yang menyebabkan perdarahan dapat
diperkirakan apabila digunakan zat-zat anestetik berhalogen dalam konsentrasi tinggi yang
menyebabkan relaksasi uterus (Gilstrap dkk, 1987).
Uterus yang mengalami overdistensi besar kemungkinan besar mengalami hipotonia
setelah persalinan. Dengan demikian, wanita dengan janin besar, janin multipel, atau
hidramnion rentan terhadap perdarahan akibat atonia uteri. Kehilangan darah pada persalinan
kembar, sebagai contoh, rata-rata hampir 1000 ml dan mungkin jauh lebih banyak (pritchard,
3
1965). Wanita yang persalinannya ditandai dengan his yang terlalu kuat atau tidak efektif juga
dengan kemuungkinan mengalami perdarahan berlebihan akibat atonia uteri setelah
melahirkan.
Demikian juga, persalinan yang dipicu atau dipacu dengan oksitosin lebih rentan
mengalami atonia uteri dan perdarahan postpartum. Wanita dengan paritas tinggi mungkin
berisiko besar mengalami atonia uteri. Fucs dkk. (1985) melaporkan hasil akhir pada hampir
5800 wanita para 7 atau lebih. Mereka melaporkan bahwa insiden perdarahan postpartum
sebesar 2,7 persen pada para wanita ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan
populasi obstetri umum. Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan postpartum
sebesar 0,3 persen pada wanita dengan paritas rendah, tetapi 1,9 persen pada mereka dengan
para 4 atau lebih.
Risiko lain adalah wanita yang bersangkutan pernah mengalami perdarahan
postpartum. Akhirnya, kesalahan penatalaksanaan persalinan kala tiga berupa upaya untuk
mempercepat pelahiran plasenta selain dari pada mengeluarkannya secara manual. Pemijatan
dan penekanan secara terus menerus terhadap uterus yang sudah berkontraksi dapat
mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak
sempurna dan pengeluaran darah meningkat.
4
5. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang selalu ada pada perdarahan postpartum akibat Atonia Uteri adalah :
a) Perdarahan segera setelah anak lahir
b) Pada palpasi, meraba Fundus Uteri disertai perdarahan yang memancur dari jalan
lahir.
c) Perut terasa lembek atau tidak adanya kontraksi
d) Perut terlihat membesar (Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, 2002).
6. Penatalaksanaan
1. kenali dan tegakan diagnosis kerja atonia uteri
2. masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan
perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
3. Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang
tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam.
4. Kompresi bimanual eksternal, menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan
saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran
darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan
hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi
bimanual internal.
5. Kompresi bimanual internal, uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding
abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah didalam
miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang
terjadi. Pertahankan kondisi ini bla perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga
uterus berkontraksi kembali. Apabia perdarahan tetap terjadi, coba kompresi aorta
abdominalis.
6. Kompresi aorta abdominalis, raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri,
pertahankan posisi tersebut, genggam tangan kanan kemuadian tekankan pada daerah
umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis.
Penekanan yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri
femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi.
7. Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin/ergometrin, bisa dicoba
prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskular atau langsung pada miometrium
5
(transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap 2
atau 3 jam sesudahnya.
8. Laparotomi dilakukan bila uterus tapi lembek dan perdarahan yang terjadi tetap>200
ml/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik (khusus
untuk penderita yang belum punya anak atau muda sekali).
9. Bila tidak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.
6
perdarahan. Jika diberikan secara intravena, metilergonovin dapat menyebabkan
hipertensi yang berbahaya, teutama pada wanita preeklamsia.
c) Prostaglandin
Turunan 15 methyl dari prostaglandin F2α (Hemabate) juga dapat digunakan untuk
mengatasi atonia uterus. Dosis awal yang dianjurkan adalah 250 µg (0,25 mg) secara
intramuskulus, dan hal ini diulangi jika diperlukan dengan interval 15 hingga 90 menit
hingga maksimum 8 dosis. Selain kontriksi vaskuler dan saluran napas paru, efek
samping lain adalah diare, hipertensi, muntah, demam, flushing dan takikardi.
d) Perdarahan yang tidak responsif terhadap oksitosik
Perdarahan yang berlanjut setelah beberapa kali pemberian obat oksitosik mungkin
berasal dari laserasi jalan lahir, termasuk dari pada beberapa kasus ruptur uterus. Karena
itu, jika perdarahan menetap, jangan membuang-buang waktu dengnan melakukan upaya-
upaya acak untk menghentikan perdarahan, tetapi harus segera dimulai suatau
penatalaksanaan seperti di Tabel 56-2. Dengan transfusi dan kompresi uterus dengan
tangan serta oksitosin intravena, jarang diperlukan tindakan tambahan. Bila atonia tidak
teratasi, mungkin diperlukan histerektomi sebagai tindakan untuk menyelamatkan nyawa.
Cara lain yang mungkin berhasil adalah ligasi arteri uterina, ligasi arteri illiaka interna,
atau embolisasi angiografik.
Ligasi Arteri Iliaka Interna Pengikatan arteri iliaka interna kadang-kadang mengurangi
secara bermakna perdarahan akibat atonia uterus. Operasii ini lebih mudah dilakukan jika
insisi digaris tengah abdomen diperluas keatas melewati umbilikus. Ligasi arteri iliaka
interna mengurangi tekanan nadi di arteri sebelah distal dari ikatan sehingga mengubah
sistem tekanan arteri menjadi tekanan yang mendekati tekanan di sirkulasi vena yang
lebih mudah dihentikan melalui pembentukan bekuan biasa. Ligasi bilateral kedua arteri
tampaknya tidak secara serius menggangu kemampuan reproduksi selanjutnya. (Leveno,
Kennethj 2009 ).
7
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan. Pengkajian yang benar dan
terarah akan mempermudah dalam merencanakan tindakan dan evaluasi dari tidakan yang
dilakasanakan. Pengkajian dilakukan secara sistematis, berisikan informasi subjektif dan
objektif dari klien yang diperoleh dari wawancara dan pemeriksaan fisik. Pengkajian
terhadap klien post meliputi:
A. Anamnesa
1. Identitas klien
Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical record
dan lain – lain.
2. Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronik, hemofilia, riwayat
pre eklampsia, trauma jalan lahir, kegagalan kompresi pembuluh darah, tempat
implantasi plasenta, retensi sisa plasenta.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan saat ini yaitu: kehilangan darah dalam jumlah banyak
(>500ml), Nadi lemah, pucat, lokea berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih,
tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, dan mual.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat keluarga yang pernah atau sedang menderita hipertensi, penyakit
jantung, dan pre eklampsia, penyakit keturunan hemopilia dan penyakit menular.
3. Riwayat obstetrik
a) Riwayat menstruasi meliputi: Menarche, lamanya siklus, banyaknya, baunya ,
keluhan waktu haid, HPHT
b) Riwayat perkawinan meliputi : Usia kawin, kawin yang keberapa, Usia mulai
hamil
c) Riwayat hamil, persalinan dan nifas yang lalu
1) Riwayat hamil meliputi: Waktu hamil muda, hamil tua, apakah ada abortus,
retensi plasenta.
8
2) Riwayat persalinan meliputi: Tua kehamilan, cara persalinan, penolong,
tempat bersalin, apakah ada kesulitan dalam persalinan anak lahir atau mati,
berat badan anak waktu lahir, panjang waktu lahir.
3) Riwayat nifas meliputi: Keadaan lochea, apakah ada pendarahan, ASI cukup
atau tidak dan kondisi ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi
d) Riwayat Kehamilan sekarang
1) Hamil muda, keluhan selama hamil muda
2) Hamil tua, keluhan selama hamil tua, peningkatan berat badan, tinggi badan,
suhu, nadi, pernafasan, peningkatan tekanan darah, keadaan gizi akibat mual,
keluhan lain
3) Riwayat antenatal care meliputi : Dimana tempat pelayanan, beberapa kali,
perawatan serta pengobatannya yang didapat
B. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
a) Mulut : bibir pucat
b) Payudara : hyperpigmentasi, hipervaskularisasi, simetris
c) Abdomen : terdapat pembesaran abdomen
d) Genetalia : terdapat perdarahan pervaginam
e) Ekstremitas : dingin
9
2. Palpasi
a) Abdomen : uterus teraba lembek, TFU lebih kecil daripada UK, nyeri tekan,
perut teraba tegang, messa pada adnexa.
b) Genetalia : Nyeri goyang porsio, kavum douglas menonjol.
3. Auskultasi
a) Abdomen : bising usus (+), DJJ (-)
4. Perkusi
a) Ekstremitas : reflek patella + / +
I. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan fisik umum meliputi pemeriksaan pada ibu hamil:
1. Rambut dan kulit
a) Terjadi peningkatan pigmentasi pada areola, putting susu dan linea nigra.
b) Striae atau tanda guratan bisa terjadi di daerah abdomen dan paha.
c) Laju pertumbuhan rambut berkurang.
2. Mata : pucat, anemis
3. Hidung
4. Gigi dan mulut
5. Leher
6. Buah dada / payudara
a) Peningkatan pigmentasi areola putting susu
b) Bertambahnya ukuran dan noduler
7. Jantung dan paru
a) Volume darah meningkat
b) Peningkatan frekuensi nadi
c) Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan pembulu darah pulmonal.
d) Terjadi hiperventilasi selama kehamilan.
e) Peningkatan volume tidal, penurunan resistensi jalan nafas.
f) Diafragma meninggi.
g) Perubahan pernapasan abdomen menjadi pernapasan dada.
8. Abdomen
a) Menentukan letak janin
10
b) Menentukan tinggi fundus uteri
9. Vagina
a) Peningkatan vaskularisasi yang menimbulkan warna kebiruan ( tanda Chandwick)
b) Hipertropi epithelium
10. System musculoskeletal
a) Persendian tulang pinggul yang mengendur
b) Gaya berjalan yang canggung
c) Terjadi pemisahan otot rectum abdominalis dinamakan dengan diastasis rectal
11
4. Traktus urinarius
Diobservasi tiap 2 jam selama 2 hari pertama. Meliputi miksi lancar atau tidak,
spontan dan lain-lain
5. Traktur gastro intestinal
Observasi terhadap nafsu makan dan obstipasi
6. Integritas Ego : Mungkin cemas, ketakutan dan khawatir
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan silang
2. Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan jumlah sel
darah putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil:12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat
tidak hamil:37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak hamil 4.500-
10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000)
3. Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca partum
4. Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih
5. Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin
(FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi, masa
tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID
Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan
D. Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi uterus
2. Resiko infeksi berhubungan dengan laserasi perinium
3. Cemas berhubungan dengan krisis situasional
4. Resiko deficit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
E. Intervensi
1. Dx. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi uterus
Tujuan: Nyeri berkurang/hilang
Intervensi:
Observasi skala nyeri, intensitas dan lokasi
12
Anjurkan pasien untuk menghemat energi dan istirahat berbaring miring
Rasionalisasi:
Untuk mengetahui tingkat nyeri, intensitas dan lokasi nyeri
Rasionalisasi:
Perawatan luka yang tepat mencegah risiko infeksi
13
Rasionalisasi:
Memberikan rasa metenangan kepada pasien ketika kontak langsung
Rasionalisasi :
Untuk mencegah kekurangan volume cairan
14
DAFTAR PUSTAKA
15