Laporan PBL
Laporan PBL
Kata Kunci
Perempuan
57 tahun
Ibu Rumah Tangga
Nyeri lutut kanan saat berjalan
Kaku pagi hari, berlangsung 10-15 menit
Bengkak pada lutut kanan
Tidak ada tanda kemerahan
Kencing manis
Berat badan: 68 kg. Tinggi badan: 164 cm. IMT: 25,3. Status gizi:
Obesitas 1
Daftar Pertanyaan
Learning Object
1|Page
o Mahasiswa mampu menjelaskan patomekanisme nyeri
o Mahasiswa mampu menyebutkan dan menjelaskan differensial diagnosis
yang memberikan gambaran nyeri sendi.
Hipotesa
Problem Tree
ANATOMI SENDI
PATOGENESIS
ARTHRITIS GOUT
NYERI
NYERI
SENDI
ARTHRITIS
OSTEOARTHRITIS
RHEUMATOID
Pada skenario penderita mengalami nyeri asimetris yaitu nyeri pada 1 buah
sendi, penderita mengalami nyeri lutut dimana lokasi tersebut terjadi pada
articulatio.
Articulatio genu dibentuk oleh ujung distal condylus femoris dengan ujung
proximal condylus tibiae dan dengan facies dorsalis patella. Permukaan
2|Page
persendian dari condylus femoris yang berhadapan dengan tibiae yang berbentuk
konveks, bentuk facies articulus pada ujung condylus tibiae atas dan dilengkapi
dengan fibrokartilago yang dinamakan meniscus, yaitu meniscus lateralis dan
meniscus medialis. Stabilitas articulus ini tergantung pada ligamentum yang
terdapat disitu. Meniscus medialis dan lateralis adalah dua buah fibrokartilago
yang berbentuk cresentik (sebagaian dari lingkaran), mengadakan perlekatan pada
facies cranialis ujung proximal tibiae. Pada penampakan melintang meniscus
berbentuk segitiga. Meniscus medialis berbentuk lebih besar dari pada meniscus
lateralis, dengan bagian yang terbuka meliputi (kaki huruf C) meniscus lateralis.
Sendi ini merupakan sendi tipe condyloidea. Gerakan utama pada persendian ini
adalah flexi dan ekstensi yang terjadi terhadap axis transversal. (Sudoyo AW dkk,
2010)
3|Page
3. Persendian sinovial, yaitu persendian yang gerakannya bebas,
merupakan bagian terbesar dari persendian pada tubuh orang dewasa,
contohnya sendi bahu dan panggul, siku dan lutut, sendi pada tulang-
tulang jari tangan dan kaki, pergerakan tangan dan kaki.
(Syaifuddin,2006)
Patomekanisme Nyeri
4|Page
Differensial Diagnosis
Osteoarthritis
Definisi
Epidemiologi
5|Page
Demikian juga, bukti radiografik OA lutut, terutama OA lutut simtomatik,
tampaknya leih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Etiologi
Osteoartritis primer
6|Page
sendi kecil (carpometacarpal, metacarpophalangeal), dan atau intervertebral pada
tulang belakang, maupun variasi lainnya.
Osteoartritis sekunder
Osteoartritis sekunder adalah OA yang disebabkan oleh penyakit atau
kondisi lainnya, seperti pada post-traumatik, kelainan kongenital dan
pertumbuhan (baik lokal maupun generalisata), kelainan tulang dan sendi,
penyakit akibat deposit kalsium, kelainan endokrin seperti diabetes melitus
, imobilitas yang terlalu lama, serta faktor risiko lainnya seperti obesitas,
operasi yang berulangkali pada struktur-struktur sendi, dan sebagainya
(Yanuarty,2015)
Faktor Risiko
1. Umur
Faktor risiko tertinggi untuk OA adalah usia. Peningkatan progresif
prevalensi OA dijumpai seiring dengan peningkatan usia. Pada suatu
survey radiografik terhadap perempuan usia berusia kurang dari 45 tahun,
hanya 2% menderita OA; namun, antara usia 45 dan 64 tahun
prevalensinya 30%, sedangkan untuk yang berusia lebih dari 65 tahun
angkanya 68%. (Harrison, 2014)
7|Page
tulang – tuang disekitar tulang rawan. Kondrosit ini akhirnya mengalami
osifikasi enkondral dan terjadilah pengapuran.
2. Jenis Kelamin
Osteoartritis lebih banyak ditemukan pada perempuan jika
dibandingkan dengan laki-laki yaitu 68,67%. Secara statistik perempuan
memiliki body mass index (BMI) diatas rata-rata dimana kategori BMI
pada perempuan Asia menurut jurnal American Clinical Nutrition adalah
antara 24 sampai dengan 26,9kg/m2 dan mempunyai nilai lebih kecil jika
dibandingkan dengan perempuan Amerika dan tingkat obesitas pada
wanita di Amerika adalah empat persen dan pada laki-laki hanya dua
persen. Pada perempuan menopause, akan terjadi penumpukan lemak
terutama pada sendi bagian bawah dan menyebabkan peningkatan beban
pada sendi.
Di dalam penelitian Dr. O’Connor (2007), jenis kelamin
perempuan merupakan factor resiko terjadinya osteoartritis. Pada studi
tersebut prevalensi dan insidensi osteoarthritis meningkat sebanyak tiga
kali lipat pada perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal yang
sama juga ditemukan dalam penelitian Zhang Fu-qianget al., padatahun
2009 di Fuzhou yang menunjukkan peningkatan prevalensi lebih tinggi
pada perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki yaitu sebesar 35,87%.
(Pratiwi, 2015)
Meningkatnya kejadian OA pada wanita di atas 50 tahun
diperkirakan karena turunnya kadar estrogen yang signifikan setelah
menopause. Kondrosit memiliki reseptor estrogen fungsional, yang
menunjukkan bahwa sel-sel ini dipengaruhi oleh estrogen. Penelitian yang
dilakukan pada beberapa tikus menunjukkan bahwa estrogen
menyebabkan peningkatan pengaturan reseptor estrogen pada kondrosit,
dan peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan sintesis
proteoglikan pada hewan percobaan (Yanuarty, 2015)
3. Suku Bangsa atau Ras
8|Page
Terdapat perbedaan ras dalam prevalensi OA dan pola keterlibatan
sendi. Bangsa Cina di Hong Kong memiliki insidensi OA panggul yang
lebih rendah daripada kulit putih; OA lebih sering ditemukan pada orang
Amerika asli daripada kulit putih. OA sendi antarfalang dan terutama OA
panggul jauh lebih jarang pada orang berkulit hitam Afrika Selatan
daripada kulit putih pada populasi yang sama. Tidak diketahui apakah
perbedaan ini bersifat genetic atau akibat perbedaan pemakaian sendi yang
berkaitan dengan gaya hidup atau pekerjaan.
4. Genetik
Faktor genetik merupakann faktor penting. Anak perempuan
dengan ibu yang memiliki OA berisiko lebih tinggi dari pada anak laki-
laki karena OA diwariskan diwariskan kepada anak perempuan secara
dominan sedangkan pada laki-laki diwariskan secara resesif. Pada kasus
lain, hubungan hereditas dengan OA lebih jelas. Ibu dari seorang
perempuan dengan OA sendi antarfalang distal memiliki kemungkinan 2
kali lebih besar menderita OA di sendi tersebut- dan saudara kandung
perempuannya tiga kali lipat- dibandingkan ibu dan saudara perempuan
dari perempuan yang tidak sakit.
Adanya mutasi dalam gen prokolagen II atau gen-gen structural
lainnya untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan
XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam
timbulnya kecenderungan familial pada OA tertentu (Noer, Sjaifoellah,
2004)
Namun, baru-baru ini berhasil diketahui adanya mutase titik (point
mutation) di cDNA yang mengkode kolagen tipe II pada beberapa generasi
sebuah keluarga dengan kondrodisplasia dan OA sekunder poliartikularis.
Prevalensi kelainan genetic dalam molekul matriks akan menjadi focus
utama riset OA di tahun-tahun mendatang. (Harrison, 2014)
Namun demikian, bagaimana mekanisme dari faktor genetic ini belum bisa
dijelaskan secara pasti
5. Obesitas
9|Page
Keterkaitan antara kegemukan dan OA lutut telah lama diketahui,
hubungan kausal antara keduanya hanya baru-baru ini dibuktikan. Untuk
orang yang memiliki indeks massa tubuh berada di quintile tertinggi pada
pemeriksaan dasar, risiko relative mengalami OA lutut dalam 36 tahun
mendatang adalah 1,5 untuk laki-laki dan 2,1 untuk perempuan. Dan untuk
OA lutut yang parah, risiko relative meningkat menjadi 1,9 untuk laki-laki
dan 3,2 untuk perempuan, yang mengisyaratkan bahwa kegemukan
berperan lebih besar dalam etiologi kasus OA lutut yang parah. (Harrison,
2014)
Seperti yang terdapat pada kasus, dimana berat badan (BB) yang
dimiliki yaitu 68kg dengan tinggi badan (TB) 164cm. maka IMT dari ibu
tersebut yaitu :
IMT : BB/TB(m)2
: 68/(1,64) 2
: 25,3 kg/m2 (OBES 1)
10 | P a g e
Obesitas merupakan faktor risiko kuat bagi osteoartritis lutut
bilateral maupun unilateral. Pada saat berjalan beban berat badan
dipindahkan ke sendi lutut 3-6 kali lipat berat badan. Bila proporsi berat
badan lebih dari tinggi badan (obesitas), kerja sendi pun akan semakin
berat. Secara biomekanika bahwa pada keadaan normal gaya berat badan
akan melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi oleh otot - otot paha
bagian lateral sehingga resultannya akan jatuh pada bagian sentral sendi
lutut. Sedangkan pada keadaan obesitas resultan tersebut akan bergeser ke
medial sehingga beban yang diterima sendi lutut akan tidak seimbang Hal
ini dapat menyebabkan ausnya tulang rawan karena bergesernya titik
tumpu badan. Oleh karena itu kelebihan berat badan lebih dan obesitas
membuat satu faktor risiko bagi Osteoarthritis lutut pada umur lanjut.
(Aldilla,2014)
Pasien dengan beban tubuh besar maka akan besar pula gaya
gesekan yang terjadi antar sendinya dan akan menimbulkan nyeri pada
penderita osteoarthritis. Pengurangan berat badan setengah kilogram
menghemat beban lutut 2 kg, dan berkurangnya berat badan 2 kg
menurunkan resiko OA sendi lutut 50% pada wanita.
Pernyataan bahwa makin kasar permukaan benda yang saling
bersinggungan maka makin besar gaya gesekan juga berlaku dengan
penjelasan bahwa penipisan tulang kartilago dan pembentukan osteofit
pada pinggir-pinggir tulang menyebabkan permukaan tulang menjadi
kasar sehingga dengan bersinggungannya antar tulang menyebabkan nyeri
yang hebat dan pembatasan dalam pergerakkan. Mengontrol besar gaya
gesekan dilakukan dengan mengontrol nilai koefisien gesekannya.
Koefisien gesekan dapat diperkecil dengan memperhalus permukaan yang
melakukan kontak, contohnya cairan synovial pada sendi yang melumasi
persendian tulang. (Angela,dkk 2013)
6. Aktivitas sehari-hari atau Pekerjaan
11 | P a g e
dilanjutkan siang hari. Berdasarkan hasil penelitian pada saat pengisian
kuesioner, subyek menjelaskan bahwa aktivitas pada pagi hari seperti
membersihkan rumah, menyapu, mencuci ataupun memasak untuk
sarapan anggota keluarga, dan berbelanja. Meskipun kegiatan ini dibantu
oleh anggota kelaurga, akan tetapi kegiatan ini dilakukan setiap hari dan
sudah berlangsung bertahun-tahun. Aktivitas fisik dapat menyebabkan
terjadinya Osteoarthritis. Aktivitas yang rutin dan cukup berat dapat
meningkatkan risiko terjadinya Osteoarthritis, apalagi kegiatan ini
dilakukan selama bertahun-tahun. Subyek yang berkerja dengan beban
kerja yang banyak, aktivitas yang rutin akan membebani sendi lutut. dan
mempunyai risiko terserang osteoartritis lebih besar dibanding yang tidak
banyak beban kerja. Pengaruh pekerjaan pada wanita usia sampai 53 tahun
menunjukkan bahwa semakin besar beban kerja maka semakin besar
terjadinya risiko osteoarthiris lutut.
Patogenesis
Kartilago sendi, organ sasaran utama pada OA, memiliki 2 fungsi mekanis
utama di dalam sendi.
OA terbentuk pada dua keadaan : (1) Sifat biomaterial kartilago sendi dan
tulang subkondral normal, tetapi terjadi beban berlebihan terhadap sendi sehingga
jaringan rusak; atau (2) beban yang ada secara fisiologis normal, tetapi sifat bahan
kartilago atau tulang yang kurang baik.
12 | P a g e
Kartilago sendi tersusun oleh dua spesies makromolekul utama :
proteoglikan (PG), yang berperan menimbulkan kekakuan jaringan dan
menyebabkan jaringan mampu menahan beban, dan kolagen yang menentukan
kekuatan regangan dan daya tahan terhadap robekan. (Harrison,2014)
Tulang rawan (kartilago) sendi dibentuk oleh sel kondrosit dan matriks
ekstraseluler, yang terutama terdiri dari air (65%-80%), proteoglikan, dan jaringan
kolagen. Kondrosit berfungsi mensintesis jaringan lunak kolagen tipe II untuk
penguat sendi dan proteoglikan untuk membuat jaringan tersebut elastis, serta
memelihara matriks tulang rawan sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap
terjaga dengan baik. Kartilago tidak memiliki pembuluh darah sehingga proses
perbaikan pada kartilago berbeda dengan jaringan-jaringan lain. Di kartilago,
tahap perbaikannya sangat terbatas mengingat kurangnya vaskularisasi.
13 | P a g e
orientasi serat kolagen yang mengubah biomekanik kartilago, sehingga kartilago
sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya.
Sitokin yang terpenting adalah IL-1. Pada OA, reseptor IL-1 meningkat 2
kali lipat dibandingkan orang normal. IL-1 berperan menurunkan sintesis kolagen
tipe II dan IX dan meningkatkan sintesis kolagen tipe I dan III, sehingga
14 | P a g e
menghasilkan matriks rawan sendi yang berkualitas buruk. Pada akhirnya tulang
subkondral juga akan ikut berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan
menghasilkan enzim proteolitik yang mengakibatkan degradasi kartilago sendi.
(Yanuarty, 2015)
Manifestasi Klinik
15 | P a g e
Efusi synovium, bila ada, biasanya tidak besar (<100 cc)
Pada palpasi sendi terasa hangat.
Pada fase lanjut didapatkan keterbatasan gerak (Harrison, 2014)
16 | P a g e
Pada usia lanjut, 50-92% mengalami GTG (gangguan toleransi
glukosa), ada yang termasuk kriteria toleransi glukosa terganggu, ada yang
termasuk kriteria DM. Hal ini menggambarkan adanya penurunan
kemampuan ambilan glukosa oleh sel target sasaran, khususnya otot
rangka. Pada teori proses menua, kemampuan ambilan glukosa ini tidak
lepas dari peran mitokondria karena kelambatan pembentukan ATP yang
mengakibatkan kelambatan aktivitas sel yang menifestasinya terlihat dari
penampilan lansia yaitu penurunan fungsi musculoskeletal. Adapun
patofisiologi gangguan toleransi glukosa pada lansia belum jelas diketahui
Salah-satu faktor yang menimbulkan gangguan toleransi glukosa
yang menyebabkan DM pada lansia salah-satunya adalah penurunan IGF 1
(insulin like growth factor) yang turun sampai 50% sehingga terjadi
penurunan ambilan glukosa karena terjadi penurunan sensitivitas reseptor
insulin. (Sudoyo AW dkk,2015)
Dan dikaitkan dengan kasus OA, dimana ketika terjadi degradasi
pada rawan sendi, rawan sendi berupaya melakukan perbaikan sendiri
dimana khondrosit mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru.
Fase ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang
mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel, faktor
tersebut seperti Insulin-like growth factor (IGF-1), growth hormon,
transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni stimulating factors
(CSFs). Faktor-faktor ini menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam
deoksiribo nukleat (DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan.
IGF-1 memegang peran penting dalam perbaikan rawan sendi.
Dan pada usia lanjut, IGF-1 pengalami penurunan hingga 50%
sehingga dalam proses perbaikan tulang rawan sendi juga mengalami
penurunan yang mengakibatkan resiko tinggi OA pada lansia dan
penderita DM. dalam suatu penelitian mengatakan bahwa insulin
merupakan suatu metode terapi yang potensial untuk arthritis,
memperlihatkan efek positif insulin terhadap metabolisme matriks.
(Mariely,2014)
17 | P a g e
B. Aspek Gizi
Dari aspek gizi, etiologic osteoarthritis disebabkan akibat obesitas dan
defisiensi vitamin D dan vitamin K.
a. Defisiensi vitamin D
18 | P a g e
Sampai saat ini, banyak penelitian telah menunjukkan keterlibatan dan
hubungannya dengan banyak aspek penyakit ini (Mabey and
Hossawek, 2015)
b. Defisiensi vitamin K
Vitamin K bertindak sebagai kofaktor esensial dalam proses
Gamma carboxylation dari protein Gla (Vitamin K-dependent
carboxylation/ gamma-carboxyglutamic). Tulang dan kartilago Gla
protein seperti MGP (Matriks Gla Protein) dan osteocalcin,
memerankan regulasi penting dalam mineralisasi jaringan, dan
ketiadaan dari protein ini mengakibatkan perubahan dan mengarah
pada OA.
Contoh, defisiensi MGP mengakibatkan abnormalitas pada
kartilago seperti pada OA, selain itu ketiadaan dari MGP
mengakibatkan osifikasi endokondral dan pembentukan osteofit
(Booth, L Sarah dkk, 2013)
c. Obesitas
Melakukan manajemen penurunan berat badan dengan melakukan
diet rendah kalori yaitu 1200 kkal untuk laki-laki dan 1500kkal untuk
perempuan dan melakukan aktifitas fisik serta perubahan perilaku pola
hidup.
C. Tidak adanya tanda-tanda kemerahan
19 | P a g e
Osteoarthritis adalah kondisi rematik non-inflamasi yang ditandai
dengan kemerosotan dan abrasi jaringan artikular (Lalwani, 2007) dan
proses utama untuk dapat dikatakan OA adalah kegagalan sintesis matriks
yang merupakam hasil proses yang sangat kompleks. (Sudoyo AW
dkk,2015)
Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Adapun gambaran radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA
adalah:
1. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat
padabagian yang menanggung beban)
2. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
3. Kista tulang
4. Osteofit pada pinggir sendi
5. Perubahan struktur anatomi sendi (Pratiwi, 2015)
Terapi
1. Rehabilitasi Medik
a. Kontrol nyeri
b. Memelihara ROM dan kekuatan otot dengan melakukan exercise
yaitu axial loading secara isometric
c. Memberi peralatan suportif
d. Meningkatkan kapasitas aerobic untuk meningkatkan metabolisme
seperti sepeda statis
20 | P a g e
e. Edukasi dan strategi adaptasi perilaku terhadap penyakit
2. Medika Mentosa
a. Analgesic oral non-opiat, pada umumnya pasien mencoba untuk
mengobati sendiri penyakitnya. Banyak sekali obat-obatan yang
dijual bebas yang ampu mengurangi rasa sakit. Pada umumnya
pasien mengetahui hal ini dari iklan pada media masa, baik cetak
(Koran), radio, maupun televisi.
b. Analgesic topikal, dapat kita dapatkan dipasaran dan banyak
sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba
terapi dengan cara ini, sebelumnya memakai obat-obatan peroral
lainnya.
c. OAINS (obat anti infalamsi non steroid), apabila cara tersebut
diatas tidak berhasil, maka mulai dipikirkan untuk pemberian
OAINS, oleh karena obat golongan ini di samping mempunyai efek
analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi. Oleh karena pasien
OA kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obat-obatan jenis ini
harus sangat berhati-hati.
d. Chondroprotective, obat-obatan yang dapat menjaga atau
merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien
OA. Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam
Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease
Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs)
Prognosis
Komplikasi
21 | P a g e
Penurunan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari,
seperti kebersihan pribadi, pekerjaanrumah tangga, atau memasak
(Inawati, 2007)
AR (Arthritis Rheumatoid)
Definisi
Epidemiologi
22 | P a g e
kelompok umur. (Suarjana,2015)
Etiologi
Faktor Risiko
23 | P a g e
Patogenesis
Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan
share epitop dari major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan
peptida pada antigen-presenting cell (APC) pada sinovium atau sistemik. Dan
peran sel B dalam imunopatologis RA belum diketahui secara pasti.
24 | P a g e
Manifestasi Klinik
Awitan (onset). Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara
perlahan, arthritis simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan
dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15% dari penderita mengalai gejala awal
yang lebih cepat yaitu, antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada 8-
15% penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi).
Arthritis serig kali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung
selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala
konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia, dan demam ringan.
(Suarjana,2015)
25 | P a g e
manifestasi ekstraartikular seperti vaskulitis dan Felty syndrome jarang dijumpai,
tetapi sering memerlukan terapi spesifik. (Suarjana,2015)
Diagnosis
26 | P a g e
(Perhimpunan Reumatologi
Indonesia,2014)
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitis untuk konfirmasi diagnosis
AR. American College Of Rheumatology Subcommittee On Rheumatology
Arthritis (ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk
evaluasi antara lain : darah perifer lengkap (complete blood cell count), faktor
rheumatoid (RF), laju endap darah atau C-reactive protein (CRP). Pemerikaan
fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena akan membantu dalam
pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan RF dan anti-CCP negative bisa
dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita AR
yang mempunyai risiko tinggi mengalami prognosis buruk. Adapun pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
27 | P a g e
- Jumlah leukosit mungkin meningkat
- Jumlah trombosit biasanya meningkat
- Fungsi hati normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat
- Faktor rheumatoid (RF) hasilnya negative pada 30% penderita AR
stadium dini. Jika pemeriksaan awal negative dapat diulang setelah 6-12
bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif pada beberapa
penyakit seperti SLE, scleroderma, sindrom Sjogren’s, penyakit keganasan,
sarkoidosis, infeksi (virus, parasit, atau bakteri). Tidak akurat untuk
penilaian perburukan penyakit.
- Anticyclic citrullinated peptide antibody (anti-CCP) berkolerasi dengan
perburukan penyakit, sensitivitasnya meningkat bila dikombinasi dengan
pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibandingkan dengan RF. Tidak semua
laboratorium mempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP
- Anti-RA33 merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP
negative
(Suarjana,2015)
Setiap kunjungan penderita AR, dokter harus menilai apakah penyakitnya aktif
atau tidak aktif. Gejala penyakit inflamasi sendi seperti kaku pagi hari, lamanya
kelelahan (fatigue) dan adanya sinovitis aktif pada pemeriksaan sendi,
mengindikasikan bahwa pneyakit dalam kondisi aktif sehingga perubahan
program terapi perlu dipertimbangkan. (Suarjana,2015)
28 | P a g e
- Adanya inflamasi sendi aktif pada pemeriksaan fisik (jumlah nyeri tekan
dan bengkak pada sendi)
- Keterbatasan fungsi
2. Evaluasi secara rutin terhadap aktivitas atau progresifitas penyakit
- Bukti progresivitas penyakit pada pemeriksaan fisik (keterlibatan gerak,
instabilitas, malalignment, dan/atau deformitas)
- Peningkatan LED atau CRP
- Perburukan kerusakan radiologis pada sendi yang terlibat
3. Parameter lain untuk menilai respons terapi
- Physician’s global assessment of disease activity
- Patient’s global assessment of disease activity
- Penilaian status fungsional atau kualitas hidup dengan menggunakan
kuesioner standar
(Suarjana,2015)
Terapi
1. Mengurangi nyeri
2. Mempertahankan status fungsional
3. Mengurangi inflamasi
4. Mengendalikan keterlibatan sistemik
5. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
6. Mengendalikan progresivitas penyakit
7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi
(Suarjana,2015)
29 | P a g e
Terapi Non Farmakologik
Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi
puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan
hasil yang baik. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam
perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek.
- Edukasi
Penjelasan penyakit, dalam pengobatan AR adalah perlunya penjelasan
kepada pasien tentang, apa itu AR, bagaimana perjalanan penyakitnya,
kondisi pasien saat ini dan bila perlu penjelasan tentang prognosis
penyakitnya. Pasien harus diberitahu tentang program pengobatan, risiko
dan keuntungan pemberian obat dan modalitas pengobatan yang lain.
Penjelasan tentang diet dan terapi komplementer, jelaskan pada pasien
AR bahwa tidak ada bukti yang nyata tentang pengaruh diet pada
perjalanan penyakitnya, namun bebeapa ahli menyarankan diet untuk
banyak makan sayuran, buah, dan ikan serta mengurangi konsumsi
lemak/daging merah. Terapi komplementer belum ada bukti yang adekuat
untuk mendukung pemakaiannya dalam pengelolaan AR.
- Latihan/program Rehabilitasi
Latihan fisik harus disesuaikan secara individual berdasarkan kondisi
penyakit dan kormobiditas yang ada. Latihan aerobic dapat
dikombinasikan dengan latihan penguatan otot (region terbatas atau
menyeluruh), dan latihan untuk kelenturan, koordinasi dan kecekatan
tangan serta kebuagaran tubuh. Terapi fisik dengan menggunakan laser
kekuatan rendah dan TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation),
Parafin (termoterapi), dapat mengurangi nyeri dalam jangka pendek.
Upaya terapi psikologis (misalnya, relaksasi, mengatasi stress dan
memperbaiki pandangan hidup yang positif) dapat membantu pasien AR
30 | P a g e
menyesuaikan hidup dengan kondisi mereka. (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia,2014)
Terapi Farmakologik
31 | P a g e
Terapi Kombinasi
- MTX + hidroksiklorokuin,
- MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine,
- MTX + sulfasalazine + prednisolone,
- MTX + leflunomide
(Suarjana,2015)
Pembedahan
Komplikasi
32 | P a g e
peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid; penurunan risiko
terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan karena pengguna OAINS.
- Komplikasi kardiak, 1/3 penderita AR mungkin mengalami efusi pericardia
asimptomatik saat didiagnosis ditegakkan; miokarditis bisa terjadi, baik
dengan atau tanpa gejala; blok atrioventrikuler jarang ditemukan.
- Dan berbagai komplikasi lainnya seperti; vaskulitis, nodul rheumatoid,
komplikasi pernafasan, deformitas sendi lainnya, deformitas sendi tangan,
peningkatan infeksi, pembentukan fistula, gangguan mata, dan penyakit
tulang belakang leher). (Suarjana, 2015)
Prognosis
33 | P a g e
4. Terdapat nodul rheumatoid dan manifestasi ekstraartikular lainnya
5. Petanda inflamasi (CRP atau LED) yang tinggi saat permulaan penyakit atau
terus menerus tinggi setelah pengobatan DMARD dengan dosis dan waktu
yang optimal
6. Faktor rheumatoid + dengan titer tinggi atau ACPA+
7. HLA DR4+ dan shared epitope positif
8. Tingkat pendidikan dan sosial ekonomi rendah
AG (Arthritis Gout)
Definisi
Gout adalah suatu kumpulan gejala yang timbul akibat adanya deposisi
kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di
dalam cairan ekstraseluler. Istilah tersebut perlu dibedakan dengan
hiperurisemia, yaitu peninggian kadar asam urat serum lebih dari 7,0 mg/Dl pada
laki-laki dan 6,0mg/Dl pada perempuan. Hiperurisemia adalah gangguan
metabolisme yang mendasari terjadinya gout.
Epidemiologi
Prevalensi artritis gout di Amerika Serikat sekitar 13,6 kasus per 1000
laki-laki dan 6,4 kasus per 1000 perempuan. Prevalensi ini berada di tiap negara,
berkisar antara 0,27% di Amerika hingga 10,3% di Selandia Baru. Peningkatan
insiden gout dikaitkan dengan perubahan pola diet dan gaya hidup, peningkatan
kasus obesitas dan sindrom metabolik.
34 | P a g e
Kejadian artritis gout di Indonesia masih belum jelas karena data yang
masih sedikit. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki berbagai macam jenis
etnis dan kebudayaan, jadi sangat memungkinkan jika Indonesia memiliki lebih
banyak variasi jumlah kejadian artritis gout. Pada tahun 2009 di Maluku Tengah
ditemukan 132 kasus, dan terbanyak ada di Kota Masohi berjumlah 54 kasus.
Prevalensi artritis gout di Desa Sembiran, Bali sekitar 18,9%, sedangkan di Kota
Denpasar sekitar 18,2%. Tingginya prevalensi artritis gout di masyarakat Bali
berkaitan dengan kebiasaan makan makanan tinggi purin seperti lawar babi yang
diolah dari daging babi, betutu ayam/itik, pepes ayam/babi, sate babi, dan babi
guling (Widyanto, 2014)
Patologi
Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma dikelilingi oleh butir
kristal monosodium urat (MSU). Reaksi inflamasi di sekeliling kristal terutama
terdiri dari sel mononuklir dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi
di sekitar tofus. Kapsul fibrosa biasanya prominen di sekeliling tofus. Kristal
dalam tofus berbentuk jarum (needle shape) dan sering membentuk kelompok
kecil secara radier. (Sudoyo, 2015)
Komponen lain yang penting dalam tofus adalah lipid glikosaminoglikan
dan plasma protein. Pada artritis gout akut cairan sendi juga mengandung kristal
monosodium urat monohidrat pada 95% kasus. Pada cairan aspirasi dari sendi
yang diambil segera pada saat inflamasi akut akan ditemukan banyak kristal di
dalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses fagositosis. (Sudoyo, 2015)
Patogenesis
Saturasi asam urat ditubuh terjadi pada konsentrasi 6,4-6,8 mg/dl pada
kondisi tertentu, dengan batas maksimal kelarutan adalah 7 mg/dl. Sekresi asam
urat berkorelasi dengan konsentrasinya karena sedikit peningkatan pada
konsentrasi serum berakibat peningkatan drastis sekresi urat. Hiperurisemia dapat
timbul karena penurunan eksresi (underexretor), peningkatan produksi
(overproducer), atau kombinasi keduanya. (Chris Tanto dkk, 2014)
35 | P a g e
Serangan artritis gout tidak hanya karena sadar asam urat yang terlalu
tinggi, namun juga terjadi saat penurunan kadar asam urat, misalnya pada
penggunaan alopurinol. Pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya
didalam tofus akan memicu inflamasi yang berujung gejala nyeri hebat. (Chris
Tanto dkk, 2014)
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada artritis gout dibedakan atas empat stadium, yaitu :
1. Stadium artritis gout akut. Serangan pertama artritis gout, ditandai
dengan peradangan monoartikular (unilateral) yang timbul mendadak
disertai eritema, nyeri hebat, dan penigkatan suhu disekitar sendi yang
terkena sehingga pasien sulit berjalan. Selain itu, dapat ditemukan tanda-
tanda peradangan pada sendi yang terkena dan timbul gejala sistemik
berupa demam, mengigil, dan malaise.
Lokalisasi umumnya pada metatarsofalangeal-1 (podagra) yang
dapat mengenai sendi lain antara lain pergelangan tangan/kaki,
siku, jari tangan, lutut, ankle, subtalar dan midfoot.
Faktor pencetus serangan akut: trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan
fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian diuretik atau penurunan dan
peningkatan asam urat.
2. Stadium interkritikal, merupakan periode asimtomatik, tidak didapatkan
tanda-tanda radang akut. Namun, pada aspirasi sendi dapat ditemukan
kristal monosodium urat. Periode ini berlangsung beberapa bulan sampai
beberapa tahun.
3. Stadium artritis gout kronis. Timbul serangan artritis gout berulang,
tidak ada gejala diantara dua fase serangan akut. Interval serangan akut
makin lama makin memendek, lama serangan makin lama makin
memanjang serta jumlah sendi yang terserang semakin banyak.
4. Stadium artritis gout kronis bertofus. Serangan poliartikular dan
ditemukan tofus (deposit kristal natrium urat pada jaringan) terutama pada
sendi yang sering mengalami serangan. Pada tofus yang pecah dapat
36 | P a g e
timbul infeksi sekunder. Pada stadium ini sering disertai batu saluran
kemih sampai penyakit ginjal menahun. (Chris Tanto dkk, 2014)
37 | P a g e
degenerasi sejalan dengan proses menua. Proses menua ini dapat
berpengaruh pada perubahan fisiologis yang tidak hanya berpengaruh
terhadap penampilan fisik, namun juga terhadap fungsi dan tanggapannya
pada kehidupan sehari-hari. Setiap individu mengalami perubahan-
perubahan tersebut secara berbeda, ada yang laju penurunannya cepat dan
dramatis, serta ada juga yang perubahannya lebih tidak bermakna. Pada
lanjut usia terjadi kemunduran sel-sel karena proses penuaan yang dapat
berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya berbagai
macam penyakit seperti peningkatan kadar asam urat (hiperurisemia).
(Fauzan, 2016)
Berdasarkan hasil penelitian dengan usia didapatkan kejadian
artritis gout adalah sebanyak 1 pasien usia 25 – 45 tahun dan 2 pasien usia
> 45 tahun, sedangkan pada umur < 25 tidak didapatkan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan bahwa artritis gout jarang terjadi pada usia sebelum
dewasa (adolescens) (Tehupelory, 2009). Menurut hidayat (2009) onset
sebelum 25 tahun merupakan bentuk tidak lazim dari artritis gout yang
mungkin merupakan manifestasi adanya gangguan spesifik, penyakit
ginjal atau penggunaan siklosporin. (Pranata, 2013)
C. Hubungan IMT dengan Arthritis Gout
Kadar asam urat tubuh ditentukan oleh keseimbangan produksi dan
ekskresi. Produksi asam urat tergantung dari diet, serta proses internal
tubuh berupa biosintesis, degradasi, dan pembentukan cadangan (salvage)
asam urat. Seseorang dengan indeks masa tubuh (IMT) berlebih
(overweight) berisiko tinggi mengalami hiperurisemi meskipun seseorang
dengan indeks masa tubuh (IMT) kurang dan indeks masa tubuh (IMT)
normal juga dapat berisiko mengalami hiperurisemia. Hal tersebut dapat
terjadi karena adanya peningkatan asam urat di dalam tubuh seseorang.
Pada tubuh seseorang sebenarnya sudah mempunyai asam urat dalam
kadar normal, apabila produksi asam urat di dalam tubuh seseorang itu
meningkat dan ekskresi asam urat melalui ginjal dalam bentuk urin
menurun dapat berakibat terjadinya hiperurisemia. Asam urat yang
38 | P a g e
terakumulasi dalam jumlah besar di dalam darah akan memicu
pembentukan kristal berbentuk jarum. Kristal- kristal biasanya
terkonsentrasi pada sendi, terutama sendi perifer (jempol kaki atau
tangan). Sendi-sendi tersebut akan menjadi bengkak, kaku, kemerahan,
terasa panas, dan nyeri sekali. (Fauzan, 2016)
Rothenbacher et al. (2011) pada penelitiannya yang juga
menganalisis hubungan IMT dan frekuensi serangan gout, menyimpulkan
bahwa obesitas adalah salah satu komorbid yang umum pada pasien
dengan serangan gout berulang. Lingkar pinggang, indikator obesitas
lainnya, yang telah terbukti lebih dekat kaitannya dengan hiperurisemia
dan resistensi insulin, belum pernah diteliti kaitannya dengan frekuensi
serangan gout. (Fauzan, 2016)
Diagnosis
Penegakan diagnosis didasarkan atas kreteria dibawah ini (american college of
reumatology 1977) :
a) Ditemukan kristal monosodium urat pada cairan sendi
b) Terdapat tofus berisi kristal monosodium urat yang dibuktikan
melalui pemeriksaan kimiawi atau mikroskop cahaya terpolarisasi
c) Ditemukan 6 dari 12 fenomena klinis,laboraturium, maupun
radiologi seperti dibawah ini :
Ditemukan lebih dari satu serangan artritis akut
Inflamasi maksimal yang timbul dalam waktu satu hari
Serangan artritis monoartikular
Kemerahan pada sendi
Pembengkakan atau nyeri yang timbul pada sendi
metatarsofalangeal pertama
Serangan unilateral yang melibatkan sendi metatarsofalangeal
pertama
Serangan unilateral yang melibatkan sendi tarsal
Massa yang dicurigai tofus
39 | P a g e
Hiperurisemia
Pembengkakan asimetris pada sendi yang dibuktikan melalui
pemeriksaan X-ray
Kista subkortikal tanpa erosi yang terlihat melalui pemeriksaan X-
ray
Pemerikasaan negatif mikroorganisme dari cairan sendi saat
terjadi inflamasi sendi
Peningkatan kadar asam urat tanpa adanya menifestasi
klinis yang khas, bukan kriteria diagnosis artritis gout. (Chris
Tanto, dkk)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium : serum urat darah dan asam urat urin 24 jam
Pemeriksaan analisis cairan sendi :
Temuan kristal monosodium urat
Cairan sendi sesuai kondisi inflamasi (leukosit 5.000-80.000/mm³),
predominan neutrofil, kultur (-)
Pemeriksaan radiologi : tidak spesifik pada kondisi awal penyakit, soft-
tissue swelling pada sekitar sendi. (Chris Tanto, dkk)
Komplikasi
Menurut Rotschild (2013), komplikasi dari artritis gout meliputi severe
degenerative arthritis, infeksi sekunder, batu ginjal dan fraktur pada sendi. Sitokin,
kemokin, protease, dan oksidan yang berperan dalam proses inflamasi akut juga
berperan pada proses inflamasi kronis sehingga menyebabkan sinovitis kronis,
dekstruksi kartilago, dan erosi tulang. Kristal monosodium urat dapat
mengaktifkan kondrosit untuk mengeluarkan IL-1, merangsang sintesis nitric
oxide dan matriks metaloproteinase yang nantinya menyebabkan dekstruksi
kartilago. Kristal monosodium urat mengaktivasi osteoblas sehingga mengeluarkan
sitokin dan menurunkan fungsi anabolik yang nantinya berkontribusi terhadap
kerusakan juxta artikular tulang. (Widyanto, 2014)
40 | P a g e
Artritis gout telah lama diasosiasikan dengan peningkatan resiko
terjadinya batu ginjal. Penderita dengan artritis gout membentuk batu ginjal
karena urin memilki pH rendah yang mendukung terjadinya asam urat yang tidak
terlarut (Liebman et al, 2007). Terdapat tiga hal yang signifikan kelainan pada
urin yang digambarkan pada penderita dengan uric acid nephrolithiasis yaitu
hiperurikosuria (disebabkan karena peningkatan kandungan asam urat dalam
urin), rendahnya pH (yang mana menurunkan kelarutan asam urat), dan
rendahnya volume urin (menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat pada
urin). (Widyanto, 2014)
Prognosis
Prognosis artritis gout dapat dianggap sebuah sistem bukan penyakit
sendiri. Dengan kata lain prognosis penyakit artritis gout merupakan prognosis
penyakit yang menyertainya. Artritis gout sering dikaitkan dengan morbiditas
yang cukup besar, dengan episode serangan akut yang sering menyebabkan
penderita cacat. Namun, artritis gout yang diterapi lebih dini dan benar akan
membawa prognosis yang baik jika kepatuhan penderita terhadap pengobatan juga
baik. Jarang artritis gout sendiri yang menyebabkan kematian atau fatalitas pada
penderitanya. Sebaliknya, artritis gout sering terkait dengan beberapa penyakit
yang berbahaya dengan angka mortalitas yang cukup tinggi seperti hipertensi,
dislipidemia, penyakit ginjal, dan obesitas. Penyakit-penyakit ini bisa muncul
sebagai komplikasi maupun komorbid dengan kejadian artritis gout. (Widyanto,
2014)
Dengan terapi yang dini, artritis gout dapat dikontrol dengan baik. Jika
serangan artritis gout kembali, pengaturan kembali kadar asam urat (membutuhkan
urate lowering therapy dalam jangka panjang) dapat mempengaruhi aktivitas
kehidupan penderita. Selama 6 sampai 24 bulan pertama terapit artritis gout,
serangan akut akan sering terjadi. Luka kronis pada kartilago intraartikular dapat
mengakibatkan sendi lebih mudah terserang infeksi. Tofus yang mengering dapat
menjadi infeksi karena penumpukan bakteri. Tofus artritis gout kronis yang tidak
diobati dapat mengakibatkan kerusakan pada sendi. Deposit dari kristal
41 | P a g e
monosodium urat di ginjal dapat mengakibatkan inflamasi dan fibrosis, dan
menurunkan fungsi ginjal. (Widyanto, 2014)
Pada tahun 2010, artritis gout diasosiasikan sebagai penyebab utama
kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Analisis 1383 kematian dari 61527
penduduk Taiwan menunjukkan bahwa individu dengan artritis gout
dibandingkan dengan individu yang memiliki kadar asam urat normal, hazard
ratio (HR) dari semua penyebab kematian adalah 1,46 dan HR dari kematian
karena penyakit kardiovaskuler adalah 1,97. Sedangkan individu dengan artritis
gout, HR dari semua penyebab kematian adalah 1,07, dan HR dari kematian
karena penyakit kardiovaskuler adalah 1,08. (Widyanto, 2014)
Tata Laksana
1. Terapi Medikamentosa bertujuan untuk mengatasi serangan akut, mencegah
berulangnya serangan artritis, mencegah dan mengatasi komplikasi sebagai
akibat deposisi kristal monosodium urat di sendi/ginjal/jaringan lain, serta
mencegah dan mengatasi kondisi yang terkait gout seperti obesitas,
hipertrigliseridemia, hipertensi.
Pengobatan artritis gout terdiri atas dua tahap yaitu :
a) Tahap 1 : Pada stadium akut, pengobatan artritis gout bertujuan
menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan.
Kolkisin per oral 0,5-0,6 mg setiap 2 jam sampai nyeri dan
inflamasi menghilang, dengan dosis maksimal 6 mg- 8 mg. Untuk
profilaksis terjadinya artritis gout, dapat diberikan kolkisin
dengan dosis 2 × 0,5 mg.
OAINS ( oral atau parenteral) yang sering digunakan adalah
indometasin. Dosis indometasin adalah 150-200 mg/hari selama
2-3 hari dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya
atau sampai nyeri atau peradangan berkurang.
Kortikosteroid ( oral atau parenteral ) jika terdapat kontraindikasi
penggunaan kolkisin atau OAINS : prednison 20-40 mg/ hari atau
setara selama 3-4 hari kemudian dilakukan tappering off dalam
42 | P a g e
1-2 minggu. Sebagai alternatif, dapat diberikan ACTH IM dosis
40-80 IU setiap 6-12 jam selama beberapa hari jika diperlukan.
b) Tahap 2 : menjaga kadar asam urat darah agar selalu dalam batas normal.
Golongan obat yang dapat digunakan adalah obat urikosurik dan
penghambat xantin oksidase (alopurinol). Penting untuk diperhatikan
bahwa obat ini tidak boleh diberikan pada saat serangan antritis gout
karena akan mengakibatkan serangan berkepanjangan.
Alopurinol merupakan obat pilihan utnuk produksi asam urat
berlebihan yang disertai pembentukan tofus, nefrolitiasis,
insufisiensi renal atau adanya kontraindikasi untuk terapi dengan
urikosurik. Penting untuk diperhatikan, toksisitas alopurinol
timbul pada kondisi penurunan LFG. Oleh kerena itu penting
utnuk dilakukan penyesuaian dosis. Dosis maksimal pemberian
alopurinol adalah 800 mg/hari. Efek samping yang dapat timbul
dalam penggunaan alopurinol adalah sindrom dispepsia, nyeri
kepala, diare, pruritic papular rash, dan kemungkinan
hipersensitivitas.
Obat urikosurik yang umum digunakan dalam tahap ini adalah
probenesid. Penggunaan golongan obat ini efektif untuk pasien
yang laju filtrasi glomerulus (LFG) >50-60 Ml/menit. Dosis
inisial yang diberikan adalah 0,5 g/hari dan ditingkatkan secara
perlahan tidak lebih dari 1 g/hari atau hingga target asam urat
tercapai. Efek samping yang dapat timbul pada penggunaan
urikosurik adalah pembentukan kristal asam urat di urin dan
deposisi asam urat pada tubulus renal, pelvis, atau ureter.
2. Terapi non- medikamentosa
Penurunan berat badan hingga tercapai berat badan ideal
Pengaturan diet rendah purin. Makanan dan minuman yang harus
dihinadari antara lain : daging merah, bayam dan alkohol
Mengistirahatkan sendi yang terkena. Olahraga ringan
diperkenankan untuk menjaga kebugaran tubuh
43 | P a g e
Jika mampu, menghindari obat-oabatan yang mengakibatkan
terjadinya hiperurisemia (misalnya loop diuretic, diuretik tiazid,
salisilat dosis rendah, siklosporin, niasin, etambutol dan
pirazinamid).
44 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Aldila, Yussi. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Osteoarthritis Lutut pada
Ibu Rumah Tangga. Surakarta : UMS. 2014
Angela, Sarah Sumual, Vennetia R Danes, dan Fransiska Lintong. Pengaruh
Berat Badan Terhadap Gaya Gesek dan Timbulnya Osteoarthritis pada Orang
Diatas 45 tahun di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Manado : UNSRAT.
2013
Booth, L Sarah, Devyani Misra, MD.MS,dkk. Vitamin K Deficiency is Associated
with Incident Knee Osteoarthritis. Ncbi 2013.
Chris Tanto., Frans Liwang., Sonia Hanifati., dkk. Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C.Robbins Basic Pathology 9th Edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier.2013; 784
Lalwani, Anil K. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head and
Neck Surgery. The McGraw-Hill Companies. 2007
45 | P a g e
Mariely, Nieves Plaza, Lesliane E. Castro,dkk. Association of Hand or Knee
Osteoarthritis with Diabetes Melitus in a Population of Hispanic From Puerto
Rico. Ncbi. 2014
Noer, Sjaifoellah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 3. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2004
Pranata, pradhita budi. Hubungan kadar asam urat dalam darah pada penderita
penyakit ginjal kronik dengan kejadian artritis gout di RSUD dr. Moewardi.
2013. E-journal UMS, diakses 25 september 2017. http://eprints.ums.ac.id
Pratiwi, Anisa Ika. Diagnosis and Treatment Osteoarthritis. Lampung : FK
UNILA. 2015
Suarjana, I Nyoman. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi VI. Jakarta:
InternaPublishing. 2015
Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S,. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010
Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S,. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2015
46 | P a g e