Anda di halaman 1dari 46

SKENARIO

Seorang perempuan umur 57 tahun, Ibu Rumah Tangga, dibawa ke poliklinik


dengan keluhan nyeri lutut kanan yang dialami sejak 2 bulan terakhir ini, terutama saat
berjalan, tidak bisa duduk saat shalat. Kaku pagi hari (+), berlangsung sekitar 10-15
menit. Bengkak pada lutut kanan, namun tidak ada tanda-tanda kemerahan. Penderita juga
menderita kencing manis, berat badan 68kg dengan tinggi badan 164cm.

Kata Kunci

 Perempuan
 57 tahun
 Ibu Rumah Tangga
 Nyeri lutut kanan saat berjalan
 Kaku pagi hari, berlangsung 10-15 menit
 Bengkak pada lutut kanan
 Tidak ada tanda kemerahan
 Kencing manis
 Berat badan: 68 kg. Tinggi badan: 164 cm. IMT: 25,3. Status gizi:
Obesitas 1

Daftar Pertanyaan

 Jelaskan anatomi dan fisiologi sendi


 Bagaimana patomekanisme nyeri?
 Bagaimana hubungan antara gejala pada pasien dengan differensial
diagnosis?

Learning Object

o Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi sendi

1|Page
o Mahasiswa mampu menjelaskan patomekanisme nyeri
o Mahasiswa mampu menyebutkan dan menjelaskan differensial diagnosis
yang memberikan gambaran nyeri sendi.

Hipotesa

o Dari gejala yang dialami, dapat diambil beberapa kemungkinan penyakit


yang dialami pasien, yaitu OA (Osteoarthritis), AR (Arthritis
Rheumatoid), dan AG (Arthritis Gout)

Problem Tree

ANATOMI SENDI

PATOGENESIS
ARTHRITIS GOUT
NYERI

NYERI
SENDI

ARTHRITIS
OSTEOARTHRITIS
RHEUMATOID

Anatomi dan Fisiologi Sendi

Pada skenario penderita mengalami nyeri asimetris yaitu nyeri pada 1 buah
sendi, penderita mengalami nyeri lutut dimana lokasi tersebut terjadi pada
articulatio.

Articulatio genu dibentuk oleh ujung distal condylus femoris dengan ujung
proximal condylus tibiae dan dengan facies dorsalis patella. Permukaan

2|Page
persendian dari condylus femoris yang berhadapan dengan tibiae yang berbentuk
konveks, bentuk facies articulus pada ujung condylus tibiae atas dan dilengkapi
dengan fibrokartilago yang dinamakan meniscus, yaitu meniscus lateralis dan
meniscus medialis. Stabilitas articulus ini tergantung pada ligamentum yang
terdapat disitu. Meniscus medialis dan lateralis adalah dua buah fibrokartilago
yang berbentuk cresentik (sebagaian dari lingkaran), mengadakan perlekatan pada
facies cranialis ujung proximal tibiae. Pada penampakan melintang meniscus
berbentuk segitiga. Meniscus medialis berbentuk lebih besar dari pada meniscus
lateralis, dengan bagian yang terbuka meliputi (kaki huruf C) meniscus lateralis.
Sendi ini merupakan sendi tipe condyloidea. Gerakan utama pada persendian ini
adalah flexi dan ekstensi yang terjadi terhadap axis transversal. (Sudoyo AW dkk,
2010)

Ada 3 jenis persendian yang dibedakan berdasarkan jangkauan gerakan


yang dimiliki:

1. Persendian fibrosa, yaitu persendian yang tidak dapat


digerakkan,dimana letak tulang-tulangnya sangat berdekatan dan
hanya dipisahkan oleh selapis jaringan ikat fibrosa,contohnya sutura
diantara tulang-tulang tengkorak.
2. Persedian kartilagenous, yaitu persendian yang gerakanya terbatas,
dimana tulang-tulangnya dihubungkan oleh tulang rawan hialin,
contohnya tulang iga.

3|Page
3. Persendian sinovial, yaitu persendian yang gerakannya bebas,
merupakan bagian terbesar dari persendian pada tubuh orang dewasa,
contohnya sendi bahu dan panggul, siku dan lutut, sendi pada tulang-
tulang jari tangan dan kaki, pergerakan tangan dan kaki.
(Syaifuddin,2006)

Patomekanisme Nyeri

Proses nyeri mulai stimulus nociceptor oleh stimulus noxious sampai


terjadinya pengalaman subyektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan
kimia yang bisa dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu
:tranduksi,transmisi,modulasi,dan persepsi.

Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulus nociceptor oleh


stimulus noxious pada jaringan,yang kemudian akan mengakibatkan stimulus
nociceptor dimana disini stimulus noxious tersebut akan dirubah menjadi
potensial aksi, proses ini disebut tranduksi atau aktivasi reseptor. Selanjutnya
potensial aksi tersebut akan ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat
yang berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi adalah konduksi
impuls dari neuron aferen primer ke kornu dorsalis medula spinalis, pada kornu
dorsalis ini neuron aferen primer bersinaps dengan neuron susunan saraf pusat.
Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik ke atas di medula spinalis menuju
batang otak dan thalamus. Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara
thalamus dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi respons
persepsi dan afektif yang berhubungan dengan nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptif
tidak selalu menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri bisa terjadi
tanpa stimulasi nosiseptif. Terdapat proses modulasi sinyal yang mampu
mempengharui proses nyeri tersebut, tempat modulasi sinyal yang paling
diketahui adalah pada kornu dorsalis medula spinalis. Proses terakhir adalah
persepsi,dimana pesan nyeri di relai menuju ke otak dan menghasilkan
pengalaman yang tidak menyenangakan. (Sudoyo AW dkk,2010)

4|Page
Differensial Diagnosis

Osteoarthritis

Definisi

Osteoarthritis (OA), juga disebut penyakit sendi degenerative,


mencerminkan kegagalan sendi diatrodial (dapat digerakkan, dilapisi oleh
synovium). Pada OA idiopatik (primer), bentuk tersering penyakit ini, faktor
predisposisi tidak jelas ada. OA sekunder secara patologis tidak dapat dibedakan
dari OA idiopatik tetapi disebabkan oleh penyakit lain yang mendasari.
(Harrison, 2014)

Selain itu, OA didefinisikan sebagai penyakit degenerative sendi ialah


suatu penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat yang tak
diketahui penyebabnya, meskipun terdapat beberapa faktor risiko yang berperan.
Keadaan ini berkaitan dengan usia lanjut, terutama pada sendi-sendi tangan dan
sendi besar yang mengandung beban dan secara klinis ditandai oleh nyeri,
deformitas, pembesaran sendi dan hambatan gerak (IPD, 2004).

Dan menurut American College of Rheumatology sebagai "kelompok


kondisi heterogen yang mengarah pada gejala dan tanda sendi yang terkait dengan
integritas tulang rawan artikular yang rusak, di samping perubahan yang terkait
pada tulang yang mendasari pada pinggir sendi. "

Epidemiologi

OA adalah penyakit sendi yang paling sering ditemukan pada manusia.


OA lutut merupakan penyebab utama disability kronik di negara-negara
berkembang; sekitar 100.000 orang di Amerika Serikat tidak dapat berjalan tanpa
bantuan dari tempat tidur ke kamar mandi karena OA lutut atau panggul.

Dibawah usia 55 tahun, distribusi sendi OA pada laki-laki dan perempuan


sama; pada orang yang berusia lebih tua, OA panggul lebih sering pada laki-laki,
sedangkan OA sendi interfalang dan pangkal jempol lebih sering pada perempuan.

5|Page
Demikian juga, bukti radiografik OA lutut, terutama OA lutut simtomatik,
tampaknya leih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki.

Orang lanjut usia di Indonesia yang menderita cacat karena osteoarthritis


diperkirakan mencapai dua juta. Prevalensi osteoarthritis usia 49-60 tahun di
Malang mencapai 21,7%, yang terdiri dari 6,2% laki-laki dan 15,5% perempuan.
Insidensi osteoarthritis meningkat seiring dengan usia dengan adanya bukti pada
gambaran fotopolos.

Insidensi osteoartritis di Amerika pada usia 18-24 tahun, 7% laki-laki dan


2% perempuan menggambarkan osteoarthritis pada tangan. Pada usia 55-64
tahun, 28% laki-laki dan perempuan terkena osteoarthritis lutut dan 23%
osteoarthritis panggul. Pada usia antara 65-74, 39% laki-laki dan perempuan
menggambarkan osteoarthritis pada lutut dan 23% menggambarkan osteoarthritis
pada panggul. Pada usia diatas 75 tahun, sekitar 100% laki-laki dan perempuan
mempunyai gejala-gejala osteoartritis. Kejadian osteoartritis di Norwegia pada
tahun 2008, 80% berusia lebih dari 55 tahun. Angka keseluruhan prevalensi
osteoartritis di Norwegia adalah 12,8% dan lebih tinggi pada perempuan (14,7%)
di banding lakilaki (10,5%). Prevalensi osteoarthritis panggul adalah 5,5%,
osteoarthritis lutut 7,1% dan osteoarthritis tangan 4,3%.

Etiologi

Osteoartritis diklasifikasikan oleh Altman et al menjadi 2 golongan, yaitu OA


primer dan OA sekunder.

 Osteoartritis primer

Osteoartritis primer atau OA idiopatik belum diketahui penyebabnya dan


tidak berhubungan dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada
sendi. Meski demikian, osteoartritis primer banyak dihubungkan pada penuaan.

Osteoartritis primer ini dapat meliputi sendi-sendi perifer (baik satu


maupun banyak sendi), sendi interphalang, sendi besar (panggul, lutut), sendi-

6|Page
sendi kecil (carpometacarpal, metacarpophalangeal), dan atau intervertebral pada
tulang belakang, maupun variasi lainnya.

 Osteoartritis sekunder
Osteoartritis sekunder adalah OA yang disebabkan oleh penyakit atau
kondisi lainnya, seperti pada post-traumatik, kelainan kongenital dan
pertumbuhan (baik lokal maupun generalisata), kelainan tulang dan sendi,
penyakit akibat deposit kalsium, kelainan endokrin seperti diabetes melitus
, imobilitas yang terlalu lama, serta faktor risiko lainnya seperti obesitas,
operasi yang berulangkali pada struktur-struktur sendi, dan sebagainya
(Yanuarty,2015)

Faktor Risiko

1. Umur
Faktor risiko tertinggi untuk OA adalah usia. Peningkatan progresif
prevalensi OA dijumpai seiring dengan peningkatan usia. Pada suatu
survey radiografik terhadap perempuan usia berusia kurang dari 45 tahun,
hanya 2% menderita OA; namun, antara usia 45 dan 64 tahun
prevalensinya 30%, sedangkan untuk yang berusia lebih dari 65 tahun
angkanya 68%. (Harrison, 2014)

Menurut Khairani (2013), proses penuaan dimulai pada usia lanjut,


terlihat perubahan permukaan sendi yang baik pada usia muda menjadi
permukaan granular mengalami kerusakan pada usia tua. Ditambah lagi
bahwa tulang rawan memiliki keterbatasan dalam proses regenerasi,
perubahan– perubahan degeneratif ini tidak dapat kembali ke keadaan
semula dan bersifat progresif. Kondrosit berusaha mempercepat sintesa
proteoglikan dan kolagen. Walaupun kondrosit berusaha mempercepat
sintesis, kadar proteoglikan tetap berkurang karena rusak oleh enzim
lisosom. Pada pusat permukaan sendi dimana gesekan terus terajadi dan
sendi yang menerima beban mengalami hipertrofi dan hiperplasia pada

7|Page
tulang – tuang disekitar tulang rawan. Kondrosit ini akhirnya mengalami
osifikasi enkondral dan terjadilah pengapuran.

2. Jenis Kelamin
Osteoartritis lebih banyak ditemukan pada perempuan jika
dibandingkan dengan laki-laki yaitu 68,67%. Secara statistik perempuan
memiliki body mass index (BMI) diatas rata-rata dimana kategori BMI
pada perempuan Asia menurut jurnal American Clinical Nutrition adalah
antara 24 sampai dengan 26,9kg/m2 dan mempunyai nilai lebih kecil jika
dibandingkan dengan perempuan Amerika dan tingkat obesitas pada
wanita di Amerika adalah empat persen dan pada laki-laki hanya dua
persen. Pada perempuan menopause, akan terjadi penumpukan lemak
terutama pada sendi bagian bawah dan menyebabkan peningkatan beban
pada sendi.
Di dalam penelitian Dr. O’Connor (2007), jenis kelamin
perempuan merupakan factor resiko terjadinya osteoartritis. Pada studi
tersebut prevalensi dan insidensi osteoarthritis meningkat sebanyak tiga
kali lipat pada perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal yang
sama juga ditemukan dalam penelitian Zhang Fu-qianget al., padatahun
2009 di Fuzhou yang menunjukkan peningkatan prevalensi lebih tinggi
pada perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki yaitu sebesar 35,87%.
(Pratiwi, 2015)
Meningkatnya kejadian OA pada wanita di atas 50 tahun
diperkirakan karena turunnya kadar estrogen yang signifikan setelah
menopause. Kondrosit memiliki reseptor estrogen fungsional, yang
menunjukkan bahwa sel-sel ini dipengaruhi oleh estrogen. Penelitian yang
dilakukan pada beberapa tikus menunjukkan bahwa estrogen
menyebabkan peningkatan pengaturan reseptor estrogen pada kondrosit,
dan peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan sintesis
proteoglikan pada hewan percobaan (Yanuarty, 2015)
3. Suku Bangsa atau Ras

8|Page
Terdapat perbedaan ras dalam prevalensi OA dan pola keterlibatan
sendi. Bangsa Cina di Hong Kong memiliki insidensi OA panggul yang
lebih rendah daripada kulit putih; OA lebih sering ditemukan pada orang
Amerika asli daripada kulit putih. OA sendi antarfalang dan terutama OA
panggul jauh lebih jarang pada orang berkulit hitam Afrika Selatan
daripada kulit putih pada populasi yang sama. Tidak diketahui apakah
perbedaan ini bersifat genetic atau akibat perbedaan pemakaian sendi yang
berkaitan dengan gaya hidup atau pekerjaan.
4. Genetik
Faktor genetik merupakann faktor penting. Anak perempuan
dengan ibu yang memiliki OA berisiko lebih tinggi dari pada anak laki-
laki karena OA diwariskan diwariskan kepada anak perempuan secara
dominan sedangkan pada laki-laki diwariskan secara resesif. Pada kasus
lain, hubungan hereditas dengan OA lebih jelas. Ibu dari seorang
perempuan dengan OA sendi antarfalang distal memiliki kemungkinan 2
kali lebih besar menderita OA di sendi tersebut- dan saudara kandung
perempuannya tiga kali lipat- dibandingkan ibu dan saudara perempuan
dari perempuan yang tidak sakit.
Adanya mutasi dalam gen prokolagen II atau gen-gen structural
lainnya untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan
XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam
timbulnya kecenderungan familial pada OA tertentu (Noer, Sjaifoellah,
2004)
Namun, baru-baru ini berhasil diketahui adanya mutase titik (point
mutation) di cDNA yang mengkode kolagen tipe II pada beberapa generasi
sebuah keluarga dengan kondrodisplasia dan OA sekunder poliartikularis.
Prevalensi kelainan genetic dalam molekul matriks akan menjadi focus
utama riset OA di tahun-tahun mendatang. (Harrison, 2014)
Namun demikian, bagaimana mekanisme dari faktor genetic ini belum bisa
dijelaskan secara pasti
5. Obesitas

9|Page
Keterkaitan antara kegemukan dan OA lutut telah lama diketahui,
hubungan kausal antara keduanya hanya baru-baru ini dibuktikan. Untuk
orang yang memiliki indeks massa tubuh berada di quintile tertinggi pada
pemeriksaan dasar, risiko relative mengalami OA lutut dalam 36 tahun
mendatang adalah 1,5 untuk laki-laki dan 2,1 untuk perempuan. Dan untuk
OA lutut yang parah, risiko relative meningkat menjadi 1,9 untuk laki-laki
dan 3,2 untuk perempuan, yang mengisyaratkan bahwa kegemukan
berperan lebih besar dalam etiologi kasus OA lutut yang parah. (Harrison,
2014)
Seperti yang terdapat pada kasus, dimana berat badan (BB) yang
dimiliki yaitu 68kg dengan tinggi badan (TB) 164cm. maka IMT dari ibu
tersebut yaitu :

IMT : BB/TB(m)2
: 68/(1,64) 2
: 25,3 kg/m2 (OBES 1)

Kegemukan menyebabkan stress abnormal pada sendi lutut. Stres


abnormal menyebabkan terjadinya perubahan biofisika yang berupa
fraktur jaringan kolagen dan degradasi proteoglikan. Adanya fraktur
jaringan kolagen memungkinkan cairan sinovial mengisi celah yang
terdapat pada kartilago dan membentuk kista subkondral. Osteofit yang
terbentuk pada permukaan sendi dapat terjadi akibat proliferasi pembuluh
darah di tempat rawan sendi berdegenerasi, kongesti vena yang disebabkan
perubahan sinusoid sumsum yang tertekan oleh kista subkondral, atau
karena rangsangan serpihan rawan sendi kemudian terjadi sinovitis
sehingga tumbuh osteofit pada tepi sendi, perlekatan ligamen atau tendon
dengan tulang. Dengan kata lain, osteoartritis lutut pada seseorang yang
gemuk terjadi karena sebab mekanik.

10 | P a g e
Obesitas merupakan faktor risiko kuat bagi osteoartritis lutut
bilateral maupun unilateral. Pada saat berjalan beban berat badan
dipindahkan ke sendi lutut 3-6 kali lipat berat badan. Bila proporsi berat
badan lebih dari tinggi badan (obesitas), kerja sendi pun akan semakin
berat. Secara biomekanika bahwa pada keadaan normal gaya berat badan
akan melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi oleh otot - otot paha
bagian lateral sehingga resultannya akan jatuh pada bagian sentral sendi
lutut. Sedangkan pada keadaan obesitas resultan tersebut akan bergeser ke
medial sehingga beban yang diterima sendi lutut akan tidak seimbang Hal
ini dapat menyebabkan ausnya tulang rawan karena bergesernya titik
tumpu badan. Oleh karena itu kelebihan berat badan lebih dan obesitas
membuat satu faktor risiko bagi Osteoarthritis lutut pada umur lanjut.
(Aldilla,2014)
Pasien dengan beban tubuh besar maka akan besar pula gaya
gesekan yang terjadi antar sendinya dan akan menimbulkan nyeri pada
penderita osteoarthritis. Pengurangan berat badan setengah kilogram
menghemat beban lutut 2 kg, dan berkurangnya berat badan 2 kg
menurunkan resiko OA sendi lutut 50% pada wanita.
Pernyataan bahwa makin kasar permukaan benda yang saling
bersinggungan maka makin besar gaya gesekan juga berlaku dengan
penjelasan bahwa penipisan tulang kartilago dan pembentukan osteofit
pada pinggir-pinggir tulang menyebabkan permukaan tulang menjadi
kasar sehingga dengan bersinggungannya antar tulang menyebabkan nyeri
yang hebat dan pembatasan dalam pergerakkan. Mengontrol besar gaya
gesekan dilakukan dengan mengontrol nilai koefisien gesekannya.
Koefisien gesekan dapat diperkecil dengan memperhalus permukaan yang
melakukan kontak, contohnya cairan synovial pada sendi yang melumasi
persendian tulang. (Angela,dkk 2013)
6. Aktivitas sehari-hari atau Pekerjaan

Dalam penelitian Aldilla (2014) diketahui bahwa 44,9% subyek


mempunyai aktivitas dimulai 05.00 hingga pukul 10.00 WIB dan

11 | P a g e
dilanjutkan siang hari. Berdasarkan hasil penelitian pada saat pengisian
kuesioner, subyek menjelaskan bahwa aktivitas pada pagi hari seperti
membersihkan rumah, menyapu, mencuci ataupun memasak untuk
sarapan anggota keluarga, dan berbelanja. Meskipun kegiatan ini dibantu
oleh anggota kelaurga, akan tetapi kegiatan ini dilakukan setiap hari dan
sudah berlangsung bertahun-tahun. Aktivitas fisik dapat menyebabkan
terjadinya Osteoarthritis. Aktivitas yang rutin dan cukup berat dapat
meningkatkan risiko terjadinya Osteoarthritis, apalagi kegiatan ini
dilakukan selama bertahun-tahun. Subyek yang berkerja dengan beban
kerja yang banyak, aktivitas yang rutin akan membebani sendi lutut. dan
mempunyai risiko terserang osteoartritis lebih besar dibanding yang tidak
banyak beban kerja. Pengaruh pekerjaan pada wanita usia sampai 53 tahun
menunjukkan bahwa semakin besar beban kerja maka semakin besar
terjadinya risiko osteoarthiris lutut.

Patogenesis

Kartilago sendi, organ sasaran utama pada OA, memiliki 2 fungsi mekanis
utama di dalam sendi.

1. Membentuk permukaan yang sangat halus sehingga pada


pergerakan sendi satu tulang menggelincir tanpa hambatan
terhadap tulang yang lain.
2. Dengan synovium sebagai pelumas, koefisien gesekan untuk
kartilago yang bergesekan dengan kartilago lain, adalah 15 kali
lebih rendah daripada koefisien dua batu es yang bergesekan satu
sama lain.

OA terbentuk pada dua keadaan : (1) Sifat biomaterial kartilago sendi dan
tulang subkondral normal, tetapi terjadi beban berlebihan terhadap sendi sehingga
jaringan rusak; atau (2) beban yang ada secara fisiologis normal, tetapi sifat bahan
kartilago atau tulang yang kurang baik.

12 | P a g e
Kartilago sendi tersusun oleh dua spesies makromolekul utama :
proteoglikan (PG), yang berperan menimbulkan kekakuan jaringan dan
menyebabkan jaringan mampu menahan beban, dan kolagen yang menentukan
kekuatan regangan dan daya tahan terhadap robekan. (Harrison,2014)

Tulang rawan (kartilago) sendi dibentuk oleh sel kondrosit dan matriks
ekstraseluler, yang terutama terdiri dari air (65%-80%), proteoglikan, dan jaringan
kolagen. Kondrosit berfungsi mensintesis jaringan lunak kolagen tipe II untuk
penguat sendi dan proteoglikan untuk membuat jaringan tersebut elastis, serta
memelihara matriks tulang rawan sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap
terjaga dengan baik. Kartilago tidak memiliki pembuluh darah sehingga proses
perbaikan pada kartilago berbeda dengan jaringan-jaringan lain. Di kartilago,
tahap perbaikannya sangat terbatas mengingat kurangnya vaskularisasi.

Secara umum, kartilago akan mengalami replikasi dan memproduksi


matriks baru untuk memperbaiki diri akibat jejas mekanis maupun kimiawi.
Namun dalam hal ini, kondrosit gagal mensintesis matriks yang berkualitas dan
memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler,
termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI, dan X yang berlebihan dan sintesis
proteoglikan yang pendek. Akibatnya, terjadi perubahan pada diameter dan

13 | P a g e
orientasi serat kolagen yang mengubah biomekanik kartilago, sehingga kartilago
sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya.

Beberapa keadaan seperti trauma / jejas mekanik akan menginduksi


pelepasan enzim degradasi, seperti Matrix Metalloproteinases (MMP). MMP
mendegradasi proteoglikan dan kolagen matriks ekstraseluler. MMP diproduksi
oleh kondrosit, kemudian diaktifkan melalui kaskade yang melibatkan proteinase
serin (aktivator plasminogen), radikal bebas, dan beberapa MMP tipe membran.
Kaskade enzimatik ini dikontrol oleh berbagai inhibitor, termasuk TIMP dan
inhibitor aktivator plasminogen. Tissue inhibitor of metalloproteinases (TIMP)
yang umumnya berfungsi menghambat MMP tidak dapat bekerja optimal karena
di dalam rongga sendi ini cenderung bersifat asam oleh karena stromelysin (pH
5,5), sementara TIMP baru dapat bekerja optimal pada pH 7,5.

Agrekanase akan memecah proteoglikan di dalam matriks rawan sendi


yang disebut agrekan. Ada dua tipe agrekanase yaitu agrekanase 1 (ADAMT-4)
dan agrekanase 2 (ADAMT-11). Enzim lain yang turut berperan merusak kolagen
tipe II dan proteoglikan adalah katepsin, yang bekerja pada pH rendah.

Pada osteoartritis, mediator-mediator inflamasi ikut berperan dalam


progresifitas penyakit. Selain pelepasan enzim-enzim degradasi, faktor faktor pro
inflamasi juga terinduksi dan dilepaskan ke dalam rongga sendi, seperti Nitric
Oxide (NO), IL-1β, dan TNF-α. NO berperan menghambat sintesis matriks rawan
sendi serta merangsang apoptosis kondrosit. Sitokin-sitokin ini menginduksi
kondrosit untuk memproduksi protease, kemokin, dan eikosanoid seperti
prostaglandin dan leukotrien dengan cara menempel pada reseptor di permukaan
kondrosit dan menyebabkan transkripsi gen MMP sehingga produksi enzim
tersebut meningkat. Akibatnya sintesis matriks terhambat dan apoptosis sel
meningkat.

Sitokin yang terpenting adalah IL-1. Pada OA, reseptor IL-1 meningkat 2
kali lipat dibandingkan orang normal. IL-1 berperan menurunkan sintesis kolagen
tipe II dan IX dan meningkatkan sintesis kolagen tipe I dan III, sehingga

14 | P a g e
menghasilkan matriks rawan sendi yang berkualitas buruk. Pada akhirnya tulang
subkondral juga akan ikut berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan
menghasilkan enzim proteolitik yang mengakibatkan degradasi kartilago sendi.
(Yanuarty, 2015)

Jadi proses utama untuk dapat dikatakan OA adalah kegagalan sintesis


matriks yang merupakam hasil proses yang sangat kompleks. Proses katabolisme
yang terutama diperantarai oleh berbagai mediator seperti sitokin terutama IL-1
dan TNF-α dan enzim perusak metalloproteinase (MMPs) berjalan lebih cepat
sehingga sintesis matriks kartilago sendi tidak mampu mengimbangi kecepatan
kerusakan yang diakibatkan. Salah-satu faktor antagonis katabolisme rawan sendi
adalah TIMP. (Sudoyo AW dkk,2015)

Manifestasi Klinik

 Nyeri sendi pada OA terlokalisasi pada sendi yang terkena.


Biasanya, nyeri OA diperberat oleh pemakaian sendi dan
menghilang dengan istirahat, tapi seiring dengan perkembangan
penyakit nyeri tersebut menjadi menetap
 Kekakuan sendi yang terkena pada saat bangun pagi hari atau
setelah periode inaktivasi, kurang dari 20 menit.
 Krepitus tulang (sensasi tulang bergesekan dengan tulang lain,
dicetuskan oleh pergerakan sendi) adalah tanda khas

15 | P a g e
 Efusi synovium, bila ada, biasanya tidak besar (<100 cc)
 Pada palpasi sendi terasa hangat.
 Pada fase lanjut didapatkan keterbatasan gerak (Harrison, 2014)

Karena kartilago sendi tidak memiliki persarafan, nyeri sendi pada OA


berasal dari struktur lain (table 1)

Tabel 1. Penyebab Nyeri Sendi Pada Pasien OA


Sumber Mekanisme
Synovium Peradangan
Tulang subkondral Hipertensi medullaris, mikrofraktur
Osteofit Peregangan ujung saraf periosteum
Ligamentum Peregangan
Kapsul Peregangan, distensi
Otot Kejang

Nyeri sendi terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan


penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan trombus
dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan
terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini mengakibatkan lepasnya
mediator kimia seperti prostaglandin dan interleukin yang dapat menghantarkan
rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya mediator kimia seperti kinin
yang dapat menyebabkan peregangan tendo, ligamen serta spasme otot-otot. Nyeri
juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf
yang berasal dari medulla spinalis.

A. Hubungan Kencing Manis dengan OA


Menurut WHO, setelah umur 30 tahun, kadar glukosa darah akan
naik 1-2 mg%/tahun. Sel-sel beta pancreas berfungsi untuk menghasilkan
insulin dan glokosa tersebut nantinya akan di transferkan ke sel-sel
jaringan target.

16 | P a g e
Pada usia lanjut, 50-92% mengalami GTG (gangguan toleransi
glukosa), ada yang termasuk kriteria toleransi glukosa terganggu, ada yang
termasuk kriteria DM. Hal ini menggambarkan adanya penurunan
kemampuan ambilan glukosa oleh sel target sasaran, khususnya otot
rangka. Pada teori proses menua, kemampuan ambilan glukosa ini tidak
lepas dari peran mitokondria karena kelambatan pembentukan ATP yang
mengakibatkan kelambatan aktivitas sel yang menifestasinya terlihat dari
penampilan lansia yaitu penurunan fungsi musculoskeletal. Adapun
patofisiologi gangguan toleransi glukosa pada lansia belum jelas diketahui
Salah-satu faktor yang menimbulkan gangguan toleransi glukosa
yang menyebabkan DM pada lansia salah-satunya adalah penurunan IGF 1
(insulin like growth factor) yang turun sampai 50% sehingga terjadi
penurunan ambilan glukosa karena terjadi penurunan sensitivitas reseptor
insulin. (Sudoyo AW dkk,2015)
Dan dikaitkan dengan kasus OA, dimana ketika terjadi degradasi
pada rawan sendi, rawan sendi berupaya melakukan perbaikan sendiri
dimana khondrosit mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru.
Fase ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang
mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel, faktor
tersebut seperti Insulin-like growth factor (IGF-1), growth hormon,
transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni stimulating factors
(CSFs). Faktor-faktor ini menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam
deoksiribo nukleat (DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan.
IGF-1 memegang peran penting dalam perbaikan rawan sendi.
Dan pada usia lanjut, IGF-1 pengalami penurunan hingga 50%
sehingga dalam proses perbaikan tulang rawan sendi juga mengalami
penurunan yang mengakibatkan resiko tinggi OA pada lansia dan
penderita DM. dalam suatu penelitian mengatakan bahwa insulin
merupakan suatu metode terapi yang potensial untuk arthritis,
memperlihatkan efek positif insulin terhadap metabolisme matriks.
(Mariely,2014)

17 | P a g e
B. Aspek Gizi
Dari aspek gizi, etiologic osteoarthritis disebabkan akibat obesitas dan
defisiensi vitamin D dan vitamin K.
a. Defisiensi vitamin D

Vitamin D adalah hormon steroid yang memiliki banyak tindakan


biologis beragam dalam sejumlah jaringan target. Fungsi utama
vitamin D adalah homeostasis kalsium dan regulasi metabolisme
tulang; Namun, sejauh mana tindakan biologis vitamin D tetap harus
ditentukan dengan berbagai efek pada sel dan jenis jaringan yang
berbeda yang dilaporkan. Bertindak melalui reseptor vitamin D
(VDR), vitamin D mengatur sirkulasi homeostasis kalsium dan fosfat
dengan mengubah reabsorpsi ginjal dan penyerapan usus. Hormon
paratiroid (PTH) dan fibroblas growth factor- (FGF-) 23, hormon
fosfat turunan tulang yang dihasilkan dengan adanya vitamin D aktif,
juga merupakan pemain utama yang terlibat dalam pemeliharaan
tingkat ion yang beredar ini. PTH disekresikan oleh kelenjar paratiroid
sebagai respons terhadap kadar kalsium rendah dan bertindak untuk
merangsang sintesis vitamin D aktif. Hal ini dicapai dengan
mendorong pelepasan kalsium ke dalam sirkulasi melalui peningkatan
bone turnover untuk mencegah hypocalcaemia. Dengan efek ampuh
pada tulang, vitamin D telah diteliti mengenai perannya dalam OA.

18 | P a g e
Sampai saat ini, banyak penelitian telah menunjukkan keterlibatan dan
hubungannya dengan banyak aspek penyakit ini (Mabey and
Hossawek, 2015)

b. Defisiensi vitamin K
Vitamin K bertindak sebagai kofaktor esensial dalam proses
Gamma carboxylation dari protein Gla (Vitamin K-dependent
carboxylation/ gamma-carboxyglutamic). Tulang dan kartilago Gla
protein seperti MGP (Matriks Gla Protein) dan osteocalcin,
memerankan regulasi penting dalam mineralisasi jaringan, dan
ketiadaan dari protein ini mengakibatkan perubahan dan mengarah
pada OA.
Contoh, defisiensi MGP mengakibatkan abnormalitas pada
kartilago seperti pada OA, selain itu ketiadaan dari MGP
mengakibatkan osifikasi endokondral dan pembentukan osteofit
(Booth, L Sarah dkk, 2013)
c. Obesitas
Melakukan manajemen penurunan berat badan dengan melakukan
diet rendah kalori yaitu 1200 kkal untuk laki-laki dan 1500kkal untuk
perempuan dan melakukan aktifitas fisik serta perubahan perilaku pola
hidup.
C. Tidak adanya tanda-tanda kemerahan

19 | P a g e
Osteoarthritis adalah kondisi rematik non-inflamasi yang ditandai
dengan kemerosotan dan abrasi jaringan artikular (Lalwani, 2007) dan
proses utama untuk dapat dikatakan OA adalah kegagalan sintesis matriks
yang merupakam hasil proses yang sangat kompleks. (Sudoyo AW
dkk,2015)

Diagnosis

Kriteria diagnosis dari OA lutut berdasarkan American College of


Rheumatology yaitu adanya nyeri pada lutut dan pada foto rontgen ditemukan
adanya gambaran osteofitserta sekurang kurangnya satu dari usia > 50 tahun, kaku
sendi pada pagi hari < 30 menit dan adanya krepitasi.

 Anamnesis
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Penunjang
Adapun gambaran radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA
adalah:
1. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat
padabagian yang menanggung beban)
2. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
3. Kista tulang
4. Osteofit pada pinggir sendi
5. Perubahan struktur anatomi sendi (Pratiwi, 2015)

Terapi

1. Rehabilitasi Medik
a. Kontrol nyeri
b. Memelihara ROM dan kekuatan otot dengan melakukan exercise
yaitu axial loading secara isometric
c. Memberi peralatan suportif
d. Meningkatkan kapasitas aerobic untuk meningkatkan metabolisme
seperti sepeda statis

20 | P a g e
e. Edukasi dan strategi adaptasi perilaku terhadap penyakit
2. Medika Mentosa
a. Analgesic oral non-opiat, pada umumnya pasien mencoba untuk
mengobati sendiri penyakitnya. Banyak sekali obat-obatan yang
dijual bebas yang ampu mengurangi rasa sakit. Pada umumnya
pasien mengetahui hal ini dari iklan pada media masa, baik cetak
(Koran), radio, maupun televisi.
b. Analgesic topikal, dapat kita dapatkan dipasaran dan banyak
sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba
terapi dengan cara ini, sebelumnya memakai obat-obatan peroral
lainnya.
c. OAINS (obat anti infalamsi non steroid), apabila cara tersebut
diatas tidak berhasil, maka mulai dipikirkan untuk pemberian
OAINS, oleh karena obat golongan ini di samping mempunyai efek
analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi. Oleh karena pasien
OA kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obat-obatan jenis ini
harus sangat berhati-hati.
d. Chondroprotective, obat-obatan yang dapat menjaga atau
merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien
OA. Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam
Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease
Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs)

Prognosis

Gerakan penderita mungkin menjadi sangat terbatas. Pengobatan


umumnya meningkatan fungsi.

Komplikasi

 Efek samping obat yang digunakan untuk pengobatan

21 | P a g e
 Penurunan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari,
seperti kebersihan pribadi, pekerjaanrumah tangga, atau memasak
(Inawati, 2007)

AR (Arthritis Rheumatoid)

Definisi

Artritis rheumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi


sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi
klinik klasik AR adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi
kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan synovial sendi, AR juga bisa mengenai
organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru dan mata.
(Suarjana,2015)

Penyebab pastinya tidak diketahui, namun faktor genetic dan lingkungan


berkontribusi. Sel T, sel B dan interaksi dekomposisi sitokin pro-inflamasi
berperan dalam patofisiologi AR. (Ernest,2012)

Penyakit ini menyebabkan sinovitis proliferatif non supuratif yang


seringkali berkembang merusak tulang rawan sendi dan tulang di bawahnya
dengan menghasilkan artritis yang fungsinya terganggu. (Kumar, Abbas,2013)

Epidemiologi

Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relative konstan yaitu


berkisar antara 0,5-1%. Prevalensi paling tinggi di dapatkan di Pima Indian dan
Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Sedangkan di China,
Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4% baik di daerah urban
maupun rural. Penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusia diatas
40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah kotamadya dan
0,6% di daerah kabupaten. Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada
perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua

22 | P a g e
kelompok umur. (Suarjana,2015)

Etiologi

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan


dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetic dan lingkungan.

1. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini


memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%
2. Hormon Sex, perubahan profil hormone berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron
(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen
plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesterone pada respon imun
humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA
respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesterone
mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit.
3. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai
respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam
amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana
antibody dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host.
Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel
Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. (Suarjana, 2015)

Faktor Risiko

Yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis


kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua,
paparan salisilat dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari,
khususnya kopi decaffeinated mungkin juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D.
konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan
risiko. Terjadi perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan, dan dapat
kambuh kembali setelah melahirkan. (Suarjana, 2015)

23 | P a g e
Patogenesis

AR merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi


autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari
proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi
neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh
bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat terjadinya
pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi.
Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon
imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor
pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.

Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan
share epitop dari major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan
peptida pada antigen-presenting cell (APC) pada sinovium atau sistemik. Dan
peran sel B dalam imunopatologis RA belum diketahui secara pasti.

24 | P a g e
Manifestasi Klinik

Awitan (onset). Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara
perlahan, arthritis simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan
dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15% dari penderita mengalai gejala awal
yang lebih cepat yaitu, antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada 8-
15% penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi).
Arthritis serig kali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung
selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala
konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia, dan demam ringan.
(Suarjana,2015)

Manisfestasi artikular. Penderita AR pada umumnya datang dengan


keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita
mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja. Didapatkan tanda-
tanda inflamasi, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai
pada AR yang kronik. Penyebab arthritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya
inflamasi pada membrane synovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat
pada umumnya simetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak simetris.
Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas
dan kehilangan fungsi. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian
juga sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi interfalang distal
dan sakroiliaka tidak pernah terlibat. (Suarjana,2015)

Manifestasi ekstraartikular. Manifestasi ekstraartikular pada umumnya


didapatkan pada penderita yang mempunyai titer faktor rheumatoid (RF) serum
tinggi. Nodul rheumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering
dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus. Nodul rheumatoid
umumnya, ditemukan di daerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achilles atau
bursa olekranon. Nodul rheumatoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan
faktor rheumatoid positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan
tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan
demam reumatik, lepra, MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis. Beberapa

25 | P a g e
manifestasi ekstraartikular seperti vaskulitis dan Felty syndrome jarang dijumpai,
tetapi sering memerlukan terapi spesifik. (Suarjana,2015)

Diagnosis

Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada criteria diagnosis


menurut American College Of Rheumatology/European League Against
Rheumatism 2010, yaitu :

Kriteria remisi dan respon terapi menurut ACR

26 | P a g e
(Perhimpunan Reumatologi
Indonesia,2014)

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitis untuk konfirmasi diagnosis
AR. American College Of Rheumatology Subcommittee On Rheumatology
Arthritis (ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk
evaluasi antara lain : darah perifer lengkap (complete blood cell count), faktor
rheumatoid (RF), laju endap darah atau C-reactive protein (CRP). Pemerikaan
fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena akan membantu dalam
pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan RF dan anti-CCP negative bisa
dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita AR
yang mempunyai risiko tinggi mengalami prognosis buruk. Adapun pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan antara lain :

- C-reactive protein (CRP)  umumnya meningkat sampai 0,7


picogram/mL, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit
- Laju endap darah (LED)  sering meningkat . 30 mm/jam, bisa digunakan
untuk monitor perjalanan penyakit
- Hemoglobin/hematokrit  sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10 g/dL,
anemia normokromik, mungkin juga normositik atau mikrositik

27 | P a g e
- Jumlah leukosit  mungkin meningkat
- Jumlah trombosit  biasanya meningkat
- Fungsi hati  normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat
- Faktor rheumatoid (RF)  hasilnya negative pada 30% penderita AR
stadium dini. Jika pemeriksaan awal negative dapat diulang setelah 6-12
bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif pada beberapa
penyakit seperti SLE, scleroderma, sindrom Sjogren’s, penyakit keganasan,
sarkoidosis, infeksi (virus, parasit, atau bakteri). Tidak akurat untuk
penilaian perburukan penyakit.
- Anticyclic citrullinated peptide antibody (anti-CCP)  berkolerasi dengan
perburukan penyakit, sensitivitasnya meningkat bila dikombinasi dengan
pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibandingkan dengan RF. Tidak semua
laboratorium mempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP
- Anti-RA33  merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP
negative
(Suarjana,2015)

Penilaian Aktivitas Penyakit

Setiap kunjungan penderita AR, dokter harus menilai apakah penyakitnya aktif
atau tidak aktif. Gejala penyakit inflamasi sendi seperti kaku pagi hari, lamanya
kelelahan (fatigue) dan adanya sinovitis aktif pada pemeriksaan sendi,
mengindikasikan bahwa pneyakit dalam kondisi aktif sehingga perubahan
program terapi perlu dipertimbangkan. (Suarjana,2015)

Penilaian Aktivitas Penyakit Pada AR :

1. Setiap kunjungan, evaluasi bukti subyektif dan objektif untuk penyakit


aktif:
- Derajat nyeri sendi (diukur dengan visual analog scale (VAS))
- Durasi kaku pagi hari
- Durasi kelelahan

28 | P a g e
- Adanya inflamasi sendi aktif pada pemeriksaan fisik (jumlah nyeri tekan
dan bengkak pada sendi)
- Keterbatasan fungsi
2. Evaluasi secara rutin terhadap aktivitas atau progresifitas penyakit
- Bukti progresivitas penyakit pada pemeriksaan fisik (keterlibatan gerak,
instabilitas, malalignment, dan/atau deformitas)
- Peningkatan LED atau CRP
- Perburukan kerusakan radiologis pada sendi yang terlibat
3. Parameter lain untuk menilai respons terapi
- Physician’s global assessment of disease activity
- Patient’s global assessment of disease activity
- Penilaian status fungsional atau kualitas hidup dengan menggunakan
kuesioner standar

(Suarjana,2015)

Terapi

Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya


gejala, terapi sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit.
ACRSRA merekomendasikan bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus
dirujuk dalam 3 bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan
inisiasi terapi DMARDs (Disease-modifyting antirheumatic drugs).

Tujuan terapi pada penderita AR adalah:

1. Mengurangi nyeri
2. Mempertahankan status fungsional
3. Mengurangi inflamasi
4. Mengendalikan keterlibatan sistemik
5. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
6. Mengendalikan progresivitas penyakit
7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi
(Suarjana,2015)

29 | P a g e
Terapi Non Farmakologik

Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi
puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan
hasil yang baik. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam
perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek.

- Edukasi
Penjelasan penyakit, dalam pengobatan AR adalah perlunya penjelasan
kepada pasien tentang, apa itu AR, bagaimana perjalanan penyakitnya,
kondisi pasien saat ini dan bila perlu penjelasan tentang prognosis
penyakitnya. Pasien harus diberitahu tentang program pengobatan, risiko
dan keuntungan pemberian obat dan modalitas pengobatan yang lain.
Penjelasan tentang diet dan terapi komplementer, jelaskan pada pasien
AR bahwa tidak ada bukti yang nyata tentang pengaruh diet pada
perjalanan penyakitnya, namun bebeapa ahli menyarankan diet untuk
banyak makan sayuran, buah, dan ikan serta mengurangi konsumsi
lemak/daging merah. Terapi komplementer belum ada bukti yang adekuat
untuk mendukung pemakaiannya dalam pengelolaan AR.

- Latihan/program Rehabilitasi
Latihan fisik harus disesuaikan secara individual berdasarkan kondisi
penyakit dan kormobiditas yang ada. Latihan aerobic dapat
dikombinasikan dengan latihan penguatan otot (region terbatas atau
menyeluruh), dan latihan untuk kelenturan, koordinasi dan kecekatan
tangan serta kebuagaran tubuh. Terapi fisik dengan menggunakan laser
kekuatan rendah dan TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation),
Parafin (termoterapi), dapat mengurangi nyeri dalam jangka pendek.
Upaya terapi psikologis (misalnya, relaksasi, mengatasi stress dan
memperbaiki pandangan hidup yang positif) dapat membantu pasien AR

30 | P a g e
menyesuaikan hidup dengan kondisi mereka. (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia,2014)

Terapi Farmakologik

Farmakologik untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat anti-


infalamsi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis
rendah atau intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin digunakan
seperti acetaminophen, opiate, diproqualone, dan lidokain topikal.

- OAINS, digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan


pembengkakan. Penderita AR mempunyai risiko dua kali lebih sering
mengalami komplikasi serius akibat penggunakan OAINS di bandingkan
dengan penderita osteoarthritis, sehingga diperlukan pemantauan secara
ketat terhadap gejala efek samping gastrointestinal.
- GLUKOKORTIKOID, steroid dengan dosis ekuivalen dengan
prednisolon kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan
gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid harus
diberikan dalam dosis minimal karena risiko tinggi mengalami efek
samping seperti osteoporosis, katarak, gejala Cushingoid, dan gangguan
kadar gula darah. ACR merekomendasikan bahwa penderita yang
mendapat terapi glukokortikoid harus disertai dengan pemberian kalsium
1500 mg dan vitamin D 400-800 IU per hari.
- DMARD, pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua
penderita AR. Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan
kepatuhan, beratnya penyakit, pengalaman dokter dan adanya penyakit
penyerta. DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX,
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide,
infliximab, dan etanercept.
(Suarjana,2015)

31 | P a g e
Terapi Kombinasi

Banyak penelitian memperlihatkan bahwa efikasi terapi kombinasi lebih


superior di bandingkan dengan terapi tunggal, tanpa memperbesar toksisitas.
Regimen terapi kombinasi yang efektif dan aman digunakan untuk penderita AR
aktif yang tidak terkontrol adalah salah satu dari kombinasi berikut ;

- MTX + hidroksiklorokuin,
- MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine,
- MTX + sulfasalazine + prednisolone,
- MTX + leflunomide

(Suarjana,2015)

Pembedahan

Tindakan bedah perlu dipertimbangkan pada pasien AR yang tetap


mengalami sinovitis refrakter terhadap pengobatan, serta pasien yang mengalami
keterbatasan gerak (memperburuk fungsi sendi kerusakan sendi / deformitas).
Pasien yang mengalami nyeri yang terus menerus yang tidak dapat dikendalikan
dengan obat juga perlu dikonsultasikan dengan spesialis bedah. Tindakan
sinovektomi yang dilakukan pada sinovitis persisten dapat juga dilakukan dengan
cara non bedah yaitu dengan menggunakan radioisotope. (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia,2014)

Komplikasi

Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita AR

- Anemia, berkolerasi dengan LED dan aktivitas penyakit; 75% penderita AR


mengalami anemia karena penyakit kornik dan 25% penderita tersebut
memberikan respons terhadap terapi besi.
- Kanker, mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan; kejadian
limfoma dan leukemia 2-3 kali lebih sering terjadi pada penderita AR;

32 | P a g e
peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid; penurunan risiko
terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan karena pengguna OAINS.
- Komplikasi kardiak, 1/3 penderita AR mungkin mengalami efusi pericardia
asimptomatik saat didiagnosis ditegakkan; miokarditis bisa terjadi, baik
dengan atau tanpa gejala; blok atrioventrikuler jarang ditemukan.
- Dan berbagai komplikasi lainnya seperti; vaskulitis, nodul rheumatoid,
komplikasi pernafasan, deformitas sendi lainnya, deformitas sendi tangan,
peningkatan infeksi, pembentukan fistula, gangguan mata, dan penyakit
tulang belakang leher). (Suarjana, 2015)

Komplikasi Pleuroparenkimal Primer dan Sekunder dari AR

- Penyakit pleura  (efusi pleura, fibrosis pleura)


- Penyakit jaringan interstitial paru  (pneumonia interstitial, pneumonia
interstitial nonspesifik, organizing pneumonia, kerusakan alveolus difus,
pneumonia eosinofilik akut, penyakit fibrobulosa apical, amiloid, nodul
rematik)
- Penyakit pulmonar vascular  (hipertensi pulmonary, vaskulitis, perdarahan
alveolar difus dengan kapilaritis). (Suarjana, 2015)

Komplikasi vascular pulmonal

- Infeksi oportunistik  (tuberculosis paru, infeksi mikobakterium atipik,


nokardiosis, aspergilosis, pneumonia pada pneumositis jeroveci,
pneumonitis sitamegalovirus)
- Toksisitas obat  (metotreksat, aurum, D-penisilamin, sulfasalazin).
(Suarjana, 2015)

Prognosis

Faktor prognosis buruk pada AR

1. Disabilitas fungsional (tidak bisa melakukan aktivitas hidup sehari-hari)


2. Adanya erosi sendi pada pemeriksaan radiologis
3. Melibatkan banyak sendi (misalnya > 20)

33 | P a g e
4. Terdapat nodul rheumatoid dan manifestasi ekstraartikular lainnya
5. Petanda inflamasi (CRP atau LED) yang tinggi saat permulaan penyakit atau
terus menerus tinggi setelah pengobatan DMARD dengan dosis dan waktu
yang optimal
6. Faktor rheumatoid + dengan titer tinggi atau ACPA+
7. HLA DR4+ dan shared epitope positif
8. Tingkat pendidikan dan sosial ekonomi rendah

(Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014)

AG (Arthritis Gout)

Definisi

Gout adalah suatu kumpulan gejala yang timbul akibat adanya deposisi
kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di
dalam cairan ekstraseluler. Istilah tersebut perlu dibedakan dengan
hiperurisemia, yaitu peninggian kadar asam urat serum lebih dari 7,0 mg/Dl pada
laki-laki dan 6,0mg/Dl pada perempuan. Hiperurisemia adalah gangguan
metabolisme yang mendasari terjadinya gout.

Disebut Artritis Gout apabila serangan inflamasi terjadi pada artikular


atau periartikular seperti bursa dan tendon. Tingginya kadar asam urat serum juga
dapat menyebabkan kelainan pada ginjal, deposisi pada jaringan lainnya, serta
berkaitan dengan kejadian dan mortalitas kardiovaskular. (Chris Tanto dkk, 2014)

Epidemiologi

Prevalensi artritis gout di Amerika Serikat sekitar 13,6 kasus per 1000
laki-laki dan 6,4 kasus per 1000 perempuan. Prevalensi ini berada di tiap negara,
berkisar antara 0,27% di Amerika hingga 10,3% di Selandia Baru. Peningkatan
insiden gout dikaitkan dengan perubahan pola diet dan gaya hidup, peningkatan
kasus obesitas dan sindrom metabolik.

34 | P a g e
Kejadian artritis gout di Indonesia masih belum jelas karena data yang
masih sedikit. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki berbagai macam jenis
etnis dan kebudayaan, jadi sangat memungkinkan jika Indonesia memiliki lebih
banyak variasi jumlah kejadian artritis gout. Pada tahun 2009 di Maluku Tengah
ditemukan 132 kasus, dan terbanyak ada di Kota Masohi berjumlah 54 kasus.
Prevalensi artritis gout di Desa Sembiran, Bali sekitar 18,9%, sedangkan di Kota
Denpasar sekitar 18,2%. Tingginya prevalensi artritis gout di masyarakat Bali
berkaitan dengan kebiasaan makan makanan tinggi purin seperti lawar babi yang
diolah dari daging babi, betutu ayam/itik, pepes ayam/babi, sate babi, dan babi
guling (Widyanto, 2014)

Patologi
Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma dikelilingi oleh butir
kristal monosodium urat (MSU). Reaksi inflamasi di sekeliling kristal terutama
terdiri dari sel mononuklir dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi
di sekitar tofus. Kapsul fibrosa biasanya prominen di sekeliling tofus. Kristal
dalam tofus berbentuk jarum (needle shape) dan sering membentuk kelompok
kecil secara radier. (Sudoyo, 2015)
Komponen lain yang penting dalam tofus adalah lipid glikosaminoglikan
dan plasma protein. Pada artritis gout akut cairan sendi juga mengandung kristal
monosodium urat monohidrat pada 95% kasus. Pada cairan aspirasi dari sendi
yang diambil segera pada saat inflamasi akut akan ditemukan banyak kristal di
dalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses fagositosis. (Sudoyo, 2015)

Patogenesis

Saturasi asam urat ditubuh terjadi pada konsentrasi 6,4-6,8 mg/dl pada
kondisi tertentu, dengan batas maksimal kelarutan adalah 7 mg/dl. Sekresi asam
urat berkorelasi dengan konsentrasinya karena sedikit peningkatan pada
konsentrasi serum berakibat peningkatan drastis sekresi urat. Hiperurisemia dapat
timbul karena penurunan eksresi (underexretor), peningkatan produksi
(overproducer), atau kombinasi keduanya. (Chris Tanto dkk, 2014)

35 | P a g e
Serangan artritis gout tidak hanya karena sadar asam urat yang terlalu
tinggi, namun juga terjadi saat penurunan kadar asam urat, misalnya pada
penggunaan alopurinol. Pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya
didalam tofus akan memicu inflamasi yang berujung gejala nyeri hebat. (Chris
Tanto dkk, 2014)

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada artritis gout dibedakan atas empat stadium, yaitu :
1. Stadium artritis gout akut. Serangan pertama artritis gout, ditandai
dengan peradangan monoartikular (unilateral) yang timbul mendadak
disertai eritema, nyeri hebat, dan penigkatan suhu disekitar sendi yang
terkena sehingga pasien sulit berjalan. Selain itu, dapat ditemukan tanda-
tanda peradangan pada sendi yang terkena dan timbul gejala sistemik
berupa demam, mengigil, dan malaise.
 Lokalisasi umumnya pada metatarsofalangeal-1 (podagra) yang
dapat mengenai sendi lain antara lain pergelangan tangan/kaki,
siku, jari tangan, lutut, ankle, subtalar dan midfoot.
Faktor pencetus serangan akut: trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan
fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian diuretik atau penurunan dan
peningkatan asam urat.
2. Stadium interkritikal, merupakan periode asimtomatik, tidak didapatkan
tanda-tanda radang akut. Namun, pada aspirasi sendi dapat ditemukan
kristal monosodium urat. Periode ini berlangsung beberapa bulan sampai
beberapa tahun.
3. Stadium artritis gout kronis. Timbul serangan artritis gout berulang,
tidak ada gejala diantara dua fase serangan akut. Interval serangan akut
makin lama makin memendek, lama serangan makin lama makin
memanjang serta jumlah sendi yang terserang semakin banyak.
4. Stadium artritis gout kronis bertofus. Serangan poliartikular dan
ditemukan tofus (deposit kristal natrium urat pada jaringan) terutama pada
sendi yang sering mengalami serangan. Pada tofus yang pecah dapat

36 | P a g e
timbul infeksi sekunder. Pada stadium ini sering disertai batu saluran
kemih sampai penyakit ginjal menahun. (Chris Tanto dkk, 2014)

A. Hubungan jenis kelamin dengan Arthritis Gout


Berdasarkan analisis data dengan jenis kelamin pada penelitian ini
didapatkan kejadian artritis gout pada laki-laki sebanyak 3 pasien
sedangkan pada perempuan tidak didapatkan. Hasil penelitian tersebut
menerangkan bahwa kejadian artritis gout cenderung dominan pada laki-
laki. Menurut study epidemiology oleh William et al, perbandingan
kejadian artritis gout antara laki- laki dan perempuan adalah 4:1, artinya
laki-laki lebih dominan mengalami artritis gout daripada perempuan.
(Pranata, 2013)
B. Hubungan usia dengan Arthritis Gout
Penyakit asam urat atau disebut dengan gout arthritis terjadi
terutama pada laki-laki, mulai dari usia pubertas hingga mencapai puncak
usia 40-50 tahun, sedangkan pada perempuan, persentase asam urat mulai
didapati setelah memasuki masa menopause. Kejadian tingginya asam urat
baik di negara maju maupun negara berkembang semakin meningkat
terutama pada pria usia 40-50 tahun. Kadar asam urat pada pria meningkat
sejalan dengan peningkatan usia seseorang. Hal ini terjadi karena pria
tidak memiliki hormon estrogen yang dapat membantu pembuangan asam
urat sedangkan pada perempuan memiliki hormon estrogen yang ikut
membantu pembuangan asam urat lewat urine . Hasil penelitian
epidemiologi diketahui bahwa beberapa ras tertentu memiliki
kecenderungan terserang penyakit asam urat, selain itu hasil penelitian di
Kalimantan Barat diketahui bahwa usia 15-45 tahun yang diteliti sebanyak
85 orang, dimana pria mengalami penyakit asam urat sebanyak 1,7% dan
perempuan 0,05 %. (Fauzan, 2016)
Seiring bertambahnya usia seseorang maka terjadi kecenderungan
menurunnya berbagai kapasitas fungsional baik pada tingkat seluler
maupun pada tingkat organ yang dapat mengakibatkan terjadinya

37 | P a g e
degenerasi sejalan dengan proses menua. Proses menua ini dapat
berpengaruh pada perubahan fisiologis yang tidak hanya berpengaruh
terhadap penampilan fisik, namun juga terhadap fungsi dan tanggapannya
pada kehidupan sehari-hari. Setiap individu mengalami perubahan-
perubahan tersebut secara berbeda, ada yang laju penurunannya cepat dan
dramatis, serta ada juga yang perubahannya lebih tidak bermakna. Pada
lanjut usia terjadi kemunduran sel-sel karena proses penuaan yang dapat
berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya berbagai
macam penyakit seperti peningkatan kadar asam urat (hiperurisemia).
(Fauzan, 2016)
Berdasarkan hasil penelitian dengan usia didapatkan kejadian
artritis gout adalah sebanyak 1 pasien usia 25 – 45 tahun dan 2 pasien usia
> 45 tahun, sedangkan pada umur < 25 tidak didapatkan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan bahwa artritis gout jarang terjadi pada usia sebelum
dewasa (adolescens) (Tehupelory, 2009). Menurut hidayat (2009) onset
sebelum 25 tahun merupakan bentuk tidak lazim dari artritis gout yang
mungkin merupakan manifestasi adanya gangguan spesifik, penyakit
ginjal atau penggunaan siklosporin. (Pranata, 2013)
C. Hubungan IMT dengan Arthritis Gout
Kadar asam urat tubuh ditentukan oleh keseimbangan produksi dan
ekskresi. Produksi asam urat tergantung dari diet, serta proses internal
tubuh berupa biosintesis, degradasi, dan pembentukan cadangan (salvage)
asam urat. Seseorang dengan indeks masa tubuh (IMT) berlebih
(overweight) berisiko tinggi mengalami hiperurisemi meskipun seseorang
dengan indeks masa tubuh (IMT) kurang dan indeks masa tubuh (IMT)
normal juga dapat berisiko mengalami hiperurisemia. Hal tersebut dapat
terjadi karena adanya peningkatan asam urat di dalam tubuh seseorang.
Pada tubuh seseorang sebenarnya sudah mempunyai asam urat dalam
kadar normal, apabila produksi asam urat di dalam tubuh seseorang itu
meningkat dan ekskresi asam urat melalui ginjal dalam bentuk urin
menurun dapat berakibat terjadinya hiperurisemia. Asam urat yang

38 | P a g e
terakumulasi dalam jumlah besar di dalam darah akan memicu
pembentukan kristal berbentuk jarum. Kristal- kristal biasanya
terkonsentrasi pada sendi, terutama sendi perifer (jempol kaki atau
tangan). Sendi-sendi tersebut akan menjadi bengkak, kaku, kemerahan,
terasa panas, dan nyeri sekali. (Fauzan, 2016)
Rothenbacher et al. (2011) pada penelitiannya yang juga
menganalisis hubungan IMT dan frekuensi serangan gout, menyimpulkan
bahwa obesitas adalah salah satu komorbid yang umum pada pasien
dengan serangan gout berulang. Lingkar pinggang, indikator obesitas
lainnya, yang telah terbukti lebih dekat kaitannya dengan hiperurisemia
dan resistensi insulin, belum pernah diteliti kaitannya dengan frekuensi
serangan gout. (Fauzan, 2016)

Diagnosis
Penegakan diagnosis didasarkan atas kreteria dibawah ini (american college of
reumatology 1977) :
a) Ditemukan kristal monosodium urat pada cairan sendi
b) Terdapat tofus berisi kristal monosodium urat yang dibuktikan
melalui pemeriksaan kimiawi atau mikroskop cahaya terpolarisasi
c) Ditemukan 6 dari 12 fenomena klinis,laboraturium, maupun
radiologi seperti dibawah ini :
 Ditemukan lebih dari satu serangan artritis akut
 Inflamasi maksimal yang timbul dalam waktu satu hari
 Serangan artritis monoartikular
 Kemerahan pada sendi
 Pembengkakan atau nyeri yang timbul pada sendi
metatarsofalangeal pertama
 Serangan unilateral yang melibatkan sendi metatarsofalangeal
pertama
 Serangan unilateral yang melibatkan sendi tarsal
 Massa yang dicurigai tofus

39 | P a g e
 Hiperurisemia
 Pembengkakan asimetris pada sendi yang dibuktikan melalui
pemeriksaan X-ray
 Kista subkortikal tanpa erosi yang terlihat melalui pemeriksaan X-
ray
 Pemerikasaan negatif mikroorganisme dari cairan sendi saat
terjadi inflamasi sendi
Peningkatan kadar asam urat tanpa adanya menifestasi
klinis yang khas, bukan kriteria diagnosis artritis gout. (Chris
Tanto, dkk)

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium : serum urat darah dan asam urat urin 24 jam
 Pemeriksaan analisis cairan sendi :
 Temuan kristal monosodium urat
 Cairan sendi sesuai kondisi inflamasi (leukosit 5.000-80.000/mm³),
predominan neutrofil, kultur (-)
Pemeriksaan radiologi : tidak spesifik pada kondisi awal penyakit, soft-
tissue swelling pada sekitar sendi. (Chris Tanto, dkk)

Komplikasi
Menurut Rotschild (2013), komplikasi dari artritis gout meliputi severe
degenerative arthritis, infeksi sekunder, batu ginjal dan fraktur pada sendi. Sitokin,
kemokin, protease, dan oksidan yang berperan dalam proses inflamasi akut juga
berperan pada proses inflamasi kronis sehingga menyebabkan sinovitis kronis,
dekstruksi kartilago, dan erosi tulang. Kristal monosodium urat dapat
mengaktifkan kondrosit untuk mengeluarkan IL-1, merangsang sintesis nitric
oxide dan matriks metaloproteinase yang nantinya menyebabkan dekstruksi
kartilago. Kristal monosodium urat mengaktivasi osteoblas sehingga mengeluarkan
sitokin dan menurunkan fungsi anabolik yang nantinya berkontribusi terhadap
kerusakan juxta artikular tulang. (Widyanto, 2014)

40 | P a g e
Artritis gout telah lama diasosiasikan dengan peningkatan resiko
terjadinya batu ginjal. Penderita dengan artritis gout membentuk batu ginjal
karena urin memilki pH rendah yang mendukung terjadinya asam urat yang tidak
terlarut (Liebman et al, 2007). Terdapat tiga hal yang signifikan kelainan pada
urin yang digambarkan pada penderita dengan uric acid nephrolithiasis yaitu
hiperurikosuria (disebabkan karena peningkatan kandungan asam urat dalam
urin), rendahnya pH (yang mana menurunkan kelarutan asam urat), dan
rendahnya volume urin (menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat pada
urin). (Widyanto, 2014)

Prognosis
Prognosis artritis gout dapat dianggap sebuah sistem bukan penyakit
sendiri. Dengan kata lain prognosis penyakit artritis gout merupakan prognosis
penyakit yang menyertainya. Artritis gout sering dikaitkan dengan morbiditas
yang cukup besar, dengan episode serangan akut yang sering menyebabkan
penderita cacat. Namun, artritis gout yang diterapi lebih dini dan benar akan
membawa prognosis yang baik jika kepatuhan penderita terhadap pengobatan juga
baik. Jarang artritis gout sendiri yang menyebabkan kematian atau fatalitas pada
penderitanya. Sebaliknya, artritis gout sering terkait dengan beberapa penyakit
yang berbahaya dengan angka mortalitas yang cukup tinggi seperti hipertensi,
dislipidemia, penyakit ginjal, dan obesitas. Penyakit-penyakit ini bisa muncul
sebagai komplikasi maupun komorbid dengan kejadian artritis gout. (Widyanto,
2014)
Dengan terapi yang dini, artritis gout dapat dikontrol dengan baik. Jika
serangan artritis gout kembali, pengaturan kembali kadar asam urat (membutuhkan
urate lowering therapy dalam jangka panjang) dapat mempengaruhi aktivitas
kehidupan penderita. Selama 6 sampai 24 bulan pertama terapit artritis gout,
serangan akut akan sering terjadi. Luka kronis pada kartilago intraartikular dapat
mengakibatkan sendi lebih mudah terserang infeksi. Tofus yang mengering dapat
menjadi infeksi karena penumpukan bakteri. Tofus artritis gout kronis yang tidak
diobati dapat mengakibatkan kerusakan pada sendi. Deposit dari kristal

41 | P a g e
monosodium urat di ginjal dapat mengakibatkan inflamasi dan fibrosis, dan
menurunkan fungsi ginjal. (Widyanto, 2014)
Pada tahun 2010, artritis gout diasosiasikan sebagai penyebab utama
kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Analisis 1383 kematian dari 61527
penduduk Taiwan menunjukkan bahwa individu dengan artritis gout
dibandingkan dengan individu yang memiliki kadar asam urat normal, hazard
ratio (HR) dari semua penyebab kematian adalah 1,46 dan HR dari kematian
karena penyakit kardiovaskuler adalah 1,97. Sedangkan individu dengan artritis
gout, HR dari semua penyebab kematian adalah 1,07, dan HR dari kematian
karena penyakit kardiovaskuler adalah 1,08. (Widyanto, 2014)

Tata Laksana
1. Terapi Medikamentosa bertujuan untuk mengatasi serangan akut, mencegah
berulangnya serangan artritis, mencegah dan mengatasi komplikasi sebagai
akibat deposisi kristal monosodium urat di sendi/ginjal/jaringan lain, serta
mencegah dan mengatasi kondisi yang terkait gout seperti obesitas,
hipertrigliseridemia, hipertensi.
Pengobatan artritis gout terdiri atas dua tahap yaitu :
a) Tahap 1 : Pada stadium akut, pengobatan artritis gout bertujuan
menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan.
 Kolkisin per oral 0,5-0,6 mg setiap 2 jam sampai nyeri dan
inflamasi menghilang, dengan dosis maksimal 6 mg- 8 mg. Untuk
profilaksis terjadinya artritis gout, dapat diberikan kolkisin
dengan dosis 2 × 0,5 mg.
 OAINS ( oral atau parenteral) yang sering digunakan adalah
indometasin. Dosis indometasin adalah 150-200 mg/hari selama
2-3 hari dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya
atau sampai nyeri atau peradangan berkurang.
 Kortikosteroid ( oral atau parenteral ) jika terdapat kontraindikasi
penggunaan kolkisin atau OAINS : prednison 20-40 mg/ hari atau
setara selama 3-4 hari kemudian dilakukan tappering off dalam

42 | P a g e
1-2 minggu. Sebagai alternatif, dapat diberikan ACTH IM dosis
40-80 IU setiap 6-12 jam selama beberapa hari jika diperlukan.
b) Tahap 2 : menjaga kadar asam urat darah agar selalu dalam batas normal.
Golongan obat yang dapat digunakan adalah obat urikosurik dan
penghambat xantin oksidase (alopurinol). Penting untuk diperhatikan
bahwa obat ini tidak boleh diberikan pada saat serangan antritis gout
karena akan mengakibatkan serangan berkepanjangan.
 Alopurinol merupakan obat pilihan utnuk produksi asam urat
berlebihan yang disertai pembentukan tofus, nefrolitiasis,
insufisiensi renal atau adanya kontraindikasi untuk terapi dengan
urikosurik. Penting untuk diperhatikan, toksisitas alopurinol
timbul pada kondisi penurunan LFG. Oleh kerena itu penting
utnuk dilakukan penyesuaian dosis. Dosis maksimal pemberian
alopurinol adalah 800 mg/hari. Efek samping yang dapat timbul
dalam penggunaan alopurinol adalah sindrom dispepsia, nyeri
kepala, diare, pruritic papular rash, dan kemungkinan
hipersensitivitas.
 Obat urikosurik yang umum digunakan dalam tahap ini adalah
probenesid. Penggunaan golongan obat ini efektif untuk pasien
yang laju filtrasi glomerulus (LFG) >50-60 Ml/menit. Dosis
inisial yang diberikan adalah 0,5 g/hari dan ditingkatkan secara
perlahan tidak lebih dari 1 g/hari atau hingga target asam urat
tercapai. Efek samping yang dapat timbul pada penggunaan
urikosurik adalah pembentukan kristal asam urat di urin dan
deposisi asam urat pada tubulus renal, pelvis, atau ureter.
2. Terapi non- medikamentosa
 Penurunan berat badan hingga tercapai berat badan ideal
 Pengaturan diet rendah purin. Makanan dan minuman yang harus
dihinadari antara lain : daging merah, bayam dan alkohol
 Mengistirahatkan sendi yang terkena. Olahraga ringan
diperkenankan untuk menjaga kebugaran tubuh

43 | P a g e
 Jika mampu, menghindari obat-oabatan yang mengakibatkan
terjadinya hiperurisemia (misalnya loop diuretic, diuretik tiazid,
salisilat dosis rendah, siklosporin, niasin, etambutol dan
pirazinamid).

44 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Aldila, Yussi. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Osteoarthritis Lutut pada
Ibu Rumah Tangga. Surakarta : UMS. 2014
Angela, Sarah Sumual, Vennetia R Danes, dan Fransiska Lintong. Pengaruh
Berat Badan Terhadap Gaya Gesek dan Timbulnya Osteoarthritis pada Orang
Diatas 45 tahun di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Manado : UNSRAT.
2013
Booth, L Sarah, Devyani Misra, MD.MS,dkk. Vitamin K Deficiency is Associated
with Incident Knee Osteoarthritis. Ncbi 2013.

Chris Tanto., Frans Liwang., Sonia Hanifati., dkk. Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta: Media Aesculapius. 2014.

Ernest Choy. Understanding the dynamics: pathways involved in the pathogenesis


of rheumatoid arthritis. British society for rheumatology. July 1,2012;Volume
51,Pages v3–v11,
Fauzan, aldhi. Hubungan indeks massa tubuh (IMT), asupan purin dan olahraga
dengan kejadian Gout Artritis ada lansia di wilayah kerja puskesmas tanjungsari
pacitan. 2016. E-journal UMS, diakses 25 september 2017.
http://eprints.ums.ac.id.
Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 2014

Inawati. Osteoarthritis. Surabaya : FK Wijaya Kusuma. 2007

Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C.Robbins Basic Pathology 9th Edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier.2013; 784
Lalwani, Anil K. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head and
Neck Surgery. The McGraw-Hill Companies. 2007

Mabey Thomas, Sittisak Honsawek. Role of Vitamin in Osteoarthritis :


Molecular, Cellular, and Clinical Perspective. International Journal of
Endocrinology. 2015

45 | P a g e
Mariely, Nieves Plaza, Lesliane E. Castro,dkk. Association of Hand or Knee
Osteoarthritis with Diabetes Melitus in a Population of Hispanic From Puerto
Rico. Ncbi. 2014

Noer, Sjaifoellah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 3. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2004

Pranata, pradhita budi. Hubungan kadar asam urat dalam darah pada penderita
penyakit ginjal kronik dengan kejadian artritis gout di RSUD dr. Moewardi.
2013. E-journal UMS, diakses 25 september 2017. http://eprints.ums.ac.id
Pratiwi, Anisa Ika. Diagnosis and Treatment Osteoarthritis. Lampung : FK
UNILA. 2015

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi untuk Diagnosis dan Pengelolaan


Artritis Reumatoid. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.2014 ; 1-2;4-
5;7-8;13;17-18
Rochmah, Wasilah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV. Jakarta : FKUI.
2009

Suarjana, I Nyoman. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi VI. Jakarta:
InternaPublishing. 2015
Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S,. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010

Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S,. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2015

Syaifuddin. Anatomi Fisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC. 2006

Yanuarty, Maya. Osteoarthritis. 2015

46 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai