Anda di halaman 1dari 54

BRONKOPNEUMONIA

CASE

Pembimbing:
Dr. Ade Amelia Sp.A

Disusun oleh:
Ahmad Fatahillah

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, MARET 2016
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nomor Rekam Medik : 00623516
Nama : An. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 27 hari
Alamat : Belendung
Agama : Islam

IDENTITAS ORANG TUA / WALI PASIEN


Ibu
Nama: Ny. Y
Usia: 36 tahun
Alamat: Belendung
Pekerjaan: IRT
Agama: Islam

Hubungan dengan orang tua: pasien adalah anak kandung,


mengurus dan mengerti perkembangan anaknya.

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis
dengan pasien dan kedua orang tua kandung pasien, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada:
Lokasi : Bangsal Rawamerta, lantai 2
Tanggal / Waktu : 15 Februari 2016
Tanggal masuk : 16 Februari 2016
Keluhan utama : Demam sejak 4 hari SMRS
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke IGD RSUD Karawang diantar oleh kedua orang
tuanya dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah
sakit (SMRS). Menurut Orang tua pasien, pasien sudah batuk sejak
1 minggu SMRS, batuk berdahak encer, berwarna jernih, Lalu 4
hari kemudian pasien demam awalnya terasa hangat kemudian
lama-lama pada perabaan semakin panas, turun dengan obat
penurun panas namun kembali demam lagi, disertai kesulitan
bernafas terlihat saat bayi megap-megap. Buang air besar 3 hari
yang lalu lunak, berwarna coklat-kuning 2-3 kali sehari. Buang air
kecil lancer, jernih, 2-3 kali sehari. Imunisasi dasar lengkap, belum
campak

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Menurut kedua orang tua pasien, Ia belum pernah mengalami hal
seperti ini sebelumnya.

RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN

KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ada. Anemia (-), HT (-), DM (-


), penyakit jantung (-), penyakit paru
(-), infeksi (-).
Perawatan antenatal -
KELAHIRAN Tempat persalinan Puskesmas
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Normal
Penyulit : -
Masa gestasi Cukup Bulan (37-39 minggu)
Keadaan bayi Berat lahir: 3500 gram
Panjang lahir: 48 cm
Lingkar kepala : tidak tahu
Langsung menangis (+)
Kemerahan (+)
Nilai APGAR : (tidak tahu)
Kelainan bawaan : -

RIWAYAT PERKEMBANGAN
- Pertumbuhan gigi I :umur 6 bulan(Normal: 5-9 bulan)
- Gangguan perkembangan mental: Tidak ada
Psikomotor:
- Tengkurap:umur 4 bulan(Normal: 3-4 bulan)

Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan:


perkembangan pasien baik, sesuai usia, tidak ada keterlambatan.

RIWAYAT MAKANAN

Umur ASI/PASI Buah / Bubur Susu Nasi Tim


(bulan) Biskuit
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - + -
6–8 ASI + susu formula + + -
8–9 ASI + susu formula + + +

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah


Nasi / Pengganti Bubur 3x/hari
Sayur 5x/minggu (Blender)
Daging 2-3x/minggu (Blender)
Telur 2-3x/minggu (Blender)
Ikan 2-3x/minggu (Blender)
Tahu 1x/ hari (Blender)
Tempe 2x/ hari (Blender)
Susu (merk / takaran) Susu 1-2 kali/minggu
Lain – lain Biskuit/roti/buah 1x/ hari.

Kesimpulan riwayat makanan: pasien hanya mendapatkan ASI


tanpa PASI selama 6 bulan. Setelah itu, pasien diberikan bubur
susu, buah, dan nasi tim dicampur dengan ASI.

Makanan sehari-hari pasien memiliki kuantitas dan kualitas yang


cukup.

RIWAYAT IMUNISASI

Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )


Hepatitis B 0 1 bulan 6 bulan - - - -
bulan
Polio 0 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
bulan
BCG 2 - - - - - -
bulan
DPT / PT 2 4 bulan 6 bulan - - - -
bulan
Campak - - - - - - -

Kesimpulan riwayat imunisasi: imunisasi dasar dilakukan sesuai


jadwal, namun tidak lengkap karena tidak dilakukan imunisasi
campak

RIWAYAT KELUARGA
 Riwayat Pernikahan
Ibu / Wali
Nama T
Perkawinan ke- 1
Umur saat menikah 19 tahun
Pendidikan terakhir Tamat SMP
Agama Islam
Suku bangsa Sunda
Keadaan kesehatan Sehat
Kosanguinitas -
Penyakit, bila ada -

 Riwayat Penyakit Keluarga


Pada anggota keluarga pasien, tidak ada yang menderita
gejala atau penyakit yang sama seperti yang dialami oleh
pasien saat ini.

 Riwayat Kebiasaan Keluarga


Pada anggota keluarga ada yang memiliki kebiasaan
merokok, yaitu ayah pasien. Keluarga pasien menyangkal
adanya kebiasaan minum minuman beralkohol dan
penggunaan obat-obatan terlarang.

RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi (-) Difteria (-) Penyakit (-)
jantung
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit (-)
ginjal
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Rubeola (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain: (+) influenza

Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita:


Pasien belum pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya.

RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN


Menurut pengakuan Ibu pasien keadaan lingkungan rumah banyak
yang menderita batuk-batuk.

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Ayah pasien bekerja sebagai pekerja wiraswasta dengan
penghasilan cukup, ekonomi menengah

Kesimpulan sosial ekonomi: penghasilan Ayah pasien masih cukup


untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

III. PEMERIKSAAN FISIK


STATUS GENERALISATA
Keadaan Umum
Kesan Sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : menangis kuat, gerak aktif
Kesan Gizi : gizi cukup
Keadaan lain : pucat (-), ikterik (-), sesak (-), sianosis (-)

Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 7,8 kg
Tinggi Badan : 64 cm

Status Gizi (CDC)


- BB: 7,8 kg dan TB: 64 cm
- BB / TB = 7,8/6,8 x 100 % = 114%
Berdasarkan kurva CDC, status gizi pasien masuk dalam kategori
gizi lebih.

Tanda-tanda Vital
- Tekanan Darah : 80/60 mmHg
- Nadi : 140x/menit, reguler, lemah, isi kurang, ekual kanan
dan kiri
- Nafas: 58x/menit, tipe abdomino-thorakal
- Suhu: 39,5°C, aksila (diukur dengan termometer air raksa)

Pemeriksaan fisik
Kepala : Normosefali
Rambut : Rambut hitam, lurus, lebat, distribusi merata, dan
tidak mudah dicabut
Wajah : Wajah simetris, edema (-), luka atau jaringan parut
(-)
Mata
Visus : tidak dilakukan Ptosis : -/-
Edema palpebral : -/- Sklera ikterik : -/-
Lagofthalmus : -/- Konjungtiva anemis : -/-
Mata Cekung : -/- Exophthalmus : -/-
Kornea jernih : +/+ Endophtalmus : -/-
Strabismus : -/- Nistagmus : -/-
Lensa jernih : +/+ Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
Telinga
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus: -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani: sulit
dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/-
Hidung
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : +/+ Deviasi septum : -
Mukosa hiperemis : -/- Darah : -
Bibir : mukosa berwarna merah muda, kering(+), sianosis
(-), pucat (-)
Mulut : trismus (-), oral hygiene cukup baik, halitosis (-),
mukosa gusi berwarnamerah muda, mukosa pipi
berwarna merah muda, arkus palatum simetris.
Lidah : normoglosia, mukosa berwarna merah muda,
hiperemis (-), atrofi papil (-), tremor (-), lidah kotor
(-)
Tenggorokan : tonsil T1-T1, hiperemis (-), detritus (-), dinding
posterior faring tidak hiperemis,uvula terletak di
tengah
Leher : bentuk tidak tampak kelainan, edema(-), massa (-),
tidak tampak dan tidak teraba pembesaran tiroid
maupun KGB, trakea tampak dan teraba di tengah
Thoraks :
Jantung
- Inspeksi : ictus cordis terlihat pada ICS V linea
midklavikularis sinistra
- Palpasi :ictus cordis teraba pada ICS V linea
midklavikularis sinistra
- Perkusi :
batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra
batas kanan jantung : ICS III-V linea sternalis dextra
batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
- Auskultasi :BJ I-II reguler, murmur (-) , gallop (-)

Paru
- Inspeksi : bentuk toraks simetris pada saat statis dan
dinamis,tidak ada pernafasan yang
tertinggal, pernafasan Abdomino-thorakal,
retraksi iga +,
pembesaran KGB aksila -/-, bagiandada
terdapat ruam merah (-)
- Palpasi : nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas
simetris kanan dan kiri,vocal fremitus sama
kuat kanan dan kiri.

- Perkusi :
Redup dikedua lapang paru.
Batas paru-lambung : ICS VII linea aksilaris anterior
Batas paru-hepar : ICS VI linea midklavikularis dextra
- Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, regular, ronki
basah halus +/+ ,wheezing -/-

Abdomen
- Inspeksi :datar, warna kulit sawo matang, ruam
merah (-),kulit keriput (-),gerak dinding
perut saatpernapasan simetris,shagging of
the flank(-), venektasi (-), smiling
umbilicus (-)
- Auskultasi :bising usus (+), frekuensi 4x / menit
- Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut, shifting
dullness (-), undulasi (-)
- Palpasi : supel,nyeri tekan (+), hepar tidak teraba
membesar, lien tidak terabamembesar,
ballotement (-)

Genitalia
Perempuan, edema (-)

Kelenjar getah bening:


Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraklavicula : tidak teraba membesar
Aksila : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar

Ekstremitas :Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk


tulang atau posisitangan, kaki, serta sikap badan,
tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral
hangat pada keempat ekstremitas, pitting edema
pretibial (-/-), edema dorsum pedis (-/-),sianosis
(-), petechiae (-/-). capillaryrefill time < 2 detik,
akral hangat di keempat ekstremitas

Kulit : warna sawo matang merata, tidak ikterik, tidak


sianosis,lembab,
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan Lab. tanggal 2 Februari 2016.

Hematologi Pukul 11.47 Pukul 14.04 Pukul 18.16 Pukul 22.07 Nilai Normal

Hemoglobin 16,5 g/dL 16,3 16,1 15,5 11,5 – 15,5


Eritrosit 5,80 jt/μL 5,89 5,77 5,57 4 – 5,20
Leukosit 2,170/dL 2,66 4,58 75 4,5 – 13,5
Trombosit 52 ribu/µL 66 48 - 150rb – 440rb
Hematokrit 35,9 % 45,2 % 46,8 47,7 35 - 45
Basofil - 1 1 0–1
Eosinofil - 4 3 1–3
Neutrofil - 29 14 40 – 70
Limposit - 53 68 20 – 40
Monosit - 14 14 2–8
MCV - 77 fL 81 84 75 – 95
MCH - 28 pg 28 27 25 –33
MCHC - 36 g/dL 34 33 31 - 37
RDW - CV - 13,3% 13,4 13,5
Kimia
GDS 109 97 <140

IV. RESUME
Pasien laki-laki usia 10 tahun datang dengan keluhan demam sejak
4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Menurut Orang tua
pasien, demam dirasakan mendadak dan naik-turun, terutama akan
memberat saat malam hari, diukur dengan perabaan tangan. Pasien
mengeluh pusing dan juga mengeluh mual dan muntah 1x sehari
sejak 2 hari SMRS dengan isi muntah berupa cairan dan makanan
yang baru saja dimakan dengan volume muntah sedikit-sedikit.
lemas, pegal dan linu pada beberapa anggota tubuhnya seperti
kedua lengan, kedua tungkai dan punggung, timbul bintik
kemerahan sejak 1 hari SMRS. BAB berdarah bercampur tinja
dengan frekuensi 1x dalam 1 hari, tanpa lendir. BAK lebih sedikit
dari biasanya, pasien BAK dengan urin berwarna bening-kuning
tanpa ada darah ataupun kemerahan dan frekuensi 0-1x/hari. Sudah
sempat di rawat di puskesmas 2 hari namun memburuk.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien
tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, dan kesan gizi
obesitas. Tanda vital: tekanan darah 80/60 mmHg, suhu 36,9 °C,
nadi 115 x/menit isi kurang, pulsasi lemah, pernapasan 26 x/menit.
Status generalis: pemeriksaan kepala dan leher dalam batas normal,
pemeriksaan thorax meliputi jantung dan paru tidak didapatkan
kelainan, pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan
epigastrium dan tidak didapatkan hepatosplenomegali.
Pemeriksaan pada genitalia tidak didapatkan kelainan. Pada kedua
ekstremitas atas didapatkan petechiae, Akral dingin dan lembab
pada keempat ekstremitas. Kedua ekstremitas bawah tidak
didapatkan kelainan ataupun efloresensi yang bermakna.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan
penurunan kadar trombosit, peningkatan hematokrit serta
pergeseran diffcount ke kanan.

V. DIAGNOSA KERJA
Dengue Syok Sindrom

VI. DIAGNOSIS BANDING


Dengue Hemorrhagic Fever Grade II
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
Darah lengkap
Pemeriksaan antibodi IgG dan IgM terhadap virus dengue

VIII. PENATALAKSANAAN
 Medikamentosa
o O2 : 2 liter per menit
o Pemasangan OGT bila pasien somnolen
o Bolus Ringer laktat / Nacl 0,9% 700cc/30menit
o Cek TTV, bila tanda syok belum teratasi, Bolus
700cc/30menit + Dextrose 5% 700cc/60menit
o Cek Tanda Vital (1 jam) + Darah Lengkap (6 jam)
o Pantau Urin 35cc/1 jam (setelah syok teratasi)
o Kalori : 1215 kkal/24jam (Rumus Harris-Bennedict)
o Diet tinggi protein, rendah lemak, rendah serat
 Non-Medikamentosa
o Memberikan edukasi saat pasien boleh pulang,
berupa menerapkan prinsip 3M (mengubur barang
bekas, menguras bak mandi, dan menutup
penampungan air).
o Membubuhkan bubuk ABATE pada penampungan
air.
o Menyemprot nyamuk dengan zat kimia seperti obat
nyamuk yang tersedia di pasaran, namun perhatikan
pula cara penggunaan yang tepat agar tidak
menggnggu sistem pernapasan pada anggota
keluarga lainnya.
o Dapat pula menggunakan kelambu pada saat tidur.
o Mengkonsumsi air yang banyak, minimal 2 liter
dalam satu hari.

IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Functionam : Ad Bonam
Ad Sanationam : Ad Bonam
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Sindrom syok dengue adalah derajat terberat dari DBD yang terjadi karena
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari intravaskuler ke
ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volume intravaskuler dan hipoksemia.
Syok yang biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara
hari ke 3 sampai hari sakit ke 7 disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular
sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan
peritonium, hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia yang
mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena, preload miokard, volume sekuncup
dan curah jantung sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ.
(1,2)

Pada fase awal sindrom syok dengue fungsi organ vital dipertahankan dari
hipovolemia oleh sistem homeostasis dalam bentuk takikardi, vasokonstriksi,
penguatan kontraktilitas miokard, takipnea , hiperpnea, dan hiperventilasi.
Vasokonstriksi perifer mengurangi perfusi non esensial di kulit yang menyebabkan
sianosis, penurunan suhu permukaan tubuh dan pemanjangan waktu pengisian
kapiler (>2detik). Perbedaan suhu kulit dan suhu tubuh yang >2oC menunjukkan
mekanisme homeostasis masih utuh. Pada tahap sindrom syok dengue kompensasi,
curah jantung dan tekanan darah normal kembali.

Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat sindrom syok


dengue, berarti sistem homeostasis sudah terganggu dan kelainan hemodinamik
sudah berat, sudah terjadi dekompensasi.

Pasien awalnya terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok
yang ditandai dengan kulit dingin lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat lemah,
tekanan nadi ≤ 20 mmhg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih dalam keadaan
sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. (2)

Sindrom syok dengue berlanjut dengan kegagalan mekanisme homeostasis.


Efektivitas dan intregitas sistem kardiovaskular rusak, perfusi miokard dan curah
jantung menurun, sirkulasi makro dan mikro terganggu, dan terjadi iskemia jaringan
dan kerusakan fungsi sel secara progresif dan ireversibel, terjadi kerusakan sel dan
organ dan pasien akan meninggal dalam 12-24jam. (11)

ETIOLOGI (2,4,5)

Virus dengue merupakan small single stranded RNA. Infeksi dengue


disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus
(Arbovirus) yang sekarang dikenal dengan genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.

Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe


yang bersangkutan, sehingga tidak memberikan perlindungan memadai terhadap
serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat
terinfeksi 3-4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue ditemukan
di berbagai daerah di Indonesia. Di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa
keempat serotipe ditemukan dan versirkulasi sepanjang tahun di Indonesia. Serotipe
Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menimbulkan
manifestasi klinis yang berat.

Virus dengue

VEKTOR (4,16)

Aedes aegypti adalah vektor utama nyamuk demam beradrah. Nyamuk


ini merupakan nyamuk yang berada di daerah tropis dan subtropis. Nyamuk
dewasa biasanya berada di ruangan tertutup dan menggigit pada siang hari.
Mereka beradaptasi dan berkembang biak di sekitar tempat tinggal manusia,
dalam kemasan air,vas, kaleng, ban bekas, dll.

Virus berkembang di nyamuk selama 8-10 hari (extrinsic incubation period)


sebelum menularkan kembali ke manusia. Di tubuh manusia, virus memerlukan
waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incibation period) sebelum menimbulkan
penyakit. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya terjadi bila nyamuk menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari
sebelum timbul demam. (2)

TRANSMISI (4,5,15)
Virus DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti
betina yang infektif. Nyamuk medapatkan virus saat menghisap darah manusia yang
terinfeksi virus dengue. Setelah masa inkubasi, nyamuk yang terinfeksi dapat
menularkan virus selama sisa hidupnya. Bahkan nyamuk betina yang terinfeksi juga
dapat menularkan virus kepada anak-anak mereka dengan transovarial (melalui telur)
transmisi, tetapi peran penularan virus ke manusia belum didefinisikan.

Manusia yang terinfeksi virus adalah pembawa utama dan pengganda virus,
karena sebagai sumber infeksi bagi nyamuk yang tidak terinfeksi. Virus beredar
dalam darah manusia yang terinfeksi selama dua sampai tujuh hari, sekitar waktu
yang sama mereka mengalami demam, nyamuk Aedes bisa mendapatkan virus saat
periode ini.

EPIDEMIOLOGI (3,4,5,13)

Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue secara
simultan atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia tropik,
dimana suhu panas dan praktik penyimpanan air dirumah menyebabkan populasi
Aedes aegypti besar dan permanen. Pada keadaan ini infeksi dengan virus dengue
dari semua semua tipe sering ada, dan infeksi kedua dengan tipe heterolog sering
terjadi. Sesudah umur 1 tahun hampir semua penderita dengan sindrom syok dengue
mempunyai kenaikan sekunder antibodi terhadap virus dengue, yang menunjukkan
infeksi sebelumnya dengan virus yang terkait erat.

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad 18. Pada masa itu
infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak
pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, penyakit ini menimbulkan
manifestasi klinis yang berat. Dalam kurun waktu lebih dari 35 tahun terjadi
peningkatan yang pesat, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran
penyakit. Sampai akhir tahun 2005, DBD sudah ditemukan di seluruh profinsi di
Indonesia dan 35 kabupaten/kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa
(KLB). Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100.00 penduduk pada tahun 1968,
menjadi 43,42 per 100.000 pendududuk pada akhir tahun 2005.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD


sangat kompleks, yaitu :

 Pertumbuhan penduduk yang tinggi


 Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
 Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
 Peningkatan sarana transportasi
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor
antara lain status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk transmisi virus
dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Pola
berjangkit virus dengue dipengaruhi iklim dan kelembaban udara. Pada suhu panas
(28-32oC) dengan kelembaban tinggi, nyamuk aedes aegypti akan tetap bertahan
hidup untuk jangka waktu yang lama. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan
antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak
perempuan daripada anak laki-laki. Di Indonesia pengaruh musim terhadap demam
berdarah dengue tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus
meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada
bulan Januari.

PATOGENESIS (2,3,5)

Patogenesisnya belum dimengerti secara sempurna; penelitian epidemiologi


memberi kesan bahwa biasanya disertai dengan infeksi dengue tipe 2,3, dan 4
sekunder. Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk dan
infeksi pertama kali mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi tubuh
memberikan reaksi yang berbeda ketika seseorang mendapat infeksi yang berulang
masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk. Hal ini merupakan dasar teori yang
disebut the secondary heterologous infection atau the sequential infection
hypothesis. Infeksi virus yang berulang ini akan menyebabkan suatu reaksi
anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan kompleks antigen-antibodi dengan
konsentrasi tinggi.

Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasi oleh tubuh
sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga
mengenai antbodi dependent enchancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemik dan syok.

Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
tiap pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG anti dengue. Replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit
yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang kaan mengaktifkan
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari
ruang intravaskular ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien yang syok berat volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan hematokrit, penurunan
kadar natrium, dan terdapatnya cairan pada rongga serosa (efusi pleura,ascites). Syok
yang tidak ditangani secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia.

Selain aktifkan komplemen, reaksi ini pun menyebabkan agregasi trombosit


dan mengaktivisasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut menyebabkan perdarahan oada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP, sehingga trombosit melekat satu sama
lain. Hal ini membuat trombosit dihancurkan oleh RES sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
sehingga terjadi koagulopati konsumtif (KID), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga ada penurunan faktor pembekuan.

Agregasi trombosit mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga


walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Disisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehinga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan pada DBD akibat trombositopenia,
penurunan faktor pembekuan akibat KID, kelainan fungsi trombosit, kerusakan
dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan memperberat syok yang terjadi.
Dampak metabolik lain yang terjadi pada infeksi virus dengue ialah
memposisikan tubuh host dalam kondisi hipermetabolik. Pada kondisi
hipermetabolik tubuh menuntut mitokondria untuk meningkatkan produksi ATP.
Dampak sampingnya ialah peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS).
ROS bersama sitokin proinflamatori menyebabkan penurunan elastisitas otot polos
kapiler, miokard dan berpengaruh pada sistem konduksi jantung terutama pada
sindrom syok dengue. Dapat dipahami bahwa syok pada infeksi DBD dapat terjadi
akibat perpindahan plasma, perdarahan, kelumpuhan otot polos vaskuler,
kelumpuhan miokard.9

a. Volume plasma10

Penyelidikan volume plasma pada kasus demam berdarah dengue dengan


menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa
plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan
mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai
hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding
pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan bahwa
syok terjadi akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular melalui kapiler yang
rusak. Bukti yang mendukung ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan
yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium, pleura, dan perikardium.

b. Trombositopenia

Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah
pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan
nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan
pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit.
Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyebab
peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi
penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel
dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah.
Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama
terjadinya perdarahan pada demam berdarah dengue 10
Tabel mengenai hubungan jumlah trombosit dengan risiko perdarahan11

Trombositopenia dan Risiko Perdarahan

Jumlah Trombosit (sel/µl) Risiko

>100.000 Tidak ada risiko tinggi

50.000-100.000 Risiko trauma mayor

20.000-50.000 Risiko trauma minor

<20.000 Risiko perdarahan spontan

<10.000 Risiko perdarahan yang mengancam nyawa

c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis10

Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan demam berdarah


dengue. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin
parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk
faktor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan
fibrinogen degradation products. Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan
adanya penurunan aktivitas Antitrombin III. Kelainan fibrinolisis pada demam berdarah
dengue dibuktikan dengan penurunan aktifitas α-2 plasmin inhibitor dan penurunan
aktifitas plasminogen.

Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa pada demam berdarah dengue


stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis. Koagulasi Intravaskular
Diseminata juga secara potensial dapat terjadi pada demam berdarah dengue tanpa syok.
Pada masa dini demam berdarah dengue, peran Koagulasi Intravaskular Diseminata tidak
menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk
sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat Koagulasi Intravaskular
Diseminata. Syok dan Koagulasi Intravaskular Diseminata akan saling mempengaruhi
sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya
organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.
Karena adanya faktor-faktor etiologi dari DIC maka terjadilah pelepasan bahan-
bahan mediator yaitu zat-zat yang dapat memacu secara terus menerus sistem
protombotik (koagulasi primer dan koagulasi sekunder) hingga terjadilah trombosis yang
luas di organ-organ tubuh hingga menimbulkan Multipel Organ Dysfunction (MOD) dan
faktor-faktor koagulasi ( trombosit dan plasma faktor) akan terpakai hingga terjadi juga
defisiensi faktor-faktor tersebut dan dapat menimbulkan perdarahan.

Mediator-mediator itu dapat langsung dilepas oleh penyakit dasarnya maupun melalui
kerusakan endotel pembuluh darah yang merupakan pusat kendali sistem hemostasis.

Faal anti trombosis mengimbangi proses koagulasi di atas dengan memacu :

1. Subsistem antikoagulasi (AK) untuk mencegah terjadinya trombus, hingga terjadi


juga konsumsi dan defisisiensi faktor-faktor dalam sub sistem ini (AT.III, prot C
dan S) dan lain-lain
2. Subsistem fibrinolisis juga dipacu untuk melisis trombus yang telah terjadi
hingga menyebabkan defisiensi trombosit.
Jadi pada DIC, terjadi defisiensi trombosit dan faktor-faktor koagulasi plastin
(faktor VIII, fibrinogen dan lain-lain) yang dapat menyebabkan perdarahan
disertai juga dengan defisiensi AT III, prot C danS dan plasminogen yang dapat
menyebabkan trombosis. Jadi perdarahan dan trombosis terjadi bersama-sama.

d. Sistem komplemen10

Penelitian sistem komplemen pada demam berdarah dengue memperlihatkan


penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok
maupun tidak. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar
serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen. Aktivasi ini
menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel
mast untuk melepas histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan
peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.

Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita demam


berdarah dengue ialah ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam 24 jam,
adanya kompleks imun yang bersirkulasi, dan adanya korelasi antara kadar kuantitatif
kompleks imun dengan derajat berat penyakit.
Secondary heterologus infection

Komplek virus - antibody

XII XIIa

Fibrinolisis Kinin Komplemen


koagulasi

plasmin Peningkatan
Permeabilitas

Fibrin FDP

Perdarahan Syok

MANIFESTASI KLINIK
Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik dan dinamis. Penyakit ini
memiliki spektrum klinis yang. Setelah masa inkubasi, dilanjutkan dengan 3 fase
yaitu fase demam, kritis dan resolusi/pemulihan.

Fase pertama yang relatif ringan dengan demam mendadak , malaise, mual,
muntah, nyeri kepala, anoreksia. Pada fase kedua, biasanya terdapat ekstremitas
dingin, lembab, badan panas, muka merah, keringat banyak, gelisah, iritabel, nyeri
mid epigastrium. Seringkali ptekie tersebar pada dahi dan tungkai. Pernafasan cepat
dan sering berat. Nadi lemah, cepat, kecil dan suara jantung halus. Hati mungkin
membesar dibawah tepi kosta dan biasanya keras dan agak nyeri. Kurang dari 10%
penderita menderita ekimosis atau perdarahan saluran cerna yang nyata, biasanya
pasca masa syok yang tidak terkoreksi.

1. Fase demam
 Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun
tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40oC dan
dapat terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah, eritema,
myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada
gejala nyeri tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan
muntah sering juga dikeluhkan. Sulit membedakan demam karena infeksi
dengua dengan demam non dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan
positifnya uji torniket meningkatkan kemungkinan demam dengue.
2. Fase kritis
 Akhir fase demam merupakan fase kritis , anak terlihat seakan sehat, hati-
hati karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Hari ke 3-7
adalah fase kritis. Dimana kebocoran plasma bisa terjadi kurang dari 24-48
jam.
 Progresif leukopenia diikuti penurunan jumlah trombosit mendahului
terjadinya kebocoran plasma. Pada fase ini, pasien yang tidak mengalami
kebocoran plasma akan membaik keadaannya, sedangkan yang mengalami
kebocoran plasma sebaliknya karena kehilangan volume plasma. Ascites dan
efusi pleura bisa terdeteksi tergantung dari keparahan kebocoran plasma dan
volume terapi cairan.

3. Fase resolusi
 bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis, keadaan
umum dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil.
 Semua nilai lab kembali normal secara perlahan.
Demam
 Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun
tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40oC dan
dapat terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah, eritema,
myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada
gejala nyeri tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan
muntah sering juga dikeluhkan. Sulit membedakan demam karena infeksi
dengua dengan demam non dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan
positifnya uji torniket meningkatkan kemungkinan demam dengue. (5)
Tanda-tanda perdarahan
 Ptekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva. Ptekie merupakan tanda
perdarahan yang paling sering ditemukan. Ptekie muncul pada hari pertama
tetapi dapat juga pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain seperti
epistaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis. Kadang terdapat juga
hematuria.
Hepatomegali
 Umumnya dapat ditemukan apada permulaan penyakit. Pembesaran hepar
bervariasi dari yg hanya teraba sampai 2-4cm di bawah arkus kosta.
Nyeri sendi

Pada demam berdarah dengue terdapat gejala pada nyeri pada tulang
disebabkan replikasi virus dan dekstruksi seluler pada sumsum tulang.14 Pada
kira-kira sepertiga kasus, setelah demam berlangsung beberapa hari, keadaan
umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau setelah demam
menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7.

Syok
 Adanya gangguan permeabilitas vaskular yang terus menerus, memicu
terjadinya hipovolemi dan syok. Hal ini terjadi dimana suhu tubuh mulai
menurun hingga normal, yaitu rata-rata pada hari ke 3-7. Pada tahap awal
syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan tekanan darah normal
sistolik juga menyebabkan takikardi dan vasokontriksi perifer dengan
penurunan perfusi pada kulit menyababkan akral menjadi dingin dan
lambatnya cappilary reffill.
 Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan
tekanan darah, akral dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini
menandakan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan
plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. Terdapat tanda kegagalan
sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki,
sianosis disekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat dan lemah dan
kecil sampai tidak teraba. Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh
nyeri perut.
Syok ditandai dengan :
 Denyut nadi cepat dan lemah
 Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun
kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini
disebabkan kegagalan sirkulasi serebral
 Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi
cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap
sirkulasi.
 Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)
 Hipotensi  Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80
mmHg atau kurang
 Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki,
tangan dan hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan
oleh sirkulasi yang insufisien yang menyebabkan peninggian
aktivitas simpatikus secara refleks.
 Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang
meliputi arteri renalis
Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal dalam
waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian cairan yang memadai.
Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok timbul. Nyeri
abdomen seringkali menonjol pada anak besar yang menderita sindrom syok dengue.
Gejala ini patut diwaspadai oleh karena kemungkinan besar terjadi perdarahan
gastrointestinal. Syok yang terjadi selama periode demam, biasanya mempunyai
prognosis buruk.

1. Patofisiologi Syok Hipovolemik


(Respon tubuh terhadap kehilangan darah sampai dengan 20%)

Suplai darah pusing


otak menurun
Penurunan volume &
tekanan darah Osmolalitas
plasma darah haus
meningkat

Respon Jangka Panjang Respon Jangka Pendek

Saraf
Hormonal: Hormonal:

ADH ADH
Stimulasi SSP
Angiotensin
2. II Angiotensin II
baroreseptor &
kemoreseptor
Aldosteron

EPO
Urin
pekat, Perangsangan
oliguria sistem
kardiovaskuler
3.  RR meningkat
4.
Kenaikan  Denyut
Aktivasi saraf
5. darah
volume simpatis
jantung
6. meningkat
 Nadi lemah
 Bibir kering
Hormonal:

Adrenalin &
noradrenalin

Vasokonstriksi
 Pucat
perifer,
 Ekstremitas terasa
peningkatan
dingin
aliran balik
 Pengisian kapiler
vena
memanjang

Peningkatan curah jantung


7.

Peningkatan volume &


(Respon tubuh terhadap
tekanan kehilangan
darah darah lebih dari 30%)

Kompensasi
hipovolemik
gagal

Penurunan sangat
Peningkata besar pada volume
n darah
permeabilita
s kapiler
Curah jantung Kerusakan
Jantung
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih
dapat ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh
tubuh), dan ireversibel (tidak dapat pulih).
Fase1 : kompensasi

Pada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan melalui
mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek simpatis, yaitu meningkatnya
resistensi sistemik dimana terjadi distribusi selektif aliran darah dari organ perifer non
vital ke organ vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah sistolik tetap normal
sedangkan tekanan darah diastolik meningkat akibat peninggian resistensi arteriol
sistemik (tekanan nadi menyempit).

Untuk mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi secara temporer dengan
meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu terdapat peningkatan sekresi vasopressin
dan renin – angiotensin – aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk menahan
natrium dan air dalam sirkulasi.

Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit pucat dan dingin
dengan pengisian kapiler (capillary refilling) yang melambat > 2 detik.

Fase II : Dekompensasi.

Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah jantung
yang adekuat dan system sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan dengan perfusi
yang buruk tidak lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga metabolisme berlangsung
secara anaerobic yang tidak efisien. Alur anaerobic menimbulkan penumpukan asam
laktat dan asam-asam lainnya yang berakhir dengan asidosis. Asidosis akan bertambah
berat dengan terbentuknya asam karbonat intra selular akibat ketidak mampuan sirkulasi
membuang CO2.

Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons terhadap


katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme energy
dependent NaK-pump ditingkat selular, akibatnya integritas membrane sel terganggu,
fungsi lisosom dan mitokondria akan memburuk yang dapast berakhir dengan kerusakan
sel. Lambatnya aliran darah dan kerusakan reaksi rantai kinin serta system koagulasi
dapat memperburuk keadaan syok dengan timbulnya agregasi tombosit dan pembentukan
trombos disertai tendensi perdarahan.

Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin,


serotonin, sitokin (terutama TNF=tumor necrosis factor dan interleukin 1), xanthin,
oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin factor).
Pelepasan mediator oleh makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan stress
atau injury, pada keadan syok yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan karena
terjadi vasodilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas kapiler dengan akibat volume
intravaskular yang kembali kejantung (venous return) semakin berkuarang diserai
timbulnya depresi miokard.

Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah, tekanan


darah mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled, capillary refilling
bertambah lama), oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah cepat dan dalam) dengan
depresi susunan syaraf pusat (penurunan kesadaran).

Fase III : Irreversible

Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus berlanjut,


sehingga terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi system multi organ lainnya.
Cadangan fosfat berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar, sintesa
ATP yang baru hanya 2% / jam dengan demikian tubuh akan kehabisan energi. Akibat
dari hipoksia dan berkurangnya nutrisi kejaringan maka metabolisme menjadi
metabolisme anaerobic yang tidak efektif dan hanya menghasilkan 2 ATP dari setiap
molekul glukosa. Pada metabolism oerobik dengan oksigen dan nutrisi yang cukup
dengan pemecahan 1 molukel glukosa akan menghasilkan 36 ATP. Akibat dari
metabolism anaerobic ini akan terjadi penumpukan asam laktat dan pada khirnya
metabolism tidak akan mampu lagi menyediakan energy yang cukup untuk mempertahan
homeostasis seluler, terjadi kerusakan popma ionic dinding sel, natrium masuk ke dalam
sel dan kalium keluar sel sehingga terjadi akumulasi kalsium dalam sitosol, terjadi edema
dan kematian sel. Pada akhirnya terjadi banyak kerusakan sel organ-organ tubuh atau
terjadi kegagalan organ multiple dan renjatan yang ireversibel. Kematian akan terjadi
walaupun system sirkulasi dapat dipulihkan kembali. Manifestasi klinis berupa tekanan
darah tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-koma),
anuria dan tanda-tanda kegagalan system organ lain.
Tabel 3.2 Manifestasi Klinis Syok Hipovolemik

Tanda klinis Kompensasi Dekompensasi I reversible

Blood loss ( %) Sampai 25 25 – 40 > 40

Heart rate Takikardia + Takikardia ++ Taki/bradikardia

Tekanan Sistolik Normal Normal/menurun Tidak terukur

Nadi/volume Normal/menurun Menurun + Menurun ++

Capillary refill Normal/meningkat Meningkat > 5 Meningkat ++


detik
3-5 detik

Kulit Dingin, pucat Dingin/mottled Dingin+/deadly


pale

Pernafasan Takipneu Takipneu + Sighing


respiration

Kesadaran Gelisah Lethargi Reaksi -/ hanya


terhadap nyeri
bereaksi

Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer dari syok. Namun secara umum
bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan respon untuk
mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat pada organ-organ vital melalui reflex
neurohumoral. Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah yang beredar, tonus
pembuluh darah dan sistem pompa jantung. Gangguan dari salah satu fungsi tersebut
dapat menyebabkan terjadinya syok. Bila terjadi syok hipovolemik maka mekanisme
kompensasi yang terjadi adalah melalui:

- .Baroreseptor
Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tagangan dalam pembuluh
darah. Bila terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap baroreseptor akan
menurun, sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor ke pusat juga berkurang
sehingga akan terjadi:

- Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibiotor centre


- Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor

Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia.
Baroreseptor ini terdapat di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan kanan, ventrikel
kiri dan dalam sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus merupakan baroreseptor
perifer yang paling berperan dalam pengaturan tekanan darah.

- Kemoreseptor

Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun sampai
60mmHg, maka yang bekerja adalah kemoreseptor, yang terangsang bila terjadi hipoksia
dan asidosis jaringan. Akibat rangsangan kemoreseptor ini adalah vasokonstriksi yang
luas dan rangsangan pernafasan.

- Cerebral ischkemic reseptor

Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg maka akan terjadi sympathetic
discharge massif. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari pada reseptor-reseptor
perifer .

- Reseptor humoral

Bila terjadi hipovolemik/ hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormone-hormon


stress seperti epinefrin, glucagon, dan kortisol yang merupakan hormone yang
mempunyai efek kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran dari hormone ini adalah
terjadinya takikardia, vasokonstriksi dan hiperglikemi. Vasokonstriksi diharapkan akan
meningkatkan tekanan darah perifer dan preload, isi sekuncup dan curah jantung. Sekresi
ADH aleh hipofisee posteriosr juga meningkat sehingga pengeluaran air dari ginjal dapat
dikurangi.

- Retensi air da garam oleh ginjal

Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran rennin oleh apparatus
yukstaglomerulus yang merubah angiotensin menjadi angiotensin I. angiotensin I ini oleh
converting enzyme dirubah menjadi angiotensin II yang mempunyai sifat:

- Vasokonstriksi kuat
- Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorbsi natrium
di tubulus ginjal.
- Meningkatkan sekresi vasopressin.

Volume sirkulasi↓

Preload ↓

Volume sekuncup ↓

Baroreseptor, kemoreseptor, cerebral ischemic


reseptor

Cardio inhibitor center Aktivasi cardiostimulator center


dihambat

Output simpatetik
meningkatkat,output parasimpatetik
menurun
HR↑, kontraktilitas otot jantung ↑,
vasokonstriksi

Ginjal

Angiotensi,
Gambar 3.1 Refleks vasopressin,
kardiovaskular aldosteron
pada hipotensi
WHO mempunyai kriteria diagnosis DBD yang semuanya harus terpenuhi,
yaitu:
1. Demam tinggi atau kontinyu selama 2- 7 hari
2. Adanya perdarahan spontan atau uji torniket positif
3. Trombositopenia (≤ 100.000/ul)
4. Hemokonsentrasi atau adanya tanda kebocoran plasma (efusi pleura, ascites)

DERAJAT/GRADE DEMAM BERDARAH MENURUT WHO (9)

 Grade I
 Demam dan gejala konstitusional
 Uji torniket +
 Grade II
 Grade 1 + Perdarahan spontan (pada kulit ataupun perdarahan
lainnya)
 Grade III
 Kegagalan sirkulasi, tekanan nadi < 20mmhg
 Tekanan Sistolik normal
 Grade IV
 Syok mendalam
 Hipotensi, tekanan darah tidak terdeteksi
 Grade III dan IV adalah sindrom syok dengue
 Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah yang membedakan DBD grade I
dan II dengan Demam dengue
PEMERIKSAAN PENUNJANG (1,2)

 Laboratorium
a. Leukosit
 normal, biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Akhir
fase demam jumlah leukosit dan neutofil menurun, sehingga jumlah
limfosit relatif meningkat. Peningkatan jumlah limfosit atipikal atau
limfosit plasma biru (LPB >4%) di daerah tepi dijumpai pada hari
sakit ke 3-7.
b. Trombosit
 jumlah trombosit ≤ 100.000/ul atau kurang dari 1-2
trombosit/lpb. Pada hari ke 3-7
c. Hematokrit
 gambaran hemokonsentrasi. Merupakan indikator yang peka akan
terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan secara berkala. Hemokonsentrasi dengan peningkatan
hematokrit 20% atau lebih mencerminkan peningkatan permeabilitas
kapiler dan perembesan plasma. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh
pergantian cairan atau perdarahan.
d. Kadar albumin menurun sedikit dan besifat sementara
e. Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan
f. Penurunan faktor koagulasi dan fibrinotik yaitu fibrinogen,
protrombin seperti faktor V, VII, IX, X
g. Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang
h. Hipoproteinemia
i. Hiponatremia
j. SGOT/SGPT sedikit meningkat
k. Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen
terdapat pada syok yang berkepanjangan.

 Radiologi
 Pada foto thoraks DBD grade III / IV dan sebagian grade II didapatkan
efusi pleura, biasanya sebelah kanan. Posisi foto adalah lateral dekubitus
kanan. Ascites dan efusi pleura dapat di deteksi dengan pemeriksaan USG.

 Serologis
1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI test)
 Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan sering dipakai dan
dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis.
Meskipun begitu, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan pada uji
HI ini : (a) Uji HI sensitif tetapi tidak spesifik, artinya tidak dapat
menunjukkan tipe virus apa yang menginfeksi, (b) antibodi HI
bertahan sangat lama dalam tubuh (sampai > 48 tahun), sehingga
sering dipakai dalam studi sero-epidemiologi, (c) untuk diagnosis
membutuhkan kenaikan titer konvalesens 4x lipat dari titer serum
akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau konvalesens
dianggap sebagai positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent
dengue infection).
2. Uji Komplemen fiksasi (CF test)
 Uji komplemen fiksasi jarang digunakan sebagai uji diagnostik
rutin, oleh karena cara pemeriksaan yang rumit dan memerlukan
tenaga yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi
CF hanya bertahan beberapa tahun saja (2-3 tahun).
3. Uji Neutralisasi (NT test)
 Merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik untuk virus
dengu. Uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plague reduction
Neutralization Test (PRNT) yang berdasarkan adanya reduksi dari
plak yang terjadi. Antibodi neutralisasi dideteksi hampir bersamaan
dengan HI antibodi dan bertahan lama (> 4-8 tahun). Tetapi uji
neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgG dan IgM Elisa
 Setelah satu minggu terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang
diikuti oleh pembentukan IgM antidengue. IgM hanya berada dalam
waktu yang relatif singkat dan akan disusul dengan pembentukan
igG. Pada kira-kira hari ke 5 terbentuklah antibodi yang bersifat
menetralisasi virus. Imunoserologi berupa IgM (merupakan penanda
infeksi saat ini) dan IgG (merupakan penanda infeksi masa lalu).
IgM akan terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu
ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari setelahnya. Sedangkan IgG
terdeteksi pada hari ke-14 pada infeksi primer dan hari ke-2 pada
infeksi sekunder.

5. NS1-Ag tes
 tes yang dapat mendiagnosis DBD dalam waktu demam 8 hari
pertama yaitu antigen virus dengue yang disebut dengan antigen
NS1. Keuntungan mendeteksi antigen NS1 yaitu untuk mengetahui
adanya infeksi dengue pada penderita tersebut pada fase awal
demam, tanpa perlu menunggu terbentuknya antibodi.
 Pemeriksaan antigen NS1 diperlukan untuk mendeteksi adanya
infeksi virus dengue pada fase akut, dimana pada berbagai penelitian
menunjukkan bahwa NS1 lebih unggul sensitivitasnya dibandingkan
kultur virus dan pemeriksaan PCR maupun antibodi IgM dan IgG
antidengue. Spesifisitas antigen NS1 100% sama tingginya seperti
pada gold standard kultur virus maupun PCR.
Antigen NS1 merupakan glikoprotein tersekresi 48 kDa yang
tidak terdapat pada partikel virus yang terinfeksi namun
terakumulasi di dalam supernatan dan membran plasma sel selama
proses infeksi. NS1 merupakan gen esensial di dalam sel yang
terinfeksi dimana fungsinya sebagai ko-faktor untuk replikasi virus,
yang terdapat bersama di dalam bentuk replikasi RNA double-
stranded (Mackenzie, 1996). Immune recognition dari permukaan
sel NS1 pada sel endotel dihipotesiskan berperan dalam mekanisme
kebocoran plasma yang terjadi selama infeksi virus dengue yang
berat. Sampai saat ini, bagaimana NS1 berhubungan dengan
membran plasma, yang tidak berisi motif sekuens membrane-
spanning masih belum jelas.

NS1 terikat secara langsung pada permukaan berbagai tipe sel


epitelial dan sel mesensimal, juga menempel secara kurang lekat
terhadap berbagai sel darah tepi. NS1-Ag tes adalah tes untuk
deteksi protein non struktur NS-1 Ag yang ada dalam sirkulasi dan
dapat mendeteksi ke empat serotipe. Keunggulannya dapat
mendeteksi virus lebih awal, mulai dari hari ke-1 demam sampai
demam hari ke-9 dan mempunyai sensitivitas DEN-1 : 88,9%, DEN-
2 : 87,1%, DEN-3 : 100%, DEN-4 : 93,35%.
DIAGNOSIS (1,2,3)

Definisi kasus untuk sindrom syok dengue ialah harus memenuhi kriteria
demam berdarah dengue ditambah bukti gagal sirkulasi. Kriteria demam berdarah
dengue yaitu:

Gejala klinis

 Demam berlangsung 2-7 hari, kadang bifasik


 Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal berikut
ini:
-tes tornikuet positif

-ptekie, ekimosis atau purpura

-perdarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi atau


lokasi lain

-hematemesis atau melena

 Hepatomegali
 Syok
Laboratorium

 Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)


 Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit sama atau lebih besar dari
20%diatas rata-rata, atau ditandai dengan hipoproteinemia)
 Isolasi virus di serum dan deteksi imunoglobulin (IgM dan IgG) dengan
enzym-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi moniklonal, atau tes
hemaglutinasi

 Kimia darah: ketidakseimbangan elektrolit, asidemia, peningkatan basa


urea nitrogen

 Tes fungsi hati: transaminase yang meningkat

 Tes Guaiac sebagai pemeriksaan darah samar pada tinja

Pemeriksaan penunjang lain:

 Radiografi dada: efusi pleura


 CT-Scan kepala tanpa kontras: Perdarahan intrakranial, edema serebri.

PENATALAKSAAN (5,10)

Sindroma syok dengue merupakan keadaan darurat dalam bidang medis,


setiap menit menentukan prognosis pada pasien. Pemberian cairan yang adekuat
sangat diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma.
Pemberian cairan adekuat yang terlambat dapat menyebabkan multisistem disfungsi
organ yang dapat menyebabkan kematian. Gangguan elektrolit (natrium dan
kalsium), ketidakseimbangan asam-basa dapat terjadi dan meningkatkan potensi
terjadinya disseminated intravascular coagulopathy (DIC).

Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama,
yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat
mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam.2

Indikasi perawatan:

 Takikardi
 Capillary refill yang lebih lama dari normal (>2detik)
 Dingin dan pucat
 Perubahan status neurologik
 Oliguria
 Hematokrit mendadak tinggi
 Tekanan nadi menyempit (<20 mmHg)
 Hipotensi

Mengingat sindrom syok dengue merupakan keadaan kritis, maka penyebab


langsungnya harus segera ditentukan apakah akibat perdarahan atau akibat
perpindahan plasma.9

Obat pertama yang diberikan pada kegawatan DBD ialah oksigen.


Hipoksemia harus dicegah dan dikoreksi. Lalu buatlah akses vena dan ambil contoh
darah untuk analisa gas darah, kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit,
golongan darah, dan crossmatch, ureum, kreatinin, elektrolit Na, K, Cl, Ca, Mg, dan
asam laktat. Lalu pasang kateter urin dan lakukan penampungan urin , urinalisis dan
pengukuran berat jenis urin. Jumlah diuresis dihitung setiap jam (normal 2-3
ml/kgBB/jam). Bila diuresis kurang 1 ml/kgBB/jam maka terdapat hipoperfusi
ginjal. Pemasangan pipa oro/nasogastrik pada anak sakit gawat berguna untuk
dekompresi, memantau perdarahan saluran cerna dan melakukan bilasan lambung
dengan garam fisiologik.

Tabel perbandingan cairan kristaloid dengan cairan koloid

Cairan Kristaloid Cairan Koloid

 Mengandung zat dengan berat  Mengandung zat dengan berat


molekul rendah (<8000 dalton) molekul tinggi (>8000 dalton)
 Cairan kristaloid dengan atau  Tekanan osmotik tinggi, sebagian
tanpa dekstrosa besar akan tetap tinggal di ruang
 Larutan RL atau dekstrosa 5% intravaskuler
dalam larutan RL. Larutan RA
atau dekstrosa 5% dalam
larutan RA. Larutan NaCl
0,9% atau dekstrosa 5% dalam
larutan garam faali
 Tekanan onkotik rendah, cepat
terdistribusi ke ruang
ekstraseluler

 Menurunkan tekanan osmotik  Respon metabolik adalah


koloid plasma dan cenderung meningkatkan pengiriman oksigen
menimbulkan edema ke jaringan dan konsumsi O2 serta
menurunkan laktat serum
 Koloid isoonkotik mengisi ruang
intravaskuler tanpa mengurangi
volume interstisial
 Mempertahankan tekanan osmotik
koloid plasma dan menurunkan
akumulasi cairan interstisial
 Larutan yang mempunyai efek
menyumpal, paling baik koloid
dengan BM 100.000-300.000
dalton

Cairan koloid yang dapat dipakai adalah :

1. DEKSTRAN:larutan 10% dekstran 40 dan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik


dan hiperonkotik, maka cairan ini akan menambah volume plasma karena menarik cairan
dari ekstravaskular ke intravaskular.efeknya dipertahankan masing - masing 3,5-4,5 jam
dan 6-8 jam.Efek samping meggangu mekanisme pembekuaan darah dengan cara
menurunkan jumlah fibrinogen dan menggangu fungsi trombosit.Tidak boleh diberikan
pada DIC

2. Gelatin : haemasel dan gelofusin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat
isotonik dan isoonkotik.efeknya menetap sekitar 2-3 jam dan tidak menggangu
pembekuan darah.

3. Hydroxy Ethyl Starch (HES) : 6% hes 200/0,5;6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonik
dan isoonkotik, sedangkan 10 % HES 200/0,5 isotonik dan hipoonkotik.gangguan
pembekuan darah tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24jam
Pasien dengan sindrom syok dengue harus dimonitor rutin hingga tanda-tanda
bahaya berkurang atau menghilang. Saat pemberian cairan, tanda vital dan perfusi perifer
harus dimonitor setiap 15-30 menit sampai pasien terlepas dari keadaan syok, lalu
monitor setiap 1-2 jam. Secara umum, semakin tinggi tingkat cairan infus, pasien lebih
sering harus dipantau dan ditinjau untuk menghindari overload cairan sementara
memastikan penggantian volume yang memadai.

Produksi urin harus dipantau juga. Kateter dipasang untuk memudahkan


menghitung produksi urin. Hematokrit harus dipantau sebelum dan sesudah bolus
cairan samapi keadaan pasien stabil, lalu setelah itu setiap 4-6 jam. Terkadang
diperlukan juga pemeriksaan analisis gas darah , laktat, karbondioksida/bikarbonat
(setiap 30 menit sampai 1 jam hingga pasien stabil, lalu diperiksa kembali sesuai
kebutuhan), gula darah (sebelum dan sesudah pemberian cairam,periksa kembali
sesuai indikasi), dan pemeriksaan fungsi organ lainnya ( ginjal, hepar, koagulasi,
dll).

Indikasi pemberian darah:2

 terdapat perdarahan secara klinis


 Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit turun,
diduga telah terjadi perdarahan. Berikan darah segar 10 ml/kgBB
 Apabila kadar hematokrit tetap > 40vol%, maka berikan darah dalam volume
kecil.
 Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi gangguan
koagulopati atau koagulasi intravaskular diseminata pada syok berat yang
menimbulkan perdarahan masif.
 Pemberian tranfusi suspensi trombosit pada Koagulasi Intravaskular Diseminata
harus selalu disertai plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk
mencegah perdarahan lebih hebat.

Pencatatan sering terhadap tanda vital dan penentuan hematokrit penting dalam
mengevaluasi hasil pengobatan. Bila pasien menunjukkan tanda-tanda syok, terapi cermat
harus diberikan segera. Pasien kemudian harus dibawah observasi konstan dan cermat
sampai ada ketentuan bahwa bahaya telah lewat. Tindakan berikut harus dilakukan rutin
pada situasi tersebut:

 Nadi, tekanan darah dan pernapasan harus dicatat setiap 30 menit sampai syok
teratasi.11 Dinilai juga apakah terdapat pembesaran hati, tanda ensefalopati.14
Kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit tiap 6 jam, minimal 12 jam.
 Lembar periksa keseimbangan cairan harus dipertahankan, pencatatan tipe cairan
dan kecepatan serta volume pemberiannya untuk evaluasi keadekuatan
penggantian cairan.Frekuensi dan volume keluaran urin juga harus dicatat, dan
kateter urin mungkin diperlukan pada kasus syok sulit teratasi.
Pada demam berdarah dengan syok dilakukan cross match darah untuk persiapan tranfusi
darah apabila diperlukan.11

Pasien demam berdarah dengue perlu dirujuk ke ICU Anak atas indikasi:16

 Syok berkepanjangan (syok tak teratasi lebih dari 60 menit)


 Syok berulang (pada umumnya disebabkan oleh perdarahan internal)
 Perdarahan saluran cerna hebat
 Demam berdarah dengue ensefalopati

Kriteria pasien pulang:1

 Bebas panas sedikitnya 24 jam tanpa pemakaian obat antipiretik


 Nafsu makan membaik
 Tampak perubahan klinis
 Output urin baik
 Hematokrit stabil
 Melewati 2 hari setelah syok
 Tidak ada distres pernafasan karena efusi pleura atau asites
 Trombosit >50.000/mm3

KOMPLIKASI (5,9)

 Overload cairan
 Kelebihan cairan dengan efusi pleura yang luas dan ascites merupakan
penyebab distress pernafasan akut tersering pada dengue berat. Penyebab
kelebihan cairan pada dengue adalah :
 Pemberian cairan intravena yang berlebihan dan atau yang terlalu
cepat
 Salah penggunaan cairan. Dimana lebih memakai cairan hipotonik
daripada cairan isotonik.
 Pemberian dosis cairan intravena yang kurang tepat pada pasien
dengan perdarahan masif yang tidak diketahui
 Pemberian yang tidak tepat pada transfusi fresh frozen plasma,
trombosit konsentrat, dan kriopresipitat
 Pemberian cairan intravena lanjutan setelah kebocoran plasma telah
membaik (24-48 jam setelah suhu kembali normal)
 Keadaan komorbid
 Berikan oksigen, lalu hentikan pemberian cairan secara intravena karena
selama masa penyembuhan cairan pada pleura dan rongga peritoneum akan
kembali ke intravaskuler.
 Perdarahan (biasanya gastrointestinal)
 Biasanya muncul pada fase penyembuhan. Pasien dengan trombositopenia
yang cukup rendah harus istirahat di tempat tidur dan hindari dari trauma
untuk mencegah perdarahan. Tidak semua pasien mengalami perdarahan
yang cukup banyak. Hanya pada keadaan-keadaan tertentu. Pemberian
transfusi darah harus dilakukan sesegera mungkin begitu diketahui atau
terlihat adanya tanda-tanda perdarahan yang masif. Tetapi pada pemberian
transfusi darah pun harus di monitor sebaik mungkin untuk menghindari
kelebihan cairan pada pasien. Jangan menunggu nilai hematokrit terlalu
rendah untuk memutuskan pemberian transfusi darah. Berikan 5-10
ml/kgBB PRC atau 10-20 ml/kgBB whole blood.
 Hiperglikemia dan hipoglikemia
 Hiponatremi, hipokalemi, hiperkalemi, ketidakseimbangan serum kalsium
 Asidosis metabolik
Disfungsi hepar, biasanya bisa akibat dari virus dengue hepatitis atau syok
 DIC
Secara klinis, DIC sering kali menyertai proses penyakit sistemik yang berat, tanda-
tanda perdarahan sering terjadi pada bekas tusukan jarum yang dimasukkan ke dalam
pembuluh darah atau sayatan pembedahan. Di kulit dapat ditemukan tanda petekie
dan ekimosis. Nekrosis jaringan dapat terjadi pada banyak organ dan terlihat tanda
infark yang luas di kulit, di jaringan subkutan atau ginjal.
 Ensefalopati, biasanya muncul sebelum onset kebocoran plasma
Ensefalopati adalah komplikasi yang jarang dari infeksi virus dengue dan
mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari perdarahan intrakranial, edema serebri,
hiponatremia, anoksia serebri, perdarahan mikrokapiler atau pelepasan produk
toksik.9

Pada umumnya ensefalopati terjadi pada DBD dengan komplikasi syok yang
berkepanjangan disertai perdarahan, namun dapat juga terjadi pada DBD yang tanpa
disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau
perdarahan dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Hal ini mungkin pula
disebabkan oleh thrombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari
koagulasi intravaskular menyeluruh. Adapun perihal yang menyatakan bahwa
ensefalopati dengue berhubungan dengan kegagalan hati akut.

Pada ensefalopati dengue, kesadaran menurun menjadi apatis atau somnolen dan
dapat disertai atau tanpa disertai kejang. Pada DSS, keadaan syok harus diatasi
terlebih dahulu untuk melihat ada tidaknya kondisi ensefalopati.

 Kelainan ginjal (akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut).
Kelainan ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal akibat kondisi syok
yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom hemolitik uremikum
yang jarang terjadi. Pada keadaan syok berat dapat ditemukan nekrosis tubular
akut yang ditandai dengan oligouria/anuria disertai peningkatan kadar ureum dan
kreatinin.

 Oedem paru
Keadaan ini mungkin terjadi pada pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian
cairan yang tidak dikurangi pada masa terjadinya reabsorpsi cairan pada sekitar
hari sakit ke 7 dapat menimbukan keadaan ini. Ditandai dengan sesak napas,
kelopak mata sembab, dan ditunjang dengan gambaran oedem paru pada
pemeriksaan radiologi toraks.

 Co-infection dan infeksi nosokomial

PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada pengenalan, pengobatan tepat segera dan


pemantauan ketat syok. Tanda prognosis baik adalah membaiknya takikardi,
takipneu, dan kesadaran, munculnya diuresis dan kembalinya nafsu makan. (8)
Demam berdarah dengue mempunyai kemungkinan 5% menyebabkan
kematian, tetapi bila berkembang menjadi sindrom syok dengue akan meningkatkan
kematian hingga 40%. (7)

Prognosis buruk pada koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom


syok dengue dengan renjatan berulang atau berkepanjangan. (1)

 Denyut nadi cepat dan lemah


 Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan
sirkulasi serebral
 Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)
 Hipotensi  Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau
kurang
 Kulit dingin dan sembab
 Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi
arteri renalis
Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal dalam
waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian cairan yang
memadai.

Sindroma syok dengue merupakan keadaan darurat dalam bidang medis,


setiap menit menentukan prognosis pada pasien. Pemberian cairan yang adekuat
sangat diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma.
Pemberian cairan adekuat yang terlambat dapat menyebabkan multisistem disfungsi
organyang dapat menyebabkan kematian. Gangguan elektrolit (natrium dan
kalsium), ketidakseimbangan asam-basa dapat terjadi dan meningkatkan potensi
terjadinya disseminated intravascular coagulopathy (DIC).
DAFTAR PUSTAKA

1. Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku
Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
2010. Hal.155-181
2. Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 1-43
3. Hardiono D., Sri Rezeki. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2004.
4. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Demam Berdarah
Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol. II. E/15.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.20001. Hal 1134-1135
5. WHO. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever, Degue Shock Syndrome In The
Context Of The Integrated Management Of Childhood Illness. 2005. Hal 1-34
6. WHO. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control.
2009. Hal 3-147
7. Wills Bridget. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome. 2001. Dengue
buletin vol 25. Hal 50-55
8. Fitri Sari A. Gejala Awal Klinis dan Laboratorium Sebagai Faktor Prediktor Syok
Pada Demam Berdarah Dengue di Instalasi Kesehatan Anak RS Dr. Sardjito.
2004. Hal 10-11
9. Tim Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Draft Panduan Pelayanan Medis Departemen
Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Jakarta: Balai Penerbit RSCM. 2007.
10. Sri Rezeki, Hindra Irawan. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.2005
11. Sungkar Saleha. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan
Dokter Indonesia. 2002.
12. Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. Didapat dari :
http://www.unboundmedicine.com/medline/ebm/record/19445771/full_citation/D
engue_haemorrhagic_fever_or_dengue_shock_syndrome_in_children_ diunduh
pada tanggal 5 Juli 2012
13. Fluid Solutions in Dengue Shock Syndrome. Didapat dari :
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM200512083532317 diunduh pada 5
Juli 2012
14. Dengue Shock Syndrome. didapat dari :
http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=6628 diunduh pada 5
Juli 2012
15. Sri Rezeki H.H., Hindra Irawan. Demam Berdarah Dengue. Didapat dari :
http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/dengue-shock-syndrome.html
diunduh pada tanggal 10 Juli 2012
16. Dengue Fever, Dengue haemorrhagic fever, Dengue shock Syndrome. Didapat
dari : http://www.bhj.org/journal/2001_4303_july01/review_380.htm diunduh
pada 10 Juli 2012
17. Dengue Virus Fusion Pathway. Didapat dari :
http://www.microbiologybytes.com/blog/tag/dengue/ diunduh pada tanggal 10
Juli 2012
18. Dengue Fever and Dengue haemorrhagic fever. Didapat dari :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ diunduh pada tanggal 10
Juli 2012
19. Dengue Haemorrhagic Fever. Didapat dari :
http://www.denguevirusnet.com/dengue-haemorrhagic-fever.html diunduh pada
tanggal 10 Juli 2012

Anda mungkin juga menyukai