Anda di halaman 1dari 19

PORTOFOLIO

Nama peserta : dr. Achmad Ageng Selo


Nama Wahana : RSU Mardi Waluyo No RM: -
Tanggal kasus : 29 juli 2017 Pendamping : dr. Herlin Ratnawati, MPH
Tempat Presentasi : -
Nama pasien : Tn. R/ laki-laki/ 60th
Objektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : Laki-laki 60 tahun, Retensio urin et causa Benign Prostatic Hyperplasia
Tujuan : Tatalaksana kegawatdaruratan retensio urin, Mengetahui penyebab retensio urin,
Tatalaksana Benign Prostatic Hyperplasia selanjutnya
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos

Data Nama : Tn. R Umur : 60 tahun Pekerjaan : Buruh No. Reg : -


Pasien : Alamat : jl. Tanjung,Blitar Agama : Islam
Rawat Inap RSU Mardi Waluyo Telp :- Terdaftar sejak : 29 juli 2017
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/ gambaran klinis :
Keluhan utama:
Tidak bisa kencing
Riwayat penyakit sekarang :
+ 6 jam sebelum masuk rumah sakit, os mengeluh ingin buang air kecil namun tidak
bisa walau sudah mengedan. pasien juga merasakan nyeri di bagian bawah perut. Lalu
pasien dibawa ke IGD RSUD Mardi waluyo.
Sebelumnya + 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sering buang air
kecil terutama pada malam hari. Buang air kecil terasa kurang lampias. Nyeri saat buang
air kecil tidak ada, demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada. Buang air besar seperti
biasa. + 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, buang air kecil semakin sering dan terasa
tidak lampias. pasien hampir selalu mengedan saat buang air kecil. Buang air kecil
menetes ada. Nyeri saat buang air kecil tidak ada, demam tidak ada, mual dan muntah
tidak ada. Buang air besar seperti biasa.

2.Riwayat Pengobatan: pasien tidak mengkonsumsi obat-obat an tertentu

3. Riwayat Keluarga : Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.


4. Riwayat pendidikan dan Pekerjaan : pasien lulusan sd dan bekerja sebagai buruh
5.Riwayat kondisi lingkungan sosial dan ekonomi :pasien tinggal di rumah bersama istrinya dan
kedua anaknya keadaan sosial ekonomi cukup
6. Lain-lain : Riwayat kencing manis, darah tinggi, Riwayat kencing berwarna merah (-), kencing
nanah (-), kencing batu (-), nyeri pinggang (-) dan riwayat trauma disangkal.
Pemeriksaan fisik :

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E5V4M6)
Antropometri : BB = 50 kg, PB = 165 cm, Status gizi = baik
Tanda Vital : Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler, isi cukup
RR : 24 x/menit, reguler, gerakan dada simetris.
S : 36,8°C
Kepala : Normocephali
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut, alopecia (-)
Mata : Pupil bulat Ø 4mm/4mm, isokor, conjungtiva anemis -/-,
sklera ikterik -/-, refleks cahaya langsung/tak langsung +/+,
eksoftalmus (-)
THT : Telinga normotia, liang telinga lapang, ≠ hiperemis, benda
asing (-), serumen (+), membran timpani utuh.
Hidung deviasi septum (-), konka eutrofi, mukosa ≠
hiperemis, pernapasan cuping hidung (-)
Tenggorokan tonsil-faring tidak hiperemis tidak ada benda asing
Leher : Trakea lurus ditengah, KGB dan tiroid tidak teraba
Membesar, JVP = 5-2 cmH2O

Thoraks
Inspeksi : Kelainan dinding dada seperti parut bekas operasi (-), pelebaran
vena-vena superfisial (-), retraksi otot-otot interkostal (-)
Kelainan bentuk dada seperti pectus excavatum (-), pectus
carinatum (-), Barrel chest (-), Kifosis (-), Lordosis (-), Skoliosis (-).
Frekuensi pernapasan 24x/menit
Jenis pernapasan abdominotorakal
Tidak terdengar bunyi wheezing, stridor, dan suara serak
Palpasi : Kedua paru mengembang simetris
Ictus cordis teraba 2 jari medial dari garis midclavicularis kiri,
Vokal fremitus dalam batas normal
Nyeri tekan pada dinding dada (-), krepitasi (-)

Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru.


Auskultasi : Jantung : BJ 1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SN vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-,

Abdomen :
Inspeksi : datar, simetris, peristaltik usus (-), pelebaran vena (-)
Palpasi : nyeri tekan suprapubik (+) , distensi (+), hepar/lien tidak
teraba membesar
Perkusi : timpani, nyeri ketok CVA (-/-)
Auskultasi : Bising usus (+) N

Genitalia externa : terpasang foley catheter

Rectal toucher:
Tonus sphinter ani baik, ampula tidak prolaps, mukosa licin, prostat teraba membesar
kira-kira 30gram, konsistensi kenyal, sulcus medianus tidak teraba, pole atas teraba,
nodul (-).
Pada handscoen darah (-), faeces (+) sedikit.

Ekstremitas : Akral hangat, oedem , sianosis , jari tabuh (-),


Refleks fisiologis +/+ , Refleks patologis -/-

Pemeriksaan Penunjang

 Darah (29 juli 2017)


Jenis Pemeriksaan Hasil

Hemoglobin 13, 7 gr/dl

Leukosit 8.400 / µl

Trombosit 204.000 / µl

Hematokrit 39,2 %

Hitung Jenis :

 Basofil 0%
 Eosinofil
0%
 N. batang
 N. Segment 0%
 Limfosit
 Monosit 70 %
12 %
2%

Clotting Time 5’

Bleeding Time 2’

Golongan Darah A
HBsAg (-)

Ureum 35 mg/dl

Kreatinin 1,2 mg/dl

GDS 150 /dl

 USG Urologi (29 juli 2017)

Ginjal kanan : ukuran normal, ekokorteks tampak normal, batas sinus korteks jelas, tak
tampak pelebaran pelviocalyccal system, batu (-), kista (-)
Ginjal kiri : ukuran normal, ekokorteks tampak normal, batas sinus korteks jelas, tak
tampak pelebaran pelviocalyccal system, batu (-), kista (-)
VU : terisi cukup urin, dinding tidak tampak menebal, batu (-)
Prostat : membesar volume 45,60 cm3, echoparenkim homogeny, tidak tampak kalsifikasi
/ massa.
Tak tampak echo cairan bebas minimal di cavum abdomen.
Kesan : hipertrofi prostat

Diagnosis
Retensio urine et causa benign hiperplasia prostat
Tatalaksana

 IVFD RL 20 tpm
 Pasang dowen kateter
 Inj Ceftriaxon 2 x 1 gr (skin test)
 Inj Ketorolac 3 x 1 amp
 Inj ranitidin 2x1 amp
 Rencana operasi TURP
 Cek lab lengkap, screening.
Prognosis

 Ad vitam : dubia ad bonam


 Ad fungsionam : dubia ad bonam
 Ad sanasionam : dubia ad bonam
Daftar Pustaka:
1. Syamsuhidayat, R dan de Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Kedua. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004
2. Sabiston. Textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical Practice. Edisi
16.USA: W.B Saunders companies.2002
3. Schwartz. Principles of Surgery. Edisi Ketujuh.USA:The Mcgraw-Hill companies.2005
4. R. Schrock MD, Theodore. Ilmu Bedah. Edisi Ketujuh. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.1995.

5. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah Urologi”,
dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima. Media Grace,
Pierce. A., Neil R. Borley., At a Glance, Edisi 3. Erlangga, Jakarta, 2007, hlm.106-107.
Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis Retensio urin dan Benign Prostatic Hyperplasia
2. Mekanisme terjadinya Retensio urin yang disebabkan oleh Benign Prostatic Hyperplasia
3. Edukasi pada keluarga mengenai Benign Prostatic Hyperplasia
4. Langkah-Langkah Penatalaksanaan Benign Prostatic Hyperplasia
5. Motivasi kepatuhan untuk kontrol teratur

1. Subjektif : + 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, os mengeluh sering buang air kecil
terutama pada malam hari dan terasa tidak lampias. Gejala tersebut menunjukkan adanya sisa
urin pada vesica urinaria setelah os buang air kecil. + 1 bulan sebelum masuk rumah sakit,
buang air kecil semakin sering dan os hampir selalu mengedan saat buang air kecil. + 6 jam
sebelum masuk rumah sakit, os mengeluh ingin buang air kecil namun tidak bisa walau sudah
mengedan. Hal ini menunjukkan proses pembesaran prostat yang meghambat keluarnya urin
melalui uretra hingga terjadinya retensio urin.
2. Objektif :
Dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium dapat ditegakkan diagnosis Retensio urin et causa
Benign Prostatic Hyperplasia
o Gejala Klinis :
 Buang air kecil yang tidak lampias dan sering, menunjukkan adanya sisa urin pada
vesica urinaria setelah os berkemih.
 Buang air kecil yang harus mengedan, menunjukkan terhambatnya urin melewati
uretra.
 Sebelum dibawa ke Rumah Sakit, os mengeluh ingin buang air kecil namun tidak
bisa walau sudah mengedan, menunjukkan adanya retensio urin.
 Skor Internasional Gejala Prostat (I-PSS) 27 menandakan gejala saluran kemih
bawah berat.
o Pemeriksaan Fisik :
 Abdomen : Ditemukan benjolan pada suprasimfisis. Tidak ditemukan nyeri ketok
angulus costo vetebrae. Pemeriksaan ballotement tidak ditemukan massa.
 Genitalia eksterna : Tidak ditemukan benjolan keras pada penis
 Rectal Toucher : Tonus sfingter ani baik, permukaan rata, tidak ada nodul, tidak ada
nyeri tekan, prostat teraba membesar, konsistensi lunak, bagian atas tidak teraba.
o Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan laboratorium terutama ureum 35 mg/dl dan kreatinin 1,2 mg/dl dalam
batas normal menunjukkan tidak ada penyulit pasa saluran kemih bagian atas. Dari
hasil pemeriksaan USG prostat di dapatkan kesan hipertrofi prostat.
3. Assessment :
Keluhan ingin buang air kecil namun tidak bisa walau sudah mengedan, menunjukkan adanya
retensio urin. Kesulitan buang air kecil yang terjadi secara perlahan pada laki – laki dengan usia
di atas 50 tahun perlu dipikirkan kemungkinan benign prostatic hyperplasia.

Gejala hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas gejala obstruktif dan
gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena penyempitan uretra pars prostatika karena
didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat
dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala-gejalanya antara lain1:
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga
factor, yaitu:
a. Volume kelenjar periuretral
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada
saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum
penuh., gejalanya ialah1 :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan
colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo
cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan
tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan:
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Simetris/ asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba
ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada
carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak
simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu diagnosis adalah IVP, Pembesaran prostat
dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada dasar kandung kemih atau ujung distal
ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui
adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta
penyulit (trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli). Foto setelah miksi dapat dilihat adanya
residu urin. Selain itu juga dapat dengan USG urologi untuk melihat ukuran prostat.

Plan :
Penatalaksanaan : Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan
teknologi yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi bedah minimal
invasif yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang tinggi. Watchful
waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan. Terapi dengan medikamentosa adalah
dengan tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu dengan
penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi. Terapi pembedahan
yang digunakan adalah :
Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan3:
1. Prostatektomi terbuka :
a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)
b. Prostatektomi retropubik (Terence Millin)
c. Prostatektomi perinealis (Young)
2. Prostatektomi tertutup :
a. Reseksi transuretral.
b. Bedah beku
Pada pasien ini, dilakukan tindakan operasi prostatektomi tertutup reseksi transuretral (TURP)
pada tanggal 29 Juli 2017. Pasien diizinkan pulang dengan persetujuan pada tanggal 4 Agustus
2017. Pasien pulang dengan diberi obat cefixime 2x200mg, asam mefenamat 3x500mg dan
vitamin c 2x50mg.

 Edukasi
– Keluarga pasien diberitahukan dengan lengkap dan jelas tentang kondisi pasien
serta meminta izin (informed consent) untuk melakukan tindakan-tindakan
penyelamatan selama kegawatdaruratan masih berlangsung.
– Keluarga pasien diberitahukan dengan lengkap dan jelas, akibat yang akan terjadi
bila pasien tidak dioperasi segera dan meminta keluarganya untuk memberikan
informed consent untuk dilakukan tindakan operasi.
• Konsultasi
– Konsultasi dengan spesialis bedah untuk penanganan selanjutnya.
• Rujukan : Pasien tidak dirujuk
Kontrol : Pasien kontrol ke puskesmas bila ada keluhan.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia merupakan pertumbuhan jinak pada kelenjar prostat, yang
menyebabkan prostat membesar. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang
terletak disebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami
pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya
aliran urine keluar dari buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada
orang dewasa + 20 gram.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-
sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif (DHT) dengan bantuan
enzim 5α – reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di
dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu
pertumbuhan kelenjar prostat.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini
dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80
tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga
menimbulkan gangguan miksi.

Gambar 3. Organ yang berada disekitar prostat

2. Etiologi
Ada beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah :
a. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat
oleh enzim 5α reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA
pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim
5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi
sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen
relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosteron relatif meningkat.
Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua
keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.

c. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth
factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol,
sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma.

d. Berkurangnya kematian sel prostat


Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologikuntuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis
akan difagositosis oleh sel-sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat.
Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel
karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar
prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan
faktor pertumbuhan TGFβ berperan dalam proses apoptosis.
e. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah menglami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada
keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti
yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi
sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang beerlebihan sel stroma maupun sel epitel.

3. Manifestasi klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di
luar saluran kemih.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah terdiri atas gejala obstruksi dan gejala
iritatif.

Obstruksi Iritasi
Hesitansi Frekuensi
Pancaran miksi lemah Nokturi
Intermitensi Urgensi
Miksi tidak puas Disuri
Menetes setelah miksi

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih bagian bawah,
beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS
(International Prostatic Symptom Score).
Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup
pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan denga keluhan miksi diberi nilai dari 0
sampai 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari
1 hingga 7.
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1)
ringan: skor 0-7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat: skor 20-35.
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk
mengeluarkan urin. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique)
sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya oleh beberapa faktor pencetus antara
lain: (1) volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan
kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung
diuretikum, dan minum air dalam jumlah yang berlebihan, (2) massa prostat tiba-tiba
membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat
akut, dan (3) setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi
otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan
antikolinergik atau adrenergik alfa.
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa
gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan
tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau
urosepsis.
c. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien datang berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada
saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh teraba
massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang-kadang didapatkan
urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari
inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan: (1) tonus sfingter ani/refleks
bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik, (2)
mukosa rektum, dan (3) keadaan prostat antara lain: kemungkinan adanya nodul,
krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.
Colok dubur pada pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul; sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras/teraba
nodul dan mungkin di antara lobus prostat tidak simetris.

4. Patogenesis
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat
aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran
balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus menerus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya
dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh
adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus
otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli.
Otot polos itu dipersarafi oleh serabut saraf simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma epitel. Jika pada prostat normal
rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1,
hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan
dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen
statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab
obstruksi prostat.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna dalam mencari jenis
kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai
saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari
kemungkinan adanya penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan kelainan
persarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik). Jika dicurigai adanya keganasan
prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor PSA.
b. Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang
penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urin. Pemeriksaan PIV
dapat menerangkan kemungkinan adanya: (1) kelainan pada ginjal maupun ureter
berupa hidroureter atau hidronefrosis, (2) memperkirakan besarnya kelenjar prostat
yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar
prostat) atau ureter disebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atau hooked fish,
dan (3) penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau
sakulasi buli-buli.
Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUS, dimaksudkan untuk
mengetahui: besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran
prostat maligna, sebagai guidance (petunjuk) untuk melakukan biopsi aspirasi prostat,
menentukan jumlah residual urin, dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di
dalam buli-buli. Di samping itu ultrasonografi transabdominal mampu untuk
mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang
lama.
c. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :

o Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin ini dapat dihitung
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi.
o Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
6. Diagnosis
Diagnosis BPH ditegakkan dengan anemnesis berupa penderita laki-laki yang berusia tua,
sulit atau tidak bisa buang air kecil, buang air kecil tidak puas, sering buang air kecil,
menetes setelah buang air kecil. Pemeriksaan fisik pada pasien BPH menunjukkan ada
pembesaran pada suprasimfisis akibat vesika urinaria yng terisi oleh urin. Pemeriksaan rektal
toucher menunjukkan adanya pembesaran prostat, tanpa nodul, simetris, dan konsistensi yang
kenyal.

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya peningkatan kadar ureum dan
kreatinin. Pemeriksaan USG ditemukan pembesaran prostat dapat disertai dengan
pembesaran ginjal.

7. Terapi
Tidak semua pasien hiperplasi prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang
mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun
atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja. Namun, di antara mereka akhirnya ada yang
membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya
semakin parah.
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4) mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urin setelah miksi, dan
(5) mencegah progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa,
pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif.

a. Watchfull waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,
yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak
mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai suatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan konsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang
mengiritasi buli-buli, (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, serta (5) jangan menahan
kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya
apakah menjadi lebih baik, disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu
urin, atau uroflowmetri.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan
obat-obatan dengan penghambat adrenergik alfa dan (2) mengurangi volume prostat
sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase. Selain kedua
cara tersebut, banyak terapi dengan menggunakan fitofarmaka yang mekanisme
kerjanya masih belum jelas.
c. Operasi
o Pembedahan terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari
Millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik
infravesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika, atau transperineal.
Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih banyak
dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH.
Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik
transvesikal atau retropubik infravesikal.
Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah
inkontinensia urin, ejakulasi retrograd, dan kontraktur leher buli-buli.
Dibandingkan dengan TURP dan BNI, penyulit yang terjadi berupa striktura
uretra dan ejakulasi retrograd lebih banyak dijumpai pada prostatektomi terbuka.
o TURP
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan
cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak
tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionic,
yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan
yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang
terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya
hiponatremi relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma
TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran
somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera
diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan
meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Pada hiperplasi prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran
lobus medius, dan pada pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan insisi
kelenjar prostat atau TUIP (Transurethral incision of the prostate) atau insisi leher
buli-buli atau BNI (Bladder Neck Incision). Sebelum melakukan tindakan ini,
harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan melakukan
colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal, dan pengukuran
kadar PSA.

o Elektrovaporisasi prostat
Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP, hanya saja teknik ini
memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat,
sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman,
tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa mondok di
rumah sakit lebih singkat. Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada prostat
yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih
lama.
o Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pembesaran prostat. Stent ini dipasang intraluminal di antara leher buli-
buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melwati
lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen.
Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak
diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan
dilepas kembali secara endoskopi.
Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin
menjalani operasi karena risiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent
dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi.
d. Kontrol berkala
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu
kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol
tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalani.
Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan dianjurkan kontrol setelah 6 bulan,
kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian
dilakukan dengan pemeriksaan skor IPSS, uroflowmetri, dan residu urin pasca miksi.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu
pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol
selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.
Pasien yang mendapat terapi invasfi minimal harus menjalani kontrol secara
teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap
tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal, selain dilakukan
penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urin.

Kota Blitar, Agustus 2017

Mengetahui

Pendamping Internship,

dr. Herlin Ratnawati, MPH


Lampiran

SKOR INTERNASIONAL GEJALA PROSTAT (I-PSS)

Untuk pertanyaan nomer 1 hingga 6, jawaban dapat diberikan skor sebagai


berikut
0 = Tidak pernah 3 = Kurang lebih separuh dari kejadian
1 = Kurang dari sekali dari 5 kejadian 4 = Lebih dari separuh dari kejadian
2 = Kurang dari separuh kejadian 5 = Hampir selalu

Dalam satu bulan terakhir ini berapa sering anda :

1. Merasakan masih terdapat sisa urin sehabis kencing? 5

2. Harus kencing lagi padahal belum ada setengah jam yang lalu anda baru 3
saja kencing?

3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan hal 4
ini dilakukan berkali-kali?

4. Tidak dapat menahan keinginan untuk kencing? 2

5. Merasakan pancaran urin yang lemah? 4

6. Harus mengejan dalam memulai kencing? 5

Untuk pertanyaan nomor 7, jawablah dengan skor seperti di bawah ini :


0 = tidak pernah 2 = dua kali 4 = empat kali
1 = satu kali 3 = tiga kali 5 = lima kali

7. Dalam satu bulan terakhir ini berapa kali anda terbangun dari tidur 4
malam untuk kencing?

Total Skor 27

Anda mungkin juga menyukai