Anda di halaman 1dari 29

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

CEDERA KEPALA

Pembimbing :
dr. Anton J. Sirait, Sp. BS

Disusun Oleh:
Nathania Purnomo
00000005591

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA
HARAPAN
RSUD dr. DRAJAT PRAWIRANEGARA
PERIODE FEBRUARI 2018 – MARET 2018
SERANG
I. Definisi

Cedera kepala merupakan cedera yang mengenai kulit kepala hingga


tengkorak (Cranium dan bagian bawah). Namun penggunaan istilah cedera
kepala (head injury) biasanya berkaitan dengan cedera yang mengenai
tengkorak atau otak atau keduanya. Cedera kepala mayor didefinisikan oleh
Yayasan Cedera Kepala Nasional di Amerika Serikat sebagai akibat traumatik
pada otak yang dapat menyebabkan perubahan fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan tingkah laku. Definisi lain menurut National Institute of
Neurological Disorder and Stroke, cedera kepala atau yang sinonim dengan
brain injury/head injury/traumatic brain injury, adalah cedera yang mengenai
kepala atau otak (atau keduanya) yang terjadi ketika trauma mendadak
menyebabkan kerusakan pada otak.

II. Anatomi Kepala

1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP, yaitu :
 Skin atau kulit
 Connective tissue atau jaringan penyambung
 Aponeurosis atau galea aponeurotika
 Loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar
 Pericranium

2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal
dan oksipital. Kalvaria di regio temporal dilapisi oleh otot temporalis.
Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa, yaitu : fossa anterior (lobus
frontalis), fossa media (lobus temporalis) dan fossa posterior (ruang
bagi batang otak dan serebelum).
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu :
a. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan, yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara
duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di
garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak
pada fossa temporalis (fossa media).
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah
dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput
ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarachnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater adalah membran vaskular yang dengan erat membungkus
otak, meliputi gyrus dan masuk ke dalam sulcus yang paling
dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineurium. Arteri-arteri yang masuk ke dalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 1,4 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian, yaitu :
Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata, dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik, dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporal mengatur fungsi pendengaran dan komprehensi
berbicara. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses
penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebelum
bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
5. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus koroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, lalu ke akuaduktus
sylvius, dan menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari.
6. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk Circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai
jaringan otot di dalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke
dalam sinus venosus cranialis.

III. Etiologi

Penyebab cedera kepala dapat dibagi menjadi 2 yaitu:


1. Trauma kepala nonpenetrasi
Trauma kepala nonpenetrasi atau trauma kepala tertutup, merupakan
akibat dari cedera tumpul. Tidak ada penetrasi benda asing pada dura
(dura masih intak), meskipun dapat terjadi laserasi dura akibat
terjadinya fraktur tulang tengkorak, dan jaringan otak tidak terpapar
dengan lingkungan luar. Trauma tumpul lebih sering terjadi dan
meliputi benturan kepala pada permukaan yang keras, atau objek
berkecepatan tinggi yang mengenai kepala.. Trauma tumpul dapat
mengakibatkan baik cedera otak fokal maupun cedera aksonal difus.
2. Trauma kepala penetrasi
Saat terjadi penetrasi pada dura, maka akan menimbulkan paparan dari
isi tengkorak pada lingkungan luar, dimana terjadi trauma terbuka, yang
mengakibatkan cedera otak fokal. Cedera kepala penetrasi dihubungkan
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Peluru dan fragmen
tulang yang masuk ke intrakranial dapat menyebabkan terjadinya
gelombang getaran dan cedera kavitasi yang dapat menimbulkan
destruksi yang luas. Terjadinya destruksi jaringan dihubungkan dengan
koagulopati konsumtif dan vasospasme, yang selanjutnya dapat
memperberat cedera. Tingkat mortalitas melebihi 60%, dan di antara
orang yang berhasil bertahan, 10% diantaranya tetap dalam kondisi
vegetatif dan memiliki ketidakmampuan (disabilitas) yang berat.
Cedera kepala penetrasi dapat disebabkan oleh mekanisme trauma yang
berbeda. Trauma dapat disebabkan oleh proyektil yang memiliki
kecepatan tinggi atau rendah. Cedera lainnya dapat meliputi luka
tusukan, cedera akibat terkena panah, cedera senjata di industri dan
cedera akibat penggunaan mesin bor. Pada cedera otak yang disebabkan
oleh objek dengan kecepatan rendah, kerusakan hanya terbatas pada
adanya disrupsi jaringan secara langsung. Kadang-kadang tidak terjadi
hilangnya kesadaran. Baik cedera penetrasi dengan kecepatan tinggi
maupun rendah dapat menyebabkan disrupsi dari kulit, tulang
tengkorak, dan selaput otak, sehingga dapat memudahkan kontaminasi
cairan cerebrospinal atau otak dengan mikroorganisme infektif.
Cedera kepala yang paling sering terjadi disebabkan oleh misil seperti
peluru, fragmen batu atau logam, atau pecahan peluru. Kematian yang
terjadi segera setelah kejadian trauma, dapat merupakan akibat dari
peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan yang disebabkan oleh
benturan tersebut.

IV. Mekanisme Terjadinya Cedera Kepala

Cedera kepala disebabkan karena adanya daya / kekuatan yang mendadak di


kepala. Ada tiga mekanisme yang berpengaruh dalam trauma kepala yaitu
akselerasi, deselerasi, dan deformitas.
 Akselerasi yaitu gerakan yang cepat dan mendadak yang terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam.
- Coup : akselerasi tengkorak ke arah dampak. Lesi yang terjadi
pada saat akselerasi tengkorak ke arah dampak disebut juga lesi
coup.
- Countrecoup : akselerasi tengkorak berlawanan dari arah dampak
primer. Lesi yang terjadi pada saat akselerasi tengkorak
berlawanan dari arah dampak primer disebut juga lesi
countrecoup.

 Deselerasi yaitu penghentian akselerasi secara mendadak yaitu jika


kepala membentur benda yang tidak bergerak. Pada saat terjadinya
deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga dapat
menambah kerusakan.
 Deformitas adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang
terjadi akibat trauma, misalnya adanya fraktur kepala, kompresi,
ketegangan, atau pemotongan pada jaringan otak.
Cedera pada otak disebabkan oleh transfer energi pada tengkorak dan struktur
di dalamnya. Cedera akselerasi deselerasi terjadi sebagai akibat dari
mekanisme benturan atau impuls yang dapat menyebabkan disrupsi dari
jaringan otak (laserasi dan atau kontusi), cedera aksonal difus, atau keduanya.
Pada cedera tumpul, dorongan akselerasi-deselerasi angular menyebabkan
timbulnya strain (gaya) yang terbagi secara merata pada parenkim otak, dimana
hal ini bertanggung jawab pada terjadinya cedera aksonal difus. Adanya
dorongan atau benturan ini, dapat secara langsung terjadi pada kepala (cedera
benturan) atau secara tidak langsung melalui tubuh (cedera impuls). Tanda
fisiologis dari terjadinya cedera otak difus adalah hilangnya kesadaran.
Cedera otak dapat terjadi secara langsung di bawah lokasi cedera (cedera
coup), tetapi karena otak sifatnya lebih relatif dibandingkan tulang tengkorak
dan dura, maka kompresi otak yang berjauhan dengan lokasi benturan juga
dapat terjadi, dimana dapat ditemukan pada permukaan orbitofrontal dari lobus
frontal dan atau di bagian anterior dari lobus temporal, yang jauh dari lokasi
benturan (cedera countrecoup). Hal ini dapat menjelaskan mengapa cedera otak
dapat terjadi pada daerah intrakranial yang berlawanan dengan lokasi trauma
atau benturan (cedera countrecoup). Trauma kraniocerebral dapat
menyebabkan konkusi, kontusi cerebral, perdarahan intrakranial, atau cedera
aksonal difus.

V. Patofisiologi Cedera Kepala

Mekanisme cedera otak merupakan hal yang bersifat kompleks, bervariasi, dan
belum sepenuhnya dipahami. Trauma mekanik, iskemia, kerusakan energi
seluler, edema, cedera vaskuler, dan cedera yang menginduksi apoptosis,
merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada hampir semua cedera otak
akut. Ada dua fase utama dari cedera kepala yang diakibatkan oleh trauma
kepala. Fase pertama adalah kerusakan otak awal yang terjadi segera pada saat
benturan, yang meliputi cedera neural, cedera glial primer, dan respon vaskuler,
dimana hal ini dapat meliputi laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,
kontusi, perdarahan subarachnoid dan cedera aksonal difus. Ada dua jenis
cedera primer yang dapat terjadi yaitu cedera otak fokal dan difus. Tipe yang
paling sering dari cedera otak traumatik (75-90%) adalah konkusi ringan dan
konkusi cerebral klasik. Cedera otak fokal terhitung sebanyak lebih dari dua
per tiga dari kematian akibat cedera otak, sedangkan cedera aksonal difus
terhitung sebanyak kurang dari sepertiganya. Sedangkan fase kedua dari cedera
merupakan perkembangan kerusakan neurologi yang terjadi setelah cedera
primer, dimana hal ini dapat berkembang dalam waktu beberapa hari sampai
minggu. Cedera sekunder dapat diakibatkan oleh adanya edema cerebral,
hipoksia, dan perdarahan yang tertunda.

 Cedera primer
Cedera primer didefinisikan sebagai cedera otak traumatik primer yang
disebabkan oleh kekuatan eksternal pada kepala yang menimbulkan
kerusakan jaringan di luar toleransi strukturalnya. Kekuatan ini dapat
dikelompokkan menjadi kekuatan kontak atau inersia. Kekuatan kontak
umumnya menimbulkan cedera fokal seperti fraktur tulang tengkorak,
kontusi, hematom epidural dan subdural. Kekuatan inersia terjadi akibat
otak yang mengalami akselerasi atau deselerasi (tranlasional, rotasional,
atau keduanya). Kekuatan inersia dapat menyebabkan cedera otak fokal
atau difus, dimana akselerasi tranlasional yang murni dapat
menyebabkan cedera fokal seperti kontusi countrecoup, hematom
intracerebral, dan hematom subdural, sedangkan akselerasi rotasional
atau angular (sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas dengan
kecepatan tinggi), biasanya menyebabkan cedera otak difus. Cedera
primer ini dapat berlanjut pada kerusakan yang irreversibel akibat
disrupsi sel, bergantung pada mekanisme dan keseriusan dari kejadian
tersebut. Trauma kepala dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit
kepala, tulang tengkorak dan otak. Laserasi kulit kepala, dapat
menyebabkan perdarahan yang signifikan tetapi pada hampir semua
kasus, hemostasis dapat terjadi dengan mudah. Fraktur dapat
dikelompokkan menjadi fraktur linier, depresi, campuran, atau
melibatkan dasar tengkorak. Fraktur tulang tengkorak linier atau simpel
merupakan tipe yang paling sering terjadi, umumnya terjadi pada
konveksitas lateral dari tulang tengkorak, dan tidak membutuhkan terapi
yang spesifik. Fraktur tulang tengkorak depresi terjadi saat tabula
eksterna dari tengkorak mengalami depresi atau penurunan di bawah
tabula interna dan dapat menyebabkan robeknya dura atau laserasi otak.
Biasanya terjadi akibat trauma tumpul oleh objek yang memiliki area
permukaan yang relatif kecil seperti palu. Mungkin dibutuhkan
perbaikan operatif, khususnya pada fraktur depresi yang melibatkan
dinding posterior sinus frontal atau berhubungan dengan perdarahan
intrakranial. Fraktur depresi campuran didefinisikan sebagai fraktur
yang disertai laserasi dari kulit kepala dan dapat ditangani dengan
debridement luka melalui operasi. Fraktur dasar tengkorak dapat terjadi
akibat trauma tumpul yang berat pada daerah frontal atau occiput, dan
didiagnosis dengan penemuan klinik dari adanya ekimosis periorbital
(raccoon eyes), ekimosis pada daerah postaurikuler (Battle’s sign),
hemotimpanum, atau kebocoran cairan cerebrospinal, dapat memiliki
penyulit berupa meningitis atau abses otak. Pasien dengan fraktur tulang
tengkorak memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya hematom
intrakranial yang tertunda, dan harus diobservasi dalam waktu 12-24
jam setelah cedera awal. Cedera primer dapat meliputi cedera aksonal
difus kontusi hematom, dan perdarahan subarachnoid traumatik.

 Cedera sekunder
Banyak penelitian yang telah melaporkan bahwa autoregulasi cerebral
dapat mengalami gangguan setelah terjadinya cedera otak traumatik.
Hal ini menyebabkan pasien dengan cedera kepala menjadi rawan
terhadap akibat dari cedera sekunder seperti hipotensi, hipertensi
intrakranial, hipoksia, perdarahan intrakranial, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial, infeksi, dan ketidakseimbangan elektrolit dan
metabolik. Insiden cedera sekunder umumnya semakin meningkat
dengan keseriusan cedera primer meskipun hubungan dari kedua hal ini
tidak sepenuhnya sama. Pasien dengan cedera primer yang berat,
mungkin awalnya masih mengalami cedera sekunder yang sedikit.
Sebaliknya, pasien dengan cedera primer yang ringan, dapat meninggal
atau menjadi lumpuh akibat adanya perluasan hematom intrakranial.
Secara klinik, gangguan neurologik yang disebabkan oleh cedera primer
sifatnya maksimal pada onset trauma dan selanjutnya semakin
berkurang atau tetap stabil. Tetapi, adanya cedera sekunder dapat
memperburuk status neurologik pasien, dimana efeknya ditambahkan
dengan gangguan neurologi pada cedera primernya. Proses sekunder ini
dapat dimulai pada waktu terjadinya cedera atau beberapa waktu
setelahnya, dimana hal ini dapat memicu lebih buruknya cedera yang
sudah terjadi pada otak. Setelah terjadinya cedera otak traumatik,
banyak sel yang mengalami kerusakan secara langsung dan irreversibel.
Tetapi sel-sel yang lainnya masih dapat dipertahankan dan fungsinya
tidak terganggu dan tidak rusak secara mekanik. Hal ini dapat pulih jika
tersedia kondisi lingkungan yang optimal untuk dapat bertahan.
Cedera sekunder secara potensial dapat dicegah dan ditangani. Cedera
sekunder meliputi efek hipotensi, hipoksia, dan herniasi dengan
peningkatan tekanan intrakranial akibat efek massa. Kerusakan otak
hipoksik dapat ditimbulkan oleh tingginya tekanan intrakranial atau
vasospasme. Koreksi dari kondisi syok dan hipoksia merupakan
manajemen pertama pada pasien yang mengalami cedera kepala, dan
setiap pasien cedera kepala yang dicurigai memiliki kemampuan
ventilasi yang buruk harus segera mendapatkan intubasi.
Kejang post trauma dapat dikelompokkan menjadi segera (terjadi dalam
waktu 7 hari setelah trauma), atau lambat (terjadi > 7 hari setelah
trauma). Beberapa faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi
untuk terjadiya kejang post trauma antara lain skor GCS < 10, kontusi
kortikal, fraktur depresi tengkorak, hematom subdural, hematom
epidural, hematom intracerebral, luka penetrasi, dan kejang dalam
waktu 24 jam setelah trauma. Edema otak difus atau lokal merupakan
komplikasi yang serius dari cedera kepala dan dapat berlanjut pada
peningkatan tekanan intrakranial. Efek massa dari edema meningkat
dalam waktu 72 jam setelah trauma.
VI. Klasifikasi

1. Cedera kepala ringan


 Pasien sadar penuh, orientatif, atentif.
 GCS (13-15)
 Kehilangan kesadaran atau amnesia < dari 30 menit
 Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hematom

2. Cedera kepala sedang


 Pasien bingung/somnolen, namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana
 Pasien letargi
 Muntah
 GCS (9-12)
 Hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
 Tanda kemungkinan fraktur basis cranii (Battle’s sign, raccoon
eyes, hemotimpanum, otorea, rinorea cairan serebrospinal)

3. Cedera kepala berat


 Pasien tidak mampu mengikuti perintah sederhana karena
gangguan kesadaran
 GCS (3-8)
 Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam
 Penurunan derajat kesadaran secara progresif
 Tanda neurologis fokal
 Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
 Mengalami kontusio serebral, laserasi, hematoma intrakranial.
VII. Tipe Trauma Kepala

Cedera Primer :
 Konkusi
Konkusi merupakan kehilangan fungsi neurologik sentral yang sifatnya
segera, terjadi tiba-tiba, dan tanpa disertai sekuel yang diakibatkan oleh
trauma kraniocerebral. Karakteristiknya adalah tidak ada hilangnya
kesadaran, amnesia sementara (hilangnya memori), konfusi,
disorientasi, perubahan visual, disfungsi otonom, sakit kepala, tinitus,
dan iritabilitas dengan derajat yang bervariasi, tanpa adanya
abnormalitas cerebral yang bermakna (tidak disertai adanya kerusakan
patologis pada otak).
 Kontusi cerebral
Kontusi cerebral merupakan area yang mengalami kerusakan pada
parenkim otak dan dapat menimbulkan defisit neurologis bergantung
pada lokasi anatominya. Kontusi umumnya ditemukan paling sering
pada lobus frontal, khususnya pada bagian ujung dan sepanjang
permukaan orbital inferior; pada lobus temporal, khususnya pada kutub
anterior dan sepanjang permukaan inferior; dan pada daerah
sambungan frontotemporal. Bagian anterior dari lobus frontal dan
temporal merupakan bagian yang rawan atau rapuh karena kontur yang
kasar dari tulang tengkorak pada regio ini. Kontusi kadang
dihubungkan dengan disrupsi dari sawar darah otak dan dapat disertai
penyulit berupa perluasan dari perdarahan yang terjadi, pembentukan
edema, atau kejang. Kontusi yang besar dapat menimbulkan efek massa
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi otak.
Hal ini mengakibatkan perubahan pada fungsi perhatian, memori, afek,
emosi, dan tingkah laku. Pada kasus yang jarang terjadi, kontusi terjadi
pada lobus parietal dan occipital. Kontusi cerebral fokal dapat bersifat
superfisial, dan hanya melibatkan girus otak. Kontusi hemoragik dapat
berkumpul menjadi hematom intrakranial konfluen yang luas.
Kontusi biasanya bersifat lokal dan dihubungkan dengan adanya
perdarahan, edema, dan nekrosis. Kontusi dapat dibagi menjadi dua
kelompok. Kontusi coup lebih berat pada jaringan otak dibawah lokasi
benturan dan biasanya berhubungan dengan cedera akselerasi. Kontusi
countrecoup berlokasi pada permukaan otak yang berlawanan dengan
lokasi trauma dan dihubungkan dengan cedera deselerasi. Kontusi
traumatik juga dihubungkan dengan kejadian hematom intracerebral
superfisial. Edema yang terjadi di sekitar kontusi merupakan jenis
vasogenik. Edema vasogenik uumnya terjadi pada substansi alba, dan
merupakan akibat dari adanya destruksi jaringan dan disrupsi sawar
darah otak. Perdarahan yang terjadi pada otak dapat bersifat fokal atau
multifokal. Hematom intracerebral juga dapat terjadi pada lobus frontal
dan temporal, dan kadang muncul sebagai perluasan perdarahan dari
kontusi. Lokasi terjadinya kontusi yang kurang sering ditemukan
adalah pada fossa posterior dan ganglia basalis.
 Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus menggambarkan kerusakan otak dimana terjadi
disrupsi dari proyeksi akson neuronal pada substansi alba cerebral, dan
terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran segera atau
menjadi koma pada saat terjadinya trauma kepala. Bergantung pada
tingkat keseriusan cedera, pasien dapat mengalami cedera aksonal difus
yang ringan, sedang, atau berat. Akibat adanya perbedaan gradien
akselerasi pada beberapa area di otak selama terjadinya benturan
primer, maka dapat terjadi efek kekuatan yang tersebar pada
perhubungan substansi alba dengan grissea, corpus callosum, atau
batang otak. Akibat dari kekuatan ini adalah robekan difus dari akson-
akson dan pembuluh darah kecil. Cedera aksonal difus merupakan
akibat dari efek kocokan (efek inersia dari input mekanik pada kepala
yang berhubungan dengan level akselerasi dan deselerasi yang tinggi,
efek gerakan kepala). Akselerasi rotasional (gerakan memutar)
merupakan mekanisme primer cedera, yang menimbulkan adanya gaya
dan distorsi di dalam otak. Gerakan kepala yang secara bebas melekat
pada leher, memberikan dorongan atau gaya rotasional untuk
menimbulkan dorongan atau gaya yang disebarkan pada jaringan otak.
Cedera aksonal yang paling berat berlokasi lebih perifer dari batang
otak, dan dapat menimbulkan gangguan kognitif dan afektif yang luas.
Kerusakan yang terjadi, dapat mengurangi kemampuan dalam proses
dan respon terhadap informasi, dan mengganggu perhatian.
Area dimana akson dan pembuluh darah kecil mengalami kerusakan,
dapat terlihat sebagai perdarahan kecil, khususnya pada corpus
callosum dan kuadran dorsolateral dari batang otak bagian rostral di
superior pedunculus cerebellar. Akson yang mengalami kerusakan
dapat terlihat dalam waktu 12 jam sampai beberapa hari setelah
terjadinya cedera. Tingkat keseriusan dari kerusakan difus bergantung
pada seberapa besar daya benturan mengenai batang otak. Cedera
aksonal difus tidak dihubungkan dengan hipertensi intrakranial yang
segera terjadi setelah cedera, tetapi kadang dapat terjadi pembengkakan
otak yang sifatnya akut yang disebabkan oleh peningkatan volume
darah intravaskuler di dalam otak dan vasodilatasi.
Konkusi Kontusio Cedera Aksonal Difus
Ringan serebral Ringan Sedang Berat
Kehilangan Tidak
Segera Segera Segera Segera
kesadaran ada
Durasi Beberapa
Tidak
Kehilangan < 6 jam 6-24 jam >24 jam hari -
ada
kesadaran minggu
Posisi
Tidak Tidak Biasanya
tubuh Jarang Ada
ada ada ada
deserebrasi
Amnesia
Menit - Beberapa Beberapa
post Menit Beberapa
jam jam hari minggu
traumatik
Gangguan Tidak Ringan Ringan
Ringan Berat
memori ada sedang sedang
Gangguan Tidak Tidak Tidak
Ringan Berat
motorik ada ada ada

 Perdarahan epidural
Perdarahan epidural terhitung sebanyak 1-2% dari cedera otak mayor
dan terjadi pada semua kelompok umur tetapi paling sering pada umur
20-40 tahun. Sumber perdarahan berasal dari arteri (85%) dan akibat
dari cedera pada vena meningea atau dura sinus (15%). Mayoritas
hematom epidural terjadi pada daerah temporal atau parietal, tetapi juga
dapat terjadi pada lobus frontal atau oksipital, dan pada kasus yang
jarang terjadi pada fossa posterior. Fossa temporalis merupakan lokasi
yang paling sering dari hematom ekstradural yang disebabkan oleh
cedera pada arteri dan vena meningea media. Lesi ini umumnya
diakibatkan oleh fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah
meningeal, paling sering pada cabang posterior dari arteri meningea
media. Hal ini dapat terjadi setelah terjadinya cedera benturan dengan
kecepatan rendah. Karena dura melekat dengan erat pada tabula interna
dari tulang tengkorak, maka hematom yang terjadi biasanya memiliki
konfigurasi lentiformis homogen. Perdarahan ekstradural umumnya
ditemukan pada area subfrontal, khususnya pada populasi berumur
muda dan tua yang disebabkan oleh cedera pada arteri meningea
anterior atau sinus venosus. Dan pada area suboccipital dapat
mengakibatkan herniasi dari isi fossa posterior melalui foramen
magnum.
Pada hematom epidural bentuk klasik, pasien yang mengalami
kehilangan kesadaran akibat konkusi awal, secara perlahan dapat pulih
dalam waktu beberapa menit, dan memasuki lucid interval dimana
pasien relatif tidak mengalami gejala (asimtomatik) dengan hasil
pemeriksaan neurologik yang normal. Selama interval ini, akumulasi
dari darah arteri pada ruang epidural, kadang dapat menyebabkan
kompresi dan pergesaran otak dari garis tengah. Proses ini diikuti oleh
penurunan level kesadaran dan tanda herniasi pada pupil dan motorik
pasien. Bentuk klasik ini hanya terjadi pada sekitar 30% kasus.
 Perdarahan subdural
Perdarahan subdural terhitung sebanyak 10-20% dari orang yang
mengalami cedera otak traumatik. Hematom subdural akut dapat
berkembang dengan cepat, biasanya timbul dalam 3 hari pertama
setelah cedera. Pada gambaran CT scan terdapat daerah hiperdens
berbentuk bulan sabit dan biasanya terletak di bagian atas tengkorak
(pada konveksitas cerebral). Jika penderita mengalami anemis berat
atau terdapat CSS yang mengencerkan darah di subdural, gambaran
tersebut bisa isodens atau hipodens. Hematom subdural subakut
berkembang dalam waktu yang lebih lambat, yaitu gejala timbul antara
hari ke 4 sampai 20. Gambaran CT scan berupa campuran hiper, iso,
dan hipodens. Hematom subdural kronik umumnya ditemukan pada
orang berumur tua dan orang dengan penyalahgunaan alkohol yang
mengalami kondisi atrofi otak dengan konsekuensi penambahan pada
ruang ekstradural, sehingga perkembangannya dapat berlangsung
dalam waktu setelah 3 minggu. Adanya robekan dari vena penghubung
(bridging vein) dapat menyebabkan timbulnya hematom subdural yang
bersifat akut maupun subakut.. Hematom subdural ini, berperan seperti
massa yang sifatnya makin meluas, dan dapat menimbulkan
peningkatan tekanan intrakranial, sehingga juga dapat menyebabkan
herniasi. Hematom subdural juga dapat disebabkan oleh robeknya
pembuluh darah kortikal seperti vena penghubung yang berjalan dari
korteks menuju sinus sagital superior.
 Perdarahan subarachnoid
Perdarahan subarachnoid paling sering disebabkan oleh trauma
kraniocerebral. Perdarahan subarachnoid sendiri biasanya tidak
menyebabkan kerusakan neurologik, tetapi hidrocephalus dan
vasospasme cerebral, yang merupakan komplikasi lambat biasanya
terlihat beberapa hari atau minggu setelah terjadinya perdarahan.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa perdarahan subarachnoid
akibat trauma dapat menyebabkan vasospasme cerebral yang signifikan
yang dapat diukur melalui peningkatan kecepatan aliran pada evaluasi
Doppler transkranial. Perdarahan subarachnoid traumatik cenderung
terdistribusi pada konveksitas otak, dan juga dapat terjadi pada basal,
intrasilvial, dan intraventrikular.

 Perdarahan intracerebral
Perdarahan intracerebral terjadi pada 2-3% orang yang mengalami
cedera kepala, dapat bersifat tunggal atau multipel, dan juga dapat
disertai kontusi otak. Meskipun paling sering terjadi pada lobus frontal
atau temporal, hematom ini juga dapat terjadi pada substansi alba dari
bagian dalam hemisfer otak. Pembuluh darah yang kecil mengalami
trauma akibat cedera penetrasi atau benturan dengan tenaga yang besar.
Selanjutnya hematom intracerebral berperan seperti massa yang makin
meluas, dapat meningkatkan tekanan intrakranial, menimbulkan
kompresi jaringan otak, dan menyebabkan koma. Hematom
intracerebral yang tertunda dapat terjadi dalam waktu 3-10 hari setelah
kejadian cedera kepala.

Cedera Sekunder

 Akibat intrakranial sekunder (peningkatan tekanan intrakranial)


Hipertensi intrakranial setelah terjadinya trauma kranioserebral dapat
disebabkan oleh hematom intrakranial, edema cerebral, atau hiperemia
cerebral. Hukum Monro Kellie menyatakan bahwa adanya sedikit
perubahan pada volume intrakranial dapat secara jelas menimbulkan
peningkatan tekanan intrakranial karena sifat tulang tengkorak yang
rigid (kaku) dan inelastik. Pada situasi normal, volume intrakranial
terdiri dari 80% jaringan otak, 10% cairan cerebrospinal, dan 10%
volume darah intrakranial yang terdapat di dalam tulang tengkorak
yang kaku dan tidak dapat meluas. Tiga komponen ini memiliki
pengaruh terhadap tekanan intrakranial yang secara normal tetap
terjaga dalam batas 0-15 mmHg saat diukur pada ventrikel lateral.
Adanya peningkatan volume dari salah satu kompartemen atau adanya
penambahan kompartemen baru yang sifatnya patologis (seperti
perdarahan intrakranial), harus dapat dikompensasi oleh pengurangan
volume dari kompartemen lainnya. Mekanisme kompensasi yang
merupakan buffer atau penyangga seperti perubahan volume, meliputi
peningkatan absorpsi cairan cererospinal, redistribusi cairan
cerebrospinal dari ruang intrakranial ke ruang subarachnoid medula
spinalis, dan reduksi volume darah cerebral. Daya tampung
(komplians) cerebral menunjukkan adanya perubahan volume
intrakranial dapat mempengaruhi perubahan tekanan intrakranial. Saat
terjadi edema otak, cerebrum meluas dan cairan mengalami pergeseran
tempat dari kompartemen intrakranial. Sehingga, komplians akan
menurun dan tekanan intrakranial meningkat dengan cepat. Saat uncus
ipsilateral dari lobus temporal bagian medial membengkak dan
menekan serat saraf pupilokonstriktor dari nervus oculomotorius
perifer maka dapat terjadi dilatasi pupil.
Adanya peningkatan tekanan intrakranial dapat menimbulkan efek
yang buruk melalui adanya gradien tekanan diantara setiap
kompartemen otak yang berbeda. Kombinasi dari pergeseran otak
akibat adanya massa fokal, tekanan intrakranial yang tinggi, dan
gradien tekanan diantara pemisah dura dan tulang (falx cerebri,
tentorium, dan foramen magnum) dapat menyebabkan jaringan otak
mengalami herniasi dari kompartemen dengan tekanan yang tinggi ke
kompartemen dengan tekanan yang rendah. Jika gradien tekanan ini
memiliki besar yang cukup, maka dapat terjadi pergeseran atau herniasi
jaringan otak dan dapat mengakibatkan kompresi struktur yang vital.
Selain itu, karena tekanan perfusi cerebral berhubungan dengan
tekanan intrakranial, maka peningkatan tekanan intrakranial dapat
menimbulkan gangguan perfusi cerebral. Jika tekanan rata-rata arteri
sangat menurun atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial, maka
selanjutnya tekanan perfusi cerebral menjadi sangat rendah untuk dapat
dikoreksi oleh mekanisme autoregulasi, sehingga hal ini dapat
menimbulkan iskemi cerebral. Jika tekanan perfusi cerebral berkurang
dalam jumlah yang besar (< 40-50 mmHg) maka dapat terjadi iskemi
atau infark cerebral. Sehingga monitoring tekanan darah sistemik
merupakan hal yang penting dilakukan saat terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
Infeksi dapat bersifat lokal (meningitis atau abses otak) atau sistemik.
Infeksi lokal dapat terjadi saat timbul gangguan pada integritas
meninges yang diakibatkan oleh cedera penetrasi atau fraktur campuran
pada atap dan basis tengkorak. Infeksi sistemik umumnya melibatkan
saluran pernafasan dan genitourinarius. Sepsis sistemik dapat
menyebabkan gangguan neurologis yang dapat semakin membaik
dengan resolusi dari infeksi. Hipertermia yang terjadi kadang dapat
menjadi penyulit masalah tekanan intrakranial yang sudah ada.
 Akibat sistemik sekunder
Diantara akibat sistemik sekunder, yang paling signifikan adalah
meliputi hipoksia dan hipotensi. Penelitian klinis prospektif telah
menunjukkan bahwa dua kondisi ini memiliki pengaruh dan hasil
keluaran yang jelek pada cedera kepala berat. Hipotensi sistemik yang
terjadi pada saat kedatangan pasien cedera kepala berat di rumah sakit,
telah terbukti berhubungan dengan peningkatan 150% terjadinya
kematian. Pada pasien dengan cedera kepala yang signifikan,
hipoksemia dapat disebabkan oleh obstruksi saluran nafas bagian atas,
pneumothorax, hemothorax, edema pulmonal, dan hipoventilasi.
Hipoksemia harus dikoreksi dengan cepat untuk mencegah potensi
kerusakan jaringan saraf. Hipotensi dapat menurunkan perfusi cerebral,
yang selanjutnya dapat menimbulkan iskemi dan infark cerebral. Hal
ini berbahaya jika disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Selain itu, gangguan pada autoregulasi cerebral dapat terjadi setelah
cedera otak. Dengan auoregulasi yang normal, maka aliran darah ke
otak tetap konstan meskipun terjadi fluktuasi dari tekanan arteri rata-
rata antara 60 dan 180 mmHg. Autoregulasi dibutuhkan untuk
memberikan pasokan yang tetap stabil dari oksigen dan nutrisi ke
jaringan otak dan membuang sampah metabolik. Konstriksi dan dilatasi
dari arteriol yang terjadi dengan cepat merupakan respon dari adanya
perubahan tekanan. Dilatasi pembuluh darah cerebral terjadi saat
tekanan darah arteri menurun atau saat metabolisme otak meningkat.
Tetapi, jika respon normal ini terganggu, maka aliran darah ke otak
secara langsung akan berhubungan dengan tekanan darah sistemik.
Sehingga jika terjadi hipotensi, maka dapat terjadi penurunan perfusi
jaringan dan iskemi. Operasi yang berhubungan dengan episode
hipotensi dapat menimbulkan dampak yang negatif untuk perfusi otak
dan dapat mempengaruhi kualitas hasil keluaran. Penyebab sistemik
lainnya dari cedera otak sekunder, yang masih dapat dicegah antara lain
adanya ketidakseimbangan elektrolit, anemia, hipoglikemia,
hipertermia, gangguan pembekuan darah (koagulopati), dan kejang.
Gangguan elektrolit sering ditemukan pada pasien dengan cedera
kepala sedang dan berat. Yang paling sering terjadi adalah sindrom
sekresi antidiuretik hormon yang tidak sesuai. Serum sodium dapat
menurun secara signifikan, dimana gangguan status neurologi pasien
dapat terjadi pada level dibawah 120-125 mEq/L. Diabetes Insipidus
dapat terjadi pada cedera kepala yang lebih berat, kadang sebagai
kejadian preterminal pada pasien dengan gangguan neurologi
rostrocaudal progresif yang disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial yang tidak terkontrol.

VIII. Diagnosis

1. Foto tengkorak : mengetahui adanya fraktur tengkorak (simple, depresi,


stellata), fragmen tulang.
2. Foto servikal : mengetahui adanya fraktur sevikal
3. CT. Scan : kemungkinan adanya subdural hematom, intraserebral
hematom, keadaan ventrikel
4. MRI : CT Scan
5. EEG
6. Pungsi Lumbal

IX. Komplikasi

1. Kejang pasca trauma.


Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di
awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42%
(setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi,
hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium,
kontusio serebri, GCS <10.
2. Hidrosefalus
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non
komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera
kepala dengan obstruksi. Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder
akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus
ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia,
gangguan miksi.
3. Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada
kecepatan gerakan dan merupakan gambaran lesi pada UMN
(membentuk ekstremitas pada posisi ekstensi). Beberapa penanganan
ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan
kontraktur, bantuan dalam memposisikan pasien.
4. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal
dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil.
Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang
berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan
menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,
stimulant, benzodizepin, dan terapi modifikasi lingkungan.
5. Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding
gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian
Pons Ford, menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat
gangguan kognitif, tingkah laku, atau emosi termasuk gangguan daya
ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan
kecepatan berpikir 67%, gangguan iritabilitas 64%, dan gangguan
konsentrasi 62%.
6. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala
80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada
tahun pertama: nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo, mual, mudah
lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, fungsi kognitif seperti
perhatian, konsentrasi, memori, fungsi afektif seperti iritabel, cemas,
depresi, emosi labil.

X. Manajemen

1. Prinsip pertolongan pertama

 Airway
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara
kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah atau
bersihkan jika adanya benda asing. Perhatikan tulang leher,
immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun
rotasi, Semua penderita cedera kepala yang tidak sadar harus
dianggap disertai cidera vertebrae cervical sampai terbukti tidak
disertai cedera cervical, maka perlu dipasang C-spine control. Jika
sudah stabil tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas
90 %, jika tidak, usahakan untuk dilakukan intubasi dan bantuan
pernafasan.
 Breathing
Perhatikan frekuensi laju napas, normalnya 16-20 x / menit,
dengarkan suara nafas apakah bersih atau tidak. Jika tidak ada
nafas, lakukan nafas buatan. Lakukan monitor terhadap gas darah
dan pertahankan PCO2 antara 28 – 35 mmHg, karena jika lebih dari
35 mmHg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya
edema serebri. Sedangkan jika PCO2 kurang dari 20 mmHg, akan
menyebabkan vasokonstriksi yang berakibat terjadinya iskemia.
Periksa tekanan oksigen (O2) 100 mmHg, jika kurang beri oksigen
masker 8 liter /menit.
 Circulation
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi, periksa denyut nadi. Jika tidak
ada, lakukan resusitasi jantung. Bila shock (tensi < 90 mmHg dan
nadi >100x per menit), beri infus cairan RL dan cari sumber
perdarahan di tempat lain, karena cidera kepala single pada orang
dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock.
 Disability
Pada pemeriksaan disability/kelainan kesadaran, pemeriksaan
kesadaran memakai Glasgow Coma Scale. Periksa kedua pupil
(bentuk dan besarnya), serta catat reaksi terhadap cahaya langsung
maupun tidak langsung. Periksa adanya hemiparese/plegi. Periksa
adanya reflek patologis kanan kiri. Jika penderita sadar baik,
tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya
aphasia.
 Exposure
Pada pemeriksan exposure, perhatikan bagian tubuh yang terluka,
apakan ada jejas atau lebam pada tubuh akibat benturan.
 Secondary Survey
Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil) baru dilakukan survey yang
lain dengan cara melakukan survey sekunder atau pemeriksaan
tambahan seperti foto tengkorak kepala, foto thorax, foto pelvis,
maupun CT Scan.

2. Penatalaksanaan Medikamentosa

Terapi Medikamentosa
Cairan Larutan garam fisiologis (NaCl) atau larutan Ringer
intravena Lactate
 Berikan cairan secukupnya agar pasien tetap
berada dalam keadaan normovolemia
 Atasi hiponatremia, karena hiponatremia
berkaitan dengan timbulnya edema otak
Hiperventilasi Dilakukan dengan selektif dan hanya dalam waktu
tertentu
Mannitol  Digunakan untuk menurunkan TIK yang
meningkat
 Indikasi penggunaan mannitol : deteriorasi
neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi
pupil, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran
saat pasien dalam observasi.
 Sediaan : Mannitol 20% dengan dosis 1
gr/kgBB diberikan secara bolus intravena
 Jangan berikan Mannitol dosis tinggi pada
pasien hipotensi
Furosemid  Diberikan bersama Mannitol untuk
menurunkan TIK
 Dosis : 0.3 – 0.5 mg/kgBB/iv
 Jangan diberikan pada pasien hipovolemik
Barbiturat Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter
terhadap obat-obatan lain

3. Indikasi Pembedahan

a. EDH (epidural hematom)


 Perdarahan > 40 cc dengan midline shifting pada daerah
temporal / frontal / parietal dengan fungsi batang otak
masih baik
 > 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda
penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi
batang otak masih baik
 EDH progresif
b. SDH (subdural hematom)
 SDH luas (> 40 cc / > 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi
batang otak masih baik
 SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi
operasi
 SDH dengan edema serebri / kontusio serebri disertai
midline shift dengan fungsi batang otak masih baik
c. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
 Penurunan kesadaran progresif
 Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan
napas (Cushing reflex)
 Perburukan defisit neurologis fokal
d. Fraktur impresi melebihi 1 (satu) diploe
e. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
f. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intrakranial)
g. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK,
dipertimbangkan operasi dekompresi
DAFTAR PUSTAKA

Banasik JL. Acute Disorders of Brain Function. In : Pathophysiology Third

Edition. Copstead LC, Banasik JL. editors. Elsevier Inc. St. Louis. 2005. p. 1095-99.

Chin LS, Aldrich EF, DiPatri AJ, Eisenberg HM. Neurosurgery. In : Sabiston

Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice 17th edition.

Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. editors. Elsevier.

Philadelphia. 2004. p. 2152-54.

Cohen SM, Marion DW. Traumatic Brain Injury. In : Textbook of Critical Care

Fifth Edition. Fink MP, Abraham E, Vincent J, Kochanek PM. editors. Elsevier Inc.

Philadelphia. 2005. 377-81.

Henry MC, Stapleton ER. EMT Prehospital Care Revised Third Edition. Mosby,

Inc. St. Louis. 2007. p. 678-81.

Hickey, J.V. (2003). The practise of neurological and neurosurgical nursing.

Philadelphia: Lippincott.

Lycette CA, Doberstein C, Rodts GE, McBride DQ. Neurosurgical Critical Care.

In : Current Critical Care Diagnosis & Treatment Second Edition. Bongard FS, Sue

DY. editors. The McGraw-Hill Companies. New York : 2003. p. 730-34.

Moulton RJ, Pitts LH. Head Injury and Intracranial Hypertension. In : Principles

of Critical Care Third Edition. Hall JB, Schmidt GA, Wood LDH. editors. The

McGraw-Hill Companies. New York : 2005. p. 1395-1400.

Newton E. Head Trauma. In : Emergency Medicine Secrets Fourth Edition.

Markovchick VJ, Pons PT. editors. Mosby, Inc. Philadelphia. 2006. p. 592-95.

Anda mungkin juga menyukai