CEDERA KEPALA
Pembimbing :
dr. Anton J. Sirait, Sp. BS
Disusun Oleh:
Nathania Purnomo
00000005591
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP, yaitu :
Skin atau kulit
Connective tissue atau jaringan penyambung
Aponeurosis atau galea aponeurotika
Loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar
Pericranium
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal
dan oksipital. Kalvaria di regio temporal dilapisi oleh otot temporalis.
Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa, yaitu : fossa anterior (lobus
frontalis), fossa media (lobus temporalis) dan fossa posterior (ruang
bagi batang otak dan serebelum).
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu :
a. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan, yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara
duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di
garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak
pada fossa temporalis (fossa media).
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah
dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput
ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarachnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater adalah membran vaskular yang dengan erat membungkus
otak, meliputi gyrus dan masuk ke dalam sulcus yang paling
dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineurium. Arteri-arteri yang masuk ke dalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 1,4 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian, yaitu :
Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata, dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik, dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporal mengatur fungsi pendengaran dan komprehensi
berbicara. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses
penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebelum
bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
5. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus koroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, lalu ke akuaduktus
sylvius, dan menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari.
6. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk Circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai
jaringan otot di dalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke
dalam sinus venosus cranialis.
III. Etiologi
Mekanisme cedera otak merupakan hal yang bersifat kompleks, bervariasi, dan
belum sepenuhnya dipahami. Trauma mekanik, iskemia, kerusakan energi
seluler, edema, cedera vaskuler, dan cedera yang menginduksi apoptosis,
merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada hampir semua cedera otak
akut. Ada dua fase utama dari cedera kepala yang diakibatkan oleh trauma
kepala. Fase pertama adalah kerusakan otak awal yang terjadi segera pada saat
benturan, yang meliputi cedera neural, cedera glial primer, dan respon vaskuler,
dimana hal ini dapat meliputi laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,
kontusi, perdarahan subarachnoid dan cedera aksonal difus. Ada dua jenis
cedera primer yang dapat terjadi yaitu cedera otak fokal dan difus. Tipe yang
paling sering dari cedera otak traumatik (75-90%) adalah konkusi ringan dan
konkusi cerebral klasik. Cedera otak fokal terhitung sebanyak lebih dari dua
per tiga dari kematian akibat cedera otak, sedangkan cedera aksonal difus
terhitung sebanyak kurang dari sepertiganya. Sedangkan fase kedua dari cedera
merupakan perkembangan kerusakan neurologi yang terjadi setelah cedera
primer, dimana hal ini dapat berkembang dalam waktu beberapa hari sampai
minggu. Cedera sekunder dapat diakibatkan oleh adanya edema cerebral,
hipoksia, dan perdarahan yang tertunda.
Cedera primer
Cedera primer didefinisikan sebagai cedera otak traumatik primer yang
disebabkan oleh kekuatan eksternal pada kepala yang menimbulkan
kerusakan jaringan di luar toleransi strukturalnya. Kekuatan ini dapat
dikelompokkan menjadi kekuatan kontak atau inersia. Kekuatan kontak
umumnya menimbulkan cedera fokal seperti fraktur tulang tengkorak,
kontusi, hematom epidural dan subdural. Kekuatan inersia terjadi akibat
otak yang mengalami akselerasi atau deselerasi (tranlasional, rotasional,
atau keduanya). Kekuatan inersia dapat menyebabkan cedera otak fokal
atau difus, dimana akselerasi tranlasional yang murni dapat
menyebabkan cedera fokal seperti kontusi countrecoup, hematom
intracerebral, dan hematom subdural, sedangkan akselerasi rotasional
atau angular (sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas dengan
kecepatan tinggi), biasanya menyebabkan cedera otak difus. Cedera
primer ini dapat berlanjut pada kerusakan yang irreversibel akibat
disrupsi sel, bergantung pada mekanisme dan keseriusan dari kejadian
tersebut. Trauma kepala dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit
kepala, tulang tengkorak dan otak. Laserasi kulit kepala, dapat
menyebabkan perdarahan yang signifikan tetapi pada hampir semua
kasus, hemostasis dapat terjadi dengan mudah. Fraktur dapat
dikelompokkan menjadi fraktur linier, depresi, campuran, atau
melibatkan dasar tengkorak. Fraktur tulang tengkorak linier atau simpel
merupakan tipe yang paling sering terjadi, umumnya terjadi pada
konveksitas lateral dari tulang tengkorak, dan tidak membutuhkan terapi
yang spesifik. Fraktur tulang tengkorak depresi terjadi saat tabula
eksterna dari tengkorak mengalami depresi atau penurunan di bawah
tabula interna dan dapat menyebabkan robeknya dura atau laserasi otak.
Biasanya terjadi akibat trauma tumpul oleh objek yang memiliki area
permukaan yang relatif kecil seperti palu. Mungkin dibutuhkan
perbaikan operatif, khususnya pada fraktur depresi yang melibatkan
dinding posterior sinus frontal atau berhubungan dengan perdarahan
intrakranial. Fraktur depresi campuran didefinisikan sebagai fraktur
yang disertai laserasi dari kulit kepala dan dapat ditangani dengan
debridement luka melalui operasi. Fraktur dasar tengkorak dapat terjadi
akibat trauma tumpul yang berat pada daerah frontal atau occiput, dan
didiagnosis dengan penemuan klinik dari adanya ekimosis periorbital
(raccoon eyes), ekimosis pada daerah postaurikuler (Battle’s sign),
hemotimpanum, atau kebocoran cairan cerebrospinal, dapat memiliki
penyulit berupa meningitis atau abses otak. Pasien dengan fraktur tulang
tengkorak memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya hematom
intrakranial yang tertunda, dan harus diobservasi dalam waktu 12-24
jam setelah cedera awal. Cedera primer dapat meliputi cedera aksonal
difus kontusi hematom, dan perdarahan subarachnoid traumatik.
Cedera sekunder
Banyak penelitian yang telah melaporkan bahwa autoregulasi cerebral
dapat mengalami gangguan setelah terjadinya cedera otak traumatik.
Hal ini menyebabkan pasien dengan cedera kepala menjadi rawan
terhadap akibat dari cedera sekunder seperti hipotensi, hipertensi
intrakranial, hipoksia, perdarahan intrakranial, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial, infeksi, dan ketidakseimbangan elektrolit dan
metabolik. Insiden cedera sekunder umumnya semakin meningkat
dengan keseriusan cedera primer meskipun hubungan dari kedua hal ini
tidak sepenuhnya sama. Pasien dengan cedera primer yang berat,
mungkin awalnya masih mengalami cedera sekunder yang sedikit.
Sebaliknya, pasien dengan cedera primer yang ringan, dapat meninggal
atau menjadi lumpuh akibat adanya perluasan hematom intrakranial.
Secara klinik, gangguan neurologik yang disebabkan oleh cedera primer
sifatnya maksimal pada onset trauma dan selanjutnya semakin
berkurang atau tetap stabil. Tetapi, adanya cedera sekunder dapat
memperburuk status neurologik pasien, dimana efeknya ditambahkan
dengan gangguan neurologi pada cedera primernya. Proses sekunder ini
dapat dimulai pada waktu terjadinya cedera atau beberapa waktu
setelahnya, dimana hal ini dapat memicu lebih buruknya cedera yang
sudah terjadi pada otak. Setelah terjadinya cedera otak traumatik,
banyak sel yang mengalami kerusakan secara langsung dan irreversibel.
Tetapi sel-sel yang lainnya masih dapat dipertahankan dan fungsinya
tidak terganggu dan tidak rusak secara mekanik. Hal ini dapat pulih jika
tersedia kondisi lingkungan yang optimal untuk dapat bertahan.
Cedera sekunder secara potensial dapat dicegah dan ditangani. Cedera
sekunder meliputi efek hipotensi, hipoksia, dan herniasi dengan
peningkatan tekanan intrakranial akibat efek massa. Kerusakan otak
hipoksik dapat ditimbulkan oleh tingginya tekanan intrakranial atau
vasospasme. Koreksi dari kondisi syok dan hipoksia merupakan
manajemen pertama pada pasien yang mengalami cedera kepala, dan
setiap pasien cedera kepala yang dicurigai memiliki kemampuan
ventilasi yang buruk harus segera mendapatkan intubasi.
Kejang post trauma dapat dikelompokkan menjadi segera (terjadi dalam
waktu 7 hari setelah trauma), atau lambat (terjadi > 7 hari setelah
trauma). Beberapa faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi
untuk terjadiya kejang post trauma antara lain skor GCS < 10, kontusi
kortikal, fraktur depresi tengkorak, hematom subdural, hematom
epidural, hematom intracerebral, luka penetrasi, dan kejang dalam
waktu 24 jam setelah trauma. Edema otak difus atau lokal merupakan
komplikasi yang serius dari cedera kepala dan dapat berlanjut pada
peningkatan tekanan intrakranial. Efek massa dari edema meningkat
dalam waktu 72 jam setelah trauma.
VI. Klasifikasi
Cedera Primer :
Konkusi
Konkusi merupakan kehilangan fungsi neurologik sentral yang sifatnya
segera, terjadi tiba-tiba, dan tanpa disertai sekuel yang diakibatkan oleh
trauma kraniocerebral. Karakteristiknya adalah tidak ada hilangnya
kesadaran, amnesia sementara (hilangnya memori), konfusi,
disorientasi, perubahan visual, disfungsi otonom, sakit kepala, tinitus,
dan iritabilitas dengan derajat yang bervariasi, tanpa adanya
abnormalitas cerebral yang bermakna (tidak disertai adanya kerusakan
patologis pada otak).
Kontusi cerebral
Kontusi cerebral merupakan area yang mengalami kerusakan pada
parenkim otak dan dapat menimbulkan defisit neurologis bergantung
pada lokasi anatominya. Kontusi umumnya ditemukan paling sering
pada lobus frontal, khususnya pada bagian ujung dan sepanjang
permukaan orbital inferior; pada lobus temporal, khususnya pada kutub
anterior dan sepanjang permukaan inferior; dan pada daerah
sambungan frontotemporal. Bagian anterior dari lobus frontal dan
temporal merupakan bagian yang rawan atau rapuh karena kontur yang
kasar dari tulang tengkorak pada regio ini. Kontusi kadang
dihubungkan dengan disrupsi dari sawar darah otak dan dapat disertai
penyulit berupa perluasan dari perdarahan yang terjadi, pembentukan
edema, atau kejang. Kontusi yang besar dapat menimbulkan efek massa
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi otak.
Hal ini mengakibatkan perubahan pada fungsi perhatian, memori, afek,
emosi, dan tingkah laku. Pada kasus yang jarang terjadi, kontusi terjadi
pada lobus parietal dan occipital. Kontusi cerebral fokal dapat bersifat
superfisial, dan hanya melibatkan girus otak. Kontusi hemoragik dapat
berkumpul menjadi hematom intrakranial konfluen yang luas.
Kontusi biasanya bersifat lokal dan dihubungkan dengan adanya
perdarahan, edema, dan nekrosis. Kontusi dapat dibagi menjadi dua
kelompok. Kontusi coup lebih berat pada jaringan otak dibawah lokasi
benturan dan biasanya berhubungan dengan cedera akselerasi. Kontusi
countrecoup berlokasi pada permukaan otak yang berlawanan dengan
lokasi trauma dan dihubungkan dengan cedera deselerasi. Kontusi
traumatik juga dihubungkan dengan kejadian hematom intracerebral
superfisial. Edema yang terjadi di sekitar kontusi merupakan jenis
vasogenik. Edema vasogenik uumnya terjadi pada substansi alba, dan
merupakan akibat dari adanya destruksi jaringan dan disrupsi sawar
darah otak. Perdarahan yang terjadi pada otak dapat bersifat fokal atau
multifokal. Hematom intracerebral juga dapat terjadi pada lobus frontal
dan temporal, dan kadang muncul sebagai perluasan perdarahan dari
kontusi. Lokasi terjadinya kontusi yang kurang sering ditemukan
adalah pada fossa posterior dan ganglia basalis.
Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus menggambarkan kerusakan otak dimana terjadi
disrupsi dari proyeksi akson neuronal pada substansi alba cerebral, dan
terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran segera atau
menjadi koma pada saat terjadinya trauma kepala. Bergantung pada
tingkat keseriusan cedera, pasien dapat mengalami cedera aksonal difus
yang ringan, sedang, atau berat. Akibat adanya perbedaan gradien
akselerasi pada beberapa area di otak selama terjadinya benturan
primer, maka dapat terjadi efek kekuatan yang tersebar pada
perhubungan substansi alba dengan grissea, corpus callosum, atau
batang otak. Akibat dari kekuatan ini adalah robekan difus dari akson-
akson dan pembuluh darah kecil. Cedera aksonal difus merupakan
akibat dari efek kocokan (efek inersia dari input mekanik pada kepala
yang berhubungan dengan level akselerasi dan deselerasi yang tinggi,
efek gerakan kepala). Akselerasi rotasional (gerakan memutar)
merupakan mekanisme primer cedera, yang menimbulkan adanya gaya
dan distorsi di dalam otak. Gerakan kepala yang secara bebas melekat
pada leher, memberikan dorongan atau gaya rotasional untuk
menimbulkan dorongan atau gaya yang disebarkan pada jaringan otak.
Cedera aksonal yang paling berat berlokasi lebih perifer dari batang
otak, dan dapat menimbulkan gangguan kognitif dan afektif yang luas.
Kerusakan yang terjadi, dapat mengurangi kemampuan dalam proses
dan respon terhadap informasi, dan mengganggu perhatian.
Area dimana akson dan pembuluh darah kecil mengalami kerusakan,
dapat terlihat sebagai perdarahan kecil, khususnya pada corpus
callosum dan kuadran dorsolateral dari batang otak bagian rostral di
superior pedunculus cerebellar. Akson yang mengalami kerusakan
dapat terlihat dalam waktu 12 jam sampai beberapa hari setelah
terjadinya cedera. Tingkat keseriusan dari kerusakan difus bergantung
pada seberapa besar daya benturan mengenai batang otak. Cedera
aksonal difus tidak dihubungkan dengan hipertensi intrakranial yang
segera terjadi setelah cedera, tetapi kadang dapat terjadi pembengkakan
otak yang sifatnya akut yang disebabkan oleh peningkatan volume
darah intravaskuler di dalam otak dan vasodilatasi.
Konkusi Kontusio Cedera Aksonal Difus
Ringan serebral Ringan Sedang Berat
Kehilangan Tidak
Segera Segera Segera Segera
kesadaran ada
Durasi Beberapa
Tidak
Kehilangan < 6 jam 6-24 jam >24 jam hari -
ada
kesadaran minggu
Posisi
Tidak Tidak Biasanya
tubuh Jarang Ada
ada ada ada
deserebrasi
Amnesia
Menit - Beberapa Beberapa
post Menit Beberapa
jam jam hari minggu
traumatik
Gangguan Tidak Ringan Ringan
Ringan Berat
memori ada sedang sedang
Gangguan Tidak Tidak Tidak
Ringan Berat
motorik ada ada ada
Perdarahan epidural
Perdarahan epidural terhitung sebanyak 1-2% dari cedera otak mayor
dan terjadi pada semua kelompok umur tetapi paling sering pada umur
20-40 tahun. Sumber perdarahan berasal dari arteri (85%) dan akibat
dari cedera pada vena meningea atau dura sinus (15%). Mayoritas
hematom epidural terjadi pada daerah temporal atau parietal, tetapi juga
dapat terjadi pada lobus frontal atau oksipital, dan pada kasus yang
jarang terjadi pada fossa posterior. Fossa temporalis merupakan lokasi
yang paling sering dari hematom ekstradural yang disebabkan oleh
cedera pada arteri dan vena meningea media. Lesi ini umumnya
diakibatkan oleh fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah
meningeal, paling sering pada cabang posterior dari arteri meningea
media. Hal ini dapat terjadi setelah terjadinya cedera benturan dengan
kecepatan rendah. Karena dura melekat dengan erat pada tabula interna
dari tulang tengkorak, maka hematom yang terjadi biasanya memiliki
konfigurasi lentiformis homogen. Perdarahan ekstradural umumnya
ditemukan pada area subfrontal, khususnya pada populasi berumur
muda dan tua yang disebabkan oleh cedera pada arteri meningea
anterior atau sinus venosus. Dan pada area suboccipital dapat
mengakibatkan herniasi dari isi fossa posterior melalui foramen
magnum.
Pada hematom epidural bentuk klasik, pasien yang mengalami
kehilangan kesadaran akibat konkusi awal, secara perlahan dapat pulih
dalam waktu beberapa menit, dan memasuki lucid interval dimana
pasien relatif tidak mengalami gejala (asimtomatik) dengan hasil
pemeriksaan neurologik yang normal. Selama interval ini, akumulasi
dari darah arteri pada ruang epidural, kadang dapat menyebabkan
kompresi dan pergesaran otak dari garis tengah. Proses ini diikuti oleh
penurunan level kesadaran dan tanda herniasi pada pupil dan motorik
pasien. Bentuk klasik ini hanya terjadi pada sekitar 30% kasus.
Perdarahan subdural
Perdarahan subdural terhitung sebanyak 10-20% dari orang yang
mengalami cedera otak traumatik. Hematom subdural akut dapat
berkembang dengan cepat, biasanya timbul dalam 3 hari pertama
setelah cedera. Pada gambaran CT scan terdapat daerah hiperdens
berbentuk bulan sabit dan biasanya terletak di bagian atas tengkorak
(pada konveksitas cerebral). Jika penderita mengalami anemis berat
atau terdapat CSS yang mengencerkan darah di subdural, gambaran
tersebut bisa isodens atau hipodens. Hematom subdural subakut
berkembang dalam waktu yang lebih lambat, yaitu gejala timbul antara
hari ke 4 sampai 20. Gambaran CT scan berupa campuran hiper, iso,
dan hipodens. Hematom subdural kronik umumnya ditemukan pada
orang berumur tua dan orang dengan penyalahgunaan alkohol yang
mengalami kondisi atrofi otak dengan konsekuensi penambahan pada
ruang ekstradural, sehingga perkembangannya dapat berlangsung
dalam waktu setelah 3 minggu. Adanya robekan dari vena penghubung
(bridging vein) dapat menyebabkan timbulnya hematom subdural yang
bersifat akut maupun subakut.. Hematom subdural ini, berperan seperti
massa yang sifatnya makin meluas, dan dapat menimbulkan
peningkatan tekanan intrakranial, sehingga juga dapat menyebabkan
herniasi. Hematom subdural juga dapat disebabkan oleh robeknya
pembuluh darah kortikal seperti vena penghubung yang berjalan dari
korteks menuju sinus sagital superior.
Perdarahan subarachnoid
Perdarahan subarachnoid paling sering disebabkan oleh trauma
kraniocerebral. Perdarahan subarachnoid sendiri biasanya tidak
menyebabkan kerusakan neurologik, tetapi hidrocephalus dan
vasospasme cerebral, yang merupakan komplikasi lambat biasanya
terlihat beberapa hari atau minggu setelah terjadinya perdarahan.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa perdarahan subarachnoid
akibat trauma dapat menyebabkan vasospasme cerebral yang signifikan
yang dapat diukur melalui peningkatan kecepatan aliran pada evaluasi
Doppler transkranial. Perdarahan subarachnoid traumatik cenderung
terdistribusi pada konveksitas otak, dan juga dapat terjadi pada basal,
intrasilvial, dan intraventrikular.
Perdarahan intracerebral
Perdarahan intracerebral terjadi pada 2-3% orang yang mengalami
cedera kepala, dapat bersifat tunggal atau multipel, dan juga dapat
disertai kontusi otak. Meskipun paling sering terjadi pada lobus frontal
atau temporal, hematom ini juga dapat terjadi pada substansi alba dari
bagian dalam hemisfer otak. Pembuluh darah yang kecil mengalami
trauma akibat cedera penetrasi atau benturan dengan tenaga yang besar.
Selanjutnya hematom intracerebral berperan seperti massa yang makin
meluas, dapat meningkatkan tekanan intrakranial, menimbulkan
kompresi jaringan otak, dan menyebabkan koma. Hematom
intracerebral yang tertunda dapat terjadi dalam waktu 3-10 hari setelah
kejadian cedera kepala.
Cedera Sekunder
VIII. Diagnosis
IX. Komplikasi
X. Manajemen
Airway
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara
kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah atau
bersihkan jika adanya benda asing. Perhatikan tulang leher,
immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun
rotasi, Semua penderita cedera kepala yang tidak sadar harus
dianggap disertai cidera vertebrae cervical sampai terbukti tidak
disertai cedera cervical, maka perlu dipasang C-spine control. Jika
sudah stabil tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas
90 %, jika tidak, usahakan untuk dilakukan intubasi dan bantuan
pernafasan.
Breathing
Perhatikan frekuensi laju napas, normalnya 16-20 x / menit,
dengarkan suara nafas apakah bersih atau tidak. Jika tidak ada
nafas, lakukan nafas buatan. Lakukan monitor terhadap gas darah
dan pertahankan PCO2 antara 28 – 35 mmHg, karena jika lebih dari
35 mmHg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya
edema serebri. Sedangkan jika PCO2 kurang dari 20 mmHg, akan
menyebabkan vasokonstriksi yang berakibat terjadinya iskemia.
Periksa tekanan oksigen (O2) 100 mmHg, jika kurang beri oksigen
masker 8 liter /menit.
Circulation
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi, periksa denyut nadi. Jika tidak
ada, lakukan resusitasi jantung. Bila shock (tensi < 90 mmHg dan
nadi >100x per menit), beri infus cairan RL dan cari sumber
perdarahan di tempat lain, karena cidera kepala single pada orang
dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock.
Disability
Pada pemeriksaan disability/kelainan kesadaran, pemeriksaan
kesadaran memakai Glasgow Coma Scale. Periksa kedua pupil
(bentuk dan besarnya), serta catat reaksi terhadap cahaya langsung
maupun tidak langsung. Periksa adanya hemiparese/plegi. Periksa
adanya reflek patologis kanan kiri. Jika penderita sadar baik,
tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya
aphasia.
Exposure
Pada pemeriksan exposure, perhatikan bagian tubuh yang terluka,
apakan ada jejas atau lebam pada tubuh akibat benturan.
Secondary Survey
Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil) baru dilakukan survey yang
lain dengan cara melakukan survey sekunder atau pemeriksaan
tambahan seperti foto tengkorak kepala, foto thorax, foto pelvis,
maupun CT Scan.
2. Penatalaksanaan Medikamentosa
Terapi Medikamentosa
Cairan Larutan garam fisiologis (NaCl) atau larutan Ringer
intravena Lactate
Berikan cairan secukupnya agar pasien tetap
berada dalam keadaan normovolemia
Atasi hiponatremia, karena hiponatremia
berkaitan dengan timbulnya edema otak
Hiperventilasi Dilakukan dengan selektif dan hanya dalam waktu
tertentu
Mannitol Digunakan untuk menurunkan TIK yang
meningkat
Indikasi penggunaan mannitol : deteriorasi
neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi
pupil, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran
saat pasien dalam observasi.
Sediaan : Mannitol 20% dengan dosis 1
gr/kgBB diberikan secara bolus intravena
Jangan berikan Mannitol dosis tinggi pada
pasien hipotensi
Furosemid Diberikan bersama Mannitol untuk
menurunkan TIK
Dosis : 0.3 – 0.5 mg/kgBB/iv
Jangan diberikan pada pasien hipovolemik
Barbiturat Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter
terhadap obat-obatan lain
3. Indikasi Pembedahan
Edition. Copstead LC, Banasik JL. editors. Elsevier Inc. St. Louis. 2005. p. 1095-99.
Chin LS, Aldrich EF, DiPatri AJ, Eisenberg HM. Neurosurgery. In : Sabiston
Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice 17th edition.
Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. editors. Elsevier.
Cohen SM, Marion DW. Traumatic Brain Injury. In : Textbook of Critical Care
Fifth Edition. Fink MP, Abraham E, Vincent J, Kochanek PM. editors. Elsevier Inc.
Henry MC, Stapleton ER. EMT Prehospital Care Revised Third Edition. Mosby,
Philadelphia: Lippincott.
Lycette CA, Doberstein C, Rodts GE, McBride DQ. Neurosurgical Critical Care.
In : Current Critical Care Diagnosis & Treatment Second Edition. Bongard FS, Sue
Moulton RJ, Pitts LH. Head Injury and Intracranial Hypertension. In : Principles
of Critical Care Third Edition. Hall JB, Schmidt GA, Wood LDH. editors. The
Markovchick VJ, Pons PT. editors. Mosby, Inc. Philadelphia. 2006. p. 592-95.