Dosen Pembimbing :
Wiwiek Retti A.S.Kep,Ns,M.Kep
Oleh :
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Gagal Nafas ”.Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan
Kritis.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak
kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
sempurnanya makalah ini.Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat, bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................ ........ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... ........ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ................................................................................... ........ 1
1.2 Rumusan masalah.............................................................................. ........ 2
1.3 Tujuan penulisan ............................................................................... ........ 2
BAB II KONSEP GAGAL NAFAS
2.1 Definisi gagal napas .......................................................................... ........ 4
2.2 Klasifikasi gagal napas ...................................................................... ........ 5
2.3 Etiologi gagal napas .......................................................................... ........ 6
2.4 Manifestasi klinis gagal napas .......................................................... ........ 7
2.5 Patofisiologis gagal napas ................................................................. ........ 7
2.6 Penatalaksanaan gagal napas............................................................. ........ 8
2.7 Pemeriksaan penunjang gagal napas ................................................. ........ 13
BAB III PATHWAY .............................................................................. ........ 15
BAB IV KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN.................................. ........ 16
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... ........ 26
5.2 Saran .................................................................................................. ........ 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. ........ 27
iii
BAB I
PENDUHULUAN
1
insiden gagal nafas berkisar dari 8% (pada pasien denganmultipel fraktur)
menjadi 38% (pada pasien dengan sepsis) (Andrie, 2012).(AYYUBI, 2016)
Dibutuhkan suatu penanganan khusus untukmengatasi kegagalan
pernapasan. Salah satupenatalaksanaan untuk mengatasi gagal nafasadalah
pemberian bantuan pernafasan melaluiventilator yang berfungsi untuk
membantu fungsiparu dalam pemenuhan oksigen tubuh.Tindakan pemasangan
alat bantu pernafasandapat menimbulkan ketidaknyamanan dan nyeribagi
pasien, yang tidak jarang mengakibatkanterjadinya agitasi pada pasien. Selain
itu agitasidapat terjadi akibat ketidaknyamanan terhadaplingkungan dan suara
bising yang ditimbulkan oleh alat-alat.
Agitasi merupakan suatu keadaandimana pasien terlihat gelisah,
ketidaknyamananditandai oleh gerakan motorik yang tidakterkendali yang
dapat mengakibatkan cedera danekstubasi (Brandl et al, 2001; Sessler et al,
2002).
Penatalaksanaan farmakologis yang dilakukanuntuk mengatasi agitasi
pada pasien gagal nafasadalah dengan menggunakan obat-obatan sedasidan
analgetik. (Arifin, Fatimah, & Deli, 2017)
2
4) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui manifestasi klinis gagal
napas
5) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui patofisiologis gagal
napas
6) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui penatalaksanaan gagal
napas
7) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui pemeriksaan penunjang
gagal napas
8) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui konsep asuhan
keperawatan gagal napas
3
BAB II
KONSEP GAGAL NAPAS
4
2.2 Klasifikasi Gagal Napas
Pada gagal nafas akut terjadi ketidakmampuan sistem pernafasan
mempertahankan pertukaran gas normal. Keadaan ini menyebabkan terjadinya
hipoksemia, hiperkapnia atau kombinasi keduanya. Berdasarkan tekanan
parsial karbondioksida arteri (PaCO2), gagal nafas dibagi menjadi 2 tipe, yaitu
tipe I dan tipe II. Pada kedua tipe tersebut ditemukan gambaran tekanan
parsial oksigen arteri (PaO2) yang rendah. Sebaliknya, PaCO2 yang berbeda
pada kedua tipe tersebut. (Bakhtiar, 2013)
Terdapat mekanisme yang berbeda yang mendasari perubahan PaO2 dan
PaCO2 baik pada tipe I maupun II. Pada tipe I dengan gangguan oksigenasi,
didapatkanPaO2 rendah, PaCO2 normal atau rendah terutama disebabkan
abnormalitas ventilasi/perfusi. Sebaliknya, pada tipe II, yang umumnya
disebabkan oleh hipoventilasi alveolar, peningkatan ruang mati, maka akan
terjadi peningkatan produksi CO2. (Bakhtiar, 2013)
Gagal napas tipe I adalah kegagalan oksigenasi dan terjadi pada tiga
keadaan: (Bakhtiar, 2013)
1) Ventilasi/perfusi yang tidak sepandan atau V/Q mismatch, yang
terjadi bila darah mengalir ke bagian paru yang tidak mengalami
ventilasi adekuat, atau bila area ventilasi paru mendapat perfusi
adekuat.
2) Defek difusi, disebabkan penebalan membran alveolar atau
bertambahnyacairan interstisial pada pertemuan alveolus-kapilar.
3) Pirau intrapulmunol, yang terjadi bila kelainan struktur paru
menyebabkan aliran darah melewati paru tanpa berpatisipasi dalam
pertukaran gas.
Gagal nafas tipe II pada umumnya terjadi karena hipoventilasi alveolar
dan biasanya terjadi sekunder terhadap keadaan seperti disfungsi susunan
saraf pusat, sedasi berlebihan, atau gangguan neuromuskuler (Bakhtiar,
2013)
5
2.3 Etiologi Gagal Napas
Gagal napas dapat disebabkan oleh berbagai keadaan, beberapa di
anataranya mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat.yaitu salah satunya
obstruksi saluran pernapasan bagian atas
Adapun depresi sistem saraf pusat juga dapat mengakibatkan ventilasi
yang tidak adekuat. Karena saraf tersebut yang terletak pada bagian bawah
batang otak (pons dan medulla oblongata) merupakan pusat pengatur sistem
pernapasan.
Selain hal tersebut ada hal yang dapat menyebabkan terjadi kegagalan
napas yaitu:
Kesalahan penggunaan obat (anestesi, opioid)
Cidera kepala
Stroke
Tumor otak
Ensefalitis
Meningitis
Hipoksia
Hiperkapnea
Penyakit dan kelainan pada paru-paru yang menyebabkan kegagalan
oksigenasi antara lain(Somantri, 2007):
1) Hambatan aliran darah, area paru-paru sedang melakukan perfusi,
tetapi pertukaran gas tidak dapat terjadi (yang mana akan
menimbulkan hipoksemia), seperti :pneuomonia, atalektasis, dan
tumor paru-paru.
2) Pasien yang tinggal pada ketinggian atau menghirup bahan toksis, gas
atau rokok, karbonmonoksida. Lokasi dimana pasien bernapas, tetapi
dengan kadar oksigen yang rendah.
3) Adult Respitory Distress Syndrom(ARDS), aspirasi dari bahan cair.
6
2.4 Manifestasi Klinis
Gagal napas akut terjadi bila dengan peningkatan upaya napas dan laju
napas, tidak dapat mempertahankan oksigenasi adekuat atau bila oksigenasi
tetap buruk. Dasar patofisiologi gagal napas menentukan gambaran klinisnya.
Pasien gagal napas yang masih mempunyai kemampuan bernapas normal akan
tampak sesak dan gelisah. Sebaliknya, pasien yang telah menurun kemampuan
pusat pernapasannya akan tampak tenang atau bahkan mengantuk.
Peningkatan upaya dan laju napas serta takakirdia akan berkurang bila gagal
napas memburuk, bahkan dapat terjadi henti napas (Bakhtiar, 2013)
Gagal napas diawali oleh stadium kompensasi. Pada keadaan ini
ditemukan peningkatan upaya napas (work of breathing) yang ditandai dengan
adanya distress pernapasan (pemakaian otot pernapasan tambahan, retraksi,
takipnea dan takikardia). Peningkatan upaya napas terjadi dalam usaha
mempertahankan aliran udara walaupun compliance paru menurun.
Sebaliknya, stadium dekompensasi muncul belakangan ditandai dengan
menurunnya upaya napas. (Bakhtiar, 2013)
Pada gagal nafas tanda utama adalah berdasarkan pemeriksaan
laboratorium berupa adanya hipoksemia (PaO250 mmHg dengan asidosis pH
40 mmHg dengan distress pernapasan berat atau PaCO2>55 mmHg)
2.5 Patofisisologis
Mekanisme gagal napas menggambarkan ketidak mampuan tubuh untuk
melakukan oksigenasi dan/atau ventilasi dengan adekuat yang ditandai oleh
ketidakmampuan sistem respirasi untuk memasok oksigen yang cukup atau
membuang karbon dioksida. Pada gagal napas terjadi peningkatan tekanan
parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) lebih besar dari 50 mmHg, tekanan
parsial oksigen arteri (PaO2) kurang dari 60 mmHg, atau kedua-duanya.
Hiperkarbia dan hipoksia mempunyai konsekuensi yang berbeda. (Bakhtiar,
2013)
Peningkatan PaCO2 tidak mempengaruhi metabolisme normal kecuali bila
sudah mencapai kadar ekstrim (>90 mm Hg). Diatas kadar tersebut,
hiperkapnia dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat dan henti napas.
7
Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih berbahaya
adalah gagal napas baik akut maupun kronis. Hipoksemia akut, terutama bila
disertai curah jantung yang rendah, sering berhubungan dengan hipoksia
jaringan dan risiko henti jantung. (Bakhtiar, 2013)
Hipoventilasi ditandai oleh laju pernapasan yang rendah dan napas yang
dangkal. Bila PaCO2 normal atau 40 mmHg, penurunan ventilasi sampai 50%
akan meningkatkan PaCO2 sampai 80 mmHg. Dengan hipoventilasi, PaO2
akan turun kira-kira dengan jumlah yang sama dengan peningkatan PaCO2.
Kadang, pasien yang menunjukkan petanda retensi CO2 dapat mempunyai
saturasi oksigen mendekati normal. (Bakhtiar, 2013)
Disfungsi paru menyebabkan gagal napas bila pasien yang mempunyai
penyakit paru tidak dapat menunjang pertukaran gas normal melalui
peningkatan ventilasi. Anak yang mengalami gangguan padanan ventilasi atau
pirau biasanya dapat mempertahankan PaCO2 normal pada saat penyakit paru
memburuk hanya melalui penambahan laju pernapasan saja. Retensi CO2
terjadi pada penyakit paru hanya bila pasien sudah tidak bisa lagi
mempertahankan laju pernapasan yang diperlukan, biasanya karena kelelahan
otot (Bakhtiar, 2013)
8
pemasangan pipa endotracheal tube, penggunaan alat penyangga
oropharingeal airway (gueded), penyangga nasopharingeal airway, pipa
endotrakhea, trakheostomi. Jika saluran benar-benar terjamin terbuka,
maka selanjutnya dilakukan pemberian oksigen untuk meniadakan
hipoksemia. (Bakhtiar, 2013)
Bila pasien tidak sadar, buka jalan napas (manuver tengadah
kepala, angkat dagu, mengedepankan rahang/head till chin lift) dan
letakkan dalam posisi pemulihan. Isap lendir (10 detik), ventilasi tekanan
positif dengan O2 100%. Lakukan intubasi endotrakea dan pijat jantung
luar bila diperlukan. (Bakhtiar, 2013)
b. Tatalaksana Lanjutan
Dalam tatalaksana lanjutan, yang perlu dilakukan adalah stabilisasi
dan mencegah perburukan. Penderita-penderita dengan gagal nafas
banyak mengeluarkan lendir sehingga memperberat beban pernafasan.
Oleh karena itu, perawatan jalan nafas sangat memegang peran penting.
Pemberian oksigenasi diteruskan. Kontrol saluran napas, tatalaksana
ventilasi, stabilisasi sirkulasi dan terapi farmakologis (antibiotik,
bronkodilator, nutrisi, fisioterapi). (Bakhtiar, 2013)
1. Pemberian Oksigen
Dalam tatalaksana lanjutan, oksigen harus tetap diberikan untuk
mempertahankan saturasi oksigen arteri diatas 95%. Walaupun
pemberian O2 mempunyai risiko menurunkan upaya bernapas pada
beberapa pasien yang mengalami hipoventilasi kronis, keadaan ini
bukan kontraindikasi untuk terapi O2 bila pasien diobservasi ketat.
Bila ventilasi tidak adekuat, maka harus segera diberikan bantuan
ventilasi dengan balon ke masker dan O2. (Bakhtiar, 2013)
Hipoksemia diatasi dengan pemberian O2 hangat dan lembab
melalui kanul nasal, masker sederhana, masker dengan penyimpanan
(reservoir) oksigen, kotak penutup kepala (oxyhood), dan alat bantu
napas orofaring atau nasofaring (Bakhtiar, 2013)
9
1) Bantuan Pernafasan (Ventilasi)
Bantuan pernafasan dapat dilakukan untuk
memperbaiki oksigenasi. Bantuan pernafasan tersebut
meliputi Continius Positive Airway Pressure (CPAP) dan
Bilevel Positive Airway Pressure (BiPAP). CPAP akan
membuka alveoli yang kolaps dan mengalirkan cairan
edema paru, sehingga mengurangi ketidakpadanan
ventilasi-perfusi, mengurangi gradien oksigen arteri-
alveolus dan memperbaiki PaO2. Ventilasi tekanan positif
non invasif, Bilevel Positive Airway Pressure (BiPAP)
memberikan bantuan ventilasi tekanan positif dan tekanan
saluran napas positif kontinyu melalui masker nasal,
bantalan nasal, atau masker muka. Bantuan ventilasi ini
tidak memerlukan intubasi trachea (Bakhtiar, 2013)
2) Pemasangan Pipa Endotrakheal
Salah satu kondisi yang dapat menyebabkan gagal
napas adalah obstruksi jalan napas, termasuk obstruksi pada
Endotrakeal Tube (ETT). Obstruksi jalan napas merupakan
kondisi yang tidak normal akibat ketidakmampuan batuk
secara efektif, dapat disebabkan oleh sekresi yang kental
atau berlebihan akibat penyakit infeksi, imobilisasi, statis
sekresi, dan batuk tidak efektif karena penyakit persyarafan
seperti cerebrovaskular accident (CVA), efek pengobatan
sedatif, dan lain – lain (Hidayat, 2005). (Irmawan &
Muflihatin, 2017)
Penangganan untuk obstruksi jalan napas akibat
akumulasi sekresi adalah dapat dengan melakukan tindakan
penghisapanlendir (suction) dengan memasukkan selang
kateter suction melalui hidung, mulut, Endotrakeal Tube
(ETT) maupun Tracheostomi (TC) yang bertujuan untuk
membebaskan jalan napas, mengurangi retensi sputum dan
mencegah infeksi paru. Secara umum pasien yang
10
mengalami obstruksi jalan napas memiliki respon tubuh
yang kurang baik untuk mengeluarkan benda asing,
sehingga sangat diperlukan tindakan penghisapan lendir
(suction) (Nurachmah & Sudarsono, 2000). (Irmawan &
Muflihatin, 2017)
Menurut Wiyoto (2010), apabila tindakan suction
tidak dilakukan pada pasien dengan gangguan bersihan
jalan napas maka pasien tersebut akan mengalami
kekurangan suplai oksigen (hipoksemia), dan apabila suplai
oksigen tidak terpenuhi dalam waktu 5 menit maka dapat
menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Cara yang
mudah untuk mengetahui hipoksemia adalah dengan
pemantauan kadar saturasi oksigen (SpO2) yang dapat
mengukur seberapa banyak persentase O2 yang mampu
dibawa oleh hemoglobin. (Irmawan & Muflihatin, 2017)
Pemantauan kadar saturasi oksigen (SpO2) dapat
dilakukan dengan pemantauan menggunakan alat oksimetri
saturasi oksigen perifer. Dengan pemantauan kadar saturasi
oksigen perifer yang benar dan tepat saat pelaksanaan
tindakan suction, maka kasus hipoksemia yang dapat
menyebabkan gagal napas hingga mengancam nyawa
bahkan berujung pada kematian bisa dicegah lebih dini.
Berdasarkan data peringkat 10 penyakit tidak menular
(PTM) yang terfatal menyebabkan kematian berdasarkan
Case Fatality Rate (CFR) pada rawat inap rumah sakit pada
tahun 2010, angka kejadian gagal nafas menempati
peringkat kedua sebesar 20,98% (Kementerian Kesehatan
RI, 2012) (Irmawan & Muflihatin, 2017)
Mengingat pentingnya pelaksanaan tindakan suction
agar kasus gagal napas yang dapat menyebabkan kematian
dapat dicegah maka sangat diperlukan pemantauan saturasi
oksigen perifer yang tepat. (Irmawan & Muflihatin, 2017).
11
Intubasi endotrakhea dapat dilakukan pada beberapa
pasien tertentu. Indikasi melakukan intubasi endotrakhea
adalah keadaan berikut ini: (Bakhtiar, 2013)
1. Gagal kardiopulmonal/henti kardiopulmonal
2. Distres pernapasan berat/kelelahan otot pernapasan
3. Refleks batuk/gag reflkes hilang
4. Memerlukan bantuan napas lama karena apnea atau
hipoventilasi
5. Transpor antar rumah sakit untuk pasien yang
berpotensi gagal napas
c. Farmakologi
Pengobatan Terhadap Penyebab Gagal Nafas: Penyebab gagal
nafas sangat banyak dan sering merupakan stadium akhir dari suatu
penyakit. Penyebab tersering adalah penyakit paru-paru, terutama
bronkhopneumonia dan bronkhiolitis, kemudian gangguan neurologis,
penyakit jantung dan neuromuskuler. Dalam tatalaksana gagal nafas,
maka terapi terhadap penyebab (penyakit primer) harus dilakukan,
misalnya: pemberian antibiotika, bronkhodilator dan mukolitik. (Bakhtiar,
2013)
Pemberian obat sedasi pada pasien gagal nafas bertujuan untuk
menginduksi anxiolysis, mencegah terjadinya agitasi, memfasilitasi
manipulasi ventilator dan mencegah terjadinya asynchrony ventilator
(Ennis & Brophy, 2011). Pemberian sedasi yang berlebihan berbahaya
dan memiliki efek samping diantaranya dapat mengakibatkan penekanan
sistem pernapasan, bradikardi, hipotensi, ketergantungan penggunaan
ventilator, mengaburkan pemeriksaan neurologis, meningkatkan lama
hari rawat, penggunaan sedasi berkepanjangan dapat mengganggu pola
tidur, mengakibatkan kelelahan, yang mengarah kepada penggunaan
sedasi yang berlebihan (Sessler et al, 2002; Triltsch et al, 2005; Girard et
al, 2008).
Sedasi memiliki efek terhadap pusat napas, relaksasi terhadap jalan
nafas, hipoperfusi batang otak dan peningkatan retensi jalan nafas.
12
Penggunaan sedasi yang berlebihan dapat mengakibatkan pengembalian
fungsi paru menjadi lebih lambat, sehingga weaning ventilator menjadi
lebih lambat (Conti, Mantz, Longrois, & Tonner, 2014). Pasien dengan
status sedasi dalam, pada 48 jam pertama perawatan dapat meningkatkan
lama waktu ektubasi dan mortalitas pasien (Shehabi et al, 2012). ehabi et
al, 2012). Keputusan untuk mengatasi agitasi pada pasien dengan
memberikan obat sedasi membutuhkan pengukuran yang konsisten,
pemberian obat sedasi dengan dosis yang tidak pantas dapat
membahayakan pasien (Triltsch et al, 2005; Grap et al, 2012). (Deli,
Arifin, & Fatimah, 2017)
13
4. Elektrokardiogram (EKG)
Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat dari EKG yang ditandai dengan
perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan Avf, serta jantung
yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia dan aritmia jantung
sering dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
5. Pemeriksaan sputum
Yang perlu diperhatikan ialah warna, baud an kekentalan. Jika perlu
lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika dijumpai
ada garis-garis darah pada sputum (blood streaked), kemungkinan
disebabkan oleh bronchitis, bronkhiektasis, pneumonia, TB paru, dan
keganasan. Aputum yang berwarna merah jambu dan berbuih (pink
frothy), kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk sputum yang
mengandung banyak sekali darah (grossy bloody), lebih sering merupakan
tanda dari TB paru atau adanya keganasan paru.
6. Pemeriksaan rontgen dada
Melihat keadaan patologik dam kemajuan proses penyakit yang tidak
diketahui
14
BAB III
PATHWAY
PaCO2 , PO2
(hipoksia/hipoksemia)
Gagal napas
Penurunan BB
Bradipnea
intoleransi aktivitas
Kelelahan otot
ketidakseimbangan
Pernapasan
Nutrisi: kurang dari
keb.tubuh
Retraksi dada/pengunaan
Otot bantu pernapasan
Ketidakefektifan pola
Napas
15
BAB IV
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL NAPAS
A. PENGKAJIAN
1) PENGKAJIAN PRIMER
a. Airway
1. Peningkatan sekresi pernapasan
2. Bunyi napas krekels, ronki dan wheezing
b. Breathing
1. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung,
takipneu/bardipneu, retraksi dada
2. Menggunakan otot aksesoris pernapasan
3. Kesulitan bernapas: sianosis, diaphoresis, napas dangkal
c. Circulation
1. Penurunan curah jantung: gelisah, latergi, takikardia
2. Sakit kepala
3. Penurunan keluaran urine
d. Disability
Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk ( apatis, somnolen)(anonim, 2017)
2) PENGKAJIAN SEKUNDER
1) Aktivitas / istirahat
Gejala : kekurangan energi, insomnia
2) Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya bedah jantung paru, fenomena
embolik (darah, udara, lemak)
Tanda
a. TD : dapat normal ata meningkat pada awal
(berlanjut menjadi hipoksia) : hipotensi terjadi pada
tahap lanjut (syok) atau dapat factor pencetusseperti
pada eklampsia
b. Frekuensi jantung : takikardi biasanya ada
16
c. Bunyi jantung : normal pada tahap dini ; S2
(komponen paru) dapat terjadi
3) Intergritas ego
Gejala : ketakutan, ancaman perasaan takut
Tanda : gelisah, agitasi, gemetar, mudah terangsang,
perubahan mental
4) Makanan /cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual
Tanda : edema atau perubahan berat badan, hilang atau
berkurangnya bunyi usus
5) Neurosensori
Gejala/tanda : adanya trauma kepala, mental lamban,
disfungsi motor
6) Pernafasan
Gejala : adanya aspirasi aau tenggelam, inhalasi asap atau
gas, infeksi difus paru. Timbul tiba-tiba ata bertahap,
kesulitan nafas, lapar udara
Tanda
a. Pernafasan : cepat, mendengkur, lambat
b. Bunyi nafas : pada awal normal, ronki dan dapat
terjadi bunyi nafas bronkial
3) Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Kesulitan bernapas tampak dalam perubahan irama dan frekuensi
pernapasan lebih dari 20x/menit
b. Palpasi
Pelebaran ICS dan penurunan vocal premitus yang menjadi
penyebab utama gagal napas
c. Perkusi
Dapat ditemukan daerah redup, daerah dengan suara nafas
melemah yang disebabkan oleh penebalan pleura, efusi pleura yang
17
cukup banyak, hipersonor bila didapatkan pneumothoraks atau
emfisema paru.
d. Auskultasi
Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah ada bunyi nafas
tambahan seperti wheezing dan ronkhi serta untuk menentukan
dengan tepat lokasi yang didapat dari kelainan yang ada.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola napas b/d hipoventilasi
2. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
3. Penurunan curah jantung b/d perubahan frekunsi/irama jantung
4. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen(Herdman & Kamitsuru, 2015)
5. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d
ketidakmampuan makan
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO. DIAGNOSA TUJUAN&KRITERIA INTERVENSI
DX KEPERAWAT HASIL KEPERAWATAN
AN
1 Ketidakefektifan Tujuan : setelah NIC :
pola napas b/d dilakukan tindakan manajemen jalan nafas
hipoventilasi keperawatan selama Posisikan
Batasan 1x24 jam pola nafas pasien untuk
karakteristik: efektif. memaksimalka
Bradipnea Kriteria hasil: n ventilasi
Penggunaa NOC: Auskultasi
n otot bantu 1) Status pernapasan: suara nafas,
pernapasan ventilasi catat area yang
Pernapasan 2) Status pernapasan ventilasinya
cuping : kepatenan jalan menurun atau
hidung napas tidak ada dan
Penurunan Frekuensi adanya suara
ventilasi pernapasan 16- tambahan
Takipnea 20x/menit Kelola udara
Frekeunsi Irama pernapasan atau oksigen
nafas lebih regular yang
dari Perkusi nafas dilembabkan
20x/menit sonor sebagaimana
18
Napas Tidak ada mestinya
dangkal penggunaan otot Monitor status
Retraksi bantu pernapasan pernafasan dan
dada Tidak ada suara oksigenasi
tambahan
Tidak ada retraksi monitor tanda-tanda
dada vital
Monitor
keberadaan dan
kualitas nadi
Monitor irama
dan laju
pernafasan
(misalnya
kedalaman dan
kesimetrisan
Monitor suara
paru-paru
Idnetifikasi
kemungkinan
penyebab
perubahan
tanda-tanda
vital
2 Gangguan Tujuan: setelah NIC :
pertukaran gas dilakukan tindakan Manajemen ventilasi
b/d keperawatan selam mekanik : invasive
ketidakseimbang 1x24 jam pertukaran Monitor seting
an ventilasi- gas adekuat ventilator,
perfusi Criteria hasil:NOC: termasuk suhu
Batasan 1) Status pernapasan: dan
karakteristik: gangguan kelembaban
Dispnea pertukaran gas dari udara yang
Gelisah 2) Status pernapasan: dihirup secara
Hipoksemia ventilasi rutin
Hipoksia Tekanaan PaO2 Cek secara
Napas dalam rentang rutin
cuping normal sambungan
hidung Tekanan PaCO2 ventilator
Napas dalam rentang Monitor
dangkal normal adanya
Sianosis Ventilasi-perrfusi penrunan
Sakit seimbang volume yang
kepala Frekeunsi nafas dihembuskan
Takikardia 16-20x/menit dan
Somnolen Irama nafas peningkatan
tekanan
Warna kulit regular
pernafasan
19
abnormal Tidak ada sianosis Monitor
Tingkat kesadaran efektifitas
composmentis ventilasi
Suara perkusi mekanik
nafas sonor terhadap status
Tidak ada fisiologi dan
penggunan otot psikologi
bantu pernapasan pasien
Tidak ada Monitor
pernapasan cuping tekanan
hidung ventilator,
sinkronisasi
pasien/ventilato
r dan suara
nafas pasien
Monitor pernafasan :
Monitor
kecepatan,
irama,
kedalaman dan
kesulitan
bernafas
Monitor pola
nafas (dyspnea
, bradipnea,
takipnea)
Auskultasi
suara nafas,
cacat area
dimana terjadi
penurunan atau
tidak adanya
ventilasi dan
keberadaan
nsuara nafas
ronki di paru.
Monitor hasil
pemeriksaan
ventilasi
mekanik, catat
peningkatan
tekanan
inspirani dan
penurunan
volume tidal
Catat
perubahan pada
20
saturasi O2,
volume tidal
akhir CO2 dan
perubahan nilai
analisa gas
darah dengan
tepat
21
waktu
pengisian
kapiler, warna
dan suhu
ektremitas)
Monitor
kemampuan
sensori dan
kognitif
Evaluasi
tekanan arteri
pulmonal,
tekanan darah
sistemik,
kardiak output
dan tahanan
pembuluh
darah sistemik
seperti yang
diindikasikan
Monitor alat
bantu secara
rutin untuk
meyakinkan
fungsinya
benar
22
Warna kulit tidak Tentukan jenis
sianosis/pucat dan banyaknya
PaO2 dan PaO2 aktivitas yang
dalam rentang dibutuhkan
normal untuk menjaga
kelelahan
Monitor intake
asupan nutrisi
untuk
mengetahui
sumber energy
Monitor
kardiorespirasi
pasien selama
kegiatan
(takikardi,
disritmia,
dyspnea, pucat,
frekuensi
pernafasan)
Tingkatkan
tirah baring
/pembatasan
kegiatan
Lakukan ROM
aktif ROM
pasif untuk
menghilangkan
ketegangan
otot
Monitor respon
oksigen pasien
saat perawatan
maupun
melakukan
perawatan diri
secara mandiri
23
3) Status nutrisi : dititik keluar
asupan nutrisi untuk
Asupan gizi memperthankan
terpenuhi penempatan
Asupan yang tepat
makanan Monitot bising
terpenuhi usus tiap 4-8
Asupan cairan jam
terpenuhi Monitor status
Berat badan cairan dan
ideal elektrolit
Asupan nutrisi Tinggikan
pareteral kepala 30-45
adekuat derajat saat
pemberian
makan
Irigasi selang
setiap 4-6 jam
saat memberi
dan setelah
pemberian
makan
interminten
Monitor intake
output
Periksa sisa
makanan
Jangan
memberikan
makanan jika
sisa lebih besar
dari seperempat
makanan yang
harus diberikan
Pemberian nutrisi total
parenteral
Pastikan insersi
iv paten
Pasang kateter
vena sentral
sesuai prosedur
Monitor
kebocoran
Cek cairan
nutrisi yang
diberikan
Pertahankan
24
teknik seteril
Monitor berat
badan
Monitor i/o
Monitor ttv
Terapi nutrisi
Lengkapi
pengkajian
nutrisi
Monitor intake
output
Pastikan dalam
diet menganding
banyak serat
untuk mencegah
konstipasi
Kaji kebutuhan
nutrisi
parenteral
Kaji kebutuhan
nutrisi enteral
Monitor nutrisi
Ukur
antropometri
Monitor turgor
kulit
Monitor adanya
pucat,
kemerahan, dan
pucat pada
konjungtiva
25
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas kami dapat menyimpulkan bahwa gagal adalah
kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dan
karbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada
kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001) yang mana menyebabkan
tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg(hipoksemia) dan peningkatan
karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg(hiperkapnia).
Dalam klasifikasinya, gagal napas dibagi menjadi dua tipe yaitu: tipe 1
kegagalan oksigenasi yang terjadi pada keadaan ventilasi/perfusi tidak
adekuat, defek difusi, dan pirau intrapulmonal. Sedangkan tipe II terjadi
karena hipoventilasi alveolar, disfungi susunan saraf pusat, sedasi berlebihab,
atau gangguan neuromuscular.
Penyebab dari gagl napas disebabkan oleh berbagai keadaan diantarnya
obstruksi pernapasan bagian atas, depresi sistem saraf pusat pernapasan,
kesalahan penggunaan obat, trauma, serta faktor penyakit lain.
Gagal napas yang memiliki kemampuan bernapas normal akan tampak
sesak dan gelisah, namun pada penurunan kemampuan pusat pernapasaannya
akan tampak tenang dan mengantuk. . Peningkatan upaya dan laju napas serta
takakirdia akan berkurang bila gagal napas memburuk, bahkan dapat terjadi
henti napas (Bakhtiar, 2013). Selain itu dimulai oleh stadium kompensasi dan
dekompensasi.
Penatalaksanaan gagal napas lebih memaksimalkan pengangkutan oksigen
dan membuang karbondioksida. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan
kandungan oksigen arteri dan menyokong curah jantung serta ventilasi.
5.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini diharapkan pembaca lebih berinisiatif untuk
lebih menganali kasus yang berkaitan dengan gagal napas. Agar epidemiologi
gagal napas dapat menurun. serta dengan adanya penulisan makalah ini,
perawat lebih teliti dalam menagani kasus gagal napas.
26
DAFTAR PUSTAKA
anonim. (2017, agustus 21). Otak Mahasiswa. Retrieved februari 2, 2018, from
skepners: www.skepners.id/2017/08/laporan-pendahuluan-gagal-
napas.html
Bakhtiar. ( 2013). Aspek Klinis Tatalaksana Gagal Nafas Akut pada Anak.
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 13 Nomor 3 .
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classsification (NOC) . Oxford: Elsevier Inc.
27
Mutaqqin, A. (2008). Buku Ajar ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN Dengan
GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN. Jakarta: Salemba Medika.
28