Anda di halaman 1dari 31

FINAL PROJECT ACTIVITY

“ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL NAFAS”

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Dosen Pembimbing :
Wiwiek Retti A.S.Kep,Ns,M.Kep

Oleh :

1. Adelita Agwee Naintyseventa (201601001)


2. Beta Noviantikasari (201601009)
3. Bintang Nur Hidaaytuloh (201601010)
4. Jaka Sulistyo (201601029)
5. Lidiya Risita (201601032)
6. Mareta Anggraini (201601036)
7. Mega Susanti (201601038)
8. Mei Krismon Wiyana (201601039)
9. Muhammad Rizal Febrialdo (201601048)
10. Prila Rochmawati (201601050)
11. Reni Sri Wahyuni (201601052)
12. Sabar Antomi (201601053)
KELOMPOK 5
KELAS 2A

PROGAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAH
KABUPATEN PONOROGO
2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Gagal Nafas ”.Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan
Kritis.

Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh bantuan serta


bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan
ucapan terimakasih kepada :

1. Dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yakniIbu Wiwiek Retti


A,S.Kep,Ns.M.Kep yang telah banyak meluangkan waktu guna
memberikan bimbingan kepada kami dalam penyusunan makalah ini.
2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara
moril maupun materil selama proses pembuatan makalah ini.
3. Teman-teman mahasiswa tingkat IIA kelompok 5 Program Studi DIII
Keperawatan Pemerintah Kabupaten Ponorogo angkatan 2017/2018 yang
selalu memberikan dukungan dan saran serta berbagi ilmu pengetahuan
demi tersusunnya makalah ini.

Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak
kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
sempurnanya makalah ini.Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat, bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Ponorogo, 7 Januari 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................ ........ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... ........ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ................................................................................... ........ 1
1.2 Rumusan masalah.............................................................................. ........ 2
1.3 Tujuan penulisan ............................................................................... ........ 2
BAB II KONSEP GAGAL NAFAS
2.1 Definisi gagal napas .......................................................................... ........ 4
2.2 Klasifikasi gagal napas ...................................................................... ........ 5
2.3 Etiologi gagal napas .......................................................................... ........ 6
2.4 Manifestasi klinis gagal napas .......................................................... ........ 7
2.5 Patofisiologis gagal napas ................................................................. ........ 7
2.6 Penatalaksanaan gagal napas............................................................. ........ 8
2.7 Pemeriksaan penunjang gagal napas ................................................. ........ 13
BAB III PATHWAY .............................................................................. ........ 15
BAB IV KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN.................................. ........ 16
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... ........ 26
5.2 Saran .................................................................................................. ........ 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. ........ 27

iii
BAB I
PENDUHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida
(PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau
perfusi (Susan Martin T, 1997)
Gagal nafas (respiratory failure) timbul ketika pertukaran oksigen dengan
karbondioksida pada paru-paru tidak dapat mengimbangkan laju konsumsi
oksigen dan produksi karbondioksida pada sel tubuh. Akibatnya adalah
tekanan oksigen arterial menjadi kurang dari 50 mmHg (hipoksemia) dan
tekanan karbondioksida arterial meningkat menjadi lebih dari 45 mmHg
(hiperkapnia). (Mutaqqin, 2008)
Kegagalan pernapasan merupakan salah satuindikasi pasien dirawat di
ruangan intensive careunit (ICU). Kegagalan pernapasan merupakansalah satu
penyebab meningkatnya mortalitas danmorbiditas. Setiap tahunnya
diperkirakan 1 jutaorang dirawat di ICU karena gagal nafas (Wunsch,et al,
2010).
Di Amerika Serikat kejadian gagalnafas meningkat dari 1.007.549 orang
pada tahun2001 menjadi 1.917.910 pada tahun 2009 (Stefan, etal, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Franca etal (2011) pada 12 ruangan ICU yang
ada di Brazildidapatkan 843 orang (49%) di rawat di ruanganICU karena gagal
nafas akut dan 141 orangmenderita gagal nafas setelah dirawat di ICU,dari
total penderita gagal nafas akut tersebutsebanyak 475 orang meninggal di
ruangan ICUdan 56 orang meninggal setelah keluar dari ICU.
Perkiraan insiden gagal nafas di Amerika Serikatsetiap tahunnya setelah
dijumlahkan mendekati 150 ribu kasus baru pertahunnya.Dalam penelitian
oleh Fowler dkk insiden ini bervariasi dari 2% (yaitu padapasien post coronary
arteri baypass atau pasien terbakar) menjadi 36% (yaitu padaGastric broncho
aspirasi). Dalam penelitian Kohort yang serupa, Pepe dkkmenemukan bahwa

1
insiden gagal nafas berkisar dari 8% (pada pasien denganmultipel fraktur)
menjadi 38% (pada pasien dengan sepsis) (Andrie, 2012).(AYYUBI, 2016)
Dibutuhkan suatu penanganan khusus untukmengatasi kegagalan
pernapasan. Salah satupenatalaksanaan untuk mengatasi gagal nafasadalah
pemberian bantuan pernafasan melaluiventilator yang berfungsi untuk
membantu fungsiparu dalam pemenuhan oksigen tubuh.Tindakan pemasangan
alat bantu pernafasandapat menimbulkan ketidaknyamanan dan nyeribagi
pasien, yang tidak jarang mengakibatkanterjadinya agitasi pada pasien. Selain
itu agitasidapat terjadi akibat ketidaknyamanan terhadaplingkungan dan suara
bising yang ditimbulkan oleh alat-alat.
Agitasi merupakan suatu keadaandimana pasien terlihat gelisah,
ketidaknyamananditandai oleh gerakan motorik yang tidakterkendali yang
dapat mengakibatkan cedera danekstubasi (Brandl et al, 2001; Sessler et al,
2002).
Penatalaksanaan farmakologis yang dilakukanuntuk mengatasi agitasi
pada pasien gagal nafasadalah dengan menggunakan obat-obatan sedasidan
analgetik. (Arifin, Fatimah, & Deli, 2017)

1.2 Rumusan Masalah


Dari penjelasan latar belakang di atas, penulis dapat merusmuskan
masalah dengan topik “Bagaiman Konsep Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Gagal Napas”

1.3 Tujuan Penulisan


a. Umum
Dalam penulisan makalah ini diharapkan pembaca dapat lebih mengetahui
dan memahami konsep asuhan keperawatan pada gagal napas
b. Khusus
1) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui definisi gagal napas
2) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui klasifikasi gagal napas
3) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui etiologi gagal napas

2
4) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui manifestasi klinis gagal
napas
5) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui patofisiologis gagal
napas
6) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui penatalaksanaan gagal
napas
7) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui pemeriksaan penunjang
gagal napas
8) Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui konsep asuhan
keperawatan gagal napas

3
BAB II
KONSEP GAGAL NAPAS

2.1 Definisi Gagal Napas


Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat
mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan
pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan
tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan
tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner &
Sudarth, 2001) (Sumara & Superdana, 2015)
Kegagalan pernapasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga
terjadi hipoksemia, hiperkapnea(peningkatan konsentrasi karbon dioksida
arteri), dan asidosis. Kegagalan pernapasan seperti halnya kegagalan pada
sistem organ lainnya, dapat dikenali berdasarkan gambaran klinis atau hasil
pemeriksaan laboraturium. Tetapi harus diingat bahwa pada kegagalan
pernapasan, hubungan antara gambaran klinis dengan kelainan dan hasil
pemeriksaan labiraturium bersifat tidak langsung. Perawat harus mampu
membedakan antara gagal napas akut dengan eksaserbasi akut gagal napas
kronis.
a) Gagal napas akut adalah gagal napas yang timbul pada klien yang parunya
normal secara structural maupun fungsional sebelum awitan (onset)
penyakit timbul
b) Gagal napas kronis dalah gagal napas yang terjadi pada klien dengan
penyakit paru kronik seperti bronchitis kronis. Emfisema, dan penyakit
paru hitam (penyakit penambang batu bara). Klien ini mengalami toleransi
terhadap hipoksis dan hiperkapnea yang memburuk secara bertahap.
Setelah gagal napas akut, paru biasanya kembali pada keadaan awalnya.
Pada gagal napas kronis struktur paru mengalami kerusakan yang
peramanen (irreversible). (Mutaqqin, 2008)

4
2.2 Klasifikasi Gagal Napas
Pada gagal nafas akut terjadi ketidakmampuan sistem pernafasan
mempertahankan pertukaran gas normal. Keadaan ini menyebabkan terjadinya
hipoksemia, hiperkapnia atau kombinasi keduanya. Berdasarkan tekanan
parsial karbondioksida arteri (PaCO2), gagal nafas dibagi menjadi 2 tipe, yaitu
tipe I dan tipe II. Pada kedua tipe tersebut ditemukan gambaran tekanan
parsial oksigen arteri (PaO2) yang rendah. Sebaliknya, PaCO2 yang berbeda
pada kedua tipe tersebut. (Bakhtiar, 2013)
Terdapat mekanisme yang berbeda yang mendasari perubahan PaO2 dan
PaCO2 baik pada tipe I maupun II. Pada tipe I dengan gangguan oksigenasi,
didapatkanPaO2 rendah, PaCO2 normal atau rendah terutama disebabkan
abnormalitas ventilasi/perfusi. Sebaliknya, pada tipe II, yang umumnya
disebabkan oleh hipoventilasi alveolar, peningkatan ruang mati, maka akan
terjadi peningkatan produksi CO2. (Bakhtiar, 2013)
Gagal napas tipe I adalah kegagalan oksigenasi dan terjadi pada tiga
keadaan: (Bakhtiar, 2013)
1) Ventilasi/perfusi yang tidak sepandan atau V/Q mismatch, yang
terjadi bila darah mengalir ke bagian paru yang tidak mengalami
ventilasi adekuat, atau bila area ventilasi paru mendapat perfusi
adekuat.
2) Defek difusi, disebabkan penebalan membran alveolar atau
bertambahnyacairan interstisial pada pertemuan alveolus-kapilar.
3) Pirau intrapulmunol, yang terjadi bila kelainan struktur paru
menyebabkan aliran darah melewati paru tanpa berpatisipasi dalam
pertukaran gas.
Gagal nafas tipe II pada umumnya terjadi karena hipoventilasi alveolar
dan biasanya terjadi sekunder terhadap keadaan seperti disfungsi susunan
saraf pusat, sedasi berlebihan, atau gangguan neuromuskuler (Bakhtiar,
2013)

5
2.3 Etiologi Gagal Napas
Gagal napas dapat disebabkan oleh berbagai keadaan, beberapa di
anataranya mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat.yaitu salah satunya
obstruksi saluran pernapasan bagian atas
Adapun depresi sistem saraf pusat juga dapat mengakibatkan ventilasi
yang tidak adekuat. Karena saraf tersebut yang terletak pada bagian bawah
batang otak (pons dan medulla oblongata) merupakan pusat pengatur sistem
pernapasan.
Selain hal tersebut ada hal yang dapat menyebabkan terjadi kegagalan
napas yaitu:
 Kesalahan penggunaan obat (anestesi, opioid)
 Cidera kepala
 Stroke
 Tumor otak
 Ensefalitis
 Meningitis
 Hipoksia
 Hiperkapnea
Penyakit dan kelainan pada paru-paru yang menyebabkan kegagalan
oksigenasi antara lain(Somantri, 2007):
1) Hambatan aliran darah, area paru-paru sedang melakukan perfusi,
tetapi pertukaran gas tidak dapat terjadi (yang mana akan
menimbulkan hipoksemia), seperti :pneuomonia, atalektasis, dan
tumor paru-paru.
2) Pasien yang tinggal pada ketinggian atau menghirup bahan toksis, gas
atau rokok, karbonmonoksida. Lokasi dimana pasien bernapas, tetapi
dengan kadar oksigen yang rendah.
3) Adult Respitory Distress Syndrom(ARDS), aspirasi dari bahan cair.

6
2.4 Manifestasi Klinis
Gagal napas akut terjadi bila dengan peningkatan upaya napas dan laju
napas, tidak dapat mempertahankan oksigenasi adekuat atau bila oksigenasi
tetap buruk. Dasar patofisiologi gagal napas menentukan gambaran klinisnya.
Pasien gagal napas yang masih mempunyai kemampuan bernapas normal akan
tampak sesak dan gelisah. Sebaliknya, pasien yang telah menurun kemampuan
pusat pernapasannya akan tampak tenang atau bahkan mengantuk.
Peningkatan upaya dan laju napas serta takakirdia akan berkurang bila gagal
napas memburuk, bahkan dapat terjadi henti napas (Bakhtiar, 2013)
Gagal napas diawali oleh stadium kompensasi. Pada keadaan ini
ditemukan peningkatan upaya napas (work of breathing) yang ditandai dengan
adanya distress pernapasan (pemakaian otot pernapasan tambahan, retraksi,
takipnea dan takikardia). Peningkatan upaya napas terjadi dalam usaha
mempertahankan aliran udara walaupun compliance paru menurun.
Sebaliknya, stadium dekompensasi muncul belakangan ditandai dengan
menurunnya upaya napas. (Bakhtiar, 2013)
Pada gagal nafas tanda utama adalah berdasarkan pemeriksaan
laboratorium berupa adanya hipoksemia (PaO250 mmHg dengan asidosis pH
40 mmHg dengan distress pernapasan berat atau PaCO2>55 mmHg)

2.5 Patofisisologis
Mekanisme gagal napas menggambarkan ketidak mampuan tubuh untuk
melakukan oksigenasi dan/atau ventilasi dengan adekuat yang ditandai oleh
ketidakmampuan sistem respirasi untuk memasok oksigen yang cukup atau
membuang karbon dioksida. Pada gagal napas terjadi peningkatan tekanan
parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) lebih besar dari 50 mmHg, tekanan
parsial oksigen arteri (PaO2) kurang dari 60 mmHg, atau kedua-duanya.
Hiperkarbia dan hipoksia mempunyai konsekuensi yang berbeda. (Bakhtiar,
2013)
Peningkatan PaCO2 tidak mempengaruhi metabolisme normal kecuali bila
sudah mencapai kadar ekstrim (>90 mm Hg). Diatas kadar tersebut,
hiperkapnia dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat dan henti napas.

7
Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih berbahaya
adalah gagal napas baik akut maupun kronis. Hipoksemia akut, terutama bila
disertai curah jantung yang rendah, sering berhubungan dengan hipoksia
jaringan dan risiko henti jantung. (Bakhtiar, 2013)
Hipoventilasi ditandai oleh laju pernapasan yang rendah dan napas yang
dangkal. Bila PaCO2 normal atau 40 mmHg, penurunan ventilasi sampai 50%
akan meningkatkan PaCO2 sampai 80 mmHg. Dengan hipoventilasi, PaO2
akan turun kira-kira dengan jumlah yang sama dengan peningkatan PaCO2.
Kadang, pasien yang menunjukkan petanda retensi CO2 dapat mempunyai
saturasi oksigen mendekati normal. (Bakhtiar, 2013)
Disfungsi paru menyebabkan gagal napas bila pasien yang mempunyai
penyakit paru tidak dapat menunjang pertukaran gas normal melalui
peningkatan ventilasi. Anak yang mengalami gangguan padanan ventilasi atau
pirau biasanya dapat mempertahankan PaCO2 normal pada saat penyakit paru
memburuk hanya melalui penambahan laju pernapasan saja. Retensi CO2
terjadi pada penyakit paru hanya bila pasien sudah tidak bisa lagi
mempertahankan laju pernapasan yang diperlukan, biasanya karena kelelahan
otot (Bakhtiar, 2013)

2.6 Penatalaksanaan Gagal Napas


Tatalaksana Gagal Nafas
Tujuan terapi gagal napas adalah memaksimalkan pengangkutan oksigen
dan membuang CO2. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kandungan
oksigen arteri dan menyokong curah jantung serta ventilasi. Karena itu, dalam
tatalaksana terhadap gagal nafas, yang perlu segera dilakukan adalah:
perbaikan ventilasi dan pemberian oksigen, terapi terhadap penyakit primer
penyebab gagal nafas, tatalaksana terhadap komplikasi yang terjadi, dan terapi
supportif (Bakhtiar, 2013)
a. Tatalaksana Darurat
Prinsip tatalaksana darurat gagal nafas adalah mempertahankan
jalan nafas tetap terbuka, baik dengan pengaturan posisi kepala (sniffing
position), pembersihan lendir atau kotoran dari jalan nafas atau

8
pemasangan pipa endotracheal tube, penggunaan alat penyangga
oropharingeal airway (gueded), penyangga nasopharingeal airway, pipa
endotrakhea, trakheostomi. Jika saluran benar-benar terjamin terbuka,
maka selanjutnya dilakukan pemberian oksigen untuk meniadakan
hipoksemia. (Bakhtiar, 2013)
Bila pasien tidak sadar, buka jalan napas (manuver tengadah
kepala, angkat dagu, mengedepankan rahang/head till chin lift) dan
letakkan dalam posisi pemulihan. Isap lendir (10 detik), ventilasi tekanan
positif dengan O2 100%. Lakukan intubasi endotrakea dan pijat jantung
luar bila diperlukan. (Bakhtiar, 2013)
b. Tatalaksana Lanjutan
Dalam tatalaksana lanjutan, yang perlu dilakukan adalah stabilisasi
dan mencegah perburukan. Penderita-penderita dengan gagal nafas
banyak mengeluarkan lendir sehingga memperberat beban pernafasan.
Oleh karena itu, perawatan jalan nafas sangat memegang peran penting.
Pemberian oksigenasi diteruskan. Kontrol saluran napas, tatalaksana
ventilasi, stabilisasi sirkulasi dan terapi farmakologis (antibiotik,
bronkodilator, nutrisi, fisioterapi). (Bakhtiar, 2013)
1. Pemberian Oksigen
Dalam tatalaksana lanjutan, oksigen harus tetap diberikan untuk
mempertahankan saturasi oksigen arteri diatas 95%. Walaupun
pemberian O2 mempunyai risiko menurunkan upaya bernapas pada
beberapa pasien yang mengalami hipoventilasi kronis, keadaan ini
bukan kontraindikasi untuk terapi O2 bila pasien diobservasi ketat.
Bila ventilasi tidak adekuat, maka harus segera diberikan bantuan
ventilasi dengan balon ke masker dan O2. (Bakhtiar, 2013)
Hipoksemia diatasi dengan pemberian O2 hangat dan lembab
melalui kanul nasal, masker sederhana, masker dengan penyimpanan
(reservoir) oksigen, kotak penutup kepala (oxyhood), dan alat bantu
napas orofaring atau nasofaring (Bakhtiar, 2013)

9
1) Bantuan Pernafasan (Ventilasi)
Bantuan pernafasan dapat dilakukan untuk
memperbaiki oksigenasi. Bantuan pernafasan tersebut
meliputi Continius Positive Airway Pressure (CPAP) dan
Bilevel Positive Airway Pressure (BiPAP). CPAP akan
membuka alveoli yang kolaps dan mengalirkan cairan
edema paru, sehingga mengurangi ketidakpadanan
ventilasi-perfusi, mengurangi gradien oksigen arteri-
alveolus dan memperbaiki PaO2. Ventilasi tekanan positif
non invasif, Bilevel Positive Airway Pressure (BiPAP)
memberikan bantuan ventilasi tekanan positif dan tekanan
saluran napas positif kontinyu melalui masker nasal,
bantalan nasal, atau masker muka. Bantuan ventilasi ini
tidak memerlukan intubasi trachea (Bakhtiar, 2013)
2) Pemasangan Pipa Endotrakheal
Salah satu kondisi yang dapat menyebabkan gagal
napas adalah obstruksi jalan napas, termasuk obstruksi pada
Endotrakeal Tube (ETT). Obstruksi jalan napas merupakan
kondisi yang tidak normal akibat ketidakmampuan batuk
secara efektif, dapat disebabkan oleh sekresi yang kental
atau berlebihan akibat penyakit infeksi, imobilisasi, statis
sekresi, dan batuk tidak efektif karena penyakit persyarafan
seperti cerebrovaskular accident (CVA), efek pengobatan
sedatif, dan lain – lain (Hidayat, 2005). (Irmawan &
Muflihatin, 2017)
Penangganan untuk obstruksi jalan napas akibat
akumulasi sekresi adalah dapat dengan melakukan tindakan
penghisapanlendir (suction) dengan memasukkan selang
kateter suction melalui hidung, mulut, Endotrakeal Tube
(ETT) maupun Tracheostomi (TC) yang bertujuan untuk
membebaskan jalan napas, mengurangi retensi sputum dan
mencegah infeksi paru. Secara umum pasien yang

10
mengalami obstruksi jalan napas memiliki respon tubuh
yang kurang baik untuk mengeluarkan benda asing,
sehingga sangat diperlukan tindakan penghisapan lendir
(suction) (Nurachmah & Sudarsono, 2000). (Irmawan &
Muflihatin, 2017)
Menurut Wiyoto (2010), apabila tindakan suction
tidak dilakukan pada pasien dengan gangguan bersihan
jalan napas maka pasien tersebut akan mengalami
kekurangan suplai oksigen (hipoksemia), dan apabila suplai
oksigen tidak terpenuhi dalam waktu 5 menit maka dapat
menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Cara yang
mudah untuk mengetahui hipoksemia adalah dengan
pemantauan kadar saturasi oksigen (SpO2) yang dapat
mengukur seberapa banyak persentase O2 yang mampu
dibawa oleh hemoglobin. (Irmawan & Muflihatin, 2017)
Pemantauan kadar saturasi oksigen (SpO2) dapat
dilakukan dengan pemantauan menggunakan alat oksimetri
saturasi oksigen perifer. Dengan pemantauan kadar saturasi
oksigen perifer yang benar dan tepat saat pelaksanaan
tindakan suction, maka kasus hipoksemia yang dapat
menyebabkan gagal napas hingga mengancam nyawa
bahkan berujung pada kematian bisa dicegah lebih dini.
Berdasarkan data peringkat 10 penyakit tidak menular
(PTM) yang terfatal menyebabkan kematian berdasarkan
Case Fatality Rate (CFR) pada rawat inap rumah sakit pada
tahun 2010, angka kejadian gagal nafas menempati
peringkat kedua sebesar 20,98% (Kementerian Kesehatan
RI, 2012) (Irmawan & Muflihatin, 2017)
Mengingat pentingnya pelaksanaan tindakan suction
agar kasus gagal napas yang dapat menyebabkan kematian
dapat dicegah maka sangat diperlukan pemantauan saturasi
oksigen perifer yang tepat. (Irmawan & Muflihatin, 2017).

11
Intubasi endotrakhea dapat dilakukan pada beberapa
pasien tertentu. Indikasi melakukan intubasi endotrakhea
adalah keadaan berikut ini: (Bakhtiar, 2013)
1. Gagal kardiopulmonal/henti kardiopulmonal
2. Distres pernapasan berat/kelelahan otot pernapasan
3. Refleks batuk/gag reflkes hilang
4. Memerlukan bantuan napas lama karena apnea atau
hipoventilasi
5. Transpor antar rumah sakit untuk pasien yang
berpotensi gagal napas
c. Farmakologi
Pengobatan Terhadap Penyebab Gagal Nafas: Penyebab gagal
nafas sangat banyak dan sering merupakan stadium akhir dari suatu
penyakit. Penyebab tersering adalah penyakit paru-paru, terutama
bronkhopneumonia dan bronkhiolitis, kemudian gangguan neurologis,
penyakit jantung dan neuromuskuler. Dalam tatalaksana gagal nafas,
maka terapi terhadap penyebab (penyakit primer) harus dilakukan,
misalnya: pemberian antibiotika, bronkhodilator dan mukolitik. (Bakhtiar,
2013)
Pemberian obat sedasi pada pasien gagal nafas bertujuan untuk
menginduksi anxiolysis, mencegah terjadinya agitasi, memfasilitasi
manipulasi ventilator dan mencegah terjadinya asynchrony ventilator
(Ennis & Brophy, 2011). Pemberian sedasi yang berlebihan berbahaya
dan memiliki efek samping diantaranya dapat mengakibatkan penekanan
sistem pernapasan, bradikardi, hipotensi, ketergantungan penggunaan
ventilator, mengaburkan pemeriksaan neurologis, meningkatkan lama
hari rawat, penggunaan sedasi berkepanjangan dapat mengganggu pola
tidur, mengakibatkan kelelahan, yang mengarah kepada penggunaan
sedasi yang berlebihan (Sessler et al, 2002; Triltsch et al, 2005; Girard et
al, 2008).
Sedasi memiliki efek terhadap pusat napas, relaksasi terhadap jalan
nafas, hipoperfusi batang otak dan peningkatan retensi jalan nafas.

12
Penggunaan sedasi yang berlebihan dapat mengakibatkan pengembalian
fungsi paru menjadi lebih lambat, sehingga weaning ventilator menjadi
lebih lambat (Conti, Mantz, Longrois, & Tonner, 2014). Pasien dengan
status sedasi dalam, pada 48 jam pertama perawatan dapat meningkatkan
lama waktu ektubasi dan mortalitas pasien (Shehabi et al, 2012). ehabi et
al, 2012). Keputusan untuk mengatasi agitasi pada pasien dengan
memberikan obat sedasi membutuhkan pengukuran yang konsisten,
pemberian obat sedasi dengan dosis yang tidak pantas dapat
membahayakan pasien (Triltsch et al, 2005; Grap et al, 2012). (Deli,
Arifin, & Fatimah, 2017)

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Analisa Gas Darah Arteri
Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk menentukan adanya asidosis
respiratorik dan alkalosis respiratorik, serta umtuk mengetahui apakah
klien mengalami asidosis metabolic, alkalosis metabolic atau keduanya
pada klien yang sudah lama mengalami gagal nafas. Selain itu,
pemeriksaan ini juga sangat penting untuk mengetahui oksigenasi serta
evaluasi kemajuan terapi atau pengobatan yang diberikan terhadap klien.
 Ringan : PaO2< 80 mmHg
 Sedang : PaO2 < 60 mmHg
 Berat : PaO2< 40 mmHg
2. Radiologi
Berdasarkan pada foto thoraks PA/AP dan lateral serta fluoroskopi aka
banyak data yang diperoleh seperti terjadinya hiperinflasi, pneumothoraks,
efusi pleura, hidropneumothoraks, sembab paru, dan tumor paru.
3. Pengukuran fungsi paru
Penggunaan spirometer dapat membuat kita mengetahui ada tidaknya
gangguan gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai normal atau FEV1>
83% prediksi. Ada obstruksi bila FEV1< 70% dan FEV1/FVC lebih rendah
dari nilai normal. Jika FEV1normal, tetapi FEV1/FVC sama atu lebih besar
dari nilai normal, keadaan ini menunjukkan ada restriksi.

13
4. Elektrokardiogram (EKG)
Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat dari EKG yang ditandai dengan
perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan Avf, serta jantung
yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia dan aritmia jantung
sering dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
5. Pemeriksaan sputum
Yang perlu diperhatikan ialah warna, baud an kekentalan. Jika perlu
lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika dijumpai
ada garis-garis darah pada sputum (blood streaked), kemungkinan
disebabkan oleh bronchitis, bronkhiektasis, pneumonia, TB paru, dan
keganasan. Aputum yang berwarna merah jambu dan berbuih (pink
frothy), kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk sputum yang
mengandung banyak sekali darah (grossy bloody), lebih sering merupakan
tanda dari TB paru atau adanya keganasan paru.
6. Pemeriksaan rontgen dada
Melihat keadaan patologik dam kemajuan proses penyakit yang tidak
diketahui

14
BAB III
PATHWAY

Obstruksi saluran Cidera Penyakit paru Lingkungan


Pernapasan atas
Aliran darah terhambat

Oksigenasi/ventilasi tidak adekuat

PaCO2 , PO2
(hipoksia/hipoksemia)

Gagal napas

Paru-paru tekanan darah&nadi otak produksi secret

Depesi sistem saraf dekompensasi sel otak mati peng.ETT


Gx. Pertukaran gas
Pusat

penurununan curah jantung


Hipoventilasi penurunan kesadaran nutris IV
(takipnea)

Penurunan BB
Bradipnea
intoleransi aktivitas

Kelelahan otot
ketidakseimbangan
Pernapasan
Nutrisi: kurang dari
keb.tubuh
Retraksi dada/pengunaan
Otot bantu pernapasan

Ketidakefektifan pola
Napas

15
BAB IV
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL NAPAS

A. PENGKAJIAN
1) PENGKAJIAN PRIMER
a. Airway
1. Peningkatan sekresi pernapasan
2. Bunyi napas krekels, ronki dan wheezing
b. Breathing
1. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung,
takipneu/bardipneu, retraksi dada
2. Menggunakan otot aksesoris pernapasan
3. Kesulitan bernapas: sianosis, diaphoresis, napas dangkal
c. Circulation
1. Penurunan curah jantung: gelisah, latergi, takikardia
2. Sakit kepala
3. Penurunan keluaran urine
d. Disability
Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk ( apatis, somnolen)(anonim, 2017)
2) PENGKAJIAN SEKUNDER
1) Aktivitas / istirahat
 Gejala : kekurangan energi, insomnia
2) Sirkulasi
 Gejala : riwayat adanya bedah jantung paru, fenomena
embolik (darah, udara, lemak)
 Tanda
a. TD : dapat normal ata meningkat pada awal
(berlanjut menjadi hipoksia) : hipotensi terjadi pada
tahap lanjut (syok) atau dapat factor pencetusseperti
pada eklampsia
b. Frekuensi jantung : takikardi biasanya ada

16
c. Bunyi jantung : normal pada tahap dini ; S2
(komponen paru) dapat terjadi
3) Intergritas ego
 Gejala : ketakutan, ancaman perasaan takut
 Tanda : gelisah, agitasi, gemetar, mudah terangsang,
perubahan mental
4) Makanan /cairan
 Gejala : kehilangan nafsu makan, mual
 Tanda : edema atau perubahan berat badan, hilang atau
berkurangnya bunyi usus
5) Neurosensori
 Gejala/tanda : adanya trauma kepala, mental lamban,
disfungsi motor
6) Pernafasan
 Gejala : adanya aspirasi aau tenggelam, inhalasi asap atau
gas, infeksi difus paru. Timbul tiba-tiba ata bertahap,
kesulitan nafas, lapar udara
 Tanda
a. Pernafasan : cepat, mendengkur, lambat
b. Bunyi nafas : pada awal normal, ronki dan dapat
terjadi bunyi nafas bronkial
3) Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Kesulitan bernapas tampak dalam perubahan irama dan frekuensi
pernapasan lebih dari 20x/menit
b. Palpasi
Pelebaran ICS dan penurunan vocal premitus yang menjadi
penyebab utama gagal napas
c. Perkusi
Dapat ditemukan daerah redup, daerah dengan suara nafas
melemah yang disebabkan oleh penebalan pleura, efusi pleura yang

17
cukup banyak, hipersonor bila didapatkan pneumothoraks atau
emfisema paru.
d. Auskultasi
Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah ada bunyi nafas
tambahan seperti wheezing dan ronkhi serta untuk menentukan
dengan tepat lokasi yang didapat dari kelainan yang ada.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola napas b/d hipoventilasi
2. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
3. Penurunan curah jantung b/d perubahan frekunsi/irama jantung
4. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen(Herdman & Kamitsuru, 2015)
5. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d
ketidakmampuan makan

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO. DIAGNOSA TUJUAN&KRITERIA INTERVENSI
DX KEPERAWAT HASIL KEPERAWATAN
AN
1 Ketidakefektifan  Tujuan : setelah NIC :
pola napas b/d dilakukan tindakan manajemen jalan nafas
hipoventilasi keperawatan selama  Posisikan
Batasan 1x24 jam pola nafas pasien untuk
karakteristik: efektif. memaksimalka
 Bradipnea  Kriteria hasil: n ventilasi
 Penggunaa NOC:  Auskultasi
n otot bantu 1) Status pernapasan: suara nafas,
pernapasan ventilasi catat area yang
 Pernapasan 2) Status pernapasan ventilasinya
cuping : kepatenan jalan menurun atau
hidung napas tidak ada dan
 Penurunan  Frekuensi adanya suara
ventilasi pernapasan 16- tambahan
 Takipnea 20x/menit  Kelola udara
 Frekeunsi  Irama pernapasan atau oksigen
nafas lebih regular yang
dari  Perkusi nafas dilembabkan
20x/menit sonor sebagaimana

18
 Napas  Tidak ada mestinya
dangkal penggunaan otot  Monitor status
 Retraksi bantu pernapasan pernafasan dan
dada  Tidak ada suara oksigenasi
tambahan
 Tidak ada retraksi monitor tanda-tanda
dada vital
 Monitor
keberadaan dan
kualitas nadi
 Monitor irama
dan laju
pernafasan
(misalnya
kedalaman dan
kesimetrisan
 Monitor suara
paru-paru
 Idnetifikasi
kemungkinan
penyebab
perubahan
tanda-tanda
vital
2 Gangguan  Tujuan: setelah NIC :
pertukaran gas dilakukan tindakan Manajemen ventilasi
b/d keperawatan selam mekanik : invasive
ketidakseimbang 1x24 jam pertukaran  Monitor seting
an ventilasi- gas adekuat ventilator,
perfusi  Criteria hasil:NOC: termasuk suhu
Batasan 1) Status pernapasan: dan
karakteristik: gangguan kelembaban
 Dispnea pertukaran gas dari udara yang
 Gelisah 2) Status pernapasan: dihirup secara
 Hipoksemia ventilasi rutin
 Hipoksia  Tekanaan PaO2  Cek secara
 Napas dalam rentang rutin
cuping normal sambungan
hidung  Tekanan PaCO2 ventilator
 Napas dalam rentang  Monitor
dangkal normal adanya
 Sianosis  Ventilasi-perrfusi penrunan
 Sakit seimbang volume yang
kepala  Frekeunsi nafas dihembuskan
 Takikardia 16-20x/menit dan
 Somnolen  Irama nafas peningkatan
tekanan
 Warna kulit regular
pernafasan

19
abnormal  Tidak ada sianosis  Monitor
 Tingkat kesadaran efektifitas
composmentis ventilasi
 Suara perkusi mekanik
nafas sonor terhadap status
 Tidak ada fisiologi dan
penggunan otot psikologi
bantu pernapasan pasien
 Tidak ada  Monitor
pernapasan cuping tekanan
hidung ventilator,
sinkronisasi
pasien/ventilato
r dan suara
nafas pasien

Monitor pernafasan :
 Monitor
kecepatan,
irama,
kedalaman dan
kesulitan
bernafas
 Monitor pola
nafas (dyspnea
, bradipnea,
takipnea)
 Auskultasi
suara nafas,
cacat area
dimana terjadi
penurunan atau
tidak adanya
ventilasi dan
keberadaan
nsuara nafas
ronki di paru.
 Monitor hasil
pemeriksaan
ventilasi
mekanik, catat
peningkatan
tekanan
inspirani dan
penurunan
volume tidal
 Catat
perubahan pada

20
saturasi O2,
volume tidal
akhir CO2 dan
perubahan nilai
analisa gas
darah dengan
tepat

3 Penurunan curah  Tujuan : setelah NIC :


jantung b/d dilakukan tindakan Perawatan jantung
perubahn keperawatan selama  Monitor EKG,
frekuensi/irama 2x24 jam curah adakah
jantung jantung stabil perubahan
Batasan  Criteria hasil: NOC: segmen ST
karakteristik: 1) Status sirkulasi  Monitor ttv
 Bradikardia 2) Keefektivan secara rutin
 Palpitasi pompa jantung  Monitor
jantung 3) Status pernapasan: disritmia
 Perubahan ventilasi jantung
EKG  Heart rate dalam termasuk
 Takikardia rentang normal gangguan ritme
 Penurunan  Tekanan darah dan konduksi
TD dan dalam rentang jantung
Heart rate normal  Monitor status
 PaO2 dalam batas pernafasan
normal terkait dengan
 PaCO2 dalam adanya gejala
rentang normal gagal jantung
 Tidak ada suara  Monitor
tambahan keseimbangan
 Tidak ada cairan
perubahan warna  Monitor nilai
kulit lab yang tepat
 Frekeunsi nafas  Monitor sesak
16-20x/menit nafas,
 Irama pernapasan kelelahan,
regular takipnea dan
 Urine output orthopnea
balance
 Suara jantung Perawatan sirkulasi :
pekak alat bantu mekanik
 Tidak ada  Lakukan
deforises penilaian
 Tidak pucat sirkulasi perifer
secara
komprehensif(
mengecek nadi
perifer, edema,

21
waktu
pengisian
kapiler, warna
dan suhu
ektremitas)
 Monitor
kemampuan
sensori dan
kognitif
 Evaluasi
tekanan arteri
pulmonal,
tekanan darah
sistemik,
kardiak output
dan tahanan
pembuluh
darah sistemik
seperti yang
diindikasikan
 Monitor alat
bantu secara
rutin untuk
meyakinkan
fungsinya
benar

4 Intoleransi  Tujuan : setelah NIC :


aktivitas b/d dilakukan tindakan Terapi Oksigen
ketidakseimbang keperawatan selam  Pertahankan
an antara suplai 3x24 jam, pasien kepatenan jalan
dan kebutuhan mampu melakukan nafas
oksigen ADL  Berikan
Batasan  Criteria hasil:NOC oksigen
karakteristik: 1) Toleransi terhadap tambahan
 Keletihan aktifitas sesuai anfis
 Perubahan 2) Keefekifan pompa dokter
EKG jantung  Bersihkan
 Respons 3) Status pernapasan mulut, hidung
tekanan :pertukaran gas dan sekresi
darah 4) Tanda-tanda vital trakea dengan
abnormal  Nadi, tepat
terhadap pernapasan,dan
aktivitas tekanan darah Manajemen energi
dalam rentang  Kaji status
normal saat fisiologi yang
beraktivitas menyebabkan
 Hasil EKG baik kelelahan

22
 Warna kulit tidak  Tentukan jenis
sianosis/pucat dan banyaknya
 PaO2 dan PaO2 aktivitas yang
dalam rentang dibutuhkan
normal untuk menjaga
kelelahan
 Monitor intake
asupan nutrisi
untuk
mengetahui
sumber energy
 Monitor
kardiorespirasi
pasien selama
kegiatan
(takikardi,
disritmia,
dyspnea, pucat,
frekuensi
pernafasan)
 Tingkatkan
tirah baring
/pembatasan
kegiatan
 Lakukan ROM
aktif ROM
pasif untuk
menghilangkan
ketegangan
otot
 Monitor respon
oksigen pasien
saat perawatan
maupun
melakukan
perawatan diri
secara mandiri

5 Ketidakseimban  Tujuan : setelah NIC:


gan nutrisi: dilakukan tindakan Pemberian makanan
kurang dari keperawatan 3x24 dengan tabung enteral
kebutuhan tubuh jam nutrisi dapat  Berikan zat
terpenuhi. penahan dikulit
 Kriteria hasil : NOC: dan amankan
1) Status nutrisi selang makan
2) Status nutrisi : dengan plaster(
asupan makanan selang NGT)
dan cairan  Tandai selang

23
3) Status nutrisi : dititik keluar
asupan nutrisi untuk
 Asupan gizi memperthankan
terpenuhi penempatan
 Asupan yang tepat
makanan  Monitot bising
terpenuhi usus tiap 4-8
 Asupan cairan jam
terpenuhi  Monitor status
 Berat badan cairan dan
ideal elektrolit
 Asupan nutrisi  Tinggikan
pareteral kepala 30-45
adekuat derajat saat
pemberian
makan
 Irigasi selang
setiap 4-6 jam
saat memberi
dan setelah
pemberian
makan
interminten
 Monitor intake
output
 Periksa sisa
makanan
 Jangan
memberikan
makanan jika
sisa lebih besar
dari seperempat
makanan yang
harus diberikan
Pemberian nutrisi total
parenteral
 Pastikan insersi
iv paten
 Pasang kateter
vena sentral
sesuai prosedur
 Monitor
kebocoran
 Cek cairan
nutrisi yang
diberikan
 Pertahankan

24
teknik seteril
 Monitor berat
badan
 Monitor i/o
 Monitor ttv
Terapi nutrisi
 Lengkapi
pengkajian
nutrisi
 Monitor intake
output
 Pastikan dalam
diet menganding
banyak serat
untuk mencegah
konstipasi
 Kaji kebutuhan
nutrisi
parenteral
 Kaji kebutuhan
nutrisi enteral
Monitor nutrisi
 Ukur
antropometri
 Monitor turgor
kulit
 Monitor adanya
pucat,
kemerahan, dan
pucat pada
konjungtiva

(Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2013)(Bulechek, Butcher,


Dochtermen, & Wagner, 2013)

25
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas kami dapat menyimpulkan bahwa gagal adalah
kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dan
karbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada
kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001) yang mana menyebabkan
tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg(hipoksemia) dan peningkatan
karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg(hiperkapnia).
Dalam klasifikasinya, gagal napas dibagi menjadi dua tipe yaitu: tipe 1
kegagalan oksigenasi yang terjadi pada keadaan ventilasi/perfusi tidak
adekuat, defek difusi, dan pirau intrapulmonal. Sedangkan tipe II terjadi
karena hipoventilasi alveolar, disfungi susunan saraf pusat, sedasi berlebihab,
atau gangguan neuromuscular.
Penyebab dari gagl napas disebabkan oleh berbagai keadaan diantarnya
obstruksi pernapasan bagian atas, depresi sistem saraf pusat pernapasan,
kesalahan penggunaan obat, trauma, serta faktor penyakit lain.
Gagal napas yang memiliki kemampuan bernapas normal akan tampak
sesak dan gelisah, namun pada penurunan kemampuan pusat pernapasaannya
akan tampak tenang dan mengantuk. . Peningkatan upaya dan laju napas serta
takakirdia akan berkurang bila gagal napas memburuk, bahkan dapat terjadi
henti napas (Bakhtiar, 2013). Selain itu dimulai oleh stadium kompensasi dan
dekompensasi.
Penatalaksanaan gagal napas lebih memaksimalkan pengangkutan oksigen
dan membuang karbondioksida. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan
kandungan oksigen arteri dan menyokong curah jantung serta ventilasi.
5.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini diharapkan pembaca lebih berinisiatif untuk
lebih menganali kasus yang berkaitan dengan gagal napas. Agar epidemiologi
gagal napas dapat menurun. serta dengan adanya penulisan makalah ini,
perawat lebih teliti dalam menagani kasus gagal napas.

26
DAFTAR PUSTAKA

anonim. (2017, agustus 21). Otak Mahasiswa. Retrieved februari 2, 2018, from
skepners: www.skepners.id/2017/08/laporan-pendahuluan-gagal-
napas.html

Arifin, M. Z., Fatimah, S., & Deli, H. (2017). PERBANDINGAN


PENGUKURAN STATUS SEDASI RICHMONAGITATION
SEDATION SCALE (RASS) DAN RAMSAYSEDATION SCALE
(RSS) PADA PASIEN GAGAL NAFASTERHADAP LAMA
WEANINGVENTILATORDIGICURSUPDr.HASANSADIKINBAND
UNG. Jurnal Riset Kesehatan .

AYYUBI, N. (2016). PEMAHAMAN PERAWAT TENTANG PEMBERIAN


OKSIGEN DANHUMIDIFIKASI PADA PASIEN DENGAN GAGAL
NAFASDI RUANG ICU RSI SAKINAHMOJOKERTO. Anoname .

Bakhtiar. ( 2013). Aspek Klinis Tatalaksana Gagal Nafas Akut pada Anak.
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 13 Nomor 3 .

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochtermen, J. M., & Wagner, C. M. (2013).


Nursing Interventions Classification (NIC). Oxford: Elsevier Inc.

Deli, H., Arifin, M. Z., & Fatimah, S. (2017). PERBANDINGAN


PENGUKURAN STATUS SEDASI RICHMONAGITATION
SEDATION SCALE (RASS) DAN RAMSAYSEDATION SCALE
(RSS) PADA PASIEN GAGAL NAFASTERHADAP LAMA
WEANINGVENTILATORDIGICURSUPDr.HASANSADIKINBAND
UNG. Jurnal Riset Kesehatan .

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). DIAGNOSIS KEPERAWATAN Definisi


& Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 . Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classsification (NOC) . Oxford: Elsevier Inc.

27
Mutaqqin, A. (2008). Buku Ajar ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN Dengan
GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN. Jakarta: Salemba Medika.

Somantri. (2007). ASUAHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN. Jakarta: Salemba Medika.

Sumara, R., & Superdana. (2015). EFEKTIFITAS HIPEROKSIGENASI PADA


PROSES SUCTIONING TERHADAPSATURASI OKSIGEN PASIEN
DENGAN VENTILATOR MEKANIK DI INTENSIVE CARE UNIT.
THE SUN Vol. 2(4) .

28

Anda mungkin juga menyukai