Etikolegal Pbak
Etikolegal Pbak
1. Pengertian Aborsi
2. Macam-macam Aborsi
...................
Syarat-syaratnya:
Jika ditinjau dari aspek hukum , pelarangan abortus justru tidak bersifat
mutlak
Pasal 75
Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang menderita penyakit genetik
beratdan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dpt dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang
(4) Tindakan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah
Pasal 76
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) depidana dengan pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denta paling banyak Rp1.000.000.000,00 ( satu
milyar rupiah)
Pasal 229
1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya
diobati dengan diberitahukan atau ditimbulkjan harapan bahwa karena pengobatan
itu hamilnya dapat digugurkan. Maka orang tersebut diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat puluh ribu
rupiah.
Pasal 346
Pasal 347
Ayat 1
Pasal 348
Ayat 1
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan kejahatan
yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam
Pasal itu ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut haki untuk menjalankan
pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 535
Keuntungan:
Aborsi seharusnya:
1. Dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan dokter umum yang ditunjuk
dan terlatih (bersertifikat)
Kerugian: Profesi lain selain dokter yang ditunjuk dan tersertifikasi, tidak
diperkenankan untuk memberikan pelayanan aborsi
Keuntungan:
Aborsi dapat dilakukan secara lebih aman, karena rumah sakit dan klinik
yang ditunjuk akan dimonitor keamanan dan kualitasnya.
Kerugian:
Keuntungan :
Kerugian :
(a) Usia kandungan tidak lebih dari 12 minggu dan hasil diagnosis menunjukkan
munculnya risiko lebih besar pada pasien (perempuan) bila kehamilan dilanjutkan,
seperti gangguan mental, fisik dan psikososial
(d) Risiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan menderita cacat
fisik/mental yang serius.
Dalam menentukan risiko tindakan seperti yang tersebut di atas, dokter harus
mempertimbangkan keadaan pasien pada saat itu.
PENJELASAN KONDISI
a) Risiko gangguan fisik, mental dan psikososial perempuan: batas toleransi usia
kehamilan 12 minggu
Kerugian: Hukum dapat ditafsirkan secara kaku oleh sebagian dokter dan/atau
konselor untuk tidak mengijinkan tindak aborsi tanpa adanya bukti-bukti riwayat
sakit fisik dan mental pasien.
b) Risiko cacat fisik dan mental pasien (perempuan) yang permanen: tidak ada
batasan usia kehamilan
Keuntungan: Dalam kondisi pasien terancam cacat fisik dan mental secara
permanen,
Kerugian:
Program bayi tabung dari satu sisi memang cukup membantu pasangan suami
isteri (pasutri) yang mengalami gangguan kesuburan dan ingin mendapatkan
keturunan. Namun di sisi yang lain, hukum bayi tabung akhirnya menuai pro dan
kontra dari sejumlah pihak. Khususnya reaksi dari para alim ulama yang
mempertanyakan keabsahan hukum bayi tabung jika dinilai dari sudut agama.
Berdasarkan fatwa MUI, hukum bayi tabung sah (diperbolehkan) dengan syarat
sperma dan ovum yang digunakan berasal dari pasutri yang sah. Sebab hal itu
termasuk dalam ranah ikhtiar (usaha) yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
MUI juga menegaskan, hukum bayi tabung menjadi haram jika hasil pembuahan
sperma dan sel telur pasutri dititipkan di rahim wanita lain. Demikian pula ketika
menggunakan sperma yang telah dibekukan dari suami yang telah meninggal
dunia atau menggunakan sperma dan ovum yang bukan berasal dari pasutri yang
sah, maka hukum bayi tabung dalam hal ini juga haram.
Dilihat dari aspek biologis (Ayah Biologis) dan dari aspek yuridis (Ayah
Yuridis) dapat dianggapn sebagai :
Pada proses ini sel telur dan sperma pasangan suami istri yang berupa
embrio dititipkan dalam rahim wanita lain sewa rahim (lihat Pasal 1548
jo 1320 KUHPerdata) anak angkat
Undang-Undang RI No 36/2009
Pasal 127
Ayat (1) Upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dpt dilakukan oleh pasangan
suami istri yang sah dgn ketentuan:
1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dlm rahim istri darimana ovum berasal
2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu; dan
3. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu
Ayat (2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan diluar cara alamiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
1 Jika sperma berasal dari pendonor dan setelah terjadi embrio diimplantasikan
ke dalam rahim isteri, maka anak yang terlahir statusnya sah dan memiliki
hubungan waris serta keperdataan selama suami menerimanya (Pasal 250 KUH
Perdata).
2 Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang telah bersuami, maka
anak yang terlahir statusnya sah dari pasangan penghamil, dan bukan dari
pasangan yang memiliki benih (Pasal 42 UU No. 1/1974 dan Pasal 250 KUH
Perdata)
3 Jika sperma dan sel telur berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan
tetapi embrionya diimplantasikan ke rahim wanita yang terikat perkawinan, anak
yang terlahir statusnya sah bagi pasutri tersebut.
4 Jika embrio diimplantasikan ke rahim gadis, maka status anak yang terlahir
adalah anak di luar nikah
Inseminasi buatan atau bayi tabung menjadi permasalahan hukum dan etis
moral bila sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam
hubungan pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi
bahan pembuahan tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia.
Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi
Tabung):
1. Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro
transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut
baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah
(keturunan genetik) dari pasangan tersebut.
2. Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah
bercerai dari suaminya maka jika anak itu lair sebelum 300 hari perceraian
mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika
dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami
ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami
ibunya. Dasar hukum pasal 255 KUH Perdata.
3. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka
secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan
pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan
pasal 250 KUH Perdata. 15
Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut
sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA.
(Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian
semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan
1338 KUH Perdata.)
4. Jika salah satu benihnya berasal dari donor
5. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-
vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan
dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi
pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan
memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan
keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan
melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum pasal 250 KUH
Perdata. 2. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan
penghamil tersebut. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH
Perdata. 3. Jika semua benihnya dari donor: (1) Jika sel sperma maupun sel
telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio
diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan
maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri
tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam
perkawinan yang sah.(2). Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis
maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis
tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut
bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel
telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis
sebagai anaknya
1 Pengertian Adopsi
Adopsi adalah suatu proses penerimaan seorang anak dari seseorang atau
lembaga organisasi ketangan orang lain secara sah diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Adopsi juga berarti memasukkan anak yang diketahuinya
sebagai anak orang lain kedalam keluarganya dengan status fungsi sama dengan
anak kandung
Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan
untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau
pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak
menikah atau tidak terikat dalam perkawinan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan adopsi :
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam
SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun
1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/ pengangkatan anak. Selain
itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk
mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat
mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin
lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada
dalam asuhan organisasi sosial.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang
pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain
menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan
orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat
dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam
perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda
belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin
mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk
melakukannya.
1. Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat
tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental,
—Jawa misalnya—, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali
keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya,
selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap
berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali,
pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak
tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya.
Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan
meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H,
Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
2. Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum
dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris
mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang
tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah
kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi
hukum, AKAPRESS, 1991)
3. Peraturan Per-Undang-undangan
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak
adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat,
dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat
dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan
tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada
keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak
tersebut.
Pasal 39
(1) Pengangkatan anak hanya dpt dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi
anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
(2) Pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam ayat (1), tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
(3) Calon orang tua anak harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat
(4) Pengangkatan anak oleh WMA hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat
Pasal 40
(1) Orang tua wajib memberitahukan keoada anak angkatnya mengenai asal
usulnya dan orang tua kandungnya
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan
Pasal 41
Hal ini diatur dalam SEMA No 6 tahun 1983 ttg pemeriksaan permohonan
pengesahan/
pengangkatan anak.
Selain itu Keputusan Mensos RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 ttg Petunjuk
Pelaksanaan
Pengangkatan Anak
2. Orang tua Tunggal
5. Syarat anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 Pasal 12 ayat
(1))
6. Syarat usia anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 ayat (2))
g Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu anak
l Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 bulan sejak ijin
pengasuh
diberikan