Anda di halaman 1dari 15

Paper Neurologi

TETANUS

Oleh:
Mhd.Ridho Fahrezi
130100078

Pembimbing
dr. Alfansuri Kadri, Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Skotoma”.
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Neurologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Alfansuri Kadri, Sp.S selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam
penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat
memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 10 April 2017

Penulis
ii

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................i
DAFTAR ISI ......................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................1


1.1. Latar Belakang ...................................................................................1
1.2. Tujuan ................................................................................................1
1.3. Manfaat ..............................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................3


2.1. Definisi dan Etiologi Tetanus .............................................................3
2.2. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis ......................................................3
2.3. Patofisiologi .......................................................................................5
2.4. Diagnosis ............................................................................................6
2.5. Diagnosa Banding ..............................................................................6
2.6. Penatalaksanaan ..................................................................................8
2.7. Komplikasi..........................................................................................10
2.8. Prognosis ............................................................................................11

BAB 3 KESIMPULAN .....................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat.1
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi
oleh Clostridium tetani. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh
melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta
pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum ).22,3
Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan
jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada
neonatus.4,5
1.2 Tujuan
Laporan kasus ini dibuat untuk membahas definisi, epidemiologi, faktor
resiko, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosa, diagnosa
banding, penatalaksanaan pencegahan dan prognosis kasus tetanus.
1.3 Manfaat
Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan
pengatahuan dan memperjelas tentang definisi, epidemiologi, faktor resiko,
etiologi, patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosa, diagnosa banding,
penatalaksanaan pencegahan dan prognosis kasus tetanus agar kemudia dapat
diterapkan dan dilaksanakan pada praktiknya di lapangan ketika menghadapi
pasien sebagai seorang dokter.
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi Tetanus


Suatu kelainan neurologis yang dicirikan dengan spasme dan rigiditas
otot. Penyebab tetanus adalah bakteri anaerob pembentuk spora bernama
Clostrodium tetani. Basil Gram positif ini ditemukan dalam feses manusia dan
hewan, serta ditanah. Spora dapat dorman selama bertahun-tahun, tetapi jika
terkena luka, spora akan berubah menjadi vegetatif yang menghasilkan toksin.1
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890,
diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin,
yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan
mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.2
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat
jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di
samping sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang
berkembang termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini
disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi
kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
2.2. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis
Berdasarkan manifestasi klinis tetanus dapat diklasifikan menjadi :
1. Tetanus Lokal (Localited Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan,
bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang
secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus,
tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga
lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai
4

secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis


antitoksin.2
2. Cephalic tetanus Tetanus
sefialik biasanya terjadi setelah adanya luka pada kepala atau wajah.
Periode inkubasi pendek biasanya hanya 1-2 hari. Terjadi kelemahan dan
paralisis otot-otot wajah. Pada periode spasme biasanya , otot wajah biasanya
berkontraksi. Spasme dapat melibatkan lidah dan tenggorokan sehingga
menggakibatkan disatria, disfonia, dan disfagia.Seringkali tetanus sefalik
berkembang menjadi tetanus generalisata.1
3. Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara
diamdiam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %),
yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan
kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan. Gejala lain berupa Risus yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (
kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-
otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia.
Bisa terjadi disuria dan retensi urin, kompressi fraktur dan pendarahan
didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun
bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan
darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal.
Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.2
4. Neonatal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh
proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat
yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan
Wltuk tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat
pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor
yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.2
5

Manifestasi Klinis :
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang
• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari
leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena
spasme otot masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
• Risus sardonikus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai
dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak )
2.3. Patofisiologi
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat:
(1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi
melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat,
(2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat.
Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat.3 Pada
mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih
memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf
motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd
menuju sistem saraf pusat.1,3 Tetanospasmin yang merupakan zincdependent
endopeptidase memecah vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau
synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk
pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu
transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah
pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron
6

menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan


menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak
terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme
otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus.
Otot wajah terkena paling awal karena jalur aksonalnya pendek, sedangkan
neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang
otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan
hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan
kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan
membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan
durasi penyakit ini.3
2.4. Diagnosis
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu
istirahat, berupa:
1. Anamnesis Pertanyaan seputar luka sangat penting, terutama waktu
terkena luka serta waktu dari luka sapai timbulna gejala. Selain itu, ditanyakan
lokasi luka, jenis luka ( besih atau kotor).1
2. Pemeriksaan Fisik Gejala klinik seperti Kejang tetanic, trismus,
dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).2
3. Pemeriksaan Penunjang Kultur: C. tetani (+). Lab : SGOT, CPK
meninggi serta dijumpai myoglobinuria.3
2.5. Diagnosa Banding
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar
dijumpai dari pemeriksaan fisik, tes laboratorium (dimana cairan serebrospinal
6normal dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan
SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot
tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardonicus dan
kesadaran yang tetap normal. Berikut ini merupakan diagnosis banding dari
tetanus.4
7
8

2.6. Penatalaksanaan
2.6.1. Penatalaksanan Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb:
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: -
membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),
membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202, dalam hal ini
penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan
pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.5
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita.6
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2.6.2. Obat-obatan
A. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40
mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis
terbagi ( 4 dosis ). Selain itu dapat digunakan metronidazole intravena 500 mg
yang diberikan tiga kali sehari.5 Bila tersedia Peniciline intravena, dapat
digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10
hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.7
9

B. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang
serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin,
yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya
adalah 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan
dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar.7
C. Tetanus
Toksoid Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan
bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus
dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Berikut ini
merupakan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka.2
10

D. Antikonvulsan

Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik


yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan
penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi.2

Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat, dan ini
dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai
adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 -
15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara
drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar mengontrol kejang yang
terjadi. Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera
dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang
dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini
dilakukan untuk selanjutnya. Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih
terjadi sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti
kejang lainnya harus dilakukan.

2.7. Komplikasi

Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan


otot-otot pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan
atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain
itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal failure.8,9
11

2.8. Prognosis

Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :

1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )

2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum

3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.

Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih
pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit dipengaruhi oleh: masa
inkubasi (jelek bila < 7 hari), umur (jelek pada neonatus), onset kejang (jelek bila
< 7 hari), hiperpireksia (bila ada prognosis jelek), kecepatan pengobatan, ada
tidaknya komplikasi dan frekuensi kejang.
12

BAB 3
KESIMPULAN

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat.Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium
tetani. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada
kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali
pusat (Tetanus Neonatorum ).Diagnosis dini dan pengobatan yang cepat terutama
pada penyakit yang mendasarinya diharapkan akan membantu dalam pencegahan
tetanus menjadi lebih buruk.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arif , M. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Medica Aesculpalus. FKUI: Jakarta.


2. Ritarwan, Kiking. Penyakit Saraf Tetanus.Jurnal Bagian Neurologi Fakultas
Kedokteran USU.2014.
3. Saraswita, Ni Komang. Jurnal Online Penatalaksanaan Tetanus. Available from
www.kalbemed.com/Portals/6/09_222CPD-Penatalaksanaan%20Tetanus.pdf
4. Samuels, AM. Tetanus, Manual of Neurologic Therapeutic 2 nd ed. B o s t o n : Ljttle
Brown and Company.p.978, 387-390.
5. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian
emergencies. 2010. Available from:
www.who.int/disesasecontrol_emergencies/publications/who_hse_gar_dce_2012/
en/
6. Sharma A., Malhotra S., Grover S., Jindal S.K. Incidence, prevalence, risk factor and
outcome of delirium in intensive care unit: A study from India. Gen. Hosp.
Psychiatry. 2012;34:639–646.
7. Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205-
1207.
8. Lubis, CP :Tetanus Neonatorum dan anak, Diktat Kuliah Ilmu Kesehatan Anak,
Peny.lnfeksi, bag II, Balai Penerbit FK USU, Medan, 1989, 21-40.
9. Peter. G. Red Book, Report of the committee on infectious diseases, ed.24 th,
American Academy of Pediatrics, 1997, 518-519.
10. Soeparman. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI:1991:49.

Anda mungkin juga menyukai