Anda di halaman 1dari 5

Nama : Khaerani Masyithoh

NIM : 201510200311069

Kelas : Agroteknologi 5B

Kelas AIK: Muthawastihin A

TAUHID SOSIAL
Tauhid berasal dari kata ‫ ﺍﺤﺩ‬yang artinya ”satu”. Sedangkan kata Tauhid (‫ ) ﺘﻭﺤﺩ‬artinya
”menyatukan”. Muhammad Nafis Al-Banjari dalam kitabnya Ad Durunnafis mengatakan
bahwa Tauhid adalah menyatukan segala pandangan hanya kepada zat yang satu, yaitu Allah
Azza Wazalla. Jadi, orang yang bertauhid adalah orang yang dalam kesehariannya hanya
memliki satu titik pandang, yaitu Allah SWT. Setiap perbuatan dan tingkah lakunya selalu
diiringi dengan niat lillahita’ala. Satu niat, satu pandangan, satu tujuan, satu tempat
bersandar. Sehingga dalam hidup dan kehidupannya tidak terlepas dari ruang lingkup
kekuasaan Allah. Para ahli Tauhid dan para Arifbillah mengatakan bahwa orang yang
bertauhid adalah orang yang selalu menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah.

Sosial berasal dari bahasa yunani ”Socius” yang berarti ”teman”. Dalam
perkembangan sosial diartikan sebagai hubungan manusia dalam hidup bermasyarakat sesuai
dengan kedudukan dan peran masing-masing. Dalam proses sosial, ada yang disebut tindakan
sosial dan interaksi sosial. Tindakan sosial adalah perbuatan atau aktifitas manusia yang
dilakukan dengan berorientasi pada atau dipengaruhi orang lain. Sedangkan interaksi sosial
adalah hubungan yang dinamis antara individu dan individu, individu dengan kelompok,
kelompok dan kelompok dalam bentuk cooperation atau kerja sama, persaingan ataupun
pertikaian. Adapun hubungan antara tindakan dan interaksi sosial yaitu, tindakan sosial
merupakan syarat bagi terbentuknya interaksi sosial, bila interaksi sosial terjadi maka secara
otomatis tindakan sosial sudah terjadi.

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa sosial merupakan hubungan antara
sesama manusia. Hubungan ada dua macam, yaitu hubungan yang baik dan hubungan yang
buruk. Dalam Islam, sosial dikenal dengan hubungan yang baik antar sesama manusia.
Hubungan yang baik dan harmonis antar sesama manusia sangat dianjurkan dalam syari’at
Islam. Hal ini dapat dilihat dari dalil-dalil berikut ini :
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-
orang yang beruntung. (QS. Al-Imran (3) : 104)
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu
sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri, (QS. An-Nissa (4) : 36)
”Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda :”Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka tidak boleh menyakiti tetangganya. Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka harus memuliakan tamunya. Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya mengatakan yang baik atau
diam”. (Muttafaq ’Alaihi).
Allah dan Rasul telah memerintahkan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia,
berhubungan baik serta menghormati antara satu dengan yang lain. Inilah yang disebut
dengan ”Hablum Minannas” (hubungan yang baik antar sesama manusia). Hal ini telah
dimaktubkan di dalam sumber hukum Islam. Yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Istilah “tauhid sosial” merupakan istilah baru yang diperkenalkannya dalam wacana
ilmu-ilmu sosial. Tauhid sosial dimaksudkan sebagai dimensi sosial dari pengakuan kita
bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad itu adalah Rasul-Nya. Sebagai muslim,
tidaklah cukup kalimat tauhid tersebut hanya dinyatakan dalam bentuk ucapan (lisan) dan
diyakini dalam hati, tetapi harus dilanjutkan dalam bentuk perbuatan. Sebagai konsekuensi
pemikiran ini, berarti semua ibadah murni (mahdhah) seperti salat, puasa, haji, dan seterusnya
memiliki dimensi sosial. Kualitas ibadah seseorang sangat tergantung pada sejauh mana
ibadah tersebut mempengaruhi perilaku sosialnya. Menurut Amien Rais, tauhid
sesungguhnya menurunkan atau mengisyaratkan adanya lima pengertian. Pertama, unity of
Godhead, yaitu kesatuan ketuhanan. Kedua, unity of creation, yaitu kesatuan penciptaan.
Seluruh makhluk di alam semesta ini, baik yang kelihatan maupun yang tidak, yang lahir
maupun yang gaib, merupakan bagian dari ciptaan Allah. Ketiga, unity of mankind, yaitu
kesatuan kemanusiaan. Jadi, perbedaan warna kulit, bahasa, geografi, sejarah, dan segala
perbedaan yang melatarbelakangi keragaman umat manusia tidak boleh dijadikan alasan
untuk melakukan diskriminasi. Keempat, unity of guidance, yaitu kesatuan pedoman hidup.
Bagi orang yang beriman, hanya ada satu pedoman hidup, yakni yang datangnya dari Allah
yang berupa wahyu. Karena Allah yang menciptakan manusia, maka Allah pula yang paling
tahu apa yang baik atau buruk bagi manusia, sehingga kita betul-betul dapat mencapai
kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Kelima, unity of the purpose of life, yaitu kesatuan
tujuan hidup. Bagi orang yang beriman, satu-satunya tujuan hidup adalah untuk mencapai
rida Allah.

Konsep “tauhid sosial” ini tampaknya muncul dari Amien Rais sebagai respon
terhadap meluasnya persoalan ketidakadilan yang ia lihat. Hal ini bisa dirujuk pada
pernyataannya yang retoris: “Benang merah dari ajaran Islam adalah keadilan. Karena Islam
itu merupakan religion of justice, maka secara potensial setiap orang Islam bisa menjadi
trouble maker bagi kemapanan yang tidak adil. ”Dengan merujuk sosiolog Prof. Gelner,
Amien Rais juga mengatakan bahwa di muka bumi ini, setiap orang Islam bisa menjadi
masalah bagi rezim yang mapan yang mempertahankan ketidakadilan, karena orang Islam
selalu resah, gelisah, dan selalu ingin mengejawantahkan nilai-nilai keadilan dalam berbagai
dimensi kehidupannya. Dengan mengutip Ibn Hazim , ia juga mengatakan, bila di tengah
masyarakat ada kelompok kaya dan miskin, adalah kewajiban si kaya untuk melakukan
proses pemerataan sosial ekonomi ke seluruh masyarakat.

Dan, menjadi hak dari si papa untuk mengambil bagiannya dari si kaya. Jadi, secara
sederhana, konsep tauhid sosial Amien Rais dapat disimpulkan sebagai tuntutan terwujudnya
masyarakat yang adil, sekaligus memperoleh ridha Allah. Doktrin tauhid yang menjadi ruh
kekuatan Islam tidak pernah hilang dari perjalanan sejarah, walaupun aktualisasinya dalam
dimensi kehidupan tidak selalu menjadi kenyataan. Dengan kata lain, kepercayaan kepada ke-
Esa-an Allah belum tentu terkait dengan prilaku umat dalam kiprah kesejarahannya. Padahal,
sejarah membuktikan bahwa tauhid menjadi senjata yang hebat dalam menancapkan pilar-
pilar kesejarahan Islam. Dalam konteks ini, orang kemudian mempertanyakan praktek sosial
Islam yang dianggap tidak komprehensif.
Praktek sosial Islam ini banyak dibahasakan dengan berbagai istilah, antara lain
Tauhid Sosial. Syafi’i Ma’arif menyebutkan Tauhid Sosial sebagai dimensi praksis dari
resiko keimanan kepada Allah SWT. Doktrin ini sudah sangat dini dideklarasikan. Al-Qur’an,
yaitu pada masa Mekkah tahun-tahun awal. Secara substasial, gagasan Tauhid Sosial Syafi’i
Ma’arif menggambarkan dua hal: pertama, iman adalah kekuatan yang menjadi pilar utama
perjalanan sejarah umat Islam. Memilih Islam adalah menjalani suatu pola kehidupan yang
utuh dan terpadu (integrated), di bawah prinsip-prinsip tauhid. Setiap aspek kehidupan yang
dijalani merupakan refleksi dari prinsip-prinsip tauhid itu. Islam menolak pola kehidupan
yang fragmentatif, dikotomik, dan juga sinkretik. Praktek kehidupan seperti ini telah
ditunjukkan dalam perjalanan kerasulan Muhammad yang diteruskan oleh sebagian generasi
setelahnya. Islam berprinsip pada tauhid, lebih dari segalanya. Sehingga kekuatan tauhid
inilah yang menjadi pengawal dan pusat dari semua orientasi nilai. Kedua, iman harus
mampu menjawab dimensi praksis persoalan keummatan. Artinya, kekuatan tauhid ini harus
diaktualisasikan, bukan hanya tersimpan dalam teks-teks suci.

Masyarakat yang adil harus didirikan dalam prinsip ‘amrun bi al-ma’ruf wa nahyun
‘ani al-munkar’. Dalam Al-Qur’an, doktrin ‘amrun bi al-ma’ruf wa nahyun ‘ani al-munkar’
dijumpai dalam delapan ayat, tersebar dalam lima surat, dua makkiyah dan tiga madaniyyah.
Tugas ini dibebankan pada rasul, pemerintah dan umat yang beriman secara keseluruhan,
yang kemudian terwujud dalam dimensi sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dalam
perspektif yang berbeda, cendekiawan muslim, Kuntowijoyo, menyatakan bahwa nilai-nilai
Islam sebenarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik,
ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sebenarnya adalah melakukan
transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai tersebut. Di dalam Al-Qur’an kita sering
sekali membaca seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian beramal. Dalam surah Al-
Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa agar manusia itu menjadi muttaqin,
pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman, ‘percaya kepada yang gaib’, kemudian
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Di dalam ayat tersebut kita melihat adanya trilogi
iman-shalat-zakat. Sementara dalam formulasi lain, kita juga mengenal trilogi iman-ilmu-
amal. Dengan memperhatikan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal,
pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan: pusat keimanan Islam adalah Tuhan, tetapi
ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai
pusat dari semua orientasi nilai. Sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai
tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut sebagai rahmatan li
al’alamin, rahmat untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan. Dengan melihat
penjelasan ini, tauhid sosial sebenarnya merupakan perwujudan aksi sosial Islam dalam
konteks menjadikannya sebagai rahmatan li al’alamin. Proses menuju ke arah itu harus
dimulai dari penguatan dimensi tauhid, kemudian dimensi epistemik, lalu masuk dalam
dimensi amal berupa praktek sosial kepada sesama manusia.

Islam dan Ketidaksamaan Sosial Ketidaksamaan sosial (social inequality) terjadi di


hampir semua komunitas masyarakat dunia. Adanya ketidaksamaan sosial ini pada umumnya
melahirkan polarisasi sosial yang dalam banyak hal melahirkan kasus-kasus kemiskinan,
kesenjangan, ketidakadilan, penindasan bahkan perbudakan. Ketidaksamaan sosial ini
kemudian dirumuskan dengan membaginya dalam istilah ‘kelas sosial’. Masyarakat Arab
pada zaman nabi juga terbagi dalam dua kelas sosial, yakni kelas bangsawan dan kelas budak.
Tapi, Al-Qur’an juga merefleksikan adanya kenyataan sosial lain mengenai pembagian kelas
sosial ini, seperti konsep golongan dhu’afa, mustadh’afin, kaum fakir, dan masakin.
Demikian juga dalam masyarakat Eropa abad ke 17, dimana terdapat tiga kelas sosial di sana,
yaitu kelas pendeta, kelas bangsawan dan kelas borjuasi. Kemudian juga dikenal kelas
proletar Dalam terminologi Marx, ia tidak pernah menjelaskan apa yang dimaksud dengan
istilah ‘kelas’, sehingga pada umumnya terminologi kelas dalam konsep Marxis didefinisikan
secara mashur oleh Lenin. Lenin mendefinisikan kelas sosial sebagai golongan sosial dalam
sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi.
Dengan demikian, masyarakat industri menurut terminologi ini hanya mengenal dua kelas,
yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Dengan doktrinnya yang terkenal, ‘materialisme
dialektis’ dan ‘determinisme ekonomi’, Marx yakin bahwa dalam masyarakat industrial-
kapitalis, golongan proletar adalah yang paling miskin. Sementara dalam Islam, Kuntowijoyo
mencatat bahwa Islam mengakui adanya deferensiasi dan bahkan polarisasi sosial.

Al-Qur’an melihat fenomena ketidaksamaan sosial ini sebagai sunnatullah, sebagai


hukum alam, sebagai realitas empiris yang ditakdirkan kepada dunia manusia. Banyak ayat
Al-Qur’an yang memaklumkan dilebihkannya derajat sosial, ekonomi, atau kapasitas-
kapasitas lainnya dari sebagian orang atas sebagian yang lainnya. Kendatipun demikian, ini
tidak dapat diartikan bahwa Al-Qur’an mentoleransi social-inequality. Mengakui jelas tidak
sama dengan mentoleransi. Sebaliknya, Islam justru memiliki cita-cita sosial untuk secara
terus-menerus menegakkan egalitarianisme. Realitas sosial empiris yang dipenuhi oleh
fenomena diferensiasi dan polarisasi sosial, oleh Al-Qur’an dipandang sebagai ajang riel
duniawi tempat setiap muslim akan memperjuangkan cita-cita keadilan sosialnya.
Keterlibatannya dalam perjuangan inilah yang akan menentukan kualitasnya sebagai
khalifatullah fil ‘ardh. Dengan demikian, Islam menghendaki adanya distribusi kekayaan dan
kekuasaan secara adil bagi segenap lapisan sosial masyarakat. Dalam banyak perspektif,
Islam juga mengedepankan peran untuk mengutamakan dan membela gologan masyarakat
yang tertindas dan lemah seperti kaum dhu’afa dan mustadh’afin. Cita-Cita Praktek Sosial
Islam Persoalannya adalah tidak mudah mewujudkan cita-cita sosial Islam ini. Terlebih lagi
dalam kondisi masyarakat yang dimanjakan oleh arus materialisme sekarang ini. Proses ini
memang harus dimulai dari transformasi nilai-nilai Islam, baru kemudian dilakukan
lompatan-lompatan dalam dataran praksis. Kuntowijoyo punya pandangan menarik dalam
merumuskan proses transformasi ini. “Pada dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat
normatif”, demikian Kuntowijoyo.

Ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif ini menjadi operasional dalam kehidupan
sehari-hari. Pertama, nilai normatif ini diaktualkan langsung menjadi perilaku. Untuk jenis
aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan praktis Al-Qur’an, misalnya untuk
menghormati orang tua. Seruan ini langsung dapat diterjemahkan ke dalam praktek, ke dalam
prilaku. Pendekatan seperti ini telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Ilmu ini cenderung
menunjukkan secara langsung, bagaimana secara legal prilaku harus sesuai dengan sistem
normatif. Cara yang kedua adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif ini menjadi teori
ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam prilaku. Agaknya cara yang kedua ini lebih relevan
pada saat sekarang ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam
konteks masyarakat industri, suatu restorasi yang membutuhkan pendekatan yang lebih
menyeluruh dari pada sekedar pendekatan legal. Metode transformasi nilai melalui teori ilmu
untuk kemudian diaktualisasikan dalam dimensi praksis, memang membutuhkan beberapa
fase formulasi: teologi®filsafat sosial®teori sosial®perubahan sosial. Sampai sekarang ini,
kita belum melakukan usaha semacam itu. Bagaimana mungkin kita dapat mengatur
perubahan masyarakat jika kita tak punya teori sosial? Sementara Syafi’i Ma’arif berpendapat
bahwa transformasi ini harus dilakukan dengan membongkar teologi klasik yang sudah tidak
relevan lagi dengan masalah-masalah pemberdayaan masyarakat karena terlalu intelektual
spekulatif. Pemberdayaan masyarakat hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang berdaya
secara politik, ekonomi, sosial, iptek, dan budaya. Orang yang tidak berdaya tapi ingin
memberdayakan masyarakat tidak pernah akan berhasil. Tingkatnya hanya tingkat angan-
angan. Umat yang terlalu banyak berangan-angan tapi tidak berdaya adalah beban Islam dan
beban sejarah. Oleh sebab itu, Al-Qur’an menyuruh kita bercermin kepada yang kongkret,
kepada yang empirik, sebab di sana juga terdapat ayat-ayat Allah, yakni ayat-ayat kauniyah.
Karenanya, suatu sistem teologi yang terlalu sibuk mengurus yang serba ghaib dan lupa
terhadap yang kongkret tidak akan pernah menang dalam kompetisi duniawi. Padahal,
kejayaan di dunia dibutuhkan untuk menggapai kejayaan di akhirat.

Dengan menyadari kekurangan ini, kita memang sudah didesak untuk segera
memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya
ilmu-ilmu sosial Islam. Tapi di sisi lain, kita perlu melakukan pembongkaran terhadap
prinsip-prinsip teologi klasik yang terlalu sibuk mengurus masalah ghaib. Cita-cita sosial
Islam untuk melahirkan keadilan sosial bagi seluruh alam memang masih jauh dari cita-cita.
Tapi, juga tidak bijak kalau kita hanya menyimpannya dalam teks-teks suci. Perjuangan ke
arah itu memang tidak ringan. Tapi itulah tugas kita kalau kita mau menyumbangkan sesuatu
yang anggun untuk kemanusiaan. Perjuangan umat Islam yang masih bergulat untuk bangun
dari kemiskinan dan keterbelakangan, tentu akan sia-sia jika tak didukung oleh kerja-kerja
intelektual yang menopang terbentuknya suatu tatanan sosial masyarakat seperti yang kita
cita-citakan.

Anda mungkin juga menyukai