PENDAHULUAN
. Demam tifoid adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus kecil
disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan penyakit
endemis, dengan prevalensi 91% kasus terjadi antara umur 3-19 tahun dan
meningkat setelah umur 5 tahun. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup
banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar secara luas.
Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada
anak yang berumur diantara 5- 9 tahun dan prevalensi kejadian pada anak laki-laki
adalah lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 11,2.
Penularan dapat terjadi kapan dan dimana saja, misalnya mulai sejak
seorang anak mengkonsumsi makanan dari luar dan apabila makanan atau
minuman yang dikonsumsi kurang bersih dapat terjadi infeksi Salmonella typhi.
Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus
lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat
dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar
atau menunjukkan gejala diare untuk beberapa hari. Makin cepat demam tifoid
dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam tahap dini akan sangat
menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup baik
dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat saja3.
1
1. Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Demam tifoid ialah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi4. Penyakit ini biasa disebut enteric fever, tifus, dan paratifus
abdominalis4. Demam tifoid menginfeksi saluran pencernaan dengan gejala demam
lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran
yang dihasilkan oleh organisme Salmonella tertentu.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid dan demam paratifoid merupakan salah satu penyakit endemik
di Indonesia. Jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis,
terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada
orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua
sumber penularan S. typhi : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering
carrier. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan
yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah
nonendemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus
mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun.
Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-
kuman S. typhi berada di dalam batu empedu atau dalam dinding kandung empedu
yang mengandung jaringan ikat, akibat radang menahun1.
3
termasuk paling tinggi di dunia, antara 100-1000 per 100 ribu penduduk setiap
tahunnya, sedangkan angka kematiannya berkisar 1 - 5 persen dari jumlah penderita.
Penyakit ini juga bisa menyerang siapa saja; dari bayi, balita, anak usia sekolah,
remaja, sampai dewasa. Tapi pada bayi, umumnya jarang, karena bayi mendapat
perlindungan dari ASI berupa zat kekebalan sIgA atau Imunoglobulin A sekretori.
Mayoritas atau sekitar 80 - 90 persen penderita adalah anak-anak usia 2 - 19 tahun.
Karena, anak belum menyadari pentingnya arti kebersihan perorangan atau higiene
dan sanitasi atau kebersihan lingkungan. Selain itu, anak juga biasanya hanya
menerima makanan (yang dianggap aman) dari orang tuanya dan sistem kekebalan
tubuhnya pun belum berkembang sempurna1,5.
2.3 ETIOLOGI
2.4 PATOFISIOLOGI
Infeksi bakteri Salmonella typhi dimulai ketika makanan atau minuman yang
telah tercemar masuk ke dalam saluran pencernaan. Banyaknya infeksi bakteri yang
diperlukan untuk menyebabkan penyakit demam tifoid adalah sekitar 105 – 109
organisme S. Typhi 5. Faktor-faktor lain yang dapat memudahkan infeksi dari bakteri
ini adalah kurangnya keasaman lambung (pada anak di bawah 1 tahun, pemakaian
obat antasida), serta kurangnya intergritas dari pencernaan ( pasien dengan
inflammatory bowel disease, pasien post operasi pencernaan, ataupun pasien dengan
berkurangnya flora normal dalam usus dikarenakan pemakaian antibiotik)6. Bakteri
akan melakukan perlekatan pada mukosa usus. Sesudah perlekatan bakteri akan
4
berkembang biak. Jika respon imunitas humoral mukosa (IgA) kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel dari usus (terutama pada sel-M) dan bakteri
akan masuk ke lamina propia serta akan melakukan multiplikasi di bagian ini. Pada
lamina propia sel makrofag akan bekerja dengan memfagosit bakteri ini. Namun
bakteri Salmonella inia dapat hidup dalam makrofag serta dapat melakukan
mutliplikasi di dalamnya. Makrofag akan membawa bakteri memasuki epitel usus,
melalui Payer Patch. Makrofag tidak mampu menghancurkan basili pada awal proses
penyakit, dan membawa bakteri ini ke dalam limfonodi mesenterika. Bakteri
kemudian mencapai aliran darah melalui duktus torasikus, menyebabkan bakteremia
sementara yang asimtomatik.
Bakteri yang sedang bersirkulasi akan menyebar ke dalam organ
retikuloendotelial terutama hati, limpa dan sumsum tulang serta dapat tumbuh pada
organ-organ lain. Sesudah proliferasi dalam sistem retikuloendotelial, bakteri akan
masuk ke sirkulasi darah untuk kedua kalinya yang di sertai dengan gejala-gejala
yang disebabkan oleh makrofag yang telah teraktivasi dan hiperaktif akan melakukan
fagositosis pada bakteri sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi.
Karena pelepasan mediator inflamasi ini terjadilah gejala-gejala inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, sakit kepala, sakit perut,instabilitas vaskular, gangguan
kesadaran serta koagulasi. Endotoksin dari bakteri yang sudah difagosit dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dan mengakibatkan komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya1.
2.5 GEJALA DAN TANDA KLINIS
Masa inkubasi demam tifoid adalah 7-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul pada minggu pertama biasanya adalah demam yang bersifat meningkat secara
perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari, ada pusing, nyeri otot, mual,
muntah, konstipasi atau diare, nyeri abdomen, batuk, dan epitaksis. Pada minggu
kedua, gejala demam tetap tinggi, bisa diikuti dengan bradikardi, adanya lidah kotor,
pembesaran hepar dan lien, serta gangguan neurologis4.
5
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah
Uji Widal
Uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien
yang disangka menderita demam tifoid dimana Uji Widal adalah suatu reaksi
aglutinasi antara antigen dan antibodi (agglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap
Salmonella terdapat dalam serum pasien demam tifoid, juga pada orang yang pernah
tertular Salmonella dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium Akibat infeksi oleh S. typhi, didalam tubuh
pasien terjadi reaksi antibodi (agglutinin), yaitu :
6
tidak meningkat. Uji Widal bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan serial tiap minggu
dengan kenaikan titer sebanyak 4 kali.
Kultur
Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah
bergantung pada beberapa faktor, antara lain 1. Pasien telah mendapatkan terapi
antibiotik; 2. Volume darah yang diambil kurang; 3. Riwayat vaksinasi demam tifoid;
4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, dimana agglutinin semakin
meningkat1.
2.7 DIAGNOSIS
7
iii. Bronkopnemonia
Pada stadium lanjut harus dibandingkan dengan :
i. Paratifoid
ii. Malaria
iii. TBC Milier
iv. Meningitis
Pada stadium toksik harus dibandingkan dengan :
i. Leukemia
ii. Limfoma
2.9 PENATALAKSANAAN
Trilogi penatalaksanaan yang dianut pada demam tifoid meliputi: 1. Istirahat
dan perawatan yang bertujuan mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan
sepenuhnya di tempat akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan dalam
perawatan pun perlu sekali di jaga kebersihan tempat, pakaian, dan perlengkapan
yang di pakai; 2. Diet dan terapi penunjang dimana proses penyembuhan penyakit
sangat di pengaruhi oleh diet pasien. Karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan dan gizi dari pasien sehingga proses penyembuhan menjadi lama. Terapi
penunjang sesuai dengan gejala diberikan untuk mengembalikan rasa nyaman pada
pasien; 3. Terapi antibiotic yang sesuai dapat mempercepat penyembuhan. Pada
pasien dengan demam dan bakteremia diberikan obat1,4 :
-Kloramfenikol: 50 - 100 mg/kg.bb/hari, 2-3 minggu per oral; Parenteral 25-50
mg/kg.bb/hari, sesuai kebutuhan
-Tiamfenikol: 50-100 kg.bb/hari, 2-3 minggu
-Ampisilin: 100 - 200 mg/kg.bb/hari, oral atau parenteral, 2-3 minggu
-Kotrimoksazol: bila terdapat dugaan resisten, TMP 6-10 mg dan SMZ 30-50
mg/kg.bb/hari, 2-3 minggu
-Sefalosporin generasi III – Seftriakson 100 mg/kg.bb/hari, iv, dibagi dalam 1 atau 2
dosis (maksimal 4 gram sehari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200
mgkkg.bb/hari dibagi dalam 3-4 dosis pada isolat yang rentan. Cefixime oral 10-15
8
mg/kg.bb/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternatif, terutama apabila
dijumpai jumlah leukosit < 2000/ul atau dijumpai resistensi terhadap S. typhi
2. 10 PROGNOSIS
2. 11 PENCEGAHAN
2.12 KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya timbul pada minggu ke-3 atau ke-4 dan terjadi pada ± 25%
kasus yang tidak mendapatkan pengobatan. Kematian sering mengikuti komplikasi
ini. Komplikasi tersebut antara lain1:
i. Gangguan metabolik
ii. Perdarahan saluran cerna
iii. Perforasi saluran cerna
iv. Abses otak
v. Meningitis
vi. Peritonitis
vii. Ensefalopati tifosa
viii. Osteomielitis
ix. Hepatitis tifosa
x. Pnemonia
xi. Endokarditis
xii. Abses pada berbagai organ
9
Komplikasi yang paling sering terjadi dan berbahaya adalah perdarahan dan perforasi
saluran cerna. Turunnya suhu tubuh secara drastis sering menjadi penanda terjadinya
komplikasi tersebut.
10
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas
Nama : KWA
Umur : 6 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Alamat : Ds. Nagasepeha
MRS : 30 Maret 2017 (Pukul 12.15)
11
Riwayat pengobatan :
Pasien dikatakan sempat berobat ke dokter dan mendapatkan obat penurun panas.
Nama obat dikatakan lupa oleh ibu pasien.
Riwayat nutrisi :
ASI : 0 – 1 ½ tahun
Susu Formula :(-)
Bubur Susu : 6 bulan – 11/2 tahun
Nasi Tim :( - )
Makanan Dewasa :1 1/2tahun - sekarang
Riwayat persalinan :
Penderita lahir cukup bulan, spontan, di dokter, langsung menangis. BBL : 2500
gram, PB : lupa. Tidak ada kelainan.
Riwayat Imunisasi
BCG : 1x
Polio : 3x
Hepatitis B : 4x
DPT : 3x
Hib : 3x
Campak : 1x
12
Tekanan Darah : 95/70 mmHg
BBS : 19 kg
Status General :
Kepala : Normocephali, UUB datar
Mata : anemis (-), ikterus (-), refleks pupil +/+ isokor, cowong -/-
THT
Lidah : Lidah kotor ( + ) tepi hiperemis
Telinga : Normal.
Hidung : Nafas Cuping Hidung (-), sianosis (-).
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Tonsil hiperemis (-).
Leher : Pembesaran kelenjar (-), Kaku Kuduk (-).
Thoraks
Cor : Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, kuat angkat (-), thrill
(-)
Auskultasi : S1 S2 tunggal regular murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-).
Palpasi : Taktil fremitus N/N, pergerakan simetris
Auskultasi : Vesikuler +/+ , Rales - /-, Wheezing -/-
Abdomen : Inspeksi : distensi (-) scar (-) turgor kulit kembali cepat
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar&lien tidak teraba, ginjal tidak teraba,
nyeri tekan(-)
Perkusi : timpani (-), ascites (-)
13
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks
WBC 8,72 103/μL 3,2 – 10,0
NEU% 68,9 % 48,0 - 73,0
Tes Widal :
Pemeriksaan Hasil Titer
Salmonella typhi – O Positif (+) 1/80
Salmonella typhi – H Positif (+) 1/160
Salmonella paratyphi - Positif (+) 1/80
AO
14
Salmonella Paratyphi – Negatif (-) -
AH
Salmonella Paratyphi – Positif (+) 1/80
BO
Salmonella Paratyphi - Positif (+) 1/80
BH
3.7 Penatalaksanaan :
Chloramphenicol 4 x 200 mg
Parasetamol Syr. 3 x 1 ½ cth
L-zinc 2 x cth I
Planning diagnosis : DL, Widal
15
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini didapatkan demam sejak 9 hari sebelum masuk rumah sakit
dan dirasakan panas lebih tinggi dibandingkan panas di pagi hari. Pasien sudah
diberikan obat penurun panas sebelum masuk rumah sakit namun tidak ada perubahan
pada demam pasien. Ketika masuk rumah sakit, pasien juga dikeluhkan mengalami
mencret. Pasien kadang-kadang juga mengalami sakit kepala. Namun, keluhan mual
dan muntah disangkal. Dari literatur,pasien dengan demam tifoid memiliki gejala
panas yang bersifat naik secara perlahan serta memliki suhu yang lebih tinggi pada
sore atau malam hari. Gejala-gejala pada pencernaan seperti diare ataupun konstipasi
dapat terjadi pada pasien dengan demam tifoid.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini, ditemukan badan lemas, serta lidah kotor.
Ketika diperiksa pasien dalam keadaan suhu yang normal. Pada pemeriksaan hepar
dan lien tidak ditemukan pembesaran. Pada pasien dengan demam tifoid,
pemeriksaan fisiknya dapat di temukan keadaan pasien yang tampak sakit, pucat,
lemas, iritabel, suhu badan yang tinggi, lidah kotor, distensi abdomen serta
pembesaran hepar dan lien.
16
pada pasien dengan demam tifoid didapatkan hasil pemeriksaan darah dengan
leukopenia, anemia ringan, trombositopenia serta laju endap darah yang meningkat.
Pada pemeriksaan widal didapatkan hasil positif dengan nilai yang bermakna.
17
DAFTAR PUSTAKA
5. Bhutta ZA. Salmonella. In: Kliegman R, Stanton B, Schor N, St. Geme III J,
Behrman RE, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. philadephia:
Elsevier; 2011. p. 948–58.
6. Pegues DA, Miller SI. Salmonellosis. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,
Braunwald E, HAUSER SL, JAMESON JL, et al., editors. Harrison’s
Infectious Disease. New York: McGraw-Hill Companies; 2010. p. pp.521-526.
18