Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM V

(PRINSIP – PRINSIP ASWAJA)


Dosen Pengampu : Dr. H.M. Ilyas Thohari, M.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok I
1. Wiwit Nur Hidayah (21501031037)
2. Tri Handayani (21501031056)
3. Lukman Nul Hakim (21501031062)

PRODI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufik serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah Prinsip-
prinsip Aswaja, guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam V. Shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW serta
Keluarga, Sahabat dan para penerus risalahnya. Ucapan terima kasih kepada dosen
mata kuliah Agama Islam V serta segala pihak yang telah membantu kami dalam
pembuatan makalah ini.
Tak ada satu agama pun yang berkembang di muka bumi ini yang dalam
sejarahnya tak terbelah. Islam, walaupun suatu agama samawi tak luput dari takdir ini.
Kristen terbelah menjadi Katolikisme dan Protestanisme, Hindu terbelah menjadi
Waishnawa dan Syaiwa, Budhisme terbelah menjadi Mahayana dan Hinayana, dan
Islam terbelah menjadi Sunni dan Syi’ah. Hadits riwayat Abu Hurairah rodhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Rosululloh sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Hari kiamat tidak
akan terjadi kecuali setelah dua golongan besar saling berperang sehingga pecahlah
peperangan hebat antara keduanya padahal dakwah mereka adalah satu. (Shahih
Muslim No.5142).
Makalah ini masih banyak terdapat kekurangan sehingga masih membutuhkan
kritik dan saran. Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan bagi siapa saja
yang membacanya.

Malang, 29 September 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Metode

II. ISI
2.1 Prinsip – Prinsip Aswaja
2.2 Nilai Tawassuth dalam Al – Qur’an dan Al – Hadits
2.3 Nilai Keadilan dalam Al – Qur’an dan Al – Hadits
2.4 Nilai Tawazun dalam Al – Qur’an dan Al – Hadits
2.5 Nilai Toleransi dalam Al – Qur’an dan Al – Hadits
2.6 Implementasi Prinsip Aswaja dalam Kehidupan Sehari – hari

III. KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara sederhana dalam perspektif teks, ASWAJA diterjemahkan sebagai


sekelompok golongan yang mengikuti, meyakini, dan mengamalkan sikap,
perbuatan, dan perkataan yang dijalankan oleh Rasul, Sahabatnya dan para pengikut
sahabatnya dimana pun berada, kapanpun dan siapapun (4 Ulama madzab,
salafussholikh, dan lain – lain). ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan
nabi “Ma Ana ‘Alaihi wa Ashabi” seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh
SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Abu Dawud bahwa :”Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku
akan terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu
golongan”. Kemudian para sahabat bertanya ; “Siapakah mereka itu wahai
rasululloh?”, lalu Rosululloh menjawab : “Mereka itu adalah Maa Ana ‘Alaihi wa
Ashabi” yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga
dilakukan oleh para sahabatku. (Al – Baghdady, Al – farqu Bainal firaq,hlm 7)

Prinsip yang dikembangkan ASWAJA adalah prinsip moderat (tengah –


tengah), Wasathon, mempertimbangkan teks dan konteks, prinsip seperti itu
sebenarnya telah ada dalam pesan risalah nubuwwah Muhammad SAW, baik dalam
Al – Qur’an maupun al – hadits. Dalam prinsip dan sikap seperti ini ASWAJA selalu
menjadi solusi alternatif dalam setiap persoalan perdebatan yang bersifat dhonni
(masih butuh penafsiran), dengan mengedepankan pendapat yang paling benar,
paling bermanfaat, dan menghilangkan kemadlaratan (usulul fiqh). Tokoh perintis
paham ASWAJA, Abu hasan al – Basri (wafat:110 H/728 M), Abu Hasan Al –
Asy’ari (wafat : 324 H/935 M), dan Abu Mansur al – Maturidzi (wafat : 331 H/944
M), dan banyak ulama sunni lainnya.

Beberapa konsep dari pemahaman aswaja disini, yaitu tawasuth, tasamuh,


tawazun dan amal ma’ruf nahi munkar. Yang dimaksud tawasuth (moderat) adalah
sebuah sikap keberagaman yang tidak terjebak terhadap hal – hal yang sifatnya
ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima
kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang) merupakan sebuah
keseimbangan sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang sedia
memperhitungkan berbagai sudut pandang dan kemudian mengambil posisi yang
seimbang dan proposional. Dan amar ma’ruf nahi munkar yaitu mengajak kepada
kebaikan dan mencegah kemunkaran. (Muchtar, 2007: 51 – 52)
Untuk lebih memahami tentang prinsip – prinsip ASWAJA dan
pengimplemetasiannya dalam kehidupan sehari- hari, maka disusun makalah tentang
prinsip – prinsip Aswaja ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja prinsip – prinsip ASWAJA?
2. Bagaimana nilai tawasuth, nilai keadilan, nilai tawazun, dan nilai toleransi dalam
Al – Qur’an dan Al – Hadits?
3. Bagaimana pengimplementasian prinsip – prinsip Aswaja dalam kehidupan
sehari – hari?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui prinsip – prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah.
2. Untuk mengetahui nilai tawasuth, nilai keadilan, nilai tawazun, dan nilai toleransi
dalam Al – Qur’an dan al – Hadits.
3. Agar mengetahui dan memahami pengimpementasian prinsip- prinsip Aswaja
dalam kehidupan sehari – hari.

1.4 Metode Penulisan


Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan kajian pustaka, yaitu dengan
mengumpulkan beberapa literatur yang berhubungan dengan pokok bahasan.
BAB II
ISI

2.1 Prinsip – Prinsip Aswaja


Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki prinsip – prinsip dasar yang menjadi rujukan
bagi tingkah laku sosial dan pemahaman keagamaan warga NU. Prinsip dasar
Ahlussunnah wal Jama’ah yang bersumber kepada Al– Qur’an, hadits/ sunnah, ijma’
dan Qiyas ini telah menjadi paradigma sosial kemasyarakatan warga Nu yang terus
dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat Islam dan
pemikirannya. Di Indonesia penyebaran Aswaja dikembangkan oleh NU dan memiliki
lima prinsip dasar yaitu:
1. Prinsip At – tawassuth
Tawasuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau
ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen
menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu
berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman
Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al – Baqarah :143)

2. Tawazun (Berimbang)
Tawazun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan
menyinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan – pertimbangan untuk
mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan. Dalam konteks pemikiran dan amaliah
keagamaan prinsip tawazun menghindari sikap ekstrem (tatharuf)yang serba kanan
sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrem yang serba kiri
yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawazun ini
didasarkan pada firman Allah : Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul – rasul Kami
dengan membawa bukti – bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka
Al – kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS.
Alhadid :25)
3. Ta’adul (Netral dan Adil)

Ta’adul adalah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi, dan
menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara
(tamatsul). Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-
masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan dan kesetaraan, hal itu hanya
berlaku ketika realitas individu benar – benar sama dan setara secara persis dalam
segala sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafadlul (keunggulan), maka keadilan
menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlil). Penyetaraan antara dua hal yang jelas
tafadlul, adalah tindakan aniaya yang bertentangan dengan asas keadilan itu sendiri.
Sikap ta’adul ini berdasarkan firman Allah : Hai orang – orang yang beriman,
hendaklah kamu jadi orang- orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih
dekat kepada takwa. (QS. Al- Maidah:8)

4. Tasamuh (toleran)
Tasamuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan
perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial
kemasyarakatan , suku, bangsa, agama, tradisi – budaya dan lain sebagainya. Toleransi
dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti
mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga
bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang hak dan benar,
yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang
hak dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang hak. Dalam kaitannya
dengan toleransi agama, Allah SWT berfirman : Untukmulah agamamu, dan
untukkulah agamaku. (QS. Al – Kafirun:6). Barang mencari agama selain agama Islam,
maka sekali – kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat
termasuk orang –orang yang rugi. (QS.Ali Imran:85)
Toleransi dalam konteks tradisi – budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia
menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam
pandangan ASWAJa, tradisi budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan
syari’at, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai –
nilai keislaman.

Dengan demikian, tasamuh (toleransi), berarti sebuah sikap untuk menciptakan


keharmonisan kehidupan sebagai sesama umat manusia. Sebuah sikap membangun
kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan
peradaban manusia yang madani. (Santoso Kristeva, Nur Sayid, 2014:214 -216)

Prinsip ASWAJA dalam Bidang Sosial Politik.

Berbeda dengan golongan syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan
berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah Wal Jama’ah dan golongan sunni umumnya
memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan Syi’ah
tersebut juga berbeda dengan pandangan khawarij yang membolehkan komunitas
berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi
Ahlussunnah Wal Jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan
manusia untuk menciptakan dan menjaga kemaslahatan bersama (maslahah
musytarakah).
Ahlussunnah wal jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku.
Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara
modern / demokrasi, asal mampu memenuhi syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh
suatu negara. Syarat – syarat itu adalah:
a. Prinsip Syura (Musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan
setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan
musyawarah adalah sebagai berikut: “Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu
itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan
lebih kekal bagi orang – orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,mereka
bertawakal. Dan (bagi) orang – orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-
perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-
orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka, dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi)
orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.
(QS. Al- Syura, 42:36 -39)

b. Prinsip Al- Adl (Keadilan)


Keadilan adalah salah satu perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al- Qur’an.
Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk
pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha
melihat”. (QS. An – Nisa,4 :58)

c. Prinsip Al – Hurriyah (Kebebasan)


Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan
tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip
kebebasan manusia dalam syari’ah dikenal dengan Al – Ushulul – Khams (Prinsip yang
lima), yaitu :
1.Hifzu al – Nafs (menjaga jiwa) adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk
menjamin kehidupan setiap warga negara, bahwa setiap warga negara berhak dan bebas
untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
2. Hifzu al- Din (menjaga agama) adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk
menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan
Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau
kepercayaan kepada warga negara.

3. Hifzu al – Mal (Menjaga harta benda) adalah kewajiban setiap kepemimpinan


untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara
wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan
martabat rakyat sebagai manusia.

4. Hifzhu al – Nasl bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul,


identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya
(etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu
al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah
negaranya.

5. Hifzhu al – Irdh: jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan


ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga
negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan
memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.

5 Pokok atau prinsip diatas menjadi ukuran baku bagi legitimasi kepemerintahan
sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin.

d. Prinsip Al – Musawah (Kesetaraan Derajat)


Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan
mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu
manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda
adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu
manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al
– Hujurat disebutkan: “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa
dan bersuku – suku supaya kamu saling kenal – mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantarakamu disisi Allah adalah yang paling taqwa diantara kamu,
sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”. (QS. Al-Hujuraat, 49:
13)

Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat
dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang
Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah. Untuk
tiap – tiap umat diantara kamu, kamu berikan aturan dan jalan yang terang.sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian – Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan- Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Al- Maidah,
5:48)

Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang
menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara.
Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan
menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya
di mata hukum.Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar
manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial,
kelas ekonomi dan jabatan politik.

Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi
Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana
pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk
mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin
agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi
4 (empat) kriteria di atas. (Santoso Kristeva, Nur Sayid, 2014:236 - 239)
2.2 Nilai Tawasuth dalam Al-Qur’an dan Al- Hadits
at –tawasuth atau sikap tengah tengah, sedang – sedang, tidak ekstrim kiri ataupun
kanan, ini disarikan dari firman Allah SWT.

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa
amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah
tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia”. (QS. Al-Baqarah :143)
Sikap moderasi ASWAJA tercermin pada metode pengambilan hukum
(istinbath) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan
posisi akal. Begitu pula dalam wacana berfikir selalu menjembatani antara wahyu
dengan rasio (Al-ra’y). Metode (manhaj) seperti inilah yang diimlementasikan oleh
imam mazhab empat serta generasi lapis berikutnya dalam menelorkan hukum-hukum
pranata sosial/fikih.(KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah wal jama’ah dalam lintas
Sejarah,op.cit.,hlm 20). Moderasi adalah suatu ciri yang menengahi antara dua pikiran
yang ekstrim antara Qodariyah dan Jabariyah, ortodoks salaf dan rasionalisme
mu’tazilah, dan antara sufisme falsafi dan sufisme salafi.
Penerapan sikap dasar tawassuth dalam usaha pemahaman al-Qur’an dan al-
Hadits sebagai sumber ajaran Islam, dilakukan dalam rangka: (1) Memahami ajaran
Islam melalui teks mushhaf al-Qur’an dan kitab al-Hadits sebagai dokumen tertulis; (2)
Memahami ajaran Islam melalui interpretasi para ahli yang harus sepantasnya
diperhitungkan, mulai dari sahabat, tabi’in sampai para imam dan ulama mu’tabar; (3)
Mempersilahkan mereka yang memiliki persyaratan cukup untuk mengambil
kesimpulan pendapat sendiri langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits.

2.2 Nilai Keadilan dalam Al-Qur’an dan Al- Hadits


Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan pola integral dari
tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Keadilan inilah yang merupakan ajaran universal
aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini.
Pemaknaan keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan sosial. Yaitu nilai
kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan,
dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu
mewujudkannya dalam masyarakat madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah
meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung. Berikut ini adalah salah satu
ayat yang memerintahkan keadilan.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha
melihat”. (QS. An – Nisa,4 :58)
Dari ayat tersebut di atas sekurangnya dapat di tarik tiga garis hukum yaitu:
a. Menegakkan keadilan adalah kewajiban orang-orang yang beriman
b. Setiap mukmin apabila menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena Allah
dengan sejujur-jujurnya dan adil
c. Manusia dilarang mengikuti hawa nafsu dan manusia dilarang menyelewengkan
kebenaran.

Adapun orang-orang yang adil yang mengurus urusan orang-orang muslim dan
menunaikan hak-haknya, maka mereka kelak akan mendapatkan derajat yang tinggi
dan kegembiraan yang besar. Mereka akan berada di menara-menara cahaya di sisi
kanan Rabb ar-Rahmān. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh „Abdullah bin
„Amr bin al-, Ash ra. (Yusuf Abdullah, 1992:58)

“Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah akan berada di atas menara-menara
cahaya di sebelah kanan Rabb yang Rahmān, dan kedua tangan-Nya di sebelah kanan
orang-orang yang adil di dalam menetapkan hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam
kepemimpinannya. Sedangkan dalam suatu riwayat ditambahkan; “Nabi Muhammad
bersabda: dan
keduanya adalah tangan kanan (kebaikan)”. (Bairūt:Dārul Hadīts, 1889: h. 235).
Hadits di atas menerangkan bahwa Nabi menjamin orang-orang yang berbuat adil akan
berada di sisi Allah. Nabi pun menerangkan bahwa orang-orang yang berbuat adil yang
dijamin adalah mereka yang selalu menegakkan keadilan dengan mengunakan term al-
qisth. Dalam Q.S. An-Nisā‟ [04]:03 Allah juga menggunkan kata al-qisth untuk
menerangkan keadilan seorang wali terhadap anak yatim yang berada dibawah
tanggungannya. Dari ayat-ayat al-Qur‟an dan hadīts di atas, diketahui bahwa
keadilan disebut dengan menggunakan term al-qisth dan seluruh ungkapannya
bermakna adil. Dan di dalam al-Qur’an juga telah jelas sekali bahwa Allah sangat
mencintai orang-orang yang berbuat adil dengan sebutan muqsithīn dan bukan
dengan lafaz‟ādilīn. Ini mengindikasikan bahwa derajat lafaz qisth lebih tinggi dari
pada lafaz ‟adl.

2.3 Nilai Tawazun dalam Al-Qur’an dan Al- Hadits


Tawazun merupakan sikap seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam
penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli
(bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT :

“Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran
yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang
keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. (QS al-Hadid: 25)
(Departemen Agama RI. 2007. 541).
Tawazun berarti keseimbangan dalam bergaul dan berhubungan, baik yang
bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun
antara manusia dengan alam. Keseimbangan di sini dalam bentuk hubungan yang tidak
berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain). Tetapi,
masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa
mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya
kehidupan yang damai.
Selain itu sikap tawazun juga dibuktikan dengan keseimbangan dalam
berkhidmat kepada Allah SWT, berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada
lingkungan. Serta keselarasan antara masa lalu, masa kini dan masa depan.

2.4 Nilai Toleransi dalam Al-Qur’an dan Al- Hadits


Golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau
toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki
prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan
keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata toleransi berarti sifat atau sikap toleran
(KBBI, 1991:1065). Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai “bersifat atau bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri (KBBI, 1991:1065).
Firman Allah SWT dalam QS. Thaha: 44:

“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya
(Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut”.
(Departemen Agama RI. 2010. 314).
Kata ‘toleransi’ yang dalam bahasa Arabnya, al-tasảmuh, tidak ditemukan secara
eksplisit. Bila yang dimaksud adalah toleransi dari istilah al-tasảmuh, maka memang
tidak ditemukan di dalam Alquran. Bila yang dimaksud dengan toleransi adalah sikap
saling menghargai, menghormati keragaman budaya dan perbedaan kebebasan
berekspresi, termasuk dalam berkeyakinan, maka Alquran secara nyata memberikan
perhatian nyata terhadap toleransi. Hal tersebut dapat ditemukan dalam ratusan ayat
yang secara gamblang mendorong toleransi dan menolak intoleransi.
Dalam hadis Rasulullah saw. ternyata cukup banyak ditemukan hadis-hadis yang
memberikan perhatian secara verbal tentang toleransi sebagai karakter ajaran inti
Islam. Hal ini tentu menjadi pendorong yang kuat untuk menelusuri ajaran toleransi
dalam Alquran, sebab apa yang disampaikan dalam hadis merupakan manifestasi dari
apa yang disampaikan dalam Alquran.
Di dalam salah satu hadis Rasulullah saw., beliau bersabda :

‫ع ْن ِع ْك ِر َمةَ اب ِْن‬ َ ‫صي ِْن‬ َ ‫َع ِن َحدَّث َ ِنا عبد هللا حدثنى أبى حدثنى َي ِزيد ُ قَا َل أنا ُم َح َّمد ُ ْبنُ ِإ ْس َحاقَ َع ْن دَ ُاودَ ب ِْن ْال ُح‬
.ُ‫َّللاِ قَا َل ا ْل َحنِي ِفيَّةُ الس َّْم َحة‬
َّ ‫ان أ َ َحبُّ ِإلَى‬
ِ ‫ي اْألَدْ َي‬
ُّ َ ‫سلَّ َم أ‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َّاس قَا َل قِي َل ِل َر‬
َّ ‫سو ِل‬
َ ِ‫َّللا‬ ٍ ‫َعب‬
Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah
menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad
bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata;
Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh
Allah?" maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)"
Tasamuh adalah toleran, tepa selira. Sebuah landasan dan bingkai yang
menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai
yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khusunya
dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran
akan pluralisme atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa perpecahan.
Dalam kehdupan beragam, Tasamuh direalisasikan dalam bentuk meghormati
keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain dan tidak memaksa meraka untuk
mengkikuti keyakinan dan kepercayaan kita.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Tasamuh terwujud dalam perbuatan-perbuatan
demokratis yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan
bersama, dan setiap usaha bersama itu ditujukan untuk menciptakan stabilitas
masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai, dan hormat
menghormati. Toleran di dalam perbedaan pendapat keagamaan dan dalam urusan
kemasyarakatan dan kebudayaan.
Diberbagai wilayah, Tasamuh juga hadir sebagai usaha mejadikan perbedaaan
Agama, Negara, Ras, Suku, Adat istiadat, dan bahasa sebagai perangkat dinamisasi
usaha perubahan mejadikan masyarakat menjadi lebih baik. Perbedaan itu berhasil
dieratkan oleh sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkadilan,
keanekaragaman, saling melengkapi Unity in Diservity.
2.6 Implementasi Prinsip Ajaran Ahlusunnah Waljama’ah dalam Kehidupan
Sehari-hari
Manifesto prinsip dan karakter ini tampak pada segala bidang ajaran agama islam,
dan harus dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan sebaik – baiknya agar
keberadaannya jelas dan tak mudah terpenggaruh dan tergeserkan oleh aliran-aliran
lain.
Menurut KH Achmad Shiddiq (2004) beberapa hal yang digunakan sebagai
pembuktian manifesto prinsip tersebut adalah :
1. Pada bidang Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli. Dengan pengertian
dalil aqli ditempatkan dibawah dalil naqli.
b. Berusaha Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2. Pada Bidang Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as
(sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil
yang multi-interpretatif (zhanni) selama msih tidak bertentangan dengan prinsip
agama.
3. Pada Bidang Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran
Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani
(antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan
rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pada Bidang Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan
unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Pada bidang Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena
merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat,
selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya
dengan cara yang baik.
6. Pada Bidang Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur
dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari
manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang
masih relevan (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7. Pada Bidang Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi
mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas,
disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil uraian dari makalah di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ada beberapa ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan
Ahlussunnah Wal Jamaah yang lebih luas dan selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW
dan para sahabatnya.
a. Tawasuth : Sikap tengah-tengah atau menempatkan diri antara dua kutub dalam
berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari
keterlanjuran kekanan dan kekiri secara berlebihan.
b. I’tidal : Adil, tidak berat sebelah dan tidak berpihak kepada salah satu kecuali
keberpihakannya kepada siapa saja yang benar sehingga ia tidak akan berlaku
sewenang-wenang.
c. Tawazun : Seimbang dalam segala hal, tidak berlebihan suatu unsur atau
kekurangan unsur lain termasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang
bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an
dan Hadits), seimbang dalam bergaul dan berhubungan, baik yang bersifat antar
individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara
manusia dengan alam
d. Tasamuh : Toleransi dan menghargai perbedaan serta menghormati orang yang
memiliki prinsip hidup yang tidak sama.
2. Beberapa hal yang menjadi pembuktian manifesto prinsip aswaja adalah dalam
bidang Akidah, Syariah, Akhlak, pergaulan antar golongan, kehidupan bernegara,
kebudayaan, dan dakwah.

3.2 Saran
Hendaknya sebagai muslim yang beriman selalu mengikuti apa yang diajarkan
oleh Rasullulah dan tidak mengubah apa yang pernah diajarkannya, karena itu akan
mengakibatkan pertikaian antar golongan.
Daftar Rujukan

Depag RI. Al- Qur’an dan Terjemahanya Al – Hikmah. (Bandung : Diponegoro 2007).

Muchtar. Masyhudi. Aswaja An- Nahdliah, ajaran Ahlussunah wal jama’ah yang
berlaku di lingkungan Nahdlatul Ulama. (Surabaya: Khalista. Cet.I. Maret 2017).

Santoso Kristeva, Nur Sayyid.Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah
wal Jama’ah. 2014 .Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siddiq, Achmad. 2005. Khittah Nahdliyah. Jombang: Khalista.

Tim Pelaksana Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. 2014. Mushaf Al-Azzam. Jakarta: PT.
Alribh Murtadho Jaya.

Anda mungkin juga menyukai