Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri kepala atau cephalgia adalah nyeri yang dirasakan di daerah kepala
atau merupakan suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala.
Nyeri kepala merupakan salah satu gangguan sistem saraf yang paling umum
dialami oleh masyarakat. Telah dilakukan penelitian sebelumnya dalam 1 tahun,
90% dari populasi dunia mengalami paling sedikit 1 kali nyeri kepala. Menurut
WHO dalam banyak kasus nyeri kepala dirasakan berulang kali oleh penderitanya
sepanjang hidupnya.

Berdasarkan penyebabnya digolongkan nyeri kepala primer dan nyeri kepala


sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak jelas kelainan
anatomi atau kelainan struktur. Nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang
jelas terdapat kelainan anatomi maupun kelainan struktur dan bersifat kronis
progresif, antara lain meliputi kelainan non vaskuler.

Nyeri kepala merupakan masalah umum yang sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari. Nyeri kepala yang sering timbul dimasyarakat adalah nyeri kepala tanpa
kelainan organik, dengan kata lain adalah nyeri kepala yang disebabkan oleh faktor
psikis. Sebagian besar orang pernah mengalami nyeri kepala (sefalgia) pada
sepanjang hidupnya, terbukti dari hasil penelitian population base di Singapore.
Prevalensi life time nyeri kepala penduduk Singapore adalah pria 80%, wanita 85%.

Walaupun nyeri kepala dapat ditangani pada praktik umum, namun dokter
sering sulit menentukan diagnosis dan klasifikasi nyeri kepala. Dokter serta pasien
cenderung mencemaskan penyebab serius seperti tumor otak.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CEPHALGIA

Cephalgia atau nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan di
seluruh daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke belakang kepala.
Berdasarkan penyebabnyadigolongkan nyeri kepala primer dan nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak jelas kelainan
anatomi atau kelainan struktur, yaitu migrain, nyeri kepala tipe tegang, nyeri kepala
klaster dan nyeri kepala primer lainnya. Nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala
yang jelas terdapat kelainan anatomi maupun kelainan struktur dan bersifat kronis
progresif, antara lain meliputi kelainan non vaskuler

2.2 Klasifikasi Cephalgia

Berdasarkan International Headache Society (IHS) edisi ke 2, nyeri kepala


diklasifikasikan atas :

1. Nyeri kepala primer


a. Migren
Definisi
Migren merupakan nyeri kepala akibat gangguan pembuluh darah
yangbiasanya bersifat unilateral dan seringkali memiliki kualitas
berdenyut. Seringkaliberasosiasi dengan mual, muntah, fotofobia,
fonofobia.
Klasifikasi Migren
 Migren tanpa aura
 Migren dengan aura
 Sindrom periode kanak–kanak yang biasanya prekursor migren
 Migren retinal
 Komplikasi dari migren

2
 Migren probable
Factor pemicu

1. Perubahan hormon estrogenHormon estrogen yang banyak terdapat pada


wanita dapat memicu migren.Khususnya pada saat jumlah estogen sedang
tidak stabil, misalnya pada saatsebelum dan selama masa haid, selama
masa kehamilan, penggunaan alatkontrasepsi atau jika sedang menjalani
terapi hormon.
2. Stimulasi indra tubuhCahaya yang terlalu terang, suara yang terlalu
keras,atau bau tertentu yang sangatmenyengat seperti bau parfum dan asap
rokok dapat menjadi pemicu.
3. Perubahan cuacaPerubahan cuaca yang ekstrem atau tidak menentu serta
perubahan tekanan udaradapat menjadi pemicu migren.
4. Jadwal tidur yang tidak biasaJika pola tidur Anda tidak seperti biasanya.
Misalnya, jangka waktu tidur yangsebentar bahkan tidur terlalu lama bisa
membuat Anda mengalami migren. JikaAnda baru berpergian,
5. KelelahanBerolahraga atau melakukan aktivitas fisik yang lebih berat dari
biasanya dapatmemperbesar kemungkinan terkena migren.6.
6. Makanan dan MinumanKandungan yang terdapat pada makanan dan minuman dapat
menjadi pemicu.Minuman beralkohol seperti bir.
Gejala klinis
Serangan timbul secara tiba tiba dan biasanya unilateral,
paroksismal dan rekuren. Nyeri kepala dirasakan sebagai nyeri kepala
yang berdenyut, menusuk nusuk, rasa kepala mau pecah.
Gejala prodrom atau aura yang dapat terjadi bersamaan atau mendahului
serangan migren seperti fenomena fisual positif, fenomena visual negative,
anoreksia mual muntah, fotofobia.

b. Tension-type headache (TTH)


Definisi
Adalah nyeri kepala yang timbul karena kontraksi terus menerus otot
otot kepala dan tengkuk (m.spleniuskapitis, m.temporalis, m.maseter,

3
m.sternokledomastoideus, m.trapezius, m.servikaslis posterior dan
m.levator scapulae)
Klasifikasi TTH
 TTH episode jarang
 TTH episode sering
 TTH tipe kronis
 TTH tipe probable
Gejala klinis
nyeri kepala dirasakan seperti kepala berat, pegal, seperti diikay tali
yang melingkari kepala, kencang dan menekan. Kadang kadang disertai
nyeri kepala yang berdenyut. Dapat disertai gejala mual kadang kadang
muntah, vertigo, lesu, sulit tidur.

c. Nyeri kepala kluster dan cephalgia autonom trigeminal lain


Definisi
Nyeri kepala tipe klaster adalah jenis nyeri kepala yang berat,
unilateral yang timbul dalam serangan-serangan mendadak, sering disertai
dengan rasa hidung tersumbat, rinore, lakrimasi dan injeksi konjungtiva di
sisi nyeri. Dalam klinik dikenaldua tipe yaitu tipe episodik orang yang
menderita tipe ini mengalami masa serangan nyeri selama waktu tertentu
(periode klaster), kemudian diseling dengan masa bebas nyeri (remisi) yang
lamanya bervariasi; sedangkan tipe khronik ialah bilaserangan-serangan
nyeri tersebut masih tetap timbul selama sedikitnya 12 bulan.
Klasifikasi nyeri kluster
 Nyeri kepala kluster
 Hemicrania paroksismal
 Serangan nyeri kepala neuralgiform unilateral jangka waktu singkat
dengan injeksi konjungtiva dan tearing
 Cephalgia autonom trigeminal probable

d. Nyeri kepala primer lainnya

4
 Nyeri kepala primer menusuk
 Nyeri kepala primer dengan batuk
 Nyeri kepala primer dengan aktivitas
 Nyeri kepala primer berhubungan dengan aktivitas seksual
 Nyeri kepala hypnic
 Nyeri kepala primer sambaran petir
 Hemicrania continua
 New daily-persistent headache (NDPH)

2. Nyeri kepala sekunder


a. Nyeri kepala berkaitan dengan trauma kepala dan/atau leher
 Nyeri kepala post-trauma akut
 Nyeri kepala post-trauma kronis
 Nyeri kepala akut berkaitan dengan cedera whiplash
 Nyeri kepala kronis berkaitan dengan cedera whiplash
b. Nyeri kepala berkaitan dengan gangguan vaskular kranial atau servikal
 Nyeri kepala berkaitan dengan perdarahan sub-arachnoid
 Nyeri kepala berkaitan dengan giant cell arteritis
c. Nyeri kepala berkaitan dengan gangguan non-vaskular intrakranial
 Nyeri kepala berkaitan dengan hipertensi intrakranial idiopatik
 Nyeri kepala post pungsi duramater
 Nyeri kepala berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial atau
hidrosephalus yang disebabkan oleh neoplasma
 Nyeri kepala berkaitan langsung dengan neoplasma
 Nyeri kepala post-kejang
d. Nyeri kepala berkaitan dengan penggunaan zat atau putus zat
 Nyeri kepala yang diinduksi karbon monoksida
 Medication-overuse headache (MOH)
 Nyeri kepala karena putus estrogen
e. Nyeri kepala berkaitan dengan infeksi

5
 Nyeri kepala berkaitan dengan infeksi intrakranial
 Nyeri kepala berkaitan dengan meningitis bakterial
 Nyeri kepala kronis post meningitis bakterial
f. Nyeri kepala berkaitan dengan gangguna homeostasis
g. Nyeri kepala atau nyeri wajah berkaitan dengan gangguan cranium, leher,
mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau struktur kranial lainnya
 Nyeri kepala berkaitan dengan gangguan leher
 Nyeri kepala cervicogenic
h. Nyeri kepala berkaitan dengan gangguna psikiatri
 Nyeri kepala berkaitan dengan gangguan somatisasi
 Nyeri kepala berkaitan dengan gangguan psikotik
i. Neuralgia kranial dan penyebab sentral dari nyeri wajah
 Neuralgia trigeminal
 Neuralgia oksipital
 Post herpetic neuralgia
 Migren opthalmoplegik
j. Nyeri kepala lain, neuralgia kranial, nyeri wajah primer atau sentral
 Nyeri kepala yang tidak diklasifikasikan di manapun
 Nyeri kepala yang tidak terspesifik

2.3 Etiologi Cephalgia


Beberapa mekanisme umum yang tampaknya bertanggungjawab memicu
nyeri kepala adalah sebagai berikut :
1. Peregangan atau pergeseran pembuluh darah (intrakranial atau ektrakranial)
2. Traksi pembuluh darah (arteri Sirkulus Willisi, sinus venosus dan vena-vena
yang mensuplai sinus tersebut, arteri meningea media)
3. Kontraksi otot kepala dan leher (kerja berlebihan otot)
4. Peregangan periosteum (nyeri lokal)
5. Degenerasi spina servikalis atas disertai kompresi pada akar nervus servikalis
6. Peningkatan TIK (bertambahnya volume otak dan obstruksi)

6
7. Tekanan langsung pada saraf-saraf yang mengandung serabut untuk rasa nyeri

2.4 Diagnosis Cephalgia


Diagnosis nyeri kepala (cephalgia) dapat ditegakkan melalui anamesis,
pemeriksaan fisik neurologi dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
a. Lamanya menderita nyeri kepala (akut atau kronik)
b. Frekuensi nyeri kepala
c. Lamanya serangan nyeri kepala
d. Lokasi nyeri kepala
e. Kualitas dan kuantitas nyeri kepala
f. Waktu timbulnya nyeri kepala (pagi, siang dan malam)
g. Gejala yang mendahuluinya
h. Faktor pencetus nyeri kepala
i. Gejala yang menyertainya
j. Faktor yang memperberat dan memperingan nyeri kepala
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan mata : pemeriksaan visus dan lapangan pandang, pergerakan
bola mata, ukuran pupil, reaksi terhadap cahaya
b. Pemeriksaan funduskopi
c. Pemeriksaan nervus kranialis lainnya
d. Pemeriksaan sensibilitas : suhu, nyeri, raba
e. Pemeriksaan motorik : kekuatan, tahanan, refleks fisiologis, refleks
patologis
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
b. EEG (Electroenchepalography)
c. Pemeriksaan radiologi (rontgen, arteriografi, CT Scan)

7
2.5 Penatalaksanaan Cephalgia
Pembinaan hubungan empati awal yang hangat antara dokter dan pasien
merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk keberhasilan pengobatan.
Saat nyeri timbul dapat diberikan beberapa obat untuk menghentikan atau
mengurangi sakit yang dirasakan saat serangan muncul. Penghilang sakit yang
sering digunakan adalah acetaminophen dan NSAID seperti aspirin, ibuprofen,
naproxen, dan ketoprofen. Acetaminophen efektif untuk sakit kepala sedang sampai
berat dalam dosis tinggi. Efek samping acetaminophen lebih jarang ditemukan,
tetapi penggunaan dalam dosis besar untuk waktu yang lama bisa menyebabkan
kerusakan hati yang berat. NSAID efektif dalam dosis yang lebih rendah. Efek
samping yang ditemukan antara lain mual, diare atau konstipasi,sakit perut,
perdarahan dan ulkus. Pengobatan kombinasi antara acetaminophen atau aspirin
dengan kafein atau obat sedatif biasa digunakan bersamaan. Cara ini lebih efektif
untuk menghilangkan sakitnya, tetapi jangan digunakan lebih dari 2 hari dalam
seminggu dan penggunaannya harus diawasi oleh dokter.

Penggunaan self manipulation pada penanggulangan nyeri kepala misalnya


penekanan pada daerah yang sakit, kompres dingin, pijat, serta kompres panas,
dapat mengurangi nyeri secara sementara sekitar 8% saja. Penanganan nyeri juga
dapat melalui biofeedback, terdiri dari EMG (elektromiografi), temperature
measuring sensors, heart rate monitor.

2.6 Prognosa Cephalgia


Prognosa sakit kepala bergantung dari jenis sakit kepala, namun karena
nyeri kepala jarang terjadi karena ada kelainan structural maka prognosa adalah
baik.

2.7 Vertigo
Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau lingkungan
sekitarnya. Vertigo diartikan juga sebagai sensasi abnormal berupa gerakan
berputar.

8
Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan igo
yang berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari “dizziness” yang secara
defenitif merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah perasaan atau
sensasi tubuh yang berputar. Vertigo juga dirasakan sebagai suatu perpindahan
linear ataupun miring, tetapi gejala seperti ini lebih jarang dirasakan.

Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau
lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul, terutama dari jaringan
otonomik yang disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh oleh berbagai
keadaan atau penyakit.
2.8 Klasifikasi Vertigo
Vertigo diklasifikasikan menjadi :
1. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada gangguan
vestibular. Berdasarkan letak lesinya terdapat 2 jenis vertigo vestibular,
yaitu :
 Vertigo vestibular perifer, terjadi pada lesi di labirin dan nervus
vestibularis
 Vertigo vestibular sentral, terjadi pada lesi di nukleus vestibularis
batang otak, thalamus sampai ke korteks serebri.
2. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang yang
timbul pada gangguan sistem proprioseptif atau sistem visual.

Tabel 2.1 Perbedaan vertigo vestibular perifer dan sentral.1


Vestibular Perifer Vestibular Sentral
Kejadian Episodik, onset Konstan
mendadak
Arah nistagmus Satu arah Bervariasi
Aksis nistagmus Horizontal atau Horizontal, vertikal,
rotatorik oblik, atau rotatorik
Tipe nistagmus Fase lambat dan cepat Fase ireguler

9
Hilang pendengaran, Bisa terjadi Tidak ada
tinitus
Kehilangan kesadaran Tidak ada Dapat terjadi
Gejala neurologis Tidak ada Sering disertai defisit
lainnya saraf kranial serta
tanda-tanda sereberal
dan piramidal

2.9 Etiologi Vertigo


Pada vertigo tipe sentral, etiologi umumnya adalah gangguan vaskuler.
Sedangkan pada vertigo tipe perifer, etiologinya idiopatik. Biasanya vertigo jenis
perifer berhubungan dengan manifestasi patologis di telinga.

Beberapa penyebab vertigo perifer adalah idiopatik 49%, trauma 18%,


labirinitis viral 15%, lain-lain (sindrom Meniere 2%, pascaoperasi telinga 2%,
pascaoperasi nontelinga 2%, ototoksisitas 2%, otitisifilika 1% dan lainnya 3%).
Beberapa faktor predisposisi lain yang mencetuskan vertigo adalah kurangnya
pergerakan aktif, sehingga saat mengalami perubahan posisi mendadak akan timbul
sensasi vertigo.

2.10 Patofisiologi Vertigo


Etiologi vertigo adalah abnormalitas dari organ-organ vestibuler, visual,
ataupun sistem propioseptif. Labirin (organ untuk ekuilibrium) terdiri atas 3 kanalis
semisirkularis, yang berhubungan dengan rangsangan akselerasi angular, serta
utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan rangsangan gravitasi dan akselerasi
vertikal. Rangsangan berjalan melalui nervus vestibularis menuju nukleus
vestibularis di batang otak, lalu menuju fasikulus medialis (bagian kranial muskulus
okulomotorius), kemudian meninggalkan traktus vestibulospinalis (rangsangan
eksitasi terhadap otot-otot ekstensor kepala, ekstremitas, dan punggung untuk
mempertahankan posisi tegak tubuh). Selanjutnya, serebelum menerima impuls
aferen dan berfungsi sebagai pusat untuk integrasi antara respons okulovestibuler
dan postur tubuh. Fungsi vestibuler dinilai dengan mengevaluasi refleks

10
okulovestibuler dan intensitas nistagmus akibat rangsangan perputaran tubuh dan
rangsangan kalori pada daerah labirin. Refleks okulovestibuler bertanggung jawab
atas fiksasi mata terhadap objek diam sewaktu kepala dan badan sedang bergerak.
Nistagmus merupakan gerakan bola mata yang terlihat sebagai respons terhadap
rangsangan labirin, serta jalur vestibuler retrokoklear, ataupun jalur
vestibulokoklear sentral. Vertigo sendiri mungkin merupakan gangguan yang
disebabkan oleh penyakit vestibuler perifer ataupun disfungsi sentral oleh
karenanya secara umum vertigo dibedakan menjadi vertio perifer dan vertigo
sentral. Penggunaan istilah perifer menunjukkan bahwa kelainan atau gangguan ini
dapat terjadi pada end-organ (utrikulus maupun kanalis semisirkularis) maupun
saraf perifer.

Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons, medulla, maupun
serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya sekitar 20% - 25% dari seluruh kasus
vertigo, tetapi gejala gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat terjadi pada
50% kasus vertigo. Penyebab vertigo sentral ini pun cukup bervariasi, di antaranya
iskemia atau infark batang otak (penyebab terbanyak), proses demielinisasi
(misalnya, pada sklerosis multipel, demielinisasi pascainfeksi), tumor pada daerah
serebelopontin, neuropati kranial, tumor daerah batang otak, atau sebab sebab lain.

Beberapa penyakit ataupun gangguan sistemik dapat juga menimbulkan


gejala vertigo. Begitu pula dengan penggunaan obat, seperti antikonvulsan,
antihipertensi, alkohol, analgesik, dan tranquilizer. Selain itu, vertigo juga dapat
timbul pada gangguan kardiovaskuler (hipotensi, presinkop kardiak maupun non-
kardiak), penyakit infeksi, penyakit endokrin (DM, hipotiroidisme), vaskulitis,
serta penyakit sistemik lainnya, seperti anemia, polisitemia, dan sarkoidosis.

Neurotransmiter yang turut berkontribusi dalam patofisiologi vertigo, baik


perifer maupun sentral, di antaranya adalah neurotransmiter kolinergik,
monoaminergik, glutaminergik, dan histamin. Beberapa obat antivertigo bekerja
dengan memanipulasi neurotransmiter-neurotransmiter ini, sehingga gejala-gejala
vertigo dapat ditekan. Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik utama
dalam serabut saraf vestibuler. Glutamat ini memengaruhi kompensasi vestibuler

11
melalui reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat). Reseptor asetilkolin muskarinik
banyak ditemukan di daerah pons dan medulla, dan akan menimbulkan keluhan
vertigo dengan memengaruhi reseptor muskarinik tipe M2, sedangkan
neurotransmiter histamin banyak ditemukan secara merata di dalam struktur
vestibuler bagian sentral, berlokasi di predan postsinaps pada sel-sel vestibuler.

2.11 Diagnosis Vertigo


Diagnosis vertigo sentral dan perifer ditegakkan berdasarkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
a. Anamnesis
Riwayat kesehatan merupakan data awal yang paling penting untuk menilai
keluhan pusing ataupun vertigo. Adanya aura dan gejala-gejala neurologis perlu
diperhatikan, misalnya apakah ada gangguan (hilangnya) pendengaran, perasaan
penuh, perasaan tertekan, ataupun berdenging di dalam telinga. Jika terdapat
keluhan tinitus, apakah hal tersebut terjadi terus-menerus, intermiten, atau pulsatif.
Apakah ada gejala-gejala gangguan batang otak atau kortikal (misalnya, nyeri
kepala, gangguan visual, kejang, hilang kesadaran).

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh sebaiknya difokuskan pada evaluasi
neurologis terhadap saraf-saraf kranial dan fungsi serebelum, misalnya dengan
melihat modalitas motorik dan sensorik. Penilaian terhadap fungsi serebelum
dilakukan dengan menilai fiksasi gerakan bola mata; adanya nistagmus (horizontal)
menunjukkan adanya gangguan vestibuler sentral.

Pemeriksaan kanalis auditorius dan membran timpani juga harus dilakukan


untuk menilai ada tidaknya infeksi telinga tengah, malformasi, kolesteatoma, atau
di stula perilimfatik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tajam pendengaran.1

Beberapa pemeriksaan klinis yang mudah dilakukan untuk melihat dan


menilai gangguan keseimbangan diantaranya adalah:

 Tes Romberg. Pada tes ini, penderita berdiri dengan kaki yang satu di
depan kaki yang lain, tumit yang satu berada di depan jari-jari kaki yang

12
lain (tandem). Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg ini
selama 30 detik atau lebih. Berdiri dengan satu kaki dengan mata terbuka
dan kemudian dengan mata tertutup merupakan skrining yang sensitif untuk
kelainan keseimbangan. Bila pasien mampu berdiri dengan satu kaki dalam
keadaan mata tertutup, dianggap normal.

 Tes melangkah di tempat (stepping test). Penderita harus berjalan di


tempat dengan mata tertutup sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti
berjalan biasa dan tidak diperbolehkan beranjak dari tempat semula. Tes ini
dapat mendeteksi ada tidaknya gangguan sistem vestibuler. Bila penderita
beranjak lebih dari 1 meter dari tempat semula atau badannya berputar lebih
dari 30 derajat dari keadaan semula, dapat diperkirakan penderita
mengalami gangguan sistem vestibuler.

 Tes tunjuk (past-pointing test). Penderita diperintahkan untuk


merentangkan lengannya dan telunjuk penderita diperintahkan menyentuh
telunjuk pemeriksa. Selanjutnya, penderita diminta untuk menutup mata,
mengangkat lengannya tinggi-tinggi (vertikal) dan kemudian kembali pada
posisi semula. Pada gangguan vestibuler, akan didapatkan salah tunjuk.

 Manuver Nylen-Barany atau Hallpike Untuk menimbulkan vertigo pada


penderita dengan gangguan sistem vertibuler, dapat dilakukan manuver
Nylen-Barany atau Hallpike. Pada tes ini, penderita duduk di pinggir
ranjang pemeriksaan, kemudian direbahkan sampai kepala bergantung di
pinggir tempat tidur dengan sudut sekitar 30 derajat di bawah horizon, lalu
kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian diulangi dengan kepala melihat
lurus dan diulangi lagi dengan kepala menoleh ke kanan. Penderita harus
tetap membuka matanya agar pemeriksa dapat melihat muncul/tidaknya
nistagmus. Kepada penderita ditanyakan apakah merasakan timbulnya
gejala vertigo.

 Tes kalori Tes kalori baru boleh dilakukan setelah dipastikan tidak ada
perforasi membran timpani maupun serumen. Cara melakukan tes ini adalah

13
dengan memasukkan air bersuhu 30° C sebanyak 1 mL. Tes ini berguna
untuk mengevaluasi nistagmus, keluhan pusing, dan gangguan fiksasi bola
mata. Pemeriksaan lain dapat juga dilakukan, dan selain pemeriksaan fungsi
vestibuler, perlu dikerjakan pula pemeriksaan penunjang lain jika
diperlukan. Beberapa pemeriksaan penunjang dalam hal ini di antaranya
adalah pemeriksaan laboratorium (darah lengkap, tes toleransi glukosa,
elektrolit darah, kalsium, fosfor, magnesium) dan pemeriksaan fungsi tiroid.
Pemeriksaan penunjang dengan CT-scan, MRI, atau angiografi dilakukan
untuk menilai struktur organ dan ada tidaknya gangguan aliran darah,
misalnya pada vertigo sentral.

c. Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium : darah lengkap, profil lipid, asam urat dan hemostasis
- Foto rontgen servikal
- Neurofisiologi sesuai indikasi : EEG (elektroensefalografi), ENG
(elektronistagmografi), EMG (elektromiografi), BAEP (Brainstem
Auditory Evoked Potential) dan audiometri
- Neuroimaging : CT scan, MRI, arteriografi.
2.12 Penatalaksanaan Vertigo
Penatalaksanaan vertigo bergantung pada lama keluhan dan
ketidaknyamanan akibat gejala yang timbul serta patologi yang mendasarinya. Pada
vertigo, beberapa tindakan spesifik dapat dianjurkan untuk mengurangi keluhan
vertigo. Pada penyakit Meniere, misalnya, pengurangan asupan garam dan
penggunaan diuretik disarankan untuk mengurangi tekanan endolimfatik. Untuk
BPPV (benign paroxysmal positional vertigo), dapat dicoba dengan “bedside
maneuver” yang disebut dengan “Epley particle repositioning maneuver”.1

Penatalaksanaan Medikamentosa

Secara umum, penatalaksanaan medikamentosa mempunyai tujuan utama:

 mengeliminasi keluhan vertigo


 memperbaiki proses-proses kompensasi vestibuler, dan

14
 mengurangi gejala-gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif.

Beberapa golongan obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di


antaranya adalah:
a. Antikolinergik
Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk penanganan
vertigo, yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan homatropin.
Kedua preparat tersebut dapat juga dikombinasikan dalam satu sediaan
antivertigo. Antikolinergik berperan sebagai supresan vestibuler melalui
reseptor muskarinik. Pemberian antikolinergik per oral memberikan efek
rata-rata 4 jam, sedangkan gejala efek samping yang timbul terutama berupa
gejala-gejala penghambatan reseptor muskarinik sentral, seperti gangguan
memori dan kebingungan (terutama pada populasi lanjut usia), ataupun
gejala-gejala penghambatan muskarinik perifer, seperti gangguan visual,
mulut kering, konstipasi,
dan gangguan berkemih.
b. Antihistamin
Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan
antivertigo yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan
termasuk di antaranya adalah difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat,
meklozin, dan prometazin. Mekanisme antihistamin sebagai supresan
vestibuler tidak banyak diketahui, tetapi diperkirakan juga mempunyai efek
terhadap reseptor histamin sentral. Antihistamin mungkin juga mempunyai
potensi dalam mencegah dan memperbaiki “motion sickness”. Efek sedasi
merupakan efek samping utama dari pemberian penghambat histamin-1.
Obat ini biasanya diberikan per oral, dengan lama kerja bervariasi mulai dari
4 jam (misalnya, siklizin) sampai 12 jam (misalnya, meklozin).
c. Histaminergik
Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo
di beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri
merupakan prekrusor histamin. Efek antivertigo betahistin diperkirakan

15
berasal dari efek vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di
daerah telinga tengah dan sistem vestibuler. Pada pemberian per oral,
betahistin diserap dengan baik, dengan kadar puncak tercapai dalam waktu
sekitar 4 jam. Efek samping relatif jarang, termasuk di antaranya keluhan
nyeri kepala dan mual.
d. Antidopaminergik
Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan mual
pada pasien dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian besar antidopaminergik
merupakan neuroleptik. Efek antidopaminergik pada vestibuler tidak
diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bahwa antikolinergik dan
antihistaminik (H1) berpengaruh pada sistem vestibuler perifer. Lama kerja
neuroleptik ini bervariasi mulai dari 4 sampai 12 jam. Beberapa antagonis
dopamin digunakan sebagai antiemetik, seperti domperidon dan
metoklopramid. Efek samping dari antagonis dopamin ini terutama adalah
hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan yang berhubungan
dengan gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif, parkinsonisme,
distonia akut, dan sebagainya.
e. Benzodiazepin
Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan di
tempat khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vestibuler
diperkirakan terjadi melalui mekanisme sentral. Namun, seperti halnya
obat-obat sedatif, akan memengaruhi kompensasi vestibuler. Efek
farmakologis utama dari benzodiazepin adalah sedasi, hipnosis, penurunan
kecemasan, relaksasi otot, amnesia anterograd, serta antikonvulsan.
Beberapa obat golongan ini yang sering digunakan adalah lorazepam,
diazepam, dan klonazepam.
f. Antagonis kalsium
Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal kalsium di dalam
sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jumlah ion kalsium intrasel.
Penghambat kanal kalsium ini berfungsi sebagai supresan vestibuler.
Flunarizin dan sinarizin merupakan penghambat kanal kalsium yang

16
diindikasikan untuk penatalaksanaan vertigo; kedua obat ini juga digunakan
sebagai obat migren. Selain sebagai penghambat kanal kalsium, ternyata
flunarizin dan sinarizin mempunyai efek sedatif, antidopaminergik, serta
antihistamin-1. Flunarizin dan sinarizin dikonsumsi per oral. Flunarizin
mempunyai waktu paruh yang panjang, dengan kadar mantap tercapai
setelah 2 bulan, tetapi kadar obat dalam darah masih dapat terdeteksi dalam
waktu 2-4 bulan setelah pengobatan dihentikan. Efek samping jangka
pendek dari penggunaan obat ini terutama adalah efek sedasi dan
peningkatan berat badan. Efek jangka panjang yang pernah dilaporkan ialah
depresi dan gejala parkinsonisme, tetapi efek samping ini lebih banyak
terjadi pada populasi lanjut usia.
g. Simpatomimetik
Simpatomimetik, termasuk efedrin dan amfetamin, harus digunakan secara
hati-hati karena adanya efek adiksi.
h. Asetilleusin
Obat ini banyak digunakan di Prancis. Mekanisme kerja obat ini sebagai
antivertigo tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bekerja sebagai
prekrusor neuromediator yang memengaruhi aktivasi vestibuler aferen,
serta diperkirakan mempunyai efek sebagai “antikalsium” pada
neurotransmisi. Beberapa efek samping penggunaan asetilleusin ini di
antaranya adalah gastritis (terutama pada dosis tinggi) dan nyeri di tempat
injeksi.
i. Lain-lain
Beberapa preparat ataupun bahan yang diperkirakan mempunyai efek
antivertigo di antaranya adalah ginkgo biloba, piribedil (agonis
dopaminergik), dan ondansetron.
Tabel 2.2 Obat-obat Anti Vertigo
Golongan Dosis Anti Sedasi Mukosa Gejala
Oral Emetik Kering Ekstrapiramidal

Penyekat Kalsium

17
Flunarisin 5-10 mg + + - +

Sinarisin 25 mg + + - +

Antihistamin

Prometasin 25-50 + ++ ++ -
mg
Dimenhidrinat 50 mg + + + -

Antikolinergik

Skopolamin 0.6 mg + + +++ -

Atropin 0.4 mg + - +++ -

Monoaminergik

Amfetamin 5-10 mg + - + +

Efedrin 25 mg + - + -

Phenotiazine

Proklorperasin 3 mg +++ + + ++

Klorpromasin 25 mg ++ +++ + +++

Benzodiazepine

Diazepam 2-5 mg + +++ - -

Butirofenon

Haloperidol 0.5-2 mg ++ +++ + ++

Histamik

Betahistin 8 mg + + - +

18
Antiepilepsi

Karbamazepin 200 mg - + - -

Fenitoin 100 mg - - - -

2.13 Prognosis
Prognosis pasien dengan vertigo vestibular tipe perifer umumnya baik,
dapat terjadi remisi sempurna. Sebaliknya pada tipe sentral, prognosis tergantung
dari penyakit yang mendasarinya. Infark arteri basilar atau vertebral, misalnya,
menandakan prognosis yang buruk.

19
BAB II
STATUS PASIEN
MAHASISWA SMF ILMU NEUROLOGI RSUPM

I. Anamnese Pribadi O.S


Nama : Johansen Hutapea
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki – laki
Agama : Protestan
Suku : Batak
Alamat : Jl. KL. Yos Sudarso Lk. XV Relka
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Wiraswasta
Perkawinan : Menikah
Tanggal masuk : 07 November 2017
NO RM : 00.85.08.34

II. Anamnesa Penyakit


Keluhan Utama : Nyeri kepala
Telaah : Nyeri kepala sudah dialami os ± 3 minggu yang lalu.
Nyeri kepala dirasakan di bagian atas kepala dan
tengkuk terasa seperti terikat dan menekan. Awalnya
nyeri dirasakan ±30 menit, namun 2 hari ini nyeri
dirasakan memberat dan tidak mereda, sehingga
menganggu aktivitas. Os juga mengeluhkan adanya
mual.

Riwayat penyakit terdahulu : Tidak ada


Riwayat pemakaian obat : Tidak ada

III. Anamnesa Traktus

20
Traktus Sirkulatorius : Tidak ada diagnosa
Traktus Respiratorius : Tidak ada diagnosa
Traktus Digestivus : Tidak ada diagnosa
Traktus Urogenitalis : Tidak ada diagnosa

IV. Anamnesa Keluarga


Faktor Herediter : Tidak dijumpai
Faktor Familial : Tidak dijumpai

V. Anamnesa Sosial
Kelahiran dan Pertumbuhan : Tidak jelas
Imunisasi : Tidak jelas
Pendidikan : Tamat SLTP
Pekerjaan : Wiraswasta
Perkawinan : Menikah

VI. Pemeriksaan Jasmani


Pemeriksaan Umum
Kesan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 80x/menit
Frekuensi Nafas : 20x/menit
Suhu : 37 oC
Kepala dan Leher
Bentuk dan Posisi : Dalam batas normal
Pergerakan : Dalam batas normal
Kelainan panca indra : Tidak dijumpai
Rongga dan mulut : Dalam batas normal

21
VII. Pemeriksaan Neurologis
a. Sensorium : Compos Mentis
b. Cranium
Bentuk : Bulat Normal
Palpasi : Dalam Batas Normal
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Transluminasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
c. Rangsangan meningeal
Kaku Kuduk : Tidak dijumpai
Brudzinsky I : Tidak dijumpai
Brudzinsky II : Tidak dijumpai
Tanda Kernig : Tidak dijumpai
d. Peningkatan tekanan intracranial
Muntah : Tidak dijumpai
Sakit Kepala : Dijumpai
Kejang : Tidak dijumpai
e. Saraf-saraf otak
a. Nervus I (Olfactorius)
Penciuman : kanan kiri
(+) (+)
b. Nervus II (Opticus)
OD OS

Visus Tidak dilakukan pemeriksaan

Melihat warna (+) (+)

Refleks cahaya (+) (+)

22
c. Nervus III (Oculomotorius)

OD OS
Gerakan bola mata ke Medial (+) (+)
Atas (+) (+)
Bawah (+) (+)

Ptosis Tidak dijumpai


Nistagmus Tidak dijumpai
Eksoftalmus Tidak dijumpai
Strabismus Tidak dijumpai
Pupil
-Lebar ±2 mm ±2 mm
-Bentuk Bulat Bulat
Kesamaan Isokor Isokor
RC langsung (+) (+)
RC tidak langsung (+) (+)

d. Nervus IV (Trochlearis)

Gerakan bola mata OD OS

Kearah bawah (+)

Kearah dalam (+)

e. Nervus V (Trigeminus)
a. Motorik
1. Membuka dan menutup mata : Dalam batas normal
2. Palpasi otot masseter dan temporalis : Dalam batas
normal
3. Kekuatan gigitan : Dalam batas normal
4. Menggerakkan rahang : Dalam batas normal

23
b. Sensorik
1. Kulit : Dalam batas normal
2. Selaput lendir : Dalam batas normal
3. Refleks kornea : Positif
4. Refleks masseter : Positif
f. Nervus VI (Abducens)

OD OS

Pergerakan bola
(+) (+)
mata kearah lateral

g. Nervus VII (Facialis)


a. Motorik
Kanan Kiri

Mimik wajah Dalam Batas Normal

Kerut kening (+) (+)

Menutup mata (+) (+)

Mengangkat alis (+) (+)

Memperlihatkan gigi (+) (+)

Tertawa Dalam Batas Normal

b. Sensorik
Pengecapan 2/3 lidah depan : Tidak dilakukan pemeriksaan
Produksi kelenjar ludah : (+)

h. Nervus VIII (Vestibulocochlearis)


a. Auditorius
1. Tes rinne : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. Tes weber : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Tes swabach : Tidak dilakukan pemeriksaan

24
b. Vestibularis
1. Nistagmus : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. Reaksi kalori : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Vertigo : Romberg Test (+)
4. Tinitus : Negatif

i. Nervus IX (Glosofaringeus)
Palatum mole : Simetris
Uvula : Berada di tengah
Disatria : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pengecapan 1/3 belakang lidah : Tidak dilakukan
pemeriksaan

j. Nervus X (Vagus)
Disfagia : Dalam batas normal
Refleks muntah : Dalam batas normal

k. Nervus XI (Asesorius)
Kanan Kiri

Mengangkat bahu (+) (+)

Menolehkan kepala (+) (+)

l. Nervus XII (Hipoglosus)


Lidah
Tremor : Tidak dijumpai
Atrofi : Tidak dijumpai
Ujung lidah saat istirahat : Dalam batas normal
Ujung lidah saat dijulurkan : Dalam batas normal

25
VIII. Sistem motorik
Kanan Kiri

Trofi Normotrofi Normotrofi

Tonus otot Normal Normal

Kekuatan Otot
 Ekstremitas superior
Fleksi 5/5 5/5
Ekstensi 5/5 5/5
 Ekstremitas Inferior
Fleksi 5/5 5/5
Ekstensi 5/5 5/5

Sikap
Duduk : Baik
Berbaring : Baik

Gerakan spontan abnormal


a. Tremor : Tidak dijumpai
b. Chorea : Tidak dijumpai
c. Balismus : Tidak dijumpai
d. Mioklonus : Tidak dijumpai
e. Atetosis : Tidak dijumpai
f. Distonia : Tidak dijumpai
g. Spasme/tic : Tidak dijumpai

IX. Sistem Sensibilitas


Tes Sensibilitas Kanan Kiri

Eksteroseptik
(+)
Nyeri (+)
Suhu (+) (+)

26
Raba (+) (+)

Propioseptik
(+)
Gerak (+)
Posisi (+) (+)

Getaran (+) (+)

Tekanan (+)
(+)

X. Refleks
a. Refleks Fisiologis
Kanan Kiri

Biceps (+) (+)

Triceps (+) (+)

KPR (+) (+)

APR (+) (+)

b. Refleks Patologis
Kanan Kiri

Babinsky (-) (-)

Chaddok (-) (-)

Oppenheim (-) (-)

Gordon (-) (-)

Schaeffer (-) (-)

Hofman Tromner (-) (-)

Klonus Lutut (-) (-)

27
XI. Koordinasi

Kanan kiri

Lenggan Dalam batas normal Dalam batas normal

Bicara Dalam batas normal Dalam batas normal

Menulis Dalam batas normal Dalam batas normal

Percobaan apraksia Dalam batas normal Dalam batas normal

Mimik Dalam batas normal Dalam batas normal

Test telunjuk- telunjuk Dalam batas normal Dalam batas normal

Test telunjuk hidung Normal Normal

Test telunjuk hidung Normal Normal

Diadochokinesis Normal Normal

Test Romberg Negative Negative

XII. Vegetatif
Miksi : Dalam batas normal
Defekasi : Dalam batas normal
Potensidan libido : Tidak dilakukan pemeriksaan

XIII. Vertebrae
Bentuk : Normal, Scoliosis (-), Lordosis (-), Kifosis (-)
Pergerakan leher : Dalam batas normal
Pergerakan Pinggang : Dalam batas normal

XIV. Tes Rangsangan Radikuler


Kanan Kiri

Laseque (-) (-)

28
Cross Laseque (-) (-)

Nafziger (-) (-)

Lermithe (-) (-)

XV. Gejala-gejala Serebellar


Ataksia : Tidak dijumpai
Disartria : Tidak di jumpai
Tremor : Tidak dijumpai
Nistagmus : Tidak dijumpai
Fenomena Rebound : Tidak dijumpai
Vertigo : dijumpai

XVI. Gejala Ekstrapiramidal


Tremor : Tidak dijumpai
Rigiditas : Tidak dijumpai
Bradikinesia : Tidak dijumpai

XVII. Fungsi luhur

Kesadaran Kualitatif : Baik


Ingatan Baru : Baik
Ingatan Lama : Baik
Orientasi
Diri : Baik
Tempat : Baik
Situasi : Baik
Intelegensia : Baik
Daya pertimbangan : Baik
Reaksi Emosi : Baik
Apraksia : Neatif

29
Agnosia : Negatif

XVIII. Kesimpulan pemeriksaan


Telah datang seorang pasien Laki - laki bernama Johansen Hutapea,
umur 56 tahun ke RSUPM pada tanggal 11 November 2017 dengan
keluhan nyeri kepala. Nyeri kepala dirasakan di daerah atas kepala
dan tengkuk nyeri terasa seperti diikat dan tegang. Nyeri dialami
terus menerus dan memberat 2 hari ini terutama pada siang hari.
Dijumpai adanya mual. Hal ini sudah dialami os ± 3 minggu yang
lalu.

Pada pemeriksaan dijumpai :


a. Pemeriksaan Umum

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : 15

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Frekuensi Nadi : 80x/menit

Frekuensi Nafas : 20x/menit

Suhu : 37 oC

b. Pemeriksaan Neurologi
Nervus I : Normosmia
Nervus II : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nervus III : Refleks cahaya (+/+), pupil isokor, gerakan bola
mata (+)
Nervus IV : Dapat menggerakkan bola mata ke medial
Nervus V : motorik dalam batas normal, sensorik dalam batas
normal
Nervus VI : dapat menggerakkan bola mata kearah lateral
Nervus VII : kerutan dahi (+), menunjukan gigi (+),
Nervus VIII : Romberg (+)

30
Nervus IX : palatum mole simetris, uvula medial
Nervus X : Refleks muntah dalam batas normal
Nervus XI : menganggkat bahu normal, menolehkan leher
normal
Nervus XII : Dapat menjulurkan lidah
c. Kekuatan Otot
Ekstremitas Superior
Kanan ESF : 5/5 kiri ESF : 5/5
ESE : 5/5 ESE : 5/5
Ekstremitas Inferior
Kanan EIF : 5/5 Kiri ESF : 5/5
EIE : 5/5 EIE : 5/5
d.Refleks
Kanan Kiri

Refleks Fisiologis

Biceps (+) (+)

Triceps (+) (+)

KPR (+) (+)

APR (+) (+)

Refleks Patologis

Babinski (-) (-)

Oppenheim (-) (-)

Chaddock (-) (-)

Gordon (-) (-)

Schaeffer (-) (-)

Hoffman
(-) (-)
Tromner

31
Klonus Kaki (-) (-)

Klonus Lutut (-) (-)

d. Sensibilitas : Tidak dijumpai


e. Tanda Rangasangan Meningeal : Tidak dijumpai
f. Tanda Rangsangan Radikuler : Tidak dijumpai
g. Gejala Serebellar : Tidak dijumpai
h. Gejala Ekstrapiramidal : Tidak dijumpai
i. Fungsi Luhur : Dalam batas normal

XIX. DIAGNOSA KERJA


Cephalgia + Vertigo Vestibularis

XX. TERAPI
 IVFD RL 15 gtt/menit
 Inj. Ranitidin 1amp /12 jam
 Inj. Ketorolac 1amp /12 jam
 Betahistin tab 6mg 3x2
 Flunarizin tab 1x5 mg

XXI. RENCANA PEMERIKSAAN SELANJUTNYA


a. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin
Agustus 2017 Nilai Normal

WBC 7,58 x 103/ ul 4,0 – 11,0

RBC 4.05 x 106 4,00 – 5,40

HGB 14,7 g/dl 12 -16

HCT 42,7 % 36,0 – 48,0

32
MCV 85,4 fl 80,0 – 97,0

MCH 29,4 pg 27,0 – 33,7

MCHC 34,4 g/dl 31,5 – 35,0

PLT 246 x 103 150 - 400

Kimia Klinik

 SGPT : 42,40 U/L


 Glukosa adrandom : 301,00 mg/dl

b. Pemeriksaan Penunjang
-
XXII. Prognosa
Dubia ad Bonam

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Ginsberg, Lionel. Lecture notes: Neurology. Ed 8. Jakarta: erlangga; 2007. Hal


69-77.
2. Akbar, Muhammad. Nyeri kepala. Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin. 2010
3. Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia , Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2005 .
4. Dewanto, G. Suwono, W. Budi R. Diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf.
Jakarta: EGC; 2009.
5. Wahyudi, K.T. 2012. Vertigo. Medical Department, PT. Kalbe Farma Tbk.
CDK-198/ vol. 39 no. 10, th. 2012. Jakarta, Indonesia.
6. Fagih, D. M. 2014. Panduan Praktek Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : IDI.
7. Garcia., dkk. 2011. Clinical Practice Guidelines Vertigo In Adults. 2nd Ed.
Philippine Journal Of Otolaryngology-Head And Neck Surgery Vol. 29, 2014.
8. Standar Pelayanan Medik. 2012. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia, Jakarta.
9. Dewanto, G., dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta : EGC.

34

Anda mungkin juga menyukai

  • Fotometer
    Fotometer
    Dokumen19 halaman
    Fotometer
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Laporan Tutorial
    Laporan Tutorial
    Dokumen2 halaman
    Laporan Tutorial
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Keracunan Co
    Keracunan Co
    Dokumen36 halaman
    Keracunan Co
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen23 halaman
    Bab 2
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Paper EOA
    Paper EOA
    Dokumen26 halaman
    Paper EOA
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Rumah Sehat
    Rumah Sehat
    Dokumen19 halaman
    Rumah Sehat
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat
  • Puja
    Puja
    Dokumen3 halaman
    Puja
    puja sari anugrah
    Belum ada peringkat