Anda di halaman 1dari 17

4.

3 Latar Belakang Diadakannya Pemilu Presiden Secara Langsung yang


Dimulai dari Pemilu 2004
4.3.1 Landasan Historis Kepemimpinan di Indonesia Sebelum Amandemen
UUD 1945 Tahun 2002
Jika dilihat dari sejarahnya UUD 1945 tidak pernah menghadirkan
Pemerintahan yang demokratis dapat dilihat dari sejarah (periodisasi) berlakunya
UUD 1945 yang secara garis besar dibagi tas 3 periode yaitu periode 1945-1949,
periode 1959-1965, periode 1966-1998. Sejarah perjalanan bangsa mencatat
bahwa periode 1945-1959 merupakan peridode yang menerapkan sistem politik
yang demokratis, tetapi alasan hal tersebut karena justru terjadinya
penidakberlakuan UUD 1945 melalui Makumat No.X yang ditandatangani oleh
Wakil Presiden Muhamad Hatta. Maklumat tersebut berisi perubahan kedudukan
Komite Indonesia dari semula sebagai pembantu Presiden menjadi lembaga
legislatif yang sejajar dengan presiden dan kemudian komite ini yang
mengusulkan perubahan sistem Presidensial menuju sistem parlementer. Dari hal
inilah terbangun sistem pemerintahan yang demokratis justru keluar dari praktek
ketatanegaraan yang keluar dari UUD 1954 meskipun UUD 1945 itu sendiri
secara resmi tidak diubah. Kemudian ketika UUD 1945 diberlakukan kembali
secara paksa mealuli Dektrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang muncul kemudian
adalah Pemerintahan yang sangat otoriter di bawah kepemimpinan Soekarno yang
menjadi sewenang-wenang dengan konsepsi demokrasi Terpimpimnya. Pada
perkembangannya runtuh serta digantikan oleh Orde Baru yang juga berlindung di
bawah UUD 1945. Dari fakta sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa UUD
1945 tidak dapat melahirkan pemerintah yang demokratis bahkan berkontribusi
dalam menjungkalkan dua presiden kita yang terdahulu. Ada pendapat yang
mengatakan UUD 1945 tidak dapat disalahkan karena kebaikan Pemerintahan
tidak bergantung kepada bunyi UUD tetapi tergantung kepada semangat
penyelenggarannya atau orangnya. Tetapi gagasan UUD tersebut dicurigai
melahirkan pemerintah yang korup. Bisa saja peyelenggaranya baik tetapi jiak
sistem yang mengaturnya tidak baik maka penyakit korup akan
menjerumuskannya ke dalam kesewenangan-wenangan kekuasaaan. Jadi orang
dan sistem sama pentingnya, bahkan sistem harus diatur sedemikian rupa agar
mampu menjaring orang-orang yang baik dan mengawalnya dari penyakit-
penyakit korup (Moh. Mahfud, MD, 2000, 140-141).
4.3.1.1 Pemerintahan Masa Demokrasi Terpimpin
Dalam Demokrasi terpimpin tidak mengenal prinsip check and balance.
Kekuasaan Negara berada di satu tangan, yaitu Presiden Soekarno. Ricklefs,
(2007, hlm. 502) (Hamdan Zoelva, 2011, hlm.73) menjelaskan bahwa mulai akhir
tahun 1956, dalam pidatonya pada tanggal 28 Oktober 1956 Soekarno
mengemukakan sumber maslaah pada partai politik. Oleh karena itu dia meminta
supaya partai politik dibubarkan, kemudian memperkenalkan sebuah konsepsi
baru sistem pemerintahan yaitu Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno
berpandangan, cara pembentukan pemerinthana atas dasar demokrasi parlementer
yang bersifat kepartaian dengan paham politik yang liberal, tidak akan sanggup
membawa negara dari kesulitan. Oleh karena itu, Soekarno mengambil jalan luar
biasa unutk membentuk kabinet Karya yang dibentuk pada bulan April 1957 di
bawah pimpinan Djuanda Karta Widjaja yang bersifat darurat extra parlementer
(Koentjoro Poerbopranoto, 1987, hlm.128 dikutip oleh Hamdan Zoelva, 2011,
hlm.73). Menurut keyakinan Soekarno, susunan ketatanegaraan yang berdasarkan
multipartisme seperti dianjurkan dalam maklumat Pemerintah 14 November 1945,
tidak cocok dengan cita-cita umum dalam masyarakat karena menimbulkan politik
free fight liberalism dan politik yang menghambat pembangunan negara di segala
lapangan (Koentjoro Poerbapranoto, 1987, hlm.129 dikutip oleh Hamdan Zoelva,
2011, hlm.74).
Demokrasi Terpimpin menurut Soekarno adalah suatu demokrasi
penyelenggaraan atau satu werk democracy yaitu untuk menyelenggarakan cita-
cita bangsa Indonesia terutama dalam bidang sosial yaitu mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur. Hal tersebut sebagaimana keterangan pemerintah
dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili oleh Perdana Meneteri
Djuanda dalam sidang pleno DPR pada hari senin 2 Maret 1959 yang
mendeskripsikan bahwa demokrasi terpimpin itu adalah demokrasi yang harus
memiliki disiplin dan harus mempunyai pimpinan. Demokrasi hanyalah alat untuk
mencapai tujuan masyarakat yang adil dan makmur, suatu masyarakat yang penuh
dengan kebahagiaan material dan spiritual yang sesuai dengan cita-cita proklamasi
kemerdekaan. Masyarakat yang adil dan makmur, tidak lain daripada masyarakat
yang teratur dan terpimpin. Dengan demikian pada hakikatnya demokrasi
terpimpin adalah demokrasi penyelenggaraan (werk democracy). Adapun
perancang polanya adalah Dewan Perancang Nasional (Menteri Penerangan RI,
Tanpa Tahun, hlm.38-39 dikutip oleh Hamdan Zoelva, 2011, hlm.74).
Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang berdasarkan kepada
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi terpimpin,
dilakukan penertiban kehidupan kepartaian, menyalurkan golongan fungsional
sebagai kekuatan politik, serta keharusan adanya kelanjutan program pemerintah.
(Menteri Penerangan RI, Tanpa Tahun, hlm.62 dikutip oleh Hamdan Zoelva, 2011,
hlm.74). Muhamad Yamin memiliki pendapat Yamin adalah organized democracy
tidak dipimpin secara perorangan tidak pula berbentuk gecentraliseerde
materialisme, melainkan oleh organisasi nasional sendiri. Oleh karena itu
demokrasi terpimpin di tanah Indonesia menurut Ajaran Pancasila adalah
organized democracy. (Muhamad Yamin, 1960, hlm.292 dikutip oleh Hamdan
Zoelva, 2011, hlm.76-77). Lahirnya demokrasi terpimpin oleh Adnan Buyung
Nasution dianggap sebagai lahirnya totalirianisme. Menurut Nasution, pada akhir
tahun 1950-an mulai tampak adanya tanda-tanda penyimpangan terhadap asas-
asas universal pemerintahan yang baik. Berbagai kesulitan di bidang politik
maupun ekonomi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ketika itu dianggap
bersumber dari pemernitahan yang dijalankan yang dianggap barang impor,
sehingga Seokarno mengenalkan model demokrasi terpimpin. Kenyataannya
praktik rezim demokrasi terpimpin tidak jauh berbeda dengan pemerintahan
negara integralistik-totaliter. Hal itu terbukti dengan terkonsentrasikannya seluruh
kekuasaan ditangan presiden. Pada tahun 1962, lembaga tinggi negara (DPR, Ma,
BPK, DPR) dan lembaga tertinggi negara (MPR) dijadikan pembantu presiden,
sehingga presiden berkuasa dengan mutlak (Adnan Buyung Nasution, 2007, hlm.
18-20 dikutip oleh Hamdan Zoelva, 2011, hlm.77).
Dektrit Presiden 5 Juli 1959 berserta konsep demokrasi terpimpin sebagai
bagian tidak terpisahkan dari dektrit tersebut benar-benar telah memberikan
kekuasaan penuh di tangan presiden tanpa pembatasan. Walaupun demokrasi
terpimpin berdasarkan konstitusi, yaitu UUD 1945, karena UUD 1945 yang
sangat ringkas, felsibel dan memberi peluang yang sangat besar untuk
menumbuhkan negara kekuasaan yang bertumpu kepada presiden, telah
mengakibatkan pelaksanaan kekuasaan demokrasi terpimpin hanya bertumpu pada
presiden Seokarno (Adnan Buyung Nasution, 2007, hlm. 18-20 dikutip oleh
Hamdan Zoelva, 2011, hlm.77). Konsentrasi kekuasaan ditangan presiden,
dimulai dengan pembentukan lembaga-lembaga negara yang semuanya
dilakaukan oleh presiden. (Muhamad Yamin, 1960, hlm.147-148 dikutip oleh
Hamdan Zoelva, 2011, hlm.77). Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden yang
kedudukannya sama, bahkan lebih tingi dari UU karena bersumber langsung dari
Dektrit Presiden 5 Juli 1959. . (Muhamad Yamin, 1960, hlm.225-226 dikutip oleh
Hamdan Zoelva, 2011, hlm.76-77). Disamping itu, sejak tahun 1962, Ketua MA,
Ketua MPRS, Ketua DPR serta Wakil Ketua DPA, emuannya merangkap sebagai
menteri dan anggota kabionet yang beraada dibawah presiden yang merangkap
sebagai Perdana Menteri. Presiden berwnag pula unutk ih=kut campur dalam
bidang Yudikatif berdasarkan UU No.19 Tahun 1964 dan bidang legislatif
berdasarkan Peraturan Tatib DPR, Serta Peraturan Presiden No.14 Tahun 1960
jika DPR tidak mencapai mufakat. Bahkan pada tahun 1960, Presiden
membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dengan Tap Presiden No.3 Tahun 1960.
Hal ini menandai pengabaian terhadap prinsip pembatasan kekuasaan serta check
and balance sebagai ciri negara hukum. Mitriam Budiarjo, 2005, hlm. 71 dikutip
oleh Hamdan Zoelva, 2011, hlm. 78). Demokrasi terpimpin telah menempatkan
presiden sebagai pusat kekuasaan negara yang tanpa batas. Hal ini dikukuhkan
dalam SU MPRS tahun 1963 yang mengangkat presiden Soekarno sebagai
presiden seumur hidup (Hamdan Zeolva, 2011, hlm. 78). Pengangkatan ini
melanggar pasal 7 UUD 1945 serta menunjukkan pemerintah yang otoriter
(Sulardi, 2012, helm. 69-70).
Tetapi berselang dua tahun kemudian pada tahun 1965 terjadi peristiwa
G/30 S (PKI) yang dipimpin oleh kolonel untung menjadi awal terjadinya
pemakzulan Soekarno. Setelah peristiwa tersebut muncul tuntutan dari partai-
partai politik maupun demonstrasi dari mahasiswa yang meminta presiden untuk
mengundurkan diri. Akibat hal tersebut Soekarno terpaksa mengeluarkan
Supersemar 11 Maret 1966 kepada Letjen Soeharto. Soeharto mengambil langkah
yang kontroversial seperti Pangkopkamtib membubarkan PKI dan ormasnya,
penangkapan para menteri yang dianggap terlibat peristiwa G/30 S (PKI) serta
perombakan kabinet Dwikora yang tidak disetujui oleh Soekarno serta merombak
MPRS menjadi berpihak kepada Soeharto sehingga Soekarno tidak memiliki
kekuatan di MPRS. Soekarno kemudian berinisiatif sendiri memberikan pidato
pertanggungjawaban yang disebut dengan pidato “Nawaksara”. Tetapi MPRS
menolak pidato tersebut karena tidak menjawab pokok permasalahan yaitu sebab
terjadinya G/30 S (PKI), kemerosotan ekonomi dan akhlak bangsa. Soekarno tetap
melawan yaitu dengan membuat pelengkap pidato Nawaksara menolak
bertanggungjawab bersifat cabang, mengutuk G/30 S (PKI) tetapi selain pimpinan
PKI, terdapat intervensi asing dan oknum yang tidak benar. MPRS pada akhirnya
menolak pidato tersebut setelah sebelumnya terdapat tututan dari Soeharto kepada
Soekarno mengenai pertanggungjawaban G/30 S (PKI) dan tuntutan dari DPR-GR
untuk menyelenggarakan SI MPR. MPRS pada hari yang sama merumuskan SI
untuk meminta pertanggungjawaban dari Soekarno sehingga Soekarno
mengeluarkan pengumuman penyerahan kekuasaan kepada Soeharto tetapi
Soekaro masoh tetap menjadi presiden. Tetapi pada akhirnya Soekarno diturunkan
dari kekuasaannya sebagai Presiden oleh MPRS pada tanggal 12 Maret 1967
dengan mencabut mandatnya sebagai presiden seumur hidup dan mengangkat
Soeharto sebagai pejabat Presiden hingga diadakannya Pemilu (Hamdan Zoelva,
2011, hlm. 126-134). diperingkas

4.3.1.2 Pemerintahan Masa Demokrasi Pancasila


Kegagalan Demokrasi Terpimpin membawa kemunduran di berbagai segi
kehidupan, Presiden Soeharto dengan membawa semangat baru (Orde Baru)
hendak mengoreksi pemerintahan Soekarno dengan tekad melaksanakan Pancasila
dang UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akan tetapi pada kenyataannya,
Demokrasi Pancasila yang diterpakan oleh Soeharto justru melanjutkan konsep
demokrasi terpimpin yang dilaksanakan oleh Soekarno dengan beberapa koreksi
dan mengubahnya dengan sebutan Demokrasi Pancasila. Kedua konsep demokrasi
ini memiliki kesamaan prinsip antara lain menganut paham integralistik dan
kekeluargaan, bersumber pada Pancasila sebagai dasar falsafah dan UUD 1945,
menolak demokrasi liberal yang dianggap sebagai demokrasi yang tidak sesuai
dengan bangsa Indonesia, diangkatnya unsur golongan fungsional dalam anggota
DPR, disamping utusan Golongan dalam MPR, pembatasan terhadap partai
politik, kepemimpinan negara berpusat keadaan presiden, serta berorientasi
kepada jaminan dan konsisten terhadap pencapaian tujuan dan target. (Hamdan
Zoelva, 2011, hlm. 78-79).
Oleh karena itu dalam demokrasi pancasila tidak mengenal check and
balances dan perimbangan kekuasaan karena kekuasaan negara ada ditangani
MPR dengan praktik di tangan presiden. Dalam hal ini presiden bertindak sebagai
mandataris MPR, sehingga dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, presiden
yang paling berkuasa. Tetapi perbedaan demokrasi pancasila yang dikembangkan
oleh Orde Baru dengan Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno adalaah
melaksanakan pemilu secara rutin lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR,
pergantian anggota MPR serta pemilihan presiden secara rutin lima tahun,
pengisian ketua dan anggota lembaga-lembaga negara lainnya berdasarkan
Undang-Undang serta pemberian wewenang setiap lembaga berdasarkan kepada
UUD 1945. (Hamdan Zoelva, 2011, hlm. 79). Secara formal dapat dikatakan
bahwa pelaksanaan pemerintahan negara di bawah presiden Soeharto mengikuti
prinsip hukum dan konstitusi. Secara formal juga, terdapat pembagian kekuasaan
antara lembaga negara sesuai dengan UUD 1945, kekuasaan peradilan yang
independen dan tidak memihak, pembentukan PTUN. Tetapi pada kenyataannya
presiden Soeharto memiliki catatan hitam mengenai pelanggaran HAM (Hamdan
Zeolva, 2011, hlm. 79).
Demokrasi Pancasila menurut Soedarmono, adalah demokrasi berdasarkan UUD
1945 secara murni dan konsekuen, tidak kurang dan tidak lebih. Selanjutnya, ia
menyatakan bahwa sebutan demokrasi Pancasila juga untuk membedakan dengan
serta sebagai koreksi terhadap Demokrasi Terpimpin pada masa Orde Lama.
(Soedarmono, 1997, 199 dikutip oleh Hamdan Zoelva, 2011, hlm. 80). Akan tetapi
hasil penelitian dari John Pieris atas praktik pemerintahan Orde Baru
menimbulkan bahwa baik dalam menjalankan pemerintahan negara maupun
pertanggungjawabannya, sepenuhnya berada ditangan presiden, sehingga
mekanisme check and balance tidak dapat diwujudkan. MPR juga yang telah
dikuasasi serta diperalat oleh presiden memiliki kekuasaan yang amat besar yaitu
sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat sepenuhnya (John Pieris, 2007, hlm. 265
diutip oleh Hamdan Zoelva, 2011, hlm. 80).

4.3.1.3 Pemerintahan Masa Transisi Amandemen UUD 1945


Realita dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan presidensial
berdasarkan UUD 1945, dari awal kemerdekaan sudah terjadi ketidaksetaraan
hubungan dan kekuasaan antara presiden dan DPR. Akibat penafsiran absolut
terhadap UUD 1945, melahirkan masa pemerintahan yang otoriter di masa Orde
Lama dan di masa Orde Baru serta pada masa transisi hasil perubahan UUD 1945
yang pertama melahirkan kekuasaan yang lebih besar kepada DPR, yang berakibat
ketegangan antara Presiden dan DPR (Sulardi, 2012, hlm.89-90). Masa transisi ini
terjadi pada masa Habibie dan Gus Dur yang terjadinya amandemen UUD
Pertama dan amandemen UUD kedua tahun 2000. Pada amandemen UUD 1945
pertama tahun 1999 kekuasaan Presiden dikurangi serta kekuasaan DPR lebih
diperkuat. Masa Jabatan Presiden dibatasi hanya menjadi dua periode terdapt
dalam pasal 7 ayat 2 UUD 1945, pemberlakuan hukum harus mendapat
persetujuan dari DPR (Pasal 20 UUD 1945), penunjukkan dan penerimaan Duta
Besar negara asing harus mempertimbangkan pendapat dari DPR (Pasal 13 UUD
1945), Presiden yang membuat draf RUU dicabut menjadi hanya DPR yang
memiliki otoritas dalam menetapkan UU sedangkan presiden hanya berhak
mengajukan hak inisiatif/mengusulkan UU kepada DPR (Pasal 20 ayat 1 UUD
1945). Sedangkan cara pemilihan presiden tetap menjadi wewenang dari MPR
(Pasal 6 ayat 2 UUD 1945) (Bob Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schuck, 2010,
hlm.106).
Kewenangan DPR semakin kuat dengan diamandemennya pasal 20 ayat
UUD 1945 dengan memasukkan pasal sisipan yaitu Pasal 20a UUD 1945 yaitu
DPR memiliki fungsi legislatif, mengatur anggaran, dan fungsi pengawasan (Bob
Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schuck, 2010, hlm.107). Akibat hal tersebut
pada masa awal reformasi sifat kekuasaan presiden pada masa ini menjadi
antitesis dari kekuasaan presiden pada masa sebelumnya yaitu DPR/MPR
memiliki kekuasaan yang amat kuat sedangkan kekuasaan presiden nampak amat
lemah. DPR/MPR nampak mudah dalam mengkritik habis-habisan bahkan dapat
menjungkalkan presiden pada masa ini dari kursi kekuasaannya. Pada masa inilah
presiden B.J Habibie ditolak pidato pertanggungjawabannya yang mengakibatkan
tidak dapat kembali mencalonkan dirinya dalam pemilihan presiden tidak
langsung 1999. Hal yang lebih buruk terjadi pada masa Abdurrahman Wahid yang
terpilih dengan kemenangan tipis, tetapi pada perkembangannya akibat sikap Gus
Dur yang terlalu berani, kontroversial serta kurang mempertimbangkan
kepentingan koalisi pelanginya menyebabkan Gus Dur ditinggalkan oleh partai
koalisi pendukungnya sehingga mengalami konflik dengan DPR/MPR dan hanya
menyisakan PKB dan F-PDKB yang amat minoritas di DPR/MPR. Hal tersebut
pada puncaknya menyebabkan Gus Dur di impeachment oleh DPR/MPR pada
bulan Juli 2001 dari kursi kepresidenannya.

4.3.2 Alasan dan Proses Amandemen UUD 1945 Asli


4.3.2.1 Alasan Dilakukannya Amandemen UUD 1945 Asli
Selain melahirkan perintahan yang otoriter seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, dalam UUD 1945 yang asli terdapat kelemahan-kelemahan yang
menyebabkan tidak terjaminnya pemerintahan yang demokratis kostitusional
(negara berdasarkan kepada hukum) yaitu :
1. Tidak ada mekanisme check and balance
Dalam sistem politik yang diformat oleh UUD 1945 adalah sistem
politik executive heavy di mana kekuasaan presiden sangat dominan. Presiden
menjadi pusat kekuasaan dengan berbagai hak prerogatif. Selain menguasai
bidang eksekutif, presiden memiliki setengah dari kekuasaan legislatif yang
dalam prakteknya presiden juga menjadi ketua legislatif. Contohnya adalah
dalam RUU mengenai APBN jika diajukan oleh DPR tetapi tidak disetujui
oleh presiden tidak dapat diajukan lagi tetapi sebaliknya jika RUU APBN oleh
presiden tidak disetujui oleh DPR maka daapt digunakan APBN pada tahun
sebelumnya yang telah disetujui oleh DPR dan presiden. Selain itu dalam
UUD 1945 tidak ada judicial review yang menguji kesesuaian antara UU
dengan UUD.
2. Terlalu banyak atribusi kewenangan
Dalam UUD 1945 juga terlalu banyak memberi atribusi kewenangan
kepada legislatif (yang praktis didominasi oleh presiden) untuk mengatur
masalah-masalah penting dalam UU seperti tentang lembaga-lembaga negara,
tentang HAM, tentang kekuasaan kehakiman tentang pemerintah daerah dan
sebagainya. Dalam UUD 1945 terlalu longgar menyerahkan hal yang sangat
penting kepada lembaga legislatif untuk diatur dengan UU. Dari hal tersebut
pemerintah sering melakukan manipulasi dan pembenaran formal. Hal ini
contohnya terjadi pada masa Orde Baru yang mengakumulasikan
kekuasaannya dengan menggunakan atribusi kewenangan yang diberikan oleh
UUD 1945 sehingga menjadi rezim yang otoriter tetapi memiliki pembenaran
yang formal. Pemerintah mengawalinya pada masa DPR-GR (1967-1969)
yang mendominasikan posisi pemerintah dalam susunan MPR dan DPR
dengan melalui UU bidang politik. Setelah berhasil menguasai DPR dan MPR
melalui UU bidang politik, pemerintah dapat melemahkan lembaga
pemerintah lainnya seperti MA, BP bahkan MPR dan DPR. Jika hal tersebut
masih sulit, pemerintah mengaturnya dengan peraturan pemerintah dengan
berbagai variasinya antara lain PP, Keppres, Permen, dsb. Peraturan di bawah
UU tersebut dicarikan baju hukumnya melalui TAP/MPR.
3. Adanya Pasal-Pasal Multitafsir
Dalam UUD 1945 memuat banyak pasal yang mengandung multi
interpretable (multitafsir) tetapi tafsir yang benar adalah versi presiden akibat
konsekuensi kuatnya presiden sebagai sentral kekuasaan (executive heavy).
Contohnya dalam Pasal 7 tentang jabatan presiden (dipilih untuk masa jabatan
lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali). Dalam pasal ini melahirkan
tafsir beragam yaitu bisa dipilih satu kali lagi versi akademik atau dapat
dipilih berkali-kali tanpa batas setiap lima tahun seperti versinya pemerintah.
Serta contoh lainnya dalam pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman yang
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka,
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Dalam versi pemerintahan
kemerdekaan kehakiman hanya kemerdekaan fungsi tanpa kemerdekaan
struktural, sedangkan dalam versi akademik kemerdekaan kehakiman
kemerdekaan yang penuh tanpa intervensi pemerintah.
4. Terlalu percaya pada semangat orangnya (penyelenggara).
Selain 3 kelemahan diatas, dalam UUD 1945 juga terlalu percaya
kepada semangat atau iktikad baik orang yang menjadi penyelenggara negara.
Hal ini dapat terlihat dari bunyi penjelasan UUD 1945 yang terlalu polos
menyatakan bahwa “yang sangat penting dalam Pemerintahan dan dalam hal
hidupnya negara adalah semangat, semangat para penyelenggara negara...”.
Kepercayaan seperti itu penting tetapi menjadi tidak wajar jika dikawal oleh
sistem yang kuat (Moh. Mahfud, MD, 2003, 146-150). UUD 1945 hanya
secara formalitas saja melahirkan pemerintah yang konstitusional, tetapi
secara substantif tidak melahirkan pemerintahan yang demokratis karena
dalam UUD 1945 tidak memuat secara tegas dan ketat prinsip-prinsip
pembatasan kekuasaan yang disertai mekanisme check and balance sehingga
mudah diselewengkan oleh pemerintah, tepatnya oleh penguasa di bidang
eksekutif.

4.3.2.2 Proses Amandemem UUD 1945 Sebanyak 4 Kali


Lahirnya gagasan mengenai amandemen UUD 1945 adalah selain karena
melahirkan pemerintah yang ototiter, gagasan pengamandemenan UUD 1945 lahir
dari gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998 dengan tututan natara lain
amandemen UUD 1945, penghapusan dwifungsi ABRI, penegakan Hukum dan
pemberantasan KKN, penegakan HAM dan demokrasi, serta pemberian hak
otonomi daerah. Tuntutan Amandemen UUD 1945 tuntutan yang paling penting
karena hanya dengan amandemen UUD 1945 seluruh tuntutan reformasi dapat
diwujudkan. Penggagas amandemen UUD 1945 tidak dapat diketahui dengan
pasti siapa penggagas awalnya. Tetapi hal ini sudah menjadi tuntutan dari
kelompok mahasiswa serta menjadi wacana publik pada tahun 1998 dari bebergai
kalangan seperti unsur akademisi hingga para pejabat (Tim Penyusun MK, 2010a,
hlm.84). Hal ini didukung oleh latar belakang historis pembuatan UUD 1945 versi
asli yang dibuat dalam kondisi genting pasca perang dunia II serta hanya dibuat
dalam waktu 20 hari. Hal ini tergambarkan dalam perkataan Soekarno sebagai
berikut,
...undang-undang dasar yang kita buat sekarang ini adalah undang-undang
dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah undang-
undang dasar kilat. Nanti, kalau kita telah bernegara di dalam suasana
yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Perwakilan Rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih
lengkap dan lebih sempurna (Denny Indrayana, 2007, hlm.48-49).

Hal ini didukung oleh sikap B.J Habibie yang memiliki legitimasi
pemerintahan yang lemah melakukan kebijakan yang populis antara lain
mendorng reformasi pemilu 1999, mendorong dilakukannya SI MPR dalam
menentukan jadwal pemilu 1999, memberikan kebebesan pers dan kebebasan
berpendapat, membebasakan tahanan politik dan melaksanakan pemilu 1999. SI
MPR yang dilakukan apda bulan november 1998 menghasilkan 12 Tap dengan 3
Tap merupakan embrio bagi berlangsungnya amandemen UUD 1945 yaitu Tap
MPR No.VIII Tahun 1998 mengenai pencabutan Tap MPR 1983 menganai
persyaratan referendum, Tap MPR No. XIII Tahun 1998 mengenai pembatasan
masa jabatan presiden dan wakil presiden, dan Tap MPr No. XVII Tahun 1998
mengenai HAM. Tap pencabutan Referendum bertujuan dalam memperlancar
amandemen UUD 1945, Tap pembatasan masa jabatan presiden untuk
menghilangkan pemerintahan yang otoriter seperti masa Orde baru, dan Tap HAM
untuk mengakomodasi penegakkan HAM yang sebelumnya tidak diatur dengan
jelas (Denny Indrayana, 2007, 169-171).
SI MPR 1999 hasil pemilu 1999 diselenggarakan dari tanggal 14-21
Oktober 1999. Sidang ini bersifat historis karena waktu pertama kalinya terjadi
perubahan UUD 1945. Pada awalnya Amandemen UUD 1945 mengalami pro
kontra dalam sebagian fraksi-fraksi di MPR dan di masyarakat, tetapi dengan
kesadaran terhadap sejarah kekuasaan Indonesia dengan landasan UUD 1945 yang
cukup singkat dan kewenangan yang besar diberikan kepada presiden telah
menjadi bahan yang efektif untuk pemusatan kekuasaan di tangan
eksekutif/presiden. Sementara lembaga legislatif seperti DPR lemah dalam
menolak keinginan/keputusaanpresiden seperti dektrit 5 Juli 1959 dan dominasi
kekuasaan Presiden Soeharto selama masa Orde Baru. Oleh karena itulah salah
satu dari sekian agenda reformasi yang digelar oleh seluruh kelompok dan
kekuatan politik reformasi adalah perubahan UUD 1945 (Aisyah Aminy, 2004,
382-383). Dalam perubahan UUD 1945 pada awalnya terjadi perbedaan pendapat
tetapi pada akhirnya disepakati yaitu perubahan dilakukan dalam bentuk
amandemen, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, Sistem pemerintahan
bersifat presidensial, bentuk negara tetap NKRI/negara kesatuan, dan
menghilangkan penjelasan UUD 1945 serta memasukkan substansi yang penting
ke dalam pasal-pasal UUD 1945 (Aisyah Aminy, 2004, 383). Pasal yang
mengalami perubahan yaitu pasal 5 ayat 1 tentang hak presiden untuk mengajukan
RUU kepada DPR, pasal 7 tentang pembatasan masa jabatan presiden, pasal 9
tentang sumpah/janji presiden dan wakil presiden, pasal 13 ayat 2 tentang
mengangkat duta dengan pertimbangan DPR, pasal 14 tentang pemberian grasi
dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA, pasal 15 tentang pemberian jasa, gelar,
dll. Tanda kehormatan presiden, pasal 17 ayat 2 dan 3 tentang pengangkatan dan
pemberhentian menteri, pasal 20 tentang kekuasaan pembentukan UU oleh DPR,
pasal 21 tentang Hak anggota untuk mengajukan RUU (Aisyah Aminy, 2004,
383).
Sidang tahunan MPR tahun 2000 diselenggarakan pada tanggal 7-18
Agustus tahun 2000. Dalam sidang ini masalah utama yang dibahas adalah
mengenai perubahan kedua UUD 1945 dan membahas Rantap-Rantap yang sudah
disiapkan BP MPR. Perubahan kedua UUD 1945 meliputi pasal 18 tentang
pemerintah daerah, pasal 19 tentang DPR, pasal 20 tentang RUU, pasal 22 A
tentang tata cara pembentukan UU, pasal 26 ayat 2 dan 3 tentang warga negara
dan penduduk, pasal 27 ayat 3 tentang bela negara, pasal 28 tentang HAM, pasal
30 tentang pertahanan dan keamanan negara, pasal 36 A tentang lambang negara
dan pasal 36 B tentang lagu kebangsaan. Dalam pasal-pasal tersebut terjadi
perubahan dan penambahan dengan tidak mengubah pasalnya-pasalnya tetapi
mengubah atau menambah materinya mengenai Otda, penguatan kedudukan DPR,
warga negara dan kependudukan, HAM, pertahanan dan keamanan, lambang
negara dan lagu kebangsaan. Dalam perubahan tersebut terdapat masalah yang
belum selesai dibahas yaitu mengenai mekanisme pemilihan presiden, status dan
kewenangan MPR serta masalah pencantuman kewajiban menjalankan syariat
islam bagi pemeluknya hingga sidang MPR tahun berikutnya (Aisyah Aminy,
2004, 386-387).
Sidang Tahunan MPR tahun 2001 diselenggarakan pada tanggal 1-9
November 2001 serta berkonsentrasi dalam perubahan ketiga UUD 1945 serta
maslah lainnya yang dianggap penting. Perubahan UUD 1945 pada sidang ini
meliputi pasal 1 tentang kedaulatan dan negara Indonesia, pasal 3 tentang MPR,
pasal 6 A tentang pemilihan presiden, pasal 7A tentang pemberhentian presiden,
pasal 8 tentang presiden, pasal 11 tentang presiden dalam membuat perjanjian
Internasional, pasal 17 tentang pembentukan, pengubahan dan pembubaran
kementerian, pasal 22 C tentang DPD, pasal 22D tentang DPD, pasal 22E tentang
pemilu, pasal 23 tentang APBN, pasal 23 A tentang pajak, Pasal 23 C tentang
keuangan negara, pasal 23 E tentang BPK, pasal 23 F tentang Anggota BPK, pasal
23 G tentang kekuasaan kehakiman, pasal 24 A tentang MA, pasal 24 B tentang
KY, Pasal 24 C tentang MK. Perubahan ini cukup mendasar terutama tentang
kedaulatan rakyat yang semula sepenuhnya dipegang oleh MPR menjadi
berdasarkan UUD 1945 atau mengurangi kewenangan MPR. Demikian pula,
tentang pemilihan presiden secara langsung, terdapat lembaga baru dengan nama
DPD yang dipilih secara langsung. Lembaga yang antara lain berwenang
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung serta MK yang berwenang
memutuskan pembubaran Partai Politik, Perselisihan tentang hasil pemilu,
menguji UU terhadap UUD 1945, sengketa lembaga kewenangan lembaga negara
dan mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden/wakil presiden yang diajukan
oleh DPR (Aisyah Aminy, 2004, 393-394).
Sidang Tahunan MPR 2002 diselenggarakan pada tanggal 1-11 Agustus
2002. Sidang tahunan ini memfokuskan pembahasan pada perubahan keempat
atau terkhir dari UUD 1945. Perubahan keempat UUD 1945 dalam sidang ini
meliputi pasal 3 tentang MPR, pasal 6 A ayat 4 tentang Calon pasangan presiden
dan wakil presiden, pasal 8 ayat 3 tentang Presiden, pasal 11 ayat 1 tentang
pernyataan perang, pasal 16 tentang presiden membentuk Dewan Pertimbangan,
pasal 23 B tentang mata uang, pasal 23 D tentang bank sentral, pasal 24 ayat 3
tentang Badan-Badan lain, pasal 31 tentang warganegara, pasal 32 tentang
kebudayaan nasional, pasal 33 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan
sosial, pasal 34 ayat 1 tentang fakir miskin, dan pasal 37 tentang perubahan UUD
1945 serta aturan Peralihan dan Aturan Tambahan (Aisyah Aminy, 2004, 396).
Dalam sidang ini terdapat beberapa masalah kontroversial yang banyak dibahas
antara lain: a. Mengenai pemilu presiden secara langsung tahap dua dilakukan
oleh MPR atau dikembalikan kepada rakyat, tetapi akhirnya disetujui dengan
dikembalikan kepada rakyat. Dalam hubungannya dengan pemilihan presiden
secara langsung diperkuat oleh Tap MPR No. IV/MPR/2002 tentang pencabutan
ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tentang tata cara pencalonan dan pemilihan
presiden dan wakil presiden RI (Aisyah Aminy, 2004, 396).

4.3.3 Pasal-Pasal Amandemen UUD 1945 yang Berhubungan dengan


Pemilihan Presiden Secara Langsung Beserta Alasannya
Dalam hal gagasan pemilihan presiden secara langsung pada amandemen
UUD 1945 pertama sudah menjadi wacana yang diperdebatkan oleh publik
apakah tetap dipilih oleh MPR atau dipilih secara langsung. Sikap fraksi di
DPR/MPR memiliki perbedaan pandangan dalam hal ini, antara lain yang setuju
dengan pemilihan preisden secara langsung yang dimluai sejak Rapat BP MPR
ke-2. Tetapi hingga Rapat Komisi C SU MPR ke-1 tanggal 17 Oktober 1999
perdebatan meilihan presiden tidak muncul serta hanya disinggung F-PDIP. Hal
mengenai pemilihan presiden akan dilanjutkan dalam amandemen UUD 1945
kedua. Pada sidang Amandemen UUD 1945 kedua dalam ST MPR tahun 2000
masih belum ditemuan pula kesepakatan antar fraksi di MPR tetapi terdapat 4
varian yang dicantumkan dalam Tap MPR No. IX/MPR/2000 yang akan
dirapatkan dalam persidangan selanjutnya . Pada sidang ketiga pada akhirnya
mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung disepakati
oleh seluruh anggota MPR dalam pasal 6 A, tetapi masih belum mencapai
kesepakatan mengenai mekainsime pemilihan presiden putaran kedua dalam ayat
4. Sedangkan dalam sidang amandemen UUD keempat 8 Agustus 2002 seluruh
anggota MPR dapat merampungkan mengenai mekanisme pemilihan presiden
putaran kedua dalam ayat 4 yang masih dikosongkan sidang amandemen UUD
1945 yang ketiga.(Tim Penyusun MK, 2010b, 239, 248-249, 316-317, 477, dan
504). Sedangkan Pasal 6 A hasil Amandemen Ketiga dan Keempat yang mengatur
mekanisme pemilihan presiden secara langsung yaitu,
1. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat (Amandemen Ketiga).
2. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum (Amandemen Ketiga).
3. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara
lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum
dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar
di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi
Presiden dan Wakil Presiden (Amandemen Ketiga).
4. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih
dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan
Wakil Presiden (Amandemen Keempat).
5. Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut
diatur dalam undang-undang (Amandemen Ketiga) (UUD 1945 Satu
Naskah, 2012, hlm. 4).

Berdasarkan kepada sejarah pemilihan presiden di Indonesia yang melalui


sistem perwakilan pada masa Orde Lama, Orde Baru dan masa awal Reformasi
yang menghasilakn pemerintah yang ototriter atau pemerintah yang mudah
ditumbangkan, pemilihan presiden secara langsung dengan hasil amandemen
tersebut setidaknya bertujuan antara lain sebagaimana pendapat dari Smita
Notosusanto antara lain pertama presiden yang terpilih akan memiliki mandat dan
legitimasi yang kuat karena didukung oleh rakyat yang memilihnya secara
langsung. Kedua, presiden yang terpilih tidak akan terikat pada konsesi dari partai
politik, ketiga, sistem ini lebih accountable dibandingkan dengan sistem
pemilihan melalui MPR karena rakyatlah yang langsung mennetukan pilihannya
tanpa diwakilkan kepada MPR, terjadinya Check an Balance antara lembaga
legislatif dan eksekutif, dan terakhir rakyat dapat memberikan penilaian secara
langsung dalam menenutkan pilihannya dalam Pilpres secara langsung (Siti Yulia
Irfany Syarifuffin, 2003, hlm. 29-31). Sedangkan dalam mekanisme pemilihan
Pilpres secara langsung di Indonesia nampaknya menggunakan sistem popular
vote (jumlah suara terbanyak) dan UUD 1945 hasil amandemen mengamanatkan
penerapan sistem presidensial multipartai sehingga berbeda dengan yang
digunakan di Amerika Serikat. Selain itu terdapat pasal lain yang memperkuat
sistem presidensial di Indonesai tersebut, antara lain pasal 7 yang membatasi masa
jabatan presiden, pasal 9 mengenai sumpah/janji presiden dan wakil presiden, dan
pasal 24C mengenai MK yang berwenang dalam mengadili presiden yang hendak
di impeachment oleh DPR.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfoud Md, 2003, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: PR.Rineka
Cipta.

Zoelva, H (Editor). (2011). Pemakzulan Presiden Di Indonesia. Jakarta: Penerbit


Sinar Grafika).

Sugeng Hadiwinata, B dan Schuck, C. (2010). Demorkasi Indonesia: Teori dan


Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Tim Penyusun MK. 2010a. Naskah Kmprehensif Perubahan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945-2002 : Buku I (Latar Belakang,
Proses, dan Hasil PErubahan UUD 1945). Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK.

Tim Penyusun MK. 2010b. Naskah Kmprehensif Perubahan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945-2002 : Buku V (Pemilihan Umum).
Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK.

Rumah Pemilu. (2012). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 Dalam Satu Naskah. Jakarta: Rumah Pemilu.

Yulia Irfani Syarifuddin, S. (2003). Penerapan Sistem Demokrasi Dalam


Pemilihan PResiden Secara Langsung. Tesis Magister Tidak Diterbitkan. Depok:
Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan.

Anda mungkin juga menyukai