Hal ini didukung oleh sikap B.J Habibie yang memiliki legitimasi
pemerintahan yang lemah melakukan kebijakan yang populis antara lain
mendorng reformasi pemilu 1999, mendorong dilakukannya SI MPR dalam
menentukan jadwal pemilu 1999, memberikan kebebesan pers dan kebebasan
berpendapat, membebasakan tahanan politik dan melaksanakan pemilu 1999. SI
MPR yang dilakukan apda bulan november 1998 menghasilkan 12 Tap dengan 3
Tap merupakan embrio bagi berlangsungnya amandemen UUD 1945 yaitu Tap
MPR No.VIII Tahun 1998 mengenai pencabutan Tap MPR 1983 menganai
persyaratan referendum, Tap MPR No. XIII Tahun 1998 mengenai pembatasan
masa jabatan presiden dan wakil presiden, dan Tap MPr No. XVII Tahun 1998
mengenai HAM. Tap pencabutan Referendum bertujuan dalam memperlancar
amandemen UUD 1945, Tap pembatasan masa jabatan presiden untuk
menghilangkan pemerintahan yang otoriter seperti masa Orde baru, dan Tap HAM
untuk mengakomodasi penegakkan HAM yang sebelumnya tidak diatur dengan
jelas (Denny Indrayana, 2007, 169-171).
SI MPR 1999 hasil pemilu 1999 diselenggarakan dari tanggal 14-21
Oktober 1999. Sidang ini bersifat historis karena waktu pertama kalinya terjadi
perubahan UUD 1945. Pada awalnya Amandemen UUD 1945 mengalami pro
kontra dalam sebagian fraksi-fraksi di MPR dan di masyarakat, tetapi dengan
kesadaran terhadap sejarah kekuasaan Indonesia dengan landasan UUD 1945 yang
cukup singkat dan kewenangan yang besar diberikan kepada presiden telah
menjadi bahan yang efektif untuk pemusatan kekuasaan di tangan
eksekutif/presiden. Sementara lembaga legislatif seperti DPR lemah dalam
menolak keinginan/keputusaanpresiden seperti dektrit 5 Juli 1959 dan dominasi
kekuasaan Presiden Soeharto selama masa Orde Baru. Oleh karena itulah salah
satu dari sekian agenda reformasi yang digelar oleh seluruh kelompok dan
kekuatan politik reformasi adalah perubahan UUD 1945 (Aisyah Aminy, 2004,
382-383). Dalam perubahan UUD 1945 pada awalnya terjadi perbedaan pendapat
tetapi pada akhirnya disepakati yaitu perubahan dilakukan dalam bentuk
amandemen, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, Sistem pemerintahan
bersifat presidensial, bentuk negara tetap NKRI/negara kesatuan, dan
menghilangkan penjelasan UUD 1945 serta memasukkan substansi yang penting
ke dalam pasal-pasal UUD 1945 (Aisyah Aminy, 2004, 383). Pasal yang
mengalami perubahan yaitu pasal 5 ayat 1 tentang hak presiden untuk mengajukan
RUU kepada DPR, pasal 7 tentang pembatasan masa jabatan presiden, pasal 9
tentang sumpah/janji presiden dan wakil presiden, pasal 13 ayat 2 tentang
mengangkat duta dengan pertimbangan DPR, pasal 14 tentang pemberian grasi
dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA, pasal 15 tentang pemberian jasa, gelar,
dll. Tanda kehormatan presiden, pasal 17 ayat 2 dan 3 tentang pengangkatan dan
pemberhentian menteri, pasal 20 tentang kekuasaan pembentukan UU oleh DPR,
pasal 21 tentang Hak anggota untuk mengajukan RUU (Aisyah Aminy, 2004,
383).
Sidang tahunan MPR tahun 2000 diselenggarakan pada tanggal 7-18
Agustus tahun 2000. Dalam sidang ini masalah utama yang dibahas adalah
mengenai perubahan kedua UUD 1945 dan membahas Rantap-Rantap yang sudah
disiapkan BP MPR. Perubahan kedua UUD 1945 meliputi pasal 18 tentang
pemerintah daerah, pasal 19 tentang DPR, pasal 20 tentang RUU, pasal 22 A
tentang tata cara pembentukan UU, pasal 26 ayat 2 dan 3 tentang warga negara
dan penduduk, pasal 27 ayat 3 tentang bela negara, pasal 28 tentang HAM, pasal
30 tentang pertahanan dan keamanan negara, pasal 36 A tentang lambang negara
dan pasal 36 B tentang lagu kebangsaan. Dalam pasal-pasal tersebut terjadi
perubahan dan penambahan dengan tidak mengubah pasalnya-pasalnya tetapi
mengubah atau menambah materinya mengenai Otda, penguatan kedudukan DPR,
warga negara dan kependudukan, HAM, pertahanan dan keamanan, lambang
negara dan lagu kebangsaan. Dalam perubahan tersebut terdapat masalah yang
belum selesai dibahas yaitu mengenai mekanisme pemilihan presiden, status dan
kewenangan MPR serta masalah pencantuman kewajiban menjalankan syariat
islam bagi pemeluknya hingga sidang MPR tahun berikutnya (Aisyah Aminy,
2004, 386-387).
Sidang Tahunan MPR tahun 2001 diselenggarakan pada tanggal 1-9
November 2001 serta berkonsentrasi dalam perubahan ketiga UUD 1945 serta
maslah lainnya yang dianggap penting. Perubahan UUD 1945 pada sidang ini
meliputi pasal 1 tentang kedaulatan dan negara Indonesia, pasal 3 tentang MPR,
pasal 6 A tentang pemilihan presiden, pasal 7A tentang pemberhentian presiden,
pasal 8 tentang presiden, pasal 11 tentang presiden dalam membuat perjanjian
Internasional, pasal 17 tentang pembentukan, pengubahan dan pembubaran
kementerian, pasal 22 C tentang DPD, pasal 22D tentang DPD, pasal 22E tentang
pemilu, pasal 23 tentang APBN, pasal 23 A tentang pajak, Pasal 23 C tentang
keuangan negara, pasal 23 E tentang BPK, pasal 23 F tentang Anggota BPK, pasal
23 G tentang kekuasaan kehakiman, pasal 24 A tentang MA, pasal 24 B tentang
KY, Pasal 24 C tentang MK. Perubahan ini cukup mendasar terutama tentang
kedaulatan rakyat yang semula sepenuhnya dipegang oleh MPR menjadi
berdasarkan UUD 1945 atau mengurangi kewenangan MPR. Demikian pula,
tentang pemilihan presiden secara langsung, terdapat lembaga baru dengan nama
DPD yang dipilih secara langsung. Lembaga yang antara lain berwenang
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung serta MK yang berwenang
memutuskan pembubaran Partai Politik, Perselisihan tentang hasil pemilu,
menguji UU terhadap UUD 1945, sengketa lembaga kewenangan lembaga negara
dan mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden/wakil presiden yang diajukan
oleh DPR (Aisyah Aminy, 2004, 393-394).
Sidang Tahunan MPR 2002 diselenggarakan pada tanggal 1-11 Agustus
2002. Sidang tahunan ini memfokuskan pembahasan pada perubahan keempat
atau terkhir dari UUD 1945. Perubahan keempat UUD 1945 dalam sidang ini
meliputi pasal 3 tentang MPR, pasal 6 A ayat 4 tentang Calon pasangan presiden
dan wakil presiden, pasal 8 ayat 3 tentang Presiden, pasal 11 ayat 1 tentang
pernyataan perang, pasal 16 tentang presiden membentuk Dewan Pertimbangan,
pasal 23 B tentang mata uang, pasal 23 D tentang bank sentral, pasal 24 ayat 3
tentang Badan-Badan lain, pasal 31 tentang warganegara, pasal 32 tentang
kebudayaan nasional, pasal 33 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan
sosial, pasal 34 ayat 1 tentang fakir miskin, dan pasal 37 tentang perubahan UUD
1945 serta aturan Peralihan dan Aturan Tambahan (Aisyah Aminy, 2004, 396).
Dalam sidang ini terdapat beberapa masalah kontroversial yang banyak dibahas
antara lain: a. Mengenai pemilu presiden secara langsung tahap dua dilakukan
oleh MPR atau dikembalikan kepada rakyat, tetapi akhirnya disetujui dengan
dikembalikan kepada rakyat. Dalam hubungannya dengan pemilihan presiden
secara langsung diperkuat oleh Tap MPR No. IV/MPR/2002 tentang pencabutan
ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tentang tata cara pencalonan dan pemilihan
presiden dan wakil presiden RI (Aisyah Aminy, 2004, 396).