Anda di halaman 1dari 13

TUGAS HUKUM DAN KEBIJAKAN

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN KELAUTAN

HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR (HP-3)

UU NO. 27 TAHUN 2007 Jo UU NO. 1 TAHUN 2014

OLEH:

ISMA RISKIANI

L022171003

PROGRAM PASCASARJANA
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR TERPADU
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 3
A. Latar belakang ............................................................................................ 3
B. Tujuan ........................................................................................................ 4
II. PEMBAHASAN ............................................................................................. 5
A. Perubahan Pasal Pada HP3 ....................................................................... 5
B. Deskripsi Pertimbangan Dalam Putusan MK tentang HP-3......................... 9
C. Penilaian Terhadap Dasar Pertimbangan Putusan MK atas HP-3 ............ 11
III. PENUTUP ............................................................................................... 12
A. Kesimpulan ............................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dinamika kehidupan masyarakat terus berkembang dan menuntut pedoman


hukum yang semakin lengkap untuk menjamin pelaksanaan dan penegakan
kebijakan yang efektif. Pedoman hukum yang dibuat tidak hanya berkaitan
dengan hal-hal yang berhubungan dengan dunia politik namun juga aspek
lingkungan seperti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi Sumber Daya Alam yang tinggi,
dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan,
dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara
berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan
partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum
nasional. Akhirnya pada tahun 2007 pemerintah merumuskan Undang-Undang
tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang tertuang dalam
UU No. 27 Tahun 2007.
Dari waktu ke waktu kemudian didapati bahwa Undang-Undang tersebut
belum mampu memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara
memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga
beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum di masyarakat.
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir atau biasa disingkat dengan (HP3)
merupakan suatu terobosan baru pemerintah dalam hal pengelolaan wilayah
pesisir. Terobosan pemerintah ini merupakan sebuah bentuk privatisasi terhadap
wilayah pesisir yang dimana bertujuan untuk menjaga kelestarian sumber daya
alam pesisir. Dalam perjalanannya HP3 begitu ditentang oleh masyarakat
khususnya masyarakat adat dan nelayan tradisional karena dengan adanya HP3
maka akan merugikan dan tidak melindugi kepentingan masyarakat adat dan
nelayan tradisional yang telah turun temurun mencari nafkah di wilayah pesisir.
Berdasarkan latar belakang tersebut menimbulkan suatu perumusan masalah
apakah HP3 sudah memenuhi rasa keadilan dan kepatutan didalam masyarakat
Indonesia, serta bagaimana prospek kedepannya HP3 yang tercantum dalam
undang-undang nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau kecil.
3
B. Tujuan

Tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengkaji UU no 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terkait perubahan HP-3
menjadi perizinan.

4
II. PEMBAHASAN

A. Perubahan Pasal Pada HP3

Beberapa perubahan dilakukan mulai dari perubahan yang kecil terkait


dengan EYD dan struktur kalimat, penambahan pasal, perincian pasal menjadi
beberapa butir, hingga perubahan esensial terkait makna dan istilah yang
dijabarkan dalam perundang-undangan tersebut. Perubahan yang cukup vital
tersebut adalah mengenai HP-3, yaitu Hak Penguasaan Pesisir yang kemudian
diperbarui menjadi Izin Lokasi melalui UU No.1 Tahun 2004. Istilah Hak
Penguasaan Pesisir (HP-3) dianggap belum mewakili kebijakan pemerintah,
karena istilah Hak memunculkan kesan bahwa dalam pelaksanaan pengelolaan
pesisir tidak terdapat kesempatan dari pemerintah untuk dapat menuntut apa-apa
terkait pengelolaan wilayah pesisir yang telah dilakukan. Sehingga pihak
pengelola pesisir seakan-akan tidak memiliki tanggung jawab apa-apa kepada
pemerintah atas apa yang telah dilakukan. Hal ini tentu menjadi suatu kendala
bagi pemerintah dalam mengontrol bagaimana seharusnya pengelolaan wilayah
pesisir dilakukan. Hal ini merupakan suatu manifestasi bahwa sejatinya seluruh
kekayaan alam dan sumber daya yang ada di bumi pertiwi Indonesia ini
merupakan milik Negara dan sudah seharusnya berbagai pengelolaannya juga
dipertanggungjawabkan kembali kepada Negara.
Di dalam UU No.1 Tahun 2014 juga disebutkan aturan mengenai rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam hal pemberian izin lokasi.
Dalam peraturan sebelumnya HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20 tahun,
sedangkan dalam peraturan ini pemegang Izin Lokasi akan di evaluasi di 2 tahun
pertama sejak diterbitkannya izin, apabila pemegang izin tidak merealisasikan
kegiatannya dalam jangka waktu tersebut maka akan dikenai sanksi administratif
berupa pencabutan Izin Lokasi. Selain itu sanksi bagi pihak yang melakukan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa memiliki izin lokasi akan
dikenai nominal denda dan kurungan masa tahanan yang lebih lama daripada
yang tertera pada peraturan sebelumnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang diucapkan
pada hari Kamis, 9 Juni 2010 dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK)
terbuka untuk umum, telah menyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat
beberapa pasal yang terkait dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3),
yaitu Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal
5
21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat
(1), Pasal 71 serta Pasal 75.
Segenap ketentuan yang berkenaan dengan HP-3 dalam pasal-pasal
tersebut dinilai oleh MK bertentangan dengan UUD 1945. Masalah utama yang
menjadi pertimbangan MK adalah konstitusionalitas pasal-pasal tersebut di atas
yang dianggap bertentangan dengan 12 (dua belas) norma konstitusional dalam
UUD 1945. MK berpendapat bahwa pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil dengan instrument HP-3 tidak dapat memberikan jaminan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ada 4 (empat) tolok ukur yang
digunakan oleh MK dalam mengukur manfaat bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat tersebut, yaitu:
1. Kemanfaatan sumberdaya alam bagi rakyat;
2. Tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;
3. Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumberdaya alam;
4. Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam
memanfaatkan sumber daya alam.
Keempat tolok ukur itulah yang digunakan oleh MK untuk menilai HP-3
bertentangan dengan Konstitusi. Oleh karena putusan MK bersifat final, sehingga
tidak ada lagi upaya hukum untuk mempertahankan HP-3 sebagai instrument
hukum dalam pemanfaatan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pihak pemerintah tidak boleh lagi memberikan hak-hak tersebut kepada
pihak-pihak swasta ataupun asing untuk menguasai wilayah pesisir dan perairan
baik untuk kepentingan pariwisata, budidaya dan pertambangan. Seluruh jajaran
pemerintah harus segera menyusun langkah-langkah kerja untuk
mengoperasionalkan putusan ini sehingga tidak ada lagi motif pelaksanaan
kebijakan yang mangabaikan kedaulatan nelayan lokal dan nelayan tradisional
atas sumber daya pesisir dan perairan.
Perubahan Terhadap Pasal-Pasal HP3 (hak pengusahaan perairan pesisir)
untuk menuju ke sebuah peraturan yang adil dan pantas bagi masyarakat
Indonesia dapat dilihat sebagai berikut:
 Perubahan Terhadap Pasal-Pasal HP3 (hak pengusahaan perairan
pesisir) dan Aturan-aturan yang diperlukan untuk mendukung HP3
Untuk menuju pada aturan HP3 yang memenuhi rasa keadilan dan
kepatutan didalam masyarakat Indonesia, maka diperlukan diadakan
perubahan pada Pasal 17 ayat (2), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1) dan (2), Pasal

6
20 ayat 3, Pasal 21 ayat (1) dan 61 ayat (1). dan ditambahkan juga aturan
tentang pejabat yang berwenang yang tidak melaksanakan pengawasan
terhadap ketaatan lingkungan pesisir, pelanggaran tata ruang pesisir bagi
pemberi izin dan pemohon izin, insentif pajak, penghargaan, pencegahan dan
pelatihan oleh ahli-ahli hukum ,ekonomi, lingkungan pesisir, dan lain-lain yang
disediakan dinas atau departemen kelautan dan perikanan. Dilihat secara
kepastian hukum, perubahan HP3 sangat diperlukan karena dengan
perubahan ini akan lebih memberikan jaminan hukum kepada siapapun yang
melakukan usahanya di wilayah pesisir. Oleh karena itu perubahan yang
diperlukan adalah perubahan terhadap syarat-syarat untuk mendapatkan
HP3.
 Perubahan aturan HP3 secara Kepastian Hukum
Secara kepastian hukum, hak pengusahaan perairan pesisir (HP3)
memberikan suatu kepastian hukum. Kepastian hukum menurut Gustav
Radbruch adalah menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan
yang harus ditaati.
Pemerintah yang diwakili Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu
Mohamad Syamsul Maarif melihat Undang-undang ini dapat memberikan
kepastian hukum bagi pelaku usaha. Melalui Undang-undang ini pelaku
usaha diharapkan dapat mendatangkan pendapatan bagi negara dari
kegiatan yang berlangsung di wilayah perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sebagai catatan, Ini adalah pertama kali pemerintah memberikan landasan
hukum atas pengusahaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pemerintah berdalih bahwa sebuah kepastian atas pengusahaan perairan
akan mampu menggenjot perekonomian pesisir yang sejauh ini belum
banyak menyumbang bagi pendapatan nasional
Menurut advokat senior Henry Thomas Simarmata (IHCS) dari saksi
ahli dari Koalisi Tolak HP3 (anggota koalisi di antaranya adalah KIARA,
IHCS, PK2PM, KPA, SPI, Yayasan Bina Desa Sadajiwa, YLBHI, WALHI)
dengan adanya sebuah hak atas pengusahaan perairan pesisir maka
masyarakat tradisional akan dihadapkan pada birokrasi dan juga persoalan
hukum yang akan sangat potensial merugikan mereka. Niat pemerintah untuk
menghadirkan kepastian hukum, kemungkinan besar justru akan menjadi
pengganjal usaha masyarakat tradisional. Klaim atas pengakuan hak adat
justru kemungkinan tergusur oleh berbagai persyaratan teknis, administratif

7
dan operasional21. Nur Hasan (Ahli dari Pemohon) menyatakan bahwa
Objek HP3 tidak jelas sehingga bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 kita di sana menyatakan adanya hak dari setiap
orang untuk memperoleh kepastian hukum yang adil.
Kepastian hukum di definisikan adanya kejelasan norma yang
menjadi acuan berperilaku bagi setiap orang. Kejelasan norma itu tentu harus
ada indikatornya, ada ukurannya.
Ada tiga indikator untuk menyatakan bahwa sebuah norma itu
memberikan kepastian hukum, yaitu:
a) Norma itu mengandung konsistensi, baik secara internal di dalam
undang-undang itu sendiri maupun konsistensi horisontal dengan
undang-undang yang lain ataupun konsistensi secara vertikal dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah
dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri.
b) Bahwa ada kepastian hukum itu kalau konsep penormaannya atau
rumusan normanya tidak mengandung multi makna, tidak
mengandung multitafsir.
c) Ada suatu implikasi yang sangat jelas terhadap pilihan-pilihan perilaku
yang sudah diatur di dalam undang-undang atau di dalam peraturan
perundang-undangan itu sendiri.
Menurut Penulis, asas kepastian hukum sangat mutlak diperlukan unntuk
menjamin siapapun yang melakukan usahanya diwilayah pesisir, baik nelayan,
masyarakat adat, orang perorangan dan badan usaha. Karena ketika Undang-
Undang itu mengatur sebuah hak, maka negara memberikan sebuah jaminan
atas hak itu. Hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) adalah suatu hak yang
diatur oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, karena diatur dalam Undang-
Undang maka HP3 berarti dijamin negara. Sehingga setiap orang tidak ragu
melakukan usahanya di pesisir karena itu merupakan suatu hal yang Legal / sah.
Sertifikat HP3 merupakan bukti kepemilikan juga merupakan bukti bahwa adanya
kepastian hukum. Sertifikat HP3 ini akan diperoleh setelah memenuhi syarat,
teknis dan operasional. Menurut Henry Thomas Simarmata, Kepastian hukum
yang berupa kepemilikan sertfikat HP3 akan terganjal oleh persyaratan teknis,
adminstratif, dan operasional. Penulis sangat setuju dengan pendapat Henry
Thomas Simarmata diatas, dikarenakan persyaratan sangat sulit dipenuhi oleh
masyarakat adat dan nelayan tradisional yang notabene berada dibawah garis

8
kemiskinan. Oleh karena itu, Penulis perlu memberikan saran kepada pemerintah
untuk lebih membuat persyaratan yang sangat sederhana dan membagi suatu
wilayah menjadi empat bagian, yaitu: orang-perorangan, badan usaha,nelayan
tradisional dan masyarakat adat.

B. Deskripsi Pertimbangan Dalam Putusan MK tentang HP-3

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa, Putusan MK tentang HP-3


didasari oleh pertimbangan bahwa pasal-pasal yang terkait dengan HP-3
dinyatakan inkonstitusional karena dinilai bertentangan dengan 12 pasal dalam
UUD 1945. Terdapat 2 (dua) persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh
MK, yaitu:
1. Apakah pemberian HP-3 bertentangan dengan prinsip penguasaan atas
sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, jaminan
konstitusi terhadap hak hidup dan mempertahankan kehidupan bagi
masyarakat pesisir, prinsip non-diskriminasi serta prinsip kepastian
hukum yang adil sebagaimana didalilkan oleh Pemohon;
2. Apakah penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, RAWP-3-K
yang telah mendudukkan masyarakat sbagai peserta musyawarah
melanggar hak-hak konstutusional para Pemohon sehingga bertentangan
dengan konstitusi.
MK kemudian memberikan pertimbangan hukum dan penilaian terhadap
kedua masalah konstitusional tersebut, secara garis besar dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. MK menilai bahwa perkataan “dikuasai oleh negara” harus diartikan
mencakup makna penguasaan negara dalam arti yang luas yang
bersumber dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber
kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya”, termasuk pula di dalamnya kepemilikan publik oleh
kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat
secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat
kepada negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan
(regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan
pengelolaan (beheersdaad) dan melakukan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.

9
2. Bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai oleh negara untuk
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Inilah yang
harus menjadi ukuran dalam pengelolaan sumberdaya tersebut dengan
tetap harus memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu
maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat, hak
masyarakat adat serta hak-hak kontutusional lainnya yang dimiliki oleh
masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk
melintas, hak atas lingkungan yang sehat, dll.
3. MK menilai, walaupun ada jaminan dalam Pasal 61 UU Pesisir terhadap
pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum
adat atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan
secara turun-temurun, namun hak-hak masyarakat hukum adat tersebut
potensial diserahkan kepada swasta dengan pemberian ganti rugi dalam
bentuk HP-3.
4. MK menilai pemberian HP-3 merupakan bentuk legalisasi pengkaplingan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk dijadikan private ownership
dan close ownership kepada perorangan, badan hukum atau masyarakat
tertentu.
5. Penempatan HP-3 sebagai Hak Kebendaan dinilai oleh MK akan
mengakibatkan adanya pengalihan kepemilikan dan penguasaan oleh
negara dalam bentuk single ownership dan close ownership kepada
perorangan, kelompok masyarakat dan badan hukum sehingga akan
menutup akses bagi setiap orang atas wilayah yang diberikan HP-3.
6. Menurut MK, pemberian HP-3 melanggap prinsip demokrasi ekonomi
yang berdasar pada kebersamaan dan prinsip keadilan. Prinsip
kebersamaan harus dimaknai bahwa dalam penyelenggaraan ekonomi
harus melibatkan rakyat seluas-luasnya dan menguntungkan bagi
kesejahteraan rakyat. HP-3 dinilai hanya akan menguntungkan pemilik
modal besar.
7. MK menilai apa yang menjadi tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Pesisir dianggap
tidak dapat diwujudkan dengan pemberian HP-3.
8. Karena itu, menurut MK untuk menghindari adanya pengalihan tanggung
jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-

10
pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak
pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan.
Segenap pertimbangan hukum MK tersebut yang dijadikan dasar dalam
memutuskan bahwa HP-3 melanggar konstitusi dan dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan mengikat.

C. Penilaian Terhadap Dasar Pertimbangan Putusan MK atas HP-3

Mencermati dasar pertimbangan dan putusan MK tentang HP-3 yang dinilai


oleh MK melanggar konstitusi tersebut, pada intinya menyangkut 2 (dua) hal
mendasar, yaitu:
1. Kekuasaan negara atas pengelolaan sumberdaya alam termasuk wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945, yang menurut penilaian MK akan beralih kepada pihak swasta
dengan pemberian HP-3;
2. Kekhawatiran akan tertutupnya akses masyarakat pesisir dalam
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan potensi hilangnya
hak-hak masyarakat pesisir dan terusirnya masyarakat pesisir dari
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta kearifan-kearifan lokal yang
sudah dipraktikkan secara turun-temurun dengan pemberian HP-3 dalam
UU Pesisir tersebut, diakibatkan akan munculnya dominasi swasta
sebagai pemilik modal besar yang dianggap mampu memenuhi semua
persyaratan dalam pemberian HP-3 tersebut, dimana pemberian HP-3
dapat saja meliputi wilayah yang telah dikuasai dan dikelola oleh
masyarakat pesisir secara turun-temurun.
Terhadap kedua hal tersebut, sesungguhnya dapat dijelaskan, bahwa
ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menempatkan negara sebagai
badan penguasa yang merupakan representasi kekuasaan seluruh rakyat untuk
menjalankan wewenang mengatur dalam arti yang luas, sehingga kendali
pengaturan sumberdaya alam tetap berada di tangan negara dan tidak akan
beralih kepada siapa pun, walaupun negara telah memberikan hak tertentu
kepada subjek hukum atas pengelolaan sumberdaya alam, sebab negara tetap
memberikan batasan-batasan dalam pemberian hak tersebut. Hal ini dapat
digambarkan dalam konteks penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, khususnya tanah yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
dimana kekuasaan negara meliputi baik tanah yang sudah dihaki (dipunyai
dengan suatu hak tertentu) maupun tanah yang belum dihaki.
11
III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan pada makalah ini yaitu untuk aturan HP3 yang memenuhi
rasa keadilan dan kepatutan didalam masyarakat Indonesia, maka diperlukan
diadakan perubahan pada Pasal 17 ayat (2), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1) dan (2),
Pasal 20 ayat 3, Pasal 21 ayat (1) dan 61 ayat (1). dan ditambahkan juga aturan
tentang pejabat yang berwenang yang tidak melaksanakan pengawasan
terhadap ketaatan lingkungan pesisir, pelanggaran tata ruang pesisir bagi
pemberi izin dan pemohon izin, insentif pajak, penghargaan, pencegahan dan
pelatihan oleh ahli-ahli hukum ,ekonomi, lingkungan pesisir, dan lain-lain yang
disediakan dinas atau departemen kelautan dan perikanan. Dilihat secara
kepastian hukum, perubahan HP3 sangat diperlukan karena dengan perubahan
ini akan lebih memberikan jaminan hukum

12
DAFTAR PUSTAKA

https://media.neliti.com/media/publications/110015-ID-hak-pengusahaan-
perairan-pesisir-hp3-dil.pdf
Makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas dengan Tema” Masa Depan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi”, dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar, Kamis, 22 Desember 2011. (Prof. Dr. Farida
Patittingi, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Agraria/Kelautan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil ,
UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
Wijoyo, O. dan Setyawanta, L.T. 2009. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (Hp3)
Dilihat Dari Sudut Pandang Asas Keadilan Dan Kepatutan. UNDIP.
Semarang.

13

Anda mungkin juga menyukai