Anda di halaman 1dari 16

STASE PEDIATRI

RSUD SAYANG CIANJUR


REFRESHING
“KEJANG DEMAM’

PEMBIMBING :
dr. Jauhari Tri Wasisto, Sp.A

DISUSUN OLEH :
FINA HIDAYAT
NIM : 2013730144 / NIDM : 29.46 1270 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial. (IDAI, 2016)
Keterangan :
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan
elektrolit atau metabolik lainnya
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut
sebagai kejang demam
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam,
namun jarang sekali. National Institute of Health (1980) menggunakan
batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenburg (1978), serta
International League of Epilepsy (1993) menggunakan batasan usia lebih
dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan
saraf pusat.

EPIDEMIOLOGI
Kejang demam terjadi pada 2-5% populasi anak usia 6 bulan – 5 tahun
(IDAI 2016). Kejang demam tidak berhubungan dengan adanya kerusakan otak
dan hanya sebagian kecil saja yang akan berkembang menjadi epilepsi.Insiden
kejang demam 2,2-5% pada anak dibawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih
sering dari pada perempuan dengan perbandingan 1,2-1,6 : 1 (IDAI,2011).

ETIOLOGI
Kejang disertai demam dapat disebabkan oleh infeksi susunan saraf
(meningitis, ensefalitis, atau abses otak), epilepsi yang belum terdiagnosis yang
dicetuskan oleh demam, atau kejang demam sederhana. Yang disebutkan terakhir
merupakan predisposisi genetik terhadap kejang dicetuskan oleh demam yang
sering didapatkan pada anak berusia 6 bulan sampai 6 tahun. Keadaan ini terjadi
pada 2% sampai 4% anak; sebagian besar antara usia 1 sampai 2 tahun (usia rata-
rata 22 bulan).
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam, misalnya tonsilitis
(peradangan pada amandel), infeksi pada telinga, dan infeksi saluran pernafasan
lainnya. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi
saluran pernapasan akut, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut,
bronchitis, dan infeksi saluran kemih (Soetomenggolo, 2000)

KLASIFIKASI
Kejang demam dibagi atas :
 Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang bersifat umum (bangkitan kejang tonik –
klonik), tanpa gerakan fokal, berlangsung singkat (< 15 menit), dan hanya
sekali / tidak berulang dalam 24 jam. Sebanyak 80 – 90% diantara seluruh
kejang demam merupakan kejang demam sederhana.
 Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang demam fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum
didahului kejang parsial, berlangsung lama (> 15 menit), dan kejang
berulang dalam 24 jam.
Anak biasanya berusia antara 6 bulan sampai 3 tahun dan tersering pada
usia 18 bulan. Bila kejang demam berlangsung terus sampai usia di atas 6 tahun
atau pernah mengalami kejang tanpa demam baik tonik klonik, mioklonik, absens
atau atonik, maka diklasifikasikan sebagai Generalized epilepsy with seizure plus
(GEFS+).

FAKTOR RISIKO
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain
itu, terdapat faktor-faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara
kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam
perawatan khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama,
kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira
9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Risiko rekurensi meningkat
dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat
keluarga epilepsi.
Faktor risiko berulangnya kejang demam, adalah (1) riwayat kejang
demam dalam keluarga; (2) usia kurang dari 18 bulan; (3) temperature tubuh saat
kejang, makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang; dan (4)
lamanya demam. Anak dengan kejang demam kompleks hanya memiliki risiko
7% untuk mengalami kejang demam kompleks kembali Adapun faktor risiko
terjadinya epilepsy di kemudian hari adalah (1) adanya gangguan perkembangan
neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3) riwayat epilepsy dalam keluarga; dan
(4) lamanya demam. Peluang terjadinya epilepsy 2% jika terdapat satu faktor
risiko dan 10% jika terdapat dua atau tiga faktor risiko. (IDAI, 2011)
Status epileptikus merupakan kegawat-daruratan neurologis dan
didefinisikan sebagai aktivitas kejang terus menerus selama lebih dari 20 menit
atau kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran dalam waktu lebih dari 30 menit.
Status epileptikus dapat menyebabkan hipoksemia dan penurunan perfusi korteks,
dengan akibat kerusakan otak menetap. Pada 50% anak yang datang dengan status
epileptikus, tidak ada etiologi yang dapat ditemukan, namun pada 50% anak
dalam kelompok ini, status dicetuskan oleh demam. Sekitar 25% memiliki
kerusakan otak akut, misalnya meningitis aseptic atau purulenta, ensefalitis,
gangguan elektrolit, atau anoksia akut. Dua puluh persen memiliki riwayat
kerusakan otak atau malformasi kongenital. Penghentian antikonvulsan secara
mendadak merupakan penyebab lain yang sering. Secara keseluruhan angka
kematian status epileptikus kurang dari 10% dan berhubungan dengan etiologi
pola kejang.
PATOFISIOLOGI

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan


suatu energi, yang di dapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen
disediakan dengan perantara fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui
sistem kardiovaskular. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui
proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
limpoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel
neuron dapat dilalui dengan mudah oleh kalium ( K+) dan sangat sulit dilalui oleh
ion Natrium ( Na+) dan elektrolit lainnya. Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat
keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan
diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari
sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim Na– K – ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:
1. Perubahan ion diruang ekstraseluler
2. Ragsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan
listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotrasmitter dan
terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi
rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada
suhu 38°C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang
rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu
berapa penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya
dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama
(lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi
arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang
spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2002).

MANIFESTASI KLINIS
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang
klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood)
yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat
diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama
lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24
jam ditemukan pada 16% paisen (Soetomenggolo, 2000).
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang khas yang
menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15
menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang
memerlukan pengamatan menyeluruh (Nelson, 2000).

DIAGNOSIS
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis
kejang demam antara lain :
Anamnesis
 Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, frekuensi dalam 24
jam, interval, keadaan anak pasca kejang.
 Suhu sebelum dan saat kejang
 Lama timbulnya dari demam ke kejang
 Penyebab demam di luar infeksi SSP ( gejala infeksi saluran napas akut/
ISPA, infeksi saluran kemih/ ISK, otitis media akut/ OMA, dll.)
 Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga
 Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/ muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan
hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)
Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
 Suhu tubuh mencapai 39°C.
 Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang.
 Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan
mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang
tergantung pada jenis kejang.
 Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
 Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.

Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran: Apakah terdapat penurunan kesadaran, suhu tubuh : apakah
terdapat demam.
 Tanda rangsang meningeal: Kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique,
Laseque.
 Pemeriksaan nervus kranialis
 Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun–ubun besar (UUB)
membonjol, papil edema.
 Tanda infeksi di luar SSP : ISPA, OMA, ISK, dll.
 Pemeriksaan neurologis : tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium dilakukan sesuai indikasi untuk mencari
penyebab demam atau kejang. Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer
lengkap, gula darah, elektrolit, urinalisis dan biakan darah, urin atau feses.
b. Pungsi Lumbal. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil
seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika yakin bukan
meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Indikasi
pungsi lumbal :
 Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
 Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
 Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan antibiotik tersebut dapat
mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
c. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali apabila
bangkitan bersifat fokal untuk mennetukan adanya fokus kejang di otak
yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
d. Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) dilakukan hanya jika ada indikasi,
misalnya:
 Kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis) atau
kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali,
spastisitas) atau paresis nervus kranialis
 Terdapat tanda peningkatan tekanan intra kranial (kesadaran
menurun, muntah berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI,
edema papil.

PENATALAKSANAAN
Biasanya kejang demam berlangsung singat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 12 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10
mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 12 kg. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang
belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan
interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit, lanjut tata laksana status epileptikus. Di rumah sakit
dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti, berikan fenitoin secara intravena dengan
dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1mg/kg/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 48 mg/kg/hari, dimulai
12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di
ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari jenis kejang demam, apakah kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor risikonya.

Pemberian obat pada saat demam


Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadi kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15
mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10
mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.

Antikonvulsan (pengobatan intermiten)


Antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya
pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan
salah satu faktor risiko di bawah ini :
 Kelainan neurologis berat,misalnya palsi serebral
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia <6bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh <390C
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
Obat yang diberikan adalah diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB/kali per oral atau
rektal 0,5 mg/kgBB/kali (5mg untuk BB <12kg dan 10mg untuk BB ≥12kg,
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali, Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam (IDAI, 2016). Pemberian
fenobarbital, karbamazepin, fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam (FK UNPAD, 2005).

Antikonvulsan rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka
pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dalam jangka pendek.
Indikasi pengobatan rumat :
1. Kejang fokal
2. Kejang lama > 15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Namun, pemakaian fenobarbital setiap
hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50%
kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasusm
terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
Pengobatan dilakukan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak
sedang tidak demam.

.
EDUKASI PADA ORANGTUA
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orangtua. Pada
saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara:
1. Cegah Demam pada anak dan informasikan untuk memberikan diazepam
oral saat anak demam
2. Meyakinkan bahwa kejang demam pada umumnya mempunyai prognosis
yang baik
3. Memberitahukan cara penanganan kejang
4. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
5. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dilakukan bila kembali kejang
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Posisikan kepala anak lebih rendah dari badannya
4. Bila tidak sadar, miringkan badan anak ke arah kanan untuk mencegah
muntah
5. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
6. Ukur suhu, observasi, dan catat lama dan bentuk kejang
7. Tetap bersama pasien selama kejang
8. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
9. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih

2.9 PROGNOSIS
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan
tidak menyebabkan kematian.Frekuensi berulangnya kejang berkisar antara 25-
50%, umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.Risiko untuk mendapatkan epilepsi
rendah.
PENUTUP

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan – 5
tahun yang mengalami peingkatan nsuhu tubuh (suhu >380C, dengan metode pengukuran
apapun), tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2,
kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Pada kasus ini didiagnosis sebagai
Kejang demam sederhana karena kejang yang berlangsung kurang dari 15 menit, bersifat umum
serta tidak berulang dalam 24 jam.
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab dari demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer lengkap, serum elektrolit, urinalisis,
analisa feses, dan gula darah. Hal ini teragntung dari keluhan-keluhan yang menyertai demam.
DAFTAR PUSTAKA

Behrman., Kliegman. & Arvin. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jakarta : EGC.
Ismael, Sofyan, dkk. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. Jakarta : UKK
Neurologi PP-IDAI.
Poorwo, Sumarmo S. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002: 59 – 62
Sastroasmoro, sudigto, dkk. 2007. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta : RSCM
Soetomenggolo TS. 2000. Kejang demam. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting.
Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi ke – 1. Jakarta : BP IDAI.
Kognitif
Kognitif adalah (intelektual) sebenarnya merupakan perkembangan pikiran. Pikiran anak
Anda adalah bagian dari otaknya yang bertanggung jawab terhadap bahasa, pembentukan
mental, pemahaman, penyelesaian masalah, pandangan, penilaian, pemahaman sebab akibat,
serta ingatan.
Kognitif merupakan salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum kognitif
diartikan potensi intelektual yang terdiri dari tahapan : pengetahuan (knowledge), pemahaman
(comprehention), penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi
(evaluation). Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan
kemampuan rasional (akal).
Teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan
kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain. Oleh sebab itu kognitif berbeda dengan
teori behavioristik, yang lebih menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan
dengan cara kemampuan merespons terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.
Karakteristik perkembangan kognitif pada masa pertengahan anak-anak adalah pemikiran
operasional konkret. Dimana, pada tahap ini dapat melakukan operasi-operasi dengan mengubah
tindakan secara mental, memperlihatkan keterampilan-keterampilan konservasi; penalaran secara
logis menggantikan penalaran intuitif, tetapi hanya di dalam keadaan-keadaan konkret; tidak
abstrak (misalnya, tidak dapat membayangkan langkah-langkah persamaan aljbar); keterampilan-
keterampilan klasifikasi-dapat menggolongkan benda-benda ke dalam perangkat-perangkat dan
sub-subperangkat dan bernalat tentang keterkaitannya. Pada masa pertengahan dan akhir anak-
anak, perkembangan kognitif anak-anak sudah semakin matang sehingga memungkinkan
orangtua untuk bermusyawarah dengan mereka tentang penolakan penyimpangan dan
pengendalian perilaku mereka.

Referensi
Yusuf,Syamsu. (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Gunadarsa, Singgih D.. (2008). Psikologi Perkambangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung
Mulia

Anda mungkin juga menyukai