Anda di halaman 1dari 9

INTERNATIONAL WORKSHOP AND GUEST LECTURE:

UTILIZATION VRML SYSTEM FOR ENCOURAGE COMMUNITY PARTICIPATION


ON CITY PLANNING AND DESIGN PROCESS
On 5th – 7th December 2013
at Architecture Department, Faculty of Engineering, Brawijaya University

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ARSITEKTUR


KAWASAN KAYUTANGAN

Antariksa

Pendahuluan
Kayutangan yang sekarang adalah Jalan Basuki Rahmat, merupakan salah satu
kawasan bersejarah di Kota Malang, kawasan ini pada masa colonial merupakan kawasan
pusat perdagangan di Kota Malang selain kawasan Pecinan.Kawasan ini menyimpan banyak
sejarah, hal ini dapat dilihat dari tampilan visual bangunan-bangunan yang ada di kawasan
tersebut.Kawasan Kayutangan, adalah koridor Jalan Basuki Rahmat yang memiliki fungsi
utama sebagai kawasan perdagangan dan jasa. Koridor ini pada awalnya terdiri atas bangunan-
bangunan kolonial kuno bersejarah yang berderet sepanjang Jalan Basuki Rahmat. Selain itu,
ada pula kawasan perkampungan di gang-gang Kayutangan yang memiliki fungsi sebagai
kawasan permukiman. Kawasan perkampungan ini masih memiliki bangunan-bangunan rumah
tinggal dengan gaya arsitektur kolonial Belanda yang masih bertahan.
Tuntutan ekonomi dan kurangnya perangkat hukum menyebabkan bangunan-bangunan
kuno bersejarah yang ada berganti dengan bangunan-bangunan baru bergaya arsitektur
modern.Terdapat perubahandan pembongkaran bangunan-bangunan kuno bersejarah yang
ada di Kawasan Kayutangan meskipun telah diatur dalam Kebijakan Pemerintah Daerah
Tingkat II Kotamadya Malang Nomor SK/104/U/II’80 yang kemudian diperkuat menjadi Perda
No. 5 Tahun 1987 dan kemudian dilakukan perubahan menjadi Perda No. 10 tahun 1989 yang
isinya mengatur tentang larangan merubah atau membongkar bangunan yang memiliki nilai
sejarah termasuk Kawasan Kayutangan, sehingga menghilangkan cirri atauk arakter visual
lama Kayutangan yang menganutaliran NieuweBouwen (Handinoto 1996:23). Bangunan-
bangunan permukiman kuno bercorak kolonial yang berada di kawasan perkampungan
kondisinya tidak terawat, selain itu bangunan tersebut mengalami perubahan façade dari
bangunan kolonial menjadi bangunan modern, serta mengalami penghancuran sehingga tidak
Nampak lagi nilai-nilai sejarah dan arsitekturnya.
Berkuasanya Belanda di Kota Malang ternyata secara langsung maupun tidak langsung
akan mempengaruhi bentuk tata kota, permukiman dan arsitektur yang ada. Arsitektur
merupakan produk yang dapat mewakili keberadaan suatu budaya masyarakat dari sutu kurun
waktu tertentu.

SejarahPerkembangan Kota Malang dan Kayutangan


Kota Malang sudah ada sejak tahun 1400-an, tapi baru berkembang dengan pesat
sebagai kota modern pada tahun 1914, yaitu setelah ditetapkannya Malang sebagai Kotamadya
“Gemente”. Mengapa kota yang strategis dan sangat indah ini baru berkembang setelah tahun
1914?. Hal tersebut karena investasi besar-besaran dalam bidang struktur dan komunikasi (UU
Agraria dan UU Gula) baru dilakukan oleh Pemerintah Belanda dan swasta setelah tahun 1870.
Koridor Kayutangan merupakan kawasan di pusat Kota Malang yang merupakan akses
utama yang menghubungkan pusat kota dengan Surabaya. Kawasan Kayutangan juga memiliki
potensi yang cukup besar di dalam sejarah perkembangan Kota Malang, karena
keberadaannya sebagai bagian struktur kota telah dimulai sejak zaman Kolonial Belanda
(Widyawati 2004:165). Istilah Kajoetangan muncul disebabkan karena adanya penunjukkan
arah berbentuk telapak tangan yang terbuat dari kayu, seperti yang diruaikan dalam buku
Malang Tempo Doeloe Djilid Satoe sebagai berikut (Widodo 2006:219):
“Di sebelah timur pertigaan Jl. Oro-oro Dowo dengan Kayutangan, pada saat itu
terdapat petunjuk lalu lintas yang berbentuk telapak tangan yang sedang menunjuk dan
terbuat dari kayu. Petunjuk tersebut menyarak ke tiga tempat. Ke arah barat menuju
Batu, ke arah selatan menuju Blitar, dan ke arah utara menuju Surabaya.”
Lebih lanjut, Widodo menjelaskan bahwa pada saat itu terdapat jajaran pepohonan di
sepanjang Kajoetangan dengan bentuk daun yang aneh, yakni berbentuk telapak tangan yang
mengembang (Widodo, 2006:202). Pendapat lain menurut Rd. Bambang Sutrisno bercerita
bahwa Kayutangan awal mula berupa tanah kosong, kemudian pada masa pemerintahan
Belanda mulai dibangun sebagai daerah perdagangan. Beliau juga mengatakan bahwa nama
Kayutangan berasal dari huruf sandi. Nama Kayutangan merupakan sebutan dari masyarakat
sendiri, yang mempunyai maksud antara lain sebagai berikut: 1. Mempererat persahabatan
tidak pandang suku bangsa; 2. Merupakan alat keperagaan bangunan; dan 3. Bangunan
merupakan tongkat penyangga (penunjuk) perdamaian. (Hersanti 2008:61). Secara umum,
Kajoetanganstraat digambarkan sebagai suatu koridor perdagangan terkemuka di Kota Malang
dan di dalamnya selalu terjadi interaksi sosial masyarakat, karena didukung dengan suasana
lingkungan yang rapi, teratur, dan nyaman. Pada tahun 1914 pusat Kota Malang masih terletak
di alun-alun kotanya. Daerah permukiman orang Eropa terletak di sebelah Barat Daya dari alun-
alun (Taloen, Tongan, Sawahan dan sebagainya), serta sepanjang Kayoetangan, Oro-oro
Dowo, Tjelaket, Klojenlor, dan Rampal (Handinoto & Soehargo 1996:42). Pada kondisi
sekarang ini di Kayutangan masih ditemukan berberapa bangunan kolonial Belanda. Rumah-
rumah tinggal yang berada di perkampungan kota di Kayutangan ini, beberapa masih terawat
dan dipelihara. Pada masa kolonial daerah Kayutangan merupakan salah satu daerah
pertokoan dan perdagangan orang Belanda. Daerah ini merupakan daerah perdagangan yang
ramai dikunjungi masyarakat Malang, menurut ceritera warga sekitar, Ratu Wilhelmina pernah
melewati daerah kayutangan ini. Sepanjang Jalan Basuki Rahmad ini berupa pertokoan, tetapi
di belakang pertokoan tersebut terdapat perkampungan kota. Rumah tinggal yang mereka
bangun masih bergaya kolonial Belanda, karena mendapat pengaruh arsitektur Belanda yang
sedang berkembang pada masa itu.

Perkembangan Arsitektur di Kota Malang


Pengaruh zaman penjajahan Belanda di Malang ternyata secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi bentuk tata kota, permukiman dan arsitektur yang ada. Secara garis
besar perkembangan arsitektur kolonial di Malang dapat digolongkan sebagai berikut (Hersanti
2008:64-66):

1. Arsitektur kolonial abad ke-19 (1850-1900)


Gaya arsitektur kolonial Belanda antara tahun 1850-1900, sering disebut dengan gaya
Arsitektur Indische Empire Style yang diambil fdari gaya arsitektur Prancis, yaitu Empire Style.
Karakteristik Indische Empire Style juga dipengaruhi oleh tipe arsitektur Landhuis yang banyak
terdapat di pinggiran Kota Batavia pada abad ke-18 dan ke-19 dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Denahnya simetri penuh; b. Bertembok tebal, langit-langit tinggi dan berlantai marmer; c.
Terdapat central room yang berhubungan langsung dengan beranda depan dan belakang yang
luas dan terbuka; d. Terdapat barisan kolom Yunani (Doric, Ionic, Corinthian) di sepanjang
beranda; e. Bgian kiri rumah merupakan daerah privat; f. Bagian belakang rumah merupakan
daerah servis; dan g. Terdapat halaman di sekelilingnya. Akhir abad ke-19, gaya Indische
Empire yang membutuhkan lahan ini mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan kota yang
mulai padat. Detail-detail arsitekturnya juga disesuaikan dengan jamannya, bahan kolomnya
diganti dengan pipa besi sehingga tampak lebih langsing, dan menggunakan overstek
berpenutup seng bergelombang (didatangkan dari luar negeri) yang disangga pipa besi bermotif
keriting.

2. Arsitektur kolonial antara tahun 1900-1915


Karya arsitektur yang berkembang antara tahun 1900-1915 merupakan gaya arsitektur kolonial
awal modern yang berkarakteristik: a. Denah bangunan masih ada yang berpola simetri; b.
Terdapat unsur Tower pada pintu masuk utama; dan c. Penyelesaian detail yang sangat rinci.

3. Arsitektir kolonial antara tahun 1916-1940


Arsitektur kolonial yang berkembang antara tahun 1916-1940 sering disebut sebagai arsitektur
yang lebih mengutamakan segi fungsional. Di Eropa arsitektur demikian lebih dikenal dengan
arsitektur aliran International Style. Kemudian gaya atau aliran tersebut diadaptasi dengan iklim
setempat, bahan yang tersedia, dan teknologi yang ada. Di Malang, pada jaman itu aliran ini
dikenal dengan nama Nieuwe Bouwen yang berkembang sangat pesat sekitar tahun 1920-an.
Ciri-ciri gaya Neuwe Bouwen adalah sebagai berikut: a. terdapat atap datar; b. Gevel horizontal;
c. Volume bangunan yang berbentuk kubus; dan d. Didiminasi warna putih.

Perkembangan Arsitektur Kolonial di Koridor Kayutangan


Kayutangan termasuk ke dalam Kecamatan Klojen. Berdasarkan sejarah zaman
Belanda, Kecamatan Klojen ini mempunyai banyak bukti bangunan bersejarah pada masa
pemerintahan Belanda yang menjadi saksi perkembangan kota dan arsitektur kolonial Belanda
di Kota Malang. Menurut Handinoto (1996:15) Belanda mulai menguasai daerah Kota Malang
sejak tahun 1776 dengan mendirikan benteng di daerah yang sekarang ditempati Rumah Sakit
Umum Syaiful Anwar di daerah Klojen Lor. Kata “Klojen” berasal dari kata “loji” yang berarti
sebutan untuk rumah orang Belanda.
Bebarapa sumber sumber sejarah telah banyak menyebutkan, bahwa pusat keramaian
Kota Malang pada awal abad ke-19 terletak di sekitar alun-alun. Kayutangan merupakan salah
satu kawasan bersejarah di Kota Malang. Kawasan perdagangan “elit” yang disediakan untuk
kaum Belanda adalah di sepanjang Jl. Kayutangan, dan di seputar alun-alun.
Perkembangan Koridor Kayutangan pada masa kolonial akan diuraikan dalam dua
periode; yakni periode sebelum tahun 1914 ketika Kota Malang masih berstatus sebagai
Kabupaten dan periode tahun 1914-1940 ketika Kota Malang telah diresmikan sebagai
Kotamadya.

Arsitektur periode sebelum tahun 1914


Permukiman di sepanjang Kajoetanganstraat merupakan cikal bakal permukiman
penduduk Eropa pada periode setelah masuknya Belanda tahun 1767 sampai dengan sebelum
tahun 1914, seperti diuraikan dalam buku Stadsgemeente Malang berikut ini:
“Permukiman Orang Eropa terletak di sebelah Barat Daya (zuidwesten) alun-alun yang
meliputi daerah Taloon, Tongan, Sawahan dan sekitarnya) selain itu juga terdapat di
sekitar Kajoetangan, Oro-oro dowo, Tjelaket, Klodjenlor dan Rampal”
Seperti pada kota-kota kolonial lainnya, pada wilayah Kota Malang juga terlihat
pembangunan sarana dan prasarana yang lebih diprioritaskan untuk kepentingan masyarakat
Eropa. Kesan seperti itu tampak karena pada permukiman di koridor Kajoetanganstraat pada
saat itu telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang cukup memadai, bila dibandingkan
dengan pemukiman untuk etnis Cina di Kawasan Pecinan, etnis Arab di Kawasan Kauman, dan
terutama bila dibandingkan dengan permukiman pribumi yang cenderung terabaikan.
Perkembangan Kajoetanganstraat menjadi semakin pesat setelah pada tahun
1878/1879 dibangun rel kereta api menuju ke Surabaya, Pasuruan, dan daerah Jawa Timur
lainnya. Jalan ini kemudian menjadi jalan utama Kota Malang dengan didirikannya bangunan-
bangunan dengan fungsi pelayanan publik seperti Gereja Kayutangan (bangunan gereja
pertama di Kota Malang), Kantor Pos Telegram Telepon, serta Gedung Serbaguna (Societeit
Concordia).
Sejalan dengan makin pentingnya peran Kajoetanganstraat dan mulai dilakukannya
aktivitas perdagangan internal Kota Malang, koridor jalan ini kemudian tumbuh sebagai koridor
komersial pertama di Kota Malang yang ditandai dengan berdirinya kantor-kantor perdagangan
kecil meskipun dalam jumlah yang masih relatif terbatas. Secara perlahan terjadi pergeseran
guna lahan menjadi semi komersial. Pada tahun 1920, badan jalan Koridor Kajoetanganstraat
diperkeras dengan aspal bersama dengan Jl. Tjelaket dan Jl. Oro-oro Dowo. Beberapa
bangunan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda dengan fungsi pelayanan publik dibangun
pada periode sebelum tahun 1914 di antaranya adalah:

A. Gedung Kantor Pos Telegram Telepon (sekarang Plasa Telkom)


Bangunan ini dibangun pada tahun 1909 oleh Departemen BOW (Burgelijke Openbare Werken)
atau Departemen Pos Telegram Telepon (PTT) (Gambar 1). Bangunan tersebut direnovasi
setelah masa perang, dan kemudian dikategorikan sebagai salah satu bangunan cagar budaya
Kota Malang (Widyawati, 2005:78). Namun, pada tahun 2006 bangunan Plasa Telkom
direnovasi kembali secara total. Akibatnya, kesan kolonial yang semestinya dipertahankan
menjadi hilang (Gambar 2).

Gambar 1.Kantor Pos lama ± 1920 di Jl. Gambar 2. Plasa Telkom di Jl. Jendral
Kajoetangan. Basuki Rahmad. Sumber: Hersanti
Sumber: www.djawatempodoloe.multiply.com (2007)

B. Algemeen Nederland Indiesche Electiciteit Maatschappij – ANIEM NV. (sekarang


Kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN) Kota Malang)
Bangunan ini pada saat itu merupakan semacam perusahaan listrik milik pemerintah.
Bangunan ini bergaya Nieuwe Bouwen, yakni suatu gaya yang mengingatkan pada karya-
karya AF. Aalbers, seorang arsitek generasi pertama yang menganut modern-internationalis
(Wiryomartono dalam Kusdiwanggo, 2003:38). Gedung Aniem ini bertanggungjawab
terhadap penyediaan dan distribusi kelistrikan di Kota Malang, termasuk di dalamnya
penerangan jalan-jalan di seluruh pelosok kota (Kusdiwanggo, 2003:38).
Dalam perkembangannya, gedung ini digunakan sebagai Kantor PT. Perusahaan Listrik
Negara (PLN Tbk.) Kota Malang. Bentuk dan gaya bangunan sengaja dipertahankan sesuai
aslinya, sebagai focal point bagi Koridor Kayutangan dari arah utara. Perubahan yang
terjadi pada bangunan ini berupa pengecatan ulang. Tampilan bangunan Kantor PLN Kota
Malang (Gambar 2).

Gambar 2. Tampilan bangunan Kantor PLN Kota Malang(kiri) (Fauziah 2012), dan
tampilan gedung Algemen Nederland Indische Electiciteit Maatscappij ANIEM NV. (1948)
(kanan) (Utomo 2006).

C. Badan jalan Kajoetanganstraat dan elemennya.


Kajoetanganstraat menghubungkan alun-alun sebagai pusat kota dengan jalan menuju ke
luar kota (Kota Surabaya). Elemen utama dari badan jalan ini adalah rel trem yang
menghubungkan daerah kota yang ada di sebelah utara dengan sebelah selatan. Lebar
badan jalan dipergunakan untuk wadah lalu lintas bagi trem, mobil, dan kendaraan non
bermotor. Pejalan kaki dapat menggunakan jalur pedestrian yang tersedia yang terpisah
dari jalan raya dengan pohon-pohon yang berjajar rimbun. Meskipun memiliki elemen yang
cukup komplit, badan jalan ini belum dilengkapi dengan median pembatas, sehingga arus
lalu lintas dua arah masih bercampur.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi, trem yang digunakan untuk sarana transportasi
berangsur ditinggalkan. Untuk kepentingan pelebaran jalan, seiring dengan semakin
bertambahnya arus lalu lintas, rel trem dihilangkan, jalur pedestrian dipersempit, dan
dilakukan penebangan terhadap pepohonan yang ada. Kondisi badan jalan Koridor
Kayutangan (Gambar 3).

Gambar 3. Badan Jalan Kayoetanganstraat yang dilengkapi dengan jalur trem dan tanpa median
pembagi arus kendaraan (Sumber: Handinoto 1996).

Arsitektur periode tahun 1914-1940


Pada awal periode ini dilakukan pembukaan saluran air bersih dan saluran telepon.
Perkembangan ini mengakibatkan nilai lahan di koridor ini meningkat sedemikian rupa dan
menjadikan koridor ini sebagai koridor dengan harga lahan yang paling tinggi saat itu. Sebagai
bentuk penyikapan terhadap kondisi tersebut, penggunaan lahan yang sebelumnya didominasi
oleh penggunaan lahan permukiman, berubah menjadi penggunaan lahan yang lebih komersial,
dengan didominasi oleh penggunaan lahan untuk perdagangan dan jasa. Ciri khas bangunan-
bangunan yang dibangun pada periode ini pada umumnya lebih mengutamakan segi fungsional
sebagai sarana perdagangan dan jasa. Beberapa bangunan yang didirikan pada periode ini di
antaranya:

A. Gereja Hati Kudus Yesus


Sejarah perkembangan kawasan koridor Kayutangan seperti tampak Gereja Hati Kudus
Yesus (yang dikenal dengan nama Gereja Kayutangan) dibangun tahun 1905. Arsiteknya
adalah M.J. Hulswit (1862-1921). Menara pada pintu masuk masih belum dibangun, karena
biaya dan kesulitan konstruksi (Gambar 4). Kemudian pada tahun 1930-an terlihat adanya
menara gereja yang dibangun pada tahun1923-1926 (Gambar 5) dan Gambar 6 menunjukkan
pada kondisi Gereja kajoetangan saat ini.

Gambar 4. Gereja Kajoetangan 1910-an.


Sumber: www.djawatempodoloe.multiply.com

Gambar 5. Gereja Hati Kudus di Jl. Gambar 6. Gereja Hati Kudus di Jl.
Kajoetangan tahun 1935. Jendral Basuki Rahmad tahun 2007.
Sumber: www.desainrumah.com Sumber: Hersanti(2007).

B. Pertokoan di sepanjang Kajoetanganstraat


Pada awalnya, Kajoetanganstraat merupakan cikal bakal permukiman bagi warga Eropa
di Malang. Seiring dengan perkembangan kota, penggunaan lahan di sepanjang
Kajoetanganstraat beralih menjadi guna lahan yang lebih komersial. Pada sekitar tahun 1930-
1940-an Kajoetanganstraat berkembang menjadi suatu pusat perdagangan dan perbelanjaan
bagi masyarakat kalangan menengah ke atas dan warga Eropa di Kota Malang (Utomo 2007:1).
Pada umumnya pertokoan di sepanjang Kajoetanganstraat dibangun antara tahun 1930-1940.
Pertokoan tersebut merupakan alih fungsi dari perumahan sebagai bentuk penyikapan terhadap
perkembangan koridor dan perkotaan yang semakin pesat. Kajoetanganstraat kemudian mulai
dipenuhi dengan bangunan-bangunan perdagangan dan pelayanan publik. Koridor ini kemudian
berkembang menjadi suatu pusat perbelanjaan dan pertokoan di Kota Malang. Maka dari itu,
Kajoetanganstraat disebut sebagai Malang’s Europeesche Winkelwijk (Wertheim dalam
Kusdiwanggo, 2003:31). Tampilan bangunan-bangunan pada kawasan ini pun memberikan
kenyamanan tersendiri. Menurut Dwi Ari (2003: 1–2), sebagian besar bangunan dilengkapi
dengan menara, utamanya pada bangunan-bangunan yang berlokasi di persimpangan jalan.
Keberadaan menara pada bangunan dengan aliran Nieuwe Bouwen menunjukkan kolaborasi
yang sempurna antara ciri khas bangunan periode sebelumnya yang direnovasi karena
mengikuti perkembangan trend atau karena perluasan vertikal.
Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan tampilan bangunan. Banyak fasade bangunan
yang tertutup oleh papan reklame (Gambar 6).

Gambar 6. Tampilan bangunan di sepanjang Koridor Kayutangan (Sumber: Handinoto 1996)

C. Bangunan di persimpangan Kajoetanganstraat-Semeroestraat-Riebeeckstraat


Herman Thomas Karsten merancang persimpangan Kajoetanganstraat-Semeroestraat-
Riebeeckstraat sebagai titik pusat Kota Malang dan sekaligus membuka akses ke arat barat
sebagai perkembangan kota yang baru sekaligus memiliki vista skenik kota ke Gunung
Kawi (de ligende vrouw yang berarti wanita yang sedang berbaring) (Handinoto &
Soehargo, 1996:110). Hal ini merupakan suatu nilai tambah bagi keberadaan persimpangan
ini, sehingga bangunan-bangunan pengisinya mendapat rancangan yang khusus dan
berkarakter. Bangunan-bangunan di persimpangan ini dirancang dan didirikan fungsi
bangunan komersial seperti kompleks pertokoan dan perhotelan (Kusdiwanggo, 2003:42-
43).
Kusdiwanggo (2003:43) menjelaskan bahwa kompleks pertokoan dan perhotelan pada
persimpangan ini dibangun pada tahun 1936-an oleh Karel HG. Bos. Kompleks komersial ini
diartikulasikan sedemikian rupa menjadi perwujudan karya arsitektur yang spesifik. Bos
menyebutnya sebagai Woningen met winkels yang berarti bangunan sudut. Bangunan-
bangunan yang ada di persimpangan ini benar-benar mampu menunjang vista skenik kota
ke Gunung Kawi pada saat itu. Persimpangan ini didukung oleh keberadaan empat
bangunan utama yang terbagi rata di sisi timur maupun barat. Pada sisi timur
(persimpangan Kajoetanganstraat-Riebeeckstraat sisi utara) terdapat Hotel Mabes dan
Malangsche Apotheek (Apotek Malang) bentuknya mirip kapal uap yang bergaya
“streamline modern” (Hersanti 2008:60), yang kemudian pada tahun 1950-an gedung ini
berganti dengan Hotel Y.M.C.A. Pada tahun 1954-an berganti menjadi Apotek Rathkamp.
Bangunan-bangunan ini tidak dapat dijumpai lagi karena telah berganti kepemilikan dan
dibangunan Bank Central Asia. Pada sisi timur persimpangan terdapat bangunan Toko
Kapper yang pada tahun 1960-an berganti nama Toko Lido sampai dengan sekarang.
Sementara itu, di sisi barat (persimpangan Kajoetanganstraat-Semeroestraat) terdapat dua
bangunan kembar simetris. Bangunan di sisi utara adalah Toko Buku Boekhandel Slutter–
C.C.T van Dorp. Co. Pada pertengahan tahun 1950-an, bangunan ini berganti menjadi Toko
Radjabali, dan perkembangannya sempat digunakan sebagai Dunkin’ Donuts hingga
akhirnya pada tahun 2006 menjadi PitStop Pool&Cafe. Bangunan di sisi timur adalah
Juwelier Tan yang berganti menjadi bangunan Bank Artha Niaga Kencana (Gambar 7
sampai dengan Gambar11). Di perematan Kayoetangan-Semeroe-Kahuripan ada empat
gedung pertokoan dibangun pada tahun 1935 dalam gaya art deco. Tiap gedung
mempunyai menara yang bisa dipakai sebagai tanda orientasi bagi lingkungannya. Dalam
perencanaan kota oleh Thomas Karsten (1884-1945) perempatan ini menjadi pusat dari
sistem jaringan jalan di Malang (Hersanti 2008:58).

Gambar 7 Suasana di persimpangan Kajoetanganstraat-Semeroestraat-Riebeeckstraat(Sumber


Handinoto 1996)

Gambar 10. Bangunan kembar di Gambar 11. Bangunan kembar di


perempatan Kajoetanganstraat- perempatan Jl.Basuki Rachmat–Jl.
Semeroestraat. Semeru saat ini .(Sumber: Utomo2006)
(Sumber: Handinoto 1996)

Penutup
Kota Malang sudah ada sejak tahun 1400-an, tapi baru berkembang dengan pesat
sebagai kota Modern pada tahun 1914, yaitu setelah ditetapkannya Malang sebagai Kotamadya
“Gemente”. Mengapa kota yang sangat strategis dan sangat indah ini baru berkembang setelah
tahun 1914? Hal tersebut karena investasi besar besaran dalam bidang struktur dan komunikasi
(UU Agraria dan UU Gula) baru dilakukan oleh Pemerintah Belanda dan swasta setelah tahun
1870.
Pada era kolonial daerah Kayutangan merupakan salah satu daerah pertokoan dan
perdagangan orang Belanda. Daerah ini merupakan daerah perdagangan yang ramai
dikunjungi masyarakat Malang memiliki potensi yang cukup besar di dalam sejarah
perkembangan Kota Malang. Keberadaannya sebagai bagian struktur kota telah dimulai sejak
zaman pemerintahan Belanda. Berkuasanya Belanda di Kota Malang ternyata secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi bentuk tata kota, permukiman dan arsitektur yang ada.
Arsitektur merupakan produk yang dapat mewakili keberadaan suatu budaya masyarakat dari
suatu kurun waktu tertentu.
Pada saat ini telah terjadi banyak perubahan fisik arsitektural pada bangunan-bangunan
di Koridor Kayutangan, perubahan fisik ini menciptakan suasana visual bangunan menjadi
munurun. Karena arsitektur merupakan wujud aktivitas ‘desain’ dari bangunan lama (tua) yang
sejakan dengan peradaban manusia pada waktu itu. Saat ini di Koridor Kayutangan tidak sedikit
bangunan bersejarah diabaikan, dibongkar tanpa melihat nilai-nilai sejarah arsitekturnya. Ini
terjadi karena perubahan fungsi ruang dalam bagian sebuah kota, sehingga dipandang baik
oleh pemerintah maupun warga kota, yaitu dari segi ekonomi dengan mengabaikan bangunan-
bangunan lama yang terdapat sekitarnya. Tidak tingginya apresiasi masyarakat terhadap
bangunan bersejarah sehingga banyak bangunan lama yang mempunyai nilai sejarah dan seni
tinggi tidak dirawat bahkan dirombak dan dihancurkan.Bangunan bersejarah merupakan
komoditi yang sangat bernilai dan tidak dapat diperbarui sehingga pemiliknya baik pemerintah,
institusi maupun individu mempunyai kewajiban memelihara.

Sumber Pustaka
Handonoto &S oehargo, P.H. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di
Malang. Surabaya: LPPM Universitas Kristen PETRA.
Hersanti, N.J. 2008. Tipologi Rancangan Pintu dan Jendela Rumah Tinggal Kolonial Belanda di
Kayutangan Malang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Brawijaya.
Karisztia, D.A., 2008. Tipologi Façade Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Kayutangan-Malang.
Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Brawijaya.
Sumalyo, Y. 1993. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogkakarta: Gadjah mada
University Press.
Utomo, D.M. 2007. Tingkat Pelayanan Jalur Pedestrian di Koridor Kayutangan Malang.
Skripsi.Tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Brawijaya.
Wdyawati. 2004. Studi Penataan Bentuk dan Masa Bangunan Koridor Kayutangan di Malang.
Jurnal Ruas. 2 (2): 164-169.
Widodo, D.I. 2006. Malang Tempoe Doloe 2. Malang: Bayumedia Publishing.

Anda mungkin juga menyukai