Anda di halaman 1dari 41

I.

PENDAHULUAN

Demam tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan


masyarakat kita, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat
kaitannya dengan kualitas yang mendalam dari higiene pribadi dan sanitasi
lingkungan seperti, higiene perorangan dalam pengelolaan makanan, lingkungan
yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum yang kurang serta perilaku
masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2006).
Penyakit ini ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar
kuman S.typhi. Waktu inkubasi berkisar tiga hari sampai satu bulan. Gejala awal
meliputi onset progresif demam, rasa tidak nyaman pada perut, hilangnya nafsu
makan, sembelit yang diikuti diare, batuk kering, malaise, dan ruam bersama
dengan relatif bradikardi. Jika tidak dilakukan pengobatan, penyakit demam tifoid
dapat berkembang menjadi delirium, perdarahan usus, perforasi usus dan
kematian dalam waktu satu bulan. Penderita mungkin mendapatkan komplikasi
neuropsikiatrik jangka panjang yang permanen (WHO, 2008).
Angka kejadian demam tifoid di seluruh Indonesia tergolong besar. Pada
tahun 2000, demam tifoid terjadi pada 21.650.974 jiwa di seluruh dunia, dan
menyebabkan 216.510 kematian. Sedangkan insidensi demam tifoid di seluruh
dunia menurut data pada tahun 2002 adalah sekitar 16 juta per tahun, dengan
600.000 diantaranya menyebabkan kematian. Angka kejadian demam tifoid di
Asia Tenggara pun masih tergolong tinggi. Di Asia Tenggara, yang menjadi
faktor risiko terjangkit infeksi tifus abdominalis adalah kontak dengan pasien
tifus, rendahnya pendidikan, tidak tersedianya jamban di rumah, minum air yang
kurang bersih dan memakan berbagai makanan seperti kerang, es krim, dan
makanan yang dijual di pinggir jalan (Crump, 2004).
Demam tifoid merupakan penyakit yang bersifat endemik dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penderita anak yang ditemukan
biasanya berumur di atas satu tahun. Sebagian besar dari penderita (80%) yang
dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta berumur di atas
lima tahun. Di kota Semarang pada tahun 2009, mencapai 7.965 kasus. Demam

1
tifoid lebih sering menyerang anak usia 5-15 tahun. Menurut laporan WHO
(World Health Organization) 2003, insidensi demam tifoid pada anak umur 5-15
tahun di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus pertahun dan dengan prevalensi
mencapai 61,4/1000 kasus pertahun (Widodo, 2009).
Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu sendiri dan
karier, yang mana mereka dapat mengeluarkan berjuta-juta kuman S.typhi dalam
tinja sebagai sumber penularan. Debu yang berasal dari tanah yang mengering,
membawa bahan-bahan yang mengandung kuman penyakit yang dapat mencemari
makanan yang dijual di pinggir jalan. Debu tersebut dapat mengandung tinja atau
urin dari penderita atau karier demam tifoid. Bila makanan dan minuman tersebut
dikonsumsi oleh orang sehat terutama anak-anak sekolah yang sering jajan maka
rawan tertular penyakit infeksi demam tifoid. Infeksi demam tifoid juga dapat
tertular melalui makanan dan minuman tercemar kuman yang dibawa oleh lalat
(Widodo, 2009).
Undang-undang nomor 6 tahun 1992 telah mencantumkan demam tifoid
sebagai wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit infeksi yang
mudah menular kepada banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Berdasarkan
kelompok umur, beberapa buku menjelaskan bahwa angka kejadian demam tifoid
sebagian besar tejadi pada usia 3-19 tahun (Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2006).

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan typus abdominalis, ialah penyakit
infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus)
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Rampengan, 2005).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
kuman Salmonella typhi pada saluran pencernaan dimana faktor-faktor yang
mempengaruhi diantaranya adalah daya tahan tubuh, higienitas, umur, dan
jenis kelamin (Soegijanto, 2002).
Gejala klinis demam tifoid disebut juga trias typhoid yang terdiri dari
demam lebih dari 7 hari (naik turun), gangguan pencernaan dan gangguan
kesadaran. Selain itu, infeksi demam tifoid ditandai dengan bakteriemia,
perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses dan ulserasi plaque peyeri di distal ileum (Soegijanto, 2002).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam
paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun
klinis adalah sama dengan demam tiofid namun biasanya lebih ringan,
penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonellla enteriditis sedangkan
demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratiofid
(Sumarmo, 2002).

B. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi dari genus Salmonella yang berhasil diisolasi pertama
kali dari seorang pasien demam tifoid oleh Gafrrkey di German pada tahun
1884. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora
yang menghasilkan endotoksin sehingga merusak jaringan usus halus, motil,
berkapsul dan mempunyai flagella. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa
minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini
dapat mati dengan pemanasan (suhu 60°C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,

3
pendidihan dan klorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen,
yaitu (Handojo, 2004):
1. Antigen O (antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakardia atau
disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol
tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau
pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan
tahan terhadap formaldehid, tetapi tidak tahan terhadap panas dan
alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin.

C. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh
dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan
kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi
yang rendah, dan di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemik. Insidensi
demam tifoid berbeda pada tiap daerah (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2009).
Berdasarkan penelitian epidemiologi yang intensif dan longitudinal
dari demam tifoid yang dilakukan oleh Simanjuntak dkk. di Paseh, Jawa
Barat, yang diselenggarakan dengan bantuan dana dari WHO, diketahui
bahwa insidensi demam tifoid pada masyarakat di daerah semiurban adalah
357,6 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Selain itu morbiditas yang
disebabkan oleh S.paratyphi A adalah 44,7 kasus per 100.000 penduduk per
tahun, sedangkan Slamonella Group B sangat rendah (12,8 kasus per 100.000
penduduk per tahun). Hasil yang didapatkan S.typhi ditemukan juga pada
anak usia 0-3 tahun dengan usia termuda adalah 2,5 tahun (Sumarmo, 2002)..

4
Kenyataan tersebut merupakan informasi baru, karena selama ini
dianggap bahwa demam tifoid hanya terdapat pada anak yang lebih besar dan
orang dewasa. Akan tetapi 77% penderita demam tifoid terdapat pada usia 3-
19 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 10-15 tahun (Sumarmo, 2002).

Gambar II.1. Epidemiologi tifoid dunia (WHO, 2008).

D. Tanda dan Gejala Klinis


Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah
mortalitas (kematian) demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan
dengan dewasa. Risiko terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada
anak besar dengan gejala klinis berat, yang menyerupai kasus dewasa.
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan
mempunyai gejala klinis ringan ataupun tanpa gejala (asimptomatik)
(Rampengan, Laurentz, 1997).
Masa inkubasi rata-rata bervariasi 7-20 hari. Inkubasi terpendek 3 hari
dan terlama 60 hari. Lamanya masa inkubasi berkorelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan, keadaan umum atau status gizi serta status imunologis
pasien. Walaupun gejala demam tifoid ini bervariasi, namun secara garis
besar dapat dikelompokkan antara lain (Rampengan, Laurentz, 1997) :
1. Demam satu minggu atau lebih
2. Gangguan pencernaan
3. Gangguan kesadaran

5
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang
meningkat. Setelah minggu kedua maka gejala dan tanda klinis semakin jelas,
berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut
kembung, mungkin juga disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai
dengan yang berat (Darmowandono, 2002).
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39-41ᵒC). Demam dapat
pula bersifat ireguler terutama pada bayi dan tifoid kongenital (Rampengan,
Laurentz, 1997).
Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas meninggi dengan
tanda-tanda antara lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila
penyakit semakin progresif akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papilla
lebih tebal dan meninggi (Rampengan, Laurentz, 1997).
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua. Roseola merupakan nodul kecil menonjol dengan diameter 2-
4 cm, berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Roseola ini
merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung kuman
Salmonella typhi. dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan kadang-
kadang daerah pantat maupun bagian flexor lengan atas (Darmowandono,
2002).
Limpa pada umumnya sering membesar dan sering ditemukan pada
akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran oleh karena
malaria. Pembesaran limpa pada tifoid tidak progresif dengan perabaan lebih
lunak (Darmowandono, 2002).
Tifoid kongenital didapatkan dari ibu hamil yang menderita demam
tifoid dan menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya bersifat fatal,
namun pernah dilaporkan bahwa tifoid kongenital dapat hidup dengan gejala
tidak khas dan menyerupai sepsis neonatorum. Pada tipe kongenital, kuman

6
dapat ditemukan dalam darah, hati, limpa, serta kelainan patologis pada usus
tidak didapatkan. Hal ini menjelaskan bahwa pada tifoid kongenital
penularannya lewat darah dan secara cepat menimbulkan gejala-gejala tifoid
sepsis pada janin (Darmowandono, 2002).
Demam tifoid pada anak usia <2 tahun jarang dilaporkan, bila terjadi
biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan anak yang lebih besar.
Kejadiannya sering mendadak disertai panas yang tinggi, muntah-muntah,
kejang, dan tanda-tanda perangsangan meningeal. Pada pemeriksaan darah
ditemukan leukositosis (20.000-25.000/mm3), limpa sering teraba pada
pemeriksaan fisik (Rampengan, Laurentz, 1997).
1. Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas)
Biasanya jika gejala khas demam tifoid yang tampak, diagnosis
kerja pun bisa langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas demam
tifoid adalah sebagai berikut (Inawati, 2010).
a. Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit
demam tifoid pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang
lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºC
hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual,
muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut
lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral
(umumnya dikenal sebagai bronkitis yang mengacu pada peradangan
dan iritasi pada selaput lendir yang melapisi saluran bronkial) perut
kembung, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir
minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita
adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau
tremor (Inawati, 2010).
Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan
tenggorokan terasa kering dan meradang. Jika penderita ke dokter
pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-
gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga
(Inawati, 2010).

7
Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan
terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-
bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan
sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit
putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok,
timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian
bawah, kelihatan memucat bila ditekan (Inawati, 2010).

Gambar II.2. Bercak roseola (Inawati, 2010).


Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai.
Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi (Inawati,
2010).

Gambar II.3. Purpura (Inawati, 2010).

8
b. Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari
kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada
minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit
pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi
penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan
peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh (Inawati, 2010).
Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan
penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran
umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat. Nadi
semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare
menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat
terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan
sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus,
mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain (Inawati, 2010).
c. Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di
akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil
diobati. Bila keadaan membaik, gejala gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat
lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk, di mana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus,
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin (Inawati, 2010).
Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen
sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian
mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh
peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah

9
terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar
bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi
gambaran adanya perdarahan (Inawati, 2010).
Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum
dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
Peradangan maupun berbagai macam faktor penyebab seperti
defisiensi mineral yang terjadi menyebabkan nekrosis miosit. Jika
hal ini terjadi secara terus menerus dapat menurunkan kontraktilitas
jantung bahkan berujung pada kematian (Inawati, 2010)..

E. Patogenesis dan Patofisiologi


Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang
baik maka kuman akan menembus sel epitel terutama sel M dan selanjutnya
ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak
di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque payer ileum distal dan
kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
toraksikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (bakteremia I asimptomatik) dan meyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa (Repository Universitas
Sumetera Utara).
Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik,
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, dan sakit perut, serta konstipasi
dan diare (Sudoyo, 2009).

10
Gambar II. 4. Patofisiologi Demam Tifoid

11
F. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari.
Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu (Sri,
2011):
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur
turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan
pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated
tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada
abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa
dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma
atau gelisah.
Gejala klinis demam tifoid pada anak cenderung tidak khas.
Makin muda umur anak, gejala klinis demam tifoid makin tidak
khas. Umumnya perjalanan penyakit berlangsung dalam jangka
waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu. Pada orang

12
dewasa, gejala klinis demam tifoid cenderung berat. Tetapi pada
anak kecil makin tidak berat. Anak sekolah di atas usia 10 tahun
mirip seperti gejala klinis orang dewasa, yaitu panas tinggi sampai
kekurangan cairan dan perdarahan usus yang bisa sampai pecah
(perforasi) (Sri, 2011).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan, gambaran diagnosis kunci adalah (Sugijanto S,
2002):
a. Demam lebih dari tujuh hari.
b. Terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebab yang jelas.
c. Nyeri perut, kembung, mual, muntah, diare, konstipasi.
d. Hepatosplenomegali.
e. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran,
kejang, dan ikterus.
f. Dapat timbul dengan tanda yang tidak tipikal terutama pada bayi
muda sebagai penyakit demam akut dengan disertai syok dan
hipotermi.
Masa inkubasi demam tifoid 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Gejala
timbul mendadak atau berangsur-angsur. Penderita demam tifoid merasa
cepat lelah, malaise, anoreksia, sakit kepala, rasa tak enak di perut dan
nyeri seluruh tubuh (Mansoer, 2009).
Minggu 1: demam (suhu berkisar 39- 40oC), nyeri kepala, pusing,
nteri otot, anoreksia, mual muntah, konstipasi, diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk dan epiktasis.
Minggu 2: demam, bradikardi, lidah khas berwarna putih,
hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran. Demam pada
penyakit demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu
pertama, demam terutama pada sore hari dan malam hari (bersifat febris
reminent). Pada minggu kedua dan ketiga demam terus menerus tinggi
(febris kontinua). Kemudian turun secara lisis. Demam ini tidak hilang
dengan pemberian antipiretik, tidak ada menggigil dan tidak berkeringat.
Kadang kadang disertai epiktasis. Gangguan gastrointestinal dapat

13
terjadi, diantaranya bibir kering dan pecah pecah, lidah kotor, berselaput
putih dan tinggirnya hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri
tekan. Limpa membesar dan lunak dan nyeri pada penekanan. Pada
permulaan penyakit umumnya terjadi diare (Mansoer, 2009).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Identifikasi Kuman melalui Biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila
ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urin,
feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil biakan meliputi:
1) jumlah darah yang diambil,
2) perbandingan volume darah dari media empedu,
3) waktu pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan


pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum
tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh
antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan
teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang
lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella typhi
adalah media empedu (gall) dari sapi di mana dikatakan media gall
ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella

14
typhi dan Salmonella paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella typhi juga tergantung dari


saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti
melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang
telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume
darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri
dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%)
hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.

Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan


sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai
sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95%
kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi
atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini
sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.

Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen


empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang
cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya
risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan
duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh


keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan
antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan
spesimen yang tidak tepat.

15
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa
lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang
lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan
tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam
pelayanan penderita.

b. Tes Widal
Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan
H dalam darah (antigen O muncul pada hari ke 6-8, dan antibodi H
muncul pada hari ke 10-12.Pemeriksaan Widal memberikan hasil
negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit tifus,
sehingga hasil tes Widal negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak
terjadi infeksi. Pemeriksaan tunggal penyakit tifus dengan tes Widal
kurang baik karena akan memberikan hasil positif bila terjadi :
1) Infeksi berulang karena bakteri Salmonella lainnya Imunisasi
penyakit tifus sebelumnya Infeksi lainnya seperti malaria dan
lain lain.
2) Pemeriksaan Kultur Gal sensitivitasnya rendah, dan hasilnya
memerlukan waktu berhari-hari, sedangkan pemeriksaan Widal
tunggal memberikan hasil yang kurang bermakna untuk
mendeteksi penyakit tifus.
c. Uji IgM
Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen
TubexRTF sebagai solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik,
praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri
Salmonella typhi. Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan
reagen TubexRTF dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap
antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri
Salmonella typhi. Tes Ig M Anti Salmonella memiliki beberapa
kelebihan:

16
2) Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena antibodi
IgM muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya
demam (sensitivitas > 95%).
3) Lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella typhi
dibandingkan dengan pemeriksaan Widal, sehingga mampu
membedakan secara tepat berbagai infeksi dengan gejala
klinis demam (spesifisitas >93%).
4) Memberikan gambaran diagnosis yang lebih pasti karena
tidak hanya sekedar hasil positif dan negatif saja, tetapi juga
dapat menentukan tingkat fase akut infeksi.
5) Diagnosis lebih cepat, sehingga keputusan pengobatan dapat
segera diberikan. Hanya memerlukan pemeriksaan tunggal
dengan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan Widal serta
sudah diuji di beberapa daerah endemic penyakit tifus.
d. Pemeriksaan Darah Tepi

Gambar II.5. Hasil Pemeriksaan Darah Tepi


Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan
sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, kelainan pada
eritrosit, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang

17
atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga
leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam
peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan
dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain.
Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan
limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift
to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. Gambaran
sumsum tulang menunjukkan normo seluler, eritroid dan myeloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal (Sri,
2011).
e. Metode Enzyme Imunoassay (EIA)
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak
antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD
Salmonella typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal
infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM
dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.
Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik
akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen
dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari
IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik (Alan R,
2003).
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan
demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot
EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-
M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama
dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut
yang cepat dan akurat (Alan R, 2003).

18
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan
untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah
(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan
lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa
yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan
bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam
waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien (Alan R, 2003).
f. Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS
O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi
terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992)
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah,
73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.
Pada penderita yang didapatkan Salmonella typhi pada
darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas
65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing
44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila
dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis (Alan R, 2003).

19
g. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS Salmonella typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai
reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat
digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium
yang lengkap (Alan R, 2003).
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum
tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan
spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.
Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita
demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002)
mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin
meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya
serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah
dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas (Alan R,2003).

G. Terapi Medikamentosa dan Non Medikamentosa


1. Terapi Demam Tifoid secara Umum
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas
demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.
Selain itu, dilakukan eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan

20
dan keadaan karier. Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas
isolat Salmonella typhi setempat (Bhan, 2005).
Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak
antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang
akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten
terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan
trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap
antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic Acid Resistant Salmonella typhi
(NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap
fluoroquinolone (WHO,2003).
Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa
komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel II.1. Antibiotik yang diberikan pada Demam Tifoid tanpa


Komplikasi (WHO, 2003).

Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan


pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan
angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2% (Bhan, 2005).

21
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik,
dapat membunuh Salmonella typhi intraseluler di dalam
monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung
empedu dibandingkan antibiotik lain (WHO, 2003).
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas
fluoroquinolone dan salah satu luoroquinolone yang saat ini telah diteliti
dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif,
acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap
obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi.
Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan
ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-
masing selama 7 hari. Kesimpulanya pada saat ini levofloxacin lebih
bermanfaa dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin
(Nelwan, 2006).
Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI
mengenai efikasi dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid
tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali
sehari selama 7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah
100% dengan efek samping yang minimal. Dari studi ini juga terdapat
tabel perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di antara berbagai
jenis fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di mana penurunan
demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2-4 hari (Nelwan, 2006).
Sebuah metaanalisis yang dipublikasikan pada tahun 2009
menyimpulkan bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone
lebih baik dibandingkan chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan
(Thaver, 2009). Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak
karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi
(Bhan, 2005).
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi
standar pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol

22
adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya karier
juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang (Kalra, 2003).
Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis
lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi
pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier
terjadi pada kurang dari 4% Pasien dengan muntah yang menetap, diare
berat, distensi abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap
dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam
tifoid yang berat (Bhan, 2005).

Tabel II.2. Antibiotik yang Diberikan pada Demam Tifoid Berat (WHO,
2003)

Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut


WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel 2 di atas. Walaupun di tabel
tersebut tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di
Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi
demam tifoid dengan cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita
perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang diberikan antara lain cairan
untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan
antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN (Total Parenteral
Nutrition) dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan mudah
dicerna secepat keadaan mengizinkan (Bhutta, 2006).

23
2. Terapi Demam Tifoid Anak
a. Managemen Penatalaksanaan
1) Pengobatan kausal
a) Chloramphenicol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari
oral atau IV dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari.
b) Kotrimoksasol dengan dasar trimetropin 8-10 mg/kgBB/
hari atau sulfameoksasol 40-50 mg/kgBB/hari selama 7
hari.
c) Amoxicillin 100 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis
selama 10 hari.
d) Sefriakson 80 mg/kgBB/hari selama 7 hari.
e) Sefiksim 15-20 mg/kgBB/hari IV atau IM selama 5 hari.
2) Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan
kesadaran. Deksametason 1-3 mg/kgBB/hari IV dibagi 3 dosis
hingga kesadaran membaik.
3) Memperbaiki keadaan umum: koreksi elektrolit atasi dehidrasi,
hipoglikemi.
4) Pengobatan suportif: roboransia (vitamin B kompleks dan
vitamin C).
5) Pengobatan dietetik tergantung kondisi penderita bila perlu
makanan lunak/ cair, mudah dicerna, tinggi kalori dan protein.
6) Tirah baring bila perlu isolasi penderita.
7) Transfusi darah sesuai keperluan.
8) Tindakan diperlukan pada penyulit perforasi usus
9) Diet: makanan tidak berserat dan mudah dicerna, setelah demam
reda dapat diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori
cukup (Aru, 2006).
b. Chloramphenicol
Chloramphenicol bekerja dengan cara menghambat sintesis
protein bakteri dan mempunyai efek yang kecil terhadap fungsi
metabolisme lainnya, bersifat bakteriostatik dan kadang-kadang
bakterisid pada konsentrasi obat yang tinggi. Pada umumnya bakteri

24
gram negatif dihambat oleh konsentrasi 2-5 μg/ml (Aru, 2006).
Penderita yang mendapat pengobatan dengan chloramphenicol
memperlihatkan efek terapinya setelah beberapa jam pemberian,
berupa hilangnya kuman Salmonella typhi dari darah. Perbaikan
klinis sering merupakan bukti dalam 48 jam dan panas serta tanda-
tanda lainnya penyakit akan hilang dalam 3-5 hari pengobatan.
Kepustakaan lain menyatakan 7 hari, tetapi pengobatan tetap
dilanjutkan minimal 10-14 hari, atau dilanjutkan 5-7 hari setelah ada
perbaikan (Aru, 2006).
Dosis untuk anak digunakan 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
selama 10-14 hari. Untuk neonatus (< 2 minggu) dapat diberikan 25
mg/kgBB/hari. Pengobatan umumnya secara oral, pada kasus yang
berat diberikan secara intravena. Untuk anak malnutrisi, pengobatan
diperpanjang sampai 21 hari. Pengobatan dengan chloramphenicol,
kemungkinan relaps lebih tinggi dan tidak mencegah
berkembangnya karier kronik. Sampai saat ini chloramphenicol
masih merupakan pilihan pertama karena murah dan mudah didapat
(Aru, 2006).
Anemia aplastik sebagai akibat chloramphenicol jarang terjadi,
kejadiannya satu di antara 24000-40000 penderita yang memakai
chloramphenicol. Dari hasil penelitian di Cina tahun 1957,
didapatkan lebih dari 30 kasus yang tercatat dengan ANLL
dihubungkam dengan penggunaan chloramphenicol. Periode dari
sejak pertama kali obat diminum sampai terjadinya anemia berkisar
dari 2 bulan sampai 8 tahun (Aru, 2006).
Pemberian chloramphenicol pada neonatus dapat
menyebabkan sindrom Grey disertai muntah, flatulensi, hipotermia,
syok, serta adanya kolaps. Adapun larangan pemberian
chloramphenicol ditujukan pada anak dengan kolelitiasis dan atau
disfungsi kandung empedu (Aru,2006).
c. Ampisilin dan Amoksisilin
Ampisilin dan amoksisilin merupakan antibiotik yang

25
berspektrum luas dan termasuk golongan antibiotik penisilin.
Antibiotik ini mempunyai mekanisme kerja antibakteri berupa
kerusakan dinding sel bakteri dengan menghambat sintesis
peptidoglikan yang terdapat pada dinding sel. Ampisilin stabil dalam
asam dan lebih aktif terhadap bakteri gram negatif, sedangkan
amoksisilin serupa dengan ampisilin tetapi absorbsinya lebih baik
dan memberikan kadar darah yang lebih tinggi (Aru, 2006).
Ampisilin memberikan respons klinis yang lebih lambat
dengan kegagalan pengobatan dan kejadian relaps masih lebih
banyak bila dibandingkan dengan chloramphenicol. Panas akan
turun dan gejala klinis membaik dalam waktu 3-5 hari pengobatan.
Pemberian per oral 100-200 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis, selama 2
minggu (maksimum 8 gr/hari) (Aru, 2006).
Amoksisilin digunakan sebagai alternatif pengobatan bila
ditemukan resistensi terhadap chloramphenicol. Sama baiknya
dengan chloramphenicol, merupakan alternatif terpilih untuk demam
tifoid, tanpa karier dan angka relaps 2%. Dosis amoksisilin adalah
40-100 mg/kgBB/hari, diberikan 3 kali selama 20-24 hari, untuk
penderita yang resisten terhadap chloramphenicol, untuk karier
kronik dapat diberikan dosis tinggi secara intravena (Aru, 2006).
Ampisilin dan amoksisilin merupakan obat yang kurang
mempunyai toksisitas langsung, kebanyakan efek samping berat
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas. Reaksi alergi dapat berupa
syok anafilaksis, urtikaria, panas, pembengkakan sendi, pruritus
hebat, dan gangguan pernapasan, serta berbagai ruam kulit lainnya.
Sedangkan reaksi toksisitas disebabkan oleh iritasi langsung karena
suntikan IM atau IV dalam konsentrasi yang sangat tinggi berupa
nyeri setempat, indurasi, tromboplebitis, atau degenerasi saraf yang
disuntik secara tidak sengaja. Pemberian dosis besar per oral dapat
menyebabkan gangguan saluran pencernaan terutama mual, muntah
dan diare (Aru,2006).

26
d. Trimetoprim dan Sulfametoksazol
Trimetoprim adalah sebuah antimetabolit yang mempengaruhi
sintesis asam folat, sebuah penghambat dihidrofolat reduktase yang
sangat selektif pada organisme rendah menghambat asam
dihidrofolat reduktase pada bakteri. Sulfametoksazol dapat diberikan
baik secara oral ataupun intravena. Trimetoprim terabsorbsi baik dari
usus serta terdistribusi luas dalam cairan tubuh dan jaringan.
Trimetoprim dan sulfametoksazol masing-masing mempunyai sifat
sebagai bakteriostatik, tetapi apabila dikombinasi akan bersifat
bakterisida (Aru, 2006).
Pada tahun 1986, kombinasi trimetoprim sulfametoksazol
tampil sebagai obat terpilih untuk demam tifoid, terutama digunakan
pada penderita yang alergi atau adanya dugaan kuat kuman
Salmonella. typhi resisten terhadap kedua obat tersebut (ampisilin
dan chloramphenicol).
Respon penggunaan obat trimetoprim dan sulfametoksazol
tidak sebaik respons terhadap ampisilin dan chloramphenicol, tetapi
dapat menghasilkan banyak perbaikan klinis yang cepat walaupun
tetap lebih lambat bila dibandingkan dengan chloramphenicol (Aru,
2006).
Dosis peroral yang digunakan untuk TMP 10-12 mg/kgBB/hari
dan SMZ 50-60 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis atau TMP 185
mg/m2/hari dan SMZ 925 mg/m2/hari, dibagi 2 dosis dua kali sehari
selama 14 hari. Pemberian TMP-SMZ secara intravena,
memerlukan 125 ml cairan pelarut untuk 80 TMP. Anak yang
menerima antibiotik ini secara intravena harus hati-hati dengan
memonitor pemasukan cairan (Aru, 2006).
Pengobatan kurang dari 14 hari akan meninggalkan risiko
relaps. Relaps tampaknya jarang terjadi pada pengobatan TMP-SMZ
dibandingkan dengan chloramphenicol. Trimetoprim-
sulfametoksazol dapat memberikan efek samping berupa efek obat
anti folat, terutama anemia megaloblastik, leukopenia, dan

27
granulositopenia. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian asam
folinat secara bersamaan 6-8 mg/hari. Di samping itu kombinasi
trimetoprim-sulfametoksazol dapat menyebabkan semua reaksi yang
tidak diharapkan dan berhubungan dengan sulfonamid. Kadang-
kadang juga timbul mual dan muntah, panas, vaskulitis, kerusakan
ginjal atau gangguan susunan saraf (Aru,2006).
3. Kriteria Rawat Inap dan Kriteria Pulang untuk Penderita Demam Tifoid

Tabel II.3. Kriteria Rawat Inap dan Kriteria Pulang Pasien Demam Tifoid
(Ngastiyah, 2005).
Kriteria rawat inap Kriteria memulangkan pasien
 Syok  Tidak demam selama 24 jam tanpa
 Muntah terus menerus antipiretik
 Kejang  Tidak dijumpai distres pernafasan
 Kesadaran turun  Nafsu makan membaik dan
 Dehidrasi sedang - berat secara klinis tampak perbaikan
 Muntah darah
 Hilangnya nafsu makan, sehingga
menyebabkan badan terasa lemas
dan berat badan sangat berkurang
 Komplikasi dan membutuhkan
tindakan operasi
 Anemia berat

Jika kondisi pasien tidak berat, dan penyakitnya masih awal, yaitu
sudah didiagnosis sebelum demam lebih dari 3 minggu, umumnya masih
bisa dirawat di rumah. Namun mesti diawasi jika mendadak suhu turun,
nadi meninggi, dan nyeri perut yang hebat timbul (Ngastiyah, 2005).

H. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia
penderita, keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella typhi penyebab
dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitasnya dibawah 1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya diatas 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis,

28
perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi
gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan
pneumonia mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps
sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati
dengan antibiotik (Juwono R, 2007).
Pada penderita yang telah mendapat terapi antimikroba yang tepat,
manifestasi klinis relaps terjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian
antibiotik dan menyerupai penyakit akut namun biasanya lebih ringan dan
lebih pendek. Individu yang mengekskresi Salmonella typhi lebih dari 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada
anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi pada 1-5%
dari seluruh pasien demam tifoid. Insiden penyakit saluran empedu (traktus
biliaris) lebih tinggi daripada karier kronis dibandingkan dengan populasi
umum (Juwono R, 2007).

I. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu
komplikasi intestinal dan komplikasi ekstraintestinal.
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah.
Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok.
Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila
terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat.
Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada
minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi

29
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai
syok.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok,
sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia (Juwono R,
2007).

30
III. PEMBAHASAN

A. Teori Baru Obat Demam Tifoid


Banyaknya informasi mengenai timbulnya strain Salmonella typhi
yang resisten terhadap chloramphenicol membuat para ahli mencari alternatif
obat lain yang terbaik untuk demam tifoid. Pemberian antibiotik empiris
yang tepat pada pasien demam tifoid sangat penting, karena dapat mencegah
komplikasi dan mengurangi angka kematian (Musnelina, 2004).
Chloramphenicol, ampisilin, dan kotrimoksazol merupakan antibiotik
lini pertama yang telah dipakai selama puluhan tahun sampai akhirnya timbul
resistensi yang disebut Multidrug Resistant Salmonella typhi (MDRST).
Faktor biaya, ketersediaan obat, edukasi, kekambuhan, dan MDRST
merupakan masalah dalam terapi antibiotik pada demam tifoid, terutama di
negara berkembang. Multidrug resistant Salmonella typhi adalah resistensi
terhadap lini pertama antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid.
Penyebab MDRST adalah pemakaian antibiotik yang tidak rasional (over-
used) dan perubahan faktor instrinstik dalam mikroba (Musnelina, 2004).
Lama demam turun (time of fever defervescence) merupakan salah
satu parameter keberhasilan pengobatan. Demam yang tetap tinggi
menunjukkan kemungkinan komplikasi, fokus infeksi lain, resistensi
Salmonella typhi, atau salah diagnosis (Sidabutar, 2010). Antibiotik alternatif
lain untuk pengobatan demam tifoid yaitu golongan sefalosporin generasi
ketiga (seftriakson dan sefotaksim secara intravena, cefixim secara oral), dan
golongan fluoro-kuinolon (Sidabutar, 2010).
1. Chloramphenicol
Chloramphenicol merupakan antibiotika pilihan utama yang
diberikan untuk demam tifoid karena keampuhan chloramphenicol masih
diakui berdasarkan efektivitasnya terhadap Salmonella typhi disamping
obat tersebut relatif murah. Meskipun chloramphenicol dapat dilanjutkan
penggunaannya di negara yang tanpa resistensi terhadap obat tersebut,
namun juga dapat menyebabkan kambuh dan toksisitas yang serius
(Musnelina, 2004; Butler, 2011).

31
Beberapa efek samping yang mungkin timbul pada pemberian
chloramphenicol adalah mual, muntah, diare, depresi sumsum tulang
yang bersifat reversibel, neuritis optis dan perifer, serta dapat
menyebabkan Gray baby syndrome. Tiamfenikol memiliki dosis dan
keefektifan yang hampir sama dengan chloramphenicol, akan tetapi
komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik
lebih rendah dibandingkan dengan chloramphenicol. Sehingga
tiamfenikol dapat dijadikan alternatif dari chloramphenicol (Santoso,
2009).
2. Seftriakson
Pemberian seftriakson sebagai terapi empiris pada pasien demam
tifoid secara bermakna dapat mengurangi lama pengobatan dibandingkan
dengan pemberian jangka panjang chloramphenicol. Hal lain yang
menguntungkan adalah efek samping dan angka kekambuhan yang lebih
rendah, serta lama demam turun yang lebih cepat (Sidabutar, 2010).
Pengetahuan dan penilaian klinis yang baik diperlukan dalam
memilih terapi empiris yang tepat terutama bila fasilitas uji resistensi
tidak memadai. Seftriakson terbukti dapat dijadikan sebagai antibiotik
pilihan utama pada kasus MDRST (Sidabutar, 2010).
Antibiotik ini sebaiknya hanya digunakan untuk pengobatan
infeksi berat atau yang tidak dapat diobati dengan antimikroba lain,
sesuai dengan spektrum antibakterinya. Hal ini disebabkan karena selain
harganya mahal juga memiliki potensi antibakteri yang tinggi (Santoso,
2009).
3. Sefotaksim
Suatu obat dikatakan cost-effective apabila mempunyai efektivitas
sama tetapi harga obat sama atau mempunyai efektivitas lebih tinggi
tetapi harga obat sama atau mempunyai nilai ACER lebih rendah (jika
efektivitas dan harga lebih tinggi). Pada penelitian Sutrisna (2011)
didapatkan efektivitas chloramphenicol lebih besar daripada efektivitas
sefotaksim dan total cost chloramphenicol lebih kecil daripada total cost
sefotaksim.

32
Kesimpulannya adalah secara farmakoekonomi chloramphenicol
lebih costeffective dibandingkan dengan sefotaksim pada pengobatan
demam tifoid anak. Namun penelitian ini hanya bersifat lokal, yaitu
hanya terbatas pada pasien dalam suatu ruangan dengan rumah sakit yang
sama (Sutrisna, 2011).
4. Fluoroquinolon
Ofloxacin lebih cepat menurunkan demam daripada golongan
ceftriaxone dan lebih sedikit membutuhkan tambahan antibiotik pada
golongan ofloxacin. Sehingga, ofloxacin dapat direkomendasikan sebagai
obat lini pertama untuk demam tifoid (Khatri, 2013).
Obat golongan kuinolon sampai saat ini masih belum tersedia
untuk anak-anak dan remaja yang bebas dari efek samping. Efek samping
dari obat golongan quinolon yaitu menggangu pertumbuhan kartilago
pada anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan sehingga
pertumbuhan tinggi badan akan terhambat. Oleh karena itu tidak
direkomendasikan untuk diberikan terhadap anak-anak (Butler, 2011).
5. Azithromycin
Pada penelitian Frenck et al. (2004), terapi dengan azithromycin
per oral (20 mg/kg per hari; dosis maksimal 1000 mg/hari, dosis tunggal
selama 5 hari) tidak terjadi relapse. Aktivitas azithromycin secara in vitro
cukup baik terhadap berbagai patogen enterik, mempunyai penetrasi baik
ke hampir seluruh jaringan, serta konsentrasinya dalam makrofag dan
neutrofil mencapai >100 kali lebih tinggi dibandingkan dalam serum.
Sebuah penelitian metaanalisis mendapatkan bahwa azitromycin
lebih unggul daripada fluoroquinolone dan ceftriaxone dalam hal
mencegah kambuh dan menghilangkan gejala klinis demam tifoid
(Trivedi, 2012).
Azitromisin seharusnya lebih sering digunakan di negara
berkembang dengan prevalensi infeksi yang tinggi. Walaupun harganya
lebih mahal, azitromisin lebih baik manfaatnya dalam hal angka
penyembuhan, kecepatan penurunan demam dan pencegahan kambuh

33
(relapse). Resistensi Salmonella typhi erhadap azitromisin masih jarang,
tapi kultur strains dibutuhkan untuk mengetes kerentanan (Butler, 2011).

Tabel II.4. Ringkasan Dari Penggunaan Obat Antimikroba Pada Demam


Tifoid (Butler, 2011).
Obat Angka Angka Prevalensi Durasi terapi (hari)
kesembuhan kambuh resistensi
(Cure rate) (relapse rate)
Azitromisin 81-100 0 0-71 5-7
Seftriakson 72-97 0-17 0 3-14
Chloramphenicol 83-96 0-14 0-88 7-14
Fluoroquinolon 64-100 0-12 0* 3-7
(ciprofloxacin,
ofloxacin, atau
gatifloxacin.
*Insidensi resistensi nalidixic acid dan atau penurunan kerentanan ciprofloxacin
adalah 0% sampai 96%.
Relapse adalah gejala muncul kembali dalam waktu satu bulan setelah terapi
berakhir (Butler, 2011).

B. Teori Baru Pencegahan Demam Tidoid


Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum
dan khusus melalaui imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah
peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja
dapat menurunkan insidensi demam tifoid. Menjaga kebersihan pribadi dan
menjaga apa yang dikonsumsi tidak tercemar Salmonella typhi (Yanagi,
2009).
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah
vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi.
Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan
secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan,
vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke

34
tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan
penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium. Vaksin untuk mengobati
penyakit tipes atau demam tifoid, sebenarnya sudah dikenal cukup lama.
Vaksin yang bernama Tivim ini biasanya banyak didapatkan di daerah
endemi. Perbedaan detail pemberian pada vaksin oral dan vaksin perenteral
(Spreng, 2008):
1. Vaksin oral
a. Vaksin diberikan dalam bentuk kapsul. Diberikan 3 kapsul yang
dimakan pada hari ke 1, 3, dan 5.
b. Biasa untuk anak umur 6 tahun ke atas.
c. Imunisasi ulangan diperlukan setiap 3 tahun sekali.
2. Vaksin perenteral
a. Vaksin disuntikkan di lengan atau paha.
b. Biasa diberikan pada usia 2 tahun.
c. Imunisasi ulangan setiap 3 tahun sekali.
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan
kepada anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan
proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu
sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja.
Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang memiliki
resiko terjangkit (Thaver, 2008).
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada
anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara
terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-
kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada
vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-
orang yang masih memiliki resiko terjangkit (Thaver, 2008).
Salah satu jenis vaksin yang tersedia saat ini adalah vaksin demam
tifoid polisakarida  inaktif. Beberapa keunggulan vaksin jenis ini
diantaranya, efektifitasnya yang baik untuk mencegah tifoid dengan
perlindungan hingga 3 tahun, tingkat kenyamanan dengan efek samping lokal
yang bersifat sementara dan segera hilang (Yanagi, 2009).

35
Sebuah studi terbaru di India melaporkan,vaksin ini tak hanya efektif
melindungi individu yang divaksin dari demam tifoid, keluarga dan
lingkungan di sekitarnya pun dapat ikut merasakan manfaatnya. Dalam dunia
kesehatan, fenomena ini disebut herd immunity, yaitu ketahanan kelompok
terhadap serangan penyakit, di mana sebagian besar anggotanya bersifat imun
(kebal) (Thaver, 2008).
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau
harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi
(per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi
dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan
dosis lainnya.
Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan
(per oral) adalah: orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin
sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang
memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin
ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara
mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang
sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-
obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2
minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan
kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh
diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik
(Spreng, 2008).
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan
problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang
menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem
serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang
diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang
per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau
pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin
tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau

36
sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau
ruam-ruam (jarang terjadi) (Yanagi, 2009).
Vaksinasi tifoid direkomendasikan untuk beberapa prioritas kelompok
sebagai berikut (Spreng, 2008) :
1. Para pelancong yang berpergian menuju daerah (negara) epidemik.
2. Mereka yang berinteraksi dekat dengan penderita tifoid karier.
3. Mereka yang merawat anggota keluarga yang sedang terkena tipes.
4. Para pekerja laboratorium yang bekerja dengan materi yang berkaitan
dengan bakteri Salmonella typhi.
5. Dokter yang memegang bangsal dan memeriksa pasien tifoid.
6. Anak – anak usia sekolah (rentang usia 5 – 15 tahun) merupakan
kelompok usia yang paling sering terkena typhoid.
7. Orang yang ingin mendapat perlindungan terhadap penyakit tipes.

C. Kesimpulan Pembahasan
Antibiotik demam tifoid anak yang masih digunakan di Indonesia
sampai sekarang adalah chloramphenicol karena masih terbukti ampuh
terhadap Salmonella typhi walaupun ada yang mulai resisten. Namun,
berdasarkan beberapa penelitian di luar negeri sebenarnya azitromisin adalah
obat yang lebih efektif daripada antibiotik lainnya dalam menanggulangi
demam tifoid. Namun, azitromisin tergolong mahal dan tidak umum di
Indonesia. Efek samping yang paling parah dari chloramphenicol adalah
depresi sumsum tulang belakang sehingga bisa menyebabkan anemia
aplastik. Obat alternatif yang digunakan selain cloramfenikol adalah
tiamfenikol atau sepalosporin golongan ketiga, yaitu seftriakson. Obat
golongan kuinolon sebenarnya terbukti efektif juga dalam menangani demam
tifoid, namun tidak boleh digunakan pada anak karena efek sampingnya
adalah menghambat pertumbuhan anak.

37
IV. KESIMPULAN

1. Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia, berupa penyakit


infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi pada saluran
pencernaan.
2. Gejala klinis demam tifoid atau trias typhoid yang terdiri dari demam lebih
dari 7 hari (naik turun), gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran.
3. Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman, kemudian berkembang biak
di saluran pencernaan. Jika imunitas tubuh tidak adekuat, maka kuman yang
bisa masuk ke dalam sirkulasi darah dan meyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa menyebabkan kondisi
patologis pada tubuh penderita.
4. Demam tifoid dapat dapat ditegakkan diagnosis melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik dengan ditemukannya gejala-gejala khas pada demam
tifoid. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
identifikasi kuman melalui biakan, pemeriksaan darah tepi, tes widal, uji
IgM, tes serologis metode EIA, tes setologis metode ELISA, dan
pemeriksaan dipstik.
5. Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia penderita,
keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella typhi penyebab dan ada
tidaknya komplikasi. Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua
bagian, yaitu komplikasi intestinal dan komplikasi ekstraintestinal.
6. Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah mortalitas
(kematian) demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dengan
dewasa. Risiko terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak
besar dengan gejala klinis berat, yang menyerupai kasus dewasa. Demam
tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan
mempunyai gejala klinis ringan ataupun tanpa gejala (asimptomatik).
7. Antibiotik demam tifoid anak yang masih digunakan di Indonesia sampai
sekarang adalah chloramphenicol karena masih terbukti ampuh terhadap
Salmonella typhi.

38
DAFTAR PUSTAKA

Alan R. Tumbelaka. 2003. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Jakarta :
Ikatan Dokter AnakIndonesia: 37-46
Anonymous. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus A., Marcellus S., Siti S. Demam Tifoid.
Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid II. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006 : 1774.
Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. 2005. Typhoid fever and paratyphoid fever.
Lancet 2005; 366: 749-62.
Bhutta ZA. 2006. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006;
14: 66-72.
Butler, T. 2011. Treatment of Typhoid Fever in the 21st Century: Promises and
Shortcomings. Clinical Microbiology and Infection: 17 (7) pp: 959–963.
Crumo J.A, Mintz E. D. 2004. The Global Burden of Typhoid Fever. Bulletinof
the WorldHealth Organization; 82(5):346-53.
Darmowandowo, W. 2002. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H,
Hadinegoro SR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi & Penyakit
Tropis.Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.
Djoko Widodo. 2009. Demam Tifoid – Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing.
Frenck RW, Jr, Mansour A, Nakhla I. 2004. Short-course Azithromycin for the
Treatment of Uncomplicated Typhoid Fever in Children and Adolescents.
Clin Infect Dis 38:951 – 6.
Inawati, 2010. Tyfoid fever. Patologi anatomi Universitas Wijaya Kusuma
surabaya. Available at: http://www.expat.or.id/medical/typhoid.html.
diakses tanggal 18 mei 2014.
Indro Handojo. Imunoasai Terapan pada Beberapa Penyakit Infeksi. Airlangga
University Press.

39
Juwono R, 2007. Deman tifoid. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Soeparman. Edisi
kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, hal 33-38
Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. 2003. Current trends in the
management of typhoid fever. MJAFI 2003; 59: 130-5.
Khatri, R., Deo, R.K., Karki, B., Sharma, A. 2013. Ceftriaxone, Ofloxacin or Both
in the Treatment of Enteric Fever. Medical Journal of Shree Birenra
Hospital: 12(1) pp: 37-40.
Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/SK/V/2006
Musnelina, L., Afdhal, A.F., Gani, A., Andayani, P. 2004. Pola Pemberian
Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta Tahun 2001 – 2002. Makara Kesehatan: 8 (1) pp: 27-31.
Nelwan RHH, Chen K, Nafrialdi, Paramita D. 2006. Open study on efficacy and
safety of levofloxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever.
Southeast Asian J Trop Med Public Health 2006;37(1): 126-30.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Rampengan, T. H. 2005. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Penerbit Buku
Kedokteran: EGC.
Repository Universitas Sumatera Utara. Demam Tifoid. Tersedia:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28625/4/Chapter%20II.pdf
[diakses 19 Mei 2014]
Santoso, Henry. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Kasus
Demam Tifoid yang Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP
Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Sidabutar, S., Satari, H.I. 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak:
Chloramphenicol atau Seftriakson?. Sari Pediatri 11 (6) pp: 434-439.
Soegijanto S. 2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa & Penatalaksanaan. Jakarta:
Salemba Medika.

40
Spreng, S, Dietrich G, Weidinger G. 2008.“Rational design of Salmonella-based
vaccination strategies”.Methods.38(2):133-43
Sri. 2011. Demam Tifoid Anak.. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Available at: http://repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 18 Mei 2014
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing
Sumarmo S, Garna H, Sri RSH, Hindra IS. 2002. Buku Ajar Infeksi &Pediatrik
Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Sutrisna, E. Riyatno, I.P. 2011. Cost-Effectiveness Analysis Pengobatan Demam
Tifoid Anak Menggunakan Sefotaksim Dan Chloramphenicol di RSUD.
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of Health: 5(2).
Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. 2009.
A comparison of fluoroquinolones versus other antibiotics for
treating enteric fever: meta-analysis. BMJ 2009; 338:1-11.
Thaver, D, Zaidi AK, Critchley JA, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. 2008.
“Fluoroquinolones for treating typhoid and paratyphoid fever (enteric
fever)”. Cochrane Database Syst Rev.
Trivedi NA, Shah PC. 2012. A meta-analysis comparing the safety and efficacy of
azithromycin over the alternate drugs used for treatment of uncomplicated
enteric fever. J Postgrad Med. 58(2):112-8.
Widodo, D. 2009. Demam Tifoid. dalam: Sudoyo AW, Stiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiadi S, editors, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
III, Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; p.2797-805
World Health Organization. 2008. Fact Sheet on Typhoid. Tersedia:
www.who.int/immunization/topics/typhoid/en/index.html [diakses 19 Mei
2014]
Yanagi, D, de Vries GC, Rahardjo D, Alimsardjono L, Wasito EB, De I, et al.
2009.“Emergence of fluoroquinolone-resistant strains of Salmonella
enterica in Surabaya, Indonesia”.Diagn Microbiol Infect Dis. 64(4):422-6

41

Anda mungkin juga menyukai