Anda di halaman 1dari 170

SKRIPSI

PERMASALAHAN ETIK YANG DIHADAPI TENAGA PELAKSANA


FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DALAM PENERAPAN
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

Oleh:

ROBIAH AL ADAWIYYAH
G1A011073

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2015

i
HALAMAN PENGESAHAN

PERMASALAHAN ETIK YANG DIHADAPI TENAGA PELAKSANA


FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DALAM PENERAPAN
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

Oleh :
Robiah Al Adawiyyah
G1A011073

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar


Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Disetujui dan disahkan


pada tanggal, Agustus 2015

Pembimbing I Pembimbing II

Rr Dyah Woro Dwi L, S.Psi, MA dr. Joko Mulyanto, M.Sc


NIP.19780716 2006042 003 NIP. 19790502 2003121 001

Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Ketua Jurusan Kedokteran

dr. Fitranto Arjadi, M.Kes dr. M. Zaenuri Syamsu Hidayat, Sp.KF, M.Si, Med
NIP. 19711122.200012.1.001 NIP. 19700925.200003.1.001

ii
PERMASALAHAN ETIK YANG DIHADAPI TENAGA PELAKSANA
FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DALAM PENERAPAN
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

ABSTRAK

Latar Belakang Upaya pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan


masyarakat Indonesia adalah dengan menerapkan program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). JKN harus memerhatikan nilai – nilai etik dalam konsep maupun
penerapannya.
Tujuan : Mengeksplorasi permasalahan Etik dalam penerapan Jaminan Kesehatan
nasional yang dihadapi tenaga pelaksana Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) di Kabupaten Banyumas.
Manfaat : Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan fenomena dan
memberikan informasi bagi FKTP mengenai permasalahan Etik dalam
pelaksanaan JKN serta dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan
kebijakan terkait JKN.
Metode Penelitian : Penelitian Kualitatif fenomenologi dengan wawancara
mendalam pada tenaga kesehatan di FKTP
Hasil dan Pembahasan : Beberapa pokok pikiran yang didapatkan dalam
penelitian ini yaitu (1) Kebebasan individu dalam memilih dokter FKTP
merupakan salah satu wujud dari prinsip etik autonomy, yang dalam
pelaksanaanya tidak bisa terlepas dari tanggung jawab (2) Distribusi pelayanan
kesehatan yang masih belum merata dan penurunan kualitas pelayanan tidak
sejalan dengan prinsip etik tanggung jawab sosial dan kesehatan serta prinsip
justice (3) Penerapan prinsip etik solidaritas dan kerjasama belum terlaksana
secara maksimal karena masih ada masyarakat Indonesia yang belum menjadi
peserta JKN (4) Pembayaran premi yang bersifat regresif tidak sesuai dengan
ekuitas vertikal (5) Terdapat 155 diagnosis yang di tangani FKTP tetapi dirujuk,
hal tersebut tidak sesuai dengan ekuitas dalam pelayanan kesehatan (6) Perilaku
fraud ditemukan dalam implementasi JKN (7) Terdapat hambatan sosialisasi yang
mengakibatkan kondisi asimetri informasi sehingga terjadi adverse selection dan
moral hazard (8) Terdapat perbedaan pemahaman informasi antara BPJS
kesehatan dan FKTP (9) Nominal kapitasi dirasa masih belum cukup (10)
Pencairan dana klaim yang terlambat bisa mengakibatkan penurunan kualitas
pelayanan, hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip justice (11) Indonesia belum
mempunyai aturan standar tarif pelayanan kesehatan
Kesimpulan : Penelitian ini mengidentifikasi terdapat prmasalahan etik yang
terkait dengan autonomy, justice, solidaritas dan tanggung jawab, ekuitas, gap
informasi dan asimetri informasi.

Kata Kunci : JKN, Etik, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

iii
Ethical Issues on The Implementation of National Health Insurance at Primary
Healthcare Providers

Abstract

Background : One of the Government’s efforts in order to increase the national


health standard was establishing the National Health Insurance (NHI). The
implementation itself should consider the conceptual ethics in applying this
regulation.
Purpose : To explore the Ethical issues in implementation NHI at the Primary
Health Care (PHC).
Benefit of Study : This research can describe phenomena and give the
information about ethical issues on the NHI at the PHC, therefore the results
could be regarded as one of consideration to help building better regulation of
NHI.
Method: Qualitative research with in-depth interview.
Results and Discussion: The result of this study came with several themes. They
are (1) Autonomy for the users of NHI has been implemented in a form of the
freedom to choose the PHC Providers, but the autonomy itself should be followed
by responsibility in order to avoid moral hazard (2) Health service has not been
distributed equally. The decrease of health service quality is not in line with the
Ethical principles, which are social responsibility and justice(3) The application
of ethical principles of solidarity and cooperation has not been done optimally
because there are some people who have not joined the NHI yet (4) NHI payments
are regressive, it is not correspond to vertical equity (5) There are 155 Medical
diagnosis that should be handled by PHC but referred to secondary health care
provider (6) Fraud in Claims was found in NHI Implementation (7) NHI executive
suspected there are miss in the spreading of information from them to NHI
member that lead to non-symetrical information, therefore the adverse selection
and moral hazard could not be avoided (8) It is infereed that there was
misperception between NHI executive and PHC Provider. (9) The amount of
capitation is not enough.(10) The claim payment often late, which caused the
decrease of the quality of service in health care (11) Indonesia has not had the
standard regulation in terms of health service fee.
Conclusion: There are ethical issue related to autonomy, justice, solidarity and
cooperation, equity, misperception, non-symetrical information

Keywords : NHI, Ethics, PHC

iv
PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan

judul “Permasalahan Etik Yang Dihadapi Tenaga Pelaksana Fasilitas Kesehatan

Tingkat Pertama Dalam Penerapan Jaminan Kesehatan Nasional”. Skripsi ini

dibuat dengan tujuan memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana

Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman. Penulis

juga menyadari bahwa tanpa dukungan dan bimbingan dari semua staff

pendidikan serta bantuan semua pihak terkait di dalamnya, maka skripsi ini tidak

akan terselesaikan. Untuk itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati,

perkenankanlah menghanturkan rasa terimakasih kepada:

1. dr. Fitranto Arjadi, M.kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin penelitian.

2. dr. M. Zaenuri Syamsu Hidayat, Sp.KF , M.Si, Med., selaku Ketua Jurusan

Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman yang telah berkenan memberikan

izin melakukan penelitian dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. dr. Ariadne Tiara Hapsari, M.Si.,Med., Sp.A.,selaku pembimbing akademik

yang telah membimbing dalam menghadapi proses pendidikan preklinik.

4. RR. Dyah Woro Dwi L, S.Psi, MA., selaku Pembimbing I yang selalu

berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan

perhatiannya dengan sabar kepada penulis.

v
5. dr. Joko Mulyanto, M.Sc., selaku Pembimbing II yang selalu berkenan

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan

perhatiannya dengan sabar kepada penulis.

6. dr. Amalia Muhaimin M.Sc., selaku Penelaah yang selalu berkenan

memberikan masukan, kritik, dan saran yang membangun dalam penyusunan

skripsi ini.

7. dr. Lantip Rujito M.Si,Med., selaku Wakil Tim Komisi dalam skripsi ini yang

telah memberikan masukkan kepada penulis.

8. dr. Hj. Retno Widiastuti , M.S., selaku Wakil Tim Komisi dalam skripsi ini

yang telah memberikan masukkan kepada penulis.

9. Tim Komisi Skripsi yang memberikan izin terlaksananya penelitian ini.

10. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas yang telah memberikan izin penelitian

11. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di Kabupaten Banyumas yang telah

bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.

12. BPJS Kesehatan cabang Purwokerto yang telah memberikan izin penelitian

dan berpartisipasi dalam penelitian ini.

13. Bapak Fuad Hasyim - Ibu Rofikoh selaku orang tua dan Nur Muhammad

Malikul Adil – Rifa’ah Al Mahmudah selaku saudara kandung, serta keluarga

besar yang selalu memberikan doa, semangat, bantuan, perhatian, dorongan,

nasehat kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

14. Keluarga Kemuning Cetar (Diyan, Ais, Fatia, Afika, Vini, Nyimas, Ratih,

Putri, Mba risma), Aulia, Qisty, Agus, yang selalu memberikan dukungan,

semangat, nasehat, motivasi selama penulis menempuh pendidikan.

vi
15. Semua teman-teman Cranium 2011 serta mahasiswa Kedokteran Unsoed yang

selalu memberikan dukungan dan bantuan selama penyusunan skripsi ini.

16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

banyak membantu hingga penulisan skripsi ini selesai.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga

masukkan dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini, penulis

terima dengan senang hati disertai ucapan terimakasih. Akhirnya, semoga karya

tulis ilmiah ini bisa memberi manfaat bagi semua pihak.

Purwokerto, Juli 2015

Robiah Al Adawiyyah

vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN....................................... ................................................ xii
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................ xiii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiv

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian....................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian...................................................................................... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Jaminan Kesehatan Nasional.................................................................... 7
1. Definisi ............................................................................................... 7
2. Tujuan................................................................................................. 8
3. Sasaran ............................................................................................... 9
4. Pelayanan Kesehatan .......................................................................... 9
5. Pembiayaan ........................................................................................ 10
B. Etik ........................................................................................................... 12
1. Definisi Etik ....................................................................................... 12
2. Prinsip Etik ........................................................................................ 12
3. Dilema Etik ........................................................................................ 20
C. Permasalahan Etik dalam Jaminan Kesehatan ......................................... 20
D. Kerangka Teori......................................................................................... 24
E. Kerangka Konsep ..................................................................................... 24

III. METODE PENELITIAN


A. Rancangan Penelitian ................................................................................ 25
B. Subyek Penelitian ...................................................................................... 25
C. Sumber Data .............................................................................................. 26
D. Data Penelitian .......................................................................................... 27
E. Kredibilitas Data ........................................................................................ 28
F. Tata Urutan Kerja ...................................................................................... 28
G. Analisis Data ............................................................................................. 28
H. Lokasi Penelitian ....................................................................................... 29
I. Jadwal Penelitian ....................................................................................... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil .......................................................................................................... 30
1. Proses Penelitian ................................................................................ 30
2. Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................... 31
3. Tema Penelitian ................................................................................. 33
B. Pembahasan ............................................................................................... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 75


A. Kesimpulan................................................................................................ 75

viii
B. Saran .......................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77

LAMPIRAN ......................................................................................................... 83
A. Lampiran 1. Lembar Inform Consent........................................................ 83
B. Lampiran 2. Panduan Wawancara Informan ............................................. 85
C. Lampiran 3. Ethical Approval ................................................................... 86
D. Lampiran 4. Surat Izin Penelitian Dinas Kesehatan.................................. 87
E. Lampiran 5. Tema Individu Ibu A ............................................................ 88
F. Lampiran 6. Tema Individu Ibu B............................................................. 92
G. Lampiran 7. Tema Individu Ibu C............................................................. 96
H. Lampiran 8. Tema Individu Bapak B ........................................................ 99
I. Lampiran 9. Transkrip Wawancara Triangulator 1 ................................... 108
J. Lampiran 10. Transkrip Wawancara Triangulator 2 ................................. 130
K. Lampiran 11. Tema Penelitian .................................................................. 145
L. Lampiran 12. Kompetensi 155 diagnosis FKTP ....................................... 148
M. Lampiran 12. Surat Pernyataan Orisinalitas.............................................. 155
N. Lampiran 13. Biodata ................................................................................ 155

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Wawancara yang dilakukan kepada Subyek Penelitian. ....................... 33

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka Teori ................................................................................. 24


Gambar 2.2. Kerangka Konsep ............................................................................. 24

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Inform Consent.................................................................... 83


Lampiran 2. Panduan Wawancara Informan ......................................................... 85
Lampiran 3. Ethical Approval ............................................................................... 86
Lampiran 4. Surat Izin Penelitian Dinas Kesehatan.............................................. 87
Lampiran 5. Tema Individu Ibu A ........................................................................ 88
Lampiran 6. Tema Individu Ibu B......................................................................... 92
Lampiran 7. Tema Individu Ibu C......................................................................... 96
Lampiran 8. Tema Individu Bapak B .................................................................... 99
Lampiran 9. Transkrip Wawancara Triangulator 1 ............................................... 108
Lampiran 10. Transkrip Wawancara Triangulator 2 ............................................. 130
Lampiran 11. Tema Penelitian .............................................................................. 145
Lampiran 12. Kompetensi 155 diagnosis FKTP ................................................... 148
Lampiran 13. Surat Pernyataan Orisinalitas.......................................................... 155
Lampiran 14. Biodata ............................................................................................ 156

xii
DAFTAR ISTILAH
Adverse Selection : Individu yang berisiko tinggi untuk sakit dan
melakukan klaim asuransi menjadi peserta
asuransi sementara individu yang paling tidak
mungkin untuk melakukan klaim asuransi tidak
mendaftar menjadi peserta asuransi
Clinical Pathway : Alur mengenai tahap-tahap penting dari
pelayanan kesehatan dengan berbasis pada bukti-
bukti ilmiah untuk mengurangi variasi dalam
pelayanan, cost lebih mudah diprediksi,
pelayanan lebih terstandarisasi, dan
meningkatkan kualitas pelayanan.
Fraud : Tindakan kecurangan yang dilakukan untuk
menguntungkan diri sendiri dan merugikan pihak
lain
Undertreatment : Terapi yang tidak adekuat
Universal Health Coverage : Sistem kesehatan yang semua masyarakatnya
memiliki akses yang adil terhadap pelayanan
kesehatan yang bermutu dengan biaya terjangkau
Window Period : Waktu tunggu peserta saat pertama kali
mendaftar dalam proses administrasi kepesertaan,
verifikasi kependudukan, penyiapan fasilitas
kesehatan tingkat pertama sampai penerbitan
kartu peserta yang dilakukan BPJS.

xiii
DAFTAR SINGKATAN

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial


DJSN : Dewan Jaminan Sosial Nasional
FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
OJK : Otoritas Jasa Keuangan

xiv
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Deklarasi pembangunan milenium yang disepakati Indonesia bersama

189 negara lain dalam kurun waktu 25 tahun dimulai dari tahun 1990 sampai

dengan tahun 2015 menetapkan 8 tujuan dengan menjadikan manusia sebagai

fokus utama yang tujuan akhirnya ialah kesejahteraan masyarakat. Sektor

kesehatan adalah salah satu fokus dari tujuan pembangunan milenium. Profil

kesehatan Indonesia tahun 2012 melaporkan Angka Kematian Bayi (AKB)

sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKABA)

sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut belum mencapai target

pembangunan milenium tahun 2015 yaitu Angka kematian Bayi (AKB) sebesar

23 per 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKABA) sebesar 32

per 1.000 kelahiran hidup. Prevalensi balita kekurangan gizi di Indonesia pada

tahun 2010 sebesar 17,9%, sedangkan target pembangunan milenium untuk

tahun 2015 sebesar 15,5%. Jumlah kasus HIV positif sampai dengan tahun

2005 adalah sebesar 859 kasus kemudian meningkat menjadi 21.511 kasus

pada tahun 2012. Hal tersebut menggambarkan derajat kesehatan Indonesia

masih belum mencapai target yang ditetapkan dan perlunya suatu upaya

meningkatkan derajat kesehatan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya dan

memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia

(BAPPENAS, 2012 ; KEMENKES RI, 2013).

Undang – Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat 1 menyebutkan bahwa

“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan

1
2

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan”. Pelayanan kesehatan adalah suatu kebutuhan dasar yang

termasuk dalam hak sosial setiap individu. Hal yang menjadi hambatan dari

individu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan diantaranya adalah

terbatasnya kemampuan ekonomi. Idealnya seseorang mempunyai hak yang

sama dalam mendapatkan pelayanan kesehatan untuk mendapatkan kondisi

kesehatan yang optimal. Salah satu kebijakan pemerintah dalam rangka

mendistribuskian pelayanan kesehatan secara merata adalah melalui penerapan

sistem asuransi nasional yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (Balqis,

2013 ; Sihombing dan Thinni, 2013).

Sistem asuransi nasional yang pernah diterapkan di Amerika menjadikan

besaran pendapatan individu sebagai syarat pendaftaran peserta asuransi

nasional. Pendapatan yang dilaporkan adalah variabel utama yang menentukan

individu mampu atau tidak untuk menjadi peserta program asuransi. Hal

tersebut mengakibatkan tidak semua individu mampu untuk menjadi peserta

asuransi dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal karena individu

yang jumlah pendapatannya dibawah ketentuan sebagai peserta asuransi tidak

dapat mendaftar sebagai peserta asuransi nasional. Individu yang sudah

terdaftar sebagai peserta asuransi apabila dalam jumlah pendapatanya

berkurang sampai dibawah ketentuan sebagai peserta asuransi maka individu

tersebut dinyatakan keluar dari sistem asuransi nasional. Hal tersebut bisa

mengakibatkan terjadinya diskontinuitas perawatan dalam pelayanan kesehatan

(Trotochaud, 2006).
3

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah jaminan pembiayaan

kesehatan yang bertujuan untuk memberikan manfaat kesehatan dan

perlindungan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya

dibayar oleh pemerintah. Pada strata pertama atau layanan kesehatan primer,

pelayanan kesehatan berupa layanan kesehatan non spesialistik yang

dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) kemudian

apabila memerlukan penanganan yang lebih serius akan dirujuk ke Rumah

Sakit. Sebanyak 118 juta penduduk Indonesia belum memiliki asuransi

kesehatan. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diharapkan mampu untuk

mencover masalah terkait asuransi kesehatan yang belum dimiliki sebagian

penduduk Indonesia (Balqis, 2013 ; PERPRES RI NO 32, 2014).

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai diberlakukan sejak tanggal 1

Januari 2014. Dalam laporan keuangan tahun 2014, tercatat adanya defisit dana

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK). Manfaat dan klaim yang dibayar oleh

pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) sebesar Rp

42,6 triliun. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan total dana iuran

yang terkumpul di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK)

yaitu sebesar Rp 41,06 triliun. Hal tersebut memberikan dampak berupa

pelayanan kesehatan yang terhambat karena ada masalah terkait pembiayaan

pelayanan kesehatan dan rencana kenaikan besaran premi di tahun 2016 yang

akan dibayarkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan

(BPJSK) (Saubani, 2015).


4

Permasalahan lain yang muncul dalam penerapan Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN) diantaranya adalah terkait rasio dokter terhadap penduduk

yang belum seimbang yang dapat berpengaruh terhadap distribusi pelayanan

kesehatan yang menjadi tidak merata dan pelayanan kesehatan yang diberikan

di bawah standar. Rasio dokter terhadap penduduk sebesar 13,7 per 100.000

penduduk. Angka tersebut belum mencapai target nasional rasio dokter pasien

dalam indikator indonesia sehat sebesar 40 per 100.000 penduduk. Selain itu,

dari segi fasilitas layanan kesehatan primer, masih ada 364 kecamatan di

Indonesia yang belum memiliki puskesmas. (Balqis, 2013).

Etik didefinisikan sebagai aturan atau azas - azas mengenai baik buruk

atau benar salahnya suatu perbuatan. Biomedical ethic atau bioetik adalah ilmu

yang mempelajari tentang masalah moral yang terjadi dalam dunia kesehatan

ataupun ilmu hayati. Terdapat 4 prinsip dasar etik yaitu Autonomy,

Beneficence, Nonmaleicence, dan Justice. Adanya pelayanan yang

distribusinya tidak merata atau alokasi sumber daya yang tidak terdistribusi

sesuai dengan kebutuhannya dan pelayanan kesehatan yang di bawah standar

merupakan salah satu contoh dari tidak terpenuhinya prinsip justice. Pada

survei pendahuluan, ditemukan permasalahan mengenai pelayanan kesehatan

rawat jalan. Menurut informan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama daerah

Kabupaten Banyumas pelayanan kesehatan rawat jalan sempat terhambat

karena terdapat masalah dalam sistem klaim dana pembayaran rawat inap yang

mengakibatkan dana yang seharusnya dialokasikan untuk rawat jalan

digunakan untuk menutupi dana pasien rawat inap sehingga pasien rawat jalan

saat itu tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan (Williams, 2006).


5

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini adalah kebijakan baru, dimana

belum ada penelitian yang mengkaji mengenai permasalahan etik yang ada

dalam implementasinya, terutama pada layanan kesehatan strata pertama atau

layanan kesehatan primer. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengeksplorasi

mengenai permasalah etik yang dihadapi tenaga pelaksana Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN) pada tingkat layanan primer di Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama Kabupaten Banyumas.

B. Rumusan Masalah

“Permasalahan Etik apa yang dihadapai tenaga pelaksana fasilitas kesehatan

tingkat pertama dalam penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di

Kabupaten Banyumas?”

C. Tujuan Penelitian

Mengeksplorasi permasalahan Etik dalam penerapan Jaminan Kesehatan

nasional (JKN) yang dihadapi tenaga pelaksana fasilitas kesehatan tingkat

pertama di Kabupaten Banyumas.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritik

Menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang Bioetik mengenai

permasalahan Etik yang dihadapai tenaga pelaksana JKN pada fasilitas

kesehatan tingkat pertama.


6

2. Praktis

a. Manfaat bagi mahasiswa

Penelitian ini diharapkan bisa menjelaskan fenomena mengenai

permasalahan Etik yang dihadapai tenaga pelaksana JKN pada FKTP.

b. Manfaat bagi FKTP

Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan fenomena bagi FKTP

tentang permasalahan Etik dalam pelaksanaan JKN.

c. Manfaat bagi pemerintah

Memberikan informasi tentang permasalahan Etik yang di hadapai tenaga

pelaksana JKN sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

pembuatan kebijakan terkait JKN.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Jaminan Kesehatan Nasional

1. Latar Belakang

Salah satu tugas negara adalah meningkatkan derajat kesejahteraan

masyarakat diantaranya melalui perbaikan kesehatan masyarakat. Kesehatan

merupakan salah satu hak dasar dari setiap manusia yang dapat berpengaruh

kepada kualitas sumber daya manusia. Menurut profil kesehatan provinsi

Jawa Tengah pada tahun 2012 Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 10,75

per 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKABA) sebesar

11,85 per 1.000 kelahiran hidup, angka tersebut lebih tinggi apabila

dibandingkan dengan tahun 2011 yaitu Angka Kematian Bayi (AKB)

sebesar 10,34 per 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita

(AKABA) sebesar 11,50 per 1.000 kelahiran hidup. Presentase Berat Badan

Lahir rendah (BBLR) yaitu sebanyak 21.573 (3,75%) pada tahun 2012,

meningkat dibanding tahun 2011 sebesar 21.184 (3,73%). Presentase balita

dengan gizi kurang sebesar 4,88 % dan presentase balita dengan gizi buruk

pada tahun 2012 sebanyak 1.131 (0,06%). Hal tersebut menggambarkan

masih perlunya peningkatan derajat kesehatan masyarakat untuk

meningkatkan kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia. Salah satu

kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat adalah melalui penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

(Dinkes Jateng, 2012 ; Widiyatmoko et al, 2014).

7
8

2. Tujuan

Jaminan Kesehatan Nasional adalah jaminan di bidang kesehatan yang

diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas

dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan dan manfaat

pemeliharaan kesehatan kepada setiap orang yang telah membayar iuran

atau iurannya dibayar oleh pemerintah.Terdapat dua bentuk ekuitas dalam

pelayanan kesehatan, yaitu ekuitas horizontal dan ekuitas vertikal. Ekuitas

horizontal berarti setiap individu mendapatkan pelayanan kesehatan yang

sama untuk kebutuhan yang sama sedangkan ekuitas vertikal berarti setiap

individu mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya

(KEMENKES RI, 2014 ; Nina dan Widodo, 2013)

Selama ini, biaya pelayanan kesehatan baik yang rawat inap maupun

rawat jalan adalah biaya yang sulit diprediksi jumlahnya. Keterbatasan

ekonomi menjadi masalah utama yang menyebabkan seseorang tidak bisa

mengakses pelayanan kesehatan yang seharusnya diterima. Jaminan

kesehatan mampu mengurangi risiko tanggungan biaya kesehatan yang

dibayarkan sendiri dalam jumlah yang sulit diprediksi dan sangat besar.

Dengan adanya Jaminan kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarkan

berdasarkan prinsip asuransi sosial, pembiayaan kesehatan ditanggung

bersama secara gotong royong oleh keseluruhan peserta, dengan

pembayaran premi yang terjangkau dan bersifat tetap serta mampu

memberikan pelayanan yang bersifat medis maupun non medis berupa

pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan


9

akomodasi ambulans untuk pasien rujukan dengan kondisi tertentu.

(PERPRES NO 32, 2014 ; Sihombing dan Thinni, 2013; Yuningsih, 2013).

3. Sasaran

Keikutsertaan masyarakat Indonesia dalam program Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) sifatnya adalah wajib. Masyarakat fakir, miskin

dan tidak mampu akan digolongkan sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI)

yang pembayaran preminya dilakukan oleh pemerintah. Pekerja penerima

upah (PNS, TNI, POLRI, pegawai swasta), pekerja bukan penerima upah

(pekerja mandiri), bukan pekerja (investor, veteran, penerima pensiun)

digolongkan sebagai peserta non-Penerima Bantuan Iutan (non-PBI).

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diharapkan mampu meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat melalui pelayanan kesehatan perorangan baik

promotif , preventif, kuratif maupun rehabilitatif bagi pesertanya (Yusuf dan

Hidayat, 2014).

4. Pelayanan Kesehatan

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) merupakan

penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat pertama atau layanan kesehatan

primer yang berperan dalam penerapan Jaminan kesehatan Nasional (JKN).

Pelayanan kesehatan yang diberikan berupa pelayanan kesehatan bersifat

non spesialistik (primer) meliputi pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat

inap. Pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama dilakukan untuk

keperluan observasi, diagnosis, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan

lainnya, sedangkan pelayanan rawat inap tingkat pertama dilakukan untuk

keperluan observasi, perawatan, diagnosis, pegobatan , dan/atau pelayanan


10

medis lainnya dimana peserta dan/atau anggota keluarganya dirawat di

FKTP paling singkat 1 hari (PERMENKES RI NO 71, 2013 ;

KEPMENKES RI NO 128, 2004).

Dalam prosedur pelayanan kesehatan, ada yang disebut dengan sistem

rujukan pelayanan kesehatan. Prosedur pelayanan Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN) dimulai dari penyelenggaraan pelayanan pada FKTP

apabila diperlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka akan

dilakukan rujukan oleh penyedia pelayanan FKTP ke pelayanan kesehatan

tingkat lanjutan, tetapi hal tersebut tidak berlaku dalam kegawatdaruratan

medis. Selama ini, keberagaman jenis pembiayaan layanan kesehatan

mengakibatkan penumpukan pasien dalam fasilitas pelayanan kesehatan

tertentu sehingga dengan dibenahinya sistem rujukan pelayanan kesehatan

dalam penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diharapkan mampu

memperbaiki prosedur rujukan pelayanan kesehatan (KEMENKES RI, 2014

; Yuningsih, 2013).

5. Pembiayaan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) adalah

badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan

kesehatan termasuk mengenai pembayaran pembiayaan pelayanan kesehatan

dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Premi adalah iuran yang

dibayarkan secara rutin oleh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

yang jumlah nya tetap setiap bulannya. Besaran iuran peserta PBI-JKN yang

dibayarkan oleh pemerintah adalah 19.255 per bulan. Iuran peserta non-PBI

dibayarkan sendiri dan dibagi menjadi 3 kelas berdasarkan kemampuan


11

untuk membayar. Besaran iuran kelas 1 adalah 59.500 perbulan, kelas 2

adalah 42.500 per bulan, kelas 3 adalah 25.500 per bulan. BPJSK yang akan

melakukan pembayaran pada fasilitas kesehatan (BPJS, 2014).

Terdapat 2 macam tarif biaya pelayanan kesehatan pada fasilitas

kesehatan tingkat pertama yaitu tarif kapitasi dan tarif non kapitasi. Tarif

kapitasi adalah besaran pembiayaan per bulan yang dibayar dimuka oleh

BPJSK kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama berdasarkan jumlah

peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan

kesehatan yang diberikan. Besaran tarifnya untuk puskesmas atau fasilitas

kesehatan yang setara adalah 3.000 rupiah sampai dengan 6.000 rupiah .

Besaran tarif rumah sakit pratama, klinik pratama, praktek dokter atau

fasilitas kesehatan yang setara adalah 8.000 rupiah sampai dengan 10.000

rupiah. BPJSK membayar kapitasi setiap bulan maksimal pada tanggal 15

bulan tersebut. Tarif non kapitasi adalah besaran pembiayaan klaim oleh

BPJSK kepada FKTP berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan

yang diberikan. Biaya pelayanan rawat inap tingkat pertama dibayar dengan

paket per hari dengan beasaran 120.000 rupiah per hari. Pengajuan klaim

rawat inap tingkat pertama atas pelayanan yang sudah diberikan bulan

sebelumnya diajukan secara kolektif setiap bulan oleh penyedia pelayanan

FKTP kepada Kantor Cabang/Kantor Operasional Kabupaten/Kota BPJS

kesehatan. BPJSK wajib membayar fasilitas kesehatan atas pelayanan yang

diberikan kepada peserta paling lambat 15 hari kerja sejak dokumen klaim

diterima lengkap di Kantor Cabang/Kantor Operasional Kabupaten/Kota


12

BPJSK. Layangan kesehatan tingkat lanjutan dibayar dengan sistem paket

INA CBG’s (BPJS, 2014 ;PERMENKES RI NO 69, 2013).

B. Etik

1. Definisi Etik

Secara etimologi, etik berasal dari kata ethicus yang artinya adalah

karakter, akhlak, watak. Ethics atau Etik menurut kamus besar bahasa

indonesia diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai yang berkaitan dengan

akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau

masyarakat sedangkan etika adalah ilmu mengenai apa yang baik, apa yang

buruk dan mengenai hak dan kewajiban moral (akhlak). Moral diartikan

sebagai ajaran tentang hal baik atau buruk yang diterima oleh umum

mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban (KBBI). Etik dan moralitas

umumnya diambil sebagai sinonim, karena awalnya memiliki arti yang

sama yaitu ilmu tentang karakter,atau sikap dari orang tertentu, sekelompok

orang atau budaya (UNESCO, 2008). Etik adalah pedoman moral manusia

dalam berperilaku kepada manusia lain yang berkaitan dengan tindakan

manusia benar atau salah, baik atau buruk yang dinilai melalui prinsip etik

antara lain autonomy, beneficence, non maleficence dan justice atau

kepercayaan , agama dan filsafat yang ada (Beauchamp TL, 2002).

2. Prinsip Etik

Empat prinsip yang merupakan hal mendasar dari etik adalah

autonomy, beneficence, nonmaleficence dan justice. Empat prinsip tersebut


13

menjadi pondasi dalam implementasi etik, termasuk dalam disiplin ilmu

biomedis (Beuchamp dan Childress, 1994). Berikut adalah penjelasan

mengenai prinsip etik:

a. Autonomy

Autonomy berasal dari bahasa Yunani yaitu autos-nomos yang

artinya penentuan nasib sendiri. Autonomy adalah kemampuan untuk

menentukan nasibnya sendiri dengan bebas dari kendali orang lain dan

dengan tingkat kapasitas pemahaman yang cukup untuk memutuskan

satu pilihan yang berarti. Dalam dunia medis, apabila pasien membuat

keputusan harus dalam kondisi mampu memahami pilihan, konsekuensi,

keuntungan, kerugian dari masing-masing pilihan berdasarkan nilai

pribadi dan prioritas. Autonomy sering menjadi permasalahan dalam etik

kesehatan, terutama pada pasien tidak kompeten (baik karena usia yaitu

anak – anak, atau karena kemampuan mental atau gangguan kesadaran).

Menghormati autonomy seseorang tidak semata – mata dengan

mengabaikan semua pertimbangan pinsip etik lainnya. Seseorang berhak

menggunakan autonomy nya dengan tidak merugikan orang lain

(Beuchamp dan Childress, 1994; Lawrence, 2007).

b. Beneficene

Setiap individu harus berkontribusi dalam mengupayakan

kesejahteraan bagi individu lain. Hal tersebut bearti setiap tindakan

yang dilakukan harus berorientasi pada kebaikanbagi orang lain. Prinsip

dari beneficence adalah melakukan tindakan untuk mencegah atau

menghilangkan bahaya atau memperbaiki situasi (Beauchamp.,


14

Childress, 1994). Terdapat dua prinsip Beneficene, yaitu positif

beneficence dan utilitas. Prinsip positif beneficene menjelaskan bahwa

setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang bermanfaat bagi orang

lain, sedangkan prinsip utilitas menjelaskan bahwa dalam melakukan

suatu kebaikan masih memikirkan risiko apa yang mungkin terjadi

(Lawrence, 2007). Penerapan prinsip beneficence dalam dunia kesehatan

contohnya adalah promosi kesehatan agar masyarakat berhenti merokok

dan vaksinasi (Pantilat, 2008).

c. Non Maleficence

Prinsip dari non maleficence adalah primun non nocere , berasal

dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris artinya adalah First do no

harm. Prinsip non maleficence artinya setiap individu tidak boleh

melakukan tindakan yang dapat memperburuk keadaan individu lain.

Analisis risiko dan manfaat untuk mempertimbangkan konsekuensi baik

dan buruk yang mungkin terjadi biasanya dilakukan dalam penerapan

prinsip ini (Lawrence, 2007). Hal tersebut menegaskan bahwa setiap

individu tidak boleh dengan sengaja menimbulkan kerugian bagi individu

lain. Contoh dari penerapan prinsip non maleficence adalah tidak

memberikan pengobatan yang terbukti tidak efektif (Pantilat 2008)

d. Justice

Justice berkaitan dengan martabat manusia, kesejahteraan umum

dan hak asasi manusia. Justice membahas mengenai bagaimana individu

bertindak berdasarkan keadilan dan kesetaraan serta bagaimana

menghormati hak orang lain. Dalam dunia kesehatan, sering terjadi


15

permasalah mengenai prinsip justice yaitu, bagaimana suatu hak dasar

berupa pelayanan kesehatan terdistribusi kepada individu yang tidak

mampu secara ekonomi untuk mengakses pelayanan kesehatan

(Lawrence, 2007).

Deklarasi Universal Unesco Bioetik dan Hak Asasi Manusia

memaparkan lima belas prinsip bioetik, yaitu (UNESCO, 2008) :

a. Martabat Manusia dan Hak Asasi Manusia

Declaration of Human Right menyatakan bahwa manusia terlahir secara

bebas dengan martabat dan hak asasi manusia yang sama tanpa

membedakan dalam aspek apapun. Martabat dan hak asasi manusia

berkaitan dengan kehormatan, penghargaan dan kapasitas seseorang

secara bebas dalam mengambil keputusan dalam hidupnya.

b. Manfaat dan kerugian

Salah satu contoh dari prinsip manfaat dalam dunia kesehatan adalah

pemberian terapi kepada seseorang yang menderita penyakit.Pemberian

terapi ini bertujuan untuk memberikan manfaat berupa kesembuhan bagi

pasien. Selain manfaat, kerugian juga adalah salah satu prinsip yang

harus dipertimbangkan. Sebagai contohnya adalah dampak negatif atau

efek yang tidak diinginkan ketika memberikan terapi adalah suatu hal

yang harus dipertimbangkan walaupun dampak negatif tersebut sulit

untuk dipastikan.

c. Autonomi dan Tanggung jawab Individu

Kemampuan individu untuk membuat suatu keputusan yang bebas dari

pengaruh orang lain disebut autonomi. Keputusan yang diambil individu


16

dalam prinsip autonomi memang terlepas dari pengaruh orang lain tetapi

hal tersebut harus mempertimbangkan hak orang lain karena batas

autonomi seseorang adalah autonomi dari orang lain sehingga autonomi

tidak bisa terlepas dari tanggung jawab.

d. Persetujuan

Persetujuan dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Memberikan

sebuah persetujuan biasanya dilakukan setelah menerima penjelasan

medis secara lengkap. Manusia memiliki martabat, hak asasi dan

autonomi, sehingga mampu memberikan persetujuan tentang apa yang

akan dilakukan kepada dirinya dan bertanggung jawab atas keputusan

yang telah dipilih.

e. Kapasitas untuk Memberi persetujuan

Ada syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang agar dianggap

mempunyai kapasitas diantaranya adalah mampu untuk memahami

informasi untuk membuat keputusan secara realistis, memahami situasi

dan kondisi yang sedang dialami, mampu menilai fakta yang relevan,

memahami akibat yang terjadi jika tidak memberikan persetujuan.

Golongan yang belum mempunyai kapasitas untuk memberi persetujuan

diantaranya adalah bayi, anak-anak, pasien dengan intelektual rendah ,

pasien tidak sadar, pasien dengan gangguan jiwa, dan orang tua dengan

penyakit alzheimer atau penyakit kebingungan lainnya.

f. Menghormati Kerentanan Manusia dan Integritas Pribadi

Terdapat beberapa macam kerentanan, diantaranya adalah


17

1) Kerentanan biologi yang berasal dari diri sendiri maupun dari

lingkungannya.

2) Kerentanan sosial contohnya adalah diskriminasi, stigmatisasi,

prasangka dan perang.

3) Kerentanan budaya yang berkaitan dengan tradisi di suatu daerah.

Kerentanan adalah suatu hal yang tidak bisa terlepas dari manusia

sehingga kerentanan adalah suatu hal yang harus diterima dan

diseimbangkan dengan usaha untuk menghindari kerentanan tersebut

karena setiap manusia mempunyai integritas diri yang harus dihormati.

g. Privasi dan kerahasiaan

Setiap manusia mempunyai informasi pribadi yang harus kita hormati.

Privasi diartikan sebagai hak individu ataupun kelompok untuk bebas

dari gangguan lain dan menentukan informasi mana yang rahasia dan

dapat dibagi ke orang lain. Kerahasiaan merupakan upaya untuk menjaga

privasi individu dengan tidak mengungkap suatu informasi pribadi

kepada pihak lain kecuali untuk kepentingan tertentu seperti pertukaran

informasi pribadi antar pihak pemberi pelayanan kesehatan untuk

kepentingan perawatan.

h. Persamaan dan Keadilan

Keadilan tidak selalu berarti persamaan. Keadilan berarti sesuai dengan

apa yang dibutuhkan atau haknya dan sesuai dengan apa yang harus

diterima sedangkan persamaan berarti menerima suatu kesempatan yang

sama antara satu individu dengan individu lainnya misalnya dalam hal

kesempatan mendapatkan penghormataan martabat manusia.


18

i. Non Diskriminasi dan Non Stigmatisasi

Salah satu pelanggaran terhadap persamaan sosial, martabat manusia, hak

asasi manusia dan kebebasan adalah diskriminasi. Diskriminasi diartikan

sebagai suatu perlakuan membeda – bedakan individu bukan berdasarkan

prestasi melainkan berdasarkan ras, kelas sosial, agama, negara, jenis

kelamin, negara dan kecacatan. Diskriminasi tidak terlepas dari

stigmatisasi. Stigmatisasi bisa menjadi awal dari timbulnya suatu

diskriminasi karena individu yang mendapatkan suatu stigma artinya

individu tersebut dianggap abnormal kemudian dideskriditkan karena

keadaan abnormal yang ada pada dirinya.

j. Menghormati Keragaman Budaya dan Pluralisme

Budaya mencakup seni dan sastra , gaya hidup, tradisi dan kepercayaan

serta berkaitan juga dengan kumpulan nilai spiritual, jasmani, intelektual

dan emosi yang sesuai dengan ciri dari suatu kelompok masyarakat.

Setiap kelompok masyarakat memiliki budaya yang berbeda sehingga

muncul suatu keragaman budaya. Adanya keragaman budaya juga dapat

menimbulkan pluralisme atau berbagai macam pemahaman yang

dianggap sama benarnya atau justru dianggap salah satu sama lain.

Keragaman budaya dan pluralisme tersebut menuntut individu untuk bisa

saling menghormati satu sama lain.

k. Solidaritas dan Kerjasama

Salah satu implementasi dari solidaritas adalah dalam asurasnsi

pelayanan kesehatan. Contohnya adalah di Eropa, masyarakat yang

cukup secara finansial dituntut untuk bekerja sama memberikan


19

kontribusi finansial di asuransi kesehatan agar seluruh masyarakat bisa

tercakup oleh asuransi dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan.

l. Tanggung Jawab Sosial dan Kesehatan

Kesehatan adalah salah satu hal yang berpengaruh pada derajat

kesejahteraan masyarakat. Distribusi pelayanan kesehatan yang tidak

merata dapat menimbulkan kesenjangan di bidang kesehatan. Hal

tersebut menyebabkan individu atau kelompok tertentu dibebankan

tanggung jawab sosial untuk memberikan bantuan sesuai dengan

kemampuan mereka.

m. Berbagi Manfaat

Kemanfaatan dalam bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, teknologi,

pengembangan ekonomi, kekayaan intelektual , terapi dalam bidang

kesehatan yang didistribusi secara merata merupakan salah satu upaya

penting dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Banyak kemanfaatan

dalam bidang tersebut yang belum terdistribusi secara merata, sehingga

masih terjadi kesenjangan di tengan masyarakat.

n. Melindungi Generasi Mendatang

Hak yang dimiliki generasi mendatang diantaranya adalah hak kehidupan

yang lebih baik. Aktivitas yang dilakukan saat ini, tidak terlepas dari

kewajiban kita untuk mengupayakan kehidupan yang lebih baik bagi

generasi mendatang.
20

o. Perlindungan Alam, Biosfer dan Keanekaragaman Hayati

Kondisi alam memengaruhi kesejahteraan manusia karena alam adalah

tempat dimana manusia melangsungkan kehidupan oleh karena itu

manusia memiliki kewajiban untuk berperan dalam perlindungan alam,

biosfer dan menjaga keanekaragaman hayati.

3. Dilema Etik

Dalam pengambilan keputusan seringkali dihadapkan dengan

kebingungan antara beberapa alternatif pilihan yang ada baik alternatif yang

diinginkan atau alternatif yang tidak diinginkan sehingga menimbulkan

dilema tersendiri. Kondisi demikian disebut dengan dilema etik. Dilema etik

adalah suatu kondisi dimana terjadi permasalahan dalam pengambilan

keputusan untuk memilih di antara alternatif pilihan yang ada. Setiap

alternatif pilihan yang ada memiliki sudut pandangnya masing - masing dan

apabila dilihat dari yang bukan merupakan sudut pandangnya belum tentu

dianggap benar. Hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan etik.(Macer,

2006; Braunack-Mayer, 2001).

C. Permasalahan Etik dalam Jaminan Kesehatan Nasional

Sistem pembiayaan kesehatan sebagai jaminan bagi masyarakat dalam

memastikan keadilan akses kesehatan berupa pelayanan promotif, preventif,

kuratif dan rehibilitatif menjadi isu penting bagi setiap negara maju dan

berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang, menegaskan dalam

ideologi Pancasila terutama sila ke-5 yang berbunyi “keadilan sosial bagi

seluruh rakyat indonesia” bahwa kesehatan atau hak terhadap standar hidup

yang layak termasuk dalam hak sosial. Pelayanan kesehatan merupakan suatu
21

aktivitas sosial yang bukan hanya melibatkan dokter dan pasien, tetapi

melibatkan organisasi pemerintah serta sistem pendanaan pelayanan kesehatan.

Sistem asuransi kesehatan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi biaya

kesehatan yang sulit diprediksi jumlahnya (Kurnia et al, 2014).

Salah satu kebijakan pemerintah yang merupakan perwujudan prinsip

etik solidaritas dan kerja sama yang pernah diterapkan untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat adalah Jaminan Persalinan (Jampersal). Tujuan

Jampersal adalah meningkatkan akses terhadap pelayanan kehamilan

(antenatal), pertolongan persalinan, nifas (post natal), dan kontrasepsi pasca

persalinan, namun dalam implementasinya dapat terjadi benturan prinsip etik.

Salah satu pelayanan yang diberikan pada Jampersal adalah pemasangan

kontrasepsi pasca melahirkan. Hal tersebut bertujuan untuk membatasi jumlah

anak dalam keluarga sehingga diharapkan mampu untuk fokus dalam

pningkatan kualitas hidup anak – anak yang sudah ada. Pemasangan

kontrasepsi harus menghormati autonomy pasien, karena tidak semua

penerima pelayanan Jampersal bersedia mendapat kontrasepsi pasca persalinan

sehingga terjadi benturan antara prinsip melidungi generasi yang akan datang

dan autonomy pasien (Guchiani, 2012 ; PERMENKES RI NO. 2562, 2011).

Pada 1 Januari 2014 pemerintah mulai memberlakukan Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) sebagai suatu kebijakan pemerintah yang

diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas serta

diharapkan mampu untuk meningkatkan derajat kesehatan dengan memenuhi

hak masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Penerapan sistem

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan untuk meningkatkan


22

derajat kesehatan masyarakat harus mempertimbangkan aspek etik. Beberapa

prinsip etik yang bisa diperhatikan di antaranya adalah mengenai kemanfaatan,

keadilan dalam distribusi pelayanan kesehatan, solidaritas, memastikan

keikutsertaan publik dalam upaya penerapan sistem asuransi, menghormati

autnomi, privasi dan kerahasiaan pasien. Hal tersebut diharapkan mampu

memberikan kemanfaatan yang merata sehingga derajat kesehatan masyarakat

meningkat bukan hanya pada satu kelompok tertentu saja (Childress et al, 2002

; Kurnia et al, 2014).

Permasalahan etik dapat timbul dalam penerapan Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN) akibat adanya prinsip etik yang belum bisa diterapkan. Contoh

permasalahn etik yang dapat timbul adalah akses pelayanan kesehatan yang

belum merata. Akses adalah kemudahan penggunaan fasilitas pelayanan

kesehatan oleh individu dengan kebutuhan akan pelayanan kesehatan.

Undang – undang terkait Jaminan kesehatan Nasional tidak membahas

bagaimana meratakan distribusi pelayanan kesehatan ke berbagai tempat

sehingga apabila akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan tidak merata

hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip etik berbagi manfaat, persamaan,

keadilan dan justice serta akan menyebabkan kesenjangan kesehatan. Distribusi

pelayanan kesehatan yang tidak merata juga bisa mengakibatkan pelayanan

kesehatan yang diberikan dibawah standar (Trisnantoro, 2009 ; Unesco , 2008).

Pelayanan yang di bawah standar merupakan salah satu contoh pelanggaran

prinsip justice, karena pada dasarnya setiap orang dengan kondisi yang sama

harus memperoleh perlakuan yang sama (Andre dan Velasquez, 2010)


23

Permasalahan lain yang bisa muncul adalah adanya masalah dalam

sistem pendanaan pelayanan kesehatan yang bisa menyebabkan pelayanan

kesehatan menjadi terhambat. Pelayanan kesehatan yang terhambat bisa

mengakibatkan pasien yang seharusnya mendapatkan pelayanan kesehatan

menjadi tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. United Nations

Universal Declaration of Human Rights menyebutkan bahwa hak – hak asasi

manusia yang penting dalam penerapan prinsip etik dalam dunia kedoketran

adalah hak untuk hidup, bebas dari diskriminasi, bebas dari siksaan dan

kekejaman, bebas dari perlakuan yang tidak manusiawi dan tidak pantas, bebas

beropini dan berekspresi, persamaan dalam mendapatkan pelayanan umum di

suatu negara, dan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan juga adalah suatu

kebutuhan dasar yang termasuk dalam hak sosial setiap individu.(Williams,

2006).
24

D. Kerangka Teori

JKN Etik

1. Latar Belakang
2. Tujuan Prinsip Etik
3. Sasaran
4. Jenis Pelayanan
5. Pembiayaan

Permasalahan Etik

Gambar 2.1

E. Kerangka Konsep

Jaminan Tenaga Pelaksana


Kesehatan JKN di FKTP
Nasional (JKN) Banyumas

Bukan
Permasalahan etik
Permasalahan etik

Gambar 2.2

Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti


III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif

fenomenologi dengan teknik pengambilan data wawancara terstruktur. Metode

penelitian kualitatif adalah suatu metode penelitan yang hasil temuan

penelitiannya tidak melalui statistik atau proses penghitungan lainnya tetapi

melalui wawancara terbuka dengan tujuan untuk bisa memahami, sikap,

pandangan, perasaan dan perilaku. Sebelum proses wawancara peneliti telah

membuat panduan pertanyaan, namun pertanyaan yang muncul selama

wawancara dapat berkembang sesuai situasi yang terjadi saat wawancara.

Wawancara terstruktur dilakukan dengan tatap muka dan direkam

menggunakan alat perekam (digital voice recorder). Wawancara di lakukan

untuk dapat memahami pandangan subjek penelitian terhadap hal yang sedang

diteliti. (Bungin, 2007 ; Moleong, 2014).

B. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah tenaga pelaksana Jaminan Kesehatan

Nasional berdasarkan pada kriteria :

1. Bertugas di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang bekerjasama dengan

BPJS Kesehatan di Kabupaten Banyumas

2. Bersedia diwawancara dan menandatangani lembar persetujuan sebagai

subjek penelitian

25
26

Pemilihan subjek penelitian dilakukan tidak berdasarkan peluang atau

non-probability sampling. Jenis non-probability sampling yang digunakan

adalah judgemental sampling atau purposive sampling. Dengan jenis pemilihan

sampel berdasarkankan judgemental sampling atau purposive sampling artinya

peneliti memilih subjek penelitian berdasarkan penilaian subjektif dan praktis

bahwa subjek penelitian mampu memberi jawaban atas pertanyaan penelitian

yang diajukan. Jumlah sampel dalam penelitian kualitatif bisa banyak ataupun

juga sedikit. Pada umumnya, penelitian kualitatif lebih mengutamakan jumlah

subjek penelitian sedikit tetapi terfokus dibandingkan dengan jumlah subjek

penelitian yang banyak (Bungin, 2007 ; Sastroasmoro dan Sofyan , 2011).

Jumlah subjek penelitian pada penelitian kualitatif tidak ditetapkan seberapa

banyak hingga informasi yang diperoleh telah sampai pada taraf redundancy

(datanya telah jenuh, ditambah sampel lagi tidak memberikan informasi yang

baru) (Sugiyono, 2005).

C. Sumber Data

Data yang digunakan dalam peneilitian ini adalah data primer. Data

primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan tatap muka dan

direkam menggunakan alat perekam. Peneliti juga mencatat hasil wawancara

dengan menggunakan alat tulis.


27

D. Data Penelitian

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak yaitu

pewawancara dan terwawancara dengan tujuan memperoleh informasi dan

memahamai, sikap, pandangan, perasaan dan perilaku individu. Wawancara

dimulai dari perkenalan diri pewawancara terlebih dahulu kemudian dibuka

dengan pembahasan topik wawancara secara umum. Pewawancara

dianjurkan untuk bersikap netral artinya tidak memihak pada suatu konflik

pendapat atau peristiwa tertentu. Penelitian ini menggunakan metode

wawancara terstruktur dengan panduan pertanyaan, namun pertanyaan yang

muncul selama wawancara dapat berkembang sesuai situasi yang terjadi saat

wawancara. Waktu yang diperlukan untuk wawancara dalam penelitian ini

adalah 30-60 menit dan dimungkinkan untuk melakukan proses wawancara

dilain waktu apabila peneliti masih membutuhkan data atau merasa belum

cukup mendapatkan data. Selama wawancara, dilakukan pencatatan data

bisa berupa pencatatan data oleh pewawaancara sendiri atau pencatatan data

dengan merekam menggunakan digital voice recorder. Pencatatan data

dengan menggunakan digital voice recorder hendaknya dengan memperoleh

persetujuan dari terwawancara (Moleong, 2014)

2. Observasi

Observasi dilakukan bersamaan dengan jalannya proses wawancara. Peneliti

mengamati kesesuaian antara apa yang disampaikan dengan bahasa tubuh

informan kemudian mencatatan ekspresi informan serta situasi saat jalannya

wawancara (Chariri, 2009).


28

E. Kredibilitas Data

Metode yang digunakan untuk validasi data salah satunya adalah

triangulasi, yaitu cara memeriksa keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu

yang lain. Menurut moeloeng (2014) terdapat 4 macam triangulasi sebagai

teknik pemeriksaan keabsahan data yaitu triangulasi sumber yang teridiri dari 2

cara melalui waktu atau alat yang berbeda, triangulasi metode, triangulasi

sumber dan triangulasi teori. Dalam penelitian ini triangulasi yang digunakan

adalah triangulasi waktu yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang sama pada

waktu yang berbeda dan triangulasi sumber yaitu bertanya kepada individu

yang paham terkait JKN.

F. Tata Urutan Kerja

Tata urutan kerja dalam penelitian ini, yaitu :

1. Menyusun proposal penelitiam

2. Seminar proposal usul skripsi

3. Melakukan wawancara mendalam kepada informan.

4. Pengolahan data

5. Penyusunan laporan hasil penelitian.

6. Seminar hasil penelitian

G. Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mengorganisasikan data, memilah

milihnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan


29

menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan

memutuskan apa yang perlu diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2014).

Langkah analisis data yaitu :

1. Mencatat hasil wawancara mendalam kepada informan

2. Membaca dan mempelajari data hasil wawancara mendalam kepada

informan

3. Menemukan tema dari data yang didapat

4. Memberikan tanda atau pengkodean data

5. Menginterpretasikan data atau mencari makna dari data yang didapat

6. Penyajian data dalam hasil dan pembahasan penelitian kemudian dikaitkan

dengan teori yang ada

7. Menarik kesimpulan dari data yang telah disajikan sehingga menghasilkan

informasi yang jelas

H. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Failitas Kesehatan Tingkat Pertama di Kabupaten

Banyumas.

I. Jadwal Penelitian

Penelitian telah dilakukan pada bulan April sampai bulan Juni 2015
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Proses Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan April sampai Juni 2015.

Pengurusan izin ke Dinas Kesehatan Purwokerto dilaksanakan pada tanggal

9 April 2015 dan perizinan baru keluar pada tanggal 16 April 2015. Peneliti

juga memasukan surat izin penelitian kepada BPJSK pada tanggal 13 April

untuk mencari informasi mengenai FKTP yang bekerja sama dengan BPJSK

dan meminta izin untuk mewawancarai pihak BPJSK. Surat balasan

penelitian dari BPJSK keluar pada tanggal 27 April 2015 tetapi peneliti

tidak berhasil mendapatkan izin wawancara. Pihak BPJSK meminta peneliti

hanya melampirkan pertanyaan yang ingin diajukan. Peneliti melampirkan

pertanyaan dan permohonan data yang dibutuhkan kemudian mengirimkan

kepada pihak BPJSK pada tanggal 28 April 2015. BPJSK tidak menjawab

semua pertanyaan yang dilampirkan peneliti dan memberikan data yang

dibutuhkan peneliti pada tanggal 4 Mei 2015. Peneliti membuat surat izin

penelitan kepada FKTP pada tanggal 4 Mei Peneliti mencoba kembali

memasukkan surat izin penelitian ke BPJSK pada tanggal 3 Juni 2015 dan

peneliti berhasil melakukan wawancara pada tanggal 19 juni 2015.

Penelitian ini dimulai dengan memberikan informed consent kepada

subjek penelitan kemudian dilakukan wawancara mendalam, merekam,

mencatat dan observasi secara langsung kepada informan yaitu tenaga

pelaksana JKN yang ditetapkan oleh peneliti. Waktu pengambilan data

adalah antara pagi hingga malam hari. Durasi yang dibutuhkan untuk

30
31

menyelesaikan wawancara antara tiga puluh menit hingga sembilan puluh

menit. Subjek penelitian pertama menyelesaikan wawancara dalam dua sesi

dikarenakan keterbatasan waktu wawancara. Wawancara dilakukan pada

malam hari. Subjek penelitian lain menyelesaikan wawancara dalam satu

sesi.

Setelah melakukan wawancara, hasil rekaman diubah menjadi

transkrip. Hasil transkrip dibaca dan koding untuk memperoleh tema

individu. Tema individu kemudian digabungkan berdasarkan kemiripan

makna menjadi tema penelitian. Hasil analisis ini menentukan apakah ada

informasi tambahan yang perlu digali pada subjek penelitian selanjutnya

atau diklarifikasi. Proses triangulasi data yang dilakukan adalah dengan

mewawancara pihak BPJS dan seorag akademisi dan peneliti kekhususan

masalah health policy.

2. Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitiian dengan judul Permasalahan Etik yang Dihadapi Tenaga

Pelaksana di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dalam Penerapan Jaminan

Kesehatan Nasional di Kabupaten Banyumas telah dilaksanakan pada bulan

April sampai dengan Juni 2015. Peneliti melakukan wawancara mendalam

dan observasi kepada 6 subjek penelitian yang terdiri dari 4 subjek

penelitian utama dan 2 subjek penelitian sebagai triangulator. Banyaknya

subjek penelitian didapat berdasarkan kejenuhan data. Subjek penelitian

yang diwawancara dalam penelitian ini adalah tenaga pelaksana JKN di

FKTP kabupaten Banyumas.


32

Subjek penelitian pertama dipenelitian ini berkode ibu A. Ibu A

berusia 53 tahun. Pendidikan terakhir ibu A adalah S1. Setiap hari ibu A

berkerja menjadi seorang dokter di FKTP. Ibu A pernah memiliki

pengalaman menajdi peserta JKN. Sebagai peserta JKN ibu A merasa

kurang puas karena ketika mengakses pelayanan kesehatan tingkat lanjutan,

JKN tidak benar – benar mengcover pasien sampai sembuh sehingga saat

keluarga ibu A masih membutuhkan pelayanan kesehatan diharuskan untuk

pulang atau menambah biaya pelayanan kesehatan. Ketika ibu A

diwawancara, ibu A terlihat sangat hati – hati dalam menjawab pertanyaan

peneliti.

Subjek penelitian kedua dalam penelitian ini berkode ibu B. Ibu B

berusia 38 tahun. Pendidikan terakhir ibu B adalah S2. Setiap hari ibu B

bekerja sebagai dokter di FKTP. Ketika ibu B diwawancara, ibu B sangat

terbuka dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan peneliti.

Subjek penelitian ketiga dipenelitian ini berkode ibu C. Ibu C berusia

34 tahun. Pendidikan terakhir ibu C adalah S1. Setiap hari ibu C bekerja

sebagai apoteker dan petugas klaim di FKTP. Ketika ibu C diwawancara,

ibu C sangat terbuka dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan

peneliti.

Subjek penelitian keempat dalam peneilitan ini berkode bapak B.

Bapak B berusia 33 tahun. Pendidikan terakhir bapak B adalah S1.bapak B

adalah seorang dokter di FKTP. Bapak B sangat terbuka dan menjawab

semua pertanyaan yang diajukan peneliti.


33

Peneliti juga mewawancara narasumber sebagai triangulator dalam

penelitian ini. Narasumber pertama dalam penilitian ini berkode bapak A.

Bapak A berusia 38 tahun. Pendidikan terakhir bapak A adalah S3. Bapak A

adalah seorang akademisi dan peneliti kekhususan masalah health policy.

Bapak A pernah melakukan penelitian terkait JKN. Bapak A sangat terbuka

dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan peneliti. Narasumber kedua

dalam penelitian ini berkode ibu D. Ibu D adalah petugas dari BPJSK

cabang purwokerto.

Tabel 4.1

Wawancara yang dilakukan kepada Subyek Penelitian

No Subyek Tempat Wawancara Tanggal Waktu Durasi


Penelitian
1 Ibu A Tempat Kerja 4 Mei 2015 21.00 - 21.13 12 menit 42 detik
Tempat Kerja 18 Mei 2015 20.45 – 21.27 41 menit 41 detik
2 Ibu B Tempat kerja 6 Mei 2015 09.05 – 09.38 32 menit 39 detik
3 Ibu C Tempat Kerja 9 Mei 2015 11.03 – 11.58 54 menit 37 detik
4 Bapak A Tempat Kerja 12 Mei 2016 15.15 – 16.19 73 menit 11 detik
5 Bapak B Tempat Kerja 16 Mei 2015 12.40 – 13.35 54 menit 12 detik
6 Ibu D Tempat Kerja 19 Juni 2015 08.30 – 10.01 90 menit 44 detik

3. Tema Penelitian

Tema penelitian adalah kumpulan tema individu yang dikelompokkan

berdasar kemiripan maknanya. Berdasarkan kumpulan tema individu baik

dari subjek penelitian utama atau subjek penelitian sebagai triangulator,

didapatkan tema penelitian sebagai berikut :

a. JKN dirancang untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

Menurut dua subjek penelitian utama yaitu ibu A dan ibu B,

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah suatu program asuransi

nasional yang merupakan upaya pemerintah dalam menjamin kesehatan


34

seluruh masyarakat Indonesia. Seperti yang diterangkan dalam kutipan

berikut

“Jaminan kesehatan nasional itu jaminan kesehatan yang


bersifat nasional, maksudnya artinya semua penduduk indonesia
mendapatkan jaminan kesehatan bukan cuma kelompok tertentu
saja tapi semuanya” (Ibu A, L1 – L6)

“Jaminan kesehatan nasional sepengetahuan saya suatu upaya,


suatu sistem yang dilakukan pemerintah dalam pemberian dan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan pemerintan untuk
masyarakat” (Ibu B, L1 – L6)

Menurut ketiga subjek penelitian utama, penyalahgunaan fasilitas

JKN masih terjadi dikalangan masyarakat. Ada sekelompok masyarakat

yang memiliki persepsi bahwa ketika sudah memiliki asuransi kesehatan

berarti harus segera dimanfaatkan.

“Ada penyalahgunaan juga pasien yang mau ikut BPJS karena


ingin check up atau dia pengen CT Scan pakai BPJS, kalau ga
ada indikasi ya tetap tidak akan kita rujuk. Terutama dia ikut
BPJS nya itu karena ingin memanfaatkan fasilitas yang
diberikan” (Ibu A, L94 – L100)

“Ada yang bener – bener berobat atas indikasi atau ada yang
bener bener karena keluhan sebentar sebentar, mungkin karena
pusingnya bukan pusing organik, pusing karena psikologis
sebentar – sebentar ke dokter” (Ibu B, L33 – L42)

Narasumber bapak A mengatakan bahwa Indikator dari deklarasi

pembangunan milenium diantaranya adalah angka kematian ibu dan

Universal Health Coverage. Menurut SDKI (Survey Dasar Kesehatan

Indonesia) tahun 2012, terjadi peningkatan angka kematian ibu. Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) adalah suatu program asuransi nasional dalam

menjamin kesehatan seluruh masyarakat Indonesia serta mencapai

indikator yang ditetapkan dalam deklarasi pembangunan milenium.

Tujuan dari JKN adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.


35

“Goalnya sama, meningkatkan drajat kesehatan masyarakan kan


sebenernya, khususnya bagaimana masyarakat bisa
menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan tanpa hambatan
keuangan atau finansial” (Bapak A)

“......Indikator MDGs, bahkan studi terkini SDKI 2012, angka


kematian ibu meningkatya dari 2007.Yang dari 259 jadi 36
sekian.” (Bapak A)

“....Tapi salah satu indikator MDGs kan universal health


coverage kan....” (Bapak A)

Dijelaskan oleh narasumber bapak A bahwa JKN dikelola oleh

BPJS dengan menerapkan prinsip solidaritas sosial. Prinsip solidaritas

sosial yang dimaksud adalah adanya kegotong royongan masyarakat

untuk membiayai pelayanan kesehatan secara bersama – sama sehingga

masyarakat bisa mengakses pelayanan kesehatan tanpa adanya hambatan

finansial. Seperti yang dijelaskan dalam kutipan kalimat berikut

“Filosofi BPJS itu kan sebenarnya terjadi konsepnya


solidaritas sosial, filosofinya solidaritas sosial.............”
(Bapak A)

Salah satu hambatan dalam penerapan prinsip solidaritas sosial

dalam JKN ini adalah adanya persepsi yang tidak tepat dari masyarakat

mengenai penggunaan dana asuransi kesehatan. Menurut bapak A masih

ada individu yang mempunyai persepsi bahwa ketika individu

mengeluarkan uang untuk membayar asuransi kesehatan berarti individu

tersebut harus menggunakan akses pelayanan kesehatan agar uang yang

dibayarkan kepada pihak asuransi tidak digunakan untuk membiayai

akses pelayanan kesehatan bagi individu lain.

“.........Mungkin yang sehat mikirnya, “ngapain asuransi


saya ga tertarik” bener ga?“Wong saya masih muda
ngapain saya ikut BPJS kesehatan. berarti uang saya yang
sehat dimakan sama yang sakit” ya kan? Mindsetnya
masih seperti itu” (Bapak A)
36

Hal tersebut juga disampaikan oleh ibu D , bahwa adalah hal yang

wajar apabila ada persepsi dari masyarakat ketika mereka sudah

membayar, mereka harus memanfaatkan fasilitas tersebut.

“kalau itu ya wajarlah orang memanfaatkan itu ya wajar – wajar


saja.” (Ibu D)

Bapak A menjelaskan bahwa Indonesia terdiri dari kepulauan

dengan penduduknya yang banyak dan ekonomi serta infrastrukturnya

masih kurang baik. Narasumber ibu D menyampaikan bahwa ada

keinginan dari BPJS kesehatan untuk mengikuti konsep asuransi negara

lain yang sudah maju sehingga BPJS kesehatan berharap FKTP

menjalankan fungsinya dengan baik. Seperti yang diungkapkan dalam

kalimat berikut

“Pengennya kita konsepnya ngikutin diluar negeri cuman masih


gitu lah,” (Ibu D)

Menurut bapak A, sistem asuransi di Indonesia tidak bisa

dibandingkan dengan negara yang jumlah penduduknya sedikit serta

wilayahnya sempit. Sistem asuransi di Indonesia berbeda dengan sistem

asuransi di negara Eropa, India dan Cina. Kapasitas fiskal negara eropa

mampu mengcover asuransi nasional penduduk sekitar 80 juta. India dan

cina tidak menerapkan sistem asuransi nasional. Seperti yang

diungkapkan dalam kalimat berikut

“saya tanya mana negara yang mampu mengcover sebanyak


140 juta penduduk? Eropa jerman aja penduduknya 80 juta
dengan kapasitas fiskal yang besar.....” (Bapak A)

Selain itu narasumber bapak A berpendapat bahwa perlu adanya

pemberian pemahaman yang matang mengenai sistem asuransi saat


37

menempuh pendidikan dokter agar terbentuk suatu ideologi pembiayaan

kesehatan yang sesuai dengan kondisi negara kita. Menurut ibu B, dokter

FKTP merupakan gatekeeper atau menjadi kontak pertama dalam

pelayanan kesehatan. Disampaikan juga oleh ibu D bahwa dokter FKTP

sebagai gatekeeper adalah orang pertama yang menjadi first contact

dalam pelayanan kesehatan, jadi ketika seseorang mulai sakit yang

diingat pertama adalah dokter FKTP. Sebagai kontak pertama,

pemahaman dokter dalam pembiayaan kesehatan sangatlah penting

karena hal tersebut bisa memengaruhi pelayanan kesehatan yang akan

diberikan. Bapak A menyampaikan bahwa selama ini dokter sudah

terbiasa dengan metode pembayaran fee for service, padahal pada

kenyataannya masih ada metode pembayaran selain fee for service yang

bisa digunakan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan contohnya

adalah kapitasi, fee for performance. Menurut bapak B, apabila ada

masalah dalam pembiayaan pelayanan kesehatan hal tersebut bisa

berpengaruh terhadap semangat tenaga kesehatan dalam memberikan

pelayanan kepada pasien. Menurut narasumber bapak A sistem asuransi

kesehatan bukan merupakan penyelesaian terhadap masalah kesehetan

melainkan sebuah sistem pembiayaan kesehatan.

b. Pemahanan masyarakat terhadap JKN

Menurut semua subjek penelitian utama, penyalahgunaan fasilitas

JKN masih terjadi di kalangan masyarakat. Ada sekelompok masyarakat

yang memiliki persepsi bahwa ketika sudah memiliki asuransi kesehatan

berarti harus segera dimanfaatkan contohnya adalah pasien meminta


38

medical check up tanpa adanya indikasi, pasien datang untuk berobat

walaupun sakitnya ringan dan baru saja muncul, pasien yang memaksa

untuk dirujuk tanpa adanya indikasi medis.Tidak semua pasien yang

datang untuk memeriksakandiri diberikan obat. Dokter memberikan obat

sesuai dengan formularium nasional. Selain itu, menurut semua subjek

penelitian utama ada masyarakat yang belum mengerti mengenai sistem

rujukan sehingga perlu adanya sosialisasi dari BPJS kesehatan dan

pemerintah kepada masyarakat mengenai sistem rujukan. Masih ada

pasien yang meminta dirujuk tanpa adanya indikasi karena ada persepsi

bahwa berobat ke dokter spesialis lebih baik daripada berobat ke dokter

umum.

“Ada penyalahgunaan juga pasien yang mau ikut BPJS karena


ingin check up atau dia pengen CT Scan pakai BPJS, kalau ga
ada indikasi ya tetap tidak akan kita rujuk. Terutama dia ikut
BPJS nya itu karena ingin memanfaatkan fasilitas yang
diberikan.” (Ibu A L95 – L101)

“....Bisa tekor kita.Loro sitik BPJS....” (Ibu A, L489 – L490)

“Ada pasien yang harusnya ga di rujuk tapi ngeyel minta


dirujuk apalagi pasiennya yang nyuwun sewu yang
pengetahuannya itu ya pegawai atau istri PNS, atau istri
pensiunan yang tanggung dia itu bodo tidak pintar pun tidak,
sudah tersugesti sama spesialis, ngeyel minat dirujuk padahal
kasusnya itu bisa kita tangani ditingkat primer” (Ibu B, L101 –
L109)

“Karena kadang – kadang orang desa itu gimana ya, mumpung


gitu. Mumpung punya, akhirnya memanfaatkan, bukan
mengutamakan pencegahan.Ya tetep ada.Apalagi orang desa
lagi kumpul – kumpul sama temennya, satu berobat yang lain
ikut berobat.” (Bapak B, L577 – L584)

Di samping itu menurut semua subjek penelitian, masih terdapat

pasien yang komplain apabila pelayanan kesehatan tidak sesuai dengan

keinginan pasien. Dokter mengupayakan edukasi mengenai tindakan


39

promotif , preventif, kuratif dan penanganan pertama penyakit untuk

mengatasi hal tersebut.

“Ada juga pasien yang keras kepala malah marah – marah sama
petugasnya “dulu juga gak kaya gini kok, dulu juga dikasih
kok” kadang sampe gebrak meja, marahin petugas juga
ada.Karena petugas kita udah terbiasa ya, jadi ya kadang kalau
yang kaya gitu tetap kita kasih ya cuma keterangannya aps”
(Ibu C, L516 – L523)

“Yang penting kita bisa ngasih edukasi ke pasien.” (Ibu A,L201


– L202)

“Misalnya begini masyaraat itu taunya kalau pelayanan yang


mudah itu kan apa – apa yang diinginkan diikuti, ketika kita
memberikan rujukan selektif, orang orang yang tdak mengerti
menganggap bahwa kita mempersulit...” (Bapak B, L363 –
L368)

Secara konseptual, seluruh masyarakat indonesia wajib menjadi

peserta JKN tetapi menurut bapak A pada kenyataannya masih ada

masyarakat indonesia yang belum menjadi peserta JKN. Ibu D

menyampaikan bahwa pada awal tahun 2014 terjadi fenomena dimana

peserta yang mendaftar di BPJS kesehatan hanyalah peserta yang sakit

saja sehingga dana yang harus dibayarkan oleh BPJS kesehatan lebih

besar dibandingkan dana yang dikumpulkan dari pembayaran premi

peserta. Hal tersebut juga disampaikan oleh bapak A bahwa mayoritas

individu yang mendaftar sebagai peserta JKN adalah individu yang

memiliki risiko tinggi untuk sakit, hal tersebut dikenal dengan istilah

adverse selection sehingga menurut bapak A konsep solidartias sosial

berupa subsidi silang pembiayaan kesehatan tidak berjalan dengan baik

dan terjadi defisit pada BPJS kesehatan.

“Orang yang sakit cenderung ikut asuransi.Kenyataannya


sekarang yang banyak sudah masuk itu, mohon maaf mereka
yang tua, lansia, sakit – sakitan.Yang sehat pada mau
gak?Banyak yang belum kan.” (Bapak A)
40

“...........karena ternyata yang mendaftar hanya yang sakit – sakit


saja” (Ibu D)

Menurut narasumber bapak A defisit yang terjadi pada BPJS

kesehatan mengindikasikan perlu adanya koreksi serta solusi untuk

mengatasi hal tersebut. Disampaikan oleh semua subjek penelitian utama

dan bapak A bahwa terjadi peningkatan jumlah kunjungan pasien di era

JKN yang menurut bapak A hal tersebut menyebabkan demand dan

supply terus meningkat dan bisa berakibat terjadinya inflasi. Penggunaan

bahan import untuk pembuatan obat, teknologi kedokteran yang terus

menerus berkembang disertai terjadinya inflasi, bisa menyebabkan

semakin bertambah parahnya kejadian defisit pada BPJS kesehatan.

seperti yang disampaikan dalam kalimat berikut

“Mereka bilang buffer mereka 3,9 trilyun, kenyataannya


jebolkan...”(Bapak A)

“Jadi saya yakin kalau ini tidak dikoreksi lagi dalam 3 – 5


tahun, ga akan cukup ini karena faktor inflasi..........” (Bapak A,)

Menurut bapak A meningkatkan nominal premi bukan menjadi

solusi yang tepat untuk mengatasi defisit BPJS kesehatan. Pemerintah

bisa melonggarkan kapasitas fiskal negara untuk bisa menunjang

program JKN. Ada beberapa skenario yang bisa digunakan untuk

meningkatkan kapasitas fiskal negara diantaranya adalah menaikkan PPN

dan sin tax. Ibu D dan bapak A mengatakan bahwa BPJS kesehatan

menerapkan window period sebagai solusi Adverse Selection dan

pemerintah berencana menaikkan subsidi untuk Penerima Bantuan Iuran

(PBI) sebagai salah satu solusi untuk mengatasi defisit BPJS kesehatan.

Window period disini adalah sebuah regulasi mengenai waktu tunggu


41

penggunaan kartu JKN. Masyarakat yang mendaftar dan mendapatkan

kartu JKN harus menunggu terlebih dahulu selama 14 hari untuk bisa

menggunakan kartu JKN. Seperti yang disampaikan dalam kalimat

berikut

“Solusi nya sekarang window period.Kamu bisa menggunakan


setelah 14 hari atau 2 minggu.Kita daftar ga bisa langsung
digunakan” (Bapak A)

“Sekarang kan sudah ada regulasi baru dulu sebelum yang


terbaru 14 hari, itu 7 hari. Artinya ada waktu tunggu lo.” (Ibu
D)

BPJS kesehatan bisa meminta dana kepada pemerintah hanya saja

meminta dana kepada pemerintah bukanlah hal yang mudah. BPJS

kesehatan berusaha mengelola dana sesuai dengan prosedur ketentuan

sehingga salah satu upaya untuk mengurangi pengeluaran adalah dengan

menekan angka rujukan non spesialistik.

Ibu D menyampaikan bahwa FKTP mempunyai hak untuk menolak

pasien apabila pasien meminta pelayanan kesehatan yang tidak sesuai

dengan prosedur atau tanpa indikasi medis. Apabila pasien komplain

kepada pihak BPJS kesehatan, maka BPJS kesehatan yang akan

mengedukasi pasien bahwa pelayanan yang diminta oleh pasien tidak

sesuai dengan prosedur sehingga FKTP menolak memberikan pelayanan

yang diminta pasien tetapi hal tersebut dengan syarat FKTP mempunyai

bukti tertulis bahwa pasien memang meminta pelayanan kesehatan yang

tidak sesuai dengan prosedur. Seperti yang disampaikan dalam kalimat

berikut

“Iya ada hal yang tidak dijamin salah satunya adalah pelayanan
yang tidak sesuai prosedur, artinya kalau ada bukti tertulis
peserta sudah dijelaskan tapi menginginkan pelayanan yang
42

berbeda, contoh tadi, indikasi medisnya dijahit, tulislah disitu


saya menolak, saya sudah diberikan penjelasan, saya
membutuhkan ini, tetapi saya tidak mau. Jadi ketika komplain,
saya bilang ini kan jenengan yang ga sesuai prosedur,
indikasinya kan dijahit. Intinya saya menganjurkan buatlah
tertulis apapun yang panjenengan berikan” (Ibu D)

BPJS kesehatan mengaku telah melakukan sosialisasi kepada

masyarakat terkait sistem JKN tetapi memang ada kendala yang dihadapi

yaitu kesulitan untuk mengumpulkan masyarakat sehingga tidak semua

informasi tersampaikan , hanya kepada masyarakat yang mengikuti

kegiatan sosialisasi dari BPJS kesehatan.

c. Pemahaman FKTP terhadap sistem JKN

Disampaikan oleh ibu A dan ibu B bahwa dalam penerapan

program JKN ada syarat yang harus dipenuhi FKTP untuk menjalin kerja

sama dengan BPJS ksehatan.

“BPJS menyampaikan ada syarat tertentu untuk menjalin kerja


sama.........”(Ibu A, L8 – L9)

“Syarat pendirian klinik harus ada surat izin dari dinas


kesehatan, kemudian surat PKS.........” (Ibu B, L7 – L8)

Menurut bapak B , pola hubungan kerja sama antara FKTP dan

BPJS kesehatan seharusnya adalah “mitra” namun bapak B merasa

bahwa terdapat ketidaksesuaian pola hubungan antara BPJS kesehatan

dan FKTP yang seharusnya “mitra” menjadi atasan dan bawahan. seperti

yang disampaikan dalam kalimat berikut

“Seringkali begini lo, jadi BPJS itu kan sebetulnya pola


hubungan dengan kita kan mitra, tapi mereka seringkali
menempatkannya seolah – olah sebagai majikan yang punya
dana. Jadi memperlakukannya yo seperti majikan kepada
bawahan.Padahal kita ga ada ikatan hubungan kerja antara
atasan dan bawahan.” (Bapak B, L32 – L50)
43

Dalam penerapan program JKN, dokter mencari sendiri peserta

yang terdaftar sebagai pasiennya. Salah satu subjek penelitian ada yang

masuk ke perusahaan, sekolah, swalayan, pabrik dan arisan – arisan

untuk mempromosikan FKTP nya dengan memaparkan keuntungan dan

kelebihan FKTP nya sehingga apabila ada masyarakat yang ingin

mendaftar sebagai peserta JKN bisa memilihnya dalam penanganan

pelayanan kesehatan tingkat pertama. Masyarakat dalam memilih FKTP

belum berdasar kualitas seorang dokter. Seperti yang disampaikan

sebagai berikut

“Saya sosialisasi di guru – guru, pertemuan kepala sekolah,


menceritakan keuntungan praktik saya, misal praktik saya ga
diwaktu jam dinas, di waktu libur uga buka.Kalau gak gitu ya
gimana, saya kan juga baru kerjasama dengan BPJS.Nanti kata
masyarakat apa bedanya saya ikut dokter ini dan dokter
itu.Yang penting memenuhi syarat, kapitasi silahkan nyari
sendiri.Saya masuk moro, ke rita, rita kebon dalam, rita
bakery.Kalau gak gitu, ya pasif.Saya masuk pabrik – pabrik di
sokaraja, lumayan itu.Kalau gak gitu gak ada yang tau nanti.Iya
itu untuk nyari kapitasi.Saya baru kan saingannya puskesmas”
(Ibu A, L459 – L476)”

Program JKN menerapkan sistem pembayaran kapitasi. Ada subjek

penelitian yang merasa dana kapitasi sudah cukup untuk operasional nya

dan ada juga subjek penelitian yang mempunyai persepsi bahwa dana

kapitasi bisa mencukupi operasional apabila jumlah kunjungannya tidak

meningkat drastis. Subjek penelitian berharap ada penambahan nominal

kapitasi perorangan karena dirasa nominal kapitasi yang sekarang masih

kurang. Seperti yang disampaikan dalam pernyataan berikut

“Ya sebetulnya sih kapitasi ini kurang, kita memang harus


pandai pandai jangan sampai diharapkan semua pasien yang
masuk kapitasi berobat semua.Kapitasi perorang itu 8000 satu
orang itu kalau dia berobat tiga kali boleh,empat kali boleh,
makanya kita berusaha jangan sakit” (ibu A, L70 – L77)
44

Terdapat wacana akan ada perubahan sistem pembayaran menjadi

kapitasi berbasis kinerja. Menurut salah satu subjek penelitian utama

bahwa pembayaran kapitasi berbasis kinerja yang akan diterapkan

menggunakan paradigma sakit yang artinya apabila pasien yang datang

ke FKTP untuk mengakses pelayanan kesehatan kurang dari 15% , hal

tersebut dianggap tidak ideal. Seperti yang disampaikan dalam

pernyataan berikut

“Tapi dari BPJS memandang bahwa kalau pasiennya kurang


dari 15% yang datang, itu berarti tidak ideal.Tidak berlaku
sistem paradigma sehat, tetapi paradigma sakit.”(Bapak B, L178
– L185)

Menurut dua subjek penelitian utama ada pembatasan rujukan bagi

pasien rawat jalan yang menggunakan kartu JKN. BPJS membatasi

rujukan rawat jalan maksimal 15% dari semua peserta. Hal tersebut

mengakibatkan adanya dilema dari FKTP , bagaimana peran FKTP agar

tetap bisa mematuhi aturan yang ditetapkan BPJS dan tidak terkesan

mempersulit pelayanan. Menurut bapak B BPJS menghendaki angka

rujukan sedikit dan masyarakat tidak memiliki persepsi dipersulit dalam

pelayanan. Pelayanan yang mudah dalam persepsi masyarakat adalah

yang berjalan sesuai dengan keinginan masyarakat. Apabila FKTP

merujuk pasien lebih dari 15% maka akan ada teguran dan hukuman bagi

puskesmas berupa kedepannya ada wacana pengurangan dana kapitasi.

FKTP memiliki persepsi bahwa mereka sudah selektif dalam memilih

pasien untuk dirujuk, misalnya adalah pasien pengobatan HIV aids,

epilepsi dan pasien lainnya yang tidak mungkin ditangani di FKTP.

Terlalu banyak rujukan bisa membuat kredibilitas FKTP menurun. FKTP


45

menduga BPJS tidak mau menerima fakta bahwa ada FKTP yang

memiliki pasien lebih dari 15% dari jumlah peserta yang harus dirujuk.

Seperti yang disampaikan dalam kalimat berikut

“Secara anu aja, kalau rujukannya lebih dari 20 atau 25% apa
ya.itu nanti kapitasinya dikurangin.Karena dianggap tidak bisa
menangani.Sedikit sedikit merujuk, sedikit seikit” (Ibu A, L153
– L57)

“Hanya permasalahannya kadang – kadang untuk pembatasan


rujukan.Pembatasan rujukan karena dari BPJS mengingkan
rujukan itu tidakboleh lebih dari idealnya 15%.” (Bapak B, L13
– L17)

Selain pembayaran dengan sistem kapitasi, ada sistem pembayaran

lain di FKTP yaitu sistem pembayaran klaim. Disampaikan oleh subjek

penelitian bahwa terjadi keterlambatan dalam pencairan dana klaim.

Menurut salah satu subjek penelitian, BPJS kesehatan menjadikan

ketidaklengkapan data sebagai alasan keterlambatan pencairan dana

klaim. Seperti yang disampaikan dalam kalimat berikut

“Yang jelas permasalahan – permasalahan untuk klaim baik


ambulan, rawat inap, klaim atau persalinan itu seringkali
telat...” (Bapak B, L51 – L53)

“Ya entah karena ada dokumen yang kurang, entah ada, ya


macem – macem lah alasan dari BPJS.Biasanya sih mereka
bilang masih ada yang kurang persyaratan
adminitrasinya.Padahal setelah kita telusuri ternyata sudah
dilengkapi.Ternyata sudah lengkap tetapi mereka
membunyikannya tetep seperti itu, jadi semacam alasan klasik
masalah kurang data administrasi.” (Bapak B, L420 – L430)

Selain itu, menurut dua subjek penelitan BPJS kesehatan diduga

belum percaya terhadap pelayanan yang sudah dilakukan oleh FKTP,

contohnya adalah pada penambahan syarat secara tiba – tiba saat

mengajukan klaim yang sebelumnya tidak tercantum dalam aturan.

Seperti yang disampaikan dalam kalimat berikut


46

“Ada penambahan – penambahan syarat tadinya tidak tertera


dalam aturan. Misalnya kemarin karena penulisan alamat ditulis
sama dengan atas untuk penunggu pasien, atau penanggung
jawab pasien. Disyaratakan ada fotokopi KTP penunggu
pasien.Itu kan tidak ada persyaratan formal dari
depan.Kemudian apakah itu menjadi diadakan karena curiga
pelayanan tersebut dikiranya diada – ada kan, itu kan suatu
bentuk ketidakpercayaan.” (Bapak B, L91 – L103)

“Terus sering ada ketidak percayaan BPJS sama fasilitas


kesehatan gitu, jadi kadang kita kesel sudah memberikan
pelayanan kesehatan, ternyata disana suka tidak dipercaya,”
(Ibu C, L154 – L158)

Hal tersebut bertendensi membentuk persepsi adanya

ketidakpercayaan BPJS kesehatan terhadap FKTP. Disampaikan juga

oleh subjek penelitian, tidak ada konfirmasi dari BPJS kesehatan apabila

ada dana klaim yang tidak cair.

“Seharusnya kalau ada yang tidak cair itukan konfirmasi ya


kurang nya apa,..” (Bapak A, L207 – L208)

“.........Tapi tidak konfirmasi dulu...” (Bapak A, L219)

Menurut bapak B, efisiensi yang bisa dilakukan FKTP untuk

mengatasi dana klaim yang tidak cair adalah seleksi yang ketat dalam

memasukan pasien dan mengurangi kualitas pelayanan. FKTP berharap

BPJS kesehatan mulai bisa membangun kepercayaan dengan FKTP atau

memberlakukan syarat yang bisa membentuk kepercayaan terhadap

FKTP.Seperti yang disampaikan sebagai berikut

“Mau ga mau kalau klaim nya ga cair – cair, kedepan kan kita
lakukan efisiensi. Bentuk efisiensi itu apakah kita menjadi lebih
ketat dalam memasukan pasien, atau mengurangi kualitas dari
pelayanan itu sendiri.” (Bapak , B L155 – L160)

Dalam mengajukan klaim, ditemukan fenomena kwitansi kosong

yang sebenarnya tidak ada dalam persyaratan. Ada FKTP yang

menyertakan 3 kwitansi kosong dengan 1 kwitansi sudah diberi materai


47

dan ketiga kwitansi tersebut sudah dicap dan ditandatangan kepala

FKTP. Seperti yang disampaikan sebagai berikut

“Untuk sistemnya kan, berapa klaim yang akan kita ajukan, kita
menyertakan kuitansi kosong yang sudah ditandatangani dan di
materai, nanti berapa dicairkan di acc terserah dari BPJS
nya.Jadi kadang – kadang kita mengajukan klaim untuk
pelayanan yang sudah kita lakukan itu masih diseleksi lagi dan
itu yang cair tidak mesti sama dengan yang kita ajukan.Nah
permasalahan selisih dari yang cair sama yang kita ajukan ini
kan menjadi pertanyaan, lalu siapa yang membiayai.Saya takut
kalau kejadian ini terus menerus berlangsung akan mengurangi
kualitas.” (Bapak B, L64 – L78)

Menurut salah satu subjek penelitian, jumlah besaran dana klaim

yang cair ditentukan oleh BPJS. Pernah terjadi ketidaksesuaian jumlah

dana klaim yang cair dengan jumlah dana yang sudah digunakan untuk

pelayanan kesehatan.

“Beberapa pengalaman tahun lalu, kita pernah mengajukan


misalnya 19juta, yang cair hanya 11 juta.Ya cukup jauh.”
(bapak B, L433 – L435)

FKTP merasa sudah melakukan kewajibannya, tetapi belum

mendapatkan hak yang sesuai. Menurut bapak B hal tersebut bertendensi

menimbulkan perilaku fraud artinya ada selisih antarajumlah yang

diajukan dengan yang dicairkan. Bapak B khawatir ada FKTP yang

mengajukan jumlah dana klaimnya lebih tinggi dari apa yang sudah

digunakan untuk pelayanan kesehatan sehingga ada cadangan dana

apabila ada yang tidak cair. Selain itu, menurut subjek penelitian ada

batasan tanggal untuk pengajuan klaim, tetapi tidak ada batasan tanggal

untuk pencairan klaim, ada absen pengajuan klaim tetapi tidak ada absen

pencairan dana klaim. FKTP mengharapkan adanya batas waktu dari

BPJS dalam mencairkan dana klaim.


48

Disampaikan oleh ibu D bahwa persyaratan untuk menjalin

kerjasama antara FKTP dan BPJS kesehatan sudah diatur dalam

Permenkes RI nomor 71 tahun 2013. Penentuan persyaratan tersebut

bertujuan untuk menyeleksi FKTP mana yang berkualitas dan

mempunyai komitmen untuk memberi pelayanan terbaik kepada peserta

JKN. Tidak semua FKTP dokter praktik swasta yang mengajukan

kerjasama akan diterima oleh BPJS kesehatan. BPJS kesehatan akan

melihat kebutuhan tenaga kesehatan disetiap daerah dan memperhatikan

distribusinya agar merata. Apabila FKTP doker praktik swasta tidak

berkualitas dan tidak menjalankan komitmen pelayanan kesehatan

dengan baik maka akan ada pemutusan hubungan kerjasama, untuk

FKTP pemerintah yaitu puskesmas apabila tidak berkualitas dan tidak

menjalankan komitmen pelayanan kesehatan dengan baik ada wacana hal

tersebut akan berpengaruh kepada nominal kapitasi yang diterima karena

BPJS kesehatan tidak mungkin memutus hubungan kerjasama dengan

pemerintah.

Ibu D menyampaikan mengenai pola hubungan antara BPJS

kesehatan dan FKTP yang sebenarnya adalah mitra namun ada anggapan

dari salah satu subjek penelitian bahwa terdapat ketidaksesuaian pola

hubungan antara BPJS kesehatan dan FKTP yang seharusnya “mitra”

menjadi atasan dan bawahan. Dijelaskan oleh ibu D bahwa BPJS

kesehatan dan FKTP pola hubungannya memang adalah “mitra” tetapi

BPJS kesehatan mempunyai hak untuk membuat aturan yang diperlukan

kemudian diakomodir oleh pemerintah dan dikeluarkan sebagai sebuah


49

regulasi sedangkan FKTP tidak mempunyai hak itu sehingga regulasi

yang dikeluarkan pemerintah yang dirancang oleh BPJS harus diikuti

oleh FKTP. Contohnya adalah mengenai regulasi nilai ganti alat

kesehatan. Pada awal tahu 2014 pemerintah belum mengeluarkan

regulasi mengenai nilai ganti alat kesehatan sehingga BPJS

menggunakan acuan yang berlaku di PT Askes tetapi sekarang sudah

dikeluarkan permenkes mengenai nilai ganti alat kesehatan. seperti yang

disampaikan dalam kalimat berikut

. “Ya mitra...” (ibu D)

“Artinya yang dulu belum diatur oleh permenkes akhirnya kami


atur dan akhirnya sudah diakomodir , artinya tetap regulasi itu
akan disempurnakan, karena misalkan dulu belum diatur, kita
mengatr sendiri akhirnya di undangkan.” (Ibu D)

Komunikasi yang dilakukan BPJS kesehatan dan FKTP salah

satunya adalah melalu surat. BPJS kesehatan menyampaikan bahwa

setiap FKTP harus memiliki e-mail dan rutin untuk membukanya. BPJS

kesehatan menganggap bahwa e-mail adalah surat resmi sehingga apabila

ada informasi mengenai regulasi yang baru dari BPJS kesehatan yang

disampaikan melalui e-mail maka FKTP mau tidak mau harus mengikuti

aturan BPJS kesehatan. Komunikasi yang dilakukan selain melalui e-mail

adalah melalui pertemuan evaluasi, pertemuan pembinaan jejaring, dan

pertemuan komunikasi antara FKTP. Seperti yang disampaikan dalam

kalimay berikut

“Mau tidak mau, kalau kami sudah mengirim surat itu ya mau
tidak mau itu yang harus diikuti oleh FKTP, artinya regulasi
yang berlaku saat itu ya itu. Yang ada di surat.” (Ibu D)
50

Ibu D menyampaikan bahwa memang pemilihan dokter FKTP

diserahkan kepada peserta. Peserta bebas memilih FKTP mana yang

menjadi pemberi pelayanan kesehatan pertama untuknya tanpa

mempertimbangkan apapun termasuk konsep wilayah sehingga harapan

dari BPJS kesehatan sebenarnya adalah dokter FKTP berperan aktif

untuk mengadakan kegiatan promosi kesehatan contohnya adalah

penyuluhan kepada masyarakat sehingga dokter mempunyai keempatan

untuk memperkenalkan diri melalui kegiatan edukasi bukan semata –

mata hanya untuk promosi. Seperti yang disampaikan dalam kalimat

berikut

“Kalau itu dasarnya adalah dari peserta, dia milih mau


terdaftarnya dimana jadi diformulir pendaftaran ada pilihan
FKTP mana” (Ibu D)

Salah satu sistem pembayaran di FKTP dalam era JKN ini adalah

sistem kapitasi. Ibu D menjelaskan bahwa pembayaran kapitasi tidak bisa

dilihat perorangan karena pembayaran kapitasi itu dilihat berdasarkan

jumlah peserta yang terdaftar , artinya BPJS kesehatan akan tetap

membayarkan dana kaptasi tanpa mempertimbangkan ada atau tidaknya

peserta yang sakit. Seperti yang disampaikan dalam kalimat berikut,

“kapitasi itu tidak bisa dilihat pakai jatah – jatah itu tidak
ada”.(Ibu D)

Disampaikan oleh ibu D bahwa dari evaluasi angka kesakitan yang

dilakukan oleh BPJS kesehatan didapatkan data bahwa angka kesakitan

itu hanya sekitar 10 – 15% sedangkan menurut semua subjek penelitian

jumlah kunjungan pasien di era JKN ini peningkatannya cukup

signifikan. Menurut bapak A terjadinya adverse selection diduga menjadi


51

salah satu penyebab meningkatnya angka kunjungan dan tingginya

penggunaan dana untuk operasional pelayanan kesehatan. Kedepannya

ada wacana perubahan sistem pembayaran kapitasi menjadi berbasis

kinerja khusus untuk puskesmas. Dijelaskan oleh ibu D bahwa ada

penilaian terhadap kontak komunikasi. Kontak komunikasi yang

dimaksudkan tidak harus peserta datang ke FKTP karena sakit untuk

melakukan pengobatan, FKTP bisa melakukan kontak komunikasi

melalui home visit, telfon, dan penyuluhan. BPJS kesehatan berharap

dokter tidak memiliki mindset bahwa pelayanan kesehatan hanya kuratif

saja tetapi dokter juga berperan untuk mengedukasi peserta JKN,

melakukan skrinning riwayat kesehatan dan upaya promotif preventif

lain yang bisa dilakukan. Harapannya ketika peserta sakit yang pertama

diingat sebagai first contact adalah FKTP, bukan dokter spesialis. Seperti

yang disampaikan dalam kalimat berikut

“Artinya itu yang kami nilai, bukan berarti dia harus sakit
semua, enggak bukan, kontak komunikasi itu bisa via telfon,
bisa FKTP datang ke rumah peserta, tidak harus peserta sakit”
(Ibu D)

Disampaikan oleh ibu D bahwa pembatasan rujukan itu berlaku

saat BPJS kesehatan masih menjadi PT Askes, untuk era JKN yang

dikelola BPJS kesehatan tidak ada pembatasan mengenai rujukan. Dari

evaluasi yang dilakukan oleh BPJS kesehatan didapatkan bahwa masih

banyak 155 diagnosis yang seharusnya tuntas di FKTP tetapi itu dilayani

juga di rumah sakit sehingga BPJS kesehatan melakukan double

pembayaran yaitu pembayaran kapitasi dan pembayaran rumah sakit. Ibu

D menegaskan bahwa tidak ada pembatasan rujukan bagi pasien yang


52

memang membutuhkan pelayanan dokter spesialis. FKTP yang banyak

merujuk pasien dengan diagnosis yang termasuk dalam 155 diagnosis

yang seharusnya tuntas di FKTP akan diberikan surat teguran.

Banyaknya 155 diagnosis yang seharusnya tuntas di FKTP tetapi dirujuk

disampaikan oleh BPJS kepada FKTP pada pertemuan evaluasi 4 bulan.

seperti yang disampaikan dalam kalimat berikut

“Enggak jadi gini saya sampaikan 15% itu dulu jamannya


askes, sekarang ga ada istilah 15% tapi kami hanya melihat non
spesialistiknya “ (Ibu D)

Selain pembayaran dengan sistem kapitasi, ada sistem pembayaran

lain yang berlaku di FKTP yaitu pembayaran dengan sistem klaim

Disampaikan oleh ibu D bahwa banyak puskesmas yang tidak teratur

dalam mengajukan klaim. Keterbatasan petugas BPJS kesehatan yang

menyelesaikan klaim ini pun terbatas sehingga hal tersebut menjadi

faktor terjadinya keterlambatan. BPJS kesehatan menyampaikan bahwa

mereka berusaha komitmen membayarkan klaim selama 15 hari terhitung

sejak klaim lengkap. Klaim yang diajukan oleh puskesmas kepada BPJS

kesehatan apabila datanya tidak lengkap maka akan dikembalikan

terlebih dahulu untuk dilengkapi. Seperti yang disampaikan dalam

kalimat berikut

“Sejak klaim lengkap. Kalau tidak lengkap kami kembalikan,


artinya tidak kami verifikasi semua, yang tidak lengkap kami
kembalikan” (Ibu D)

“kalau waktu itu tergantung berapa banyak yang masuk.


Banyak puskesmas yang tidak teratur.” (Ibu D)

Penambahan syarat untuk pengajuan klaim pernah terjadi, tetapi hal

tersebut berdasarkan kesepakatan asosiasi tingkat provinsi. Disampaikan


53

oleh ibu D bahwa pada saat pengajuan klaim bisa terjadi penambahan

syarat. Penambahan syarat yang dilakukan sebenarnya adalah hasil dari

kesepakatan asosiasi. Kesepakatan itu menjadi dasar adanya penambahan

syarat yang diminta oleh BPJS kesehatan.seperti yang disampaikan

dalam kalimat berikut

“pernah ada. Jadi penambahan syarat itu kan sebenarnya seiring


dengan kesepakatan antara asosiasi.” (Ibu D)

Ibu D menyampaikan bahwa BPJS kesehatan memberikan

konfirmasi apabila ada dana klaim yang tidak cair. Apabila tidak ada

konfirmasi, diharapkan FKTP sudah mengerti apabila memang ada

ketidaklengkapan data sejak awal pengajuan klaim. Seperti yang

disampaikan dalam kalimat berikut

“Ada. Pasti kami konfirmasi. Kalau pun tidak, misalkan itu kan
dia melihat, awal pasti kami konfimasi kok kaya gini ,
berkasnya tidak lengkap kah” (Ibu D)

BPJS kesehatan menyampaikan bahwa FKTP dalam mengajukan

klaim menyertakan kwitansi yang nominalnya sudah dituliskan oleh

FKTP. Apabila ada perbedaan jumlah dana yang dicairkan lebih besar

dari yang tertulis di kwitansi, maka kwitansi akan dikembalikan dan

apabila dana yang dicairkan lebih kecil dari yang tertulis di kwitansi

makan akan di ubah sendiri oleh BPJS kesehatan.seperti yang

disampaikan dalam kalimat berikut

“Ya iya. Karena kami kan bayar. Bayar ya harus ada kwitansi.F
KTP nya itu menyiapkan kwitansi kosong?ga kosong, di tulis
aja dari FKTP nya” (Ibu D)

Ibu D menjelaskan bahwa memang pernah ditemukan adanya

perilaku fraud sejak BPJS kesehatan masih menjadi PT Askes. Proses


54

verifikasi berkas pengajuan klaim dilakukan untuk menghindari perilaku

fraud. BPJS kesehatan juga melakukan sampling ke peserta untuk

mengkonfirmasi apakah klaim yang diajukan sudah sesuai dengan

pelayanan kesehatan yag diberikan. Apabila tidak sesuai maka BPJS

kesehatan tidak akan mencairkan klaimnya. Seperti yang disampaikan

dalam kalimat berikut

“diperjalanan ini kami melihat ada fraud” (Ibu D)

“kami sampling ke peserta ternyata salah, sehingga tidak kami


bayar” (Ibu D)

d. Peran serta pemerintah diharapkan untuk mensukseskan JKN

Bapak B menyebutkan bahwa pemerintah daerah mempunyai

kewajiban dalam menyediakan tenaga medis secara lengkap. FKTP

dengan tenaga kesehatan yang kurang bisa mengakibatkan penurunan

kualitas pelayanan, contohnya adalah puskesmas tanpa adanya dokter

gigi mengakibatkan pelayanan kesehatan gigi dilakukan oleh perawat

gigi sehingga kualitas pelayanan kesehatan gigi menjadi kurang baik.

Menurut bapak B dinas dan Pemda belum merekrut kembali tenaga

medis untuk mencukupinya dan formasi PNS juga terbatas. Seperti yang

disampaikan dalam kalimat berikut

“Dilaksanakan oleh perawat gigi.Ya sebenarnya secara aturan


ga boleh, tapi kan kalau ga ada dokter mau gimana lagi.Perawat
itu kan dalam keadaan darurat ga ada dokter.Iya walupun itu
secara kualitas sebenarnya kurang bagus, tapi ya mau gimana
lagi” (Bapak A, L671– L673)

Fungsi pemerintah salah satunya adalah sebagai regulator. Menurut

bapak A penghitungan aktuarial premi yang dilakukan para ahli pada

akhirnya akan diputuskan oleh pemerintah. Usulan dana bantuan untuk


55

pelayanan kesehatan diputuskan oleh anggota DPR. Kapasitas fiskal

negara belum mampu membiayai PBI sesuai dengan jumlah

penghitungan aktuarialnya. Disamping itu, adanya sistem close budget

bisa mengakibatkan program JKN menjadi kurang maksimal. Selain

sebagai regulator, disampaikan oleh ibu D bahwa pemerintah juga

berfungsi sebagai penyedia pelayanan kesehatan. Menurut bapak A

distribusi fasilitas kesehatan di Indonesia masih belum merata.

e. BPJS kesehatan merupakan pelaksana program JKN

Subjek penelitian yang berperan sebagai triangulator yaitu ibu D

menyampaikan bahwa BPJS merupakan badan hukum publik yang

mempunyai tanggung jawab langsung ke presiden. BPJS terbagi menjadi

dua yaitu BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan. BPJS kesehatan

mengelola pelayanan kesehatan dan selain dari pelayanan kesehatan

seperti kecelakaan kerja, jaminan kematian dikelola oleh BPJS

ketenagakerjaan. BPJS kesehatan adalah badan pelaksana program JKN.

BPJS kesehatan merupakan transformasi dari PT Askes. Dibentuknya

BPJS kesehatan adalah salah satu bentuk pemenuhan kewajiban negara

untuk memberikan jaminan sosial kepada masyarakat. Syarat utama

transformasi PT Askes menjadi BPJS kesehatan adalah sistem asuransi

harus nirlaba yang artinya premi yang dikumpulkan akan dikembalikan

sepenuhnya untuk kepentingan peserta dalam bentuk program pelayanan

kesehatan. seperti yang dijelaskan dalam kalimat berikut

“Tidak mungkin kami kembalikan dalam bentuk uang. Tetap


kami gunakan untuk program yang untuk kepentingan peserta”
(Ibu D)
56

Ibu D menjelaskan bahwa dalam rangka implementasi JKN, BPJS

kesehatan menjalin kerjasama dengan pemberi pelayanan kesehatan.

Puskesmas wajib bekerjasama dengan BPJS kesehatan, sedangkan dokter

umum praktik swasta tidak diwajibkan untuk bekerjasama dengan BPJS

kesehatan tetapi bisa menjalin kerjasama. FKTP yang akan bekerjasama

dengan BPJS kesehatan akan diseleksi terlebih dahulu. BPJS kesehatan

menetapkan standar penilaian untuk FKTP yang akan menjalin kerjasama

karena BPJS kesehatan mengaharapkan FKTP yang berkualitas dan

mempunyai komitmen untuk memberi pelayanan terbaik kepada peserta

JKN. Komitmen pemberian pelayanan oleh FKTP dinilai dari banyak

sedikitnya keluhan peserta JKN. Menurut ibu D semakin banyak keluhan

dari peserta terhadap FKTP maka komitmen FKTP dinilai tidak baik.

Keluhan yang dimaksudkan adalah keluhan kepada pelayanan yang

sudah sesuai dengan prosedur dari BPJS kesehatan atau sesuai dengan

indikasi medis. Seperti yang disampaikan dalam kalimat berikut

“Kalau di kami, pertama yang kami lihat adalah keluhan. Jadi


semakin banyak keluhan pastinya dia ga punya komitmen kan,
artinya banyak peserta yang mengeluh” (ibu D)

Disampaikan oleh bapak A, bahwa BPJS kesehatan bertugas untuk

mengatur jalannya sistem asuransi nasional diantaranya adalah

menciptakan sistem informasi yang baik dengan Pemberi Pelayanan

Kesehatan (PPK). Pegawai BPJS kesehatan mayoritasnya adalah tenaga

kesehatan. BPJS mengikuti aturan pemerintah yang bertugas sebagai

regulator. Pengawasan BPJS kesehatan dilakukan oleh DJSN, KPK, OJK

dan IRJEN.
57

Masyarakat membayarkan premi JKN setiap bulannya kepada

BPJS kesehatan sesuai dengan kelas pelayanan kesehatan. Menurut

bapak A, sistem pembagian kelas dalam BPJS kesehatan ini didasarkan

pada fasilitas, bukan operasional tata laksana pasien. Pasien kelas 1,2 dan

3 mendapatkan pelayanan kesehatan dan terapi yang sama. Bapak A

berpendapat bahwa model pembayaran premi yang berlaku bersifat

regresif tetapi mudah secara administrasi. Model pembayaran premi juga

tidak memperhatikan jumlah pendapatan dari setiap individu. Individu

dengan pendapatan 100juta setiap bulannya akan tetap membayar premi

sebesar 59.500 Rupiah untuk pelayanan kelas 1, 42.500 Rupiah untuk

pelayanan kelas 2, 25.500 Rupiah untuk pelayanan kelas 3 dan individu

dengan pendapatan di bawah 10juta perbulan akan tetap membayar premi

sejumlah sama yaitu 59.500 Rupiah untuk pelayanan kelas 1, 42.500

Rupiah untuk pelayanan kelas 2, 25.500 Rupiah untuk pelayanan kelas 3.

Hal tersebut dirasa masih kurang adil. Bapak A merasa merasa model

pembayaran premi berbasis sistem pajak lebih adil. Seperti yang

disampaikan dalam kalimat berikut

Misal ada artis yang dikita gajinya ratusan juta, atau sampe
milyaran. Masih bayarnya 60ribu , ya kan.Mereka bilang tidak
fair.Yang gajinya 5 juta harus 50ribu juga.Kalau pajak fair.
(Bapak A)

Bapak A menyebutkan bahwa BPJS menetapkan sistem

pembayaran di rumah sakit disebut INA CBG’s dan di Fasilitas

Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) disebut kapitasi. Menurut bapak A,

kapitasi adalah model pembayaran paling mudah dalam sistem asuransi

kesehatan. Risiko dari pembayaran kapitasi ditanggung oleh FKTP.


58

Model pembayaran nanti akan dikembangkan. Akan ada perubahan

sistem pembayaran kapitasi menjadi berbasis kinerja. Perubahan sistem

pembayaran kapitasi berbasis kinerja masih menjadi sebuah wacana ,

baru sebatas sosialisasi karena belum ada regulasi penentuan kapan akan

diberlakukan. Ibu D menjelaskan bahwa perubahan pembayaran kapitasi

berbasis kinerja dasarnya adalah rekomendasi dari Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK selama ini melakukan evaluasi

mengenai pemanfaatan dana kapitasi di Puskesmas. Dalam sistem

pembayaran kapitasi berbasis kinerja, BPJS kesehatan melakukan

penilaian dengan menetapkan beberapa indikator diantaranya adalah

penilaian terhadap rasio rujukan, prosentase kunjungan prolanis minimal

50% dan penilaian mengenai angka kontak komunikasi FKTP dan

pasien.

Menurut bapak A penentuan standar tarif pelayanan seharusnya

berdasar clnical pathway, tetapi belum ada clinical pathway yang

terstandar secara nasional. Tidak semua rumah sakit mempunyai clinical

pathway. Kendala dari penerapan clinical pathway adalah pada

penanganan penyakit komorbiditas. Semua subjek penelitian utama dan

bapak A menyampaikan bahwa dalam implementasi program JKN ini

terjadi peningkatan kunjungan pasien. Selain itu, masih ada rumah sakit

yang fasilitas kesehatannya masih kurang sehingga bisa mengakibatkan

terjadinya undertreatment. Menurut bapak A, belum pernah dilakukan

medical review terhadap kualitas pelayanan kesehatan tetapi sebenarnya


59

konsepnya sudah ada. Medical review bertujuan untuk memantau kualitas

pelayanan kesehatan.

B. Pembahasan

Permasalahan etik yang muncul dalam penerapan JKN

1. Kebebasan Individu dalam Memilih FKTP

Menurut subjek penelitian , individu yang mendaftar sebagai peserta

JKN dibebaskan untuk memilih FKTP mana yang menjadi pemberi

pelayanan kesehatan pertama bagi dirinya, tidak ada regulasi yang mengatur

dalam pemilihan dokter fasilitas kesehatan tingkat pertama. Terjadi

fenomena bahwa ada doker yang peserta nya sedikit dan ada juga dokter

yang belum memiliki peserta. Menurut DJSN (2015) peserta baru JKN

diperbolehkan untuk memilih sendiri fasilitas kesehatan tingkat pertama

yang diinginkannya. Peserta diwajibkan memilih fasilitas kesehatan tingkat

pertama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan terletak dekat

dengan tempat tinggalnya. Bila tidak berkenan dengan pelayanannya,

peserta diperbolehkan mengganti pilihan fasilitas kesehatan primer setelah

tiga bulan. Hal tersebut sejalan dengan salah satu prinsip etik yaitu

autonomy. Autonomy berasal dari bahasa Yunani yaitu autos-nomos yang

artinya penentuan nasib sendiri. Autonomy adalah kemampuan untuk

menentukan nasibnya sendiri dengan bebas dari kendali orang lain dan

dengan tingkat kapasitas pemahaman yang cukup untuk memutuskan satu

pilihan yang berarti (Beuchamp dan Childress,1994). Menurut Thabrany

(2014) apabila peserta memilih dokter tidak berdasarkan pemilihan sendiri

tetapi ditunjuk oleh BPJS Kesehatan maka hal tersebut bertendensi


60

menimbulkan tindak kolusi. Menurut KBBI, kolusi adalah kerjasama

rahasia untuk maksud yang tidak terpuji dan kolusi merupakan suatu

hambatan dalam pemerataan. Apabila peserta tidak memilih sendiri fasilitas

kesehatan primer bagi dirinya, hal tersebut bertendensi menimbulkan

kerjasama yang tidak terpuji antara BPJS Kesehatan dan dokter FKTP

sehingga jumlah peserta JKN disetiap FKTP tidak terdistribusi merata atau

hanya FKTP tertentu yang dipilih oleh BPJS Kesehatan yang memiliki

peserta dalam jumlah yang banyak.

Keputusan yang diambil individu dalam prinsip Autonomy memang

terlepas dari pengaruh orang lain tetapi hal tersebut harus

mempertimbangkan hak orang lain sehingga Autonomy tidak bisa terlepas

dari tanggung jawab individu kepada lingkungannya (Unesco, 2008).

Menurut KBBI tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala

sesuatunya, oleh karena itu individu dalam menggunakan Autonomy yang

dimilikinya harus memperhatikan kepentingan yang lebih luas atau akibat

yang akan ditimbulkan. Salah satu akibat diberikannya kebebasan kepada

peserta JKN dalam memilih FKTP adalah terjadinya fenomena bahwa ada

dokter yang pesertanya lebih dari 2000 dan ada juga dokter yang belum

memiliki peserta sama sekali. Hal tersebut akan berpengaruh pada kapitasi

bagi FKTP yang akan menunjang operasional pelayanan kesehatan di

tempatnya. Menurut Thabrany (2014) kapitasi akan baik jika volume peserta

cukup besar yaitu rasio peserta dengan dokter adalah sekitar 2000 sampai

dengan 3000 orang per dokter. Apabila kapitasi tidak berjalan dengan baik
61

akibatnya adalah operasional pelayanan kesehatan menjadi kurang sehingga

kualitas pelayanan kesehatan menurun.

Kondisi tersebut menimbulkan suatu dilema, karena apabila program

JKN tidak memberikan kebebasan kepada pasien dalam memilih FKTP,

maka hal ini akan mengurangi autonomy pasien, sedangkan sistem JKN

dapat ditingkatkan dengan cara distribusi peserta JKN yang lebih merata di

setiap FKTP sehingga kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan lebih

baik. Jadi bagaimana sebaiknya sistem yang diterapkan dalam program JKN

ini?

2. Distribusi Fasilitas Kesehatan Belum Merata

Menurut subjek penelitian, distribusi fasilitas kesehatan di Indonesia

masih belum merata. Peran pemerintah dibutuhkan dalam hal pemerataan

fasilitas kesehatan termasuk pengadaan tenaga medis di wilayah Indonesia.

Menurut Beuchamp dan Childress (1994) salah satu prinsip dasar etik

adalah justice. Dalam dunia kesehatan, sering terjadi permasalah mengenai

prinsip justice yaitu, bagaimana suatu hak dasar berupa pelayanan kesehatan

terdistribusi kepada individu yang tidak mampu secara ekonomi untuk

mengakses pelayanan kesehatan. Balqis (2013) memaparkan rasio dokter

terhadap penduduk sebesar 13,7 per 100.000 penduduk. Angka tersebut

belum mencapai target nasional rasio dokter pasien dalam indikator

indonesia sehat sebesar 40 per 100.000 penduduk. Selain itu, dari segi

fasilitas layanan kesehatan primer, masih ada 364 kecamatan di Indonesia

yang belum memiliki puskesmas. Distribusi pelayanan kesehatan yang

belum merata dan alokasi sumber daya yang tidak terdistribusi sesuai
62

dengan kebutuhannya bisa menyebabkan akses dan pemanfaatan pelayanan

kesehatan tidak merata serta mengakibatkan pelayanan kesehatan yang

diberikan dibawah standar. Hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip etik

tanggung jawab sosial dan kesehatan serta prinsip justice (Trisnantoro, 2009

; Unesco , 2008).

Dalam prinsip keadilan (justice atau fairness), terkandung konsep

equity dan equality. Equity mengandung makna keadilan dan equality

mengandung makna kesamarataan. Contoh penerapan prinsip equity dalam

pelayanan kesehatan adalah pemberian pelayanan kesehatan sesuai dengan

kebutuhan masing-masing individu, sehingga perlakuan atau pelayanan

kepada dua individu yang berbeda dapat dinilai adil (equity) walaupun tidak

sama (equal). Contoh penerapan prinsip equity adalah seorang pasien DM

dengan komplikasi seharusnya mendapatkan penatalaksanaan yang berbeda

dengan pasien DM tanpa komplikasi. Bila diterapkan prinsip equality, yaitu

keduanya mendapatkan penatalaksanaan yang sama persis, maka hal

tersebut menjadi tidak adil (unjust atau unfair) karena tidak sesuai

kebutuhan masing-masing. Contoh penerapan prinsip equality dalam

distribusi pelayanan kesehatan adalah pemerataan fasilitas pelayanan

kesehatan di setiap daerah untuk mempermudah akses setiap individu dalam

mendapatkan pelayanan kesehatan (Mhurti, 2001). Salah satu hal yang perlu

menjadi perhatian adalah bahwa undang – undang terkait Jaminan

Kesehatan Nasional tidak membahas bagaimana meratakan distribusi

pelayanan kesehatan ke berbagai tempat (Trisnantoro, 2009).


63

3. Solidaritas dan Kerja Sama

Kepesertaan dalam JKN sifatnya adalah wajib (PERMENKES NO 28

, 2014). Menurut subjek penelitian pada kenyataanya masih ada masyarakat

Indonesia yang belum menjadi peserta JKN. Konsep kegotongroyongan

masyarakat dalam membiayai pelayanan kesehatan pun masih belum

berjalan dengan baik. Salah satu hambatan dalam penerapan prinsip

solidaritas sosial dalam JKN ini adalah adanya persepsi yang tidak tepat dari

masyarakat mengenai penggunaan dana asuransi kesehatan. Masih ada

individu yang mempunyai persepsi bahwa ketika individu mengeluarkan

uang untuk membayar asuransi kesehatan berarti individu tersebut harus

menggunakan akses pelayanan kesehatan agar uang yang dibayarkan kepada

pihak asuransi tidak digunakan untuk membiayai akses pelayanan kesehatan

bagi individu lain.

Salah satu prinsip etik dalam Deklarasi Universal UNESCO Bioetik

dan Hak Asasi Manusia adalah solidaritas dan kerjasama, implementasinya

adalah dalam asuransi pelayanan kesehatan. Masyarakat yang cukup secara

finansial dituntut untuk bekerja sama memberikan kontribusi finansial di

asuransi kesehatan agar seluruh masyarakat bisa tercakup oleh asuransi dan

mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan (UNESCO, 2008).

Menurut hasil penelitian Iriani dan Sutopo (2015) hambatan yang dihadapi

dalam pelaksanaan JKN di Kabupaten Temanggung adalah sikap

masyarakat yang belum sadar akan pentingnya jaminan kesehatan, sikap

masyarakat yang tidak memperhatikan sosialisasi, keberatan masyarakat

menyisihkan sedikit pendapatannya sebagai tabungan jaminan kesehatan


64

yang dapat meringankan beban biaya saat sakit, dan keberatan masyaraat

dengan peraturan baru yang mengharuskan pendaftaran JKN diikuti oleh

satu keluarga.

Menurut Permenkes No 28 (2014), prinsip gotong royong berarti

peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang

sehat membantu yang sakit. Hal tersebut bisa terwujud apabila sudah diikuti

seluruh masyarakat dengan ketentuan bahwa kepesertaannya bersifat wajib.

Kondisi sakit bisa datang kapan saja, bisa ketika masih produktif dan

berpenghasilan cukup. Kondisi sakit juga bisa datang ketika sudah tua saat

penghasilan mulai menurun atau menjadi tidak berpenghasilan karena sakit.

Dalam keadaan seperti ini, asuransi kesehatan mampu mengurangi risiko

setiap individu untuk menanggung biaya kesehatan dalam jumlah yang sulit

untuk diprediksi. Oleh karena itu diperlukan suatu jaminan dalam bentuk

asuransi kesehatan dengan pembayaran premi dalam jumlah yang tetap,

dengan demikian pembiayaan kesehatan ditanggung bersama secara gotong

royong oleh keseluruhan peserta. Indonesia menerapkan asuransi kesehatan

nasional yang disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Prinsip dalam

penyelenggaraannya mengacu pada prinsip – prinsip Sistem Jaminan Sosial

Nasional sehingga tergolong dalam asuransi kesehatan sosial. Hal tersebut

dikarenakan premi asuransi komersial relatif tinggi sehingga tidak

terjangkau bagi sebagian besar masyarakat serta manfaat yang ditawarkan

umumnya terbatas. Asuransi kesehatan sosial memberikan beberapa

keuntungan seperti memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi

terjangkau, menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu, menjamin


65

sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang

berkelanjutan) memiliki portabilitas sehingga dapat digunakan di seluruh

wilayah Indonesia. Oleh karena itu, untuk melindungi seluruh warga,

kepesertaan JKN bersifat wajib (KEMENKES RI, 2014).

4. Prinsip Keadilan dalam Pembiayaan Pelayanan Kesehatan

Menurut subjek penelitian, model pembayaran premi tidak

memerhatikan jumlah pendapatan dari setiap individu. Individu dengan

pendapatan 100juta setiap bulannya akan tetap membayar premi sebesar

59.500 Rupiah untuk pelayanan kelas 1, 42.500 Rupiah untuk pelayanan

kelas 2, 25.500 Rupiah untuk pelayanan kelas 3 dan individu dengan

pendapatan di bawah 10juta perbulan akan tetap membayar premi sejumlah

sama yaitu 59.500 Rupiah untuk pelayanan kelas 1, 42.500 Rupiah untuk

pelayanan kelas 2, 25.500 Rupiah untuk pelayanan kelas 3. Hal tersebut

dirasa masih kurang adil. Subjek penelitian merasa merasa model

pembayaran premi berbasis sistem pajak lebih adil.

Pembiayaan pelayanan kesehatan yang adil harus memenuhi dua hal,

yang pertama adalah pembiayaan harus berdasar kemampuan untuk

membayar dan yang kedua adalah masyarakat yang memiliki kemampuan

keuangaan yang sama dan kebutuhan yang sama perlu dipastikan

pembayarannya juga sama. Pembiayaan berdasar kemampuan untuk

membayar contohnya adalah pembiayaan pelayanan kesehatan berbasis

pajak pendapatan. Individu dengan pendapatan yang tinggi membayar

dengan nominal yang lebih besar dibandingkan individu dengan

pendapatan rendah. Sistem pelayanan kesehatan yang pembiayaannya


66

berbasis asuransi sosial ataupun berasal dari pajak perlu memerhatikan

keadilan vertikal. Prinsip dasar dari keadilan vertikal adalah perlakuan yang

tidak sama untuk kebutuhan berbeda dan pembiayaan kesehatan progresif

berdasarkan kemampuan untuk membayar. Pembayaran dalam jumlah yang

sama tanpa memperhatikan jumlah pendapatan disebut dengan pembiayaan

regresif. Pembiayaan regresif justru mendorong disparitas pendapatan

karena masyarakat miskin membayar dengan tingkat lebih tinggi dibanding

masyarakat kaya. Dengan demikian hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip

keadilan vertical (Murti, 2001).

5. Prinsip Keadilan dalam Pelayanan Kesehatan

Disampaikan oleh subjek penelitian bahwa dari evaluasi yang

dilakukan oleh BPJS kesehatan didapatkan masih banyak 155 diagnosis

yang seharusnya tuntas di FKTP tetapi itu dilayani juga di rumah sakit

sehingga BPJS kesehatan melakukan doubel pembayaran yaitu pembayaran

kapitasi dan pembayaran rumah sakit. Hal tersebut berarti ada pasien yang

seharusnya tidak dirujuk menjadi dirujuk oleh FKTP. Seharusnya pasien

yang tidak masuk dalam kriteria rujukan, mendapatkan pelayanan yang

sama yaitu pelayanan kesehatan di FKTP.

Ekuitas dalam pemberian pelayanan kesehatan merupakan keadilan

dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada dua atau lebih kelompok.

Dua bentuk utama dari ekuitas adalah ekuitas horisontal dan ekuitas

vertikal. Ekuitas horisontal dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah

perlakuan yang sama untuk kebutuhan yang sama (Equal Treatment for

Equal Need atau ETEN) sedangkan ekuitas vertikal dinilai dari pemberian
67

pelayanan sesuai dengan kebutuhan (Wagstaff dan Van, 2000). Pengukuran

ekuitas dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah dengan

membandingkan pelayanan yang diterima antara dua kelompok yang

dibandingkan. Apabila pelayanan yang diterima kedua kelompok tersebut

tidak sama maka mengindikasikan adanya ketidakadilan (Hoog, 2010).

6. Perilaku Kecurangan (Fraud)

Fraud berasal dari bahasa inggris yang artinya penipuan, kecurangan

ataupun penggelapan. Subjek penelitian menjelaskan bahwa memang

pernah ditemukan adanya perilaku fraud sejak BPJS kesehatan masih

menjadi PT Askes sehingga proses verifikasi berkas pengajuan klaim

dilakukan untuk menghindari perilaku fraud. BPJS kesehatan juga

melakukan sampling ke peserta untuk mengkonfirmasi apakah klaim yang

diajukan sudah sesuai dengan pelayanan kesehatan yag diberikan. Selain

itu, menurut subjek penelitian dalam pengajuan klaim apabila ada selisih

antara jumlah yang diajukan dengan yang dicairkan bertendensi

menimbulkan perilaku.

Ansyori (2015) menyebutkan bahwa kondisi saat ini masih terdapat

gap yang cukup besar antara kebutuhan FKTP dengan ketersediaanya. Gap

tersebut menimbulkan implikasi potensi salah satunya adalah perilaku

fraud. Hasil monitoring DJSN di Kupang pada bulan Mei 2015

menunjukkan bahwa BPJS kesehatan telah membayarkan kapitasi dan

klaim tepat waktu namun jasa medis di FKTP Puskesmas, belum dibagikan

sejak Januari 2015 karena menunggu SK Walikota. Kondisi tersebut

bertendensi menimbulkan perilaku fraud.


68

Salah satu hal yang mendorong terjadinya perilaku fraud adalah

adanya kebutuhan keuangan yang mendesak atau adanya ketidakpuasan

terhadap manajemen (Kassem dan Andrew, 2012). Apabila ada selisih

antara jumlah dana klaim yang diajukan dengan yang dicairkan bertendensi

menyebabkan adanya perasaan tidak puas terhadap proses pencairan dana

klaim dan kebutuhan keuangan yang mendesak karena terdapat selisih dana

yang dalam hal ini belum diketahui siapa yang akan membiayai selisih

dana tersebut.

7. Hambatan Sosialisasi

Menurut subjek penelitian, terdapat hambatan dalam sosialisasi

kepada masyarakat terkait JKN. Pada saat dilaksanakan sosialisasi, tidak

semua masyarakat yang diundang datang sehingga informasi hanya sampai

pada masyarakat yang hadir dalam sosialisasi. Selain itu, menurut subjek

penelitian juga terjadi fenomena Adverse Selection atau fenomena bahwa

hanya peserta yang berisiko tinggi untuk sakit saja yang mendaftar sebagai

peserta JKN dan fenomena dimana ada masyarakat yang berobat tanpa

indikasi medis, ada masyarakat yang sakitnya baru muncul tetapi langsung

melakukan pengobatan padahal prinsip pengobatan dalam program JKN

adalah berdasarkan indikasi medis yang jelas. Menurut hasil penelitian

Laksono (2014) salah satu hambatan dalam penerapan JKN adalah

kurangnya sosialisasi yang dilakukan BPJS Kesehatan yang menyebabkan

terjadinya perbedaan pemahaman di masyarakat mengenai asuransi

kesehatan sosial yang sudah mulai diberlakukan awal tahun 2014.

Sosialisasi merupakan kegiatan komunikasi, yang ditandai dengan adanya


69

proses penyebaran informasi atau pengetahuan dari komunikator kepada

komunikan atau masyarakat sasaran dengan tujuan meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman. Sosialisasi memegang peranan di dalam

menyebarluaskan informasi, baik informasi teknis maupun informasi yang

bersifat prinsip dasar (Mulyana , 2008). Kondisi dimana informasi yang

dimilliki provider tidak seimbang dengan yang dimiliki oleh pasien disebut

dengan asimetri informasi. Adanya Adverse selection dan Moral Hazard

merupakan suatu fenomena yang terjadi karena adanya asimetri informasi.

Adverse selection terjadi ketika individu yang berisiko tinggi untuk sakit

dan melakukan klaim asuransi menjadi peserta asuransi sementara individu

yang paling tidak mungkin untuk melakukan klaim asuransi tidak

mendaftar menjadi peserta asuransi. Perilaku Moral hazard mengakibatkan

kurangnya upaya dalam pencegahan karena individu tersebut merupakan

peserta asuransi. Individu cenderung tidak hati – hati sehingga konsumsi

pelayanan kesehatan lebih besar atau utilisasi menjadi berlebihan

(Prasetyia, 2012).

8. Permasalahan Komunikasi Antara BPJS Kesehatan dan FKTP

BPJS kesehatan menjalin kerjasama dengan PPK dalam rangka

implementasi program JKN. Disampaikan oleh subjek penelitian, bahwa

BPJS kesehatan bertugas untuk mengatur jalannya sistem asuransi nasional

diantaranya adalah menciptakan sistem informasi yang baik dengan PPK.

Subjek penelitian menjelaskan bahwa komunikasi yang dilakukan untuk

membangun sistem informasi adalah melalui e-mail, pertemuan evaluasi,

pertemuan pembinaan jejaring, dan pertemuan komunikasi antara FKTP.


70

Penelitian ini menemukan adanya fenomena perbedaan pemahaman

informasi antara BPJS kesehatan dan FKTP sehingga tujuan yang

diinginkan pihak komunikator dalam hal ini adalah BPJS kesehatan belum

dipahami dengan baik oleh FKTP. Perbedaan pemahaman informasi antara

BPJS kesehatan dan FKTP salah satunya adalah mengenai pola hubungan

kemitraaan antara BPJS kesehatan dan FKTP. Subjek penelitian utama dan

triangulator menyebutkan bahwa pola hubungan antara BPJS kesehatan dan

FKTP adalah mitra. Terdapat perbedaan pemahaman mengenai kata

“mitra” dalam pola hubungan ini. Hasil penelitian menyebutkan bahwa

subjek penelitian utama merasa pola hubungan yang berjalan seperti

hubungan antara atasan dan bawahan atau arus komunkasi ke bawah.

Fenomena perbedaan pemahaman informasi antara BPJS kesehatan dan

FKTP lainnya adalah mengenai indikator sistem kapitasi berbasis kinerja.

Komunikasi adalah elemen penting dalam kegiatan hubungan

masyarakat sejalan dengan pembentukan citra dan reputasi positif sebuah

orgnisasi di masyarakat. Sistem informasi yang baik bertujuan untuk

menciptakan pengertian dalam berkomunikasi, membina dan

memotivasi agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan pihak

komunikator (Peraturan Mentri Pendayagunaan dan Aparatur Negara NO

28, 2011). Menurut Pradiansyah (1999) komunikasi dalam organisasi

merupakan upaya untuk membangun kepercayaan (building trust). Apabila

komunikasi tidak berjalan baik, maka hal tersebut bertendensi

menimbulkan ketidakpercayaan, seperti pada penelitian ini ditemukan

adanya fenomena FKTP merasa ada ketidakpercayaan dari BPJS Kesehatan


71

terhadap pelayanan kesehatan yang telah dilaksanakan oleh FKTP.

Komunikasi adalah langkah pertama dalam memahami dan mengatasi

masalah organisasi dan melibatkan anggota organisasi untuk ikut

berpartisipasi sehingga dapat melihat suatu aspek dari sudut

pandang/kepentingan organisasi, bukan semata berdasarkan persepsi

pribadi. Komunikasi organisasi merupakan salah satu kegiatan dalam

upaya mewujudkan tata kelola hubungan yang baik menuju pada

peningkatan kualitas pelayanan publik dan penciptaan kesejahteraan

masyarakat. Komunikasi yang kurang baik bisa berakibat terhambatnya

upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dan pencipaan kesejahteraan

masyarakat. Pada hakikatnya masyarakat sebagai pemangku kepentingan

memiliki hak untuk mendapat pelayanan terbaik. Komunikasi yang tidak

berjalan dengan baik juga bisa mengakibatkan adanya perbedaan persepsi

antar pihak dalam organisasi serta mengurangi keefektifan roda organisasi

(Ubaydillah, 2003), sehingga pola hubungan yang baik penting untuk

dibangun dalam organisasi, salah satu caranya adalah dengan membangun

sistem informasi dan komunikasi yang baik antara sesama anggotanya.

Dengan meminimalisasikan kesenjangan yang ada melalui komunikasi

organisasi yang efektif, diharapkan pelaksanaan komunikasi berlangsung

lancar.

9. Persepsi Mengenai Kapitasi

Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan persepsi

antara subjek penelitian terhadap nominal kapitasi, ada subjek penelitian

yang merasa dana kapitasi sudah cukup untuk operasional nya dan ada juga
72

subjek penelitian yang mempunyai persepsi bahwa dana kapitasi bisa

mencukupi operasional apabila jumlah kunjungannya tidak meningkat

drastis. Menurut subjek penelitian hal tersebut dipengaruhi jumlah peserta

yang terdaftar di FKTP dan jumlah kunjungan setiap bulannya. Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 mengatur tentang standar tarif

pelayanan kesehatan pada FKTP. Pendapatan dokter secara umum bukan

dari gaji bulanan ataupun kapitasi tetapi berasal dari sistem pembayaran fee

for-service. Sistem pembiayaan pelayanan kesehatan dalam era JKN

dilakukan melalui sistem kapitasi. Sistem kapitasi dinilai lebih efektif dan

efisien untuk menurunkan angka kesakitan dibandingkan sistem

pembayaran fee for service. Sistem kapitasi adalah sistem pembayaran

pelayanan kesehatan per kapita yang dilakukan di muka (Moeloek, 2004).

Menurut Moeloek (2004), penerapan sistem kapitasi akan memberikan

banyak efisiensi, karena sistem rujukan berjalan dan sistem pelayanan

kesehatan lebih terstruktur. Terjadi perubahan paradigma berfikir dokter

yang pada awalnya memiliki paradigma sakit menjadi paradigma sehat

sehingga dokter akan lebih giat melakukan upaya preventif dan promotif.

Menurut Thabrany (2014) kapitasi akan baik jika volume peserta cukup

besar yaitu rasio peserta dokter sekitar 2000 sampai dengan 3000 orang per

dokter. Selain itu, besaran nominal kapitasi yang sudah ditentukan yaitu

8.000 rupiah dianggap terlalu kecil. Nominal tersebut tidak seimbang

dengan pendapatan dokter yang bekerja di BPJS. Menurut hasil penelitian

Marie (2014) di kota Medan, terdapat pengaruh antara persepsi tentang

kredensialing, profit, kapitasi, dan sistem klaim terhadap FKTP dalam


73

BPJS kesehatan di kota Medan. Karyati, Mukti A.G, Nusyirwan (2004)

menyatakan bahwa 78,9% dokter keluarga tidak puas dengan besar kapitasi

yang dinilai rendah. Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi yang

dilakukan secara terus menerus agar FKTP memiliki persepsi yang sesuai

dengan apa yang diharapkan BPJS.

10. Prosedur Klaim

Prosedur pembayaran lain yang diterapkan dalam JKN adalah sistem

klaim. Menurut subjek penelitian terjadi keterlambatan dalam pencairan

dana klaim. BPJS kesehatan menjadikan ketidaklengkapan data sebagai

alasan keterlambatan pencairan dana klaim. Disampaikan oleh subjek

penelitian bahwa banyak puskesmas yang tidak teratur dalam mengajukan

klaim. Keterbatasan petugas BPJS kesehatan yang menyelesaikan klaim ini

pun terbatas sehingga hal tersebut menjadi faktor terjadinya keterlambatan.

Efisiensi yang bisa dilakukan FKTP untuk mengatasi dana klaim yang tidak

cair adalah seleksi yang ketat dalam memasukan pasien dan mengurangi

kualitas pelayanan. Metode pembayaran berpengaruh terhadap perilaku

provider sehingga mempengaruhi efisiensi alokatif, teknis dan kualitas

pelayanan (Hendrartini, 2005).

Masalah lain yang disampaikan oleh subjek penelitian adalah terkait

pencairan dana klaim. Menurut subjek penelitian, ada dana klaim yang tidak

cair dan BPJS tidak memberikan konfirmasi terkait dana klaim yang tidak

cair. Efisiensi yang bisa dilakukan FKTP untuk mengatasi dana klaim yang

tidak cair adalah seleksi yang ketat dalam memasukan pasien dan

mengurangi kualitas pelayanan. Kualitas pelayanan kesehatan yang kurang


74

atau pelayanan yang di bawah standar merupakan salah satu contoh

pelanggaran prinsip justice, karena pada dasarnya setiap orang dengan

kondisi yang sama harus memperoleh perlakuan yang sama dan kesehatan

merupakan hak dasar dari setiap individu (Andre dan Velasquez, 2010)

11. Penentuan Standar Tarif Pelayanan

Subjek penelitian menjelaskan bahwa penentuan standar tarif

pelayanan seharusnya berdasar clnical pathway, tetapi belum ada clinical

pathway yang terstandar secara nasional. Menurut Martiningsih (2009)

Indonesia belum mempunyai aturan standar tarif sehingga biaya antar dokter

sangat bervariasi. Hal tersebut bertendensi merugikan bagi pasien karena

memungkinkan dokter melakukan tindakan polifarmasi atau penggunaan

alat kesehatan secara berlebihan


V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh

beberapa kesimpulan permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan JKN

yang dihadapi tenaga pelaksana FKTP di Kabupaten Banyumas yaitu :

1. Kebebasan individu dalam memilih dokter FKTP merupakan salah

satu wujud dari prinsip etik autonomy, yang dalam pelaksanaanya

tidak bisa terlepas dari tanggung jawab

2. Distribusi pelayanan kesehatan yang masih belum merata dan

penurunan kualitas pelayanan tidak sejalan dengan prinsip etik

tanggung jawab sosial dan kesehatan serta prinsip justice

3. Kepesertaan JKN wajib dan masih ada masyarakat Indonesia yang

belum menjadi peserta JKN sehingga penerapan prinsip etik solidaritas

dan kerjasama belum terlaksana secara maksimal

4. Pembayaran premi yang bersifat regresif tidak sesuai dengan ekuitas

vertical

5. Terdapat 155 diagnosis yang di tangani FKTP tetapi dirujuk, hal

tersebut tidak sesuai denga ekuitas dalam pelayanan kesehatan

6. Perilaku fraud ditemukan dalam implementasi JKN

7. Terdapat hambatan sosialisasi yang mengakibatkan kondisi asimetri

informasi sehingga terjadi adverse selection dan moral hazard

8. Terdapat perbedaan pemahaman informasi antara BPJS kesehatan dan

FKTP

9. Nominal kapitasi dirasa masih belum cukup

75
76

10. Pencairan dana klaim yang terlambat bisa mengakibatkan penurunan

kualitas pelayanan, hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip justice

11. Indonesia belum mempunyai aturan standar tariff pelayanan kesehatan

B. Saran

1. Kepada Pemerintah

Pemerintah sebaiknya memperhatikan pemerataan distribusi pelayanan

kesehatan dan melakukan rekruitment tenaga kesehatan untuk

menunjang program JKN

2. Kepada BPJS Kesehatan

BPJS kesehatan lebih menggiatkan sosialisasi mengenai filosofi dan

yang berhubungan dengan JKN sehingga pola pikir FKTP yang yang

masih keliru bisa diubah

3. Kepada FKTP

Membuka saluran komunikasi dengan BPJS kesehatan mengenai sistem

kesehatan untuk meningkatkan pemahanan FKTP mengenai sistem

yang diterapkan BPJS dalam program JKN

4. Kepada Peneliti Selanjutnya

Penelitian selanjutnya dapat meneliti tentang persepsi JKN dari sisi

masyarakat atau pengguna layanan JKN


DAFTAR PUSTAKA

Andre, Claire., Manuel Velasquez. 2010. Justice and Fairness. Diunduh di


https://www.scu.edu/ethics/publications/iie/v3n2/.

Ansyori, Ahmad. 2015. Potensi Fraud dan Moral Hazard dalam Penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan Nasional – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Pada Seminar Nasional Kajian Hukum Atas Pelayanan Kesehatan di era
JKN oleh DJSN. Universitas Brawijaya : Malang

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). 2014. Peserta BPJS Kesehatan di


Kab.Batang Capai 3000 Jiwa. Diundih darihttp://bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/m/index.php?module=berita&id=37

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). 2014. Panduan Praktis


Administrasi Klaim Paskes BPJS Kesehatan. diunduh dari
http://www.rsmargono.go.id/home/download

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2012. Laporan


Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011. Jakarta:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Balqis. 2013. Kesiapan Badan Penyelenggara Kesehatan dalam Menghadapi


Jaminan Kesehatan Nasional. Jurnal AKK Vol 2 No 3, September.

Beauchamp, Tom. 2003. Methods and Principles in Biomedical Ethics. J. Med


Ethis. Vol 29.

Beauchamp, Tom., James Childress. 1994. Principles of Biomedical Ethics Fourth


Edition. New York: Oxford University Press

Braunack-Mayer, Annette. 2001. What Makes a Problem an Ethical Problem? An


Empirical perpective on the Nature of Ethical Problem in General Practice.
Journal of Medical Ethics.Vol 27

Bungin, Burhann. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Chariri, Anis. 2009. Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif. Papaer
disampaikan pada Workshop Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif
, Laboratorium Pengenmbangan Akutansi (LPA), Fakultas Ekonomi
Universitas Diponogoro

Childress, James., Ruth Fade., Ruth Gaare., Lawrence Gostin., Jefferey Khan.,
Richard Bonnie, et al. 2002. Public Health Ethics: Mapping the Terrain.
Journal of Law, Medicine & Ethics.Vol. 30.

Departemen Kesehatan RepublikIndonesia. 2009. Keputusan MenteriKesehatan


RI Tentang PedomanPenanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia

77
78

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). 2015. Memahami Manfaat JKN dan
Prosedur Pelayanan. Diunduh dari http://www.djsn.go.id/djsn2/draft-
panduan/artikel/39-memahami-manfaat-jkn-dan-prosedur-pelayanan

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Jawa Tengah : Dinas Kesehatan

Djuhaeni, Henni. 2007. Asuransi Kesehatan dan Managed Care. Bandung :


Universitas Padjajaran

Guchiani, Octi. 2013. Permasalahan Etik dalam Pelaksanaan Jampersal yang


Dihadapi Tenaga Kesehatan Pelaksana Di Rsud Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto. Purwokerto : Fakultas Kedokteran Universitas
Jenderal Soedirman

Hanafiah, Yusuf., Amri, Amir. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Jakarta : EGC

Hendrartini J. 2005. Alternatif Mekanisme Pembayaran Provider dalam Asuransi


Kesehatan. Diunduh dari : http://www.desentralisasi-
kesehatan.net/id/doc/AlternativeMekanismePembayaranProviderdalamAsu
ransiKesehatan.pdf

Karya Mukti A G, Nusyirwan. 2004. Tingkat Kepuasan Dokter Keluarga


terhadap Sistem Pembayaran Kapitasi PT Askes di Kota Medan. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol 7 No 2

Kassem, Rasha., Andrew , Higson. 2012. The New Fraud Triangle Model.
Journal of Emerging Trends in Economics and Management Sciences. No
3 Vol 3

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI). 2014. Buku


Pegangan Sosialisasi Jaminan keehatan Nasional (JKN) dalam Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI). 2013. Profil


Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, et al.2012. Peta Jalan Menuju


Jaminan Kesehatan Nasional 2012 – 2019 . Jakarta

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (KEPMENKES RI) No 128.


2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
128/Menkes/SK/II/2004. Jakarta : Sekretariat Negara

Kinsman, L., Rotter, T., James, E., Snow, P., dan Wiilis, J., 2010. 'What is a
clinical pathway? Development of a definition to inform the debate'.
Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2893088/
79

Kurnia, Rezky G., Nurhayani., Balqis. 2014. Kesiapan Stakeholder dalam


pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Gowa.
Jurnal AKK, Vol 3 No 1

Lawrence, Dana J. 2007. The Four Principles of Biomedical Ethics : A


Foundation for Current Bioethical Debate. Journal of Chiropractic
Humanities.

Macer, Darryl. 2006. A Cross-Cultural Introduction to Bioethics, Eubios Ethics


Institute. Diunduh di http://www.unescobkk.org/index.php?id=2508. Pada

Marie W, Lidia 2014. Pengaruh Persepsi provider Swasta Tentang Implementasi


Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Keikutsertaan Sebagai Provider
Pertama BPJS Kesehatan di Kota Medan. Medan : Universitas Sumatera
Utara

Martiningsih, Dwi. 2009. Pasi Metode Pembayaran Kapitasi Terhadap Efisiensi


Biaya dan Kualitas Pelayanan. Jurnal Kedokteran Indonesia Vol 1 No 2

Moeloek, FA. 2004. Pembiayaan Kesehatan Sistem Kapitasi Efektif Turunkan


Angka Kesakitan. Diunduh dari http://www.pdpersi.co.id/?show
=detailnews&kode=4450&tbl=cakrawala

Moeleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda

Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.

Murti, Bhisma. 2001. Keadilan Horisontal, Keadilan Vertikal dan Kebijakan


Kesehatan. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Vol 04 No 03.

Nina, Intan S., Widodo J, Pudjiraharjo. 2013. Ekuitas dalam Pemberian Pelayanan
Kesehatan. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia. Vol 1 No 1

Pantilat, Steve. 2008. Beneficence vs. Nonmaleficence. Diunduh dari :


http://missinglink.ucsf.edu/lm/ethics/Content%20Pages/fast_fact_bene_no
nmal.htm

Peraturan Badan penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1. 2015. Tata


Cara Pendaftaran dan Pembayaran Iuran Bagi Peserta Pekerja Bukan
Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja. Jakarta : BPJS Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES RI) No 28. 2014. Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta: Sekretariat
Negara.

Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES RI) No 2562. 2011. Peraturan


Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 2562/MENKES/ PER/XII/2011
tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Jakarta: Sekretariat Negara.
80

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PERMENKES RI) No 69.


2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 69 Tahun
2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan
dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. Jakarta : Sekretariat Negara

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PERMENKES RI) No 71.


2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 71 Tahun
2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.
Jakarta : Sekretariat Negara

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi


Birokrasi Republik Indonesia. 2011. Pedoman Umum Komunikasi
Organisasi di Lingkungan Instansi Pemerintah. Jakarta : Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik
Indonesia

Peraturan Presiden Republik Indonesia (PERPRES RI) Nomor 32. 2014.


Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan kesehatan
Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah
Daerah. Jakarta : Sekretariat Negara

Peraturan Presiden Republik Indonesia (PERPRES RI) Nomor 72. 2012 .


Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang
Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta : Sekretariat Negara

Pradiansyah, Arvan. 1999 . Lima Prinsip Pembangun Komitmen. Jakarta: Pustaka


Binaman Pressindo

Prasetyia, Ferry. 2012. Modul Ekonomi Publik Bagian III : Teori Informasi
Asimetri. Universitas Brawijaya : Malang

Sastroasmoro, Sudigdo,. Sofyan ismael. 2011. Dasar – Dasar Metodologi


Penelitian Klinis. Edisi ke-4. Jakarta : Sagung Seto

Saubani. 2015. Iuran BPJS Kesehatan Dinaikkan. Republika [Online]. 5 Maret.


Diunduh dari http://www.republika.co.id/berita/koran/politik-
koran/15/03/05/nkq7eo-iuran-bpjs-kesehatan-dinaikkan

Sihombing, Rien G., Thinni, Nurul R. 2013. Dampak Pembiayaan Kesehatan


Terhadap Ability To Pay dan Catastrophic Payment. Jurnal Administrasi
Kesehatan Indonesia Vol 1 No 1.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : CV Alfabeta

Thabrany, Hasbullah. 2014. Bayaran Kapitasi yang Layak Bagi Dokter Primer.
Pada Pertemuan Ilmiah tahunan IDI. Bekasi
81

Trisnantoro, Laksono. 2009. Apakah Undang – Undang Sistem Jaminan Sosial


Nasional Dapat Terus Dilaksanakan? Sebuah Analisis Sejarah dan Budaya.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Vol 12 No 3.

Trotochaud, Karen. 2006. Ethical Issues and Acces to Healthcare. Journal of


Infusion Nursing. Vol 29 No 3

Ubaydillah. 2003. Mengatasi Gap Komunikasi. E-psikologi. Diunduh dari.


www.e-psikologi.pengembangan.100303.htm

Undang – Undang Republik Indonesia (UU RI) NO 24. 2011. Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentag Sistem Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional. Jakarta : Sekretariat Negara

Undang – Undang Republik Indonesia (UU RI) NO 40. 2004. Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentag Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Jakarta : Sekretariat Negara

UNESCO, 2008.Bioethics Core Curriculum. Section 1: Syllabus Ethics Education


Programme.Diunduh dari
http://unesdoc.unesco.org/images/0016/001636/163613e.pdf.

Van Der Hoog, M. 2010. Measuring Equity in Healt Care Delivery : A New
Method Based on the Concept Deliveru of Aristotelian Equality. Avalilable
at : http://arno.uvt.nl

Wagstaff . A., Van Doorslaer, E. 2000. Measuring and Testing for Inequity in the
Delivery of Healthcare. The Journal of Human Resources. Vol 35 No 4

Widiyatmoko, Andy., Puji, Astuti., Yuwanto. 2014. Analisis Kualitas Pelayanan


Program Jaminan Kesehatan Nasional BPJS Kesehatan pada Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Madiun.Journal of Politic and Government Studies
Vol3, No 4

Williams, John. 2006. Panduan Etika Medis. Yogyakarta: Pusat Studi Kedokteran
Islam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

World Health Organization.2010. The World Health Report 2010. Health Systems
Financing: the Path to Universal Coverage. Diunduh dari
http://www.who.int/whr/2010/en/

Yuningsih, Rahmi. 2013. Permasalahan dalam persiapan Pelaksanaan Jaminan


Kesehatan Nasional 2014. Jakarta : Dewan Perwakilan Rakyat. Di unduh
dari http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-
V-17-I-P3DI-September-2013-82.pd
82

Yusuf, Ronald. , Hidayat, Amir. 2014. Menyambut Implementasi Program


Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta : Kementerian Keuangan. Diunduh
dari
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2014_kajian_pprf_Menyam
but%20Implementasi%20Program%20Jaminan%20Kesehatan%20Nasiona
l. Pdf
Lampiran 1. Lembar Informasi dan
Persetujuan

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
Kampus Unsoed RSUD Margono Soekarjo Jl. DR Gumberg No 1
Purwokerto 53123 Telp.(0281) 641522 Fax. (0281)631208

Lembar Informasi dan Persetujuan


(Informed Consent)

Saya, Robiah Al Adawiyyah dari Jurusan Kedokteran Umum Universitas Jendral


Soedirman. Saya ingin mengajak Anda untuk berpartisipasi dalam penelitian kami
yang berjudul “Permasalahan Etik Yang Dihadapi Tenaga Pelaksana Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Dalam Penerapan Jaminan Kesehatan Nasional Di
Kabupaten Banyumas” Yang Akan Dilaksanakan oleh tim peneliti yang
beranggotakan:
1. Robiah Al Adawiyyah
2. RR. Diyah Woro L, S.Psi
3. dr. Joko Mulyanto M.Sc

1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengeplorasi permasalahan etik yang muncul
dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dihadapi tenaga
pelaksana fasilitas kesehatan tingkat pertama di Kabupaten Banyumas.
2. Keikutsertaan sukarela
Partisipasi Anda dalam penelitian ini adalah sukarela tanpa paksaan.Anda berhak
untuk menolak keikutsertaan dan berhak pula untuk mengundurkan diri dari
penelitian ini, meskipun Anda sudah menyatakan kesediaan untuk berpartisipasi.
Tidak akan ada kerugian atau sanksi apa pun yang akan Anda alami akibat penolakan
atau pengunduran diri Anda. Jika Anda memutuskan untuk tidak berpartisipasi atau
mengundurkan diri dari penelitian ini, Anda dapat melakukannya kapan pun.
Keputusan untuk berpartisipasi atau tidak berpartisipasi dalam penelitian ini tidak
akan mempengaruhi penilaian dalam pekerjaan maupun jabatan Anda.
3. Durasi penelitian, prosedur penelitian, dan tanggungjawab partisipan
Prosedur yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam
terhadap infroman dengan menggunakan panduan wawancara. Wawancara akan
direkam menggunakan alat perekamdan selanjutnya ditranskrip untuk keperluan
analisis data. Anda harus menjalani wawancara terstruktur kurang lebih selama 30 -
60 menit.
4. Manfaat penelitian
Partisipasi Anda dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk Anda berupa
kesempatan untuk menyampaikan perasaan , mendiskusikan persepsi dan
pemikiran terhadap permasalahan etik yang timbul dalam pelaksanaan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) serta memberikan kontribusi dalam upaya perbaikan
sistem kesehatan di Indonesia.
5. Risiko dan ketidaknyamanan
Tidak ada risiko maupun ketidaknyamanan yang harus diantisipasi dari
keikutsertaan Anda dalam penelitian ini.

83
84

6. Kerahasiaan
Kami menjamin kerahasiaan seluruh data dan tidak akan mengeluarkan atau
mempublikasikan informasi tentang data diri Anda tanpa izin langsung dari Anda
sebagai partisipan. Data wawancara yang diperoleh dalam penelitian ini akan
dirahasiakan dan hanya dapat diakses oleh peneliti. Tidak ada penulisan nama
informan dalam penyimpanan data wawancara, dan daftar nama informan tidak
akan diketahui oleh siapapun.
7. Klarifikasi
Jika Anda memiliki pertanyaan apapun terkait prosedur penelitian, atau
membutuhkan klarifikasi serta tambahan informasi tentang penelitian ini, Anda dapat
menghubungi peneliti :Robiah Al Adawiyyah (085258679769), RR Diyah Woro
L, S.Psi (085842992776), dr. Joko Mulyanto (081542701581)
8. Kesediaan
Jika Anda bersedia untuk berpartisipasi maka Anda akan mendapatkan satu salinan
dari lembar informasi dan kesediaan ini. Tanda tangan Anda pada lembar ini
menunjukkan kesediaan Anda untuk menjadi partisipan dalam penelitian.

Tanggal: ……………………………..

Tandatangan Informan, Tandatangan Peneliti,

……………………………………....... …………………………………….......
(Nama lengkap dengan huruf balok) (Robiah Al Adawiyyah)
Lampiran 2. Panduan Wawancara Informan
Nomor identitas :
Pewawancara :
Tanggal wawancara :
Data demografi informan :
Usia :
Jenis kelamin :
Pekerjaan :
1. Apa yang Anda ketahui tentang JKN?
2. Hambatan/ permasalahan apa saja yang muncul dalam pelaksanaan JKN
a. Hambatan / permasalahan dengan pasien / keluarga
1) Pelayanan kesehatan yang terhambat/tidak sesuai
2) Pasien tidak setuju dengan tindakan / keputusan medis yang akan
diakukan (alasan medis dan non medis).
3) Permasalahan pasien dengan keluarga terkait tidakan / keputusan
medis yang akan dilakukan.
4) Kenapa permasalahan tersebut bisa terjadi?
5) Bagaimana cara mengatasi masalah tersebut? Apakah masalah
tersebut dapat diatasi?
b. Permasalahan dengan regulasi yang berlaku
1) Minimnya fasilitas sarana dan prasarana yang ada.
2) Minimnya SDM.
3) Permasalahan antara tindakan yang akan diberikan dengan regulasi
yang ada.
4) Permasalahan antara pembayaran dengan tindakan yang akan
diberikan (Kapitasi dan Sistem Klaim).
5) Kenapa permasalahan tersebut bisa terjadi?
6) Bagaimana cara mengatasi masalah tersebut? Apakah masalah
tersebut dapat diatasi?

85
86

Lampiran 3.

Ethical Approval
87

Lampiran 4.

Surat Izin Penelitian Dinas Kesehatan


88

Lampiran 5

TEMA INDIVIDU IBU A

Ibu A Tema Individu


1. Jaminan kesehatan nasional Jaminan kesehatan nasional
adalah jaminan kesehatan bagi adalah jaminan kesehatan bagi
semua penduduk indonesia (L1 seluruh masyarakat indonesia
– L6)

2. Ada syarat yang harus dipenuhi Ada syarat yang harus dipenuhi
oleh FKTP untuk bekerjasama PPK untuk menjalin kerjasama
dengan BPJS (L7 – L18) dengan BPJS
3. PPK memiliki mitra dan jejaring
dalam pemberian pelayanan
kesehatan (L333 – L362)

4. Dokter merujuk pasien sesuai Ada pembatasan rujukan bagi


dengan aturan yang ditetapkan pasien rawat jalan yang
BPJS (L103 – L139) menggunakan kartu BPJS
5. FKTP merujuk pasien ke PPK 2
terlebih dahulu (L202 – L213)
6. Ada pembatasan rujukan dari
BPJS (L140 – L143)
7. Pasien yang membutuhkan obat
yang tidak bisa diresepkan PPK
1 akan dirujuk (L253 – L280)
8. Pasien yang memaksa untuk
dirujuk tanpa indikasi akan
diberi pengertian terlebih dahulu
(L162 – L173)

9. Terlalu banyak rujukan Ada masalah dalam penerapan


membuat kredibilitas dokter pembatasan rujukan
89

menjadi turun (L144 – L148)


10. Akan dilakukan pengurangan
dana kapitasi apabila PPK
terlalu banyak merujuk (L146 –
L161)
11. BPJS sebaiknya tidak
membatasi jumlah rujukan
sesuai indikasi (L363 – L369)

12. Perbedaan pemahaman tenaga Perbedaan pemahaman tenaga


pelaksana JKN mengakibatkan pelaksana JKN mengakibatkan
pasien merasa dipersulit dalam pasien merasa dipersulit dalam
pelayanan kesehatan (L56 – pelayanan kesehatan
L69)

13. PPK tidak mengetahui Kapitasi bisa mencukupi


bagaimana perhitungan nominal operasional PPK apabila jumlah
kapitasi (L379 – L384) kunjungannya tidak meningkat
14. Kapitasi ditentukan berdasarkan drastis
jumlah peserta yang mendaftar
di BPJS (L19 – L26)
15. Perubahan jumlah peserta BPJS
di PPK tidak menjadi masalah
apabila rasio dokter pasien
masih ideal (L28 – L34)
16. Pembayaran kapitasi tepat
waktu (L38 – L55, L101 –
L102)
17. Dana kapitasi masih belum
mencukupi operasional (L70 –
L83)
18. Kapitasi bisa mencukupi apabila
90

jumlah kunjungan tidak


meningkat drastis (L296 –
L299)
19. Peningkatan jumlah kunjungan
pasien di era BPJS (L174 –
L184)
20. PPK mengharapkan adanya
penambahan nominal kapitasi
(L375 – L378)
21. Dokter berusaha menjaga
kualitas pelayanan (L324 –
L325)

22. Ada penyalahgunaan fasilitas Ada karakteristik pasien yang


JKN untuk medical check up bereaksi berlebihan terhadap
tanpa indikasi (L94 – L100) pengobatan
23. Ada pasien yang sering datang
berobat walaupun sakitnya
ringan dan baru muncul (L83 –
L93, L185- L188)
24. Tidak semua pasien yang
berkunjung diberikan obat
(L189 – L201)
25. Dokter memberikan obat sesuai
dengan formularium nasional
(L312 – L321)
26. Angka kunjungan harus
diturunkan (L326 – L329)
27. Dokter mengupayakan edukasi
mengenai promotif, preventif
dan penanganan pertama
penyakit untuk menurunkan
91

angka kunjungan (L300 – L312)

28. Informed consent diberikan Dokter melakukan keputusan


sebelum melakukan tindakan medis atas persetujuan pasien
medis (L83 – 93)
29. Penyakit kronis yang masuk
dalam prolanis ditentukan oleh
BPJS (L241 – L248)

30. Kegiatan prolanis ditujukan Kegiatan prolanis dilakukan


untuk pasien DM, Hipertensi hanya untuk penyakit DM,
dan Asma (L214 – L235) Hipertensi dan Asma
31. Penyakit kronis yang tidak
masuk dalam prolanis, ditangani
sesuai keluhan dan ada yang
dirujuk sesuai indikasi (L236 –
L240, L248 – L252)
32. Edukasi dilakukan saat prolanis
(L281 – L285)
33. Kegiatan prolanis dilakukan
untuk mengurangi penumpukan
pasien dirumah sakit (L286 –
L295)

34. BPJS mempersilahkan dokter dokter mencari peserta sendiri


mencari peserta sendiri untuk untuk menambah pemasukan
menambah dana kapitasi (L449 kapitasi di tempatnya.
– L481)
Lampiran 6

TEMA INDIVIDU IBU B

Ibu B Tema Individu


1. JKN merupakan upaya JKN merupakan upaya
pemerintah dalam pemerintah dalam
menyelenggarakan pelayanan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat kesehatan
indonesia (L1 – L6)

2. Sistem askes dan BPJS hampir Ada syarat yang harus dipenuhi
sama (L221 – L229) PPK untuk menjalin kerjasama
3. Ada syarat yang harus dipenuhi dengan BPJS
PPK untuk bekerjsama dengan
BPJS (L7 – L14)
4. PPK memiliki mitra dan jejaring
dalam pemberian pelayanan
kesehatan (L260 – L274, L284
– L319)

5. BPJS mempersilahkan dokter Dokter mencari peserta sendiri


mencari peserta sendiri untuk untuk menambah pemasukan
menambah dana kapitasi (L369 kapitasi di tempatnya.
– L374)
6. Masyarakat bebas memilih
dokter BPJS sesuai
demografinya (L15 – L27)

7. Ada positif dan negatifnya Ada dampak positif dan negatif


dalam penerapan JKN (L28 – dari penerapan JKN
L29)
8. Peningkatan kunjungan pasien
di era BPJS (L30 – L36)

92
93

9. Keuntungan dari JKN salah


satunya adalah adanya tindakan
preventif dari masyarakat (L43
– L49)
10. Dengan adanya BPJS pasien
jadi tidak jatuh ke kondisi yang
lebih parah (L55 – L62)
11. Ada pasien yang benar – benar
berobat karena sakit dan ada
yang tidak (L33 – L42)
12. Pasien dengan keluhan yang
baru muncul dan ringan yang
sering datang ke PPK membuat
kebutuhan operasional PPK
meningkat (L50 – 54)
13. Ada pasien yang sering datang
ke dokter untuk meminta obat
(L185 – L188)
14. Tidak semua pasien yang datang
berobat diberikan obat (L63 –
L87)
15. Subsidi silang antara pasien
yang aktif dan non aktif berjalan
untuk mengatasi pasien yang
sering datang minta obat (L189
– L198)

16. Pembayaran kapitasi BPJS Kapitasi bisa mencukupi


dilakukan tanggal 15 (L230 – operasional PPK apabila jumlah
L259) kunjungannya tidak meningkat
17. Kapitasi menjadi tidak cukup drastis
apabila kunjungan pasien
94

meningkat drastis (L88 – L 94)


18. FKTP mengatasi kekurangan
kapitasi salah satunya dengan
cara subsidi silang dengan
pasien umum (L95 – L100)
19. Dana kapitasi baru bisa profit
apaila jumlah pesertanya lebih
dari 2500 atau 3000 (L321 –
L325)
20. PPK mengharapkan adanya
penambahan nominal kapitasi
(L275 – L283, L430 – L431)

21. Ada pasien tanpa indikasi yang Ada pasien yang meminta
memaksa minta dirujuka (L101 dirujuk tanpa indikasi medis
– L125)
22. Dokter memilih untuk merujuk
pasien yang sangat keras kepala
memaksa untuk dirujuk tanpa
indikasi (L126 – L140)

23. Kegiatan prolanis anya untuk Kegiatan prolanis dilakukan


penyakit DM dan hipertensi hanya untuk penyakit DM dan
(L143 – L184) Hipertensi

24. Dokter meresepkan obat yang Dokter melakukan keputusan


tidak ditanggung BPJS atas medis atas persetujuan pasien
persetujuan pasien (L199 –
L220)

25. BPJS tidak transparansi dalam BPJS belum terbuka kepada


pengelolan dana (L399 – L404, PPK
95

L420 – L426)
26. BPJS kurang terbuka kepada
PPK (L405 – L419)
27. Sebaiknya ada perbaikan dalam
menejemen internal BPJS (L
427 – L429)
Lampiran 7

TEMA INDIVIDU IBU C

Ibu C Tema Individu


1. Tahun 2014 mulai berlaku JKN berlaku sejak tahun 2014
jaminan kesehatan yang dikelola dan dikelola oleh BPJS
oleh BPJS (L1 – L9)
2. JKN menggunakan sistem
subsidi silang (L577 – L580)

3. Terjadi peningkatan kunjungan Terjadi peningkatan


pasien (L220 – L228) kunjungan pasien di era BPJS

4. Pembayaran kapitasi tepat waktu Dana kapitasi belum


(L379 – L380) mencukupi operasional
5. Dana kapitas bisa untuk
menopang operasional
puskesmas (L88 – L91)
6. Dana kapitasi belum mencukupi
operasional (L173 – L182)
7. Kapitasi ditentukan berdasarkan
jumlah dokter di FKTP (L164 –
L172)
8. Tarif pelayanan disetiap daerah
berbeda – beda (L507 – L517)

9. Sistem JKN mendidik Ada dampak positif dari


masyarakat untuk bisa menyadari sistem JKN
pentingnya kesehatan (L92 -
L97)

10. Ada keterlambatan dalam Ada keterlambatan dalam


pencairan dana klaim (L408 – pencairan dana klaim

96
97

L441)
11. Nominal klaim rawat inap dan
persailan dirasa belum cukup
bagi FKTP x (L586 – L604,
L622 – L651)

12. Jumlah dana klaim yang cair FKTP belum mendapatkan hak
berbeda dengan yang sudah yang sesuai dalam masalah
digunakan untuk pelayanan pencairan dana klaim
kesehatan (L118 – L127)
13. Format klaim sering berubah
(L144 – L153)
14. Kesalahan format menjadi alasan
ada klaim yang tidak cair (L128
– L142)

15. Dana klaim yang tidak cair Dana klaim yang tidak cair
menyebabkan penurunan kualitas menyebabkan penurunan
pelayanan (L183 – L195) kualitas pelayanan
16. FKTP pernah defisit (L196 –
L198)

17. Ketidakpercayaan BPJS terhadap BPJS diduga belum percaya


FKTP (L154 – L163) terhadap pelayanan yang sudah
18. Ada pasien tanpa indikasi yang diberikan oleh FKTP
memaksa minta dirujuk (L229 –
L250, L279 – L284)

19. Tidak ada batasan tanggal untuk Tidak ada batas waktu
pencairan klaim (L390 – L407) pencairan klaim dari BPJS

20. Ada pasien yang komplain jika Pelayanan ke pasien setelah


98

pelayanan kesehatan tidak sesuai diterapkan BPJS


keinginannya (L330 – L358,
L367 – L378)

21. Ada masyarakat yang belum Ada masyarakat yang belum


mengerti mengenai sistem mengerti mengenai sistem
rujukan BPJS rujukan BPJS
Lampiran 8

KODING BAPAK B

Bapak B TemaIndividu
1. Permasalahan FKTP rawat inap Permasalahan yang ada di
dan rawat jalan berebda (L1 – FKTP rawat inap dan rawat
L4) jalan berbeda
2. Tidak terlalu banyak
permasalahan di bagian rawat
jalan (L5 – L11)

3. Pola hubungan BPJS dan FKTP Terdapat ketidaksesuaian pola


seharusnya mitra, tetapi hubungan antara BPJS dan
kenyataannya seperti atasan dan FKTP yang seharusnya mitra
bawahan (L32 – L40) menjadi atasan dan bawahan
4. FKTP berharap BPJS
menerapkan pola hubungan mitra
(L801 – L809)
5. Komunikasi yang dilakukan baru
antara petugas klaim FKTP yang
datang ke BPJS (L390 – L402)
6. Informasi dari BPJS hanya
melalui e-mail dan telegram
(L481 – L500)

7. Terjadi peningkatan kunjungan Terjadi peningkatan kunjungan


pasien di era BPJS (L570 – pasien
L576)

8. Ada kalangan masyarakat yang Ada penyalahgunaan fasilitas


memanfaatkan penggunaan kartu jaminan kesehatan nasional
BPJS (L577 – L586)

99
100

9. Dokter memilih untuk merujuk Ada pasien yang meminta


pasien yang sangat keras kepala dirujuk tanpa indikasi medis
memaksa untuk dirujuk tanpa
indikasi (L558 – L562)
10. Pasien yang dirujuk tanpa
indikasi dicantumkan dalam p-
care dan tetap keluar sebagai
rujukan (L564 – L576)

11. BPJS membatasi rujukan rawat Ada pembatasan rujukan bagi


jalan maksimal 15% dari semua pasien rawat jalan yang
peserta (L12 –L17) menggunakan kartu BPJS
12. Aturan pembatasan rujukan
ditentukan oleh BPJS (L26 –
L31)

13. Ada dilema bagi tenaga Ada masalah dalam penerapan


kesehatan dalam pembatasan pembatasan rujukan
rujukan (L18 – L25)
14. Rujukan di Puskesmas X lebih
dari 15% (L280 – L284)
15. Ada teguran apabila rujukan
lebih dari 15% dan hukuman
apabila terus melebihi 15%
(L286 – L291)
16. BPJS tidak mau mengerti apabila
pasien yang butuh dirujuk lebih
dari 15% (L292 – L303)
17. Dokter sudah selektif dalam
memilih pasien yang
membutuhkan rujukan (L308 –
L328)
101

18. Rujukan yang dilakukan oleh


dokter sudah sesuai indikasi
(L329 – L353)
19. Letak geografis PPK bisa
memengaruhi angka rujukan
(L354 – L362)
20. Ada pasien yang tidak ada
indikasi tetapi minta dirujuk
(L370 – L376)
21. BPJS menghendaki angka
rujukan sedikit dan masyarakat
tidak memiliki persepsi dipersulit
dalam pelayanan
22. Pelayanan yang mudah dalam
persepsi masyarakat adalah yang
sesuai berjalan dengan keinginan
masyarakat (L363 – L368)

23. Perlu ada sosialisasi kepada Perlu adanya sosialisasi dari


masyarakata terkait sistem BPJS dan pemerintah kepada
rujukan (L750 – L758) masyarakat mengenai sistem
24. Sosialisasi terkait sistem rujukan rujukan
seharusnya dilakukan oleh BPJS
dan pemerintah (L759 – L760)
25. Sosialisasi mengenai sistem
rujukan kepada masyarakat baru
dilakukan oleh FKTP saja (L761
– L765)
26. Sebagian masyarakat mempunyai
persepsi FKTP mempersulit
pelayanan kesehatan dalam
masalah rujukan (L766 – L767)
102

27. Hak FKTP belum terpenuhi (L43 FKTP belum mendapatkan hak
– L50) yang sesuai dalam masalah
28. Puskesmas sudah memenuhi pencairan dana klaim
kewajiban tetapi belum
mendapatkan hak yang sesuai
(L134 – L140)
29. Jumlah dana klaim yang cair
ditentukan oleh BPJS (L205 –
L206)
30. Tidak ada konfirmasi dari BPJS
mengenai dana klaim yang tidak
bisa dicairkan (L58 – L62 , L207
– L219)
31. Jumlah dana klaim yang cair
tidak sama dengan jumlah dana
yang sudah digunakan untuk
pelayanan kesehatan (L69 – L73,
L130 – L133, L431 – L436)

32. Kekurangan dana klaim yang cair Ketidaksesuaian jumlah dana


bisa mengakibatkan penurunan klaim yang cair bisa
kualitas pelayanan (L74 – L82) mengakibatkan penurunan
33. Jumlah dana klaim yang cair kualitas pelayanan kesehatan
berbeda dengan yang sudah dan timbul perilaku fraud
digunakan untuk pelayanan
kesehatan bertendensi
menimbulkan perilaku fraud
(L841 – L859)
103

34. Nominal klaim rawat inap dirasa Ada keterlambatan dalam


sudah cukup bagi FKTP X pencairan dana klaim
(L459 –L464)
35. Permasalahan yang mencolok
saat ini adalah keterlambatan
pencairan klaim (L163 – L167)
36. Klaim rawat inap, ambulan dan
persalinan belum cair (L51– L53,
L419 – L422)
37. Klaim rawat inap dan ambulan
belum cair sejak september 2014
(L54 – L55, L437 –L442)
38. Klaim persalinan baru cair
sampai januari 2015 (L56 – L57)
39. Pencairan klaim diharapkan tidak
terlalu lama (L810 – L811)
40. Beban kerja verifikator yang
banyak diduga menjadi alasan
keterlambatan pencairan klaim
(L534 – L538)
41. Apabila kekurangan tenaga
verifikator di dalam BPJS,
sebaiknya ditambah untuk
memperlancar pencairan klaim
(L702 – L707)
42. BPJS sering menjadikan
ketidaklengkapan data sebagai
alasan keterlambatan klaim untuk
cair (L83 – L90, L403 – L409,
L423 – L430)
43. Ada syarat yang harus dipenuhi
untuk mengajukan klaim (L188 –
104

L204, L465 – L480 , L512 –


L532)
44. FKTP menyertakan kuitansi
kosong yang sudah
ditandatangani dan bermaterai
saat mengajukan klaim (L64 –
L68)
45. FKTP mengharapkan adanya
kemudahan dalam persyaratan
pengajuan klaim (L708 – L741,
L797 – L799)
46. Keterlambatan pencairan dana
klaim dikhawatirkan
menyebabkan hambatan dalam
pelayanan (L141 – L154)
47. Efisiensi yang dilakukan untuk
mengatasi klaim yang tidak cair
adalah seleksi yang ketat dalam
memasukan pasien atau
mengurangi kualitas pelayanan
(L155 – L162)
48. Dokter mengupayakan untuk
tidak mengurangi kualitas
pelayanan walupun klaim
terlambat (L388 – L389)
49. Ada penambahan syarat terbaru
secara tiba – tiba dalam
pengajuan klaim (L91 – L99)

50. Ada batasan tanggal untuk Tidak ada batas waktu


pengajuan klaim, tetapi tidak ada pencairan klaim dari BPJS
batasan tanggal untuk pencairan
105

klaim (L410 – L418)


51. Ada absen pengajuan klaim,
tetapi tidak ada absen pencairan
dana klaim (L539 – L541)
52. FKTP mengharapkan adanya
batas waktu dari BPJS dalam
mencairkan dana (L742 – L749)

53. Ketidakpercayaan BPJS terhadap BPJS diduga belum percaya


FKTP (L104 – L112) terhadap pelayanan yang sudah
54. Ada cara yang bisa digunakan diberikan oleh FKTP
untuk membangun kepercayaan
BPJS terhadap PPK(L118 –
L129)
55. BPJS diharapkan mulai bisa
membangun kepercayaan dengan
FKTP (L812 – L821)
56. Sebaiknya BPJS memberlakukan
syarat yang bisa membangun
kepercayaan dengan FKTP
(L822 – L837)

57. Kedepanya akan diterapkan Pembayaran kapitasi berbasis


permbayaran kapitasi berbasis kinerja yang akan diterapkan
kinerja yang menggunakan menggunakan paradigma sakit
paradigma sakit, bukan
paradigma sehat (L168 – L187)

58. BPJS menentukan tarif kapitasi Ada PPK yang merasa kapitasi
puskesmas berdasar jumlah sudah cukup untuk
tenaga medis yang tersedia (L682 operasionalnya
– L699)
106

59. Kapitasi dengan jumlah 2 dokter


di Puskesmas sebesar 5.500
(L658 – L670)
60. Kapitasi sudah cukup untuk
operasional PPK x (L265 –
L279)
61. Dana kapitasi masih sanggup
menjaga kestabilan pelayanan di
FKTP x (L443 – L458)
62. Tidak ada masalah dalam
penyediaan obat, hanya perlu
penyesuaian saja (L501 – L511,
L587 0 L594)

63. Formasi PNS dokter terbatas Tenaga medis yang kurang bisa
(L789 – L791) menyebabkan kualtas
64. BPJS tidak mau tau mengenai pelayanan menurun
ketersediaan tenaga medis (L680
– L682)
65. FKTP tanpa dokter gigi,
pelayanan kesehatan gigi
dilakukan oleh perawat gigi
(L671 – L675, L700 – L701)
66. Tidak ada dokter gigi
mengakibatkan kualitas
pelayanan kesehatan gigi
menjadi kurang baik
67. Rasio dokter pasien di FKTP X
belum ideal (L770 – L783, L792
– L796)
107

68. Pemda mempunyai kewajiban Kurang dukungan peran


dalam menyediakan tenaga pemerintah pusat dan daerah
medis secara lengkap (L768 – dalam penerapan Jaminan
L769) Kesehatan Nasional
69. Dinas dan pemda belum
merekrut tenaga medis kembali
untuk mencukupinya (L789 –
L791)
Lampiran 9

Transkrip Wawancara Triangulator 1 (Ibu D)

P = Peneliti

T = Triangulator

P : Filosofi dari BPJS ini seperti apa ya bu?

T : Maksudnya filosofi?

P : Maksudnya lebih ke tujuannya, latar belakangnya. Intinya seputar tentang


BPJS

T : Kalau mba pernah baca , sering kan ya diberita dikabarkan kan. Artinya
sebetulnya transformasi dari PT askes menjadi BPJS kesehatan ini kan
dasarnya adalah regulasi ya. Dari undang – undang menyebutkan bahwa
negara itu sebetulnya punya kewajiban , kalau di undang – undang dasar 45
kan ada kewajiban untuk memberikan jaminan sosial, nah ini adalah dalam
rangka itu. Mewujudkan itu sebetulnya. Amanat undang – undang ,
menyebutkan itu sehingga dibentuklah BPJS. BPJS kan ada 2 ya, kesehatan
dan ketenagakerjaan. Intinya dua duanya melaksanakan apa yang
diamanatkan undang undang. Jadi filosofinya ya itu, filosofi dasar ya
melaksanakan itu. Artinya penunjukan itu pun melalui proses pastinya ya,
asuransi kesehatan kan cukup banyak, tetapi ketika dinilai syarat utamanya
untuk menjadi BPJS kan harus nirlaba, sehingga kami pun sudah nirlaba
semenjak jamannya askes gitu ya. Sejak jamannya askes kita sudah nirlaba.
Nirlaba ini adalah artinya premi yang dikumpulkan oleh askes itu kan
karena hanya PNS itu dikembalikan sepenuhnya untuk keperluan peserta.
Artinya bukan berarti sisa dana itu terus dibagi untuk pegawai sepenuhnya.
Itu tidak. Kalau jenengan tau dulu namanya askes ada yang namanya
medical check up, nah itu salah satu bentuk untuk mengembalikan sisa dana
yang kami kelola kepada peserta.

P : Bentuknya memang dalam bentuk program nggih?

T : Ya betul. Tidak mungkin kami kembalikan dalam bentuk uang. Tetap kami
gunakan untuk program yang untuk kepentingan peserta, nah itu lah kenapa
kami bisa ditunuk untuk jadi BPJS kesehatan karena syaratanya memang
harus nirlaba

P : Memang BPJS ini BUMN nggih?

T : Dulu, waktu jamannya askes. Ketika kita berubah jadi BPJS kesehatan, kita
jadi badan hukum publik. Artinya kalau mau nanya badan hukum publik

108
109

seperti apa, ya BPJS itu karena kita badan hukum publik yang pertama kan
di Indonesia. Jadi nantinya badan hukum publik hanya ada dua, BPJS
kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan. Jadi kami dulu berada dalam taggung
jawab menag BUMN, ketika kami menjadi badan hukum publik, tanggung
jawab langsung kepada presiden. Jadi tidak dibawah kementrian. Jadi kami
bisa dikatakan setara dengan kementrian karena kami tanggung jawabnya
langsung kepada presiden, bukan kepada kementrian.

P : hubungannya dengan mentri kesehatan gitu, atau dengan kesehatan atau


ketenagakerjaan gitu?

T : Iya jadi gini, kalau untuk ketenagakerjaan sudah berbeda program ya.
Program jaminan sosial kan macam – macam, ada kesehatan ada kematian,
kecelakaan kerja, yang dikelola BPJS kesehatan hanya yang kesehatan ,
yang lainnya adalah BPJS ketenagakerjaan, jadi sudah berbeda porsinya ya,
tugasnya memang sudah berbeda. Kemudian untuk peran mentri kesehatan
disini adalah BPJS kesehatan ini tidak menerbitkan regulasi. Jadi ketentuan
yang dilaksanakan BPJS kesehatan itu semua dibuat oleh pemerintah , nah
dalam hal ini bisa kementrian kesehatan untuk tentang pelayanan kesehatan
, untuk pembayaran misal kapitasi itu ada perpres, artinya semua diatur oleh
pemerintah hanya memang ada item – item tertentu yang tidak diatur boleh
di buat oleh BPJS kesehatan , tapi dalam hal ini ranah utamanya adalah
bukan di kita. Regulasi sepenuhnya ada di pemerintah.

P : kalau tadi item yang belum detail dan bisa dibuat oleh BPJS contohnya apa?

T : Kalau kemarin itu contohnya ada alat kesehatan, nilai ganti alat kesehatan.
awalnya di awal 2014 belum ada, akhirnya dibuatlah oleh kita. Itu mengacu
pada ketentuan yang kita berlakukan jamannya askes. Tapi sekarang udah
muncul dipermenkes. Artinya yang dulu belum diatur oleh permenkes
akhirnya kami atur dan akhirnya sudah diakomodir , artinya tetap regulasi
itu akan disempurnakan, karena misalkan dulu belum diatur, kita mengatr
sendiri akhirnya di undangkan.

P : jadi semacam mengendorse pemerintah

T : Artinya mungkin pemerintah belum mendalami bahwa ini lo kita perlu ada
regualsi tentang ini. Kita perlu gitu. Akhirnya dibuatlah regulasi sekarang.
Akhirnya kita sudah pakai permenkes sekarang. Kalau yang sebelumnya
belum.

P : BPJS menjalin kerjasama dengan FKTP ya bu?

T : Iya
110

P : Sebenarnya pola hubungan , alur hubungan BPJS dengan FKTP itu seperti
apa ya bu?

T : Itu diatur dipermenkes 71. Di permenkes 71 kan ada yang namanya seleksi
FKTP. Jadi ya kami melakukan penilaian terlebih dahulu. Jadi ada standar
penilaian yang kami buat gitu. Kami tentunya menginginkan FKTP yang
berkualitas, yang mempunyai komitmen untuk memberi pelayanan terbaik
kepada peserta. Jadi untuk format pelayanan kami tidak melenceng dari
regulasi yang ada. Artinya misal suatu klinik untuk izin operasional harus
memenuhi persyaratan a b c, kami juga akan ikut itu. Jadi sebetulnya kalau
mau sesuai dengan apa yang ada, itu semua klinik pun bisa.Kan gitu. Karena
ketika izin operasional klinik keluar, pastinya kan dia udah memenuhi
semua kriteria. Nah tinggal kita , tugas kami adalah melihat kebutuhan tidak
semua FKTP, dokter praktik yang mengajukan ke kami langsung kami
terima. Tidak. Karena kami kan akan melihat kebutuhan. Jangan sampai
disatu daerah itu FKTP nya banyak, didaerah lain tidak ada FKTP sama
sekali. Jadi tetap kita mempertimbangkan distribusi FKTP. Ini kami juga
koordinasi dengan dinas kesehatan. jadi setiap kami melakukan seleksi pun
kami melapor pada dinas kesehatan dan organisasi profersi. Artinya mereka
juga tau kita melakukan penilaian dan hasilnya seperti apa, itu mereka tau.
Hasilnya dilaporkan ke dinas kesehatan.

P : berarti status hubungannya itu mitra ya bu atau semacam apa bu?

T : Ya mitra. Karena BPJS tidak punya fasilitas pelayanan kesehatan. karena


undang – undangnya kan berbunyi penyediaan fasilitas kesehatan adalah
menjadi tanggung jawab pemerintah. Jadi disini kami hanya menseleksi.
Intinya kami mencari lah , mencari yang betul betul – berkualitas. Jadi
kontrak itu berjalan satu tahun. Satu tahun. Artinya dalam satu tahun kita
akan melihat, menilai. Artinya kalau, kayak orang lah, kepengen pacaran
pasti kelihatannya baik , bagus gitu kan. Tapi setelah pacaran, ya gak tau
gitu kan. Keliatan hal negatifnya. Artinya diperjalananpun kita akan melihat
apakah dia punya komitmen yang bagus dengan pelayanan itu, ataukah
tidak. Artinya ketika dia tidak punya komitmen yang bagus pada pelayanan
itu, kita nilai, kemudian nilainya rendah gitu ya, artinya tidak akan kita
kontrak lagi dan itu ada.

P : Kalau standarnya itu, kan mba disini melihat FKTP yang komitmen dan
tidak komitmen itu permasalahannya gimana?

T : Kalau di kami, pertama yang kami lihat adalah keluhan. Jadi semakin
banyak keluhan pastinya dia ga punya komitmen kan, artinya banyak
peserta yang mengeluh. Jadi kami kan ada kotak saran atau layanan 24 jam
itu juga menampung keluhan – keluhan dari peserta. Artinya semakin
111

banyak keluhan pasti komitmennya tidak bagus karena apa namanya peserta
ketika mendapatkan pelayanan yang bagus tidak mungkin dia akan
mengeluh kan. Tapi keluhan juga akan kita lihat sih artinya benarkah
memang yang dikeluhkan peserta tadi memang sesuai dengan apa yang kita
komitmenkan, artinya kalau tidak ada komitmen disitu tapi peserta
mengeluh ya kita berikan informasi kepada peserta. Suatu contoh misalkan
ada pemeriksaan lab, pelayanan yang diberikan oleh BPJS kesehatan adalah
pelayanan sesuai indikasi medis. Artinya kalau tidak indikasi medis boleh –
boleh saja ditolak. Artinya ada peserta aku mau dong di cek kolesterolnya,
aku mau dong dicek gula darahnya, kalau dia tidak ada indikasi medis boleh
ditolak, artinya apabila peserta mengeluh kami yang akan mengedukasi
peserta bhawa yang dijamin BPJS itu ya sesuai indikasi medis, aritnya
keluhan itu tidak serta merta kami lihat sebagai sesuatu yang negatif dari
FKTP tapi ada peserta yang memang “aku wis mbayar kok, tapi aku ga
dilayani bagus”, dilayani bagus itu kan namanya jaminan sosial itu pasti ada
regulasinya, tidak semua bisa dijamin kan tidak , artnyaa kalau sesuai
prosedurnya pasti kami akan menegur FKTP, sesuai prosedur kok bisa
dilayani, pasti yang salah dari FKTP nya. Tapi kalau dari segi yang saya
contoh kan karena pesertanya yang tidak tau tentang prosedurnya, artinya
keluhan yang saya sampaikan tadi, semakin banyak keluhan itu adalah
keluhan yang sudah kami pasti kan bahwa keluhan itu adalah tidak sesuai
dengan komitmen pelayanan.

P : Jadi ingin menyambung salah satu dari hasil wawancara kami kemarin kan
memang ada model pasien seperti ingin, nuwun sewu istilahnya kaya
“mumpung” begitu tidak bayar, premi nya sekian misalnya kasusnya hanya
luka robek harus dijahit tapi terus dia tidak mau sakit, terus bolak balik
minta ganti perban berkali – kali sedangkan ini berkaitan dengan dana yang
disediakan untuk pasien, akhirnya memang terjadi kayak semacam
kegalauan gitu dari pihak sana, bagaimana ini kalau nolak pasien nanti
komplain tapi satu sisi lain jatahnya cuma segini, dalam tanda kutip
semacam terjadi masalah, ketidaknyamanan karena bolak balik datang dan
mungkin jumlahnya juga cukup banyak, kalau seperti ini gimana? Antisipasi
untuk semacam itu gimana?

T : jenengan survey nya kemana?

P : Semua jadi memang kami mengambil dari semua jenis FKTP baik itu
puskesmas balai pengobatan atau swasta

T : Kalau mendengar penjelasan jenengan yang jatahnya sekian, saya akan


menyalahkan FKTP karena yang namanya pembayaran kapitasi itu tidak
bisa dilihat pakai jatah – jatah itu tidak ada. Kapiatsi itu pembayaran
112

berdasar jumlah peserta yang daftar, artinya ada peserta sakit datang berobat
ataupun tidak berobat kami tetap membayarkan uang itu artinya ga bisa dia
melihat satu orang, ketika dia melihat satu orang ini bolak – balik bolak –
balik, dia tidak melihat orang yang sehat itu lo uangnya diapain, untuk apa.
Kalau dia bilang ada jatah, saya akan menyalahkan. Saya akan marah ke
FKTP kalau saya sampai mendengar ada FKTP menyampaikan seperti itu.
Karena ga bisa dilihat kapitasi itu perorang. Kalau mau lihat FKTP itu,
misalnya klinik atau dokter ya, kapitasinya adalah 8000 perorang kalau
swasta. Misalnya terdaftar disitu 1000 orang, dia akan mendapatkan tiap
bulan 8.000.000, kalau kita evaluasi angka kesakita itu hanya 10 sampai 15
%, rata – rata, tarolah kita pakai 10% artinya dari 1000 10% adalah 100
orang. Artinya 8.000.000 yang kami bayarkan itu untuk membiayai 100
orang yang berobat. Artinya 8.000.000 dibagi 100 orang, 1 orangnya
80.000. gitu kan, rata – rata. Sementara kita lihat pengobatan di dokter
swasta aja kalau berobat kan 50.000 dapat obat plus macem – macem
artinya ga bisa dilihat 1 orang, itu kok dibayar 8.000 datang terus , ga bisa.
Itu yang salah FKTP nya, dia belum memikirkan konsep kapitasi itu seperti
apa. Artinya kalau puskesmas rata – rata kita evaluasi di faskes swasta itu
sekitar 60.000an setiap kunjungan. Seolah – olah karena ini kan kapitasi ya.
Kita kan evaluasinya berdasar laporan kunjungannya. Artinya kapitasi ga
bisa dibandingkan dengan jumlah peserta. Kalau dengan jumlah peserta
artinya ya cuma 8.000. tapi kan kita bandingkan dengan kunjungan. Itu yang
saya contohkan tadi, 8.000.000 padahal yang datang cuma 100 orang atau
100 kunjungan. Entah 1 orang bisa 5 kali. Artinya dalam satu bulan hanya
ada 100 kunjungan. Walaupun orangnya ada 20 orang misalkan tapi 1 orang
berkunjung terus, tapi kan dilihat totalnya. 100 kunjungan tak bayar 80.000.
masa sih Cuma ganti balut sampai 80.000. harusnya kan tidak bisa dilihat
jatahnya segitu. Gak bisa. Kalau kapitasi ga ada sistem yang namanya jatah.
Ini memang saya ga menutup mata, masih banyak dan peserta banyak yang
komplain penyampaian, entah itu penyampaian entah memang mindset dari
FKTP seperti itu, karena kami setiap kali ada pertemuan saya sampaikan ga
bisa lo dok kalau jenengan melihat kapitasi itu perorang, lah terus yang
sehat jenengan ga komplain, kalau yang sakit kan “masa dia dibayar 8000
datang terus”, lah yang sehat yang ga pernah datang ga komplain “saya lo
ini yang sehat ga pernah datang kesini” uangnya tak kembalikan. Ga
mungkin kan seperti itu. Ini yang ga bisa dilihat seperti itu, ini yang
mungkin memang masih agak berat di kami memberikan informasi , karena
mungkin anu lah hanya bahasanya saja , bahasa mereka jadi peserta
mendengarnya“jebule BPJS cuma bayar 8.000” kan kalau orang awam
taunya gitu kalau dokter ngomong. Cuma bayar 8.000. pasti kan dia ga liat.
Orang awam wajar, menurut saya wajar peserta itu wajar kok kalau
komplain karena informasi yang dia terima ya ga sesuai. Ketika kami
113

sampai kan ke peserta “kok kaya gitu”. Makanya ga bisa dilihat kapitasi
perorang.

P : Jadi mungkin perubahan sistemnya ini, nuwun sewu apa bener apa enggak,
jadi perubahan sistem dari yang tadinya pembayaran per kedatangan, kalau
kapitasi kan nuwun sewu seperti gaji itu ya. Apa mungkin sistemnya?

T : Kalau sistem dari askes kaya gitu. Dari askes sudah kapitasi. Dari jamannya
askes pembayaran ke FKTP sudah kapitasi.

P : Kalau menurut mba itu kira – kira kenapa masih muncul masalah seperti itu
di FKTP?

T : Kalau masalah itu lebih ke arah persepsi gitu lo. Dia belum tau konsep
kapitasi itu seperti apa. Artinya yang namanya jaminan sosial tidak di
manage, kalau kami isitilahnya pakai sistem manage care jadi kita harus
melihat pembiayaan dan pelayanan yang diberikan. Ketika orang belum
mengetahui konsep itu, dia pasti akan mengeluh ini lo harus dibayar segini.
Kalau saya lebih ke arah persepsi dan ketika kami memberikan evaluasi
karena memang kami tidak mungkin sosialisasi ke semua tenaga yang ada di
Puskesmas ya, mungkin dari menejer nya dia sudah tau sistemnya seperti
apa, tapi kan sampai kebawahnya kita ga tau kan dia penangkapannya
sepeerti apa gitu. Tapi tak rasa di Puskesmas kan ga seperti itu, yang swasta
mungkin, iya? Yang mengeluh itu swasta dan puskesmas?

P : Jadi karena semuanya juga ada beberapa yang menceritakan masalahnya,


jadi pada intinya bahwa kadang – kadang ada persepsi dari masyarakat, saya
sudah bayar jadi harus datang.

T : Kalau itu si artinya bukan masalah kesalahan persepsi di kapitasi, kalau itu
ya wajarlah orang memanfaatkan itu ya wajar – wajar saja. Hanya kalau dari
penjelasan tadi ya FKTP yang belum bisa menjelaskan, artinya persepsi
mereka yang kurang pas.

P : Kalau seperti itu enaknya solusi nya gimana bu? Artinya kalau tadi
dijelaskan juga ketika kalau pasien komplain nanti dipertimbangkan sesuai
atau tidak, nah kalau kasus tadi kira – kira bisa atau tidak kalau FKTP itu
artinya menolak, “pak ini prosedurnya di jahit”, terus dia kontrol ke tiga
kali, sudah oke pak maaf ini sudah sembuh itu artinya dengan risiko bahwa
akan dilaporkan berarti dari pihak BPJS juga akan menpertimbangkan itu
adalah hal yang wajar?

T : Ya selama ada tertulisnya aja. Jadi kami selalu menekankan ketika ada
peserta yang ngeyel atau apa silahkan buat tertulis, karena bukan
berprasangka ya orang kan bisa didepan sana berbuat A, dibelakang sana
114

bilang B. Tetapi ketika ada bukti tertulis, itu bisa menjadi bukti “ini lo
kemarin jenengan sudah dijelaskan sudah tau prosedurnya, kalau jenengan
ga sesuai prosedur itu yang akan jadi nomor 1 yang tidak dijamin BPJS
kesehatan. pelayanan yang tidak sesuai prosedur”. Iya ada hal yang tidak
dijamin salah satunya adalah pelayanan yang tidak sesuai prosedur, artinya
kalau ada bukti tertulis peserta sudah dijelaskan tapi menginginkan
pelayanan yang berbeda, contoh tadi, indikasi medisnya dijahit, tulislah
disitu saya menolak, saya sudah diberikan penjelasan, saya membutuhkan
ini, tetapi saya tidak mau. Jadi ketika komplain, saya bilang ini kan
jenengan yang ga sesuai prosedur, indikasinya kan dijahit. Intinya saya
menganjurkan buatlah tertulis apapun yang panjenengan berikan. Kita harus
waspada, semua tidak mungkin namanya orang pasti punya keinginan,
keinginan itu bisa naik seiring dengan kebutuhannya dia, artinya mungkin
sekarang saya ingin punya motorlah, saya ga punya motor, setelah saya
punya motor wah enak ya punya mobil ga kepanasan saya naik lagi. Artinya
keinginan peserta pun akan meningkat seiring dengan kebutuhan dia.
Artinya ga bisa dipasang standar FKTP semua harus punya fasilitas A, lah
nanti seiring perjalan juga akan naik keinginan peserta, makanya kami
meminta FKTP untuk meningkatkan entah kualitas pelayanan, sarana
prasarana, itu kan kami nilai, setiap melakukan perpanjangan kami lakukan
penilaian ulang. Penialaian ulang itu mulai dari sarana prasarana, komitmen,
semua dinilai, beda kalau diseleksi awal hanya ada sarana prasarana,
komitmen, tidak ada evaluasi kerja karena di awal gitu kan. Dia punya
komitmen ga, hanya sebatas itu. Ketika sudah melakukan kerjasama, kita
menilai komitmennya sesuai engga dengan yang sudah, kita lihat kesesuaian
komitmen, kalau diawal kita hanya lihat mau engga seperti ini, mau engga.
Kalau mau ya sudah. Artinya kami sudah mulai memberikan sosialisasi di
awal pada FKTP sistem kapitasi karena itu sering jadi keluhan di kemudian
hari, termasuk ada jatah – jatah itu, saya harapkan dengan sosialisasi diawal
itu tidak akan terjadi lagi, apa namanya kalaupun sudah kita lakukan itu
kadang masih. Artinya faskes yang sudah lama pun yang berkali – kali kita
omonginpun masih persepsinya masih

P : Jadi itu salah satu hal yang masih nuwun sewu disebut sebagai kendala
hubungan. Oya bu, ini terkait statement ibu evaluasi angka kesakitan 10 –
15%, ini bu saya pernah mendengar katanya ada pembatasan rujukan
maksimal 15%?

T : Enggak jadi gini, kita evaluasi berdasarkan kasus yang ada di rumah sakit.
Di rumah sakit itu ternyata, jadi di FKTP itu kan ada ketentuan dari konsil
kedokteran , bahwa ada lo 144 diagnosa yang seharusnya tuntas di FKTP,
sekarang ada tambahan 11, sehingga 155 diagnosa. Itu harus tuntas di
FKTP. Evaluasi yang kami lakukan, masih banyak kasus yang seharunya
115

tuntas di FKTP itu dilayani di Rumah sakit. Artinya ketika dilayani di


rumah sakit terdapt doubel pmebayaran. Dalam tanda kutip doubel
pembayaran adalah kami sudah mebayarkan kapitasi ke FKTP, di rumah
sakit kami bayar lagi, artinya kan ada kalau mau dikata, ya itu ada
pembayaran yang dilakkan seperti dua kali kan. Itu harusnya tuntas di FKTP
ya sudah kami bayarkan untuk kapitasi, ketika dia dirujuk kami
mengeluarkan uang lagi. Itu lo yang menjadi dasar, karena kami kan
mengelola dana , artinya dana yang dikelola kami akan mempertanggung
jawabkan dana digunakan sebagaimana mestinya. Artinya kalau memang itu
tidak sesuai, kami menganggap itu tidak sesuai, wong itu harusnya tuntas
kok, ga perlu kami bayar lagi di rumah sakit. Artinya kalau ada hal seperti
itu, itu lah yang menajdi dasar kami. Angka 15 pun sebetulnya ga ada
patokan, artinya dari 155 diagnosa bukan mutlak tidak boleh dirujuk, ada
hal – hal tertentu yang membuat harus dirujuk, misalnya usia , jadi penyakit
tertentu yang beda usia kan bisa berbeda. Tapi ketika kami evaluasi cukup
banyak kasus yang sebetulnya harusnya tuntas tapi menduduki 1 2 3
diagnosa yang terbanyak di rumah sakit, seperti itu kan artinya menjadi
tanggung jawab kami bahwa ini kenapa sih FKTP semua kasus yang
harusnya bisa, kok dirujuk, artinya yang kami soroti itu kasus itu, bukan
semua kasus, kasus yang harusnya tuntas itu lo, itu yang kami sorot, jadi
pembatasan 15 itu memang dulu jamannya askes ada pembatasannya, itu
untuk kasus – kasus yang seharusnya ditangani di FKTP gitu lo, artinya
boleh dirujuk, tapi kasus yang membutuhkan spesialistik, yang memang
butuh dokter spesialis, jangan kasus yang bisa ditangani dokter umum
dirujuk, sehinga muncul angka 15%. Gitu lo. Jadi 15% itu adalah untuk
yang memang kasus non spesialistik

P : Jadi memang kalau misalnya di rumah sakit itu ada kasus perlu dirujuk ke
rumah sakit, tapi dari jumlah semua kepesertaan sekitar 20% itu ga masalah
?

T : Ga masalah. Kalau memang yang 20% itu butuh spesialistik semua. Ya


kami gak akan menegur FKTP. Itu kan kami lakukan terutama untuk kasus
– kasus yang seharunya tuntas di FKTP, kalau tidak ya enggak.

P : Kalau selama ini bagaimana mba untuk FKTP yang di daerah Banyumas
apakah masih banyak yang melebihi, artinya masih memasukan 155 kasus
ini?

T : Masih ada. Ya memang dalam tahap ini kami hanya melakukan penilaian.
Itu akan jadi bahan evaluasi kami ketika dia akan memperpanjang
kerjasama. Ya tidak langsung kami menegur tidak. Kami ada penilaian
kinerja. Penilaian kinerja salah satunya ya itu tadi, rujukan, ada keluhan, itu
116

menjadi salah satu poin penilaian di kami, jadi ketika dirujuk non
spesialistik banyak, keluhan banyak , itu akan menajdi pertimbanga kami
apakah kami teruskan perjanjiannya atau engga.

P : Jadi intinya tidak ada pembatasan rujukan untuk pasien – pasien yang butuh
untuk dirujuk?

T : Iya. Jadi misalkan contoh kata orang kanker, atau cuci darah , ga mungkin
kan kami menolak, jangan ga boleh dirujuk. Ga mungkin. Karena dia butuh
pelayanan spesialis. Artinya yang kami sorot adalah yang seharusnya tuntas
di FKTP. Yang kami sorot yang sesuai konsil itu tadi, 155 diagnosa , itu
masuk kompetensi 4A, dimana kompetensi itu harusnya dimiliki oleh dokter
ketika dia lulus kedokteran, ketika dia lulus menyandang titel dokter,
harusnya dia bisa menangani 155 diagnosa tersebut, artinya itu saja. Bukan
kami memberi batasan yang boleh dirujuk sekian. Kami tidak memberi
batasan itu, hanya yang itu saja yang jadi kewenanganmu itu lo, jangan
semua dirujuk. Kalau kita lihat evaluasinya 100% misalkan itu kasusnya
spesialistik, ya ga masalah kalau di kami.

P : Kalau ada FKTP dalam tanda kutip merujuk pasien – pasien yang 155
penyakit ini kok dirujuk agak banyak, prosedurnya gimana disini? Misalnya
o ini sebagai dokter FKTP tapi dia merujuk , misal dia dapet 100 pasien tapi
merujuk hampir 35 pasien dirujuk, padahal menurut penlaian BPJS lo ini
kan masih masuk 155, mekanisme nya untuk pemberitauan FKTP gimana?

T : Ada pertemuan evaluasi dengan FKTP, kami lakukan 4 bulan. kemarin baru
kami lakukan bulan Mei. Kami sampaikan evaluasi dari Januari sampai
April. Intinya kita tahap awal kami hanya ingin melihat dia tau posisinya,
ketika kita evaluasi kembali bulan berikutnya, atau tiga bulan lagi, karena
mungkin bulan berikutnya tidak terlalu signifikan, ketika kami melihat itu,
kami boleh sah – sah saja kalau kami memberikan peringatan, karena
diperjanjian itu kan ada peringatan bahwa dia komitmen berfungsi sebagai
gatekeeper, dia penjaga gawang lo, jadi jangan sampai kebobolan kasus –
kasus yang seperti itu dirujuk – rujuk terus. Artinya salah satu hal yang
menjadi penilaian kami ya rujukan tadi. Dia sudah komitmen kok “saya mau
jadi get keeper, saya mau jadi penjaga gawang” ketika semua dirujuk –
dirujuk, ya sama aja dia ga menjalankan fungsinya kan. Komitmen yang ada
di perjanjian kerjasama sama saja dilanggar, artinya sah – sah saja kami
memebrikan peringatan. Cuman kemarin tahap awal kami hanya sosilaisasi.
Jadi semua FKTP kita kumpulkan kita sampaikan kita undang “ini lo rasio
rujukan mu tinggi, ini menjadi penilaian lo”. Artinya dia tau, o ternyata
dinilai ya. Jadi tidak hanya kami lihat dari FKTP saja, kasus yang ada di
rumah sakit itu jadi feedback, bisa saja yang namanya FKTP kan “ga kok
117

saya ga ngerujuk” tapi nyatanya dirumah sakit ada orangnya. Artinya tidak
melihat dari 1 sisi, kami lihat dari 2 sisi.

P : Evaluasinya per 4 bulan ya ? bukan bulanan?

T : Kalau bulanan saya terlalu banyak energi yang ahrus saya keluarkan karena
kita ada 283 FKTP dan kalau evaluasi kami lihat dari laporan yang mereka
kirimkan, laporan yang mereka entrikan di apliaksi, dan kami harus
menggabungkan data di rumah sakit, artinya kalau tiap bulan rasanya kami
butuh banyak orang padahal tenaga saya Cuma 4, artinya kami lihat , kami
sepakati, itu kami lihat setiap 4 bulan . kalau 4 bulan kan kita bisa lihat
perbandingan, kalau 1 bulan belum terlalu kelihatan banyak perbedaan.

P : Saat evaluasi itu ditunjukan rasio rujukan secara umum atau untuk kasus
yang harusnya ditangani FKTP tapi dirujuk?

T : Dua duanya ditunjukan

P : Evaluasi selama 4 bulan. selama tidak bertemu komunikasi BPJS dan FKTP
itu seperti apa bu?

T : Bisa surat. Jadi gini, evaluasi yang saya sampaikan tadi adalah pertenmuan
khusus untuk evaluasi. Diluar pertemuan evaluasi ada pertemuan juga.
Pertemuan pembinaan jejaring, pertemuan komunikasi antara FKTP, yang
tadi saya sampaikan itu khusus untuk menilai kinerjanya, ini lo kinerjamu
yang 4 bulanan, tapi pertemuan diluar 4 bulan itu ya ada, misalnya
pertemuan bulan kemarin kita ada pertemuan mengundang seluruh FKTP
untuk acara misalkan penandatanganan PKS, atau ada pertemuan jejaring
dengan rumah sakit, kita mengundang FTP, rumah sakit juga, artinya yang 4
bulanan itu kita fokus untuk evaluasi kinerja, itu yang kami lakukan. Untuk
pertemuan diluar bulan itu ya tetap ada.

P : Penyampaian informasi itu disampaikan dipertemuan – pertemuan itu bu?


Atau lewat e-mail ?

T : Iya. Jadi kalau kami surat itu sudah pakai e-mail, ga hardcopy. Artinya
beberapa memang kami tetap menirimkan hardcopy, tetapi lebih sering
kami mengirimkan via e-mail, jadi kami mewajibkan FKTP untuk punya e-
mail dan standby buka e-mail. Jadi kami sudah menganggap bahwa e-mail
adalah surat resmi. Mau tidak mau, kalau kami sudah mengirim surat itu ya
mau tidak mau itu yang harus diikuti oleh FKTP, artinya regulasi yang
berlaku saat itu ya itu. Yang ada di surat.
118

P : Kembali lagi ke rujukan 15%, apabila FKTP terus merujuk pasien yang
sebenarnya bisa ditangani FKTP lebih dari yang ditentukan BPJS ,
konsekuensi yang diberikan untuk FKTP apa?

T : Ya itu tadi teguran. Jadi teguran itu, 1 2 3 ga ada perubahan putus. Jadi jarak
anatara 1 teguran dengan teguran beriukutnya adalah 7 hari. Artinya gini,
misalnya saya buat surat teguran perama, tidak ada respon, masih aja kaya
gitu. Kita buat teguran lagi. Artinya kalau untuk keluhan, kita evaluasi
bulanan. Karena ga bisa lihat 7 hari. Kalau rasio rujukan pastinya 4 bulan.
akhirnya kalau ga ada perubahan 4 bulan putus. Ketika keluhanya berbeda
misal dia menarik iur biaya ke peserta, kalau saya berobat ke klinik A saya
suruh bayar lo, nambah 5.000 misalkan. ini bukan masalah nambah 5.000
nya tetapi komitmen diperjanjian kerjasama, tidak boleh menarik iur ke
peserta selama peserta sesuai prosedur. Artinya 1 rupiah pun peserta ga
boleh untuk bayar asalkan sesuai prosedur. Artinya ketika dia sudah
mengenakan biaya boleh tak kasih peringatan, ternyata setelah 7 hari masih
ada komplain, orang berbeda yang komplain, tak kasih peringatan lagi, itu
artinya selingannya bisa 7 hari dari 1 peringatan ke peringatan lain. Utnuk
rasio rujukan bulanan.

P : Berarti untuk yang over rujukan itu satu bulan, teguran keduanya bulan
depan

T : Ya selangnya 1 bulan. karena ga mungkin kita evaluasi mingguan, karena


rujukan itu kan akumulasi. Presentasi rujukan nanti adalah dilihat dari
jumlah kunjungan , jadi artinya kunjungan itu ya 1 bulan, karena kapitasi itu
kan bulanan, jadi ga bisa minimal adalah 7 hari gitu jarak antar peringatan 1
dan yang lain, khusus untuk rujukan bisa evaluasi bulanan ya bulanan, ga 7
hari.

P : Berarti cuma teguran ya bu, misalnya ga ada kayak misal teguran itu berupa
nanti akan dikurangi dana kapitasinya apabila terus seperti itu?

T : Oh enggak. Untuk saat ini belum. Untuk saat ini hanya menyampaikan itu.
Sudah ada konsep. Konsep pembayaran kapitasi berbasis kinerja tetapi
untuk FKTP pemerintah, karena di Puskesmas itu ada regulasi permenkes
59 itu bahwa kapitasi puskesmas adalah 3.000 sampai 6.000 jadi ada ruang,
ada range nya, kita bisa memberlakukan itu, kalau swasta kan 8.000 ya
sudah kita kan ga mungkin bayar kurang dari itu, ga mungkin kita
mengurangi itu, konsekuensinya adalah perjanjian kerjasama apakah nanti
dilanjutkan atau tidak. Jadi tetap semua dinilai, hanya ketika puskesmas
akan berpengaruh ke biaya kapitasi karena di puskesmas kan di regulasinya
wajib, puskesmas itu wajib bekerjasama dengan BPJS kesehatan, artinya
kita ga mungkin memutus puskesmas , ya bisanya ya itu tadi dia akan
119

berpengaruh pada norma kapitasi yang kita bayarkan, kalau swasta ga ada
kata – kata regulasi dia wajib bekerjasama , dia bisa bekerjasama dengan
BPJS artinya kami punya ruang kalau yang tidak berkualitas, yang tidak
sesuai dengn komitmen ya di cut.

P : Kalau puskesmas itu mainnya di biaya kapitasi?

T : Ini baru wacana. Kami baru sebatas sosialisasi karena regulasi kapan itu
akan diberlakukan itu belum ada. Itu sebetulnya juga dasarnya adalah
rekomendasi dari KPK. Jadi komisi pemberantasan korupsi juga kan
mengevaluasi lingkungan pemanfaatan kapitasi di puskesmas itu seperti itu,
jadi sebenarnya penilaian itu dasarnya adalah rekomendasi dari KPK.
Artinya bukan dari BPJS sendiri lo yang membuat ketentuan itu. Nah itu
sudah didukung dengan permenkes 59 bahwa faskes itu ada salah satunya
adalah penilaian komitmen pelayanan artinya menurut pemerintah juga
sudah bener itu harus dinilai, tidak langsung kita bayarkan segitu tanpa ada
konsekuensi, tanggung jawab kewajiban apapun. Bayangkan kalau tidak ada
tanggung jawab, “kamu ga harus mengendalikan rujukan, kamu ga harus,
semua dirujuk” jadi artinya semua kami membayarkan dana itu jadi di dua
tempat kan gitu. Artinya itu rekomendasi dari KPK

P : Kalau berbasis kinerja itu sistemnya gimana ?

T : Ya itu tadi, jadi akan dinilai rasio rujukan nya, dia akan dinilai kami ada
program yang namanya prolanis, pengelolaan penyakit kronis, itu untuk DM
dan hipertensi yang sebenarnya tidak kompetensi dokter FKTP, jadi jangan
sampai kasus – kasus prolanis yang bisa dikelola FKTP itu juga dirujuk, jadi
itu jadi penilaian kami termasuk program – programnya, prolanis itu kan
harus rutin berkunjung, kalau ternyata dia dari 100 peserta yang daftar di dia
prolanis yang datang hanya 20, artinya kan dia tidak menjalankan fungsinya
sebagai menejer kesehatan. ketika ada program prolanis, maka FKTP di
tuntut sebagai menejer kesehatan artinya dia mengelola sebagai menejernya
peserta itu, kalau DM hipertensi itu kan harus dipantau tiap bulan. artinya
ketika dia tidak datang ya harus di telfon, “ibu ini harusnya kontrlo lo,
obatnya harus di minum rutin” kan ga bisa lepas dari obat kan hipertensi
sama DM, artinya dia harus jadi menejernya.

P : Jadi ada prosentase kunjungan prolanis?

T : Minimal 50%.

P : Artinya bukan angka orang yang sakit yang datang kesitu , tapi hanya untuk
DM dan Hipertensi saja?

T : Iya hanya DM dan hipertensi saja.


120

P : Kalau kasus kaya, berapa orang sakit yang harus datang misal ke puskesmas
itu diatur ga? Misalnya bulan ini yang sakit harus sekian.

T : Enggak. Kami ada penilaian namanya kontak komunikasi. Tetapi kontak


komunikasi bukan berarti dia sakit tidak. Kontak komunikasi itu FKTP bisa
ada kunjungan rumah, yang namanya kontak komunikasi kan banyak tuh
peserta yang tidak mengenal FKTP nya, dalam hal dia tidak pernah
memanfaatkan ,”dok saya sehat”, jadi kan dia tidak mengenal, tetapi FKTP
itu wajib tau “oo jenengan adalah peserta saya, kalau jenengan sakit datang
ke tempat saya”. Artinya itu yang kami nilai, bukan berarti dia harus sakit
semua, enggak bukan, kontak komunikasi itu bisa via telfon, bisa FKTP
datang ke rumah peserta, tidak harus peserta sakit. Ada persepsi seperti itu?
Harus sakit gitu?

P : Laporannya gimana bu? Oh enggak itu dari saya sendiri.Jadi saya


membayangkan gini, ini kan memang perubahan sistem yang besar –
besaran , seperti merombak mindset tapi kalau saya pikir kan yang sakit
datang ke dokter, jadi sekarang sistemnya lebih ke arah promotif jadi saya
pikir mungkin saya berusaha untuk karena saya masyarakat jadi berusaha
kenal juga dengan beberapa dokter itu, saya pikir ini tantangan untuk
dokternya artinya mindset yang selama ini saya dibutuhkan untuk orang
yang sakit kemudian dia harus berubah menjadi menejer, yang mungkin
belum begitu familiar itu akan semacam ada gap komunikasi dan persepsi
bagaimana mereka memahami itu, bahwa tugas dokter itu ora nambani tok,
koe yo mesti mudun, kalau semacam itu kan ada gap. Jadi saya pikir
tantangan dari kedua belah pihak untuk menyamakan persepsi , jadi itu uga
salah satu temuan dari penelitian ini, bahwa memang kalau dari
penjelasannya mba kan kita ajdilebih paham ya, bahwa memang ada hal
seperti ada gap komunikasi, antara persepsi di FKTP dan apa yang
diharapkan BPJS. Jadi semacam ada gap komunikasi, jadi munculnya ya
seperti itu mba, muncul kalimat jatah – jatahan . saya sendiri mikir , iya ya
apa belum dipahami secara keseluruhan, secara utuh bahwa BPJS seperti
ini.

T : Artinya itu tadi lebih ke arah, kami ga mungkin sosialisasi ke semua petugas
puskesmas, ga mungkin kan, kalau kami mengadakan pertemuan, paling ya
perwakilan dari pihak puskesmas, dan yang paham mungkin hanya
perwakilan itu tadi kan, dia tidak menyampaikan ke semua jajarannya dalam
tanda petik seperti itu, sehingga ada muncul persepsi lain, padahal kita udah
sama lo ini canel nya tetapi hanya dengan pimpinan – pimpinan. Artinya
dengan pimpinan – pimpinan itu sudah tau , sudah paham, sudah sama tetapi
tidak tersampaikan kebawah. Banyak kok kasus staff – staff itu menelfon
sampai sini. “mba itu lo saya ga dikasih tau, saya ga di kabari” itu cukup
121

banyak. Artinya sudah bukan diranah kami juga ya. Artinya kami
sebetulnya dengan puskesmas, okelah kalau di Banyumas soalnya udah
BLUD, artinya kami bekerjasama langsung dengan puskesmas, kami sudah
wanti – wanti tolong dong informasi apapun , panjenengan dapet informasi
dari kami disampaikan . materi yang kami sampaikan ke mereka pun
mereka pasti akan mendapat salinannya. Artinya filenya mereka dapat.
Kalau di Banyumas sebetulnya kepala puskesmas itu punya komitmen kok
untuk itu, artinya setiap habis ada pertemuan dia minta “aku mau nanti aku
sampein ke staff ku” karena mereka mungkin ada penilaian juga akreditasi
atau apa akrena nanti dituntut semua puskesmas terakreditasi hanya
memang belum semua, sebetulnya mereka sudah punya keinginan untuk
share gitu dengan staf – staf nya cuma memang itu tadi kendalanya, mngkin
waktu, mungkin apa sehingga masih muncul persepsi yang berbeda

P : Atau mungkin ini ya mba, load pasien juga. Kalau sistem seperti ini saya
awam banget tapi saya pernah liat kaya di Inggris, di Kuba kan modelnya
seperti ini, lebih ke arah promotif, sebenarnya kan di Indonesia kita pay for
service, itu juga mungkin karena geografis, pasien – pasien disana
cenderung menjaga kesehatan sementara apsien – pasien disini ya itu
memang ga bisa dipungkiri, kaya ibu saya aja mungkin “wah ibu priksa
BPJS, udah bayar. Ada beberapa juga tetangganya juga yo wis mbayar
pengen ke dokter” sakit baru pilek dikit, panas sehari, jadi kaya semacam
mumpung. Jadi sepertinya memang kompleks ya.

T : Jadi memang kami sudah menekankan harus ada promotif preventif,


mungkin waktu wawancara kami mewajibkan adanya homevisit. Dia harus
kunjungan. Ga cuma peserta yang datang tok. Punya tugas edukasi. Dokter
kan berasal dari bahasa yang artinya edukasi. Artinya dokter ya jangan
hanya mindsetnya pengobatan. Dia juga harus mengedukasi pesertanya.
Kami juga sudah konsen ke situ, termasuk ada skrining riwayat kesehatan,
itu kan sebenarnya ada upaya promotif preventif juga untuk mengetahui di
awal, supaya bisa di obati di awal, edukasinya seperti apa kan gitu.
Homevisit itu sebenarnya lebih ke arah, dia harus edukasi apa si ke peserta.
Ketika dia mengenal kondisi lingkungannya, kurang ventilasi kah atau
misalkan kandang di dalam rumah atau apa, artinya kan itu sebetulnya
harapan kami, dia sebagai edukator bagi peserta. Tapi memang belum
maksimal, ketika kami meminta laporan homevisit itu ya beberapa saja yang
melakukan itu

P : telfon juga di record ya mba?

T : Iya. Kontak komunikasi kami artinya kontak komunikasi bukan angka


kesakitan. Kami nilai adalah kontak komunikasi tidak hanya untuk
122

pengobatan. Bisa untuk edukasi , sampai kami menyarankan udahlah


jenengan mengumpulkan peserta untuk ada penyuluhan kesehatan silahkan.
Itu yang kami nilai adalah kontak komunikasi bukan angka kesakitan. Jadi
tidak ada target orang sakit yang berobatnya berapa, enggak. Yang kami
lihat adalah kontak komunikasi dia sebagai gatekeeper tadi, dia orang
pertama, jadi first contact, jadi ketika orang sakit yang diingat adalah FKTP,
jadi aku sakit aku mau ke spesialis itu berarti dia belum sebagai first
contact, artinya mindset peserta itu, kalau kami survey ke peserta “bu
pernah di datangi ga sama dokter A?”. “oya kemarin datang. Ya ...” dia tu
seneng sebetulnya, peserta itu suka . jadi itulah yang sebetulnya ingin kita
bangun, FKTP itu ahrusnya deket kenal dengan pesertanya dan nyaman,
ketika peserta merasa tidak nyaman dengan FKTP , pasti dia gak akan
berhubungan dengan FKTP itu, “ah gak lah, nek wis loro ae aku kesana”.
Tapi ketika dia nyaman misalkan komunikasinya bagus dengan FKTP,
contoh saya mencontohkan saya “Aku kok rasanya pegel – pegel”, saya
pasti nelfon konsultasi “dok ini saya pegel – pegel kenapa ya dok? Apa yang
harus saya hidnari makanannya?” artinya kalau dia nyaman sama FKTP, via
telfon aja, ga perlu kok FKTP mengeluarkan obat , saya sudah percaya “dok
saya harus menghindari makan apa? atau kalau obat saya perlu obat apa?
Gpp kok saya beli sendiri”. Artinya itu yang memang pengen kita bangun.
Ada promotif preventif lebih fokus ke situ. Pengennya kita konsepnya
ngikutin diluar negeri cuman masih gitu lah, artinya kami melihat adalah di
FKTP nya, artinya kalau FKTP sudah menajalnkan fungsinya ya itu bisa aja
, hanya emmang eprsepsi peserta juga perlu dirubah

P : Kalau untuk masalah itu ada antisipasinya ga? Kami pernah mendengar
istilah adverse selection itu?

T : Kalau di BPJS ga ada. Adverse selection itu yang komersil. Dia akan
menseleksi dulu peserta yang mau daftar itu punya risiko ga. Itu yang
namanya adverse selection. Jadi saya, misal membayangkan saya adalah
asuransi swasta komersil gitu ya, kalau peserta saya banyak yang sehat, saya
pasti untung. Tapi kalau yang sakit..

P : Yang daftar pernah kena ini, semacam ini

T : Ya. Itu adalah adverse selection. Di kami itu ga ada. Peserta BPJS yang
daftar ngisi apa? Ga ada kan riwayat kesehatan. ga ada.itu bedanya dengan
jaminan sosial.

P : Atau gini, misalnya ada fenomena, ini fenomena lagi, misal ada orang yang
daftar BPJS nya itu kalau sudah sampai rumah sakit baru daftar. Itu gimana
mba?
123

T : Itu di awal, 2014. Sekarang kan sudah ada regulasi baru dulu sebelum yang
terbaru 14 hari, itu 7 hari. Artinya ada waktu tunggu lo. Kita kan sebetulnya
ingin menyadarkan masyarakat. Artinya hanya masyarakat itu yang
beranggapan “ah nantilah wong ora loro kok, aku sehat kok, ga perlu
asuransi” kan gitu, artinya dengan diawal – awal tahun sebelum regulasi itu
memang kita melihat biaya yang kami kumpulkan dari premi peserta dengan
biaya yang kami keluarkan itu lebih banyak yang kami keluarkan, karena
ternyata yang mendaftar hanya yang sakit – sakit saja. Kemudian dari hasil
evaluasi itu ada regulasi yang muncul bahwa setelah 7 hari baru dia aktif
kartunya, artinya kalau dia masuk rumah sakitkan ada waktu 3 kali 24 jam
untuk menunjukkan identitas sebagai peserta, ketika dia sudah masa
aktfinya 7 hari, itu untuk penyelesaian administrasi yang lain – lain sudah
koneksi dengan identitas di dukcapil, karena kan identitas NIK yang
dipakai, jadi kami perlu ada waktu itu, untuk penyelesaian administrasii
untuk itu dan untuk validasi data dan itu butuh waktu sekitar 7 hari
kemudian terjadi penurunan artinya penurunan itu dalam hal peserta sudah
mulai banyak mendaftar yang belum sakit artinya penurunan dari segi biaya,
karena kan kalau dia belum punya kartu kan ga akan kita jamin. Tapi ketika
dulu jamannya 2014, dia belum punya kartu, udah di rumah sakit, ada waktu
3 kali 24 jam daftar langsung bisa dipakai jadi biaya yang kami keluarkan
cukup banyak. Jadi memang ketika sudah ada regulasi yang mengatur itu
kesadaran masyarakat itu akan timbul “walaupun saya belum sakit, aku
daftar sek lah, nanti butuh waktu untuk bsia menggunakan kartu” jadi itu
yang menjadi salah satu pertimbangan ketika kami melaporkan kepada
presiden biayanya ini lo pak, ternyata premi yang kami kumpulkan dengan
premi yang kami keluarkan itu banyak yang dikeluarkan, baca di berita kan?

P : Jegleg gitu ya?

T : Iya. Artinya walaupun kami punya , ada lo di undang – undang itu, kalau
BPJS kurang boleh kok minta ke pemerintah. Tapi kan ga segampang itu
minta ke pemerintah, harus ada APBN perubahan , artinya boleh tapi kan
kami juga berupaya kami sudah diberikan kepercayaan untuk mengelola
dana itu, ya kami manfaatkan yang sesuai dengan prsedurnya ketentuannya
seperti apa. Makanya sampai ada non spesialistik itu dibatasi, karena
memang seharunya ga perlu kok saya mengeluarkan itu. Itu sebetulnya.

P : Saya ingin bertanya kembali tentang evaluasi angka kesakitan dan rujukan,
itu sebenarnya evaluasi dari BPJS pusat atau cabang?

T : Dari cabang

P : Jadi kebijakan 15% itu dikhususkan untuk misalnya bisa muncul angka 15%
itu khusus untuk daerah Banyumas aja?
124

T : Enggak jadi gini saya sampaikan 15% itu dulu jamannya askes, sekarang ga
ada istilah 15% tapi kami hanya melihat non spesialistiknya.

P : Caranya menyampaikan kepada FKTP gimana? Maksudnya ketika itu ada


tampilan data, misalnya 100, “bapak pasiennya 100, nih 35 dari pasien
bapak itu di rujuk ke rumah sakit” berarti 35% sedangkan harusnya kurang
dari ini, itu gimana penyamapaiannya?

T : kalau memang 35 itu adalah yang non spesialistik semua , untuk saat ini
kami masih membandingkan rata – rata. Kami masih membandingkan rata –
rata. Jadi kami tidak mematok 15%. Tidak. Tetapi rata – rata kami lihat
semua FKTP kasus non spesialistiknya berapa, rata – rata misal muncul
10%. Ya kami akan pakai 10% artinya kalau yang diatas 10% mbok bisa
diturunkan jadi kami saat ini masih hanya melihat rata – rata. Misalkan rata
– rata masih 15% ya kami pakai 15% tapi kami tidak mematok 15% kami
saat ini masih melihat rata – rata semua FKTP baru sebatas itu.

P : Yang merujuk non spesialistik.

T : Kami masih melihat rata – rata. Di presentasipun kami masih


memperlihatkan rata – rata.

P : Jadi di FKTP a samapi z itu rata – rata masih merujuknya di angka 10%

T : Patokannya ga itu, diatas 10. Itu ahrus diturunkan, ini lo, ini kok bisa.

P : Apa memeprtimbangkan ini juga mba kapitasi yang ada di Puskesmas? Atau
di FKTP swasta, misal di praktik si A itu amsih 1000 beda sama di
puskesmas kan biasanya udah puluhan ribu itu juga ada pertimbangan?
Artinya melihat kondisi masyarakat yang sangat antusias menikmati proses
ini

T : Enggak. Jadi kami lihat nya persen. Kalau persen kan lebih objektif ya.
Kalau jumlah apsti lebih banyak puskesmas. Menurut kami persen lebih
objektif dari pada penilaian jumlah. Seperti angka kunjungan, kami lihatnya
rate. Jadi perseribu orang. Kalau rujukan kami lihatnya persen. Artinya itu
lebih objektif dibanding kita lihat jumlah

P : Kalau selama ini kendala di BPJS sendiri tentang menyeimbangkan


bagaimana masyarakat ini juga bisa diedukasi dengan FKTP nya itu
kebanyakan kemana?

T : Kalau edukasi ke pesertalebih ke arah kepesertaan ya. Sosialisasi ke peserta


kami lakukan, ke FKTP juga kami lakukan , kami sama – sama bergerak
kok. Kami ke FKTP , kepesertaan ke peserta langsung. Kami tetap berupaya
untukmemberikan edukasi, menyamakan persepsi, baik dari FKTP maupun
125

peserta. Memang kondisinya lebih kendala diarah peserta, kalau FKTP jelas,
saya undang mereka datang. Tetapi peseta ketika diundang , contoh aja
pertemuan RT aja, mereka tidak semua datang. Artinya lebih berat
dipeserta, apabila kita mau menyampaikan sosialisasi persepsi, tidak semua
tersampaikan ke peserta, jangankan peserta FKTP aja mungkin yang tau
cuma kepalanya aja bawahnya juga ga tau

P : Kepesertaan kan itu menentukan jumlah kapitasinya, kalau itu dasar


penentuannya apa?

T : Kalau itu dasarnya adalah dari peserta, dia milih mau terdaftarnya dimana
jadi diformulir pendaftaran ada pilihan FKTP mana, artinya dasarnya
pemilihan peserta, bukan kami. Dia memilih artinya tidak pakai konsep
wilayah lagi, kalau saya rumah nya di teluk, mau FKTP di sokaraja boleh –
boleh saja, artinya bukan kami yang menentukan, itu dasarnya pilihan
peserta sendiri

P : Berarti prosedurnya FKTP mengajukan ke BPJS sebagai praktik A jadi


FKTP, ketika oke,

T : dai akan satu per satu peserta daftar ga langsung banyak

P : Jadi bisa misalnya saya dokter, kemudian saya daftar jadi FKTP ternyata
yang daftar ke saya 5 pasien ya 5. Ga ada batas minimal ya bu?

T : Ya 5, ga ada. Kami bilang pada FKTP kamu mulai dari 0 lo konsekuensinya


artinya yang perlu dilakukan adalah kami sudah bekerjasama denganFKTP
kami pajang namanya, jadi bisa tau mana dokter yang terdekat dengan
rumah saya. Kami sosialisasinya lewat situ. Kami harapkan FKTP juga
berperan aktif, tidak pasif. Kalau pasif ya tidak dapat peserta tidak hanya
dari kita. Artinya tidak dia promosi, tapi misalnya dipertemuan RT dia
datang mau penyuluhan kesehatan sambil memperkenalkan diri, sah sah saja
kan dia bukan Cuma promosi, sekalian memperkenalkan diri, “saya dokter
BPJS, kalau bapak daftar BPJS bisa jadi peserta saya”. Artinya tidak semata
– mata dia itu promosi, tapi daia melakukan kegiatan edukasi,a rtinya dia
memeprkenalkan diri, kalau dia tidak memerkenal diri dia ga tau, ternyata
dokter itu melayani

P : Ga ada regulasinya?

T : Enggak. Kalau dia jadi dokter BPJS ya artinya pesertanya berdasar peserta
yang memilih. Tidak kami berikan jatah. Dari 0. Sampai sekarangpun ada
yang masih 0. Karena dia ga aktif. Peserta ga kenal karena dia ga guyub
dengan lingkungannya misalkan. Ga bersosialisasi. Biarpun dekat ga kenal.
Ga ada kuota
126

P : dan itu akan berpengaruh juga kepada penilaian berkelanjutan kontrak


antara BPJS dan FKTP?

T : saat ini belum . tapi nanti kita lihat. Udah kerjasama setahun kok ga ada
pesertanya, ini ada apa sih pasti kan ada hal perlu kita pertimbangkan. Baru
tahun ini ada dokter baru tapi pesertanya masih belum ada. Nanti akan kami
pertimbangkan kenapa sih dengan dokter ini.

P : tapia da juga yang dokter swasta sampai ribuan puluhan ribu?

T : Karena biasanya peserta itu kalau udah cocok dengan dokter itu, ya maunya
ke dokter itu terus woro – woro dokter itu pelayanannya bagus, dia pasti
akan cepat nambah pesertanya

P : misalkan ada FKTP , puskesmas. Kan ada yang arwat inap ya bu? Itu kan
berarti non kapitasi atau sistem klaim bagaimana mekanisme sistem klaim?

T : Setelah pelayanan diberikan baru mereka mengajukan klaim.

P : Ada semacam pengecekan?

T : ada hal – hal tidak menutup kemungkinan sudah kenal istilah fraud? Artinya
diperjalanan ini kami melihat ada fraud karena memang sejak jamannya
askes si, kami sudah melihat indikasi fraud, itu sudah kami selesaikan
artinya itu sebetulnya lebih ke arah itu. Kalau pelayanan sudah diberikan si
ga masalah kami setujui, hanya yang kami waspadai adanya fraud. Kan
hanya butuh fotokopi kartu BPJS, tanda tanga dari peserta, blangko itu kan
bsia berangkap – rangkap, saya pasien, sakit, saya sembuh, ini bukti
dirawat, suruh tanda tangan, saya bisa kan tanda tangan 3 kali misalkan
ternyata puskesmas mengajukan 3 kali, padahal saya Cuma dirawat 1 hari.
Disitu verifikasinya

P : memang ada tim verifikator nya?

T : Ada

P : kasusnya tinggi bu?

T : Fraud itu kasusnya ga tinggi tapi memang ada. Tapi kan kalau bisa jangan
ada

P : ada mekanisme

T : Tidak saya setujui .

P : atau keluar tidak penuh. Karena item nya tidak sesuai?

T : Tidak disetujui
127

P : ada konfirmasi, diberitahuan ada feedback?

T : Ada. Pasti kami konfirmasi. Kalau pun tidak, misalkan itu kan dia melihat,
awal pasti kami konfimasi kok kaya gini , berkasnya tidak lengkap kah,
kami sampling ke peserta ternyata salah, sehingga tidak kami bayar.
Harusnya puskesmas tau, misal kamu konfirmasinya ke siapa yang ngajuin
siapa gitu kan. Jadinya kadang, ya gitu. Kami sampaikan ke petugas klaim
tapi kepala puskesmas tau nya beda lagi. Ga mungkin kan kami
menyampaikan keapda kepala. Pada saat pertemuan itu kami sampaikan

P : Kalau untuk proses menseleksi mana klaim yang bsia cair atau tidak berapa
lama?

T : kalau waktu itu tergantung berapa banyak yang masuk. Banyak puskesmas
yang tidak teratur. Sebetulnya di PKS mereka mengajukan klaim tiap bulan,
tapi kondisinya adalah berapa bulan dia ga ngajuin breg banyak, saya ga
bisa mastiin berapa lama, kalau misal mau teratur aja, satu hari bisa kok
selesai hanya yang masuk ke sini kan kami kerjakan sesuai dengan urutan
masuk, misal puskesmas masuk tanggal 10 kami proses tanggal 11,
kapasitas kami terbatas . keinginan kami ingin memenuhi 15 kerja harus
sudah membayar klaim itu tapi kan kendala ya itu salah satunya, dia
klaimnya brug, diawal – awal tahun ga kami verifikasi, kami menyampaikan
feedback, tapi ga direspon alasannya ini lah itu lah, jadi pas akhir tahun brug
ya ini. Kaya gitu itu, pertugas kami hanya 2, ga bisa memastiin,tapi kami
berkomitmen 15 hari kerja kami harus sudah bayar

P : sejak klain masuk?

T : Sejak klaim lengkap. Kalau tidak lengkap kami kembalikan, artinya tidak
kami verifikasi semua, yang tidak lengkap kami kembalikan

P : berarti sudah ada ya bu ketentuan administrasi apa saja yang dibutuhkan?

T : Sudah

P : pernah ga bu ada penambahan syarat tiba - tiba?

T : pernah ada. Jadi penambahan syarat itu kan sebenarnya seiring dengan
kesepakatan antara asosiasi. Jadi tarif yang berlaku, kapiatsi, non kapitasi itu
juga kan berdasar kesepakatan asosiasi dinas kesehatan dalam hal ini FKTP.
Jadi ketika keepakatannya tingkat provinsi, bukan tingkat kabupaten kita
disepakati tingkat provinsi, identitasnya butuh A, syaratnya butuh B, pasti
kami teruskan ke FKTP, ini harus nambah ini, pasti ada dasarnya itu
kesepakatan dengan asosiasi, ya itu yang diakui memang diregulasikan
segala ketentuan. Kesepakatan itu lah yang menajdi dasar. Ga mungkin
128

kami mengeluarkan regulasi sendiri. Tapi akan berbeda setiap provinsi


karena kesepakatannya tingkat provinsi. Di jawa tengah semua sama

P : misalnya kesepakatan datangnya ditanggal 15 mei, atau misal di tanggal


kalender berjalan, sementara misalnya sudah mendekati ahri pengiriman
klaim, gimana?

T : Kalau regualsi kami berlalkukannya ke depan, tidak ke belakang. Jadi misal


ada kesepakatan abru tanggal 15, berlaku untuk bulan depan. Kami tidak
memberlakukan mundur.

P : tadi puskesmas memasukkan klaims ecara menumpuk, otomatis ebban kerja


disini menjadi tambah ya bu , gimana bu apakah mengakibatkan pencairan
terlambat?

T : Patinya. Karena kami akan proses berdasar urutan tanggal masuk. Kami ga
milih berdasar FKTP. Firts in first out lah. Ketika semuanya numpuk, pasti
ada perubahan kan, misals ehari saya mampu 4 FKTP, ketika FKTP 4
bulan, ya saya Cuma mampu 1 FKTP. Gara – gara 1 FKTP numpuk, sehari
saya Cuma mengerjakan 1 FKTP. Pasti ada pengaruhnya. Sebenarnya udah
ada komitmen perjanjian tapi dilapangan ya seperti itu

P : Rata – rata keluar klaim selama ini ebrapa lama?

T : 15 hari kerja. Tapi yang lengkap lo ya. Yang ga lengkap tak kembalikan
lagi. Makanya kami minta tiap bulan diajukan.di kami,kan kami ada laporan
pencairan klaim ke presiden, kalau dipisah yang sudah lengkap duluan, jadi
ga akurat data nya. Kami menuntut adanya tertib administrasi. Yang belum
lengkap kami kembalikan

P : terkait syarat pengajuan klaim, apakah FKTP perlu menyertakan kwitansi


sendiri?

T : Ya iya. Karena kami kan bayar. Bayar ya harus ada kwitansi.

P : FKTP nya itu menyiapkan kwitansi kosong?

T : ga kosong, di tulis aja dari FKTP nya

P : Nanti kalau terjadi perbedaan gimana bu?

T : perbedaan itu kalau lebih nanti akan kami kembalikan. Ga mungkin kan
kami membayar misalnya harusnya 1000 tapi setelah di verifikasi ga kok
harusnya aku bayar 1500. Ga mungkin saya pakai kwitansi itu. Saya
kembalikan.

P : berarti kalau kebalikan juga ?


129

T : Kalau itu ga perlu digantti. Kalau kurang ga masalah kami coret, tapi kalau
misalkan lebih itu, dari keuangan ga mau.

P : Jadi kwitansi?

T : Minimal sama. Kalau dibawah kami coret, kalau diatas dicoret

P : tapi memang wajib ditulis dan ditentukan jumlahnya bu?

T : ya. Yang menurut dia

P : Sistem klaim pakai paket?

T : Ga pakai ICD9 atau ICD 10 seperti dirumah sakit?

T : Iya paket
Lampiran 10

Transkrip Wawancara Triangulator 2 (Bapak A)

P = Peneliti

T = Triangulator

P : Pak sebenarnya fisolofi BPJS itu gimana sih pak?

T : Filosofi BPJS itu kan sebenarnya terjadi konsepnya solidaritas sosial,


filosofinya solidaritas sosial, dimana solidaritas sosial itu prinsipnya yang
kaya membantu yang miskin, yang produktif membantu yang tidak
produktif, yang muda membantu yang tua kemudian yang sehat membantu
yang sakit, ini prinsipnya subsidi silang kan, dimana dengan BPJS tersebut
kegotong royongan untuk membiayai pelayanan kesehatan secara bersama
– sama terjadi disitu. Ada rasa kepedulian seseorang bahwa permasalahan
kesehatan, kebutuhan pelayanan kesehatan itu bukan hanya tanggung
jawab dari individu – individu tapi tanggung jawab bersama, bentuknya
apa? dalam bentuk pembayaran premi. Itu sebenernya prinsip dasar atau
filosofi dari BPJS.

P : Kalau untuk goalnya sendiri dari BPJS itu apa pak?

T : Goalnya sama, meningkatkan drajat kesehatan masyarakan kan


sebenernya, khususnya bagaimana masyarakat bisa menggunakan fasilitas
pelayanan kesehatan tanpa hambatan keuangan atau finansial, tujuannya
itu tapi tujuan utamanya ya itu meningkatkan kesehatan masyarakat kan.

P : Dilihat di lapangan ya pak, kita sering melihat masih ada kekurangan


dalam implementasi JKN oleh BPJS, misal dalam hal itung – itungan, itu
kadang masih kurang, atau tidak sesuai sama kebutuhan dilapangan, itu
bagaimana menurut bapak, terutama dari pihak provider atau dokter nya
pak?

P : Kalau itu teknis ya, kaitannya dengan kebutuhan standar biaya. Kalau
pelayanan kesehatan dengan jenis tindakan, prosedur atau diagnosa
tertentu, maka akan ada konsekuensi yang harusnya secara ekonomi
menutupi biaya pelayanan kesehatan tersebut. Kalau lah kita spesifik,
clinical pathway, berarti clinical pathwaynya diikutin terus kan, dan setiap
masing – masing clinical pathway punya konsekuensi, kaitannya dengan
modal kan, sumber daya baik itu peralatan, obat, tenaga SDM nya
nakesnya, itu kan punya konsekuensi, kalau teknisnya adalah berarti kan
seberapa besar kah BPJS mampu memenuhi ekspektasi untuk penyedia
pelayanan kesehatan sehingga kebutuhan tadi , untuk operasional itu bisa

130
131

terjadi. Permasalahan itu bisa terjadi karena mindsetnya berubah, yang


dulunya fee for service, yang dulunya ada pelayanan dibayar tunai, selesai.
Standar yang menetapkan provider sendiri. Sekarang berubah kan. Pre
payment, berarti pra bayar. BPJS sudah menetapkan kalau di rumah sakit
grouping, INA CBGS’s, kalau kapitasi di PPK 1. Artinya sudah ditetapkan
budget tertentu dengan hitung – hitungan tertentu, sejumlah ini, apakah
ppk mau tidaksesuai tidak, ppk harus mengikuti kan, tidak lagi fee for
service, apa yang dilayani , apa yang dibayarkan, ini yang menyebabkan
adanya gap. “Loh kok seperti ini”.Jadi mindsetnya berubah kan, nah
mungkin ini yang terjadi di lapangan.Tetapi saya yakin tidak semua ppk
seperti itu, banyak yang merasa lebih suka. Ada yang oke. Karena hasil
penelitian kita di rumah sakit di W, mereka merasa tarif rsud di bawahnya
tarif BPJS, dan mereka merasa nyaman dengan tarif tersebut.

P : Terkait clinical pathway pak, itu masih dari masing – masing provider, apa
sudah ada yang diatur secara nasional, atau terstandar secara nasional?

T : Belum ada. Salah satu akreditasi rumah sakit kan sudah harus punya
clinical pathway kan, ada yang udah berhasil ada yang belum. Ada
beberapa rumah sakit yang sudah duluan menyusul itu. RS M juga belum
kan. Kendala clinical pathway, untuk terapi yang standar kalau ada
komorbiditas atau penyakit penyerta harus di tangani juga kan. Itu
pertimbangan. Belum ada kesepakatn clinical pathway secara nasional
kalau ada kita sudah seperti negara negara lain.

P : Wacana pembuatan Clinical pathway sudah ada pak?

T : Wacana sudah ada, beberapa rumah sakit kan harusnya ada kan untuk
kaitannya dengan standar.

P : Dari BPJS yang mengatur dana sendiri belum ada pak?

T : Dari BPJS juga belum ada, belum sampe situ. Tapi saya yakin masa depan
kita akan jelas, ukurannya jelas, standarnya jelas. Lebih mudah
memonitoring kualitas pelayanan.

P : Tapi kemarin kabarnya BPJS deficst ya pak?

T : Betul, klaim rasio sampai 103%. Berarti ada 3 % lebih kan. Itu juga
menjadi PR.

P : Tapi jadi ada wacana untuk peningkatan premi kan pak karena hal itu?

T : Ada wacana artinya karena tadi dianggap klaim rasionya diatas 100%,
maka dianggap BPJS rugi, dan secara sebenernya hitungan aktuarial, real
nya kita belum jelas ya.Gini dek, tarif untuk pelayanan kesehatan tidak
132

sama, sepakat gak? Karena apa? Perda kan. RSUD RSUD berbeda perda
nya. Jadi mungkni banyumas, purbalingga, cirebon beda. Pergubnya juga
beda kan. Itu yang tidak standar. Clinical pathway ribut sendiri kan. Saya
yakin belum selesai untuk itu, PR masih banyak. Sehingga untuk
menghitung aktuarial mungkin ga? Karena presisi aktuarial itu kan jelas
prosedurnya, jelas tatalaksananya, jelas clinical pathwaynya, jelas
resources yang dibutuhkannya kan. Kalau itu sudah standar kita akan lebih
mudah, aktuarill nya mencapainya lebih pas kan. Itu yang di rumah sakit,
kalau yang di rawat ppk pertama, itungannya kapitasi kan, utilisasi, saya
pernah tau beberapa penlitian di puskesmas, malah ada utilisasi yang
komplitkan, sehingga aktuarialnya masih perlu perbaikan. Sehingga ketika
ditetapkan X tertentu, akan mempengaruhi. Kemudian , ini sudah proses
politis kan. Ketika para ahli menetapkan aktuarial nya misal, normalnya
yang menerima bantuan iur preminya itu 27ribu, berarti kalikan aja kan,
yang tadinya 19ribu, jadi jadi 27 ribu, berarti kali kan aja kan ajdi berapa
trilyun, masuk ke kas negara, mampu gak? Bilangnya fiskal space kan,
kapasitas fiskal, “kami tidak akan mampu” Dulu gitu kan tarik ulur.
Karena anggarannya anggaran negara. Kendala teknis perhitungan
aktuarial , mohon maaf negara berkembang kan. Kemudian masuk ke
ranah politis , usulan pemerintah masuk ke DPR, DPR yang mengetok,
setuju gak. Turun nya juga pasti akan berbeda. Mau tidak mau akan
dilaksanaka. Terus secara konseptual juga, BPJS wajib atau tidak? Wajib
kan. Semua sudah masuk belum? Siapa yang sudah jelas masuk? PNS ,
militer, terus yang belum siapa? Masyarakat pertengahan. Tapi yang mau
masuk rata – rata sudah sakit kan. Sudah di ajari pak J kan, konsep
asuransi kesehatan apa? Adverse selection kan. Orang yang sakit
cenderung ikut asuransi. Kenyataannya sekarang yang banyak sudah
masuk itu, mohon maaf mereka yang tua, lansia, sakit – sakitan. Yang
sehat pada mau gak? Banyak yang belum kan. Iya kan? Yang terjadi
adalah adverse selection. Jadi yang masuk anggota kelompok yang sakit –
sakit. Dulu pernah dibahas, kalau tidak diwajibkan sekarang, karena alasan
susah inform? Bagaimana? Nanti pasti terjadi adverse selection kan?
Bener kan sekarang, yang masuk yang tua yang kronis dan macem macem
yang membutuhkan biaya pelayanan yang besar. Apa yang terjadi?
Berarti mereka menggunakan pelayanan kesehatan yang banyak kan?
Yang sehat apa? Pada lari kan. Jadi tidak ada subsidi silang kan. Yang
terjadi apa? Klaimnya bengkak. Buffer mereka ga nyampe. Mereka bilang
buffer mereka 3,9 trilyun, kenyataannya jebol kan. Mereka menyampaikan
sekita 3,9 sekian trilyun kan anggaran premi yang dikumpulkan, dengan
konsep ini pasti adverse selection yang masuk. Yang kronis tua dan
sebagainya. Bener, yang masuk kronis tua dan sebagainya kan. Mereka
bilang kita punya buffer 3,9 trilyun, tapi tetep jebol kan. Jadi secara
133

konseptual, terkandala di adverse selection, Kalau wajib harusnya secara


mandatory. Tapi proses mungkin ya.

P : oya pak, ngomong – ngomong amsalah pembiayaan juga pak, untuk


perbedaan kelas, pembayaran premi kelas 1, 2 dan 3 itu kan berbeda,
sebenarnya untuk standar pelayanannya itu seharusnya sama atau tidak ya?

T : Saya tanya sama anda harusnya, gimana harusnya sama gak? Hahaha.

P : Harusnya sama pak. Tapi kalau dilihat secara teknis, bagaimana pak?

T : BPJS memang dibeadakan berdasar kelas, termasuk preminya, karena kan


berdasarkan perda kan membedakan, termasuk jasmed beda. RS M
membedakan lo, jasmed VIP sama yang kelas 3 dibedain. Pak H yang
bilang. Premi nya beda, karena kaitan dengan kelas perawatan. 25, 42, 59.
Dibedakan karena fasilitasnya berbeda. Kemudian makanannya berbeda,
sehingga di kelas kelaskan. Tapi mereka menyatakan bahwa standar
pelayanannya sama, terapi nya sama. Sama dilakukan. Tetapi realitasnya
kok berbeda ya? Tapi menurut saya standarnya sama, dokter kayaknya ga
mungkin membedakan. Sudah ada INA CBG’s nya lah. Fornas juga sudah
ada, harusnya sama. Hanya mungkin persepsinya berbeda – beda kan.
Mohon maaf, misal visit dokter ngantri lewatnya VIP dulu kan, baru yang
terakhir kelas 3, ngantrinya dapat gilirannya lama kan. Tapi menurut saya
untuk standar harus gak dibedakan. Hanya mungkin jadinya ada persepsi
yang kurang baik, karena fasilitas. Kalau standarnya harus sama. Ga
mungkin “wah ini pasien PBI”, jadinya gak di apa – apain, hanya menurut
saya masalah fasilitas. Itu yang menyebabkan seperti itu. Persepsi
masyarakat seperti itu.

P : Oke pak. Kalau untuk penghitungan premi, sebenarnya dari mana pak
muncul angka segitu? Apa beneran angka segitu cukup untuk menutupi
kebutuhan pelayanan kesehatan?

T : Angka itu saya ga tau asal nya dari mana, tapi itu hitung – hitungan
aktuarial kan. Artinya kelas 3 25, hitung – hitungan kan, ada betapa bad,
ada berapa yang disubsidi gitu kan, kebutuhan operasional berapa, nanti
ketemu 25, 40, sampe 59ribu. Tetapi menurut saya kok agak naif ya, yang
dibutuhkan bukan standar fasilitas kan, tapi kebutuhan pelayanan
kesehatan kan. Itu yang menurut saya kok hitung – hitungannya kok bisa
jadi begitu gimana, mereka jadi membagi berdasar kelas perawatan,
padahal bukan itu kan, yang dibutuhkan operasional penatalaksanaan, dari
pasien sendiri. Dan kemudian menurut saya sangat regresif kalau dalam
pembiayaan kesehatan, kalau modelnya 25, 40, 59, mungkin secara
adminitrasi mudah, karena tidak menghitung, ya udah aku pengennya ini
134

ini, tapi secara pembiayaan regresif, karena sebenernya kan yang kaya
bayar nya murah sekali kan. Tapi secara aktuarial mereka menetapkan itu
pasti ada alasan perhitungan.

P : Kalau perhitungan untuk PPK1 pak, missal kapitasi nya 8.000 untuk dr
swasta, itu angkanya muncul dari mana pak?

T : Perhitungan 8.000, kenapa diberikannya 8.000? Biasanya dari utilisasi.


Kita hitung utilisasi, pelayanan kesehatan kan per kapita, ada hitung –
hitungan, ppk q maksimal berapa persen utilisasi, maksimal 25 ribu dan
sebagainya, Nanti kita hitung jenis pelayanan yang di tanggung ppk 1
berapa, kemudian unit cost nya berapa, nanti ketemu, ppk 1 layaknya
sejumlah ini. Kalau itu lebih mudah. Ppk yang cuma rawat jalan memang
biasanya cukup. Karena tadi yang jadi peserta yang sakit sakit, saya yakin
kalau pesertanya naik, nanti beda yang masuk.

P : Sebenarnya siapa saja pak pembuat keputusan di dalam BPJS ini?

T : Yang berkarir di BPJS banyaknya dokter lo dek. Direktur nya aja dokter.
Dari dulu direkturnya dokter. Direktur pelayanan medis dokter. Kecuali
keuangan ekonomi. Jadi rata rata orang – orang yang tau pelayanan
kesehatan tapi sudah tau pendidikan mengenai asuransi kesehatan.
Menurut saya masalahnya banyak, bukan di BPJS nya, tapi ketika sudah
masuk ranah politis sudah sangat kompleks, karena keputusan bukan
hanya operasional, BPJS kan hanya pelaksana saja. Dia mengikuti apa
yang ditetapkan pemerintah sebagai regulator. Saya tidak akan
menyalahkan BPJS nya, tapi regulatornya. Ketika bicara regulator, bukan
Cuma orang kesehatan saja kan. Regulator utamanya siapa, kementrian
kesehatan kan, kementrian kesehatan ketemunya sama siapa? DPR RI kan.
Ketika disitu politis menurut saya, bukan hanya dokter saja. Saya yakin
grand design kita sudah baik untuk menetapkannya. Cuma emang
operasional dilapangannya. Permasalahn itu kan bukan hanya diselesaikan
dengan uang, premi.Tapi fasilitasnya, infratsrukturnya, informasi yang
baik sehingga kita bsia melakukan aktuarial yang baik. Di kesmik center
nya departemen kesehatan kan ada yang menetapkan tarif dan sebagainya
kan, grouping nya sudah dikembangkan. Tapi ketika menentukan nominal
boot dan sebagainya kan butuh data sebenarnya. PR nya banyak untuk
memperbaiki infrastruktur tadi, supaya kepuasaan baikprovider atau
penerima pelayanan terpenuhi.Tapi saya lihat BPJS hanya operator
saja.Tapi kebijakan rule nya, ada di kementrian kesehatan masuk ke DPR
RI dan itu sudah masuk urusan politis.

P : Pengawasan BPJS sendiri pak?


135

T : Ada pengawasan DJSN, di awasi KPK, kemudian OJK (otoritas jasa


keuangan), kemudian Irjen. Hanya ya itu tadi, infratruktur belum berjalan
dengan baik. Contohnya medical reviewer belum berjalan dengan
baik.sudah digagas tapi belum berjalan dengan baik. Contoh yang ada kan
verifikator saja untuk urusan klaim, siapa verifikaotr? Siapa saja tenaga
kesehatan yang bekerja disitu dan mengikuti grouping INA CBG’s, fornas
nya apa ini ini ini.udah masukin aja kan, sesuai gak, udah selesai Tetapi
pernah kah direview secara kualitas bahwa terapi yang diberikan rumah
sakit sudah standar atau tidak? Terjadi fraud tidak? Ada memang harus
ada. Tetapi ini mungkin proses juga di BPJS. Jadi ada medical review
board. Untuk memantau baik kualitas, baik besarnya klaim, jadi
nantikelihatan mana rumah sakit yang curang, kerjaanya upcoding , nanti
keliatan. Bilangnya upcoding terus. Tapi kan prosesnya ga cuma disitu aja,
tuags pemerintah apa? Menyediakan fasilitas gak? Memenuhi sarana
prasaran gak? Jumlah dokternya memenuhi gak? Contoh mohon maaf,
banyak kasus masuk RS M, tapi fasilitas di RS M ga ada, padahal RS M
ga boleh nolak kan. Misal cancer atau apa. Apa yang terjadi? Mungkin
undertreatment bisa terjadi kan. Tapi pernah kah direview? Sepakat gak?
Pernah kan direview kualitas dan penatalaksanaannya? Menurut saya
harus berimbang, regulator juga harus bermain dalam penyediaan
pelayanan kesehatan, bukan serta meta BPJS saja.

P : Yang meriview sebaiknya dari pihak mana pak?

T : Yang meriview, bisa internal dan eksternal. Harusnya BPJS punya itu.
Dulu konsepnya ada sih, ada seperti itu, di tingkat level tertentu dia
mengamati, kayak penelitian, sampling rs tertentu. Ttapi kan trendnya
selalu diikuti mana rumah sakit yang biasa saja tapi kodingnya tinggi, ini
ga punya fasilitas ini kok pasiennya kesini, ada apa kan? Dia ga mau
merujuk dan sebagainya, ada apa kan? Nah ini menurut saya yang perlu di
lihat, berkaitan dengan kualitas, cost, kendali biaya dan sebagainya.
Sehingga keliatan fair nya. Yang kemudian berkembang terkait
pembiayaan bukan hanya kapitasi dan INA CBG’s saja, ada model
pembiayaan lain yang lebih sesuai. Contohnya payment for nursing,
payment for drugs, payment for peformance base, itu berkembang, tapi
mungkin nanti second generasi BPJS. Jadi nanti akan berkembang global
budget. Jadi nanti akan dipilih payment apa yang paling sesuai dengan
rumah sakit x y, dan lainya, nanti akan berubah tapi menurut saya generasi
kamu lah dan lainnya yang mengembangkan itu yang lebih sesuai untuk si
dokter itu, misalkan payment for outpatience sendiri, berkembang sendiri.
Nanti model klaimnya akan berbeda, family doctor sendiri sendiri. Tapi
memang paling mudah kapitasi saat ini kapitasi. Semua sistem asuransi
kesehatan yang pertama digunakan adalah kapitasi, karena lebih mudah,
136

praktis. Secara adminitrasi paling mudah. Karena jelas kan per kepala
berapa, ini sudah selesai kan. Risiko juga ada di PPK, padahal tidak hanya
itu kan modelnya. INA CBG’s mending, dari pada dulu pake tarif,
sekarang kan pakenya diagnosa. Sebenernya kuncinya clinical pathway,
itu sudah standar sudah oke kita sudah mudah mengamati, bener ga
standarnya Tetapi nanti akan berkembang saya yakin. Harus banyak ada
perbaikan. Karena baru setahun. Permasalahan yang dihadapi negara kita
kan tidak mudah , taiwan kecil, eropa itu kecil – kecil lo, ngurus satu
kalimantan lebih mudah dari pada ngurusin kita yang ketimpangannya
besar dan sebagainya. Negara negara lain itu kecil kecil, jepang ya kecil,
kita sudah wilayahnya kacau , kepulauan , penduduknya besar, tingkat
ekonominya rendah, ya wajar lah kalau sampai saat ini infrastrukturnya
masih perlu perbaikan, bukan berhasil atau tidak berhasil tapi ya wajarlah
ini proses menuju kebaikan.

P : Oya pak, kembali lagi, ke adverse selection, Justru yang rentan sakit itu
yang daftar , BPJS sendiri member solusi apa?

T : Solusi nya sekarang window period. Kamu bisa menggunakan setelah 14


hari atau 2 minggu. Kita daftar ga bisa langsung digunakan.Itu untuk
mengatasi itu, supaya orang itu bertanggung jawab, bukan hanya pas butuh
saja. Di negara lain bahkan ada yang 1 bulan lo window period nya.
Window period ini untuk menghindari adverse selection nya. Untuk
menumbuhkan kesadaran, ojo enake sendiri. Jangan enaknya sendiri.
Konsep solidaritas yang kaya bantu yang miskin , yang sehat bantu yang
sakit supaya berjalan. Jangan sampai saya akan ikut kalau saya sakit.
Seenaknya sendiri, salah satunya solusinya window period, yang kedua
wajib mau ga mau ikut. Itu mengapa ada window period.

P : Ya pak. Saya pernah mendengar, bahkan ada pasien yang complain


dengan window period ini pak. “saya daftar, tapi gak bias langsung
dipake”.

P : Banyak yang komplain. Orang kita tu mohon maaf, kita pengennya tu


enaknya sendiri. Mental kita sudah terbentuk. Kita ideologinya pancasila,
keadilan sosial, solidaritas, sebagainya tapi apakah benar – benar tumbuh
dalam diri kita rasa solidaritas? Tidak yah. Kita sangat individual.
Mungkin yang sehat mikirnya, “ngapain asuransi saya ga tertarik” bener
ga? “Wong saya masih muda ngapain saya ikut BPJS kesehatan. berarti
uang saya yang sehat dimakan sama yang sakit” ya kan? Mindsetnya
masih seperti itu. Kalau neuronomik ilmu yang berkembang itu , seberapa
peduli kah kamu secara sosial dalam diri kamu ? Kan ada pertanyaan
pertanyaan seperti itu, seberapa pedulikah kamu? Ini yang harus
137

dikembangkan dalam diri kita. Bahwa kepedulian sosial kepada orang lain
itu penting sekali untuk mebangun negara kita ,membentuk sistem.
Bahkan negara negara yang maju, solidaritas sudah tumbuh sejak muda
kan, ada yang namanya time bank. Time bank itu anak anak muda itu
akanbanyak bekerja di social worker, pekerja sosial karena apa, kalau
kamu bekerja masuk disitu , berapa kali kita melayani. Misal saya muda,
kamu muda tapi kita sudah punya prinsip time bank, kalau kita mau
menjadi sukarelawan, mau membantu lansia, maka kita akan dicatat ,
ditabungkan kita sudah membantu lansia ini di panti jompo ini selama
berapa jam, sehingga ketika saya tua saya akan memperoleh tabungan saya
berupa ditolong oleh anak – anak muda berikutnya. Itu konsep sangat
solidaritas yang sangat, bahwa kita itu peduli karena saya membantu
sekarang dan besok saya akan dibantu. Harusnya ditumbuhkan seperti itu
kan solidaritas, sehingga saya bayar premi ini nanti kalau saya tua sudah
tidak berpendapatan , pensiun maka saya akan dibantu oleh anak – anak
cucu saya dan generasi berikutnya yang akan membayar premi. Itu yang
harus ditumbuhkan menurut saya. Makanya itu, kalau kita masih
individual egois ya itu saya akan mendaftar ketika saya sakit, sehingga
saya bisa menggunakan. Bener ga? Makanya kasih window period. Untuk
apa? Supaya mereka sadar ini bukan hanya kepentingan lu saja, tapi
kepentingan bersama kan.

P : Kompleks ya pak.

T : Kompleks kan? Makanya tidak bisa dipandang hitam putih menurut saya.

P : Oya pak, dana yang masuk ke BPJS dari premi itu, seutuhnya untuk
proteksi sakit atau pelayanan kesehatan saja? Atau memang untuk
operasional BPJS juga?

T : Ya jelas dong. Untuk operasional BPJS juga. Perhitungan premi itu kan
untuk pelayanan kesehatan , promotif preventif kuratif rehabilitatif tapi
ada overhead juga kan. Cuma standar social insurance di dunia itu
harusnya overhead cost atau operasional cost itu dibawah 5%.xTetapi
sayangnya negara – negara maju itu sudah bisa karena infrastruktur nya
sudah baik, sistemnya sudah baik sehingga bisa. Coba infrastruktur sudah
baik, medical record sudah oke mereka pake chip, kemana – mana juga tau
kan, BPJS juga mantau ini inikemana saja kan, kemudian dari sisi
pelayanan kesehatan, dokternya tau kan track recordnya ke rumah sakit x
dokter x terapi yang diberikan , tinggal mengikuti. Makanya mereka bisa
overhead cost dibawah 5%. Tapi saya rasa susah, kita dibawah 10% saja
sudah hebat. Kita tinggi. Tapi memang itu wajar dek overhead cost itu
138

memang ada, tapi standar social insurance secara internasional di bawah


5% dari toal biaya yang terkumpul.

P : Oh gitu pak. Saya mau nanya lagi pak, tentang pengurangan penurunan
dana dari atasan, pemerintah?

T : Oh itu kapasitas fiskal, aktuarial kalau ga salah dulu menetapkan 29 atau


30 lupa saya, tetapi ketika dimasukkan ke pemerintah kan dihitung siapa
yang berhak menerima, dikalikan ketemu berapa trilyun, ketika masuk
dipembahasan itu akan berbeda lagi kan. Ini misalkan, aktuarial
mengusulkan ke DJSN, DJSN mengusulkan ke pemerintahkan , sekian
trilyun , 19 setengah dikali 96juta ketemu berapa trilyun kan, dulu hitung –
hitungannya kan bukan segini, sekitar 27 atau berapa ya saya lupa, lebihd
ari ini tapi hitungannya sangat besar, setelah di ajukan ke pemerintah,
pemerintah kan bukan Cuma masalah kesehatan kan, maka dia akan bilang
kapasitas fiskal, seberapa ruang kah sebenarnya untuk sektor kesehatan
ini, makanya dulu ada dalam undang – undang kesehatan bahwa seberapa
persen dari APBN, 10% dari APBN, standar nasional nya adalah 5% dari
GDP. Ini usulan dari kementtrian kesehatan, semua dari BPJS dan
program program lainnya masuk ke pemerintah kan jumlahnya banyak,
fiskal space kita tu ga banyak berpengaruh karena sektor lain juga kan
mengajukan. Kita tu close budget namanya, close budget tu apa? segala
keputusan nanti masuk secara politik , ya pertambangan, ya infrastruktur,
masuk jadi satu jadi RAPBN, nah itu kan idbagi – bagi rebutan.
Infrastruktur berapa, ini berapa, ini berapa termasuk kesehatan. Lah usulan
ini dengan adanya aturan ini ga terpenuhi kan, kalau dari GDP aja Cuma
2,3 %, kalau dari APBN dibawah 10%. Yang terjadi adalah usulan ini,
fiskal space ini ga cukup karena untuk sektor lain, akhirnya pemerintah
mampunya ngasih 19 setengah, ini hasil darapt dari DPR RI kan. Ini
sifatnya udah politis, politis banget. Proses politis banget ini.

P : Pemotongan dana ini, memerhatikan akibat untuk kualitas pelayanannya


atau tidak pak?

T : Harusnya mempertimbangkan tapi ya gimana mau ga mau sih fiskal space


kita segini. Saya yakin sangat potensial mempengaruhi kualitas pelayanan
kesehatan. Ya jelas berpengaruh dong. Konsep kita orang – orang
kesehatan, bahwa pelayanan kesehatan harus available, accesable,
afordable, berkualitas. Sekarang gini masyarakat sekitar purwokerto
mereka yang tarafya ga begitu kaya, terus mereka punya kasus tertentu
yang RS M ga mampu, mau kemana mereka , ya gratis saya yakin, tapi
kalau harus keRS S atau ke bandung RS H, berapa pengeluaran mereka,
Ini bukan masalah BPJS saja, tapi kaitan juga dengan kementrian
139

kesehatan, kaitan dengan penyedian fasilitas , SDM dan sebagainya. Jadi


menurut saya sangat berpengaruh, saya yakin berpengaruh. Kemudian
jangan liat di purwokerto ya, tapi di luar jawa , bayangkan fasilitas
pelayanan kesehatannya susah, saya malah curiganya jangan – jangan
anggaran untuk mereka itu dimakan oleh orang – orang jawa lo. Bisa
terjadi ga? Sekarang gini, mereka sakit, mau kemana hayo? Mau ke jawa?
Purwokerto aja seperti ini. Saya yakin, sebenarnya kan dari 96juta ini kan
bukan hanya orang jawa kan, memang sebagian besar orang jawa, tetapi
banyak juga yang dari luar jawa kan. Tapi fasilitas pelayanan kesehatan
mereka adekuat ga, jangan jangan ketidakadilannya itu orang jawa makan
preminya orang luar jawa. Mereka sakit tetap di rumah kan. Wong jauh di
pucuk gunung, di kepulauan yang kecil – kecil, mana bisa mengakses. Ya
kalau bilangnya ini ga cukup, ya ga cukup tapi ada faktor lain, pemerintah
sebagai regulator penyedia pelayanan kesehatan fungsinya bagaimana
untuk mengatasi ini. Jadi sekali lagi health insurance bukan obat mujarab
segalanya. BPJS hanya kasir kok. Sistem aja kan. Goalnya meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat, tapi sebenernya progres kita sudah cukup
bagus , saya tanya mana negara yang mampu mengcover sebanyak 140
juta penduduk? Eropa jerman aja penduduknya 80 juta dengan kapasitas
fiskal yang besar. India mereka punya rsby model jamkesmas , dia
mengcover lumayan juga banyak, tapi belum bisa menuju seperti ini, cina
tengah jalan berhenti, balik lagi ga asuransi kesehatan nasional. Kita satu
tahun lo BPJS menurut saya cukup. Jangan bandingkan dengan taiwan,
tailan, malaysia singapura, sepakat ya. Jumlahnya sedikit. Kita cukup baik,
kalau ini berjalan dengan baik bisa menjadi contoh dunia. Dengan jumlah
populasi yang besar bisa menuju universal health coverage , meskipun
perjalanannya butuh jangka panjang. Indikator MDG, bahkan studi terkini
SDKI 2012, angka kematian ibu meningkatya dari 2007.Yang dari 259
jadi 36 sekian. Ya meningkat kejelakannya. MDG’s kita masih bertarung
debatable, kenapa si kita ada jampersal, jamkesmas, malah naik lo. Karena
kan permasalahan bukan penyedia pelayanan fasilitas kesehatan saja kan,
kaitanya dengan fertilitas, growth rate, angka pertumbuhan kita meningkat
kan, kemudian itu menjadi faktor yang besar, semakin banyak anak
potensial kematiannya akan tinggi, kemudian bisa juga dulu under
reported tapi setelah ada jamkesmas jampersal jadi tereported dengan baik.
Atau memang pelayanan kesehatan kita gagal melakukan pelayanan
keehatan. Itu jadi debatable kan. Itu jadi PR besar Tapi salah satu indikator
MDG’s kan universal health coverage kan. Selain indikator derajat
kesehatan lainnya.

P : Berarti kalau dari bapak sendiri optimis dengan masa depan BPJS ini
sendiri?
140

T : Saya optimis tapi tidak overconfidence dengan 2019 , saya pesimis dengan
2019 karena negara – negara lain baru 20 – 30 tahun bisa mencapai
universal health coverage, kita kok Cuma 5 tahun, saya kok sangsi dengan
waktu 5 tahun ini. Tapi saya optimis kalau ini berjalan dengan baik akan
bagus untuk berkaitan dengan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan.
Kalau timing , scejul, saya kok pesimis. Overconfidence kayaknya
pemerintah. Tapi saya kan akademisi ya, bukan pembuat kebijakan. .
Overconfidence kayaknya pemerintah. Susah nya sektor informal ya, wong
sektor formal aja masih sibuk masalah COB kan, apalagi informal.
Infrastruktur perpajakan kita lemah, kemudian tadi fiska space kita rendah,
di negara lain di mulainya dari ada yang 100% disubsidi , ada yang 50%
disubsidi atau 25% di subsidi sampai tidak sama sekali disubsidi, itu untuk
sektor – sektor informal yang tadi, yang ATP nya dibawa range , sehingga
mereka wajib disubsidi. Sektor informal ini , mereka yang tidak kaya dan
tidak miskin yang income nya tidak menentu itu jadi kendala. Kemarin
sempet dibahas katanya, ada konsekuensi gini, kalau perpajakan kita baik,
orang mau bener bener bayar pajak baik, maka dari pajak itu bisa masuk
untuk premi, tapi sampai sekarang belum ada gembar gembornya
gimana,tapi itu butuh infrastruktur pajak yang baik lo de, hanya sekali lagi
secara undang – undang kita tidak seperti itu, undang – undang BPJS
SJSN kita tidak berbasis pajak. Itu harus dikaji ulang lo, apa secara
peraturan boleh modelnya perpajakan. Secara undang – undang karena kita
berdasar premi buka tax base. Gini, sekarang 25,42, 59. Berarti logikanya
orang yang kaya milih 59 kan. Saya yakin. Yang sedang 42, yang gak kaya
25. Tidak fair secara aktuarial karena apa, berarti yang kaya yang
pendapatannya 10juta, 100juta Cuma bayar 59. Kalau pajak kan tidak,
aturan pajak tax base kan berarti 5%, 7% da sebagainya. Misal ya kita
pakai 5% untuk asuransi kesehatan, maka yang 100 juta kena 5%, yang 10
juta kena 5%, fair secara aktuarial. Jadi progresif, semakin kaya dia , sama
prosentasi yang dibayarkan tapi beda jumlahnya. Fair secara aktuarial,
karena apa? Bebannya sama kan antara yang 100juta dan 10juta kan. 5%
dari 100juta? 5juta 5% dari 10 juta? 500ribu. Yang satu juta juga kena
50ribu. Fair kan. Tapi kalau ini tidak, regresif. Yang 100 juta bayarnya 59,
rngan kan. Yang 1 juta bayarnya 59, berat kan. Bebanya berat,tapi kalau
tax base tadi infrastruktur kita baikperpajakannya, progresif, bisa ditarik
5% itu akan adil dan preminya akan lebih besar.

P : Tapi lebih ribet ya pak ?

T : Lebih ribet. Karena masuknya sektor perpajakan kan. Pajak narik berapa
persen masuk, banyak tangan. Tapi negara lain seperti itu. Tidak berdasar
premi tapi pajak, yang saya tau taiwan seperti ini tapi disubsidinya ada
yang 25, 50% sampe 100% ada yang 0. Tapi mereka second generasi,
141

ribut ini. Misal ada artis yang dikita gajinya ratusan juta, atau sampe
milyaran. Masih bayarnya 60ribu , ya kan. Mereka bilang tidak fair. Yang
gajinya 5 juta harus 50ribu juga. Kalau pajak fair. Kalau 2,5 ya 2,5 semua
kan. Dapetnya juga lebih banyak. Yang kedua, Inflasi disektor kesehatan.
Yakin ga harga harga obat akan naik, karena inflasi. Rata – rata kita obat
dan bahan obatnya import, selalu inflasi. Jadi saya yakin kalau ini tidak
dikoreksi lagi dalam 3 – 5 tahun, ga akan cukup ini karena faktor inflasi.
Jadi ini perlu direvisi dalam kurun waktu tertentu untuk menghadapi
inflasi disektor kesehatan. Inflasi bisa karena faktor itu, atau karena
demandnya meningkat karena supply nya meningkat. Teknologi
kedokteran tidak pernah surut kan. Semakin murah apa mahal? Mahal.
Permintaan masyarakat semakin tinggi kan? Jadi kalau ini tidak dikoreksi,
pasti ribut lagi. Harus ada wacana untuk mengoreksi. Harus ada.

P : Sudah ada wacana untuk mengoreksi ini pak?

T : Saya tidak tau ada wacananya tidak karena tidak terlibat, tapi harus ada
wacana ini karena faktor inflasi juga.

P : Kalau dengan kondisi seperti ini, pak, ancaman inflasi dan deficit BPJS,
baiknya gimana menurut bapak?

T : Kalau saya si pemerintah harusnya fiskal space harus di longgarkan. Ada


beberapa skenario sebenarnya untuk meningkatkan itu. Satu, sektor
perpajakan diperbaiki, dibeberapa negara lain , PPN di naikan. Bersumber
dari PPN. Bisa dari banyak hal, pajak tidak langsung. Contoh dari kita beli
barang – barang, ada PPN nya kan, itu dinaikkan. Ada beberapa negara
model itu. Atau bisa juga dari syntax. Pajak dari rokok. Pajak rokok
dinaikkan, tapi harus larinya ke kesehatan. Karena kan konsekuensinya
kesehatan kan. Kalau menurut saya menaikkan bukan solusi karena sektor
informal aja belum masuk lo, kalau ini dinaikkan yang ada malah ribut.
Kerawanan sosial. Bisa bisa gagal. Tapi ini , fiskal space dipemerintah
dengan segala konsekuensinya harus dilebarkan. Harus di perjuangkan.
Rokok, terus makanan cepat saji, CC, karena berdasar penelitian terbaru,
jelas rokok musuhnya, tapi yang fast food piye? CC menanamkan saham
berapa trilyun? Mengancam kesehatan ga? PPN harus bermain disitu.
Disitu menurut saya. Karena apa, DM naik kan? Hipertensi naik kan? Itu
ancaman, pemanis buatan, fast food dan sebagainya. Harapannya bisa
bermain di PPN itu. Ya kan? Tapi masuk ke sektor kesehatan. Fiscal space
nya agak dilonggarkan. Sehingga tadi premi bisa dinaikkan dan subsidi
lainnya juga naik, tapi ini proses panjang, butuh politisi yang wawasannya
oke mindset kesehatannya oke perjuangan untuk sosial insurance nya
bagus, untuk memperjuangkan itu butuh proses panjang menurut saya.
142

Tapi kalau premi dinaikkan, ini bisa jadi boomerang juga, misal dinaikkan
10ribu. ATP mereka itu masih rendah, kesadaran rendah ,kemungkinan
tantangannya berat. Tapi kalau ini perjuangannya adalah top down, kalau
yang ini bottom up kan, harus dari atas dulu, fiscal space di ubah. Jadi
tidak hanya satu faktor ya dokter dan stetoskop, tapi ekonomi, politik dan
sebagainya.

P : berarti kalau defisit, dana cadangannya dari mana lagi ya pak untuk 2015
in?

T : Katanya PBI tetap dinaikkan. Kesepakatan DPR RI. Mereka gak setuju
dinaikkan, jadi PBI yang akan dinaikkan jadi 25 atau 27. Tapi saya ga tau
kesepakatan akhirnya.

P : Untuk menyadarkan masyarakat itu bagaimana pak baiknya?

T : Itu kewajiban stakeholder ya untuk menyadarkan, bukan hanya BPJS.


BPJS itu kasir. Kalau dia dibebani sosialisasi berat, itu tugas kementrian ,
regulator , dinas kesehatan, puskesmas, itu penyadaran dari pemerintah
daerah dan sektor pendidikan. Saya yakin semua dokter juga sudah
diberikan bekal ideologi pembiayaan kesehatan, ekonomi kesehatan, mau
dibawa kemana model sistem kesehatan kita. Saya gak tau apa kalian juga
diberi penguatan mengenai ideologi pembiayaan sistem kesehatan ,untuk
masa depan model pembiayaan yang baiknya gimana. Setiap dokter kan
pasti ada pro dan kontra. Tapi kalau semenjak kuliah sudah dicuci otak
kan, di mindset nya sudah seperti ini, kan jadi nanti kedepan generasi
sudah bisa terima mengapa seperti ini. Mindset pola pikir yang harusnya
diubah saat proses pendidikan dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Karena kan yang nantinya yang akan menyusun sistem kesehatan. Karena
di dunia ini negara mau konsepnya berbeda – beda kan, ada yang mau
model ini, model ini. Pasti akan bertempur. Kalau sejak pendidikan sudah
memberikan gambaran , mereka sudah mudah menerima ide – ide seperti
ini. Tenaga kesehatan secara tidak langsung akan mensosialisasikan
kepada masyarakat kan mengapa seperti ini.

P : oya sebenarnya tugas untuk mengajak masyrakat ikut program JKN ini,
tugas nya siapa pak?

T : BPJS punya program sosialisasi, tapi saya tanya, ngurus klaim aja ribetnya
kaya gitu, malah suruh ngurus sosialisasi. Itu tugas regulator. Siapa?
Kementrian kesehatan dan jajarannya ke bawah. Bukan hanya dibebankan
ke BPJS. BPJS oke, tapi ngurus klaim saja overload, mengembangkan
program yang lebih baik baik untuk kerja sama dengan PPK dan RS aja
143

masih susah, menurut saya tidak tepat BPJS melakukan itu, menurut saya
regulatornya, kementrian dengan jajaran kebawah.

P : Tapi mungkin pada kenyataannya ada dokter yang jadi seperti sales,
mempromosikan dirinya sendiri, supaya dapet pasien peserta BPJS pak.

T : Kalau BPJS apa tugasnya? Meciptakan sistem informasi yang baik. Bener
kan? Baik kepada rumash sakit ppk 1, 2,3 , bagaimana sistem informasi
nya, bagaimana agar terintegrsi dengan baik. Bagaimana proses klaim bisa
lebih cepat, bagaimana memonitor kualitas pelayanan,standarnya tapi
kalau sosialisasi hanya kepesertaan saja, kalau sosialisasi untuk
menyadarkan masyarakat, bukan BPJS menurut saya, sudah tidak mampu
mereka, sepakat dia mau turun lapangan? Wong satu BPJS aja
membawahi berapa kabupaten. Itu tugas regulator. Jadi regulator
jangan“ini sudah saya kasih gratis, sisanya urusan BPJS BPJS, bukan itu
menurut saya. Regulator yang bertanggung jawab, ini kan buat masyarakat
bersama bukan BPJS. Kalau mindsetnya uang udah dikasih ke BPJS,
berarti ini urusanmu, ya gak bisa kan. Dinas kesehatan berperan disitu,
puskesmas juga berperan disitu menyadarkan masyarakat , BPJS mana
mampu dia keliling, paling ngurusin kepesertaan. Ranahnya bukan milik
BPJS, tapi milik regulator. BPJS hanya operator. Bukan juga tanggung
jawab dokternya lo. Dokter nya kaya gitu kan kaya jadi sales kan , padahal
bukan tugasnya dia. Kalau kaya gitu kan jadi kendala juga, jadinya ada
yang nyuri – nyuri peserta. Misal dia dokter X sebagai dokter puskesmas,
termasuk di rumah sakit, mereka sekalian promosi karena kan semakin
banyak peserta kapitasinya semakin besar. Curi – curian ni. Jadi
menawarkan diri menjadi dokter keluarganya. Ada rumah sakit yang
seperti itu, dia menyarankan kalau cek up datang lagi ke klinik saya bukan
ke rumah sakit. Tapi ada dokter yang merasa kok saya harus nyari peserta
sendiri, kok promosi sendiri, harusnya kan ga boleh. Harusnya kan ada
mekanisme khusus sehingga masyarakat tau kompetensinya kan kualitas.
Kalau kualitasmu baik, lebih ramah, sesuai standar, pelayanannya baik,
nanti orang akan milih atas dasar itu kan. Internal kompetision, karena
marketnya sudah tetap. Tapi mungkin saat ini masih proses banyak hal.
Internal kompetensinya bukan berdasar kualitas. Tapi karena apa? Haha
Sebenarnya konsepnya internal kompetisi. Jadi dokter dan ppk yang
berkualitas pasti akan banyak dipilih. Dokternya dianggap pelayanannya
ga baik dan sebagainya, mainnya persepsi kan. Akhirnya orang ga milih
itu kan. Lari ke dokter yang lebih. Tetapi fungsi BPJS hanya sebagai
pengatur juga, bahwa ini kapasitasnya segini segini, kaitannya dengan
mungkin geografis. Sebenernya harusnya kan dokter dan ppk yang
berkualitas akan banyak dipilih. Dokternya dianggap pelayanannya ga
144

enak, mainnya persepsi kan, akhirnya lari ke dokter lain. Tetapi fungsi
BPJS sebagai pengatur juga, kaitan dengan geografis.

P : Kenapa ya pak, kesulitan mengakses dari BPJS, contoh kenapa kapitasi


jatuhnya Cuma 8.000? akses informasi terkait dana itu agak sulit.

T : Kalau tarif 8.000, itu keputusan mentri. SK mentri. Bukan BPJS. BPJS
hanya pelaksana, operator saja. Surat keputusan kementrian itu. SK
Mentri. Maksimal ada range kan. Antara 6000 – 8000. Ada maksimal.
BPJS sudah dapet jadi SK. Sekarang kapitasi mau berubah ni kayaknya
jadi pay for performance , sudah diuji coba kan saat ini dibeberapa kota.
Nanti mau di skill up di beberapa tempat. Jadi tidak lagi kapitasi
jumlahmu. Nanti jadi tidak akan rebutan. Tetapi gini, tetapkan kinerjamu,
nanti program kami adalah ini ini ini, yang akan didanai ini, aturan
mainnya ini. Semakin kamu bisa mencapai indikator keberhasilan yang
baik, maka kampitasimu bisa naik di tahun berikutnya. Jadi bisa jadi,
puskesmas ini sama jumlah pesertanya tetapi tahun berikutnya puskesmas
ini lebih tinggi kapitasinya karena performance nya lebih baik. Semacam
reward. Kalau yang biasa biasa saja ya sudah. Jadi tidak lagi berapa
jumlah yang mengunjungi , tapi kegaiatan – kegiatan, kalau puskesmas
kan berarti kegaiatan public health nya berjalan dengan baik, program –
program skrining nya berjalan lebih baik, kan gitu. Bukan hanya pasien
yang dilihat, tapi indikator indikator drajat masyarakatnya ditentukan.
Kalau kamu lebih bagus, nanti kamu akan dapet yang bagus
juga.Modelnya kedepan akan gitu.

P : Kalau ga bagus turun pak?

T : Tetap. Ga turun engga.Tapi kamu ga bisa berkompetisi kan. Dianggap


tidak berhasil kan. Atau konsekuensinya dokter keluarga semakin
berkurang jumlahnya karena dia lari ke ppk yang lebih menarik.

P : Nanti pendapatannya bias berkurang pak kalau seperti itu?

T : Yang didapat berkurang bisa jadi. Konsenya ke depan itu, bukan hanya
jumlah kepala yang masuk tapi performance, kinerja. Sudah di uji coba
tahun ini, mau diskill up katanya pertengahan tahun ini. Kompleks
menurut saya.
Lampiran 11. Tema Penelitian

JKN Dirancang Untuk Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat


Tema Ibu A Ibu B Ibu C Bapak B
JKN Dirancang Jaminan JKN merupakan - -
Untuk kesehatan upaya
Meningkatkan nasional adalah pemerintah
Derajat jaminan dalam
Kesehatan kesehatan bagi penyelenggaraan
Masyarakat seluruh pelayanan
masyarakat kesehatan
Indonesia
Pemahaman Masyarakat Terhadap JKN
Tema Ibu A Ibu B Ibu C Bapak B
Ada masalah - - Ada Perlu adanya
dalam masyarakat sosialisasi dari
sosialisasi JKN yang belum BPJS dan
mengerti pemerintah
mengenai kepada
sistem masyarakat
rujukan BPJS mengenai
sistem rujukan
Pemahaman FKTP Terhadap Sistem JKN
Tema Ibu A Ibu B Ibu C Bapak B
Ada syarat yang Ada syarat yang Ada syarat yang - -
ahrus dipenuhi harus dipenuhi harus dipenuhi
FKTP untuk PPK untuk PPK untuk
menjalin menjalin menjalin
kerjasama kerjasama kerjasama
dengan BPJS dengan dengan
kesehatan
Ada dampak - Ada dampak Ada dampak Permasalahan
positif dan positif dan positif dari yang ada di
negatif dari negatif dari sistem JKN FKTP rawat
penerapan JKN penerapan JKN inap dan rawat
jalan berbeda
Ada Kapitasi bisa Kapitasi bisa Dana kapitasi Ada FKTP
permasalahan mencukupi mencukupi belum yang merasa
tarif di JKN operasional operasional PPK mencukupi kapitasi sudah
PPK apabila apabila jumlah operasional cukup untuk
jumlah kunjungannya operasionalnya
kunjungannya tidak meningkat
tidak meningkat drastis
drastis
Dokter mencari dokter mencari dokter mencari - -
peserta sendiri peserta sendiri peserta sendiri
untuk untuk untuk
menambah menambah menambah
kapitasi pemasukan pemasukan
kapitasi di kapitasi di
tempatnya. tempatnya.
Terjadi Terjadi Terjadi Terjadi Terjadi
peningkatan peningkatan peningkatan peningkatan peningkatan
kunjungan kunjungan kunjungan kunjungan kunjungan

145
146

pasien pasien di era pasien di era pasien di era pasien


BPJS BPJS BPJS
Ada - - - Ada
penyalahgunaa penyalahgunaan
fasilitas fasilitas
jaminan jaminan
kesehatan kesehatan
nasional nasiona
Ada Ada - - Ada
pembatasan pembatasan pembatasan
rujukan bagi rujukan bagi rujukan bagi
pasien rawat pasien rawat pasien rawat
jalan yang jalan yang jalan yang
menggunakan menggunakan menggunakan
kartu JKN kartu JKN kartu JKN
Ada masalah Ada masalah - - Ada masalah
dalam dalam dalam
penerapan penerapan penerapan
pembatasan pembatasan pembatasan
rujukan rujukan rujukan
Ada pasien - Ada pasien yang - Ada pasien
yang meminta meminta dirujuk yang meminta
dirujuk tanpa tanpa indikasi dirujuk tanpa
indikasi medis indikasi medis
FKTP belum - - FKTP belum FKTP belum
mendapatkan mendapatkan mendapatkan
hak yang sesuai hak yang hak yang sesuai
dalam masalah sesuai dalam dalam masalah
pencairan dana masalah pencairan dana
klaim pencairan klaim
dana klaim
Ketidaksesuaian - - Dana klaim Ketidaksesuaian
dana klaim yang tidak jumlah dana
yang cair bisa cair klaim yang cair
mengakibatkan menyebabkan bisa
penurunan penurunan mengakibatkan
kualitas kualitas penurunan
pelayanan dan pelayanan kualitas
timbul perilaku pelayanan
fraud kesehatan dan
timbul perilaku
fraud
Ada - - Ada Ada
keterlambatan keterlambatan keterlambatan
dalam dalam dalam
pencairan dana pencairan pencairan dana
klaim dana klaim klaim
Tidak ada batas - - Tidak ada Tidak ada batas
waktu batas waktu waktu
pencairan dana pencairan pencairan klaim
klaim klaim dari dari BPJS
BPJS
147

BPJS diduga - BPJS belum BPJS diduga BPJS diduga


belum percaya terbuka kepada belum belum percaya
terhadap FKTP FKTP percaya terhadap
terhadap pelayanan yang
pelayanan sudah diberikan
yang sudah oleh FKTP
diberikan
oleh FKTP
Pembayaran - - - Pembayaran
kapitasi kapitasi
bebrbasis berbasis kinerja
kinerja yang yang akan
akan diterapkan diterapkan
menggunakan menggunakan
paradigma sakit paradigma sakit
Peran Serta Pemerintah Diharapkan Untuk Mensukseskan JKN
Tema Ibu A Ibu B Ibu C Bapak B
Kurang - - - Kurang
dukungan peran dukungan peran
pemerintah pemerintah
pusat dan pusat dan
daerah dalam daerah dalam
penerapan penerapan
Jaminan Jaminan
Kesehatan Kesehatan
Nasional Nasional
Tenaga medis - - - Tenaga medis
yang kurang yang kurang
bisa bisa
menyebabkan menyebabkan
kualtas kualtas
pelayanan pelayanan
menurun menurun
BPJS Kesehatan Merupakan Pelaksana Program JKN
Tema Ibu A Ibu B Ibu C Bapak B
BPJS - - JKN berlaku -
merupakan sejak tahun
pelaksana 2014 dan
program JKN dikelola oleh
BPJS
Lampiran 12

Kompetensi 155 Diagnosa Pada FKTP PPK BPJS Kesehatan

LEVEL
KOMPETENSI
SESUAI
NO NAMA PENYAKIT
PERMENKES
NO 5 TAHUN
2014
4A
1 Abortus spontan komplit
3B
2 Abortus mengancam/insipiens
3B
3 Abortus spontan inkomplit
4A
4 Alergi makanan
4A
5 Anemia
4A
6 Anemia defisiensi besi pada kehamilan
3B
7 Angina pectoris
3B
8 Apendisitis akut
3A
9 Artritis Osteoartritis
3A
10 A. Reumatoid
4A
11 Askariasis
4A
12 Asma Bronkial
4A
13 Astigmatism ringan
4A
14 Bell's Palsy
4A
15 Benda asing di hidung
4A
16 Benda asing di konjungtiva
4A
17 Blefaritis
4A
18 Bronkritis akut
4A
19 Buta senja

148
149

3B
20 Cardiorespiratory arrest
4A
21 Cutaneus larva migrant
Delirium yang diinduksi dan tidak diinduksi oleh 3A
22
alkohol atau zat psikoaktif lainnya
4A
23 Demam dengue, DHF
4A
24 Demam tifoid
3A
25 Demensia
4A
26 Dermatitis atopik (kecuali recalcitrant)
3A
27 Dermatitis kontak alergika
4A
28 Dermatitis kontak iritan
4A
29 Dermatitis numularis
4A
30 Dermatitis seboroik
4A
31 Tinea kapitis
4A
32 Tinea barbae
4A
33 Tinea fasialis
4A
34 Tinea korporis
4A
35 Tinea manum
4A
36 Tinea unguium
4A
37 Tinea kruris
4A
38 Tinea pedis
4A
39 Diabetes melitus tipe 1
4A
40 Diabetes melitus tipe 2
4A
41 Disentri basiler dan amuba
4A
42 Dislipidemia
3B
43 Eklampsia
3A
44 Epilepsi
150

4A
45 Epistaksis
4A
46 Exanthematous drug eruption
4A
47 Fixed drug eruption
4A
48 Faringitis
4A
49 Filariasis
4A
50 Fluor albus/vaginal discharge non gonorrhea
3B
51 Fraktur terbuka, tertutup
4A
52 Furunkel pada hidung
3B
53 Gagal jantung akut
3A
54 Gagal jantung kronik
3A
55 Gangguan campuran anxietas dan depresi
3A
56 Gangguan psikotik
4A
57 Gastritis
4A
58 Gastroenteritis (termasuk kolera, giardiasis)
4A
59 Glaukoma akut
4A
60 Gonore
4A
61 Hemoroid grade 1-2
4A
62 Hepatitis A
3A
63 Hepatitis B
4A
64 Herpes simpleks tanpa komplikasi
4A
65 Herpes zoster tanpa komplikasi
3B
66 Hiperemesis gravidarum
3B
67 Hiperglikemi hiperosmolar non ketotik
4A
68 Hipermetropia ringan
4A
69 Hipertensi esensial
151

4A
70 Hiperuricemia (Gout)
4A
71 Hipoglikemia ringan
4A
72 HIV AIDS tanpa komplikasi
4A
73 Hordeolum
3B
74 Infark miokard
3B
75 Infark serebral/Stroke
4A
76 Infeksi pada umbilikus
4A
77 Infeksi saluran kemih
4A
78 Influenza
4A
79 Insomnia
4A
80 Intoleransi makanan
4A
81 Kandidiasis mulut
2
82 Katarak
4A
83 Kehamilan normal
4A
84 Kejang demam
4A
85 Keracunan makanan
3A
86 Ketuban Pecah Dini (KPD)
3B
87 Kolesistitis
4A
88 Konjungtivitis
4A
89 Laringitis
4A
90 Lepra
4A
91 Leptospirosis (tanpa komplikasi)
3A
92 Liken simpleks kronis/ neurodermatitis
4A
93 Limfadenitis
4A
94 Lipoma
152

4A
95 Luka bakar derajat 1 dan 2
3A
96 Malabsorbsi makanan
4A
97 Malaria
4A
98 Malnutiris energi-protein
4A
99 Mastitis
4A
100 Mata kering
4A
101 Migren
4A
102 Miliaria
4A
103 Miopia ringan
4A
104 Moluskum kontagiosum
4A
105 Morbili tanpa komplikasi
4A
106 Napkin eczema
4A
107 Obesitas
4A
108 Otitis eksterna
4A
109 Otitis media akut
4A
110 Parotitis
4A
111 Pedikulosis kapitis
4A
112 Penyakit cacing tambang
3B
113 Perdarahan saluran cerna bagian atas
3B
114 Perdarahan saluran cerna bagian bawah
3B
115 Perdarahan post partum
4A
116 Perdarahan subkonjungtiva
3B
117 Peritonitis
4A
118 Pertusis
3B
119 Persalinan lama
153

4A
120 Pitiriasis rosea
4A
121 Pioderma
4A
122 Pitiriasis versikolor
3B
123 Pneumonia aspirasi
4A
124 Pneumonia, bronkopneumonia
3A
125 Polimialgia reumatik
3B
126 Pre-eklampsia
4A
127 Presbiopia
3B
128 Rabies
4A
129 Reaksi anafilaktik
4A
130 Reaksi gigitan serangga
4A
131 Refluks gastroesofageal
4A
132 Rhinitis akut
4A
133 Rhinitis alergika
4A
134 Rhinitis vasomotor
4A
135 Ruptur perineum tingkat 1-2
4A
136 Serumen prop
3A
137 Sifilis stadium 1 dan 2
4A
138 Skabies
4A
139 Skistosomiasis
3B
140 Status Epileptikus
4A
141 Strongiloidiasis
142 Syok (septik), hipovolemik, kardiogenik, neurogenik) 3B

4A
143 Taeniasis
3B
144 Takikardi
154

4A
145 Tension headache
4A
146 Tetanus
3B
147 Tirotoksikosis
4A
148 Tonsilitis
4A
149 Tuberkulosis paru tanpa komplikasi
4A
150 Urtikaria (akut & kronis)
4A
151 Vaginitis
4A
152 Varisela tanpa komplikasi
4A
153 Vertigo (Benign paroxysmal positional vertigo)
4A
154 Veruka vulgaris
4A
155 Vulvitis
155

Lampiran 13

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Robiah Al Adawiyyah

NIM : G1A011073

Judul Skripsi : Permasalahan Etik yang Dihadapi Tenaga Pelaksana

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dalam Penerapan

Jaminan Kesehatan Nasional

Pembimbing Skripsi : RR. Dyah Woro Dwi L, S.Psi, MA

dr. Joko Mulyanto, M.Sc

Menyatakan bahwa

1. Skripsi ini merupakan hasil sendiri, bukan hasil plagiasi

2. Pelaksanaan penelitian atas dana sendiri

3. Hak kekayaan intelektual penelitian berikut data – data hasil penelitian

menjadi milik Robiah Al Adawiyyah

4. Hak publikasi penelitian ini ada pada Robiah Al Adawiyyah

Pernyataan ini saya buat dengan sebenar - benarnya tanpa paksaan atau tekanan

dari siapapun. Saya bersedia bertanggung jawab secara hukum , apabila terdapat

hal – hal yang tidak benar dalam penelitian ini.

Purwokerto, Juli 2015


Yang Membuat Pernyataan

Robiah Al Adawiyyah
156

Lampiran 14. Biodata


BIODATA

Nama Lengkap : Robiah Al Adawiyyah


Nomor Induk Mahasiswa : G1A011073
Tempat, Tanggal lahir : Cirebon, 14 September 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat Lengkap : Jalan Melati 4 No 25 RT 04 RW 03 Blok
Pemanggisan. Kelurahan Sumber kescamatan
Sumber Kabupaten Cirebon. Jawa Barat.
Kode Pos 45611
No Telepon : 085258679769 / 089678853314
E-Mail : robiah.aladawiyyah@gmail.com
Judul penelitian : Permasalahan Etik yang Dihadapi Tenaga
Pelaksana Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama dalam Penerapan Jaminan Kesehatan
Nasional

Riwayat Pendidikan
1. SD N 1 Sumber : 1999-2005
2. SMP Negeri 1 Sumber : 2005-2008
3. SMA Negeri 4 Cirebon : 2008-2011
4. Jurusan Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran : 2011-2015
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Anda mungkin juga menyukai