Anda di halaman 1dari 21

04 Aug 2011 06:06:18 am KERIS HADIR DI KRIDAYA 2011

Keris hadir di KRIDAYA 2011 yang diselenggarakan 3-7 Agustus 2011.

Keris sebagai Indonesian Heritage mulai dikenal masyarakat sebagai benda budaya.

Pameran Kridaya 2011 adalah pameran kerajinan seni budaya Indonesia yang bersekala Nasional ini
di ikuti oleh berbagai karya dari berbagai perajin seni traditional dan etnik modern. Indonesia
sebagai salah satu Negara yang terkenal dengan kebudayaan, seni tradisional dan peradaban masa
lampau seperti Batik, Wayang, Keris dan Angklung yang telah mendapat penghargaan UNESCO
sebagai warisan budaya asli Indonesia.

Bursa pun diikuti oleh komunitas Panji Nusantara, tampak Koordinatornya Ir. Soegeng Prasetyo S.

Dalam ajang pameran ini salah satu dari karya tradisional yang terkenal adalah keris yang merupakan
warisan agung budaya Nusantara. Komunitas Panji Nusantara hadir disini. "Kami tak kenal lelah
untuk terus menyosialisasikan keris, walau pun bagi para pekeris hal ini belum menjadi ajang
komersial... mungkin nanti, tetapi kita harus lakukan itu demi pelestariannya, memperkenalkan
kepada publik", kata Ir. Soegeng Prasetyo. Komunitas Panji Nusantara memamerkan sekitar 40 keris,
ada keris sepuh dan keris Kamardikan karya Toni Junus yang cukup menarik pengunjung.

"Kelanjutan pembuatan keris perlu dilestarikan", pesan ibu Ani Bambang Yodhoyono tatkala melihat
keris Kamardikan karya Toni Junus.

"Pada kesempatan ini kami memamerkan sekitar 40 keris, mulai dari keris buatan abad 9, hingga
keris Kamardikan", kata pegiat di Panji Nusantara, Toni Junus kepada kerumunan wartawan disela
pameran KRIDAYA di Jakarta Convention Centre, Rabu (3-Agustus 2011, hingga 7 Agustus 2011). Toni
Junus berharap pameran seperti ini akan semakin meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap
warisan budaya bangsa terutama keris. Pameran dibuka oleh ibu Ani Bambang Yudhoyono, hadir
pula ibu Wapres Herawati Boediono, pak Menteri Kemenbudpar Jero Wacik dan istrinya ibu Triesna
Jerowacik sebagai pemrakarsa pameran besar ini.

Pameran KRIDAYA 2011 (3-7 Agustus 2011) ini bertujuan memperkenalkan hasil kerajinan dan seni
budaya Nusantara kepada generasi muda Indonesia dan wisatawan serta membuka pasar serta
untuk meningkatkan nilai jual pengrajin dan pengusaha seni tradisi kepada masyarakat umum.
Dalam pameran ini yang sangat mencengangkan dihadirkannya Angklung nan merdu.

AS/TJ.

KILK BERITANYA :
http://www.bisnisharian.com/cari/berita-457-keris-ramaikan-pameran-kridaya-2011-di-jcc.html

http://www.jurnalindonesia.net/kategori/berita-192-panji-nusantara-hadir-di-pameran-kridaya-
2011.html

http://www.buana-news.com/2011/08/toni-yunus-tidak-benar-keris-mengandung.html

http://www.pewarta-indonesia.com/berita/daerah/6527-panji-nusantara-berpartisipasi-di-
pameran-kridaya-2011.html

- Category : Album | Posted By : administrator

09 Jul 2011 08:02:36 am BENTARA BUDAYA YANG INDAH

Opening ceremony model komunitas 'galeri' di depan Rumah Kudus yang khas Bentara Budaya
Jakarta.

Ketika matahari tenggelam di ufuk barat


Ada keramaian kecil yang menjadi sebuah aksen dalam perkerisan
ikut menghiasinya....

Berkali-kali gagasan melintas di pikiran


Kali ini menjadi yang pertama kali gagasan itu dinyatakan

Pameran Ragam Hulu Keris dan Peluncuran Buku menjadi warna yang memoles BENTARA BUDAYA
JAKARTA yang indah....
Ia memang sudah indah

Kemudian ia ditaburi pemandangan hulu-hulu keris yang sangat indah


Dari sini kita melihat betapa...
Mahakarya seni kita telah ditorehkan oleh leluhur kita
dan harus menjadi catatan budaya yang tidak lekang oleh jaman dan modernitas...
Setting pameran oleh Ir. Soegeng Prasetyo S.; Setting pameran ini banyak dipuji oleh pengunjung
dan profesional.

Hulu keris Tunggak Semi Putri Kinurung dan hulu Wong-wongan Opsir dari Surakarta

Hulu keris Batara Guru dan Pulasir dari Madura

Hulu keris Punukan dari Palembang dan Ratmaja dari Bali

Hulu keris Pulungan dari Cirebon dan hulu Butha Bajang model Ganan dari Cirebon

Hulu keris dari Lampung merupakan penggambaran burung laut...

Hulu keris Coteng atau disebut Tajong dari Patani - Thailand


- The Beauty of Kris Hilt by Toni Junus - Publishing by Indonesia Kebanggaanku.
- From the collection of Aswin Wirjadi

For further information email to: toni.junus@yahoo.com; panjinusantara@yahoo.com - HP.0858


6621 3057 Category : Album | Posted By : administrator

25 Jun 2011 08:37:02 am PAMERAN, BURSA dan Peluncuran BUKU

advertorial

HALLO KOMUNITAS PERKERISAN


KAMI MENGUNDANG ANDA SEMUA, UNTUK HADIR PADA PAMERAN, BURSA dan PELUNCURAN
BUKU "PESONA HULU KERIS".

Pembukaan : Standing Party tanggal 8 Juli 2011 jam 19.00


Keynote Speaker : Bp. Ir. Haryono Haryoguritno.

Dilanjutkan Pameran dan BURSA hingga 10 Juli 2011, jam 10.00 - 18.00.
Selesai hari Minggu 10 Juli 2011 jam 18.00.

Bagi yang ingin ikutan BURSA (keris, handle dan buku tentang keris) silahkan secepatnya calling
saya di 0858 6621 3057 untuk pendaftarannya.

Note : Pengikut BURSA dipungut sewa meja dan konsumsi makan siang Rp. 500.000,-

Salam Budaya.
TJ.

Q lukis keindahan bukan dari embun yang berguguran,,,


melengkapi rute jalan rembang,,, walau dengan mata tanpa bola,,,
mungkin ini klausa yang terdiam di seduh sunyi waktu itu,,,
malam pun telah penuh dengan sececap noktak putih berpayung kelam,,,, dan apa yang merahasia
waktu mulai bersembunyi dilketiak penyair pembuat mimpi di penghujung pagi....

Perihal Badik Senjata Masyarakat Bugis


Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib).
Kekuatan ini dapat mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya.
Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan
ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan
dan penderitaan bagi yang menyimpannya.

Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela
diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan.
Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis
dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.

Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta
sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor
yang dipercaya dapat mempengaruhi kehidupan pemiliknya.
Badik Bugis Makasar

Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta
cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari
terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung
badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti
Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).

Badik Bugis Luwu


Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk
agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk
lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua
(sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan
sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.

Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan
dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan,
kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku
dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan
makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok
digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.

Kul Buntet / Pusaran

Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan
berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang
melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang
yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.

Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang
memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik
badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam
kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan
kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.

Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu
mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh
tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan
hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval
pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi
pemiliknya dalam setiap pertempuran.
Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat
badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat
buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena
dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut
kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh
orang lain.

Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi


yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik
badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang
berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti
ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.

Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah
benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki.
Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik”
(Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya
ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).

Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib).
Kekuatan ini dapat mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya.
Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan
ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan
dan penderitaan bagi yang menyimpannya.Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan
bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri
dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan.

Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis
dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.Secara umum badik terdiri atas tiga bagian,
yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung
badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat mempengaruhi kehidupan
pemiliknya.Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan
tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari.
Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan
banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan
kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).
Badik Caringin Tilu

Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk
agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk
lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua
(sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan
sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan. Kawali Lamalomo Sugi
adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata
yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang
mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa
keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan
mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka
yang berusaha di sektor pertanian.Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil
pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat
mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi
dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.Salah satu
badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif
berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut
senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama
dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya
harus memiliki Kawali Lasabbara.Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai
sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini
memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan
kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang
memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat
membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.Bila
dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat
badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat
buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena
dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut
kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh
orang lain.Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng
Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya.
Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki
kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya
pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.Apapun
kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda
budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti
kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan
seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya ugi
narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).

(sumber article dari Internet)


Dicatat oleh alamtunggal di 2:08 PG
E-melkan IniBlogThis!

Kamis, 04 Desember 2008

TILAM PETHAK PUTRI KINURUNG

KERIS DHAPUR TILAM PETAK / TILAM UPIH


Ricikan : Keris leres, Gandik polos, tikel alis, pijetan
Pamor Ganja : pamor winih: dipercaya mempunyai daya untuk “menumbuhkan” suatu harapan.
Juga dianggap baik bagi mereka untuk berdagang atau wiraswasta karena baik untuk pengembangan
modal.

Pamor Sor-soran : Putri Kinurung Bentuknya menyerupai gambaran danau dengan tiga atau lebih
“pulau” ditengahnya. Letaknya ditengah sor-soran. Tuahnya untuk memudahkan mencari rejeki dan
mencegah sifat boros. Bisa diterima dikalangan manapun. Tidak pemilih
Bilah : rata pucuk njujen sate.

Pamor nyanak ngulit semangka: memudahkan mencari jalan rejeki dan mudah bergaul pada siapa
saja dan dari golongan manapun. Pamor ini tidak memilih dan cocok bagi siapa saja.
Warangka kayu sawo – model gayaman surakarta,
Pendok perak bunton surakarta
Mendak tumbar pecah surakarta
Tangguh : Tuban

Keris dapur tilam baik untuk pria yang telah berkeluarga karena angsarnya membawa keteduhan dan
ketentraman keluarga Tilam Upih, Patileman atau alas tidur, melambangkan kesejahteraan
kehidupan berkeluarga. Dimana jika dalam rumah tangga, para anggotanya bisa tidur dengan
nyaman, tentunya bisa dikata bahwa keluarga tersebut sejahtera. Orang yang bisa tidur nyenyak
adalah orang yang sejahtera hidupnya, Tawakal, jadi bersyukurlah kita yang bisa tidur nyenyak tanpa
ketakutan akan kemalingan atau dirampok atau kebanjiran, apalagi akan tergusur
Asal : AGS

Diposkan oleh MY COLLECTION di 08:39 2 komentar:

Label: putri kinurung, tilam petak, tilam upih

Rabu, 03 Desember 2008


Philosofi Nama Dapur BROJOL
Disadur dari Majalah PAMOR Edisi 08 – Tulisan Wawan Wilwatikta

Brojol Sebagai Simbol Kelahiran


Dalam masyarakat yang memandang keris dari sisi esoteri, seringkali dapur ini dikaitkan dengan
tuahnya “memperlancar kelahiran jabang bayi". Sehingga mungkin banyak orang yang menganggap
keris ini hanya cocok untuk mereka yang berprofesi sebagai dukun bayi. Benar dan tidaknya
mengenai tuah tersebut, hanya Tuhan yang mengetahui. Namun di sisi lain, dijumpai bahwa banyak
masyarakat yang memperoleh pusaka warisan keluarga berdapur Brojol, meskipun mereka bukan
dari keturunan dukun bayi.
Dapur Brojol, sebagaimana dapur keris lainnya merupakan suatu karya yang mempunyai muatan
spiritual berupa ajaran-ajaran hidup. Secara terminology, brojol memang identik dan terkait dengan
masalahi kelahiran. Brojol merupakan ungkapan peristiwa kelahiran jabang bayi ke dunia.. Keris
berdapur brojol, sebagai simbol kelahiran bayi sebenarnya bukan pada proses kelahiran itu sendiri
(mbrojol-lahir) yang akan disampaikan, akan tetapi ditujukan pada kesucian jabang bayi yang baru
dilahirkan, yaitu fitrah manusia.
Ajaran-ajaran Jawa disampaikan penuh dengan pengetahuan esoterik yang merangsang angan-
angann dan perenungan. (Niels Mulder, 2001:129). Penafsiran yang dilakukan sangat tergantung
wawasan dan pengalaman masing-masing pribadii yang sangat subjektif. Dalam budayal suatu ajaran
yang dianggap penting jika disampaikan tanpa simbolisasi tentu menjadi tidak menarik dan juga
kurang menyenangkan, karena disampaikan secara biasa-biasa saja (polos) dan tegas. Sebaliknya
semakin tersembunyi (simbolik) dan semakin rumit maka akan semakin menarik dan makin
mengembangkan pemikiran.

Fitrah Manusia
Fitarh manusia merupakan potensi dasar yang ada pada manusia untuk percaya adanya Tuhan dan
selalu condong kepada kebenaran. Fitrah ini diciptakan dan bersumber dari Tuhan. Oleh karenanya,
fitrah manusia mengarah kepada tujuan yang satu, kebenaran dan kesucian jiwa yang menjadikan
manusia selalu kembali dekat kepada Penciptanya.
Pada hakekatnya, dalam diri manusia ada fitrah untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhkan diri
dari perbuatan jahat. Nurani manusia selalu merindukan kedamaian dan ketenangan. Jauh di dalam
lubuk hati manusia, pada dasarnya selalu ada kerinduan untuk terus menerus mengikuti jalan agama
yang benar. Inilah fitrah manusia yang sesungguhnya, fitrah yang diajarkan agama.
Fitrah manusia itu pada dasarnya memiliki kecondongan membutuhkan adanya Tuhan Sang
Pencipta. Dengan kecenderungan fitrah inilah manusia - bagaimanapun ingkarnya dia - ketika ia
dalam keadaan tak berdaya, maka tetap akan mengakui keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Inilah
hakikat fitrah manusia.
Apabila mereka taat dan patuh pada perintah Tuhan, mereka akan selalu dekat dengan-Nya. Apabila
ia dekat dengan Tuhannya, ia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan setiap saat. la akan merasa
bahwa setiap perilakunya, gerak geriknya berada dalam pengawasan Tuhan. Jika fitrah manusia
telah kembali dan terjaga, timbullah sifat Ihsan dalam dirinya; serasa ia berada dalam perhatian
Tuhan, sehingga menjadikannya tertib dan berhati-hati dalam setiap sikap dan perbuatan. Prinsip
kebaikan ini diakui oleh seluruh umat manusia, sedangkan perilaku yang tidak baik akan senantiasa
mengantarkan manusia menuju kehinaan dan kesengsaraan.
Ironisnya, banyak di antara kita yang melupakan fitrah insaniyah (kemanusiaan) kita. Sebagian besar
kita justru dipengaruhi, bahkan dikuasai oleh nafsu. Kita sering menjadikan nafsu sebagai illah
(Tuhan) dalam kehidupan ini. Padahal dalam ajaran agama Tuhan secara tegas mengecam para
budak 'nafsu'. tidak lain seperti halnya binatang yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Betapa nista
dan hinanya sebutan padanan yang diberikan Tuhan kepada para pemuja nafsu. Mereka diibaratkan
seperti binatang, bahkan jauh lebih hina dari binatang. Inilah saat ketika manusia tergelincir berbuat
kejahatan yang menghinakan dirinya serta menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan agamanya.
Manusia diciptakan sebagai mahluk paling sempurna, karena dikaruniai akal. Akal akan menuntun
manusia untuk menentukan derajatnya, apakah di bawah binatang atau bahkan di atas malaikat.
Dalam pandangan jawa ada dua macam nafsu yang sangat menghalangi nilai kemanusiaan, yaitu:
hawa nepsu (nafsu-nafsu) dan Pamrih ( Egoisme). Tak perlu disebutkan disini bermacam nafsu,
namun secara umum ada idiom yang di sebut Ma Lima, yaitu: Madat (nyandu obat terlarang),
Madon (main perempuan. selingkuh, seks bebas), Minum (Mabuk), Maling (mencuri, menipu,
korupsi), Main (judi).
Hawa Nepsu yang tidak baik, merupakan perasaan dan tindakan kasar yang melemahkan control diri
manusia sehingga dapat melemahkan kekuatan batin. Orang yang dikuasai nafsu menunjukkan
bahwa akal budi belum menduduki pengendalian iiwanya. Manusia semacam itu tidak lagi
mengembangkan segi-segi halusnya (perasaan) dan kerbanyakan akan menimbulkan konflik dan
pertentangan, baik dalam keluarga maupun dalam dalam lingkungannya dan masyarakat.
Halangan yang kedua yaitu Pamrih (egoisme). Bertindak oleh karena pamrih berarti hanya
mementingkan kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain bahkan
seringkali merugikan orang lain. Pamrih merupakan sikap yang memperlemah manusia dari dalam.
Pamrih terutama terkait dengan tiga nafsu, yaitu : Nepsu menange dewe (menganggap dirinya
paling berkuasa), Nepsu benere dewe (menganggap dirinya yang paling benar), dan Nepsu butuhe
dewe (hanya memperhatikan kebutuhan diri sendiri).
Dua macam nafsu tersebut menjadi halangan manusia mencapai Fitrah yang telah diberikan oleh
Tuhan. Banyak keinginan manusia diluar kebutuhannya. Manusia yang telah dikuasai oleh nafus
selalu berusaha untuk memenuhi segala keingannnya tanpa batas, meskipun ditempuh dengan cara-
cara yang merendahkan derajat/martabatnya (suap, korupsi, menipu orang lain, mencuri dan
sebagainya).
Hasil tersebut dapat memenuhi keinginan manusia untuk memperoleh uang dan harta yang
melimpah, rumah mewah, mobil berkilap, sandangan serba bergengsi, gaya hidup
hedonisme/konsumtif dan sebagainya. Meskipun hal tersebut dapat diperoleh, akan tetapi dari
lubuk hari yang paling dalam, ada perasaan tidak tenteram, merasa berdosa, itulah fitrah yang
diberikan Tuhan pada manusia.
Bagi manusia yang masih sadar akan eksistensi kemanusiaannya, tentu ia tidak mau merendahkan
derajatnya, ia bahkan akan selalu berusaha untuk mempertahankan fitrah kemanusiaannya. Bahkan,
ia akan selalu berusaha meningkatkan derajat serta kualitas kemanusiaannya. Tetapi bagi mereka
yang telah dibutakan mata hatinya oleh dekapan nafsu, la akan terlena dan terbuai, tidak
mempedulikan lagi fitrah kemanusiaannya yang suci. la akan terlelap dalam bisikan nafsu, sampai
akhirnya maut dating menjemputnya.
Untuk mengendalikan nafsu-nafsu dapat dilakukan dengan cara laku tapa dengan sedikit
mengurangi makan, tidur, menguasai diri dibidang seksual dan lain sebagainya. Ajaran Jawa
mengatakan "Cegah Dhahar lan Guling", sebagaimana dalam Serat Wulangreh tembang Durma:
"Dipun sami ambanting sariranira, cegah dhahar lan guling, darapon suda, nepsu kang ngambra-
ambra, rerema ing tyasireki, dadi sabarang karsanira lestari”
(artinya: Lakukanlah prihatin, janganlali terlalu banyak makan dan terlalu banyak tidur, agar nafsu
yang menyala-nyala dapat berkurang dan hati menjadi tenteram. Akhirnya segala sesuatu yang
hendak dicapai akan terlaksana).
Sesuai dengan hal tersebut, bagi orang Jawa laku tapa bukanlah meniadakan sama sekali dorongan
biologis akan tetapi sekedar mengaturnya. Hal tersebut tentu dapat dicapai dengan membiasakan
diri atau latihan dari sedikit. Taat terhadap perintah Tuhan dan selalu menjalankan apa yang telah
diajarkan dalam agama juga merupakan suatu laku tapa, sehingga dengan laku tapa demikian,
diharapkan akan mendekatkan diri kepada Tuhannya dan diharapkan manusia selalu pada fitrahnya.

Pijetan menunjukkan kelapangan hati, Gandik polos menunjukkan ketabahan


Dapur Brojol mempunyai ricikan Pijetan yang merupakan symbol dari kelapangan hati. Gandik polos
merupakan symbol ketabahan dalam menjalani hidup. Kelapangan hati terhadap sesuatu yang
diperoleh, khususnya terhadap keadaan yang tidak menyenangkan hati. Fitrah manusia itu pada
dasarnya memiliki kecondongan percaya pada kekuasaan dan takdir Tuhan. Takdir bagi orang Jawa
disebut dengan istilah "pepesthen". Pepesthen mempunyai arti segala sesuatu yang menyangkut
hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari takdir Tuhan. Ada ajaran Jawa yang mengatakan "Ora
ana kasekten sing madhani pepesthen, awit pepesthen iku wis ora ana sing bias murungake”.
Artinya tiada kesaktian yang mempunyai kepastian sebagimana yang dimiliki Tuhan, karenanya tidak
ada yang dapat menggagalkan kepastian dari Tuhan. Oleh karena itu, dalam paham ajaran Jawa
selalu beranggapan bahwa abang birune urip (merah birunya hidup) tergantung dari takdir Tuhan.
Peristiwa kehidupan di dunia yang menyangkut begja cilaka, bungah susah, sugih mlarat
('keselamatan-bencana, sengsara-kesenangan, kekayaan-kemiskinan) dan sebagainya sudah
merupakan pepesthen. Atas dasar itu, orang Jawa menyikapi pandangan hidup dengan mung
saderma nglakoni (sekedar menjalankan) apa yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Dapat dikatakan bahwa ajaran Jawa percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia
merupakan kepastian dari Tuhan. Karena merupakan kepastian dari Tuhan maka segala yang telah
terjadi justru harus disyukuri, diambil hikmahnya dan harus diterima dengan ikhlas dan Sumeleh
(dengan hati yang lapang). Takdir yang terjadi tidak bisa diubah oleh manusia, maka manusia hanya
Sumarah (pasrah dan tabah) pada kehendak Tuhan. Sumarah dan sumeleh menunjukkan kestabilan
jiwa seseorang dalam menjalani hidup.
Namun demikian, seriap orang wajib berikhtiar dan berusaha semampunya (wiradat). Hal tersebut
menggambarkan bahwa hidup ini perlu dijalani sewajarnya, ora ngoyo atau memaksakan diri diluar
batas kemampuannya. Orang yang ngoyo, cenderung untuk berbuat dan berperilaku tidak baik, yang
justru menjauhkan dirinya dari pencapaian fitrahnya sebagai manusia.

Brojol Merupakan Ajaran Hidup Menuju Fitrah Manusia


Dapur Brojol yang sederhana merupakan suatu symbol mengenai ajaran hidup bagaimana seseorang
untuk menjaga fitrah yang telah diberikan oleh Tuhan. Meskipun bentuknya sederhana, dapur ini
sarat dengan ajaran hidup yang sangat dalam. Meskipun fidak mudah untuk mencapainya, namun
paling tidak ajaran ini mengingatkan manusia. Seorang yang masih sadar akan eksistensi
kemanusiaannya, tentu ia tidak mau merendahkan derajatnya, ia bahkan akan selalu berusaha untuk
mempertahankan fitrah kemanusiaannya. Bahkan, ia akan selalu berusaha meningkatkan derajat
serta kualitas kemanusiaannya.
Nafsu- nafsu duniawi yang menghalangi pencapaian fitrah, dikendalikan dengan tapa laku dan
memahami takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Karena hidup ini tidak lepas dari kepastian dari
Tuhan maka segala yang telah tercapai harus disyukuri, diambil hikmahnya dan harus diterima
dengan ikhlas dengan Sumeleh (dengan hati yang lapang) dan Sumarah (tabah dan pasrah).
Sumarah dan sumeleh menunjukkan kestabilan jiwa seseorang dalam menjalani hidup. Namun
demikian, orang harus wajib berikhtiar, harus berusaha semampunya (wiradat). Namun usaha
tersebut perlu dijalani sewajarnya, ora ngoyo atau memaksakan diri diluar batas kemampuannya,
melanggar ajaran agama dan merugikan orang lain. Orang yang hidup ngoyo dan neko-neko
(bertingkah), cenderung untuk berbuat dan berperilaku tidak baik, yang justru menjauhkan dirinya
dari pencapaian fitrahnya sebagai manusia.

Diposkan oleh MY COLLECTION di 15:10 Tidak ada komentar:

Label: dapur brojol

Philosophy Keris Dapur Gumbeng

Philosofi Keris Dapur Gumbeng.


(Saduran dari Forum Diskusi Milis – Tulisan Moderator M. Hidayat menjelang Puasa 2008)

Adalah salah satu dapur Keris yang sangat sederhana. Memiliki ricikan seperti Kebo Lajer, tetapi
bilahnya lebih lebar. Gandik panjang dan umumnya berasal dari tangguh sepuh seperti era Pajajaran
atau Tuban.
Istilah Gumbeng, selain untuk menyebut dapur Keris, juga merupakan salah satu bentuk kesenian
tradisional masyarakat Jogjakarta, terutama di wilayah Gunung Kidul, juga pernah berkembang di
daerah Banyumas. Disebut rinding Gumbeng. Di Ponorogo juga dikenal istilah Gong Gumbeng.
Keseluruhan kesenian tradisional ini memanfaatkan bambu sebagai alat instrumen. Pelaksanaan
kesenian rinding Gumbeng ini bernuansa sakral dan sering dilakukan untuk berharap panen yang
baik. Inti dari kesenian ini adalah ekspresi dari kesederhanaan, keluguan masyarakat yang bersahaja.
Lebih jauh, melalui tradisi Gumbeng ini, manusia diharapkan mampu menjalani kehidupan sehari-
hari dengan ulet, sederhana dan penuh kearifan baik dalam konteks vertikal (keTuhanan) dan
horizontal (alam dan manusia) untuk mencapai suatu kemakmuran hidup bagi masyarakat (sosial-
ekologis- kultural) .

Rupanya tidak jauh berbeda dengan kesenian Gumbeng yang telah berkembang di masyarakat
semenjak ratusan tahun lalu, keris dapur GUMBENG juga menunjukkan bentuk yang sederhana,
lugu dan memiliki muatan sakral serta magis dan ada kaitannya dengan keselarasan manusia dengan
alam. Dalam budaya keris, Gumbeng secara harfiah bermakna "tingkat kesadaran tertentu pada
saat bersemedi".

Semedi (meditasi, red), adalah salah satu bentuk meditasi yang dilakukan oleh manusia untuk
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan alam semesta. Berusaha mencapai keselarasan pikir,
hasrat dan daya-rasa-cipta pada diri manusia dengan Tuhan dan alam. Dalam tataran tertentu,
ketika bersemedi, manusia akan melalui suatu batas antara kesadaran pikir dalam tataran manusia
dengan kesadaran hakiki atas makna keTuhanan dan alam semesta. Semedi, juga menjadi semacam
metode penyucian batin (tazkiyatun nafs) serta berusaha mengelola energi alam.
Dalam bersemedi, manusia bisa jadi akan mengalami seperti apa yang dialami oleh Bima ketika
berusaha menjalankan titah mencari Tirta Pawitra dalam cerita Dewa Ruci. Melalui sebuah batas
dari tataran syariat, tarekat, hakikat dan makrifat yang disimbolkan dengan beberapa warna cahaya
sampai pada batas pencapaian (Kala Bintulu). Atau dalam budaya Jawa dikenal sebagai laku raga,
laku budi, laku manah, dan laku rasa. Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan
dalam Wedhatama, empat tahap laku ini disebut : sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan
sembah rasa.
Daya dorong kearah positif dan negatif harus, diselaraskan, diharmoniskan dan selalu dijaga
keseimbangannya. Jika daya nafsu bisa kita kendalikan dengan baik, akan sama artinya kita telah
bergerak untuk menyatukan diri dengan Tuhan, Hyang Moho Tunggal. Menyatukan disini dalam
pengertian ini bukan menyatunya dzat manusia dengan Dzat Tuhan. Manusia tidak perlu
menyatukan dirinya dengan Dzat Tuhan, karena Tuhan keberadaan-Nya sudah meliputi segala
sesuatu. Yang perlu disatukan adalah “Sifat, Asma dan Af’al “ manusia, agar selaras dengan sifat,
asma dan af’al Tuhan yang telah diberikan kepada semua manusia sebagai Kodrad dan Irodad yang
sudah ada dalam diri setiap manusia. Jadi tugas manusia hanyalah “menyelaraskan dan
menyerasikan“ dengan Kodrad dan Irodad Tuhan. Inilah batas yang ada dalam semedi. Semedi
tanpa menyadari adanya batasan diri akan menyebabkan manusia menjadi "owah". Berubah cara
pikir dan perasaan terhadap lakuning urip lan kesejatian.
Untuk bisa menyatukan diri dengan Tuhan, manusia dalam berbagai cara melakukan diantaranya
adalah dengan cara Semedi yang dalam hal ini manusia harus bisa menyatukan segenap perasaan
dan pikiran dengan nafasnya dalam bermeditasi. Puncak dari adanya penyatuan ini biasanya dalam
ukuran minim yang bisa terasa adalah timbulnya “ketenangan Jiwa“ dan tentramnya Qalbu. Hanya
dengan “mengingat“ Tuhan lah qalbu/hati bisa menjadi tenang.

Salah satu "semedi" dalam situasi, ajaran dan bentuk yang lain adalah Puasa. Puasa atau Poso
diserap dari dua kata Sansekerta, yaitu “upa” = dekat dan “wasa” = berkuasa. Jadi “upawasa” biasa
dilafalkan sebagai Poso atau puasa, merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Bahasa Arabnya shaum atau shiam. Dalam bahasa Inggris “fasting” yang diserap dari kata Jerman
kuno “fastan” = menggengam. Puasa dalam bahasa Ibrani tsum, tsom dan “inna nafsyo” yang
berarti merendahkan diri dengan berpuasa, sedangkan dalam bahasa Yunani = nesteuo, nestis atau
asitia/asitos.

Orang melakukan puasa, bukan hanya karena kewajiban atau karena ketentuan agama saja, bisa
juga untuk tujuan politik, seperti yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi ataupun Martin Luther King
Jr dengan demontrasi mogok makan. Begitu juga kita sering diwajibkan puasa demi kesehatan
misalnya sebelum melakukan test laboratorium atau pada saat melakukan detoksifikasi ataupun
para penderita diabetes. Begitu juga banyak orang melakukan puasa karena diet, hal ini banyak
dilakukan oleh para teenager. Orang berpuasa juga untuk menyatakan rasa duka ataupun karena
ingin meraih satu tujuan tertentu. Ada juga orang yang berpuasa sebagai persiapan diri menghadapi
suatu tugas khusus misalnya merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu.
Puasa dapat disebut doa dengan tubuh, karena menyangkut seluruh orang dan tingkah laku
rohaninya. Puasa dapat memberikan kemantapan dan intensitas pada doa, karena dapat
mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendak-Nya dan dapat bermakna mengorbankan
kesenangan dan keuntungan sesaat, dan dengan Puasa menolong orang untuk menghindari
keserakahan dan bisa merupakan tanda penyesalan, pertobatan. Puasa juga mempunyai akar
psikologis yang mendalam, yakni sebagai usaha pemurnian dan sebagai prasyarat mempermudah
pemusatan perhatian waktu semedi dan berdoa.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari puasa. Sekurang-kurangnya, kita diingatkan kembali oleh
Sang Pencipta arti penting hidup bersama dengan manusia lainnya. Dengan kata lain, makhluk sosial
ini tidak akan bisa hidup tanpa ada hubungan baik dengan sesamanya. Ketika puasa, kita dapat
merasakan pahit getir menahan lapar dan dahaga. Padahal penderitaan ini hanya sesaat, yaitu sejak
terbit fajar sampai tenggelam matahari. Buat fakir miskin kesengsaraan ini dijalani sepanjang
hayatnya. Melalui cara ini, mata batin kita akan peka, naluri ingin menolong akan semakin sensitif
dan kepedulian kita kepada semua manusia akan semakin baik. Semoga, dengan Puasa, kita bisa
terlahir kembali menjadi sesosok insan yang memahami adanya “batas”. Batas pencapaian tujuan,
batas hidup, batas kemampuan dan batas diri lainnya. Juga memahami bahwa hidup di dunia ini
hanya sesaat karena kesejatian hidup adalah ketenangan jiwa yang mengarah pada pendekatan diri
terhadap Sang Khaliq.

Kang sinedyo tineken Hyang Widi… (Yang diinginkan dikabulkan oleh Tuhan) Kang kinasara
dumadakan keno… (Yang dikehendaki tiba-tiba didapat) Tur sisihan Pangerane… (dan dikasihi oleh
Tuhan) Nadyan tan weruh iku… (Meskipun dirinya tidak tahu) Lamun nedyo muja semedi… (Akan
tetapi ketika dia hendak melakukan semedi)Sesaji neng segoro… (Dia memberikan sesajian di
Samudera/Hati/Qalbu) Dadya ngumbaraku… (Jadilah pengembaraan itu) Dumadi sariro tunggal…
(Untuk menjadi satu diri) Tunggal jati swara aowr ing Hartati… (Satu kesejatian suara yg ada dalam
Qalbu) Kang aran Sekar Jempina… (Itulah yang disebut Bunga Jempina )

Salaam,
Hidayat.

Diposkan oleh MY COLLECTION di 14:54 Tidak ada komentar:

Label: keris dapur gumbeng

BUDAYA KERIS KIAN TERPINGGIRKAN

Budaya Keris Kian Terpinggirkan ?


(Tulisan ini disadur dari Milis Forum Diskusi Keris (FDK – yang ditulis oleh Moderatornya M. Hidayat)

Salam sejahtera,
Rasanya tulisan semacam ini sudah sering kita baca, bahkan juga pasti sudah kerapkali kita pikirkan dan
diskusikan. Tetapi rasanya memang perlu untuk terus dikedepankan agar budaya keris di Tanah Air tidak
kian terkikis dan terpinggirkan.
Realitas Sosial-Budaya Masyarakat terkait dengan Keris.

Acapkali kita melihat pada tayangan TV dimana seorang pendekar menggunakan sebilah keris sebagai
senjata yang bisa mengeluarkan sinar dan seolah memiliki energi kuat sehingga mampu membunuh musuh
dari jarak jauh dengan pancaran sinarnya. Juga sering ditayangkan seorang dukun memegang keris yang
seolah-olah keris tersebut bisa bergetar dan mengeluarkan asap. Juga keris yang diberi sesaji bunga dan
jampi-jampi sehingga seakan bisa dimintai pertolongan karena memiliki kekuatan magis. Dan jika kita teliti
lebih detail lagi, keris-keris yang digunakan di sineotron TV kurang sesuai dengan jamannya. Katakanlah
misalnya cerita di era Majapahit atau Mataram Sultan Agung, keris yang digunakan sudah memakai
wrangka Ladrang Solo yang baru dikreasi oleh Pangeran Mangkubumi (?) pasca perjanjian Giyanti (Maret
1755). Walau memang tidak secara khusus mengulas tentang keris, tetapi akan lebih baik jika pengarah
busana dan perlengkapan acara juga sedikit belajar sedikit tentang keris, atau minimal menanyakan
kepada seseorang yang paham. Dengan begitu, setting cerita dan bentuk senjata serta perabotan yang
digunakanpun akan saling mendukung. Ini juga kerap kita temui pada acara resepsi perkawinan, dimana
pakaian yang digunakan adalah Jawa Timuran atau Jogjakarta, misalnya, tetapi keris yang di-sengkelit
menggunakan wrangka Ladrang Solo.

Dalam berbagai cerita legendaris, kita juga kerap mendengar keris mPu Gandring, Keris Kala Munyeng,
Keris Naga Sasra, dsb.. dimana Keris sebagai Pusaka dilegendakan secara lebih dramastis. Lalu diperparah
lagi oleh kondisi di pasar perkerisan dimana muncul beragam bentuk keris yang diyakini sebagai keris mPu
Gandring, Keris Kala Munyeng, bahkan paling sering keris Naga Sasra, yang walau buatan baru kualitas
kodian dengan tatahan kasar, tetapi si penjual (yang entah paham atau tidak, atau pura-pura tidak paham
keris), menawarkan keris tersebut sebagai keris tua tangguh Purwacarita, Singosari, Majapahait yang
dulunya pernah dimiliki oleh seorang pengageng kraton dengan mas kawin (harga) yang sangat fantastis
puluhan sampai ratusan juta dan bisa bikin kepala pening.

Bahkan beberapa penjual sering nekat dengan menawarkan keris buatan baru baik Bethok maupun Naga
Sasra kualitas kodian yang dikamal secara mengenaskan, dan dikatakan memiliki tuah yang sangat bagus
untuk kepangkatan, derajad, kerejekian, dsb…. Memang kalau dipikir, akan lebih mudah menjual keris baru
yang kurang garap dan dikamal sampai terkesan tua, membalutnya dengan kain putih dengan taburan
bunga dan minyak tanpa repot-repot nyandangi dengan wrangka dan perabot yang sekarang sudah kian
mahal, juga tanpa harus ribet belajar memahami budaya keris lebih dalam. Yang penting adalah bisa
memperoleh sejumlah nilai rupiah dari menawarkan keris dengan harga mahal karena dikatakan dan
diyakini memiliki yoni atau tuah yang kuat/hebat. Dan lebih ironis lagi, si pembeli karena kurang paham,
akhirnya terbujuk membeli keris baru yang dituakan atau bahkan sampai membeli keris yang dikatakan
bertuah dengan harga ratusan juta rupiah, padahal senyatanya adalah keris buatan baru yang dikamal.

Lebih jauh lagi, dari berbagai cerita mistis baik di radio ataupun media cetak lainnya, keris seolah telah
menjadi benda yang memiliki daya magis dan layak ditakuti karena tidak setiap orang akan kuat
menyimpannya. Bisa jadi tuah keris sangat tidak bagus bagi kelangsungan hidup seseorang. Tetapi
sebaliknya, juga ada cerita tentang orang yang baru membeli keris lantas jadi cepat kaya karena usahanya
terbantu dari keris tersebut, memiliki daya kebal, bisa meningkatkan daya pikir, dsb….. dll…..

Sedangkan yang terkait dengan produksi keris baru yang dilakukan oleh para pengerajin keris, saat ini
kondisinya juga kian memperihatinkan. Sebut saja para pengerajin keris di Banyu Sumurup – Jogja. Para
pengerajin di sana kian merasakan himpitan ekonomi, apalagi selepas musibah gempa bumi. Satu sisi
bahan baku keris seperti besi, nikel, timah, arang dll harganya sudah naik, di sisi yang lain para pemesan
keris baru makin menurun. Akhirnya mau tidak mau para pengerajin harus bersedia mengurangi profit
mereka demi mengejar pesanan walau jika di hitung, ternyata hasil kerja mereka sangat jauh di bawah
standar upah minimum. Kondisi ini juga di alami oleh para pengerajin di Aeng Tong-Tong Sumenep Madura.
Ditengah kebutuhan hidup masyarakat meningkat, sementara kondisi ekonomi kian sulit, maka para
pengerajin harus bisa menyiasati hidup agar tetap bisa eksis ditengah keterpurukan pesanan keris baru.
Padahal bisa dikata, Aeng Tong-Tong merupakan satu-satunya tempat produksi Kodogan dan keris baru
terbesar di Indonesia. Kodogan Aeng Tong-Tong banyak dipesan oleh para pengerajin keris dari Solo dan
Jogja. Dan kalau kondisi yang memperihatinkan ini terus berlanjut, maka masyarakat setempat bisa jadi
akan kembali menerjuni usaha pertanian dan perkebunan yang dulu mereka tinggalkan karena keris sudah
tidak menjanjikan lagi sebagai sandaran hidup.

Realitas kondisi sosial-budaya masyarakat kita terkait dengan keris tersebut apakah bisa dikatakan sebagai
kondisi yang bagus bagi perkembangan budaya keris di masa depan, ataukah malah ironi yang nantinya
akan semakin meminggirkan budaya keris di tanah air ? Bagi kita yang berfikir dan paham, tentu paparan
tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya keris telah menjadi fenomena budaya yang banyak dipelesetkan
jauh dari nilai-nilai budaya yang tersimpan pada keris itu sendiri untuk kepentingan pribadi sesaat yang
tanpa memikirkan keberlangsungan dan kelestarian budaya keris itu sendiri. Ironis bukan ?

Memaknai Keris sebagai Benda Budaya.

Keris, adalah karya seni hasil dari sebuah peradaban masyarakat pada masa lalu yang sampai sekarang
masih tetap dilestarikan serta ditumbuh-kembangkan. Karena itu, membicarakan Keris tidak akan bisa
lepas dari budaya masyarakat dimana keris tersebut dibuat serta sejarah masa lalu yang melingkupinya.
Untuk memahami dan menikmati hasil karya dari seorang mPu Keris, kita tidak hanya melihat bahan besi
dan kualitas penempaan, material pamor yang digunakan dan penerapannya, serta bukan pula pada
pasikutan sebilah keris semata. Lebih jauh dari itu, untuk menikmati keindahan sebilah keris, kita perlu
sejenak kembali ke masa lalu. Membayangkan kondisi budaya masyarakat setempat waktu itu, tingkatan
teknologi yang dimiliki, pola pikir serta simbol-simbol (sanepa & sengkala) dengan berbagai makna yang
dianut masyarakat waktu itu serta berbagai aspek lain yang terkait dengan sebuah budaya. Alhasil, dengan
memahami prosesi pembabaran keris, bentuk keris itu sendiri sampai pada budaya masyarakat masa lalu
secara menyeluruh, maka kita akan bisa memahami dan menikmati keindahan keris sebagai sebuah maha
karya agung dari sebuah proses budaya yang bisa menjadi filosofi hidup sarat makna.

Dalam perkembangan budaya, tentu akan selalu ada evolusi, baik akibat akulturasi budaya maupun inovasi
dari masyarakat yang hidup pada masa itu. Demikian pula dengan keris. Perkembangan budaya keris lebih
banyak dilihat dari bentuk bilah dari yang kurang garap ke yang lebih garap. Ini karena seorang mPu jaman
dulu sampai sekarang adalah seorang seniman yang sangat paham dengan estetika dan keindahan seni.
Dari yang sangat sederhana menjadi yang memiliki ricikan lengkap. Misalnya pada jaman kerajaan Hindu
awal, keris memiliki bentuk yang sederhana dan cenderung berfungsi sebagai senjata tikam. Ini bisa dilihat
pada beberapa relief candi. Di sana terpahat bentuk keris yang dipegang sebagai layaknya senjata tikam.
Bentuknya seperti belati yang merupakan prototipe keris Bethok serta ada pula bentuk keris Sepang tetapi
lebih pendek. Dan karena itu, tidaklah salah jika keris juga dikatakan sebagai senjata.

Tetapi dalam perkembangan era berikutnya, pada jaman Kediri, Singosari, Majapahit sampai sekarang,
keris sudah mulai berkembang baik bentuk maupun fungsinya. Dari bentuk yang sederhana seperti Bethok
dan Brojol menjadi keris berlekuk (Luk). Juga dari senjata tikam menjadi simbol kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, juga sebagai pusaka atau piyandel. Perkembangan dan perubahan ini tentunya memiliki
maksud tertentu. Ini sejalan dengan budaya masyarakat masa lalu, dimana segala sesuatu yang ada dalam
kehidupan ini acapkali dilambangkan dalam sebuah perumpamaan (sanepa) dan perlambang (sengkala)
yang memiliki makna filosofi hidup secara mendalam.

Keris sebagai simbol budaya khususnya masyarakat Jawa jaman dulu ditunjukkan dari makna dapur
maupun pamor. Seperti misalnya keris dapur Condong Campur yang melambangkan kondisi sosial, politik
dan budaya masyarakat Majapahit jaman dulu dimana kondisi masyarakat sudah sangat heterogen,
perpecahan antar golongan mulai muncul yang kemudian ingin atau diarahkan (Condong) agar bisa
disatukan (Campur). Kondisi ini dilambangkan dalam bentuk keris Kanjeng Kyai Condong Campur. Lain
halnya dengan Keris Kala Munyeng. Penyebutan Kala Munyeng berawal dari Kalam Munyeng yang artinya
kurang lebih perkataan atau kalimat yang disampaikan secara lisan (Kalam) yang bisa menyebabkan orang
lain bingung (Munyeng). Kanjeng Sunan Giri dilegendakan memiliki keris yang bisa terbang sendiri dan
berputar-putar membunuh musuh (pasukan Majapahit). Sesungguhnya makna dari keris Kala Munyeng
adalah perkataan Kanjeng Sunan Giri yang menyebabkan pasukan Majapahit bingung apakah akan
meneruskan menyerang Giri ataukah kembali ke Majapahit. Kondisi kebingungan ini menyebabkan pasukan
Majapahit terpecah menjadi 2 (dua) kelompok dan saling berbunuhan tanpa turun tangan langsung dari
pasukan Giri Gresik.

Keris, meminjam uraian Sugeng SW, juga merupakan lambang “senjata hidup”. Senjata orang hidup adalah
akal dan pikiran untuk selalu menyempurnakan diri dengan visi yang tajam seperti tajamnya bilah keris.
Artinya bahwa ketajaman keris menunjukkan kecerdasan, kecermatan dan keperwiraan manusia yang
sudah “dewasa”. Dengan memahami keris seperti itu, maka keris telah kita posisikan sebagai sebuah
filosofi hidup yang sarat makna dan merupakan simbol jati diri bangsa yang patut untuk terus dikaji,
dilestarikan serta diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Dengan melihat kondisi yang memperihatinkan dalam masyarakat kita saat ini terkait dengan
pemahamannya terhadap keris, serta pemahaman kita atas makna besar yang melekat pada keris sebagai
benda budaya, maka sudah sewajarnya kita terpanggil untuk senantiasa mengabarkan kebenaran dan
memberikan pencerahan kepada masyarakat sekeliling kita yang kurang paham terhadap keris. Selalu
berupaya untuk melestarikan dan mengembangkan budaya keris melalui kerjasama dengan para
pengerajin keris, sampai pada sharing koleksi agar bisa dinikmati oleh umum karena sesungguhnya keris
adalah referensi budaya. Dan bukan sebaliknya, malah menghancurkan budaya keris dengan berbagai cara
demi keuntungan materiil sesaat atau keinginan agar mendapat pengakuan khalayak ramai bahwa keris
yang dikoleksi memiliki tuah yang sakti atau asalan yang lain yang akhirnya bisa meminggirkan budaya
keris dari kehidupan masyarakat kita.

Mohon maaf jika ada kesalahan berkalimat serta dipandang bisa mendistorsi upaya dan keinginan untuk
menawarkan keris baru yang dituakan dan dikatakan sebagai keris tua ber-tuah. Lebih jauh, segala sesuatu
yang ada pada tulisan ini sebenarnya bukan Untuk Kita Renungkan (meminjam judul lagu Ebiet GAde),
tetapi untuk kita implementasikan melalui interaksi kita dalam hidup bermasyarakat terkait dengan
pengembangan budaya Keris.

Salaam,
Hidayat

Diposkan oleh MY COLLECTION di 14:29 Tidak ada komentar:

Label: BUDAYA KERIS, keris

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Langganan: En

Anda mungkin juga menyukai