1
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
BAB II ..................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4
PENUTUP ............................................................................................................. 14
A. KESIMPULAN ...................................................................................... 14
B. SARAN .................................................................................................. 14
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian wasiat ?
2. Sebutkan ayat-ayat yang berkaitan dengan wasiat ?
3. Bagaimana hukum wasiat ?
4. Apa saja rukun dan syarat-syarat wasiat ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WASIAT
Kata wasiat ( ) الوصيةberasal dari kata “washshaitu () وصيت, asy-syaia ( الشيئ
), ushiiyah () أصيه, artinya: aushaltu (( )أوصلتaku menyampaikan sesuatu)”.yang
juga berarti pesanan, jadi berwasiat juga diartikan berpesan. Dalam Al-Qur'an kata
wasiat dan yang seakar dengan itu mempunyai beberapa arti di antaranya berarti
menetapkan, sebagaimana dalam surat al-An'am : 144 ))أم كنتم شهداء إذ وصاكم هللا,
memerintahkan sebagaimana dalam surat Luqman: 14, ( )ووصينا اإلنسان بولديهdan
Maryam: 31 ) وأوصانى بالصالة, mensyari'atkan (menetapkan) sebagaimana dalam
surat An-Nisa' ayat 12 ()وصية من هللا. Adapun pengartiannya menurut istilah
Syariah ialah: pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan
dengan tulisan oleh seseorang yang merasa akan wafat berkenaan dengan harta
benda yang ditinggalkannya.1
Pengertian yang diberikan oleh ahli hukum wasiat ialah "memberikan hak
secara suka rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan
dengan kata-kata atau bukan” sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan
sebagai berikut : “wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik
1
Machdum, Ilham.Pengertian Wasiat dan Hibah, http://ilhammachdum.blogspot.com/
2013/04/pengertian-wasiat-dan-hibah.html (diakses 16 Desember 2017).
4
berupa barang, piutang , ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi
wasiat setelah yang berwasiat mati.”2
Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela
yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini
bisa berupa barang, piutang atau manfaat.
Ada beberapa ayat Al-qur’an dan Hadis yang berkaitan dengan wasiat :
1. QS.Al Baqoroh: 180-182
2
Hadiansyah, Diyan Shintaweecai. Pengertian Wasiat, http://diyanshintaweecai
hadiansyah.blogspot.com/2011/12/pengertian-wasiat.html (diakses 16 Desember 2017)
3
Zarkasyi. Makalah Wasiat oleh Mahasiswa STAIN Al-Fatah Jayapura,
http://jundanjarblog.blogspot.com/2011/04/makalah-wasiat-oleh-mahasiswa-stain-al.html (diakses
16 Desember 2017).
5
Terjemah :
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
181. Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia
mendengarnya, Maka Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang
yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.
182. (akan tetapi) Barangsiapa khawatir terhadap orang yang
Berwasiat itu, Berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia
mendamaikan antara mereka, Maka tidaklah ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
امرئ
ٍ ((ما َ َح ٌّق:عن ابن عمر رضي هللا عنهما أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال
صيُّتُهُ َم ْكت ُ ْوبَةٌ ِع ْندَهُ)) متفق عليه
ِ ي فِ ْي ِه يَ ِبيْتُ َل ْي َلتَي ِْن ِإالَّ َو َو ِ ئ ي ُِر ْيدُ أ َ ْن ي ُْو
َ ص ٌ ُمس ِل ٍم َلهُ ِشي
Terjemah :
Daripada Ibn Umar (r.a), bahawa Rasulullah (s.a.w) bersabda: “Hak
seorang muslim yang memiliki sesuatu lalu ingin berwasiat dan sudah
berlalu dua malam, maka wasiatnya mesti sudah ditulis di
sisinya.”(Muttafaq ‘alaihi)
َوالَ يَ ِرثُنِ ْي إال، يا رسول هللا! أنا ذو ما ٍل: قلت:عن سعد با أبي وقاص رضي هللا عنه قال
ْ صد ُّق بِش
َ :َط ِره؟ قال
))((ال َ َ أفأَت: ُ((ال)) قُ ْلت َ أفأَت،ٌ احدة
ْ صد َُّق بِثُلُثِ ْي َم
َ :الي؟ قال ِ ا ْبنَةٌ ِلي َو
إنك أ َ ْن تَذَ َر ورثَتَكَ أ ْغنِياء خي ٌْر من أن، والثلث كثير،ث
ُ ُ ((الثُل:صد َُّق بِثُلُثِه؟ قال
َ َ أفأت:قلت
تَذَ َرهم عالَةً يَت َ َكفّفون الناس)) متفق عليه
6
Terjemah :
Daripada Sa’ad bin Abu Waqqash (r.a), beliau berkata: “Saya
bertanya:“Wahai Rasulullah, saya seorang hartawan dan pewarisnya
hanyalah seorang anak perempuan saya. Bolehkah saya
menyedekahkan 2/3 harta saya?” Baginda menjawab: “Tidak boleh.”
Saya bertanya: “Bolehkah saya menyedekahkan 1/2 harta milik saya?”
Baginda menjawab: “Tidak boleh.”Saya bertanya: “Bolehkah saya
menyedekahkan 1/3?” Baginda menjawab:“1/3, dan itu sudah banyak.
Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu kaya raya lebih baik
daripada kamu tinggalkan mereka fakir miskin meminta-minta kepada
orang lain.” (Muttafaq alaihi)
3. Hadits ‘Aisyah
يا: أن رجال أتى النبي صلى هللا عليه وسلم فقال:وعن عائشة رضي هللا عنها
اَفَلَها،ت
ْ َصدّق
َ َت ت ُ َ وأ،سها ول ْم ت ُ ْوص
ْ َظنُّها لَ ْو ت َ َك َّمل ُ َت نَ ْف
ْ إن أمي افتُلت
ّ !رسول هللا
َ َ أَجْ ٌر ِإ ْن ت
َ ُصدَّ ْقت
. وللفظ لمسلم, متفق عليه.)) ((نعم:ع ْنها؟ قال
Terjemah :
Daripada Aisyah (r.a) bahawa ada seorang lelaki datang menghadap
Rasulullah (s.a.w) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, ibuku meninggal
dunia secara mengejut dan tidak sempat berwasiat. Saya kira jika dia
sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia berpahala jika aku
bersedakah untuk dia?” Baginda bersabda: “Ya.” (Muttafaq ‘alaih,
lafaz hadith riwayat Muslim).
C. HUKUM WASIAT
Mengenai kedudukan hukum wasiat, ada yang berpendapat bahwa wasiat itu
wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak ataupun
sedikit. Pendapat ini di katakan oleh Az-Zuhri dan Abu Mijlaz. Pendapat ini
berpatokan pada Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 180 yang mewajibkan wasiat
ketika seseorang menghadapi kematian.
7
Pendapat kedua menyatakan bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib
kerabat yang tidak mewarisi dari si mayat itu wajib hukumnya.
Pendapat ketiga adalah pendapat empat imam mazhab dan aliran Zaidiyah
yang menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang
meninggalkan harta (pendapat pertama), dan bukan pula kewajiban terhadap
kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mendapat harta warisan (pendapat
kedua): tetapi wasiat itu hukumnya berbeda-beda menurut keadaan. Wasiat itu
terkadang wajib, terkadang sunat, terkadang haram, terkadang makruh, dan
terkadang mubah (boleh).
Menurut Sayyid sabiq, hukum wasiat itu ada beberapa macam yaitu :
1. Wajib
Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai kewajiban syara’
yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya
titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia
mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum
dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang
yang tidak diketahui sselain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak
dipersaksikan.
2) Sunah
Wasiat itu disunatkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-
orang fakir dan orang-orang saleh.
3) Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya
merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu mencapai
sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau
tempat hiburan.
8
4) Makruh
Wasiat itu makruh jika orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia
mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya.
Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang yang fasik jika diketahui atau
diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan
kerusakan.
5) Jaiz
Wasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang
yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat).4
1. Rukun Wasiat
Tidak ada redaksi khusus untuk wasiat. Jadi, wasiat sah diucapkan dengan
redaksi bagaimanapun, yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan
secara sukarela sesudah wafat. Jadi, jika si pemberi wasiat berkata, “Aku
mewasiatkan barang anu untuk si Fulan,” maka ucapan itu sudah menyatakan
adanya wasiat, tanpa harus disertai tambahan (qayd) “sesudah aku meninggal”.
4
Masri, Zainal. Wasiat dan Permasalahannya, http://zainalmasrizain.blogspot.com/
2012/09/wasiat-dan-permasalahannya.html (diakses 16 Desember 2017).
5
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, 1994. hal
237
9
Tetapi jika si pemberi wasiat mengatakan, “Berikanlah” atau “Kuperuntukkan”
atau “Barang ini untuk si Fulan”, maka tak dapat tidak mesti diberi tambahan
“setelah aku meninggal”, sebab kata-kata tersebut semuanya tidak menyatakan
maksud berwasiat, tanpa adanya tambahan kata-kata tersebut.
Orang yang berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan
orang yang gila, balig dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh tahun
penuh diperbolehkan (ja’iz), sebab Khalifah Umar memperbolehkannya. Tentu
saja pemberi wasiat itu adalah pemilik barang yang sah hak pemilikannya
terhadap orang lain.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang
dungu dan orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar,
wasiat mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang dapat
mengetahui apa yang mereka wasiatkan.
10
3. Penerima Wasiat (mushan lahu)
Penerima wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli
waris lainnya. Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi, juga untuk
seorang Muslim, sesuai dengan firman Allah:
Wasiat bagi anak yang masih dalam kandungan adalah sah dengan syarat
bahwa ia lahir dalam keadaan hidup, sebab wasiat berlaku seperti berlakunya
pewarisan. Dan menurut ijma’, bayi dalam kandungan berhak memperoleh
warisan. Karena itu ia juga berhak menerima wasiat.
Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti harta atau
rumah dan kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan benda yang menurut
kebiasaan lazimnya tidak bisa dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak bisa
dimiliki secara syar’i, seperti minuman keras, jika pemberi wasiat seorang
Muslim, sebab wasiat identik dengan pemilikan, maka jika pemilikan tidak bisa
dilakukan, berarti tidak ada wasiat. Sah juga mewasiatkan buah-buahan di kebun
untuk tahun tertentu atau untuk selamanya.
2. Syarat Wasiat
Perkara yang menjadi syarat boleh dan sahnya wasiat secara syariah Islam adalah
sbb:
a. Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Apabila lebih, maka untuk
kelebihan dari 1/3 harus atas seijin ahli waris.6
b. Wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas seijin ahli
waris lain.
6
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, 1994. hal
247
11
c. Boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi wasiat buah
dari pohon yang belum berbuah.
d. Boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui seperti susu
dalam perut sapi.
e. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
a. Akil baligh
b. Berakal sehat
c. Atas kemauan sendiri.
d. Boleh orang kafir asal yang diwasiatkan perkara halal
Penerima wasiat ada dua macam. a) Wasiat umum seperti wasiat pembangunan
masjid; b) Wasiat khusus yaitu wasiat kepada orang/benda tertentu.
Kalau wasiat bersifat umum, maka tidak boleh untuk hal yang mengandung dosa
(maksiat). Contoh, wasiat harta untuk pembangunan masjid boleh tetapi wasiat
untuk membangun klab malam tidak boleh. Untuk wasiat khusus maka syaratnya
adalah sbb:
a) Penerima wasiat hidup (orang mati tidak bisa menerima wasiat)
b) Penerima wasiat diketahui (jelas identitas oragnya).
c) Dapat memiliki.
d) Penerima wasiat tidak membunuh pewasiat.
e) Penerima wasiat menerima (qabul) pemberian wasiat dari pewasiat. Kalau
menolak, maka wasiat batal.
Adapun Syarat-syarat wasiat menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi adalah
sebagai berikut :
12
1. Penerima wasiat harus Muslim, berakal, dan dewasa, sebab non-Muslim
dikhawatirkan menyia-nyiakan wasiat yang diserahkan kepadanya untuk
diurusi; menunaikan hak, atau mengurusi anak-anak kecil.
2. Pemberi wasiat harus berakal, bisa membedakan antara kebenaran dengan
kebatilan, dan memiliki apa yang diwasiatkan.
3. Sesuatu yang diwasiatkan harus merupakan sesuatu yang diperbolehkan.
Jadi, berwasiat pada sesuatu yang diharamkan tidak boleh dilaksanakan.
Contohnya, seseorang mewasiatkan uangnya untuk disumbangkan ke
gereja, atau ke bid'ah yang makruh, atau ke tempat hiburan, atau ke
kemaksiatan.
4. Penerima wasiat disyaratkan menerimanya dan jika ia menolaknya maka
wasiat tidak sah, kemudian setelah itu ia tidak mempunyai hak di
dalamnya.
1. orang ang akan menerima wasiat itu harus sudah ada ketika wasiat itu
diikrarkan;
2. sudah ada ketika orang yang berwasiat itu meninggal dunia;
3. bukan orang yang menjadi sebab meninggalnya orang yang berwasiat
dengan cara pembunuhan; dan
4. bukan ahli waris pemberi wasiat.
13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Wasiat adalah pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan
dengan tulisan oleh seseorang yang merasa akan wafat berkenaan dengan harta
benda yang ditinggalkannya. Wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat,
terkadang haram, terkadang makruh, dan terkadang mubah (boleh).
Adapun rukun wasiat itu ada empat, yaitu:Redaksi wasiat (shighat), Pemberi
wasiat (mushiy), Penerima wasiat (mushan lahu), Barang yang diwasiatkan
(mushan bihi).
Disyaratkan agar orang yang memberi wasiat adalah orang yang ahli kebaikan,
yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Keabsahan
kompetensi ini didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar , dan
tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian. Apabila orang yang memberi
wasiat itu orang yang kurang kompetensinya, yaitu karena dia masih anak-anak,
gila, hamba sahaya, dipaksa, atau dibatasi; wasiatnya itu tidak sah.
Orang yang berwasiat biasanya ada yang memiliki ahli waris dan tidak.
Bila dia mempunyai ahli waris maka dia tidak boleh mewaistkan lebih dari 1/3
hartanya. Apabila dia mewasiatkan hartanya lebih sepertiga, maka wasiat iti tidak
di laksanakan, kecuali atas izin dari ahli waris, dan untuk melaksanakanya di
perlukan dua syarat sebagai berikut;
B. SARAN
Kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan, untuk itu kami
mengharapkan masukan atau saran dari teman-teman demi perbaikan karya tulis
kami di masa yang akan datang.
14
DAFTAR PUSTAKA
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, 1994.
15