ANALISIS EPIDEMIOLOGI
ANGGOTA
1. SINDY PRATAMA PUTRI (1162089/2B2)
2. SYAVIRA AROEM KUSUMA P (1162092/2B2)
3. YOSEFANY NANDIKA PUTRI (1162099/2B2)
Dalam suatu penelitian epidemiologi salah satu metode yang digunakan untuk memecahkan
dan mengetahui kebenaran suatu masalah adalah dengan metode epidemiologi deskriptif.
Epidemiologi deskriptif menggambarkan distribusi penyakit menurut variabel orang, tempat, dan
waktu. Dalam penelitian deskriptif peneliti mengadakan eksplorasi fenomena tanpa berusaha
mencari hubungan antar-variabel didalam fenomena tersebut.
Resiko Paparan :
1. Mengukur keeratan hubungan statistic antara factor pemapar tertentu dengan kejadian
penyakit yang diduga merupakan akibat pemaparan tersebut
2. Hubungan antara pemapar dengan akibatnya diukur dengan menggunakan Relative Risk
atau Odds Ratio
OR (Odds Ratio)
Ratio antara odds kelompok kasus dengan odds kelompok control
Digunakan pada penelitian longitudinal yang bersifat Backward
Odds pada kelompok kasus = a / c
Odds pada kelompok control = b / d
Interpretasi OR = ad / bc
OR > 1 sebagai factor penyebab (resiko)
OR = 0 tidak ada pengaruh atau hubungan
OR < 1 sebagai factor pencegah (preventif)
Contoh :
Ca Paru
Eksposure Jumlah
Ya Tidak
Perokok 90 45 135
Tidak Perokok 25 45 70
Jumlah 115 90 205
F. Epidemiologi Deskriptif
a. Orang (Person)
Disini akan dibicarakan peranan umur, jenis kelamin, kelas sosial, pekerjaan,
golongan etnik, status perkawinan, besarnya keluarga, struktur keluarga dan paritas.
1) Umur
Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan didalam penyelidikan-penyelidikan
epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian didalam hampir semua
keadaan menunjukkan hubungan dengan umur.
Dengan cara ini orang dapat membacanya dengan mudah dan melihat pola
kesakitan atau kematian menurut golongan umur. Persoalan yang dihadapi adalah
apakah umur yang dilaporkan tepat, apakah panjangnya interval didalam
pengelompokan cukup untuk tidak menyembunyikan peranan umur pada pola
kesakitan atau kematian dan apakah pengelompokan umur dapat dibandingkan dengan
pengelompokan umur pada penelitian orang lain.
Didalam mendapatkan laporan umur yang tepat pada masyarakat pedesaan yang
kebanyakan masih buta huruf hendaknya memanfaatkan sumber informasi seperti
catatan petugas agama, guru, lurah dan sebagainya. Hal ini tentunya tidak menjadi soal
yang berat dikala mengumpulkan keterangan umur bagi mereka yang telah bersekolah.
2) Jenis Kelamin
Angka-angka dari luar negeri menunjukkan bahwa angka kesakitan lebih tinggi
dikalangan wanita sedangkan angka kematian lebih tinggi dikalangan pria, juga pada
semua golongan umur. Untuk Indonesia masih perlu dipelajari lebih lanjut. Perbedaan
angka kematian ini, dapat disebabkan oleh faktor-faktor intinsik.
Yang pertama diduga meliputi faktor keturunan yang terkait dengan jenis kelamin
atau perbedaan hormonal sedangkan yang kedua diduga oleh karena berperannya
faktor-faktor lingkungan (lebih banyak pria mengisap rokok, minum minuman keras,
candu, bekerja berat, berhadapan dengan pekerjaan-pekerjaan berbahaya, dan
seterusnya).
Sebab-sebab adanya angka kesakitan yang lebih tinggi dikalangan wanita, di
Amerika Serikat dihubungkan dengan kemungkinan bahwa wanita lebih bebas untuk
mencari perawatan. Di Indonesia keadaan itu belum diketahui. Terdapat indikasi
bahwa kecuali untuk beberapa penyakit alat kelamin, angka kematian untuk berbagai
penyakit lebih tinggi pada kalangan pria.
3) Kelas Sosial
Kelas sosial adalah variabel yang sering pula dilihat hubungannya dengan angka
kesakitan atau kematian, variabel ini menggambarkan tingkat kehidupan seseorang.
Kelas sosial ini ditentukan oleh unsur-unsur seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan
dan banyak contoh ditentukan pula oleh tempat tinggal. Karena hal-hal ini dapat
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan maka
tidaklah mengherankan apabila kita melihat perbedaan-perbedaan dalam angka
kesakitan atau kematian antara berbagai kelas sosial.
Masalah yang dihadapi dilapangan ialah bagaimana mendapatkan indikator
tunggal bagi kelas sosial. Di Inggris, penggolongan kelas sosial ini didasarkan atas
dasar jenis pekerjaan seseorang yakni I (profesional), II (menengah), III (tenaga
terampil), IV (tenaga setengah terampil) dan V (tidak mempunyai keterampilan).
Di Indonesia dewasa ini penggolongan seperti ini sulit oleh karena jenis pekerjaan
tidak memberi jaminan perbedaan dalam penghasilan. Hubungan antara kelas sosial
dan angka kesakitan atau kematian kita dapat mempelajari pula dalam hubungan
dengan umur, dan jenis kelamin.
4) Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan dapat berperan didalam timbulnya penyakit melalui beberapa jalan
yakni :
5) Penghasilan
Yang sering dilakukan ialah menilai hubungan antara tingkat penghasilan dengan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin oleh karena tidak mempunyai
cukup uang untuk membeli obat, membayar transport, dan sebagainya.
6) Golongan Etnik
Berbagai golongan etnik dapat berbeda didalam kebiasaan makan, susunan
genetika, gaya hidup dan sebagainya yang dapat mengakibatkan perbedaan-perbedaan
didalam angka kesakitan atau kematian.
Didalam mempertimbangkan angka kesakitan atau kematian suatu penyakit antar
golongan etnik hendaknya diingat kedua golongan itu harus distandarisasi menurut
susunan umur dan kelamin ataupun faktor-faktor lain yang dianggap mempengaruhi
angka kesakitan dan kematian itu.
Penelitian pada golongan etnik dapat memberikan keterangan mengenai pengaruh
lingkungan terhadap timbulnya suatu penyakit. Contoh yang klasik dalam hal ini ialah
penelitian mengenai angka kesakitan kanker lambung.
Didalam penelitian mengenai penyakit ini di kalangan penduduk asli di Jepang
dan keturunan Jepang di Amerika Serikat, ternyata bahwa penyakit ini menjadi kurang
prevalen di kalangan turunan Jepang di Amerika Serikat. Ini menunjukkan bahwa
peranan lingkungan penting didalam etiologi kanker lambung.
7) Status Perkawinan
Dari penelitian telah ditunjukkan bahwa terdapat hubungan antara angka kesakitan
maupun kematian dengan status kawin, tidak kawin, cerai dan janda; angka kematian
karena penyakit-penyakit tertentu maupun kematian karena semua sebab makin
meninggi dalam urutan tertentu.
Diduga bahwa sebab-sebab angka kematian lebih tinggi pada yang tidak kawin
dibandingkan dengan yang kawin ialah karena ada kecenderungan orang-orang yang
tidak kawin kurang sehat. Kecenderungan bagi orang-orang yang tidak kawin lebih
sering berhadapan dengan penyakit, atau karena adanya perbedaan-perbedaan dalam
gaya hidup yang berhubungan secara kausal dengan penyebab penyakit-penyakit
tertentu.
8) Besarnya Keluarga
Didalam keluarga besar dan miskin, anak-anak dapat menderita oleh karena
penghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak orang.
9) Struktur Keluarga
Struktur keluarga dapat mempunyai pengaruh terhadap kesakitan (seperti
penyakit menular dan gangguan gizi) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Suatu
keluarga besar karena besarnya tanggungan secara relatif mungkin harus tinggal
berdesak-desakan didalam rumah yang luasnya terbatas hingga memudahkan
penularan penyakit menular di kalangan anggota-anggotanya; karena persediaan harus
digunakan untuk anggota keluarga yang besar maka mungkin pula tidak dapat
membeli cukup makanan yang bernilai gizi cukup atau tidak dapat memanfaatkan
fasilitas kesehatan yang tersedia dan sebagainya.
10) Paritas
Tingkat paritas telah menarik perhatian para peneliti dalam hubungan kesehatan
si ibu maupun anak. Dikatakan umpamanya bahwa terdapat kecenderungan kesehatan
ibu yang berparitas rendah lebih baik dari yang berparitas tinggi, terdapat asosiasi
antara tingkat paritas dan penyakit-penyakit tertentu seperti asma bronchiale, ulkus
peptikum, pilorik stenosis, dan seterusnya. Tapi kesemuanya masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
b. Tempat (Place)
Pengetahuan mengenai distribusi geografis dari suatu penyakit berguna untuk
perencanaan pelayanan kesehatan dan dapat memberikan penjelasan mengenai etiologi
penyakit.
Perbandingan pola penyakit sering dilakukan antara :
Didalam membicarakan perbedaan pola penyakit antara kota dan pedesaan, faktor-
faktor yang baru saja disebutkan diatas perlu pula diperhatikan. Hal lain yang perlu
diperhatikan selanjutnya ialah akibat migrasi ke kota atau ke desa terhadap pola penyakit,
di kota maupun di desa itu sendiri.
Migrasi antar desa tentunya dapat pula membawa akibat terhadap pola dan
penyebaran penyakit menular di desa-desa yang bersangkutan maupun desa-desa di
sekitarnya.
Susunan umur
Susunan kelamin
Kualitas data
Derajat representatif dari data terhadap seluruh penduduk.
Walaupun telah dilakukan standarisasi berdasarkan umur dan jenis kelamin,
memperbandingkan pola penyakit antar daerah di Indonesia dengan menggunakan data
yang berasal dari fasilitas-fasilitas kesehatan, harus dilaksanakan dengan hati-hati, sebab
data tersebut belum tentu representatif dan baik kualitasnya.
Variasi geografis pada terjadinya beberapa penyakit atau keadaan lain mungkin
berhubungan dengan 1 atau lebih dari beberapa faktor sebagai berikut :
1) Lingkungan fisis, kemis, biologis, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda dari
suatu tempat ke tempat lainnya.
2) Konstitusi genetis atau etnis dari penduduk yang berbeda, bervariasi seperti
karakteristik demografi.
3) Variasi kultural terjadi dalam kebiasaan, pekerjaan, keluarga, praktek higiene
(sanitasi) perorangan dan bahkan persepsi tentang sakit atau sehat.
4) Variasi administrasi termasuk faktor-faktor seperti tersedianya dan efisiensi
pelayanan medis, program higiene (sanitasi) dan lain-lain.
Banyaknya penyakit hanya berpengaruh pada daerah tertentu. Misalnya penyakit
demam kuning, kebanyakan terdapat di Amerika Latin. Distribusinya disebabkan oleh
adanya “reservoir” infeksi (manusia atau kera), vektor (yaitu Aedes aegypty), penduduk
yang rentan dan keadaan iklim yang memungkinkan suburnya agen penyebab penyakit.
Daerah dimana vektor dan persyaratan iklim ditemukan tetapi tidak ada sumber infeksi
disebut “receptive area” untuk demam kuning.
Contoh-contoh penyakit lainnya yang terbatas pada daerah tertentu atau yang
frekuensinya tinggi pada daerah tertentu, misalnya Schistosomiasis di daerah dimana
terdapat vektor snail atau keong (Lembah Nil, Jepang), gondok endemi (endemic goiter)
di daerah yang kekurangan yodium.
c. Waktu (Time)
Mempelajari hubungan antara waktu dan penyakit merupakan kebutuhan dasar
didalam analisis epidemiologis, oleh karena perubahan-perubahan penyakit menurut
waktu menunjukkan adanya perubahan faktor-faktor etiologis. Melihat panjangnya waktu
dimana terjadi perubahan angka kesakitan, maka dibedakan :
Studi epidemiologi dengan populasi sebagai unit analisis yang bertujuan mendeskripsikan
hubungan korelatif antara penyakit dan faktor-faktor penelitian. Faktor-faktor yang digunakan :
umur, bulan, penggunaan pelayanan kesehatan, konsumsi jenis makanan, obat-obatan, sigaret dll.
Unit observasi/unit analisis adalah kelompok individu, komunitas, atau populasi yang lebih
besar.
a) Kekuatan
Dapat menggunakan data insidensi, prevalensi dan mortalitas
Digunakan pada penyelidikan awal hubungan paparan dan penyakit
Mudah dilakukan dan murah dengan memanfaatkan informasi yang tersedia
Departemen pemerintah dan Biro Pusat statistik secara teratur mengumpulkan data
demografi yang dapat dikolerasikan dengan data morbiditas, mortalitas dan penggunaan
sumber daya kesehatan yang dikumpulkan Departmen Kesehatan.
b) Kelemahan
Tidak mampu mengatasi kesenjangan status paparan dan penyakit pada tingkat populasi
dan individu. Kita tidak mengetahui apakah seseorang yang terpapar juga berpenyakit.
Tidak mampu mengontrol faktor perancu
Contoh : terlepas dari korelasi positif yang kuat antara merokok dengan kematian Ca paru,
dapat diduga bahwa perkiraan tersebut lebih besar dari sesungguhnya, karena adanya
faktor lain : polusi udara, asbes, radium, hidrokarbon, radiasi dll.
H. Rangkaian Berkala
Rangkaian berkala merupakan salah satu rancangan eksperimen semu untuk mengevaluasi
efektivitas intervensi. Evaluasi dilakukan dengan cara : mempelajari perubahan gerakan kurva
frekuensi penyakit pada populasi selama beberapa interval waktu, baik sebelum maupun sesudah
implementasi intervensi pada populasi.
Contoh : rangkaian berkala untuk mengevaluasi efektifitas peraturan senjata api di Detroit.
I. Epidemiologi Analitik
Mencangkup pencarian jawaban factor yang mempengaruhi frekuensi, ditribusi dan atau
penyebab terjadinya masalah kesehatan
Analisa hubungan sebab akibat : why dan how
Pengumpulan, pengolahan, penyajian data pada dua kelompok individu
Untuk membuktikan hipotesa
J. Contoh Kasus
CIAMIS, KOMPAS.com - Dalam lima bulan terakhir sepanjang 2013, kasus demam berdarah
dengue (DBD) di Ciamis, Jawa Barat, meningkat tajam. Menurut catatan Dinas Kesehatan
Ciamis, dalam rentang waktu tersebut 141 orang dirawat akibat DBD.Dari ratusan yang terkena
DBD, dua orang meninggal dunia.
Dua orang penderita DBD yang meninggal adalah atas nama Rika (7) dan Agung Ikin (45).
Rika warga Dusun/Desa Sindangjaya RT 9/03, Kecamatan Banjarasari yang meninggal di RSU
Kota Banjar pada Januari lalu. Sedangkan Agung, warga Kawali, meninggal di RSHS Bandung.
Menurut Kabid Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinkes Ciamis, H
Yoyo, banyaknya kasus DBD selama Januari hingga Mei sudah termasuk kejadian luar biasa
(KLB).
Kasi P4B Dinkes Ciamis Osep Hernandi mengatakan kasus DBD yang terjadi selama lima
bulan terakhir sudah melampaui jumlah kasus sepanjang 2012. "Sepanjang 2012 hanya terjadi
138 kasus dengan 3 penderita meninggal dunia. Sedangkan pada tahun 2013 yang baru
memasuki bulan kelima, sudah terjadi 141 kasus dengan korban meninggal sudah dua orang.
Kondisi ini sudah termasuk kategori KLB," ujar Osep.
Serangan DBD terbanyak, kata Osep, terjadi di Ciamis (27 kasus) dan Banjarsari (13
kasus).Lalu, Cisaga, Pangandaran dan Baregbeg (7 kasus)."Kasus DBD ini terjadi dan hampir
menyebar di 36 kecamatan di Ciamis," kata Yoyo dan Oded.
Meningkat tajamnya kasus DBD di Ciamis selama 2013, kata Osep, lantaran cuaca yang
tidak menentu, hujan masih sering turun diselingi panas terik.Osep mengatakan kondisi seperti
itu memicu perkembangbiakan nyamuk aedes aegipty, penular DBD."Kondisi pancaroba ini
diperkirakan akan berlangsung sampai Juli," ujarnya.
Sementara itu penyakit cikhungunya yang sempat menyerang 20 warga di Lingkungan Blok
Aren di Jalan Stasiun Ciamis, mulai reda."Tidak ada penambahan kasus.Kasus cikhungunya di
Blok Aren mulai reda," ujar Osep.
Menurut Osep, Dinas Kesehatan sudah menurunkan petugas ke lokasi untuk melakukan
penyuluhan dan pendataan warga yang terjangkit cikhungunya. "Fogging belum dilakukan,
langkah utama yang dianjurkan adalah pemberantasan sarang nyamuk," ujarnya
Analisa Kasus
Meningkat tajamnya kasus Demam Berdarah di Ciamis didukung oleh kondisi musim
penghujan pada saat tersebut. Periode epidemi tersebut erat kaitannya dengan keadaan lembab
dimana hal tersebut meningkatkan aktivitas vektor dalam menggigit karena dukungan
lingkungan yang baik untuk masa inkubasi.
c. Kesukaan Menggigit
Nyamuk demam berdarah bukan nyamuk yang tergolong rakus. Menggigitnya hanya
pada jam-jam tertentu saja yaitu pada pagi hari pukul 06.00 – 09.00 dan sore hari pukul
15.00 – 17.00. diluar jam tersebut nyamuk betina akan hinggap di air yang jernih untuk
bertelur. Hanya nyamuk Aedes aegypti yang bervirus saja yang bisa menularkan penyakit
DBD. Nyamuk yang di dalam tubuhnya sudah bervirus lalu memindahkan virus
tersebutke dalam tubuh seseorang yang sehat setelah menggigitnya. Begitu akan terjadi
seterusnya berpindah dan akan berpindah lagi ke banyak tubuh sehat lainnya melalui
gigitannya.
Pada penyakit demam berdarah dengue (DBD) tidak terjadi siklus perubahan hidup namun
hanya terjadi multiplikasi virus DBD dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti sebagai pejamu
intermediate atau karier untuk menularkan kepada orang lain. (Budiman Chandra, 2009).
Faktor penularan DBD dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
1. Faktor pejamu (target penyakit, inang), dalam hal ini manusialah yang paling rentan
tertular penyakit.
2. Faktor penyebar (vektor), dan penyebab penyakit (agen), dalam hal ini adalah virus DEN
1-4 sebagai penyebab penyakit, sedangkan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
berperan sebagai vektor penyebar penyakit DBD.
3. Faktor lingkungan, yakni faktor lingkungan yang memudahkan terjadinya
kontakpenularan penyakit DBD.
Infeksi virus dengue dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang
mengarah pada peningkatan kompetensi vektor, yaitu kemampuan nyamuk menyebarkan virus.
Infeksi virus dengue dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam menghisap darah,
berkali-kali menusukkan alat penusuk dan pengisap darahnya (proboscis), tetapi tidak berhasil
menghisap darah sehingga nyamuk berpidah dari orang satu ke orang yang lain. Akibatnya
resiko penularan penyakit DBD semakin membesar.
D. Upaya Penanganan Demam Berdarah Dengue
Perbaikan kualitas kebersihan sanitasi (lingkungan)akan menekan jumlah populasi nyamuk
Aades aegypti. Seperti membebaskan lingkungan rumah dari nyamuk Aedes aegypti dan
jentiknya dengan menghindarkan ada genangan air yang tidak terusik di rumah ataupun
disekitarnya. Ketika tidur akan lebih baik jika memakai kelambu dan hindarkan pula
manggantung pakaina pada ruangan. Tetapi yang terpenting adalah peningkatan pemahaman,
kesadaran, sikap dan perubahan perilaku masyarakat akan penyakit ini akan sangat mendukung
dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan penyakit DBD.
Selain itu, usaha pencegahan dan tindakan efektif terhadap penyebaran penyakit dapat
dilakukan dengan cara :
Kontrol terhadap sumber atau reservoir infeksi
Kasus atau karier penyakit yang merupakan sumber utama infeksi dapat dilakukan dengan cara :
a. Diagnosa dini
Mendeteksi secara dini penyakit yang terjadi di masyarakat agar cepat diobati dan tidak
menjadi kronis.
b. Notifikasi
Setiap kasus penyakit menular yang telah terdeteksi perlu segera dilaporkan pada dinas
kesehatan setempat agar dapat ditanggulangi dan melakukan persiapan lain yang
diperlukan untuk penanganan medis yang lebih lanjut.
c. Isolasi
Isolasi penderita dilakukan untuk membatasi penyebaran penyakit ke masyarakat.
d. Terapi
Merupakan bagian dari tindakan preventif yang bertujuan mengurangi periode masa
penularan dan hari kesakitan.
e. Karantina
Berupa isolasi orang sehat atau binatang yang bersal dari daerah yang diduga menderita
penyakit infeksi, lama waktu isolasi biasanya sesuai masa inkubasi penyakit yang ada.
f. Survailans Epidemiologi
Berupa penelitian atau survei di lapangan terhadap sesuatu yang diduga penyebab
terjadinya penyakit.
g. Desinfeksi
Melakukan suci hama pada tinja, urine, muntahan pasien serta peralatan yang telah
dipakai oleh penderita.
F. Epidemiologi DBD
1. Agen
Virus dengue merupakan anggota famili flaviviridae. Virus dengue bersifat labil
terhadap panas (termolabil). Sifat ini harus diperhatikan ketika hendak melakukan isolasi
ataupun mengultur virus. Ada empat tipe penyebab DBD, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
DEN-4. Masing-masing dari virus ini dapat dibedakan melalui isolasi virus di
laboratorium.
2. Host
Disini yang berperan sebagai host adalah manusia. Faktor umur maupun jenis kelamin
manusia baik itu balita, anak-anak maupun dewasa, dan laki-laki maupun perempuan tidak
berpengaruh terhadap kerentanan terhadap serangan DBD. Semua bisa terjangkit oleh
penyakit ini. Yang menjadi pembeda adalah tingkat kekebalan tubuh seseorang terhadap
virus ini. Kemudian kepadatan maupun jumlah persebaran penduduk juga akan
berpengaruh terhadap berkembangnya penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue.
3. Lingkungan
Selain itu faktor lingkungan tempat tinggal dan kebiasaan masyarakat pun sangat
mempengaruhi adanya perkembangbiakan nyamuk pembawa virus dengue. Seperti
kebiasaan yang memicu timbulnya penyakit DBD adalah kebiasaan yang sering ditemukan
dimasyarakat yaitu menggantungkan pakaian-pakaian mereka di dalam kamar, pengurasan
bak mandi atau TPA yang dilakukan lebih dari satu minggu sekali, padahal dianjurkan
untuk melakukan pengurasan sekurang-kurangnya seminggu sekali bahkan bila perlu
kurang dari satu minggu karena tingkat perkembangbiakan nyamuk juga tergantung suhu
maupun tingkat kelembaban masing-masing daerah tempat tinggal.
Daftar Pustaka
Lapau, Buchari . 2009 . PRINSIP DAN METODE EPIDEMIOLOGI . Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
Rothman, Kenneth J. 1995. EPIDEMIOLOGI MODERN. Yayasan Pustaka Nusantara
: Yayasan ESSENTIA MEDICA