Anda di halaman 1dari 88

MUHAMMAD JUNAEDI, M.I.P.

ILMU
SOSIAL
BUDAYA
DASAR
Universitas Muhammadiyah
Sidoarjo
2016
ILMU
SOSIAL
BUDAYA
DASAR
MUHAMMAD JUNAEDI, M.I.P.

UMSIDA PRESS
Jl. Mojopahit 666 B Sidoarjo ISBN: 978-979-3401-37-9
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

PENULIS

Muhammad Junaedi, M.I.P.

PENYUNTING

Septi Budi Sartika, M.Pd.

Sidoarjo, 2016

Diterbitkan atas Program Bantuan Penulisan dan Penerbitan Buku


Ajar dan Modul Praktikum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Tahun 2015/2016
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

PENULIS

Muhammad Junaedi, M.I.P.

PENYUNTING

Septi Budi Sartika, M.Pd.

Diterbitkan oleh

UMSIDA PRESS
Jl. Mojopahit 666 B Sidoarjo

ISBN: 978-979-3401-37-9

Copyright©2016.

Muhammad Junaedi.

All rights reserved.


KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulilah kehadirat Allah SWT karena berkat karuia-Nya penulisan
buku bahan ajar kuliah ini dapat terselesaikan, penyusunan Bahan Ajar ini juga tidak
terlepas dari dukungan LP3TK (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendikan dan
Tenaga Kependidikan) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo yang secara spesifik
mengembangkan pengajaran di lingkungan internal Kampus dalam bidang MKDU (Mata
Kuliah Dasar Umum). Modul Ilmu Sosial Budaya Dasar ini bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan akan bahan ajar materi perkuliahan ISBD yang merupakan rumpun Mata
Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat, mata kuliah ini tergolong wajib yang harus
diajarkan di Perguruan Tinggi karena termasuk dalam Mata Kuliah Umum, materi bahan
ajar ini mengacu pada Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Tinngi no 44/DIKTI/KEP/2006
tentang rambu-rambu pokok pelaksanaan kelompok mata kuliah berkehidupan
bermasyarakat. Adapun materi yang dimaksud pada bahan ajar ini meliputi delapan
pembahasan pokok yaitu: Pertama Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)
Kedua Manusia sebagai Makhluk Budaya, Ketiga Manusia sebagai Individu dan Makhluk
Sosial Ke empat Manusia dan Peradaban, Ke-lima Manusia, Keragaman dan Kesetaraan,
Ke-enam Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum, K-etujuh Manusia, Sains, Teknologi dan Seni
dan Ke-delpan Manusia dan Lingkungan
Penyajan dalam buku ini dirancang secara praktis agar mudah dipahami oleh
mahasiswa sebagai instrumen pendukung dalam kegiatan pembelajaran. Dengan
mempelajari mata kuliah ISBD para mahaisiswa diharapkan memiliki kompetesi dalam
memahami pengetahuan tentang dinamika kehidupan sosial bermasyarakat, sehingga
dapat menumbuhkan kepekaan dan kekritisan dalam melihat realitas kehidupan sosial
masyarakat. Buku bahan ajar ini memuat materi kuliah wajib yang diperuntukkan bagi
mahasiswa dari berbagai didiplin program studi khususya yang diperuntukkan dalam
bidang studi sciences, disamping penyajian materi juga terdapat pengayaan
pembelajaran berupa latihan-latihan soal, dengan harapan mampu mengasah
kemampuan mahasiswa dalam ranah afektif dan psikomotrik sehingga tidak hanya
terbatas pada pemahaman konsep semata- ranah konitif saja, tetapi juga mampu
mengaktualisasikan pemahaman tersebut di bangku kuliah guna diimplementasikan
dalam kehidupan sosial masyarakat. Penulis menyadari bahwa dalam penyusuan materi
ini terdapat banyak kekliruan sehingga kritik dan saran konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan lebih lanjut.

Penulis
DAFTAR ISI

BAB 1. Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)


A.Hakikat dan ruang lingkup ISBD
B. ISBD sebagai MBB dan pendidikan umum
C.ISBD sebagai alternative pemecahan masalah sosial budaya.
BAB 2 Manusia sebagai Makhluk Budaya
A. Hakikat manusia sebagai makhluk budaya
B. Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan
C. Etika dan estetika berbudaya
D. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konep-konsep dasar manusia; dan
E. Problematika kebudayaan
BAB 3. Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial
A. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk sosial
B. Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk sosial
C. Dinamika interaksi sosial
D. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
BAB 4. Manusia dan Peradaban
A. Hakikat peradaban
B. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab..
C. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan sosial-budaya
D. Dinamika peradaban global
E. Problematika peradaban pada kehidupan manusia
BAB 5. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan
A. Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia
B. Kemajemukan dalam dinamikan sosial dan budaya
C. Keraganan dan kesetaraan sebagai kekayaan sosial, budaya bangsa
D. Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan
BAB 6 Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum
A. Hakikat, fungsi, dan perwujudan nilai, oral dan hukum dalam kehidupan
manusia masyarakat dan negara.
B. Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan sebagai wujud masyarakat yang
bermoral dan menaati hukum dan Problematika nilai, moral, dan hokum dalam
masyarakat dan negara
BAB 7. Manusia, Sains, Teknologi dan Seni.
A. Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia
B. dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan sosial dan budaya
C. Problematika pemanfaatan IPTEKS di Indonesia
BAB 8 Manusia dan Lingkungan
A. Hakikat dan makna lingkungan bagi manusia
B. Kualitas penduduk dan lingkungan terhadap kesejahteraan manusia
C. Problematika lingkungan sosial-budaya yang dihadapi masyarakat
D. Isu-isu penting tentang persoalan lintas budaya dan bangsa
BAB I
PENDAHULUAN
PENGANTAR ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR.

STANDAR KOMPETENSI :

Mahasiswa mampu berpikir kritis, kreatif, sistemik dan ilmiah, berwawasan luas, etis,
memiliki kepekaan dan empati sosial, bersikap demokratis, berkeadaban serta dapat
ikut berperan mencari solusi pemecahan masalah sosial dan budaya secara arif
dalam konteks nasional dan global.

INDIKATOR PEMBELAJARAN :

 Menjelaskan visi, misi, tujuan, pengertian, dan ruang lingkup ISBD

 Mendeskripsikan ISBD sebagai salah satu MBB dan pendidikan umum

 Mendeskripsikan ISBD sebagai alternatif pemecahan masalah sosial-budaya

MATERI PEMBELAJARAN :

 Visi, Misi, dan tujuan ISBD


 ISBD sebagai komponen MBB dan Ruang Lingkup Pembelajaran ISBD
 ISBD sebagai alternatif pemecahan masalah sosial-budaya

A. PENDAHULUAN
Pada bagian pendahuluan ini mahasiswa akan diperkenalkan tentang pengantar
materi ISBD yang meliputi hakikat dan ruang lingkup ISBD kedua ISBD sebagai Mata
Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat dan Pendidikan Umum dan ketiga ISBD sebagai
alternatif pemecahan masalah sosial budaya, pemahaman terhadap materi tersebut
diharapkan mahasiswa mampu mengemukakan kompetensi dasar dan pokok subtansi
kajian ruang lingkup ISBD kedua mahasiswa mampu menjelaskan pentingnya ISBD
sebagai kelompok Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dan Program
Pendidikan di Perguruan Tinggi dan ketiga mahasiswa mampu Menerapkapkan dan
mengaktualisasikan ISBD sebagai sudut pandang alternatif atas pemecaham masalah
sosial budaya yang terjadi dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat.
Maata kuliah ini merupakan salah satu dari mata kuliah kelompok Matakuliah
Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) yang akan mengantarkan mahasiswa
memantapkan : kepribadian, kepekaan sosial, kemampuan hidup bermasyarakat,
pengetahuan tentang pelestarian, pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan
hidup, dan mempunyai wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni. Misi mata kuliah ini adalah membantu menumbuhkembangkan : daya kritis,
daya kreatif, apresiasi, dan kepekaan mahasiswa terhadap nilai-nilai sosial dan budaya
demi memantapkan kepribadiaannya sebagai bekal hidup bermasyarakat selaku individu
dan mahluk sosial yang dapat berperan mencari solusi pemecahan masalah sosial dan
budaya dan lingkungan hidup secara arif dalam konteks nasional dan global. Diharapkan
setelah menempuh matakuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu berpikir kritis, kreatif,
sistemik dan ilmiah, berwawasan luas, etis, memiliki kepekaan dan empati sosial,
bersikap demokratis, berkeadaban serta dapat ikut berperan mencari solusi pemecahan
masalah sosial dan budaya secara arif dalam konteks nasional dan global

B. PENYAJIAN MATERI

1. Hakikat dan Ruang Lingkup Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)

1.1. Hakikat, Visi- Misi dan Tujuan Mempelajari ISBD


Pada dasarnya Ilmu Sosial Budaya Dasar adalah salah satu Mata Kuliah Dasar
Umum (MKDU) yang merupakan matakuliah wajib yang diberikan di perguruan tinggi
negeri maupun swasta baik dalam jenjang diploma maupun sarjana, tujuan diberikannya
mata kuliah ini adalah sebagai salah satu usaha yang diharapkan dapat memberikan
bekal kepada mahasiswa untuk dapat peduli terhadap masalah – masalah sosial yang
terjadi dilingkungan dan dapat memecahkan permasalahan tersebut dengan
menggunakan pendekatan ilmu sosial dasar. Kehadiran mata kuliah ISBD tidak bisa
dilepaskan dari tujuan sistem pendidikan nasional secara umum, agar kompetensi
pendidikan tidak hanya mencetak generasi berilmu tapi juga generasi yang beretika,
berbudaya dan bermasyarakat/bersosial dalam kontek ini pembangunan karakter yang
berjiwa sosial menjadi sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap warga negara yang
terdidik dalam proses pembelajaran di setiap jenjang pendidikan khususnya pada
jenjang pendidikan tinggi.

Ilmu Sosial Budaya Dasar menjadi sangat penting dipelajari dalam jenjang
perguruan tinggi dikarenakan melihat permasalahan akan realitas kehidupan sosial
masyarakat Indonesia dewasa ini yang tengah mengalami krisis identitas moral yang
sangat kompleks dan multidimensi, hal ini terjadi karena tantangan-tantangan internal
dan eksternal yang melunturkan moralitas dan sikap anti sosial yang tidak bisa
terbendung, kehidupan modernitas yang ditandai dengan perkembangan teknologi
informasi yang semakin pesat, pudarnya social capital / modal sosial maupun local
wisdom atau kearifan lokal di tengah kehidupan sosial masyarakat, demikian juga
dengan pengaruh globalisasi, westernisasi, maupun sekularisasi –pudarnya nilai-nilai
agama-, hal itu semua memunculkan kepribadian individu yang egois, individualis,
materialis, hedonis, krisis moral sehingga menjadikan seseorang yang teralienasi –
terasing- dalam dunia sosialnya dimana kehidupannya telah terbatasi oleh kepentingan
individu. Hal inilah yang menjadikan adanya social distance –jarak sosial- yang semakin
jauh dengan masyarakat sehingga seseorang kurang memiliki sikap simpatik dan
empatik.
Berangkat dari permasalahan tersebut maka seyogyanya bagi mahasiswa
diharapakan berperan sebagai agen perubahan yang mampu secara kritis menghadapai
krisis sosial, kemampuan generasi terdidik bukan hanya didasarkan pada bidang
akademik saja melainkan generasi terdidik mampu berkiprah dan berhubungan langsung
dengan masyarakat, dalam kontek ini bisa difahami bahwa visi Ilmu Sosial Budaya Dasar
Adalah menjadi sumber nilai, moral, estetika, etika dan pandunag bagi penyelenggaraan
pendidikan dalam mengantarkan mahasiswa mengembangkan kemampuan pemahaman
serta penguasaan tentang keanekaragaman, kesederajatan dan kemartabatab sebagai
individu dan makhluk sosial didalam kehidupan bermasyarakat dengan berpedoman
kepada kebudayaan melalui pranata pendidikan dan misinya adalah Memberikan
landasan pengetahuan dan wawasan luas serta keyakinan kepada mahasiswa sebagai
bekal hidup bermasyarakat selaku individu, makhluk sosial yang beradab, bertanggung
jawab terhadap sumber daya alam dan lingkungannya.
Merujuk pada Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Tinngi no 44/DIKTI/KEP/2006
tentang rambu-rambu pokok pelaksanaan kelompok Mata Kuliah Berkehidupan
Bermasyarakat di perguruan tinggi yaitu untuk menumbuhk kembangkan daya kritis,
daya kreatif, apresiasi dan kepekaan mahasiswa terhadap nilai-nilai sosial dan budaya
demi memantapkan kepribadiannya sebagai bekal hidup bermasyarakat selaku individu
dan makhuk sosial yang bersikap demokratis, berkeadaban dan menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan, memiliki kemampuan untuk menguasai dasar-dasarilmu pengetahuan,
tekhnologi serta mampu ikut berperan mencari solusi pemecahan masalah sosial budaya
dan lingkungan hidup secara arif.
Berdasarkan pada pemahaman tentang Visi-Misi ISBD diatas maka bisa dipahami
bahwa mata kuliah ISBD merupkan disiplin ilmu yang bersifat interdisipliner artinya
pemahaman terhadap ISBD menyangkut berbagai disiplin ilmu pengetahuan,
pendekatan ISBD dalam ilmu Alam akan memberikan garis panduan pemahaman agar
generasi terdidik atau ilmuwan mampu menerapkan dan mengaplikasikan ilmu
pengetahuan yang dimilikimnya itu untuk kepentingan sosial dan lingkungan alam
sekitar sebagai satu bagian yang tidak terpisahkan, terdapat hubungan timbal balik yang
tidak bisa dipisahkan antra lingkungan alam dan lingkungan sosial, oleh karena itu
pemahaman terhadap materi ISBD tentau akan menumbuhkan sikap kritis dan peka
terhadap keaadaan lingkungan sosial maupun alam yang ada disekitar guna menjaga
keberlangsungan kehidupan yang lebih baik.
Sebagaimana yang sudah diuraikan pada dasar hakikat pembelajaran dan visi-
misi mempelajari ISBD maka tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) yang
merupakan bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) adalah:
a. Mengembangkan kesadaran mahasiswa menguasai pengetahuan tentang
keanekaragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia sebagai individu dan
makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Menumbuhkan sikap kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman,
kesederajatan, dan kemartabatan manusia dengan landasan nilai estetika, etika,
dan moral dalam kehidupan bermasyarakat.
c. Memberikan landasan pengetahuan dan wawasan yang luas serta keyakinan
kepada mahasiswa sebagai bekal bagi hidup bermasyarakat, selaku individu dan
makhluk sosial yag beradab dalam mempraktikkan pengetahuan akademik dan
keahliannya dan mampu memecahkan maalah sosial budaya secara arif.

1.2. Ruang Lingkup Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sosial Dan Budaya (ISBD)
Pada dasarnya ruang lingkup ISBD adalah apapun yang menyangkut kehidupan
manusia dalam konteks sosial dan budaya yang dihadapkan pada segala permasalahan
yang ditimbulkan didalamnya seperti hubungan antara manusia dengan manusia
lainnya, manusia dengan kehidupan sosial-budaya masyarakatnya maupun hubungan
antara manusia dengan lingkungan alama sekitarnya, oleh karenanya mempelajari ISBD
berati menempatkan manusia sebagai sentral pembelajaran baik sebagai subjek maupun
obyek, dimana manusia tersebut dituntut untuk bisa menyesuaikan dan berperan aktif
dalam lingkungan sosialnya, disilah letak peran dan arti penting mempelajari ISBD bagi
mahasiswa agar mampu memantapkan kepribadian, kepekaan sosial, kemampuan hidup
bersosialisasi di tengah masyarakat, pengetahuan tentang pelestarian, pembangunan
berkelanjutan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta memiliki
wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang secara
keseluruhan diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi kehidupan sosial-
budaya dalam masyarakat.
Secara khusus, merujuk pada Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Tinngi no
44/DIKTI/KEP/2006 tentang rambu-rambu pokok pelaksanaan kelompok mata kuliah
berkehidupan bermasyarakat dan pedoman MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) LP3TK
(Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendikan dan Tenaga Kependidikan)
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo tahun 2015, maka demi terwujudnya visi, misi dan
tujuan mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) pada perguruan tinggi, berikut
ini adalah ruang lingkup dan sub bahasannya.

1. Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)


A.Hakikat dan ruang lingkup ISBD
B. ISBD sebagai MBB dan pendidikan umum; dan
C.ISBD sebagai alternative pemecahan masalah sosial budaya
2. Manusia sebagai Makhluk Budaya:
A. Hakikat manusia sebagai makhluk budaya;
B. Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan;
C. Etika dan estetika berbudaya
D. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konep-konsep dasar manusia; dan
E. Problematika kebudayaan

3. Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial;


E. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk sosial;
F. Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk sosial;
G. Dinamika interaksi sosial; dan
H. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat;

4. Manusia dan Peradaban


F. Hakikat peradaban;
G. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab;
H. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan sosial-budaya;
I. Dinamika peradaban global; dan
J. Problematika peradaban pada kehidupan manusia

5. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan;


E. Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia;
F. Kemajemukan dalam dinamikan sosial dan budaya;
G. Keraganan dan kesetaraan sebagai kekayaan sosial, budaya bangsa;
H. Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan
masyarakat dan negara

6. Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum


C. Hakikat, fungsi, dan perwujudan nilai, oral dan hukum dalam kehidupan
manusia masyarakat dan negara;
D. Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan sebagai wujud masyarakat yang
bermoral dan menaati hukum dan Problematika nilai, moral, dan hokum dalam
masyarakat dan negara

7. Manusia, Sains, Teknologi dan Seni:


D. Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia;
E. dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan sosial dan budaya;
F. Problematika pemanfaatan IPTEKS di Indonesia

8. Manusia dan Lingkungan


E. Hakikat dan makna lingkungan bagi manusia;
F. Kualitas penduduk dan lingkungan terhadap kesejahteraan manusia
G. Problematika lingkungan sosial-budaya yang dihadapi masyarakat;
H. Isu-isu penting tentang persoalan lintas budaya dan bangsa.

2. ISBD Sebagai Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat Dan Pendidikan


Umum
Merujuk pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tingi dan
Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, kelompok bahan kajian dan pelajaran dalam suatu
program studi dikelompokkan beradasarkan rumusan kurikulum beikut:
a. Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) bertujuan untuk
mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berbudipekerti luhur, berkepribadian mantap dan
mandiri, serta mempunyai rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan
kebangsaan, contoh yang termasuk rumpun mata kuliah ini adalah Pendidikan
Agama, Pendidikan Pansila dan Kewarganegaraan.
b. Kelompok Matakuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MPK) bertujuan untuk
memberikan landasan penguasaan ilmu dan ketrampilan yang dikuasai sesuai
dengan mata kuliah yang ada disetiap jurusan.
c. Kelompok Matakuliah Keahlian dan Berkarya (MKK) bertujuan untuk
menghasilkan tenaga ahli dengan kekaryaan berdasarkan dasar ilmu dan
ketrampilan yang dikuasai.
d. Kelompok Matakuliah Perilaku Berkarya (MPB) bertujuan untuk membentuk
sikap dan perilaku yang diperlukan seseorang dalam berkarya menurut tingkat
keahlian berdasarkan dasar ilmu dan ketrampilan yang dikuasai.
e. Kelompok Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) bertjujuan untuk
memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian
dalam berkarya, contoh yang termasuk rumpun mata kuliah ini adalah Ilmu
Sosial Budaya Dasar dan Ilmu Alamiah Dasar.
Berdasarkan pengkategorian mata kuliah tersebut maka sebagaimana Surat
Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi no 44/DIKTI/KEP/2006, memasukkan ISBD sebagai
bagian dari Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat yang kemudian didalamnya diatur
tentang tata pelaksanaan perkuliahan MBB yang mempunyai tema pokok, yaitu
hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Dengan wawasan
tersebut diharapkan perguruan tinggi mampu menghasilkan tenaga ahli dengan tigas
jenis kemampuan secara simultan, yang meliputi:
a. Kemampuan personal: para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan
sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku dan tidnakan yang
mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai
keragaman, kemasyarakatan dan kenegaraan, serta memiliki pandangan yang
luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat
Indonesia.
b. Kemampuan akademis; kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah baik
lisan maupun tulisan, mengusai peralatan analiss, maupun berpikir logis, kritis,
istematis, analisis, memiliki kemampuan konsepsional untuk mengidentifikasi
dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu menawarkan alternative
pemacahannya.
c. Kemampuan professional: kemampuan dalam bidang profesi sesuai keahlian
bersangjutan, para ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang
tinggi dalam bidang profesinya.
Dalam konteks tersebut ISBD mengambil peran penting sebagai program
pendidikan umum yang diharapkan mampu mengantarkan mahasiswa guna memiliki
kemampuan personal, sehingga mahasiswa secara individu mampu menempatkan diri
sebagai bagian anggota masyarakat yang memiliki tanggungjawab sosial
kemasyarakatan guna terlibat aktif dalam berbagai upaya penyelesaian masalah sosial-
budaya yang terjadi di masyarakat dengan pendekatan disiplin keilmuan yang
dimilikinya.

3. ISBD Sebagai Alternatif Pemecahan Masalah Sosial-budaya


ISBD merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner, pendekatan interdisipliner ini
diharapkan mampu melihat dan menyelesaikan permasalahan sosial-budaya yang terjadi
di masyarakat dengan pendekatan kelimuan yang holistik/menyeluruh menyangkut
berbagai aspek atau-pun bidang kajian, dengan demikian pendekatan ini akan
mengantarkan penyelesaian masalah yang tidak parsial, pendekatan ini mampu
memperluas sudut pandang bahwa permasalahan sosial-budaya ataupun kemanusiaan
secara umum dapat didekati dalam berbagai sudut pandang keilmuan sehingga
mahasiswa tidak lagi terkotak-kotakkan dalam satu bangunan kerangka disiplin keilmuan
tertentu saja.
Disamping pendektan interdisipliner, dalam sudut pandang sosiologis segala
permasalahan sosial itu bisa dilihat dalam dua pendekatan teori yaitu pendekatan
fungsional dan pendekatan konflik, kedua pendekatan ini memiliki ciri yang berbeda baik
dalam ranah epistemologisnya maupun aksiologisnya. Pendekatan fungsional dicetuskan
oleh Talcot Parson, dalam pandangannya teori fungsional memberikan interpretasi
positive dalam melihat struktur sosial maupun gejala sosial masyarakat, teori ini
menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan
dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial,
fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak
akan ada atau hilang dengan sendirinya.
Dan kedua muncullah antitesis dari pendekatan fungsinal yaitu pendekatan
konflik, menurut sudut pandang teori konflik, pendekatan ungsioanal tidak bisa
memberikan kontrubusi praksis dan emasnipatoris terhadap masyarakat sebagaiamana
dalam analisa critical thought (pemikiran kritis), analisa-analisa yang didasarkan pada
nilai-nilai keseimbangan cenderung mengabaikan konflik yang sebenarnya lebih
determinan, karenanya berbalikan dalam pandangan fungsional, paradigma konflik
dalam sosiologi melihat bahwa dalam setiap unsure dan struktur sosial masyarakat lebih
condong mengalami sebuah ketidakaturan, konflik dan ketidakseimbangan. Premis ini
didasarkan bahwa setiap masyarakat pasti mengalami sebuah ketimpangan, dan
ketimpangan inilah yang melahirkan konflik. Mengacu pada dua pendekatan tersebut
ISBD sebagai sebuah kerangka kelimuan bisa dijadikan sebagai pisau analisis untuk
melihat realitas kehidupan sosial masyarakat secara kritis dan tidak terjebak dalam
kerangka-kerangka normatif sehingga perubahan sosial dan aspek emansipatorisa atau
pembebasan manusia dari berbagai bentuk eksploitasi, dominasi, despotisme dan segala
bentuk permasalahan sosial bisa bisa terselesaikan.

E. KESIMPULAN

ISBD merupkan disiplin ilmu yang bersifat interdisipliner artinya pemahaman


terhadap ISBD menyangkut berbagai disiplin ilmu pengetahuan, pendekatan ISBD dalam
ilmu Alam akan memberikan garis panduan pemahaman agar generasi terdidik atau
ilmuwan mampu menerapkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang
dimilikimnya itu untuk kepentingan sosial dan lingkungan alam sekitar sebagai satu
bagian yang tidak terpisahkan, terdapat hubungan timbal balik yang tidak bisa
dipisahkan antra lingkungan alam dan lingkungan sosial, oleh karena itu pemahaman
terhadap materi ISBD tentau akan menumbuhkan sikap kritis dan peka terhadap
keaadaan lingkungan sosial maupun alam yang ada disekitar guna menjaga
keberlangsungan kehidupan yang lebih baik.
Ruang lingkup ISBD adalah apapun yang menyangkut kehidupan manusia dalam
konteks sosial dan budaya yang dihadapkan pada segala permasalahan yang ditimbulkan
didalamnya seperti hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan
kehidupan sosial-budaya masyarakatnya maupun hubungan antara manusia dengan
lingkungan alama sekitarnya oleh karena itu ISBD sebagai sebuah kerangka kelimuan
bisa dijadikan sebagai pisau analisis untuk melihat realitas kehidupan sosial masyarakat
secara kritis dan emansiaptoris.
LEMBAR KERJA MAHASISWA
LATIHAN UJI PEMAHAMAN MATERI BAB SATU
Jawablah Pertanyaan berikut ini sesuai dengan petunjuk dan pemahaman Anda!

1. Berikan penjelasan dua arti penting mempelajari Ilmu Sosial Budaya Dasar
dalam konteks berikut :
1.1. Jelaskan bahwa ISBD bertujuan menumbuhkan sikap kritis, peka, dan arif
pada mahasiswa dalam memahami dan memecahkan masalah sosial budaya
dengan landasan nilai estetika, etika, moral, dan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat!
1.2. Jelaskan bahwa ISBD bertujuan memberikan landasan pengetahuan dan
wawasan yang luas serta keyakinan kepada mahasiswa sebagai bekal hidup
bermasyarakat, selaku individu dan makhluk sosial yang beradab dalam
mempraktikkan pengetahuan akademik dan keahliannya!

2. Jawablah dengan memilih A B C D serta jelaskan secara singkat susuai


pemahaman anda:
A. Jika pernyataan 1 dan pernyataan 2 benar
B. Jika pernyataan 1 benar, pernyataan 2 salah
C. Jika pernyataan 1 salah, pernyataan 2 benar
D. Jika pernyataan 1 dan pernyataan 2 salah
Pernyataan :
1. Tema perkuliahan ISBD adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan
lingkungannya

2. Masalah-masalah sosial yang timbul dalam masyarakat biasanya terlihat dalam


berbagai kenyataan sosial antara yang satu dengan lainnya
Pernyataan :

1. Unsur kebudayaan yang memberi corak kebudayaan Indonesia adalah


kebudayaan Barat

2. Kebudayaan suatu bangsa adalah cermin dari kepribadian bangsa yang


bersangkutan

PERTANYAAN ANALISA KASUS

Buatlah Kelompok yang terdiri dari 4-5 mahasiswa dengan memperhatikan ketentuan
berikut :

 Dalam kehidupan sosial masyarakat tentu terdapat berbagai macam


permasalahan sosial yang sangat beragam, uaraikan salah satu contoh masalah
sosial yang berada di lingkungan tempat tinggal anda, dan uraikan alternatif
permasalahan tersebut sesuai dengan sudut pandang kelimuan yang anda
pelajari saat ini ?
Bauatlah laporan sederhana dengan mengidentifikasi masalah tersebut melalui
pengamatan langsung di lapangan sesuai dengan langkah-langkah berikut.

1. Tentutakan tema/judul permasalahan yang akan diamati


2. Buatlah rumusan masalah dan tujuan permasalahan dari judul yang ada
3. Lakukanlah kajian pustaka dan teori seuai dengan pemasalahan yang dikaji
4. Lengkapilah hasil pengamatan dengan mendiskripsikan lokasi dan objek
permasalahan yang dikaji tersebut
5. Buatlah laporan hasil penelitian sesuai dengan data lapangan yang bersumber
dari hasil observasi maupun dari hasil wawancara dengan informan penelitian
6. Buatlah kesimpulan dan saran dari permasalahan yang ada tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George & Godman, J Douglas, 2003, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media,
Jakarta

Ritzer, George,1980, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigama Ganda, Rajawali Pers,


Jakarta

Veeger, K.J,1986, Realitas Sosial; Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-
Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
________1992, Pengantar Sosiologi; Buku Panduan Mahasiswa, PT Gramedia Pustaka
Utama
________1995, Ilmu Budaya Dasar: buku panduan mahasiswa. Jakarta : Apatik dan PT.
Gramedia.
BAB III
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL

STANDAR KOMPETENSI :

Mahasiswa dapat mengerti, menjelaskan dan memahami manusia sebagai individu dan
makhluk sosial

INDIKATOR PEMBELAJARAN :

Mahasiswa dapat menjelaskan hakikat manusia sebagai mahluk individu dan


mahluk sosial.

 Mahasiswa dapat menjelaskan fungsi dan peran manusia sebagai mahluk


individu dan mahluk sosial.
 Mahasiswa dapat memahami dinamika interaksi sosial.
 Mahasiswa dapat menjelaskan dilema antara kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat menjelaskan

MATERI PEMBELAJARAN :

 Manusia sebagai individu dan makhluk sosial


 Hakekat manusia sebagai individu dan makhluk sosial
 Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk sosial
 Dinamika interaksi sosial
 Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat

A. PENDAHULUAN

Pada bab Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Sosial ini mahasiswa akan
disajikan beberapa pembahasan pokok diantaranya adalah pertama hakikat manusisa
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Kedua Fungsi dan peranan manusia
sebagai makhluk individu dan mkhluk sosial. Ketiga dinamika interkasi sosial dan ke-
empat dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Dengan
memahami materi-materi pembelajaran tersebut diharapkan mahasiswa mampu :
Pertama menganalisis hakikat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial,
kedua Memerinci kepentinganya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, ketiga
mampu mengmukakan perannya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, ke-
empat mampu menunjukkan interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial
bermasyarakat dan kelima mampu memberikan alternatif jalan keluar terhadap
dinamika kepentingan diri dan masyarakat.

B.PENYAJIAN MATERI

1. Hakikat dan Peranan Manusia Sebagai Makluk Individu dan Makhluk Sosial
1.1. Hakikat dan Peranana Manusia sebagai Makhluk Indvidu
Manusia adalah makhluk individu. Sebagai makhluk individu berarti makhluk
yang tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dipisah-pisahkan antara jiwa dan raganya. Kata
"individu" berasal dari kata latin individuum, artinya tidak terbagi. Jadi, kata itu
mengandung pengertian sebagai suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan
suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial paham individu
menyangkut tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majemuk, memegang peranan
dalam pergaulan hidup manusia. Individu bukan berarti menusia sebagai suatu
keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu
sebagai manusia perorangan.
Manusia sebagai makhluk individu, tidak hanya dalam arti makhluk keseluruhan
jiwa raga, melainkan juga dalam arti bahwa tiap-tiap orang itu merupakan pribadi
(individu) yang khas menurut corak kepribadiannya, termasuk kecakapan-kecakapan
serta kelemahan-kelemahannya. In dividu adalah seorang manusia yang tidak hanya
memiliki peranan yang khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga memiliki
kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau hasil
pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu ke-utuhan ciptaan
Tuhan yang mempunyai tiga aspek melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah,
aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling
mempengaruhi, keguncangan pada satu aspek akan membawa akibat pada aspek yang
lainnya.
Untuk menjadi suatu individu yang "mandiri" harus melalui proses yang panjang.
Tahap pertama, melalui proses pemantapan pergaulan yang dilakukan di lingkungan
keluarga. Dalam lingkungan keluarga ini secara bertahap karakter yang khas akan
terbentuk dan mengendap lewat sentuhan-sentuhan interaksi: etika, estetika, dan moral
agama. Sejak manusia dilahirkan, ia membutuhkan proses pergaulan dengan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan batiniah dan lahiriah yang membentuk dirinya. Menurut
Sigmund Freud, super ego pribadi manusia sudah mulai terbentuk pada saat manusia
berumur 56 tahun.
Makna manusia menjadi individu apabila pola tingkah lakunya hampir identik
dengan tingkah laku masa yang bersangkutan. Proses yang meningkatkan ciri-ciri
individualitas pada seseorang sampai menjadi dirinya sendiri disebut proses
individualisasi atau aktualisasi diri. Individu dibebani berbagai peranan yang berasal dari
kondisi kebersamaan hidup, maka muncul struktur masyarakat yang akan menentukan
kemantapan masyarakat. Individu dalam bertingkah laku menurut pribadinya ada tiga
kemungkinan: menyimpang dari norma kolektif, kehilangan individualitasnya atau
takhluk terhadap kolektif, dan mempengaruhi masyarakat seperti adanya tokoh
pahlawan atau pengacau. Mencari titik optimum antara dua pola tingkah laku (sebagai
individu dan sebagai anggota masyarakat) dalam situasi yang senantiasa berubah,
memberi konotasi "matang" atau "dewasa" dalam konteks sosial. Sebutan "baik" atau
"tidak baik" pengaruh individu terhadap masyarakat adalah relatif (Soelaeman,
2001:114). Bertolak dari proses penjabaran individualisasi manusia dalam masyarakat
tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki perilaku yang didorong oleh aspek
individu dan aspek sosial.
Manusia sebagai individu memiliki unsur jasmani dan rohani; unsur fisik dan
psikis; unsur jiwa dan raga. Seseorang dikatakan sebagai individu bila unsur-unsur
tersebut menyatu dalam dirinya. Unsur-unsur yang terdapat dalam diri manusia
tersebut tidak dapat terbagi apalagi terpisahkan. Jika unsur-unsur tersebut tidak dapat
menyatu maka seseorang tidak dapat disebut sebagai individu. Oleh sebab itu, orang
yang sudah mati disebut "jasad" atau "mayat" karena yang tinggal hanya raga, jiwanya
sudah tidak ada. Raga tidak dapat hidup sebagaimana manusia utuh selaku individu
apabila tanpa jiwa. Dengan kata lain, yang disebut manusia sebagai makhluk individu
mencerminkan adanya satuan terkecil yang tidak dapat terbagi lagi tetapi memiliki
unsur-unsur jasmani dan rohani atau fisik dan psikis, atau jiwa dan raga yang utuh
menyatu.
Meskipun semua manusia sebagai individu memiliki unsur jiwa dan raga yang
menyatu, tetapi antara satu orang dengan orang yang lainnya memiliki perbedaan dan
kekhasannya baik secara fisik dan psikis. Secara fisik misalnya, ada yang berambut ikal
tetapi juga ada yang berambut lurus, ada yang gemuk atau kurus, tinggi atau pendek,
dan seterusnya. Secara psikis juga ada perbedaan, misalnya ada yang pemalu, pemarah,
penyabar, periang, dan lain-lain. Dengan kata lain, individu dapat dikenali dengan
mudah melalui aspek fisik maupun psikisnya.
Manusia selaku makhluk individu di samping memiliki keinginan - keinginan atau
motif-motif juga memiliki kebutuhan-kebutuhan secara pribadi. Motif-motif yang
melatarbelakangi manusia selaku individu berbuat sesuatu memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: bisa bersifat majemuk, berubah-ubah, dan berbeda-beda, atau bahkan bisa jadi
tidak disadari oleh individu. Adapun manusia selaku individu juga membutuhkan
berbagai kebutuhan, antara lain: kebutuhan fisiologis (pakaian, pangan, tempat, seks,
dan kesejahteraan individu), yang kemudian disebut sebagai kebutuhan primer;
kebutuhan rasa aman; kebutuhan akan rasa afeksi (yaitu kebutuhan untuk menjalin
hubungan atau keakraban dengan orang lain); kebutuhan akan harga diri (esteem
needs); kebutuhan untuk mengetahui dan memahami (need to know and understand);
kebutuhan rasa estetika (aesthetic needs); kebutuhan untuk aktualisasi diri (self
actualization); kebutuhan transendence, yaitu kebutuhan untuk mengetahui dan
menyelami dunia di luar dirinya seperti spiritualitas dan rasa religiusitas (berkeyakinan
akan keberadaan Tuhan).
Dengan adanya kebutuhan pribadi itulah manusia selaku individu mempunyai
hubungan dengan dirinya sendiri, yaitu ada dorongan untuk mengabdi kepada dirinya
sendiri. Tindakan-tindakannya diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadinya
meskipun dalam kapasitasnya bisa jadi menjadi bentuk perbuatan yang bernilai
pengabdian kepada masyarakatriya. Untuk itulah perilaku manusia sangat dipengaruhi
oleh motivasinya dalam melakukan aktivitasnya. Motivasi atau dorongan perilaku
tersebut memiliki kekuatan yang berbeda-beda.
Berbagai bentuk motivasi individu tersebut berupa: kebutuhan untuk berbuat
lebih baik dari orang lain (achievement); kebutuhan untuk memuji, menyesuaikan diri,
dan mengikuti pendapat orang lain (defence); kebutuhan untuk membuat rencana
secara teratur (order); kebutuhan untuk menarik perhatian orang lain dan berusaha
menjadi pusat perhatian (exhibition); kebutuhan untuk mandiri, tidak mau tergantung
orang lain dan tidak mau diperintah orang lain (autonomy); kebutuhan untuk menjalin
persahabatan dengan orang lain, kesetiaan, berpartisipasi (affiliation); kebutuhan untuk
memahami perasaan dan mengetahui tingkah laku orang lain (intraception); kebutuhan
untuk mendapatkan simpati, bantuan, dan kasih sayang orang lain (succorance);
kebutuhan untuk bertahan pada pendapatnya, menguasai, memimpin, menasehati
orang lain (dominance); kebutuhan akan rasa berdosa, salah, perlu diberi hukuman
(abasement); kebutuhan untuk membantu, menolong, dan simpati kepada orang lain
(nurturance); kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan, tidak menyukai
rutinitas (channge); kebutuhan untuk bertahan pada suatu pekerjaan; tidak suka
diganggu (endurance); kebutuhan untuk aktivitas sosial individu dalam mendekati lawan
jenis, mencintai lawan jenis (heterosexuality); kebutuhan untuk mengkritik, membantah,
menyalahkan, senang terhadap Semua perilaku individu yang didorong oleh keinginan
memenuhi kebutuhan primer dan motivasi yang melekat pada pribadinya dapat menjadi
tolak ukur kepribadian seseorang dalam aktivitas sosialnya. Sinyalemen ini menjadi
indikasi atau pertanda seberapa besar makna individu tersebut berperan dalam
kehidupan, sehingga eksistensinya sebagai manusia individu dapat diakui memiliki
makna, baik secara pribadi maupun terhadap lingkungannya. Manusia sebagai individu
akan memiliki arti bagi kehidupannya apabila peran dirinya bermakna bagi orang lain,
keluarga, maupun masyarakat secara luas.

1.2. Hakikat dan Peranannya Manusia sebagai Makhluk Sosial


Pada hakekatnya, manusia merupakan makhluk sosial di samping sifat-sifat
lainnya yang secara pribadi dimiliki. Secara alami keberadaan manusia membutuhkan
hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan
dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Untuk itu, perlu dilihat makna sosial itu sendiri
baik secara kebahasaan maupun dari aktivitas simbolis yang dilakukannya. Secara
etimologi, istilah "sosial" berasal dari bahasa Latin socius yang artinya teman, perikatan.
Jadi, secara etimologi manusia sebagai makhluk sosial adalah makhluk yang berteman,
memiliki perikatan antara satu orang dengan orang yang lain. Istilah sosial ini
menekankan adanya relasi atau interaksi antar manusia, baik itu relasi seorang individu
dengan seorang individu yang lain, individu dengan kelompok, atau. kelompok dengan
kelompok.Interaksi sosial ini dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di masyarakat
secara luas.
Keluarga merupakan kelompok primer yang paling penting di masyarakat.
Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk atas dasar hubungan pernikahan
antara laki-laki dan wanita, yang berlangsung lama untuk mendapatkan keturunan dan
membesarkan anak-anaknya. Oleh sebab itu, dalam hubungan keluarga ini memiliki lima
macam sifat yang menjadi indikasi terbentuknya masyarakat dalam arti keluarga, yaitu:
hubungan suami-istri, bentuk pernikahan untuk pemeliharaan hubungan suami-istri,
memiliki susunan atau formulasi istilah untuk menghitung keturunan, memiliki harta
benda yang menjadi milik keluarga, dan bertempat tinggal bersama. Masing-masing
individu yang terhimpun dalam satu keluarga di samping memiliki hak dan kewajiban,
juga bertanggung jawab atas keselamatan keluarganya agar selalu dalam keadaan Iman
dan Islam, sehingga kelak di akhirat terhindar dari api neraka.
Sementara itu, pengertian masyarakat secara luas adalah menunjuk pada
sekelompok orang yang memiliki perasaan tertentu, sehingga menimbulkan keeratan
hubungan di antara anggota-anggotanya. Mereka memiliki rasa persatuan karena
memiliki kebiasaan atau kebudavaan yang sama, logat bahasa yang sama, asal-usul yang
sama, dan bertempat tinggal dalam batas geografis yang sama. Keeratan hubungan ini
lebih dirasakan anggota masyarakatnya daripada oleh orang lain. Mereka memiliki
ikatan norma-norma dan adapt istiadat yang sama, sehingga masing-masing merasa
memiliki dan merasa bertanggung jawab atas keutuhan masya-rakatnya.
Kesadaran manusia sebagai anggota masyarakat ini dalam lingkup yang lebih
besar lagi adalah bangsa, dan negara. Sebagai makhluk sosial, manusia menyadari
keberadaannya berdasarkan keturunan dari pendahulunya yang memiliki identitas asal-
muasal suku bangsa sehingga memiliki kapasitas tanggung jawab terhadap kelangsungan
suku bangsanya. Demikian juga dalam hal kehidupan bernegara, manusia sebagai
makhluk sosiai tidak terlepas dari kehidupan bernegara. Mereka memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.Untuk itu, mereka juga harus
memenuhi tanggung jawabnya sebagai warga negara yang baik. Tugas dan tanggung
jawab manusia sebagai warga negara adalah ikut menjaga keutuhan serta tegaknya
negara, dan memenuhi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Dinamika Interaksi sosial


Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis.
Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu
dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun
antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol
diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka
yang menggunakannya
Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia
bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi
manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara
seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah Makna tidak bersifat tetap namun
dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang
dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan
interpretative process
Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat
kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya
hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian
tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan. Karp dan Yoels menunjukkan
beberapa hal yang dapat menjadi sumber informasi bagi dimulainya komunikasi atau
interaksi sosial. Sumber Informasi tersebut dapat terbagi dua, yaitu Ciri Fisik dan
Penampilan. Ciri Fisik, adalah segala sesuatu yang dimiliki seorang individu sejak lahir
yang meliputi jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan di sini dapat meliputi daya tarik
fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana.
Interaksi sosial memiliki aturan, dan aturan itu dapat dilihat melalui dimensi
ruang dan dimensi waktu dari Robert T Hall dan Definisi Situasi dari W.I. Thomas. Hall
membagi ruangan dalam interaksi sosial menjadi 4 batasan jarak, yaitu jarak intim, jarak
pribadi, jarak sosial, dan jarak publik. Selain aturan mengenai ruang Hall juga
menjelaskan aturan mengenai Waktu. Pada dimensi waktu ini terlihat adanya batasan
toleransi waktu yang dapat mempengaruhi bentuk interaksi. Aturan yang terakhir
adalah dimensi situasi yang dikemukakan oleh W.I. Thomas. Definisi situasi merupakan
penafsiran seseorang sebelum memberikan reaksi. Definisi situasi ini dibuat oleh
individu dan masyarakat.
Interaksi Sosial adalah suatu proses hubungan timbal balik yang dilakukan oleh
individu dengan individu, antara indivu dengan kelompok, antara kelompok dengan
individu, antara kelompok dengan dengan kelompok dalam kehidupan social. Dalam
kamus Bahasa Indonesia Interaksi didefinisikan sebagai hal saling melalkukan akasi ,
berhubungan atau saling mempengaruhi. Dengan demikian interaksi adalah hubungan
timbal balik (sosial) berupa aksi salaing mempengaruhi antara individu dengan individu,
antara individu dankelompok dan antara kelompok dengan dengan kelompok.Gillin
mengartikan bahwa interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial dimana yang
menyangkut hubungan antarandividu , individu dan kelompok antau antar kelompok.
Menurut Charles P. loomis sebuah hubungan bisa disebut interaksi jika memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
1. jumlah pelakunya dua orang atau lebih
2. adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbul atau lambing-
lambang
3. adanya suatu demensi waktu yang meliputi ,asa lalu, masa kini, dan masa yang
akan datang .
4. adanya tujuan yang hendak dicapai
Faktor-faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial yaitu :
1. Imitasi yaitu tindakan meniru orang lain. Faktor imitasi mempunyai peranan
sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah
bahwa imitasi dapat membawa seseorang untuk mematuhi kaidah – kaidah
yang berlaku. Faktor ini telah diuraikan oleh Gabriel Tarde yang beranggapan
bahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan pada faktor imitasi
saja
2. Sugesti. Sugesti ini berlangsung apabila seseorang memberikan pandangan atau
sikap yang dianutnya, lalu diterima oleh orang lain. Biasanya sugesti muncul
ketika sipenerima sedang dalam kondisi yang tidak netral sehingga tidak dapat
bewrfikir rasional.Biasanya sugesti berasal dari orang-orang sebagai berikut:
a. orang yang berwibawa, karismatik dan punya pengaruh terhadap yang disugesti,
misalnya orang tua, ulama, dsb.
b. Orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada yang disugesti.
c. Kelompok mayoritas terhadap minoritas.
d. Reklame atau iklan media masa.
3. Identifikasi yaitu merupakan kecenderungan atau keinginan seseorang untuk
menjadi sama dengan pihak lain (meniru secara keseluruhan)
4. Simpati yaitu merupakan suatu proses dimana seorang merasa tertarik kepada
pihak lain. Melalui proses simpati orang merasa dirinya seolah-olah dirinya
berasa dalam keadaan orang lain.
5. Empati yaitu merupakan simpati yang menfdalam yang dapat mempengaruh
kejiwaan dan fisik seseorang.
Syarat terjadinya interaksi adalah :
1. Adanya kontak sosial Kata kontak dalam bahasa inggrisnya “contack”, dari
bahasa lain “con” atau “cum” yang artinya bersama-sama dan “tangere” yang
artinya menyentuh . Jadi kontak berarti sama-sama menyentuh.Kontak social ini
tidak selalu melalui interaksi atau hubungan fisik, karena orang dapat melakuan
kontak social tidak dengan menyentuh, misalnya menggunakan HP, telepon dsb.
Kontak sosial memiliki memiliki sifat-sifat sebagai berikut : Kontak sosial bisa
bersifat positif dan bisa negative. Kalau kontak social mengarah pada kerjasama
berarti positif, kalau mengarah pada suatu pertentangan atau konflik berarti
negative.Kontak social dapat bersifat primer dan bersifat skunder. Kontak social
primer terjadi apa bila peserta interaksi bertemu muka secara langsung.
Misanya kontak antara guru dengan murid dsb. Kalau kontak skunder terjadi
apabila interaksi berlangsung melalui perantara. Missal percakapan melalui
telepon, HP dsb
2. Komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari satu
pihak kepihak yang lain dalam rangka mencapai tujuan bersama.Ada lima unsur
pokok dalam komunikasi yaitu :
a. Komunikator yaitu orang yang menyampaikan informasi atau pesan atau
perasaan atau pemikiran pada pihak lain.
b. Komunikan yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan,
pikiran, informasi.
c. Pesan yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator kepada
komunikan.
d. Media yaitu alat untuk menyampaiakn pesan.
e. Feed back yaitu tanggapan atau perubahan yang diharapkan terjadi
pada komunikan setelah mendapat pesan dari komunikator.
Ada tiga tahapan penting dalam komunikasi
a. Encoding yaitu pada tahap ini gagssaan atau program yang akan
dikomunikasikan diwujudkan dalam kalimat atau gambar. dalam tahap
ini komunikator harus memilih kata atau istilah, kalimat dan gambar
yang mudah dipahami oleh komunikan. Komunikator harus menghindari
penggunaan kode-kode yang membingungkan komunikan.
b. Penyampaian. yaitu pada tahap ini istilah atau gagasan yang telah
diwujudkan dalam bentuk kalimat dan gambar disampaiakan .
Penyampaian dapat berupa lisan dan dapat berupa tulisan atau
gabungan dari duanya
c. Decoding, yaitu pada tahap ini dilakukan proses mencerna fdan
memahami kalimat serta gambar yang diterima menuruy pengalaman
yang dimiliki.

2.1. Bentuk-bentuk Interaksi

Bentuk-bentuk interaksi sosial yang berkaitan dengan proses asosiatif dapat


terbagi atas bentuk kerja sama, akomodasi, dan asimilasi. Kerja sama merupakan suatu
usaha bersama individu dengan individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai satu
atau beberapa tujuan. Akomodasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan, di mana
terjadi keseimbangan dalam interaksi antara individu-individu atau kelompok-kelompok
manusia berkaitan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam
masyarakat. Usaha-usaha itu dilakukan untuk mencapai suatu kestabilan.
Sedangkan Asimilasi merupakan suatu proses di mana pihak-pihak yang
berinteraksi mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan-kepentingan serta tujuan-
tujuan kelompok. Bentuk interaksi yang berkaitan dengan proses disosiatif ini dapat
terbagi atas bentuk persaingan, kontravensi, dan pertentangan. Persaingan merupakan
suatu proses sosial, di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing,
mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan. Bentuk kontravensi merupakan
bentuk interaksi sosial yang sifatnya berada antara persaingan dan pertentangan.
Sedangkan pertentangan merupakan suatu proses sosial di mana individu atau
kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan
yang disertai dengan ancaman dan kekerasan. Untuk tahapan proses-proses asosiatif
dan disosiatif Mark L. Knapp menjelaskan tahapan interaksi sosial untuk mendekatkan
dan untuk merenggangkan. Tahapan untuk mendekatkan meliputi tahapan memulai
(initiating), menjajaki (experimenting), meningkatkan (intensifying), menyatupadukan
(integrating) dan mempertalikan (bonding). Sedangkan tahapan untuk merenggangkan
meliputi membeda-bedakan (differentiating), membatasi (circumscribing), memacetkan
(stagnating), menghindari (avoiding), dan memutuskan (terminating).
Pendekatan interaksi lainnya adalah pendekatan dramaturgi menurut Erving
Goffman. Melalui pendekatan ini Erving Goffman menggunakan bahasa dan khayalan
teater untuk menggambarkan fakta subyektif dan obyektif dari interaksi sosial. Konsep-
konsepnya dalam pendekatan ini mencakup tempat berlangsungnya interaksi sosial yang
disebut dengan social establishment, tempat mempersiapkan interaksi sosial disebut
dengan back region/backstage, tempat penyampaian ekspresi dalam interaksi sosial
disebut front region, individu yang melihat interaksi tersebut disebut audience,
penampilan dari pihak-pihak yang melakukan interaksi disebut dengan team of
performers, dan orang yang tidak melihat interaksi tersebut disebut dengan outsider.
Erving Goffman juga menyampaikan konsep impression management untuk
menunjukkan usaha individu dalam menampilkan kesan tertentu pada orang lain.
Konsep expression untuk individu yang membuat pernyataan dalam interaksi. Konsep ini
terbagi atas expression given untuk pernyataan yang diberikan dan expression given off
untuk pernyataan yang terlepas. Serta konsep impression untuk individu lain yang
memperoleh kesan dalam interaksi.
2.3. Bentuk – Bentuk interaksi
a.Bentuk Interaksi sosial menurut jumlah pelakunya.
Interaksi antara individu dan individu. Individu yang satu memberikan pengaruh,
rangsangan\Stimulus kepada individu lainnya. Wujud interaksi bisa dalam dalam bentuk
berjabat tangan, saling menegur, bercakap-cakap mungkin bertengkar.Interaksi antara
individu dan kelompok Bentuk interaksi antara individu dengan kelompok: Misalnya :
Seorang ustadz sedang berpidato didepan orang banyak. Bentuk semacam ini
menunjukkan bahwa kepentingan individu berhadapan dengan kepentingan
kelompokInteraksi antara Kelompok dan Kelompok Bentuk interaksi seperti ini
berhubungan dengan kepentingan individu dalam lain . Contoh : Satu Kesebelasan
Sepak Bola bertanding melawan kesebelasan lain .
Bentuk Interaksi Sosial Menurut Proses Terjadinya.
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan
(competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).
Pertikaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian
tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan
akomodasi. Ini berarti kedua belah pihak belum tentu puas sepenunya. Suatu keadaan
dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi sosial. Keempat bentuk poko dari
interaksi sosial tersebut tidak perlu merupakan suatu kontinuitas, di dalam arti bahwa
interaksi itu dimulai dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta
memuncak menjadi pertikaian untuk akhirnya sampai pada akomodasi.Gillin dan Gillin
mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi. Menurut mereka, ada dua macam
proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial
Kerja Sama (Cooperation) Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau
kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja
sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan
bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai
manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja
serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-
keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja
samanya dapat terlaksana dengan baik.Kerja sama timbul karena orientasi orang-
perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang
merupakan out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang
menyinggung anggota/perorangan lainnya. Fungsi Kerjasama digambarkan oleh Charles
H.Cooley, ”kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai
kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup
pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-
kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan
adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”
Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang
biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerjasama tersebut lebih lanjut dibedakan
lagi dengan : Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang
sertamerta
1. Kerjasama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil
perintah atasan atau penguasa
2. Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu
3. Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai bagian atau
unsur dari sistem sosial.
Macam – macam bentuk kerjasama Bargaining, Yaitu pelaksana perjanjian
mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih dan
kedua Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam
kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara
untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang
bersangkutan Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang
mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak
stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan
mempunyai struktut yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, karena
maksud utama adalah untuk mencapat satu atau beberapa tujuan bersama, maka
sifatnnya adalah kooperatif.
b. Akomodasi (Accomodation)
Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti : menujuk pada suatu keadaan
dan yntuk menujuk pada suatu proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya
suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok
manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku
dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha
manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk
mencapai kestabilan.
Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu perngertian yang digunakan
oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan
sosial yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi. Maksudnya, sebagai suatu
proses dimana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan,
mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi
merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak
lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.Tujuan Akomodasi dapat
berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu :
1. Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok manusia sebagai
akibat perbedaan paham
2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara
temporer
3. Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial yang hidupnya
terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang
dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem berkasta.
4. mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang terpisah.

Bentuk-bentuk Akomodasi:
1. Corecion, suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya
paksaan
2. Compromise, bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling
mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan
yang ada.
3. Arbitration, Suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang
berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri
4. Conciliation, suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari
pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
5. Toleration, merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal
bentuknya.
6. Stalemate, suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan karena
mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada satu titik tertentu dalam
melakukan pertentangannya.
7. Adjudication, Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan

2.4. Asimilasi (Assimilation).


Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya
usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan
atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi
kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan
dan tujuan bersama. Proses Asimilasi timbul bila ada : Kelompok-kelompok manusia
yang berbeda kebudayaannya orang-perorangan sebagai warga kelompok tadi saling
bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama sehingga kebudayaan-
kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan
saling menyesuaikan diri Beberapa bentuk interaksi sosial yang memberi arah ke suatu
proses asimilasi (interaksi yang asimilatif) bila memilii syarat-syarat berikut ini: Interaksi
sosial tersebut bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain, dimana pihak yang lain
tadi juga berlaku sama interaksi sosial tersebut tidak mengalami halangan-halangan atau
pembatasan-pembatasan. Interaksi sosial tersebut bersifat langsung dan primer.
Frekuaensi interaksi sosial tinggi dan tetap, serta ada keseimbangan antara pola-
pola tersebut. Artinya, stimulan dan tanggapan-tanggapan dari pihak-pihak yang
mengadakan asimilasi harus sering dilakukan dan suatu keseimbangan tertentu harus
dicapai dan dikembangankan.Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu
asimilasi adalah Toleransi kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi
sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya sikap tebuka dari golongan yang
berkuasa dalam masyarakat persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan perkawinan
campuran (amaigamation) adanya musuh bersama dari luar Faktor umum
penghalangan terjadinya asimilasi:
Terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat kurangnya
pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi dan sehubungan dengan itu
seringkali menimbulkan faktor ketiga perasaan takut terhadap kekuatan suatu
kebudayaan yang dihadapi perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok
tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan golongan atau kelompok lainnya.
Dalam batas-batas tertentu, perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri-ciri
badaniah dapat pula menjadi salah satu penghalang terjadinya asimilasi In-Group-
Feeling yang kuat menjadi penghalang berlangsungnya asimilasi. In Group Feeling berarti
adanya suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu terikat pada kelompok dan
kebudayaan kelompok yang bersangkutan.Gangguan dari golongan yang berkuasa
terhadap minoritas lain apabila golongan minoritas lain mengalami gangguan-gangguan
dari golongan yang berkuasa faktor perbedaan kepentingan yang kemudian ditambah
dengan pertentangan-pertentangan pribadi.
Asimilasi menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial dan
dalam pola adat istiadat serta interaksi sosial. Proses yang disebut terakhir biasa
dinamakan akulturasi. Perubahan-perubahan dalam pola adat istiadat dan interaksi
sosial kadangkala tidak terlalu penting dan menonjol.

2.5. Proses Disosiatif


Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional proccesses, yang persis
halnya dengan kerjasama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk
dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan.
Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok
manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga
sebagai perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence). Untuk kepentingan
analisis ilmu pengetahan, oposisi proses-proses yang disosiatif dibedkan dalam tiga
bentuk, yaitu :
1.Persaingan (Competition) Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai
suatu proses sosial dimana individu atau kelompok manusia yang bersaing mencari
keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi
pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara
menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa
mempergunakan ancaman atau kekerasan. Persaingan mempunya dua tipe umum
:Bersifat Pribadi : Individu, perorangan, bersaing dalam memperoleh kedudukan. Tipe ini
dinamakan rivalry.Bersifat Tidak Pribadi : Misalnya terjadi antara dua perusahaan besar
yang bersaing untuk mendapatkan monopoli di suatu wilayah tertentu.
Bentuk-bentuk persaingan :Persaingan ekonomi : timbul karena terbatasnya
persediaan dibandingkan dengan jumlah konsumen. Persaingan kebudayaan : dapat
menyangkut persaingan bidang keagamaan, pendidikan, dst. Persaingan kedudukan dan
peranan : di dalam diri seseorang maupun di dalam kelompok terdapat keinginan untuk
diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan serta peranan
terpandang.
Persaingan ras : merupakan persaingan di bidang kebudayaan. Hal ini disebabkan krn
ciri-ciri badaniyah terlihat dibanding unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Persaingan dalam batas-batas tertentu dapat mempunyai beberapa fungsi :
Sebagai jalan dimana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa
medapat pusat perhatian, tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing.
Sebagai alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan sosial. Persaingan berfungsi
untuk mendudukan individu pada kedudukan serta peranan yang sesuai dengan
kemampuannya.
Sebagai alat menyaring para warga golongan karya (”fungsional”)
3. Kontraversi (Contravetion)
Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada
antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Bentuk kontraversi menurut Leo
von Wiese dan Howard Becker ada 5 : yang umum meliputi perbuatan seperti
penolakan, keenganan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguang-
gangguan, kekerasan, pengacauan rencana, yang sederhana seperti menyangkal
pernyataan orang lain di muka umum, memaki-maki melalui surat selebaran, mencerca,
memfitnah, melemparkan beban pembuktian pada pihak lain, dst. yang intensif,
penghasutan, menyebarkan desas desus yang mengecewakan pihak lain, yang rahasia,
mengumumkan rahasian orang, berkhianat. yang taktis, mengejutkan lawan,
mengganggu dan membingungkan pihak lain.
Contoh lain adalah memaksa pihak lain menyesuaikan diri dengan kekerasan, provokasi,
intimidasi, dst.
Menurut Leo von Wiese dan Howard Becker ada 3 tipe umum kontravensi :
1. Kontraversi generasi masyarakat : lazim terjadi terutama pada zaman
yang sudah mengalami perubahan yang sangat cepat
2. Kontraversi seks : menyangkut hubungan suami dengan istri dalam
keluarga.
3. Kontraversi Parlementer : hubungan antara golongan mayoritas dengan
golongan minoritas dalam masyarakat.baik yang menyangkut hubungan
mereka di dalam lembaga legislatif, keagamaan, pendidikan, dst

3. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat


Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial selalu terdiri dari dua
kepentingan, yaitu ke pentingan individu yang termasuk kepentingan keluarga,
kelompok atau golongan dan kepentingan masyarakat yang termasukke pentingan
rakyat . Dalam diri manusia, kedua kepentingan itu satu sama lain tidak dapat
dipisahkan. Apabila salah satu kepentingan tersebut hilang dari diri manusia, akan
terdapat satu manusia yang tidak bisa membedakan suatu kepentingan, jika
kepentingan individu yang hilang dia menjadi lupa pada keluarganya, jika kepentingan
masyarakat yang dihilangkan dari diri manusia banyak timbul masalah kemasyarakatan
contohnya korupsi. Inilah yang menyebabkan kebingungan atau dilema manusia jika
mereka tidak bisa membagi kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat.Persoalan pengutamaan kepentingan individu atau masyarakat ini
memunculkan dua pandangan yang berkembang menjadi paham/aliran bahkan ideologi
yang dipegang oleh suatu kelompok masyarakat. Adapun Ariska mengemukakan dua
pandangan yaitu pandangan individualisme dan pandangan sosialisme. Untuk
mengetahui lebih lanjut, berikut kami sajikan uraian berikut.
1. Pandangan Individualisme
Individualisme berpangkal dari konsep bahwa manusia pada hakikatnya adalah
makhluk individu yang bebas. Paham ini memandang manusia sebagai makhluk pribadi
yang utuh dan lengkap terlepas dari manusia yang lain. Pandangan individualisme
berpendapat bahwa kepentingan individulah yang harus diutamakan. Yang menjadi
sentral individualisme adalah kebebasan seorang individu untuk merealisasikan dirinya.
Paham individualisme menghasilkan ideologi liberalisme. Paham ini bisa disebut juga
ideologi individualisme liberal.
Paham individualisme liberal muncul di Eropa Barat (bersama paham sosialisme)
pada abad ke 18-19. Yang dipelopori oleh Jeremy Betham, John Stuart Mill, Thomas
Hobben, John Locke, Rousseau, dan Montesquieu. Beberapa prinsip yang dikembangkan
ideologi liberalisme adalah sebagai berikut.
a. Penjaminan hak milik perorangan. Menurut paham ini, pemilikan
sepenuhnya berada pada pribadi dan tidak berlaku hak milik berfungsi
sosial, Mementingkan diri sendiri atau kepentingan individu yang
bersangkutan.
b. Pemberian kebebasan penuh pada individu. Persaingan bebas untuk
mencapai kepentingannya masing-masing.Kebebasan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan diri bisa menimbulkan persaingan dan dinamika
kebebasan antar individu. Menurut paham liberalisme, kebebasan antar
individu tersebut bisa diatur melalui penerapan hukum. Jadi, negara
yang menjamin keadilan dan kepastian hukum mutlak diperlukan dalam
rangka mengelola kebebasan agar tetap menciptakan tertibnya
penyelenggaraan hidup bersama.
2. Pandangan Sosialisme
Paham sosialisme ditokohi oleh Robert Owen dari Inggris (1771-1858), Lousi
Blanc, dan Proudhon. Pandangan ini menyatakan bahwa kepentingan masyarakatlah
yang diutamakan. Kedudukan individu hanyalah objek dari masyarakat. Menurut
pandangan sosialis, hak-hak individu sebagai hak dasar hilang. Hak-hak individu timbul
karena keanggotaannya dalam suatu komunitas atau kelompok.
Sosialisme adalah paham yang mengharapkan terbentuknya masyarakat yang
adil, selaras, bebas, dan sejahtera bebas dari penguasaan individu atas hak milik dan
alat-alat produksi. Sosialisme muncul dengan maksud kepentingan masyarakat secara
keseluruhan terutama yang tersisih oleh system liberalisme, mendapat keadilan,
kebebasan, dan kesejahteraan. Untuk meraih hal tersebut, sosialisme berpandangan
bahwa hak-hak individu harus diletakkan dalam kerangka kepentingan masyarakat yang
lebih luas. Dalam sosialisme yang radikal/ekstem (marxisme/komunisme) cara untuk
meraih hal itu adalah dengan menghilangkan hak pemilikan dan penguasaan alat-alat
produksi oleh perorangan. Paham marxisme/komunisme dipelopori oleh Karl Marx
(1818-1883).
Paham individualisme liberal dan sosialisme saling bertolak belakang dalam
memandang hakikat manusia. Dalam Declaration of Independent Amerika Serikat 1776,
orientasinya lebih ditekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk individu yang
bebas merdeka, manusia adalah pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang luhur.
Sedangkan dalam Manifesto Komunisme Karl Marx dan Engels, orientasinya sangat
menekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial semata. Menurut paham ini
manusia sebagai makhluk pribadi yang tidak dihargai. Pribadi dikorbankan untuk
kepentingan negara.
Dari kedua paham tersebut terdapat kelemahannya masing-masing.
Individualisme liberal dapat menimbulkan ketidakadilan, berbagai bentuk tindakan tidak
manusiawi, imperialisme, dan kolonialisme, liberalisme mungkin membawa manfaat
bagi kehidupan politik, tetapi tidak dalam lapangan ekonomi dan sosial. Sosialisme
dalam bentuk yang ekstrem, tidak menghargai manusia sebagai pribadi sehingga bisa
merendahkan sisi kemanusiaan. Dalam negara komunis mungkin terjadi kemakmuran,
tetapi kepuasan rohani manusia belum tentu terjamin.
Negara indonesia yang berfilsafahkan pancasila, hakikat manusia dipandang
memiliki sifat pribadi sekaligus sosial secara seimbang. Menurut filsafat pancasila,
manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial, yang secara hakikat bahwa
kedudukan manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Bangsa
indonesia memiliki prinsip penempatan kepentingan bersama diatas kepentingan
pribadi dan golongan. Demi kepentingan bersama tidak dengan mengorbankan hak-hak
dasar setiap warga Negara.

C.KESIMPULAN
Manusia disebut makhluk individu karena pada dasarnya awal terciptanya
manusia adalah sebagai makhluk yang memiliki ciri baik itu fisik ataupun karakter sifat
serta kepribadian masing-masing. Dikatakan manusia sebagai makhluk sosial karena
manusia sudah terikat pada norma sosial. Pada dasarnya manusia saling membutuhkan,
seingga terwujudlah interaksi yang menimbulkan antar individu saling berbagi dan diakui
keberadaannya sejak individu mengenal dan dikenal oleh masyarakat. Perbedaan
signifikan manusia sebagai makhluk individu dan sosial adalah manusia sebagai makhluk
individu dapat mengekspresikan dirinya sesuai apa yang dikehendaki dengan batasan
hak asasi manusia yang dimilikinya. Manusia sebagai makhluk sosial merefleksikan
perihal manusia yang membutuhkan keberadaan manusia lain untuk menunjang
kebutuhan jasmani dan rohaninya.
Sebagai makhluk sosial maka manusia pasti melakukan sebuah interaksi sosial,
dimana Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis.
Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu
dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun
antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol
diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka
yang menggunakannya. Dalam interaksi sosial ini terdapat dua bentuk yaitu interaksi
sosial asosiatif dan interaksi sosial disosiatif.
LEMBAR KERJA MAHASISWA

LATIHAN UJI PEMAHAMAN MATERI BAB TIGA


Jawablah Pertanyaan berikut ini sesuai dengan petunjuk dan pemahaman Anda!

1. Berikan penjelasan dua dalam konteks berikut :arti penting mempelajari


manusia sebagai makhluk Individu dan Makhluk Sosial
1.1. Jelaskan pengertian atau hakikat manusia sebagai makhluk individu dan
makluh sosial serta peran yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi
kehidupan sosial bermasyarakat ?
1.2. Lantas bagaiamanakah yang terjadi jika seorang individu tidak mampu
memaminkan perannya sebagai makhluk sosial, apa yang semestinya
dilakukan agar terdapat keseimbangan peran antara kepentingan pribadi
individu dan kepentingan sosial masyarakat, berikan penjelasan Anda
dengan memberikan realitas sosial yang terjadi di tengah kehidupan sosial
masyarakat Anda ?

PERTANYAAN ANALISA KASUS

 Dileme kepentingan individu dan sosial dalam interaksi sosial di masyarakat


pastilah selalu ada, bentuk tugas kelompok, masing-masing kelompok 4
mahasiswa. Buatlah kliping tentang contoh – contoh akibat yang ditimbulkan
dari proses terjadinya interaksi sosial baik yang mengarah pada proses asosiatif
keteraturan ataupun ketidak-teraturan / disorder, cari kasus yang terdapat di
medai cetak seperti koran, majalah, yang terjadi di masyarakat ! masing –
masing kelompok membuat kliping minimal 5 contoh kasus yang terdapat di
koran/ majalah ! dan berikanlah tannggapan anda terkait kasus tersebut kalau
dihadapakan pada pengarusutamaan anatara kepentingan Individu dan
kepentingan sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George & Godman, J Douglas, 2003, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media,
Jakarta
Ritzer, George,1980, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigama Ganda, Rajawali Pers,
Jakarta
Soekanto, Soerjono., 1998. Sosiologi: suatu pengantar. Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.
Veeger, K.J. 1995. Ilmu Budaya Dasar: buku panduan mahasiswa. Jakarta : Apatik dan
PT. Gramedia.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
BAB V
MANUSIA, KERAGAMAN, KESEDERAJATAN DANKEMARTABATAN

STANDAR KOMPETENSI :

Mahasiswa mampu menjelaskan tentang manusia, keragaman dan kesetaraan

INDIKATOR PEMBELAJARAN :

1.Mahasiswa dapat menjelaskan hakikat keragaman dan kesetaraan manusia.

2. Mahasiswa dapat menjelaskan kemajemukan dalam dinamika sosial dan budaya.

3.Mahasiswa dapat menjelaskan keragaman dan kesetaraan sebagai kekayaan sosial


budaya indonesia.

4. Mahasiswa dapat menjelaskan problematika keragaman dan solusinya dalam


kehidupan masyarakat dan negara.

MATERI PEMBELAJARAN :

1. Hakikat keragaman, dan kesetaraan manusia.


2. Kemajemukan dalam dinamika sosial dan budaya.
3. Keragaman dan kesetaraan sebagai kekayaan sosial budaya indonesia.
4. Problematika keragaman dan solusinya dalam kehidupan masyarakat dan negara.

PENDAHULUAN
Pada bab ini mahasiswa akan diperkenalkan materi tentang Manusia,
Keragaman, Kesederajatan dan Kemartabatan yang akan meliputi pemahaman terhadap
: Pertama hakikat keragaman dan kesetaraan manusia, ke dua kemajemukan dan
kesetaraan sebagai kekayaan sosial budaya bangsa, ketiga kemajemukan dan kesetaraan
sebagai kekayaan sosial budaya bangsa dan ke-emapat roblematika keragaman dan
kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan. Diharapkan setelah memahami materi
tersebut mahasisiswa mampu: Pertama menjelaskan hakikat keragaman dan kesetaraan
dalam diri manusia, ke-dua mampu menganalisis kemajemukan yang terdapat dalam
kehiduapan sosial masyarakat, ketiga mampu mengidentifikasi kemajemukan dan
kesetaraan dalam pluralitas kehidupan sosial masyarakat Indonesia dan ke-empat
mampu menguraikan relitas dalam sebuah problematika sosial yang muncul dari adanya
keragaman dan kesetaraan sosial dalam kehidupan sosial masyarakat dan mampu
memberikan alternatif penyelesaian masalah tersebut. Pemahman terhadap materi ini
akan mengantarkan mahasiswa sebagai individu yang mampu hidup dalam
keanekaragaman dan mampu menjaga kesederajatan dan kemartabatan manusia satu
sama lain.

B.PENYAJIAN MATERI

1. Hakikat Keragaman/pluralitas Masyarakat Indonesia.

Kata keragaman dapat diartikan kebermacaman atau bermacam - macam


(Badudu, 1994:1118). Dalam kaitannya dengan pembahasan ini kata keragaman dapat
diartikan sebagai hal yang bermacam -macam. Keragaman adalah suatu keadaan
masyarakat yang di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal.
Sebagaimana yang telah kita ketahui dan disadari bersama bahwa bangsa Indonesia
merupakan bangsa majemuk, yang ditandai dengan beragam suku bangsa, agama, dan
kebudayaan. Keragaman itu merupakan kekayaan budaya bangsa yang membanggakan,
tetapi pada sisi lain mengandung potensi masalah yang dapat mengakibatkan
malapetaka jika tidak dikelola dengan baik.
Keragaman dipandang sebagai kekayaan budaya yang membanggakan, artinya
bahwa, bangsa Indonesia memiliki beragam unsur kebudayaan yang berasal dari
beragam golongan, kelompok, atau pun komponen bangsa lainnya. Masing-masing
komponen bangsa memiliki bentuk dan potensi tersendiri untuk dapat dikembangkan,
sehingga dalam pengembangannya dapat dipandang memiliki beragam potensi yang
bisa dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Namun demikian, beragam potensi yang
rnerupakan wujud kekayaan bangsa ini juga berpotensi untuk menimbulkan adanya
banyak kerawanan yang berpotensi menimbulkan banyak masalah, sehingga rawan akan
konflik. Untuk menekan terjadinya konflik, maka diperlukan tata kelola yang baik.
Unsur-unsur keragaman yang merupakan sumber kekayaan bangsa dan
sekaligus menjadi sumber kerawanan timbulnya konflik tersebut dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu yang lingkupnya bersifat umum (misalnya: suku bangsa dan ras,
agama dan keyakinan, ideologi dan politik, adat dan kesopanan, kesenjangan ekonomi,
dan kesenjangan sosial) dan yang bersifat pribadi (misalnya: perilaku seseorang, minat
seseorang, cita-cita seseorang, dan lain sebagainya). Unsur-unsur keragaman tersebut
berpengaruh terhadap kehidupan manusia karena masing-masing berdampak langsung
bagi terpeliharanya kesederajatan dan kemartabatan manusia. Misalnya saja dalam hal
keragaman suku bangsa dan ras, bangsa Indonesia memiliki beragam suku bangsa
antara lain: dari Aceh, Melayu, Batak, Jawa, Madura, Dayak, Bugis, sampai Papua, dan
lain-lain. Keragaman suku bangsa tersebut tidak saja membedakan bentuk fisik
melainkan juga bersifat non-fisik, seperti: dalam hal bahasa, pola perilaku, adat-istiadat,
keyakinan, seni, dan lain-lain. Hal ini perlu disadari bersama secara arif dan bijaksana
bahwa keragaman tersebut merupakan bagian dari kekayaan bangsa, bukan sebaliknya
untuk menunjukkan adanya perbedaan dan pembenaran diri sebagai yang terbaik.
Keragaman budaya atau cultural diversity adalah ke niscayaan yang ada di bumi
Indonesia, atau sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya. Dalam konteks
pemahaman masyarakat yang majemuk, masyarakat Indonesia selain memiliki
kebudayaan yang didasarkan atas ke-lompok suku bangsa juga terdiri dari berbagai
kebudayaan daerah yang bersifat kewilayahan dan merupakan pertemuan antara
berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Dengan
jumlah penduduknya yang kurang lebih sudah mencapai 200 juta orang, mereka semua
tinggal secara tersebar di pulau-pulau Indonesia. Mereka berada di wilayah Indonesia
dengan kondisi geografis yang bervariasi, mulai dari pegunungan, pedalaman, tepian
hutan, dataran rendah, pedesaan, pesisir pantai, hingga perkotaan.
Mereka yang tinggal dengan wilayah bervariasi tersebut secara langsung
maupun tidak langsung akan berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok
suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang beraneka ragam. Pertemuan-pertemuan
dengan kebudayaan luar pun akan mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada
di Indonesia, sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Di
samping itu, juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar diIndonesia turut
mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga mencerminkan kebudayaan
agama tertentu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa Indonesia adalah salah satu
negara yang memiliki tingkat keanekaragaman budaya atau tingkat heterogenitas yang
tinggi, tidak saja dalam keanekaragaman budaya pada kelompok suku bangsa melainkan
juga dalam keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradisional hingga ke
modern, dan bahkan kewilayahan.
Dengan adanya keragaman suku bangsa dan ras, serta kebudayaan yang ada,
adat dan kesopanan pun menjadi beragam. Misalnya, adat dan kesopanan di Jawa tentu
akan berbeda dengan adat dan kesopanan di Papua, adat dan kesopanan Aceh tentu
akan berbeda dengan di Bali, dan seterusnya. Keragaman ini harus disadari sebagai
bagian dari kekayaan budaya bukan sebaliknya menjadi masalah untuk dipertentangkan.
Demikian juga dengan masalah agama dan keyakinan. Beragam agama dan keyakinan
yang tumbuh dan berkembang di Nusantara ini perlu disadari sebagai bagian dari hak-
hak asasi manusia yang merupakan hak-hak dasar bagi individu, sehingga tidak harus
dikonfrontasikan melainkan harus direngkuh sebagaimana zaman Nabi Muhammad
memimpin masyarakat Medinah yang dapat menghargai dan menghormati adanya
pluralisme.
Bertolak dari keanekaragaman budaya yang ada maka dapat dikatakan bahwa
bangsa Indonesia memiliki keunggulan tersendiri dibanding dengan negara-negara lain.
Sebagai sebuah negara kepulauan, bangsa Indonesia memiliki potret budaya yang
lengkap dan bervariasi. Secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia memiliki
jalinan sejarah dan dinamika interaksi antar kebudayaan yang sudah terbentuk sejak
dahulu kala. Terjadinya interaksi ini tidak saja pada hubungan antarkelompok suku
bangsa yang berbeda melainkan juga meliputi peradaban yang ada di dunia.Secara
historis wilayah Nusantara di samping terdapat penduduk asli yang sejak awal telah
menetap, juga banyak pendatang dari bangsa lain yang kemudian berbaur dengan
penduduk setempat dan melahirkan beragam bentuk kebudayaan baru. Berbagai suku
bangsa pendatang yang kemudiansinggah di kawasan Nusantara antara lain berasal dari
China, India, Timur Tengah, dan Eropa.
Hal itu dapat dibuktikan dari berbagai peninggalan yang ada maupun unsur lain
yang terkait ras mereka. Berbagai suku bangsa yang berasal dari China, India, dan Timur
Tengah telah memberi arti tersendiri bagi tumbuh kembangnya peradaban bangsa ini,
baik dari adat - istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, maupun yang lain-lainnya.
Demikian juga dengan bangsabangsa Eropa, seperti berlabuhnya kapal-kapal Portugis di
Banten pada abad pertengahan telah membuka Indonesia pada lingkup pergaulan dunia
internasional pada saat itu. Pengalaman sejarah tersebut telah membentuk daya
elatisitas bangsa Indonesia untuk berinteraksi dengan perbedaan. Daya elatisitas ini
terbukti dari kemampuan bangsa Indonesia yang masih mampu mengembangkan
lokalitas budaya di tengah-tengah lalu-lintas persinggungan antar peradaban.
Kenyataan sejarah di atas membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia
mampu hidup secara berdampingan dan saling mengisi, sehingga dapat berjalan paralel.
Meskipun terdapat kebudayaan kraton yang dikembangkan oleh kerajaan, eksistensi
kebudayaan daerah yang hidup di kalangan masyarakat pedesaan tetap dapat
berkembang dengan baik, dan bahkan terjadi kolaborasi bersama sehingga dapat saling
memelihara kelangsungannya. Hal itu terbukti dari budaya seni pewayangan atau
pedalangan, yang sampai saat ini masih bisa bertahan. Seni wayang tidak saja dipelihara
oleh masyarakat kalangan kraton melainkan juga masyarakat pedesaan, dengan agama
dan suku bangsa yang berbeda-beda. Bingkai "Bhinneka Tunggal Ika" di waktu itu telah
mampu mewadahi hubungan-hubungan antarkebudayaan yang terjalin, dan bahkan
tidak sebatas pada konteks keanekaragaman kelompok suku bangsa, namun juga pada
konteks kebudayaan antarbangsa.
Kenyataan sejarah tersebut patut dicontoh dan dilestarikan, atau dipertahankan
sebagai bentuk pembelajaran bagi generasi bangsa ke depan.Masalah keragaman ini
perlu mendapatkan perhatian tersendiri mengingat masyarakat Indonesia yang
majemuk dengan jumlah suku bangsa kurang lebih 700-an dan berbagai tipe kelompok
masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya menjadi rentan akan
perpecahan. Kondisi yang rentan akan perpecahan ini menunjukkan adanya kerapuhan,
karena keragaman perbedaan yang dimilikinya memiliki potensi konflik yang semakin
tajam. Berbagai perbedaan yang ada di masyarakat menjadi pemicu untuk memperkuat
isu konflik yang sewaktuwaktu dapat muncul di tengah-tengah masyarakat meski pun
konflik itu muncul belum tentu berawal dari keragaman kebudayaan, melainkan dari isu-
isu lain. Sebagai contoh kasus-kasus konflik yang pernah terjadi di Indonesia yang
semula dinyatakan sebagai kasus konflik agama dan suku bangsa, kenyataannya konflik-
konflik itu lebih didominasi oleh isu-isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi.
Penyebab konflik yang sering terjadi selama ini memang tidak sepenuhnya berakar dari
satu masalah namun beberapa kasus yang ada di Indonesia dewasa ini sudah mulai
memunculkan pertanyaan tentang keanekaragaman yang kita miliki.
Untuk menjaga keutuhan bangsa yang selama ini telah diwarisi kemampuan
dalam mengelola keragaman oleh para pendahulunya maka dalam era global ini perlu
kembali belajar pada masa lalu tentang bagaimana seharusnya mengelola keragaman
tersebut dengan benar. Kapasitas sistem politik, hukum, ekonomi, dan lain-lainnya harus
bisa mengakomodasi semua kalangan, sehingga dalam karagaman tersebut tercipta
kesederajatan sebagai komponen bangsa dan kemartabatan yang sama sebagai warga
negara. Untuk itu, peran lembaga legislatif, yudikatif, serta pemerintah selaku eksekutif
memegang peranan penting dalam men - jaga amanahnya sebagai pihak yang diberi
kepercayaan oleh rakyat untuk mengelola negara ini secara benar.

2. Kemajemukan dan Upaya Menjaga Keragaman, Kesederajatan, dan


Kemartabatan

Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam pembicaraan di atas, untuk


mewujudkan kesederajatan, kemartabatan dalam keragaman maka ada empat faktor
utama yang turut memegang peranan penting, yaitu: peran lembaga legislatif, yudikatif,
eksekutif, dan rakyat pada umumnya. Dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat
yang berada dalam konteks keragaman perlu menyadari adanya kesamaan derajat
maupun kesamaan martabat bagi semua warga negara yang tinggal bersama dalam satu
wadah. Kesamaan derajat dan martabat ini perlu dijamin dalam undang-undang
kenegaraan sebagaimana yang termaktub pada UUD 1945 tentang hak dan kewajiban
setiap warga negara adalah sama.
Implementasi dari UUD 45 ini perlu dikawal oleh lembaga legislatif dalam
merumuskan undang-undang bersama pemerintah selaku lembaga eksekutif. Setiap
produk undang-undang yang dihasilkannya harus bisa diterima oleh semua pihak, tanpa
kecuali, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kesederajatan dan kemartabatan
manusia baik itu selaku individu, kelompok, maupun golongan. Asas kesederajatan dan
kemartabatan bagi siapa pun adalah penting agar tidak terjadi tindak diskriminasi di
lapangan. Keberadaan lembaga legislatif menjadi penting untuk mengawal dan
merumuskan produk undang-undang yang dapat diterima oleh semua kalangan, dan
mampu memposisikan perundang-undangan yang menjunjung tinggi asas kesederajatan
dan kemartabatan manusia dengan tidak memihak pada kepentingan individu,
kelompok, maupun golongan. Dengan demikian, tidaklah dibenarkan jika ada produk
undang-undang yang dihasilkan lebih didasarkan pada kepentingan kelompok atau pun
golongan, yang sebatas untuk kepentingan -kepentingan politik sesaat. Jika hal yang
demikian terjadi, pasti esensi kesederajatan dan kemartabatan akan diabaikan dan
terjadilah diskriminasi di lapangan sehingga memicu timbulnya konflik-konflik.
Selanjutnya, peran pemerintah sebagai pihak eksekutif atau pelaksana untuk
mengelola dan menjaga keanekaragaman kebudayaan sangatlah penting. Dalam konteks
ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan pelindung bagi warganya, sekaligus
sebagai penjaga tata hubungan interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang
ada di Indonesia. Namun patut disayangkan, pemerintah yang selalu dianggap sebagai
pengayom dan pelindung sering kali tidak mampu untuk memberikan ruang gerak yang
cukup bagi semua kelompok-kelompok yang ada di negeri ini. Banyak kebudayaan-
kebudayan kelompok suku bangsa minoritas tersingkir oleh kebudayaan daerah
setempat yang dominan sebagaimana halnya yang terjadi pada masa lalu. Contoh lain
yang menonjol adalah ketika ada pandangan yang mengharuskan kanya-karya seni hasil
kebudayaan perlu dipandang dalam perspektif kepentingan pemerintah. Pemerintah
menentukan baik buruknya suatu produk kebudayaan atas dasar kepentingannya.
Implikasinya timbul penyeragaman kebudayaan untuk menjadi "Indonesia", sehingga
tidak menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang secara natural. Jika
peristiwa serupa terulang kembali, pantaslah rakyat mempertanyakan keseriusan
pemerintahan yang ada dalam menjalankan amanatnya.
Di sisi lain, yang tidak kalah pentingnya adalah peran lembaga yudikatif, yang
berusaha menegakkan keadilan bagi semua komponen bangsa dan warga negaranya.
Hukum dibuat bukan untuk kepentingan kelompok; golongan, atau bahkan kepentingan
individu melainkan untuk menegakkan keadilan dan ketertiban masyarakat. Segala
bentuk keputusan hukum yang dijalankan harus dapat dirasakan esensi keadilannya oleh
semua pihak dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kesederajatan dan kemartabatan
manusia. Dunia peradilan adalah representasi dari martabat kejujuran dan kebenaran,
sehingga harus benar - benar dapat mengungkapkan suara kebenaran.
Sebaliknya, kebohongan dalam peradilan bukanlah kebenaran yang hakiki
melainkan pengkhianatan terhadap peradilan dan kemartabatan manusia. Apabila suatu
lembaga peradilan telah banyak menyuarakan kebohongan dalam kebenaran maka
hilanglah esensi kesederajatan dan kemartabatan manusia, sehingga memicu timbulnya
konflik secara vertikal maupun horisontal, yang rentan bagi kesatuan dan persatuan
bangsa. Kondisi demikian akan memicu timbulnya disintegrasi bangsa. Untuk me-
vvujudkan rasa keadilan bagi semua warga negara, di samping diperlukan sistem hukum
yang baik, sarana dan prasarana yang memadai, masyarakat yangtertib hukum, juga
sumber daya manusia yang bermoral, jujur, tegas, dan bijaksana.
Peran masyarakat dalam menjaga keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan
juga sangat penting. Untuk bisa menghargai keragaman, kesederajatan, dan
kemartabatan semua komponen bangsa harus dapat menjaga diri dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana yang diajarkan dalam tuntunan agama-agama
bahwa derajat dan martabat manusia bukan terletak pada harta, tahta, dan jabatan
melainkan berada pada pundak masingmasing individu dalam menjaga kehormatan diri
di hadapan Tuhan maupun sesama manusia. Di sinilah peran penting masyarakat untuk
bisa menjaga diri serta menyadari sebagai sesama makhluk Tuhan, yang esensi
kemanusiaannya memiliki derajat dan martabat yang sama di sisi Tuhan.
Dengan demikian, sebagai negara yang berideologi multikultur bangsa Indonesia
harus didukung dengan sistem infrastruktur demokrasi yang kuat serta aparatur
pemerintah yang mumpuni atau cakap, tegas, cerdas, jujur, dan amanah. Hal itu penting
karena sebagai negara yang multibudayaisme kunci utamanya adalah kesamaan di
depan hukum. Negara dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penjaga pola
interaksi antar kebudayaan kelompok agar tetap seimbang antara kepentingan pusat
dan daerah. Ada keseimbangan pengelolaan pemerintah antara titik ekstrim lokalitas
dan sentralitas, misalnya kasus di Papua, oleh pemerintah kebudayaan tersebut
dibiarkan untuk berkembang dengan kebudayaan Papuanya, namun secara ekonomi
dilakukan pembagian kue ekonomi yang adil.
Dalam konteks masa kini, kekayaan kebudayaan akan banyak berkaitan dengan
produk-produk kebudayaan yang berkaitan dengan tiga wujud kebudayaan, yaitu
pengetahuan budaya, perilaku budaya atau praktik-praktik budaya yang masih berlaku,
dan produk fisik kebudayaan yang berwujud artefak atau bangunan. Beberapa hal yang
berkaitan dengan tiga wujud kebudayaan tersebut yang dapat dilihat adalah produk
kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai, dan sistem kepercayaan.
Keragaman budaya dalam konteks studi ini lebih banyak diartikan sebagai produk atau
hasil kebudayaan yang ada pada masa kini. Dalam konteks masyarakat yang multikultur,
keberadaan keragaman kebudayaan adalah sesuatu yang harus dijaga dan dihormati
keberadaannya. Menurut hasil konvensi UNESCO 2005 (Convention on The Protection
and Promotion of The Diversity of Cultural Expressions) tentang keragaman budaya atau
cultural diversty diartikan sebagai kekayaan budaya yang dilihat sebagai cara yang ada
dalam kebudayaan kelompok atau masyarakat untuk mengungkapkan ekspresinya (
Prasetijo, 2009:3).
Ekspresi budaya atau cultural expression dapat dimaknai sebagai isi dari
keragaman budaya yang mengacu pada makna simbolik, dimensi artistik, dan nilai-nilai
budaya yang melatarbelakanginya. Adapun pengetahuan budaya akan berisi tentang
symbol-symbol pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat pemiliknya untuk
memahami dan menginterprestasikan lingkungannya. Pengetahuan budaya biasanya
akan berwujud nilai-nilai budaya suku bangsa dan nilai budaya bangsa Indonesia, yang di
dalamnya berisi kearifan-kearifan lokal kebudayaan lokal dan suku bangsa setempat.
Kearifan lokal tersebut berupa nilai-nilai budaya lokal yang tercermin dalam tradisi
upacaraupacara tradisional dan karya seni kelompok suku bangsa dan masyarakat adat
yang ada di Nusantara. Sedangkan tingkah laku budaya berkaitan dengan tingkah laku
atau tindakan-tindakan yang bersumber dari nilai-nilai budaya yang ada. Bentuk tingkah
laku budaya tersebut berupa bentuk tingkah laku sehari-hari, pola interaksi, kegiatan
subsistem masyarakat, dan sebagainya. Hal itu dapat disebut sebagai aktivitas budaya.
Untuk budaya artefak, kearifan lokal bangsa Indonesia diwujudkan dalam karya-karya
seni rupa atau benda budaya (cagar budaya) (Prasetijo, 2009:4). Semua penjelasan
tersebut sebagai bukti bahwa Indonesia sebenarnya memiliki kekayaan budaya yang
beragam, baik bentuk dan asalnya, sehingga harus mampu untuk menjaga keragaman ini
tetap berada mampu untuk menjaga keragaman ini tetap dalam budaya yang beragam
seni rupa atau benda budaya (cagar) budaya. Untuk budaya dalam kesederajatan dan
kemartabatan.

3. Arti Penting Kesederajatan dan Kemartabatan Manusia


Hubungan antara manusia dengan lingkungannya pada umumnya bersifat
timbal balik, artinya setiap orang yang menjadi anggota masya - rakat mempunyai hak
dan kewajiban yang sama, baik terhadap masyarakat, pemerintah, dan negara.
Beberapa hak dan kewajiban penting ditetapkan dalam undang-undang (konstitusi)
sebagai bentuk hak dan kewajiban asasi manusia. Untuk dapat melaksanakan hak dan
kewajiban dengan bebas dari rasa takut maka diperlukan jaminan. Adapun yang dapat
memberikan jaminan adalah pernerintahan yang kuat dan berwibawa. Di dalam susunan
negara modern hak-hak dan kebebasan-kebebasan asasi manusia dilindungi undang-
undang dan menjadi hukum positif. Undang-undang tersebut berlaku sama terhadap
semua orang tanpa kecuali. Semua orang mempunyai kesamaan derajat yang dijamin
oleh undang-undang. Kesamaan derajat ini berwujud jaminan atas hak yang diberikan
dalam berbagai sektor kehidupan. Hak inilah yang kemudian dikenal sebagai Hak Asasi
Manusia.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang diperoleh manusia secara sama,
sebagai wujud kesamaan dan kesederajatan. $eragam hak -hak asasi tersebut jika
dicermati akan menjunjung tinggi manusia sebagai makhluk yang bermartabat, dan
berbeda dengan makhluk yang lain. Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang
telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di
dalam kehidupan masyarakat. Anggapan dasarnya adalah bahwa hak itu dimiliki oleh
setiap manusia tanpa dibedakan atas dasar negara, ras, agama, golongan maupun jenis
kelamin. Oleh karenanya, hak itu bersifat asasi (mendasar, hakiki) dan universal
(berlaku/diakui di mana pun dan kapan pun). Seandainya hak asasi ini tidak dapat
berjalan, tentu saja akan ada golongan atau pun orang yangmengalami ketertindasan
sehingga perlu diperjuangkan untuk menegakkannya. Dalam sejarah perkembangannya,
upaya untuk menegakkan hak asasi manusia pernah diperjuangkan di beberapa negara
dengan menghasilkan berbagai naskah kesepakatan, yang menurut Budiardjo
(1991:120121) disebutkan sebagai berikut.
1. Magna Charta (Piagam Agung, 1215), suatu dokumen yang mencatat beberapa
hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan
bawahannya atas tuntutannya. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja
John.
2. Bill of Rights (Undang-Undang Hak, 1689), suatu undang-undang yang diterima
oleh Parlemen Inggris sebagai perlawanan terhadap Raja James II dalam revolusi
tak berdarah (The Glorious Revolution of 1688).
3. Declaration des droits I' home et du citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dan
warga negara, 1789), suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi
Perancis, sebagai perlawanan terhadap kewenangan dari rezim lama.
4. Bill of Rights (Undang-Undang Hak), suatu naskah yang disusun oleh rakyat
Amerika pada tahun 1789 dan kemudian menjadi bagian dari Undang-undang
Dasar pada tahun 1791.
Lebih lanjut dalam Budiardjo (1991:121) dijelaskan bahwa hak-hak yang
dirumuskan pada abad ke-17 dan ke-18 ini sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai
hukum alam (Natural Law), seperti yang dirumuskan John Locke (1632-1714) dan J.J.
Rousseau (17121778) dan hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis, seperti
kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih, dan seterusnya. Pada abad ke-
20 hak-hak politik tersebut dianggap kurang sempuma, maka mulai dicetuskan beberapa
hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya: Salah satu pernyataan yang terkenal adalah
Empat Kebebasan (The Four Freedoms) yang dicetuskan dan dirumuskan oleh Presiden
Amerika Serikat, F. D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II, saat menghadapi
agresi Nazi-Jerman yang menginjak-injak hak-hak manusia.
Empat kebebasan itu antara lain meliputi: 1) kebebasan untuk berbicara dan
menyatakan pendapat (freedom of speech); 2) kebebasan beragama (freedom of
religion); 3) kebebasan dari ketakutan (freedom from fear); 4 ) kebebasan dari
kemelaratan (freedom from want), (Hariyono, 2007:238). Pernyataan hak asasi ini
meskipun secara yuridis tidak mengikat, tetapi secara moril, politik, dan edukatif
memiliki kekuatan, yang tujuannya untuk mencapai standar minimum yang dicita-
citakan oleh umat manusia dan pelaksanaannya dibina oleh negara-negara yang
tergabung dalam PBB. Komitmen ini penting bagi keberlangsungan persamaan hak-hak
dasar manusia yang semakin berkurang. Berkurangnya hak-hak dasar manusia ini tentu
ada sebab-sebabnya, yang antara lain akan dijelaskan dalam pembahasan berikut ini.

1. Persamaan Hak
Adanya kekuasaan negara seolah-olah hak individu menjadi terganggu, karena
ketika kekuasaan negara itu berkembang, ia memasuki lingkungan hak manusia pribadi
dan mengurangi hak-hak yang dimiliki oleh individu. Nal ini menimbulkan persengketaan
pokok antara dua ke-kuasaan secara prinsip, yaitu kekuasaan manusia yang berwujud
hak-hak dasar beserta kebebasan asasi yang selama ini dimilikinya dengan leluasa, dan
kekuasaan yang melekat pada organisasi baru dalam bentuk masyarakat yang berupa
negara (Ahmadi, 1997:207). Untuk mewujudkan adanya persamaan hak maka dibuatlah
sebuah deklarasi, yang selanjutnya menjadi Pernyataan Sedunia Tentang Hak-hak (Asasi)
Manusia atau Universal Declaration of Human Right (1948), yang antara lain pasal-
pasalnya menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 1 :
"Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama.
Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
persaudaraan."
Pasal 2, ayat 1 :
"Setiap orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum
dalam pernyataan ini dengan tak ada kecuali apa pun, seperti misalnya bangsa, warna,
jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau
kemasyarakatan, milik, kelahiran, atau pun kedudukan."
Pasal 7 :
"Sekalian orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan
yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap
segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan semacam ini." (Ahmadi 1997: 207208).

4. Persamaan Derajat dan Keragaman di Indonesia

Dalam Undang-undang Dasar 1945, hak dan kebebasan yang berkaitan dengan
persamaan derajat sudah dicantumkan dalam pasal-pasalnya secara jelas. Sebagaimana
telah diketahui bahwa Negara Republik Indonesia menganut asas bahwa setiap warga
negara tanpa kecuali memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pe-
merintahan. Hal itu sebagai konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat yang bersifat
kerakyatan. Hukum dibuat untuk melindungi dan mengatur warga masyarakat secara
umum tanpa ada perbedaan. Pasal-pasal di dalam UUD 1945 yang memuat ketentuan
tentang hak asasi manusia, antara lain adalah pasa127, 28, 29, dan 31. Keempat pokok
persoalan hak-hak asasi manusia dalam LTUD 1945 tersebut dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, tentang kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum
dan di muka pemerintahan. Pasal 27 ayat 1 menetapkan: "Setiap warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Di dalam perumusan ini
dinyatakan adanya suatu kewajiban dasar di samping hak asasi vang dimiliki oleh warga
negara, yaitu kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya. Dengan demikian, perumusan ini secara prinsip telah membuka suatu
sistem yang berlainan sekali daripada sistem perumusan " Human Rights" secara Barat,
karena hanya menyebutkan hak tanpa ada kewajiban di sampingnya. Kemudian dalam
pasal 27 ayat 2, ditetapkan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Melalui pasal ini diamanatkan bahwa pemerintah memiIiki
kewajiban untuk dapat memberikan akses lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya
kepada setiap warga negara, sehingga dapat mendapatkan penghidupan yang layak dan
manusiawi.
Berbicara tentang kesamaan derajat dan kewajiban warga negara di bidang
hukum dan politik, maka keragaman tentang masalah ideologi dan politik di Indonesia
menarik untuk disimak. Hal tersebut terbukti setelah kran Reformasi dibuka ternyata
banyak bermunculan partai politik dengan ideologi yang beragam pu1a. Mereka semua
adalah komponen bangsa yang sama-sama membawa ideologi melalui perjuangan
partai-partainya. Meskipun terdapat perbedaan, mereka akan tetap memperjuangkan
cita-cita bangsa sebagaimana yang tertuang di dalam UUD 1945. Dengan kata lain,
keragaman ideologi dan politik adalah bagian dari kekayaan bangsa yang harus dijaga
bersama demi keutuhan negara dan bangsa.
Keragaman tersebut bisa juga terjadi pada masalah-masalah yang terkait dengan
kesenjangan ekonomi ynaupun kesenjangan sosial. Kesenjangan ekonomi sering kali
menumbuhkan permasalahan kesederajatan dan kemartabatan manusia ketika ada
tindak diskriminasi terhadap mereka di antara yang kaya dengan yang miskin.
Kesenjangan ekonomi di samping dapat menimbulkan diskriminasi dan kecemburuan
sosial juga dapat mengakibatkan meningkatnya kriminalitas, maupun penyimpangan
perilaku sosial di masyarakat. Hal itu terbukti dari meningkatnya kekerasan yang berupa
perampokan, pencurian, per-dagangan anak, kekerasan di rumah tangga, dan bahkan
tindak asusila, dan lain-lain.
Untuk itu, hal-hal yang dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi ini perlu
dilokalisir dan segera dipecahkan solusinya oleh semua komponen bangsa, khususnya
pemegang kekuasan yang mendapat amanah untuk menjalankan amanat rakyat dan
undang-undang dasar. Salah satu solusi yang dapat dilakukan antara lain dengan cara
memberi kesempatan pada dunia usaha agar dapat membuka kesempatan kerja seluas-
luasnya. Di samping itu, perlu adanya kesadaran bersama bahwa kesenjangan ekonomi
bukan berarti menjadi halangan untuk dapat menempatkan diri dalam kesederajatan
dan kemartabatan yang sama antara sesama manusia. Dengan demikian, melalui
kesadaran tersebut akan dapat mengurangi atau bahkan menghindari terjadinya potensi
konflik di masyarakat.
Kesenjangan ekonomi juga bisa berujung pada kesenjangan sosial apabila
kesadaran untuk memahami kesederajatan dan kemartabatan manusia masih bersifat
diskriminatif. Pelayanan publik seperti masalah kesehatan, birokrasi, dan lain-lain yang
diskriminatif akan menimbulkan potensi konflik. Kesenjangan sosial dapat terjadi
disebabkan oleh beberapa faktor berikut, misalnya: karena perbedaan kemampuan
ekonomi; status sosial karena pangkat, jabatan, tingkat pendidikan, dan keturunan;
profesi kerja: Pada umumnya negara - negara berkembang yang dulu pernah dijajah
masih banyak yang berpikir secara feodalistik, sehingga kekayaan, pangkat, jabatan,
tingkat pendidikan, keturunan, maupun profesi kerja sering menjadi ukuran kelas sosial.
Ketiadaan dari salah satu unsur-unsur tersebut mengakibatkan pandangan yang
diskriminatif atas aktivitas sosialnya. Kondisi ini menunjukkan belum adanya kerelaan
semua pihak untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kesederajatan dan kemartabatan
manusia didasarkan profesionalitasnya.
Kesadaran untuk menghargai dan menghormati profesionalitas manusia masih
sangat rendah, terbukti masih banyak perlakuan yang diskriminatif antara yang
berprofesi sebagai pejabat maupun pegawai negeri, TNI, Polri, dibandingkan dengan
kalangan pekerja swasta, buruh, TKI, maupun terhadap pembantu rumah tangga.
Sebagaimana negara-negara yang telah maju nilai kesederajatan dan kemartabatan
manusia lebih banyak didasarkan pada esensi kemanusiaannya, bukan pada profesi
kerjanya. Status sosial dalam profesi kerja dihargai dan dihormati kapasitasnya sebagai
sesuatu yang profesional, sehingga apa pun status kerjanya akan mendapatkan
kehormatan dan penghargaan yang sama atas kapasitas profesionalitasnya.
Dengan demikian, tidak ada diskriminasi birokrasi dalam pelayanan publik
maupun dihadapan hukum yang berlaku. Kedua, tentang kemerdekaan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang dituangkan pada pasal 28 sebagai berikut:
"Kemerdakaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh undang-undang." Pasa128 ini sudah jelas
memberi indikasi adanya kebebasan bagi setiap warga negara untuk berserikat atau
berorganisasi, dan mengeluarkan pendapatnya. Dengan kata lain, pemerintah
berkewajiban untuk mengawal proses demokrasi sehingga dapat membawa kehidupan
masyarakat dalam berbangsa dan bernegara didasari oleh nilai-nilai demokrasi secara
benar, manusiawi, dan beradab.
Ketiga, tentang kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan yang dituangkan
di dalam pasal 29 ayat 2, yang berbunyi sebagai berikut: "Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan menurut kepercayaannya."Dalam pasal ini setiap warga
negara diberi kebebasan untuk melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinan
masing-masing, sehingga memberi kesempatan secara adil dan bijaksana kepada setiap
warga negara untuk melakukan peribadatan”
Keempat, hak asasi manusia tentang pengajaran tertuang dalam pasal 31, ayat 1
dan 2 mengatur tentang hak asasi manusia mengenai pengajaran yang berbunyi: 1).
Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran; 2). Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-
undang. Pasal ini memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mendapatkan
pengajaran sesuai dengan sistem yang telah ditentukan di dalam undang-undang.

5. Problem Diskriminasi dan Ethnosentrisme

A. Prasangka dan Diskriminasi


Diskriminasi adalah setiap tindakan yang dilakukan untuk membedakan
seseorang atau sekelompok orang berdasarkan atas ras, agama, suku, etnis, kelompok,
golongan, status, kelas sosial ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik tubuh, usia, orientasi
seksual, pandangan ideologi dan politik, serta batas negara, dan kebangsaan seseorang.
Padahal manusia dilahirkan tidak dapat menghendaki keturunan dari faktor tertentu.
Karena itu, tidak layak apabila manusia memperoleh perlakuan diskriminasi (Hariyono,
2007: 232). Sementara itu, prasangka dan diskriminasi adalah dua hal yang ada
relevansinya. Kedua tindakan ter-sebut dapat merugikan pertumbuhan dan
perkembangan integrasi masyarakat. Peristiwa kecil yang semula hanya menyangkut
dua orang dapat meluas dan menjalar, melibatkan sepuluh orang, golongan, atau
bahkan wilayah yang bisa disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan maupun
destruktif yang merugikan.
Prasangka mempunyai dasar pribadi, setiap orang memilikinya, sejak masih kecil
unsur sikap berprasangka sudah tampak. Perbedaan yang secara sosial dilaksanakan
baik itu antar individu maupun lembaga atau kelompok dapat menimbulkan sikap
prasangka. Sikap berprasangka dapat hinggap pada siapa saja dari yang berpikiran
sederhana hingga masyarakat yang tergolong cendekiawan, sarjana, pemimpin, atau
negarawan. Jadi prasangka dasarnya adalah pribadi dan dimiliki bersama. Oleh karena
itu, perlu mendapatkan perhatian dengan seksama, mengingat bangsa Indonesia terdiri
dari berbagai suku bangsa atau masyarakat yang multietnik (Ahmadi, 1991:270).
Suatu hal yang saling berkaitan, apabila seorang individu mempunyai prasangka
rasial biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang diprasangkanya. Tetapi dapat
pula ia bertindak diskriminatif tanpa disadari prasangka, dan sebaliknya seorang yang
berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif. Perbedaan terpokok antara
prasangka dan diskriminatif adalah bahwa prasangka menunjukkan pada aspek sikap,
sedangkan diskriminatif pada tindakan. Menurut Morgan (1966), sikap adalah kecen-
derungan untuk merespons sesuatu, baik itu secara positif maupun negatif terhadap
orang, objek, atau situasi. Sikap seseorang baru diketahui bila ia sudah bertindak atau
bertingkah laku. Oleh karena itu, bisa saja bahwa sikap bertentangan dengan tingkah
laku atau tindakan. Jadi prasangka merupakan kecenderungan yang tidak tampak, dan
sebagai tindak lanjutnya, timbul tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian,
diskriminatif merupakan tindakan yang realistis, sedangkan prasangka tidak realistis dan
hanya diketahui oleh diri sendiri, atau individu masing-masing (Ahmadi, 1991:270271)
Prasangka ini sebagian besar sifatnya apriori, mendahului pengalaman sendiri
(tidak berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil peniruan langsung dari
orang lain, atau dioper dari milieu, di mana orang itu menetap. Gradasi prasangka
menunjukkan adanya distansi sosial antara in group dan out group. Dengan kata lain,
tingkat prasangka menumbuhkan jarak sosial tertentu di antara anggota kelompok
sendiri dengan anggota-anggota kelompok luar. Prasangka juga bisa diartikan sebagai
suatu sikap yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau
cepat, sifat berat sebelah, dan dibarengi proses simplikasi (terlalu menyederhanakan)
suatu realitas (Ahmadi, 1991:271).
Prasangka sebagai suatu sikap tidaklah merupakan wawasan dasar dari individu
melainkan merupakan hasil proses interaksi antar individu atau golongan. Atau akan
lebih tepat kalau prasangka itu merupakan hasil proses belajar dan pengenalan individu
dalam perkembangannya.Pada prinsipnya seseorang akan bersifat tertentu terhadap
orang lain atau suatu kelompok jika ia telah memiliki pengetahuan itu, kita tidak dapat
memastikan apakah hal itu bersifat psistif atau negatif. Pengetahuan itu akan membuat
seseorang atau suatu kelompok berpersepsi, berpikir dan merasa terhadap objek
tertentu. Dari sinilah lahirnya suatu sikap dalam bentuk tingkah laku yang cenderung
negatif (Ahmadi, 1991: 272).
Dengan demikian, prasangka dapat dikatakan seperti yang dikemukakan oleh
Newcomb, yaitu sebagai sikap yang tidak baik dan sebagai suatu predisposisi untuk
berpikir, merasa, dan bertindak secara menentang atau menjauhi dan bukan
menyokong atau mendekati orang-orang lain, terutama sebagai anggota kelompok.
Pengertian Newcomb tersebut timbul dari gejala-gejala yang terjadi dari masyarakat.
Pengalaman seseorang yang bersifat sepintas, yang bersifat performance semata akan
cepat sekali menimbulkan sikap negatif terhadap suatu kelompk akau terhadap
seseorang. Melihat penampilan orang-orang Negro maka sering menimbulkan kesan
keras, sadis, tidak bermoral, dan sejenisnya. Pandangan yang demikian akan
menimbulkan kesan segan bergaul dengan mereka dan selalu memandangnya dengan
sikap negatif (Ahmadi, 1991:272).
Tidak sedikit orang yang mudah berprasangka, namun banyak pula orang yang
lebih sukar untuk berprasangka. Mengapa terjadi perbedaan cukup menyolok?
Tampaknya unsur kepribadian, intelegensia, serta lingkungan berpengaruh terhadap
munculnya prasangka. Namun demikian, belum jelas benar ciri-ciri kepribadian mana
yang membuat seseorang mudah berprasangka. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
orang yang berintelegensi tinggi lebih sukar untuk berprasangka. Mengapa? Karena
orang-orang semacam ini bersifat kritis. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan
bahwa mereka yang tergolong kaum cendekiawan, bahkan juga para pemimpin dan
negarawan juga bisa berprasangka. Bukankah lahirnya senjata-senjata antar benua
(Inter Continental Balistie Missile ICBM) juga karena suatu prasangka yang berlebihan
dari para pemimpin, negarawan negara-negara adikuasa (super power). Bukankah
pemasangan rudal-rudal jarak pendek milik Amerika Serikat di daratan Eropa Barat
adalah suatu manifestasi dari prasangka Amerika Serikat terhadap rivalnya yaitu Uni
Soviet? Kondisi lingkungan atau wilayah yang tidak mampu pun cukup untuk beralasan
untuk dapat menimbulkan prasangka suatu individu atau kelompok sosial tertentu
(Ahmadi, 1991:273).
Dalam kondisi persaingan untuk mencapai akumulasi material tertentu, untuk
meraih status sosial dari suatu individu atau kelompok sosial tertentu, ada suatu
lingkungan atau wilayah, di mana norma-norma dan tata hukum di dalam kondisi goyah,
dapat merangsang munculnya prasangka dan diskriminasi. Antara prasangka dan
diskriminasi dapat dibedakan dengan jelas. Prasangka bersumber dari suatu sikap,
sedangkan diskriminasi menunjuk pada suatu tindakan. Dalam pergaulan seharihari
sikap prasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu, tak dapat dipisahkan. Seorang
yang mempunyai prasangka rasial biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang
diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa orang bertindak diskriminatif tanpa berlatar
belakang pada suatu prasangka. Demikian juga sebaliknya, seseorang yang berprasangka
dapat saja berperilaku tidak diskriminatif. Di Indonesia kelompok keturunan Cina
sebagai kelompok minoritas, sering jadi sasaran prasangka rasial, walaupun secara
yuridis telah jadi warganegara Indonesia dan dalam UUD 1945 Bab X pasal 27 dinyatakan
bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan (Ahmadi, 1991:274).
Sikap berprasangka jelas tidak adil, sebab sikap yang diambil hanya berdasarkan
pada pengalaman atau apa yang didengar. Lebih - lebih bila sikap berprasangka itu
muncul dari pikiran sepintas, untuk kemudian disimpulkan dan dibuat pukul rata sebagai
sifat dari seluruh anggota kelompok sosial tertentu. Apabila muncul suatu sikap ber-
prasangka dan diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, atau terhadap suatu suku
bangsa, kelompok etnis tertentu, bisa jadi akan menimbulkan pertentangan-
pertentangan sosial yang lebih luas. Suatu contoh : beberapa peristiwa yang semula
menyangkut beberapa orang; saja, sering meluas melibatkan sejumlah orang. Akan
menjadi lebih riskan lagi apabila peristiwa itu menjalar lebih luas, sehingga melibatkan
orang-orang di suatu wilayah tertentu, yang diikuti dengan tindakan-tindakan kekerasan
dan destruktif yang berakibat mendatangkan kerugian yang tidak kecil (Ahmadi,
1991:274).

B. Penyebab munculnya prasangka dan Diskriminasi


Prasangka dan diskriminasi dapat terjadi tidak serta merta melainkan ada sebab-
sebab yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Menurut Ahmadi (1991:174-279),
sebab-sebab terjadinya prasangka dan diskriminasi tersebut didasarkan hal-hal berikut,
antara lain: latar belakang sejarah; ethnosentrisme; perkembangan sosio-kultural dan
sifuasional; kepribadian; perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama. Adapun
menurut penulis di samping kelima hal di atas dapat pula ditambahkan faktor-faktor
lain, yaitu: kesenjangan ekonomi dan sosial, serta sistem politik. Untuk lebih jelasnya,
masing-masing faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a) Latar belakang sejarah


Banyak orang berprasangka karena sejarah masa lalu. Hal semacam ini pernah
terjadi pada masa Orde Baru, ketika ada kebijakan bahwa keturunan dari orang-orang
yang dianggap dan diduga terkait dengan Gerakan 30 September memiliki idealogi
serupa sehingga anak keturunannya mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan,
khususnya menjadi pegawai negeri. Setelah beberapa tahun kemudian baru muncul
suatu kebijakan untuk diadakan pemutihan, yang berarti anggapan di atas tidak lagi
menjadi acuan untuk menghambat atau menjadi aturan yang dapat mempersulit anak
keturunan dari tokoh-tokoh yang dianggap terlibat dalam gerakan tersebut karena
memiliki ideologi yang serupa. Sistem demikian itu tidak sejalan dengan hak-hak
dasaratau hak asasi manusia dalam rangka mendapatkan pekerjaan yang layak, maupun
perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Dengan demikian, pada
saat itu telah terjadi diskriminasi kepada warga negaranya baik secara individu maupun
kelompok karena adanya prasangka historis masa lalu.
b) Ethnosentrisme
Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki ciri khas kebudayaan, yang
sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Suku bangsa, ras tersebut dalam kehidupan
sehari-hari bertingkah laku sejalan dengan norma-norma, nilai-nilai yang terkandung
dan tersirat dalam kebudayaannya. Suku bangsa, ras tersebut cenderung menganggap
kebudayaan mereka sebagai sesuatu yang prima, riil, logis, sesuai dengan kodrat alam
dan sebaginya. Segala yang berbeda dianggap kurang baik, kurang estetis, bertentangan
dengan kodrat alam dan sebagainya. Hal-hal tersebut di atas dikenal sebagai
ethnosentrisme, yaitu suatu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-
norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang prima, terbaik, mutlak, dan
dipergunakannya sebagai tolok ukur untuk menilai dan membedakannya dengan
kebudayaan lain (Ahmadi,1991: 279).
Ethnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang universal, dan sikap
yang demikian biasanya dilakukan secara tidak sadar. Dengan demikian, ethnosentrisme
merupakan kecenderungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok
lain dengan tolok ukur kebudayaannya sendiri. Sikap ethnosentrisrne dalam tingkah laku
berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes. Akibat ethnosentrisme berpenampilan
yang ethnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalahpahaman dalam
berkomunikasi. Pandangan Ethnosentrisrne merupakan sikap dasar paham ideologi
Chauvinis yang melahirkan Chauvinisme. Chauvinisme pernah dianut oleh orang-orang
Jerman zaman Nazi Hitler. Mereka merasa dirinyasuperior, lebih unggul dari bangsa lain;
memandang bangsa-bangsa lain sebagai inferior, nista, rendah, bodoh, dan seterusnya
(Ahmadi, 1991: 279). Peristiwa semacam ini sebenarnya masih saja terjadi hanya saja
ada yang diungkapkan secara eksplisit dan ada pula yang sebatas bersifat kepribadian
secara tersembunyi.

c) Adanya perkembangan sosio-kultural dan situasional

Suatu prasangka muncul dan berkembang dari suatu individu lain, atau terhadap
kelompok sosial tertentu manakala terjadi penurunan status atau terjadi Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) oleh pemimpin perusahaan terhadap karyawannya. Pada sisi lain,
prasangka bisa berkembang lebih jauh sebagai akibat adanya jurang pemisah antara
kelompok orang-orang kaya dengan golongan orang-orang miskin. Harta kekayaan
orang-orang kaya baru diduga sebagai harta yang didapat dari usaha-usaha yang tidak
halal. Misalnya, karena korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat, dan
lain-lain. Kasus PHK yang dicontohkan di atas lebih tepat dianggap sebagai faktor
situasional, sedangkan kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang dapat dianggap
sebagai aspek perkembangan sosio-kultaral.

d) Bersumber dari faktor kepribadian


Keadaan frustasi dari beberapa orang atau kelompok sosial tertentu merupakan
kondisi yang cukup untuk menimbulkan tingkah laku yang agresif. Para ahli beranggapan
bahwa prasangka lebih dominan disebabkan oleh tipe kepribadian orang-orang tertentu.
Tipe authoritarian personality adalah sebagai ciri kepribadian seseorang yang penuh
dengan prasangka, dengan ciri-ciri bersifat konservatif dan bersifat tertutup. Dalam
khasanah dakwah faktor kepribadian ini lebih identik dengan ungkapan-ungkapan
budaya iri hati, berburuk sangka, dengki, hasut, dan sebagainya. Hai-hal yang
disangkakan masih bersifat apriori dan bersifat subjektif. Lihat saja kasus-kasus tawuran
yang selama ini terjadi, sering kali masaIahnya hanya sepele sepertikarena dukung-
mendukung dalam arena sepak bola, tawuran antar warga, antar kelompok, atau
bahkan antar mahasiswa dalam satu fakultas, dan lain-lain.
Fenomena ini menunjukkan betapa masyarakat kita rentan terhadap
perpecahan, karena masalah-masalah personal dan sentimen pribadi yang berakar dari
luapan emosi semata, yang cenderung mengedepankan pandangan-pandangan irasional
daripada rasional dan akal sehat. Kepribadian seperti ini menunjukkan adanya fanatisme
kelompok dan golongan yang berlebihan. Dengan demikian, simbol-simbol kesatuan dan
persatuan dalam berbangsa dan bernegara masih perlu ditanamkan dengan
pernahaman yang benar agar tidak mudah untuk dihasut dan digoyahkan oleh masalah-
masalah kecil yang sebenarnya tidak perlu menimbulkan keributan.

e) Adanya perbedaan keyakinan, kepercayaan, dan agama


Prasangka yang bertolak dari keyakinan, kepercayaan, dan agama merupakan
salah satu bentuk prasangka yang bersifat universal. Beberapa kasus semacam ini
pernah terjadi di berbagai belahan dunia, antara lain: konflik antara Irlandia Utara dngan
Irlandia Selatan; konflik antara golongan keturunan Yunani dengan Turki di Cyprus, dan
perang antara Irak dengan Iran berakar dari latar belakang prasangka agama atau
kepercayaan. Situasi serupa juga sering terjadi tanah air meskipun letupan-letupannya
hanya sebatas pada komunitas lokal.

f) Faktor ideologi dan politik

Terjadinya Perang Vietnam, pendudukan Afganistan oleh Uni Soviet, kasus


perang Teluk antara Irak dengan Kuwait, Amerika dan sekutunya dengan Irak, Israel
dengan Palestina, konflik-konflik di lingkungan negara-negara Amerika Tengah juga lebih
banyak bermotifkan ideologi politik dan strategi politik global. Hal itu membuktikan
bahwa masalah ideologi dan politik tetap menjadi faktor penting timbulnya diskriminasi
meskipun sudah ada wadahPerserikatan Bangsa-Bangsa atau disebut PBB. Partisipasi
PBB sering kali justru dijadikan alat oleh negara-negara adidaya dengan prasangka--
prasangka maupun isu-isu global, yang akhirnya merujuk pada tindakan diskriminasi
terhadap negara-negara berkembang. Hal itu dapat dibuktikan pada negara-negara yang
sekarang ini mengalami dampak dari diskriminasi tersebut, seperti di Irak, Afganistan,
Palestina, dan lain-lain yang rakyatnya sampai sekarang tidak dapat hidup dengan
tenteram.
Faktor ideologi dan politik ini tidak saja terjadi pada dunia intemasional
melainkan juga dapat terjadi pada tingkat regional dan nasional. Pada tingkat regional
misalnya adalah kasus-kasus yang berhubungan dengan negara tetangga seperti
Malaysia, yang berulang kali terjadi konflik karena masalah kebijakan politik tentang
kawasan wilavah perbatasan negara. Untuk yang bertaraf nasional misalnya adalah
benturan antara politik dalam negeri dengan pengaruhpengaruh politik Barat yang
cenderung liberal, konflik-konflik antar golongan yang berbeda ideologi, dan lain-lain.

g) Faktor kesenjangan ekonomi

Faktor kesenjangan ekonomi juga dapat menjadi pemicu munculnya prasangka


dan diskriminasi, baik antar negara, bangsa, maupun sesama rakyat. Kesenjangan
ekonomi yang terjadi antar negara sering kali menimbulkan diskriminasi antar negara
adidaya dengan negara-negara yang sedang berkembang, sehingga bentuk kerja sama
yang disepakati sering kali lebih menguntungkan negara-negara yang sudah maju. Isu
tentang pasar bebas misalnya, kelompok negara-negara maju akan dengan mudah
memasukkan segala produknya ke mana pun dengan harga dan kualitas barang yang
lebih diminati. Produk-produknya dipandang memiliki kualitas yang lebih bagus dan
murah. Kondisi ini berdampak langsung bagi negara-negara berkembang yang hasil
produksinya dipandang tidak layak untuk dapat bersaing dengan dunia luar.
Kesenjangan ekonomi yang terjadi pada masyarakat juga dapat memicu
prasangka dan diskriminasi. Dengan dibukanya pasar-pasar modern seperti swalayan,
super market dan sejenisnya maka tidak sedikit pedagang tradisional yang harus
tersingkir oleh para pemilik modal-modal besar. Belum lagi yang terjadi pada PKL,
dengan modal yang pas-pasan, tempat tinggal tidak mapan, sering kali digusur di sana-
sini tanpa solusi, maka diskriminasi dan prasangka pun dapat muncul kapan saja.
Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa kesenjangan ekonomi yang terjadi memicu
prasangka, atau bahkan tindak diskriminasi.

h) Faktor kesenjangan sosial

Prasangka dan diskriminasi juga dapat terjadi karena faktor kesenjangan sosial.
Kehidupan masyarakat yang cenderung menampakkan faktor kesenjangan sosial yang
terjadi akan dengan mudah memunculkan prasangka antara golongan atau kelompok
yang satu dengan golongan atau kelompok yang lain. Timbulnya saling prasangka yang
terus-menerus terjadi dapat diakibatkan oleh faktor kesenjangan sosial di masyarakat,
yang disebabkan oleh faktor ras, golongan atau kelompok yang berbeda, keturunan,
maupun kondisi perekonomian. Segala bentuk diskriminasi karena faktor perbedaan di
atas akan dapat memicu timbulnya konflik-konflik antar kelompok yang berbeda.

e. Menekan Prasangka dan Diskrimenasi

a) Perbaikan kondisi- sosial ekonomi


Untuk menekan prasangka dan diskriminasi perlu dilakukan solusi dengan jalan
perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. HaI ini sejalan dengan amanah Undang-
undang Dasar 1945 Pasal 27, ayat 2, yang menganjurkan adanya hak rakyat untuk
mendapatkan kehidupan yang layak. Upaya untuk mengurangi kesenjangan sosial antara
yang kaya dengan yang miskin perlu mendapat perhatian. Hal itu dapat dilakukan
dengan jalan meningkatkan pendapatan bagi warga negara Indonesia yang masih
tergolong di bawah garis kemiskinan.
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara memfungsikan sistem kelembagaan
pemerintah secara benar, transparan atau jujur, amanah, dan fatonah. Memfungsikan
lembaga pemerintahan secara benar artinya jalur-jalur kelembagaan yang difungsikan
untuk membina dan memfasilitasi usaha-usaha rakyat harus dipersiapkan secara
profesional, dan benar-benar berorientasi kepada kepentingan rakyat, bukan kelompok
dan golongannya. Hal itu dapat ditempuh dengan memberikan kemudahan birokrasi
maupun pendanaan yang lebih mudah, jika perlu dengan memberikan kredit yang tanpa
agunan serta tanpa bunga. Selama ini memang banyak kredit untuk rakyat tetapi
realisasinya sistem yang ada kurang pro rakyat. Sistem yang ada hanya dapat dinikmati
oleh kelompok-kelompok yang ekonominya kuat. Oleh sebab itu, tidak mustahil apabila
ada prasangka-prasangka ketidakadilan dalam sektor perekonomian antara kelompok
ekonomi kuat dengan kelompok ekonomi lemah.

b) Perluasan kesempatan belajar


Amanat UUD 1945, ayat 1, yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara
berhak mendapatkan pengajaran perlu dijadikan pegangan untuk dapat membuat
sistem pendidikan nasional dapat dinikmati oleh semua kalangan. Upaya perluasan
kesempatan belajar bagi seluruh warga negara Indonesia harus diupayakan tidak terlalu
membebankan rakyat kecil. Mengingat dunia pendidikan adalah alat paling strategis
untuk menanamkan nilai-nilai dan IPTEK bagi kepentingan generasi bangsa ke depan.
Kelangsungan bangsa di masa depan terletak pada kemampuan generasi muda di masa
sekarang, sehingga perlu dipersiapkan secara matang dengan membuka kesempatan
seluas-luasnya pada setiap warga negara. Mereka yang memiliki potensi untuk bisa
berprestasi namun tidak memiliki kemampuan modal yang cukup perlu diakomodasi
dengan beasiswa atau badan penyantun pendidikan, agar kesempatan belajar ini tidak
hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah atau pun kalangan atas saja. Dengan
memberi kesempatan luas untuk mencapai tingkat pendidikan dasar sampai perguruan
tinggi bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali, prasangka dan perasaan tidak
ada pada sektor pendidikan cepat atau lambat akan hilang lenyap.

c) Mengakomodasi keragaman
Idealisme paham kebangsaan yang mencanangkan persatuan, kesatuan, dan
kemerdekaan telah menumbuhkan sikap kesepakatan, solidaritas, dan loyalitas yang
tinggi. Sikap muIia para pendahulu bangsa ini perlu ditindak lanjuti dengan berbagai
peraturan dan kebijakan yang bisa diterima oleh semua pihak. Melalui mekanisme
transparansi dan kelapangan dada untuk menerima dan memperoleh masukan atau
kritik semua pihak maka segala hal yang menyangkut kepentingan umum dapat
diakomodasi dengan arif dan bijaksana, serta menjunjung tinggi asas keadilan. Upaya
silaturahmi atau menjalin komunikasi dua arah dengan berniat membuka diri untuk
berdialog antar golongan, antar kelompok sosial yang diduga berprasangka sebagai
upaya membina kesatuan dan persatuan bangsa, adalah suatu cara yang sungguh
bijaksana.
Kepentingan merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku individu. Individu
bertingkah laku karena ada dorongan untuk memenuhi kepentingannya. Kepentingan ini
sifatnya esensial bagi kelangsungan hidup individu itu sendiri. jika individu berhasil
dalam memenuhi kepentingannya, ia akan merasa puas, sebaliknya kegagalan dalam
memenuhi kepentingan akan banyak menimbulkan masalah baik bagi dirinya maupun
bagi lingkungannya. Dengan berpegang kepada prinsip bahwa tingkah laku individu
merupakan cara atau alat dalam memenuhi kepentingannya, maka kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh individu di dalam masyarakat pada hakekatnya merupakan
manifestasi pemenuhan dari kepentingantersebut. Pada umumnya, secara psikologis
dikenal ada dua jenis kepentingan dalam diri individu, yaitu kepentingan untuk
memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial-psikologis. Oleh karenanya individu
mengandung arti bahwa tidak ada dua orang individu yang sama persis di dalam aspek-
aspek pribadinya, baik jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya timbul
perbedaan individu-individu dalam hal kepentingannya. Perbedaan-perbedaan tersebut
secara garis besar disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor pembawaan dan lingkungan
sosial sebagai komponen utama bagi terbentuknya keunikan individu dalam hal
kepentingannya meskipun dengan lingkungan yang sama. Sebaliknya, lingkungan yang
berbeda akan memungkinkan timbulnya perbedaan individu dalam hal kepentingan
meskipun pem-bawaannya sama. Menurut Ahmadi (1991:268), perbedaan kepentingan
meliputi:
1) Kepentingan individu untuk memperoleh kasih sayang.
2) Kepentingan individu untuk memperoleh harga diri.
3) Kepentingan individu untuk memperoleh penghargaan yang sama.
4) Kepentingan individu untuk memperoleh prestasi dan posisi.
5) Kepentingan individu untuk dibutuhkan oleh orang lain.
6) Kepentingan individu untuk memperoleh kedudukan di dalam kelompoknya.
7) Kepentingan individu untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan diri.
8) Kepentingan individu untuk memperoleh kemerdekaan diri.
Kenyataan-kenyataan seperti itu menunjukkan ketidakmampuan suatu ideologi
mewujudkan idealisme yang merupakan konsensus dari berbagai sub-ideologi yang
akhirnya akan melahirkan kondisi disintegrasi atau konflik. Permasalahan utama yang
jelas tampak pada tinjauan konflik ini adalah adanya jarak yang terlalu besar antara
harapan (tujuan sosial) dengan kenyataan pelaksanaan maupun hasilnya. Hal itu
disebabkan olehcara pandang yang berbeda antara pemerintah atau penguasa
sebagai pemegang kendali ideologi dengan berbagai kelompok kepentingan.

C. KESIMPULAN
Keragaman dipandang sebagai kekayaan budaya yang membanggakan, artinya
bahwa, bangsa Indonesia memiliki beragam unsur kebudayaan yang berasal dari
beragam golongan, kelompok, atau pun komponen bangsa lainnya. Masing-masing
komponen bangsa memiliki bentuk dan potensi tersendiri untuk dapat dikembangkan,
sehingga dalam pengembangannya dapat dipandang memiliki beragam potensi yang
bisa dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Namun demikian, beragam potensi yang
rnerupakan wujud kekayaan bangsa ini juga berpotensi untuk menimbulkan adanya
banyak kerawanan yang berpotensi menimbulkan banyak masalah, sehingga rawan akan
konflik. Untuk menekan terjadinya konflik, maka diperlukan tata kelola yang baik dan
seyogyanya menghidari sikap-sikap yang mengarah pada etnnosentrusme, stereotipe
etnis, politik aliran maupun diskriminasi terhadap kelompok-kelompok sosial
masyarakat lainnya.
LEMBAR KERJA MAHASISWA

LATIHAN UJI PEMAHAMAN MATERI BAB TIGA


Jawablah Pertanyaan berikut ini sesuai dengan petunjuk dan pemahaman Anda!

1. Berikan penjelasan dua arti penting mempelajari manusia, keragaman,


kesederajatan dan kemartabatan dalam konteks berikut :
1.1. Jelaskan pengertian dan hubungan antara manusia dengan keragaman,
kesederajatan dan kemartabatan dalam konteks kehidupan sosial yang
berkembang terjadi di Indonesia.
1.2. Bagaiamanakah upaya untuk menanamkan karakter bagi generasi terdidik di
perguruan tinggi agar mampu mengamalkan keragaman, kesederajatan dan
kemartabatan dalam proses sosialisasi yang terjalin antar sesama meskipun
memiliki latar belakang dan kepentingan yang berbeda satu sama lain
sehingga mampu menciptakan social order/keteraturan sosial dalam
berinteraksi.

PERTANYAAN ANALISA KASUS

Lakukanlah pengamatan lapangan ataupun kepustakaan dengan mencai kasus tentang


keragaman, kesetaraan dan kemartabatan yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat
anda dengan memperhatikan beberapa contoh dari realitas kasus berikut :
a. Konflik Horisontal / konflik antar masyarakat yang diakibatkan oleh
perbedaan suku ataupun agama seperti kasus intoleransi dalam
kebebasan beragama dan berkeyakinan sehingga menimbulkan konflik
atas nama agama.
b. Kesetaraan gender dalam konteks status dan peran antara laki-laki dan
perempuan serta kasus-kasus yang menitikberatkan pada hak asasi
manusia sebagaimana komunitas LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual dan
Transgender)
c. Marginaliasasi / pengasingan terhadap kelompok-kelompok sosial
minoritas sehingga tidak bisa mendapatkan hak yang semestinya
diperoleh dikarenakan kesewenang-wenangan oleh pemimpin atau
kelompok mayoritas dalam sebuah kelompok sosial maupun kelompok
keagamaan yang ada di lingkungan sosial masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George & Godman, J Douglas, 2003, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media,
Jakarta
Ritzer, George,1980, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigama Ganda, Rajawali Pers,
Jakarta
Soekanto, Soerjono., 1998. Sosiologi: suatu pengantar. Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.
Veeger, K.J. 1995. Ilmu Budaya Dasar: buku panduan mahasiswa. Jakarta : Apatik dan
PT. Gramedia.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
BAB VII
MANUSIA, SAINS, TEKNOLOGI DAN SENI

STANDAR KOMPETENSI :

Mahasiswa dapat mengerti, menjelaskan dan memahami hakikat dan makna sains,
teknologi dan seni bagi manusia dan dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan
sosial dan budaya serta problematika pengembangan dan penggunaan IPTEKS di
Indonesia.

INDIKATOR PEMBELAJARAN :

1.Mahasiswa dapat menjelaskan hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi
manusia.

2. Mahasiswa dapat menjelaskan dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan sosial


dan budaya

3. Mahasiswa dapat menjelaskan problematika pengembangan dan penggunaan IPTEKS


di Indonesia.

MATERI PEMBELAJARAN :

1.Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia.

2. Kemajemukan Dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan sosial dan budaya.

3. Problematika pengembangan dan penggunaan IPTEKS di Indonesia.

A. PENDAHULUAN

Pada pembahasan ini mahasiswa akan disajikan secara rinci tentang : Hakikat dan
makna sains, teknologi dan seni bagi manusia. Dampak penyelahgunaan Inteks pada
kehidupan, Problematika pemanfaatan Ipteks di Indonesia Pemahaman terhadap
pemblejaran ini diharapkan mahasiswa mampu: Mahasiswa mampu menjelaskan
hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia, Mahasiswa mampu
menguraikan berbagai dampak penyalahgunaan Inteks pada berbagai dimensi
kehidupan sosial, Mahasiswa mampu mngemukanan berbagai realitas permasalahan
serta pemanfaatan Ipteks bagi kepentingan kehidipan sosial

B.PENYAJIAN MATERI

B.1. MAKNA SAINS, TEKNOLOGI DAN SENI BAGI MANUSIA

1. Makna Sains Bagi Kehidupan Manusia


Sains (science) dan pengetahuan (knowledge,) mempunyai pengertian yang
berbeda. Sains adalah pengetahuan yang telah memiliki sistematika tertentu, atau
memiliki cirri-ciri khas, serta merupakan species dari genus yang disebut pengetahuan.
Jadi, semua sains pastilah terdiri atas pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan
adalah sains (Dedi supriadi, 1994). Menurut Kaplan (1963) sebagaimana dikutip Dedi
Supriadi (1994), sains mempunyai ciri-ciri dan standar-standar tertentu sebagai hasil
konsensus para ilmuwan. Ada semacam criteria of demarcation antara pengetahuan
yang telah berstatus sains dengan pengetahuan yang semata-mata hanya akal sehat
(common sense). Kriteria tersebut ialah: sains memiliki obyek formal dan materiil
tertentu, sistematika isi dan wilayah studi yang disebut disiplin, terbuka, dan memiliki
metode-metode tertentu.
Disiplin manakah yang termasuk ke dalam pengertia sains? Menurut Goldstein &
Goldstein (1980), ada beberapa pengertian tentang sains. pertama, sains diartikan
secara sempit, terbatas pada sains-sains eksakta seperti fisika, kimia, biologi, astronomi,
dan matematika sebagai alatnya (organon, menurut Aristoteles). Sains-sains ini ditandai
oleh generalitas yang luas dan daya prediksi yang akurat. Akan tetapi apabila kriteria
hokum generalitas (law of generality) dan kemampuan meramalkan sesuatu secara
akurat (accurate predictive power) dijadikan dasar pendefinisian sains, maka sains-sains
sosial dan kemanusiaan akan sangat sulit memenuhinya, karena objek yang dihadapinya
adalah manusia yang memiliki perasaan, pikiran, dan kehendak. Sains sosial mempunyai
ciri-ciri yang relatif berbeda dengan sains-sains kealaman. Misalnya, objek sains sosial
dan keperilakuan jauh lebih sulit diramalkan dan dikendalikan daripada objek sains-sains
kealaman. Ramalan-ramalan yang sifatnya linier tidak selalu berlaku dalam sains sosial.
Kedua, sains mengimplikasikan kemampuan untuk melakukan eksperimen
terkendali (controlled experiment) dalam rangka menguji teori dan hipotesis.
Eksperimen terkendali mengandalkan situasi yang dapat dikendalikan dan variabel-
variabel yang dapat dimanipulasi menurut keinginan peneliti. Definisi ini pun
mengandung cacat, bukan hanya untuk sains-sains sosial, melainkan juga untuk sains-
sains kealaman. Eksperimen dalam sains-sains sosial tidak dapat dilakukan secara murni,
melainkan secara semu (quasi). Ancaman terhadap validitas internal dan eksternal
dalam penelitian sains-sains sosial sangat besar
Pada sains-sains kealaman sekalipun, definisi sains yang kedua di atas juga tidak
selamanya berlaku. Misalnya, dalam astronomi dan geologi, dua disiplin sains yang
termasuk sains eksakta, apa yang disebut controlled experiment to test theories
tersebut tidak dapat dilakukan secara murni. Selain itu, dengan menerima definisi
kedua, banyak penemuan besar dalam lapangan sains pengetahuan, tidak termasuk.
Goldstein & Goldstein (1980: 5) menulis, "But accepting this definition of science would
exclude from science many of what we are used to thinking as the greatest sciimtific
achievements."Maksudnya, dengan menerima definisi ini, maka banyak penemuan
besar dalam sains pengetahuan yang tidak termasuk ke dalam definisi sains.
Ketiga, sains dipahami berdasarkan dimensi pasifnya, yang mengacu kepada
akumulasi fakta dan informasi, sehingga membentuk suatu sistematika. Dalam
pengertian ini, sains lebih dipandang dari segi isinya yang bertambah terus menerus.
Dalam sains ada dalil-dalil, hokum-hukum, teori-teori, konsep-konsep, paradigma-
paradigma, hipotesis-hipotesis, dan proposisi-proposisi yang menjadi pegangtan para
ilmuwan dalam melakukan studi-studi keilmuan. Kuhn (1970) menamakan akumulasi
yang sistematis dari hal-hal tersebut sebagai normal science.
Keempat, sains dipandang dari dimensi aktifnya, yang lebih dari hanya
akumulasi informasi, fakta, konsep, teori, atau paradigma, melainkan sistem berpikir
(Liek Wilardjo, 1987). Sains merupakan cara kita memandang dunia, memahaminya dan
mengubahnya (Goldstein&Goldstein. 1980). Cara pandang terhadap dunia
mengimplikasikan bahwa sains merupakan aktivitas kreatif dan imajinatif manusia
(ilmuwan) dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran keilmuan. Pada gilirannya,
aktivitas kreatif dan imajinatif ini diabdikan bagi kepentingan dan kesejahteraan umat
manusia melalui upaya memajukan kebudayaan dan peradaban. Berdasarkan beberapa
pandangan di atas, agaknya bisa ditarik batasan bahwa yang disebut sains adalah sistem
berpikir yang melibatkan serangkaian aktivitas kreatif dan imajinatif ilmuwan dalam
upayanya mencari kebenaran. Menurut sifat objeknya, secara garis besar sains dapat
dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu sains-sains kealaman dan sains-sains
sosial/kemanusiaan/keperilakuan.
Sains berkembang berkat berbagai penemuan yang berakumulasi dari waktu ke
waktu. Ilmuwan yang datang kemudian, belajar dari penemuan-penemuan terdahulu,
sehingga lahir penemuan-penemuan baru. Akumulasi informasi keilmuan merupakan
salah satu cara untuk melacak perkembangan Iptek, jauh sejak tradisi intelektual Yunani
Klasik berkembang subur, disusul oleh Hellenisme yang memberikan inspirasi kepada
tradisi intelektual Islam pada zaman keemasannya, diikuti oleh gerakan Renaissance,
kemudian Revolusi Industri dan hingga sekarang. Jadi, hampir tiada henti-hentinya
ikhtiar-ikhtiar keilmuan dilakukan manusia.
Tanpa mengesampingkan terjadinya, pasang-surut dalam perkembangan ikhtiar-
ikhtiar keilmuan, tradisi keilmuan dalam formatnya yang melembaga di tengah
masyarakat telah berusia sekitar 25 abad, terhitung sejak zaman Yunani Klasik hingga
sekarang. Sepanjang rentang waktu itu pula terjadi akumulasi penemuan-penemuan di
bidang Iptek yang diabadikan dalam hukum-hukum, teori-teori, konsep-konsep,
generalisasi-generalisasi, dan hipotesis-hipotesis.Selain cara di atas, ada cara lain untuk
melukiskan perkembangan keilmuan. Berdasarkan studi historisnya, Kuhn (1970) dalam
bukunya yang sangat populer, The Structure of Scientific Revolutions menyanggah
pandangan bahwa perkembangan sains terjadi berkat akumulasi berbagai penemuan
para ilmuwan. Meskipun akumulasi informasi itu penting, ia tidak mampu membuat
terobosan besar bagi perkembangan sains. Perkembangan sains terjadi karena revolusi
paradigma. Revolusi ini terjadi ketika paradigma lama yang sedang digunakan para
ilmuwan dalam lingkup normal science, tidak mampu memecahkan masalah-masalah
baru dan anomalis. Revolusi paradigma mengubah perspektif para ilmuwan tentang
alam atas realitas fisik dan sosial yang dihadapinya.
Sejalan dengan Kuhn, Popper (Kleden, 1983) berpendapat bahwa kemajuan
sains bukan semata-mata hasil akumulasi pengetahuan dari waktu ke waktu, melainkan
hasil dari proses eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan terjadinya
kekhilafan dan kesalahan. Informasi pengetahuan yang banyak saja tidak begitu besar
artinva bagi perkembangan sains apabila proses eliminasi kesalahan berjalan lamban.
Akumulasi informasi hanya merupakan a by product dari usaha para saintis untuk
menguji validitas teori-teori yang ada. Setiap sains senantiasa bersifat tentatif dan
hipotetis; ia selalu terbuka bagi pengujian lebih lanjut, yang disebut verifikasi (mencakup
konfirmasi dan falsifikasi). Melalui proses inilah para saintis akan semakin mendekati
kebenaran objektif, meskipun kebenaran objektif tidak akan pernah tercapai. Jadi, kritik
keilmuan merupakan kebutuhan mutlak bagi perkembangan sains.
Teori Akumulasi, Teori Revolusi Paradigma, dan Teori Verifikasi tentang
perkembangan sains mempunyai tempat dalam masing-masing sejarah perkembangan
sains. Akumulasi pengetahuan memungkinkan terbukanya horizon-horizon baru dalam
studi-studi keilmuan. Dengan bekal ini, para saintis, dapat mengembangkan paradigma-
paradigma baru dan melakukan verifikasi terhadap teori-teori keilmuan yang ada. Tidak
mungkin revolusi paradigma dan verifikasi teori dapat terjadi dalam kevakuman.

1. Makna Teknologi Bagi Kehidupan Manusia


Teknologi, di pihak lain, adalah aplikasi dari prinsip-prinsip keilmuan, sehingga
menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kehidupan manusia. Aplikasi prinsip-prinsip ini
dapat dalam lapangan teknik maupun sosial. Melalui aplikasi inilah, sains menemukan
arti sosialnya, bukan hanya demi kepuasaan intelektual ilmuwan semata-mata. Dalam
perkembangan kemudian, bukan hanya teknologi yang menggantungkan diri pada
penemuan-penemuan sains, melainkan perkembangan sains mengikuti irama
perkembangan teknologi. Hal ini sangat jelas kelihatan pada sains dalam pengertian
"bard sciences." Dengan memanfaatkan hasil-hasil inovasi teknologi, penelitian sains
semakin berkembang cepat, dan berbagai perspektif baru semakin terbuka lebar.
Interaksi dan interdependensi antara sains dengan teknologi membuat keduanya tidak
bisa dipisahkan.
Dalam kepustakaan, teknologi terdapat aneka ragam pendapat yang
menyatakan bahwa teknologi adalah transformasi (perubahan bentuk) dari alam,
teknologi adalah realitas/kenyataan yang diperoleh dari dunia ide, teknologi dalam
makna subjektif adalah keseluruhan peralatan, prosedur yang disempurnakan, sampai
pernyataan teknologi adalah segala hal, dan segala hal adalah teknologi (Elly M. Setiadi,
2010). Istilah teknologi berasal dari kata techne dan logic. Kata Yunani kuno techne
berarti seni kerajinan. Dan kemudian lahirlah perkataan technikos yang berarti
seseorang yang memiliki keterampilan tertentu. Dengan perkembangannya ketrampilan
seseorang yang menjadi semakin tetap karena menunjukkan suatu pola, langkah, dan
metode yang pasti, keterampilan itu lalu menjadi teknik.
Hingga permulaan abad XX ini, istilah teknologi dipakai secara umum dan
merangkum suatu rangkaian sarana, proses, dan ide di samping alat-alat dan mesin-
mesin. Perluasan arti itu berjalan terus sehingga sampai pertengahan abad ini muncul
perumusan teknologi sebagai sarana aktivitas yang dengannya manusia berusaha
mengubah atau menangani lingkungannya. Ini merupakan suatu pengertian yang sangat
luas karena setiap sarana perlengkapan maupun kultural tergolong suatu teknologi.
Teknologi sebagaimana ditulis pada paragraf bagian ini dianggap sebagai penerapan
sains, pengertian bahwa penerapan itu menuju pada perbuatan atau perwujudan
sesuatu. Kecenderungan ini pun mempunyai suatu akibat di mana kalau teknologi
dianggap sebagai penerapan sains, dalam perwujudan tersebut maka dengan sendirinya
setiap jenis teknologi/bagian sains dapat ada tanpa berpasangan dengan sains dan
pengetahuan tentang teknologi perlu disertai oleh pengetahuan akan sains yang
menjadi pasangannya. Elly M. Setiadi, dkk. (2010) menulis, ada tiga macam teknologi
yang sering dikemukakan oleh para ahli, yaitu:
1. Teknologi modern, jenis teknologi modern ini mempunyai ciri-ciri, padat modal,
mekanis elektris, menggunakan bahan impor, berdasarkan penelitian mutakhir,
dan lain-lain.
2. Teknologi madya, jenis teknologi madya ini mempunyai ciri-ciri, padat karya,
dapat dikerjakan oleh keterampilan setempat, menggunakan alat setempat,
berdasarkan alat penelitian.
3. Teknologi tradisional, teknologi ini mempunyai ciri-ciri, bersifat padat karya
(banyak menyerap tenaga kerja), menggunakan keterampilan setempat,
menggunakan alat setempat, menggunakan bahan setempat, berdasarkan
kebiasaan atau pengamatan.
Berdasarkan uraian di muka dapat dikatakan bahwa teknologi merupakan
segenap keterampilan manusia dalam menggunakan sumber-sumber daya alam untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan. Secara lebih umum
dapat pula dikatakan bahwa teknologi merupakan suatu sistem penggunaan berbagai
sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan praktis kehidupan.
2. Makna Seni Bagi Kehidupan Manusia

Janet Woll sebagaimana dikutip Elly M. Setadi (2010), mengatakan bahwa seni
adalah produk sosial. Sedang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, seni adalah
“keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya,
dan sebagainya), seperti tari, lukis, ukir, dan lain-lain." Istilah seni (the art) dalam ilmu
sosial menyatu bagai bagian tak terpisahkan dari apa yang oleh para ilmuwan sosial
disebut sebagai sosiologi seni-seni (sociology of the arts) atau sosiologi seni dan literatur
(sociology of the art and literature). Sebenarnya, sosiologi seni-seni visual relatif jarang
dikembangkan ketimbang sosiologi literatur, drama atau bahkan film. Sifat generik dari
pokok bahasan subdisiplin sosiologi ini mau tidak mau menimbulkan kesukaran-
kesukaran dalam analisis, lantaran kita tidak selalu bisa menarik garis sejajar antara,
katakanlah, musik dan novel dengan konteks sosial atau politiknya.
Seni benar-benar merupakan wilayah yang cair. Di dalamnya tidak ada satu
model analisis atau teori yang dominan, yang menjelaskan hubungan seni dan
masyarakat. Hal yang diminati adalah masalah hubungan-hubungan sosial di mana karya
seni itu diproduksi. Ahli sosiologi melihat kepada peran para "penjaga gawang" (para
penerbit, kritikus, pemilik galeri) dalam memperantarai seniman dan masyarakat; juga
mengenai hubungan-hubungan sosial dan proses pengambilan keputusan di sebuah
akademi seni atau perusahaan opera; atau mengenai hubungan antara produk-produk
budaya tertentu (misalkan, fotografi) dan organisasi-organisasi sosial di mana karya itu
dihasilkan (Alder 1979). Titik beratnya, kendati tidak mesti eksklusif, seringkali adalah
pada seni-seni pertunjukan (perforating arts), dimana kompleksitas hubungan-hubungan
sosial dianalisis. Di Inggris, seni-seni pertunjukan mendapat tempat kedua setelah
literatur, yang menjadi fokus para sosiolog.
Terkait dengan hakiki seni seperti itu, apa yang disebut pendekatan produksi-
budaya itu acapkali mendapat kritik karena dianggap sering mengabaikan produk
budaya itu sendiri. Karya seni dianggap sebagai objek yang sudah demikian adanya dan
tidak perlu diperhatikan lagi isi, sifat simboliknya, atau konvensi-konvensi penyajiannya.
Akan tetapi karya dalam tradisi Marxis ternyata mengakui pentingnya melihat novel,
lukisan, atau film secara kritis dan analitis sebagaimana halnya kondisi-kondisi
produksinya. Para ahli seni Marxis sudah bergerak dari metafora sederhana dan kurang
mengena, yakni basis dan suprastruktur, yang mengandung bahaya sikap reduksionis
ekonomi terhadap budaya, dan beranjak melihat literatur serta seni semata-mata
sebagai "pencerminan" faktor-faktor kelas atau ekonomi. Karya pengarang kontinental
Eropa (Gramsci, Adorno, Althusser) menjadi penting dalam penyernpurnaan model,
dengan bertumpu pada level-level kelompok sosial antara kesadaran individual dan
pengalaman (pengarang), dan spesifikasi tekstual.
Dalam hal yang terakhir tadi, dimasukkan pemikiran strukturalis, semiotik, dan
psikoanalisis ke dalam perspektif yang lebih sosiologis, yang memungkinkan
diperhatikannya hal-hal seperti narasi, imajinasi visual, teknik-teknik dan konvensi
sinematik, dan kode-kode televise. Jadi, selain menunjukkan bahwa acara-acara baru di
televisi, misalnya, diproduksi dalam konteks hubungan sosial kapitalis, pemerintah, atau
pembiayaan keuangan tertentu, serta ideolagi profesional atau politik tertentu, tidak
tertutup kemungkinan untuk melihat 'teks'-nya (dalam hal ini, acara televisi itu sendiri)
dan menganalisis berbagai hal, sebagai cara untuk menentukan makna-makna (estetis,
politis, ideologis) lewat bermacam saluran-lewat kode-kode visual dan aural, komentar
naratif, pengambilan sudut kamera, dan seterusnya.
Pendekatan sosiologis terhadap seni telah mampu menunjukkan
kesinambungan, dan hubungan kelas, perkembangan dan perpisahan antara "seni
tinggi" dan "budaya populer" dan dengan demikian mengungkap sisi problematik dari
konsepsi-konsepsi seni yang dimiliki oleh mereka yang mendukung dan membiayai
kesenian, serta masyarakat secara keseluruhan (termasuk juga para sosiolog-nya). Istilah
cultural capital (Bourdieu 1984), menunjukkan bahwa kelompok-kelompok sosial
dominan menggunakan bentuk-bentuk budaya tertentu untuk mengamankan identitas
mereka dari serbuan kelompok lain. Istilah ini berguna untuk menunjukkan sejarah dan
kesinambungan produksi batas-batas dan penilaian estetika dalam budaya.
Pertanyaannya sekarang, apa sebenarnya makna keberadaan sains, teknologi,
dan seni bagi manusia? Secara ekonomik, kehadiran dan perkembangan Ipteks dapat
menghasilkan kesejahteraan lahir (material) maupun psikhis bagi yang menikmatinya.
Kemajuan budaya dan peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Ipteks
dalamberbagai segmen kehidupan, mulai dari rumah tangga, organisasi, bisnis,
pemerintahan, pertanian, budaya populer, dan sebagainya.Sebagaimana dikatakan Elly
M. Setiadi (2010), dengan menggunakan berbagai Ipteks, manusia dapat memperoleh
hasil, misalnya:
1. Penggunaan teknik nuklir, orang dapat membuat reaktor nuklir yang dapat
menghasilkan zat-zat radio aktif, di mana zat ini dapat dimanfaatkan untuk
maksud damai. Misalnya, untuk keperluan bidang kesehatan (sinar rontgen), di
bidang pertanian untuk memperbaiki bibit, untuk mendapatkan energi tinggi.
2. Penggunaan teknologi hutan, seperti kita ketahui, hutan mempunyai banyak
fungsi kertas, industri kayu lapis/bahan bangunan, berfungsi untuk tempat
penyimpanan air, objek pariwisata, dan lain-lain.
Sudah menjadi sifat dari kebanyakan manusia apabila telah terpenuhi satu
keinginan maka akan timbul keinginan yang lain atau menambah apa yang telah
tercapai. Sudah jamak terjadi bahwa setiap orang tidak ingin mengalami kesulitan, tetapi
setiap orang akan berusaha dalam setiap langkah untuk mendapatkan kemudahan.
Kemudahan itu didapatkan antara lain dengan penerapan perkembangan Ipteks.
Misalnya antara lain:
1. Dengan teknik modern, dari teknik mengendalikan aliran air sungai, petani
mendapatkan kemudahan dalam memperoleh air. Bendungan dapat
dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik. Alat rumah tangga elektronik
mempermudah ibu-ibu rumah tangga dalam melaksanakan tugasnya.
2. Dengan teknik modern dapat dibuat bermacam-macam media pendidikan,
seperti OHP, slide, fiIm setrip, TV, CCTV, dan lain-lain yang dapat mempermudah
para pendidik dalam melaksanakan tugasnya. Sejauh ini, Ipteks
memungkinkan terjadinya perkembangan keterampilan dan kecerdasan
manusia. Hal ini karena dengan perkembangan Ipteks memungkinkan
tersedianya sarana dan prasarana penunjang kegiatan ilmiah; dan meningkatnya
kesejahteraan, kemakmuran, dan kesehatan masyarakat.

3. Dampak Penyalahgunaan ipteks pada kehidupan sosial dan budaya

Meskipun di muka dikatakan bahwa kehadiran Ipteks mampu menelurkan


kesejahteraan, kemakmuran, dan kesehatan umat manusia, namun hal itu tidak bersifat
absolute. Sebab dalam kenyataannya tidak sepenuhnya Ipteks dimanfaatkan optimal
sesuai fungsinya. Kalaupun dimanfaatkan, terkadang manusia melampaui batas
kemampuan Ipteks itu sendiri. Sudah jamak terjadi penyalahgunaan Ipteks dalam
kehidupan sehari-hari sehingga selain merugikan diri sendiri, juga merugikan orang lain
dan lingkungan hidup. Penyalahgunaan sains tentang kloning misalnya, yang semula
hanya terbatas pada flora dan fauna, apabila diterapkan kepada manusia akan sangat
membahayakan kehidupan dunia. Penguasaan sains kloning oleh manusia jahat yang
tidak bertanggung jawab akan berdampak serius. Misalnya apabila hal itu diterapkan
untuk mengkloning para penjahat ulung, dampaknya akan sangat mengerikan. Itulah
sebabnya mengapa sains kloning banyak mendapat tentangan dari berbagai elemen
masyarakat dan tokoh-tokoh agama maupun budaya di seluruh dunia.
Penggunaan teknologi yang berlebihan seperti teknologi nuklir misalnya juga
berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Selain digunakan untuk persenjataan yang
bersifat memusnahkan kehidupan, teknologi nuklir untuk kepentingan energi
terbarukan juga membahayakan manusia. Bukti tentang itu sudah cukup banyak,
misalnya tragedi Cernobyl di Rusia, serta meledaknya reaktor nuklir di Jepang akibat
terkena gempa dan tsunami yang dahsyat sehingga memakan korban puluhan ribu
manusia dan dampak lingkungan yang amat buruk. Penyalahgunaan teknologi
permesinan yang berlebihan juga telah berdampak banyak hal, selain menghadirkan
polusi, juga kerusakan lingkungan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Akan halnya dengan seni, apabila disalahgunakan. juga berdampak buruk bagi
kehidupan. Penyalahgunaan seni yang paling menonjol adalah dihadirkannya pornografi
di dunia anak-anak dan generasi muda. Meskipun secara sosial kehadiran seni
pornografi di kalangan muda digolongkan sebagai kejahatan, bukan sebagai
pelanggaran, namun sanksi yang diberikan secara hukum sering kali tidak mampu
mencegahnya. Berdasarkan ketiga contoh di muka menjadi jelas bahwa dampak
penyalahgunaan Ipteks tidak membawa kemaslahatan apa pun bagi kehidupan sosial
budaya manusia. Bahkan cenderung merusaknya, padahal, apabila dicermati secara
serius, sebetulnya Ipteks adalah produk unggul adiluhung budaya manusia. Oleh karena
itu diperlukan kesadaran bersama agar Ipteks memberikan sebesar-besar manfaat
kepada manusia, bukan sebaliknya.
B. PROBLEMATIKA PEMANFAATAN IPTEKS DI INDONESIA

Secara melembaga, melalui Kementerian Ristek dan perguruan tinggi,


pengembangan Ipteks dilaksanakan secara terorganisasi, rutin, dan dibiayai melalui
APBN. Artinya secara tidak langsung rakyat telah membiayai kemaju Ipteks. Akan tetapi
tidak semua hasil pengembangan Iptek di Indonesia dapat dinikmati oleh masyarakat.
Dengan kalimat lain pernanfaatan Ipteks di Indonesia belum merata dan belum
sepenuhnya memberikan manfaat optimal.Terdapat beberapa problematika
pemanfaatan Ipteks di Indonesia. Problematika tersebut antara lain berikut ini.

1. Tingkat pendidikan yang tidak merata

Apresiasi terhadap Ipteks dan pemanfaatannya sangat ditentukan oleh tingkat


pendidikan seseorang. Makin tinggi pendidikan seseorang, makin baik apresiasi dan
kemampuan untuk memanfaatkan Ipteks secara benar dan optimal. Akan tetapi
diketahui, tingkat pendidikan masyarakat belum sepenuhnya merata. Sementara
diketahui pada umumnya masyarakat adalah pengguna (user), bukan orang yang paharn
betul tentang Ipteks, maka hasilnya dapat dilihat, misalnya, teknologi mesin sepeda
motor yang sudah terukur pemanfaatannya, yakni untuk muatan orang tidak lebih dari
dua orang, dimanfaatkan secara serampangan. Dalam keseharian kita bisa menonton
bagaimana sepeda motor dipakai berboncengan lebih dari dua orang, juga digunakan
untuk mengangkut barang secara berlebihan sehingga mengganggu pengguna jalan
lainnya. Teknologi komunikasi handphone (telepon genggam) sebagai contoh,
disalahgunakan untuk melakukan kejahatan pidana maupun sosial, misalnya penipuan
dan perselingkuhan. Jadi, tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi pemanfaat
Ipteks.

2. Kondisi ekonomi yang timpang

Tingkat pendapatan per kapita di Indonesia masih tergolong rendah. Di satu sisi
ada orang yang berpenghasilan melebihi kebutuhannya, di sisi lain terdapat banyak
orang yang jangankan untuk mencukupi kebutuhan, untuk memenuhi sebagian kecil
kebutuhannya saja sudah susah. Kondisi ekonomi yang timpang merupakan problem
yang tak kalah serius dalam hal pemanfaatan Ipteks di Indonesia.Kehadiran sains dan
teknologi pertanian misalnya, tidak sepenuhnya dinikmati atau dapat dimanfaatkan oleh
para petani. Selain penguasaan lahan pertanian yang sempit, harga teknologi itu dirasa
mahal sehingga tidak terjangkau. Hanya petani dengan kapital besar yang dapat
memanfaatkan secara optimal. Sementara petani gurem hanya menjadi penonton. Pada
konteks seperti itu, bagaimana mungkin kita berharap kesejahteraan petani bisa
meningkat?

3. Keterampilan sosial yang rendah


Keterampilan sosial juga menjadi prasyarat bagi pemanfaatan Ipteks yang
optimal dan bermaslahat. Keterampilan sosial adalah suatu kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk dapat hidup berdampingan secara harmonis. toleran, dan damai.
Keterampilan sosial yang rendah mengakibatkan pemanfaatan Ipteks menjadi negatif.
Sebagai suatu misal, teknologi digital dan tiga dimensi telah mampu menghasilkan
sistem audio visual yang luar biasa, enak dilihat dan enak didengar. Namun di tangan
orang yang memiliki keterampilan sosial yang rendah, teknologi itubukannya memberi
manfaat, tapi justru akan mengganggu ketenangan orang lain. Misalnya menghidupkan
dengan volume yang keras dan tanpa mengenal waktu.

4. Kehidupan politik yang tidak sehat


Kehidupan politik, selain dipengaruhi oleh birokrasi dan partai politik, juga
sangat ditentukan oleh para elit yang berkuasa. Kehidupan politik yang sehat, dalam arti
menempatkan sistem demokrasi secara benar, meletakkan sistem hukum secara adil,
dan menempatkan hubungan penguasa dan rakyatnya secara harmonis sangat
menentukan pemanfaatan Ipteks secara optimal sesuai jalur benar. Problem saat ini
justru sebaliknya. Kehidupan politik tidak sehat yang ditandai oleh pertikaian antarelit.
Hasilnya dapat dilihat, kehadiran teknologi televisi yang mestinya digunakan untuk
mencerdaskan rakyat justeru menjadi wahana propaganda negatif dengan menjereng
saling serang, menebar fitnah, dan mohon maaf, baku hantam di depan publik. Padahal
teknologi televisi sudah hadir ke setiap rumah sehingga apa yang mereka pertontonkan
tidak dapat dijadikan sebagai tuntunan yang dilihat keseharian oleh masyarakat.
LEMBAR KERJA MAHASISWA

LATIHAN UJI PEMAHAMAN MATERI BAB TUJUH


Jawablah Pertanyaan berikut ini sesuai dengan petunjuk dan pemahaman Anda!

1. Berikan penjelasan arti penting manusia, sains dan tekhenologi dalam


konteks berikut :
1.1 Jelaskan peran manusia dalam membangun dan megembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis nilai-nilai
humanisme/kemanusiaan sehingga ilmu pengetahuan tetap sejalan
dengan landasan moralitas, nilai-nilai dan kearifan lokal
masyarakat?
1.2 Ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang semakin pesat membuat
mansua teralineasi/terasingkan dari dunia sosialnya karena
ketergantungan terhadap tekhnologi, lantas bagaimanakah yang
semestinya dilakukan oleh manusia agar tidak terasing dari dunia
sosialnya, jelaskan dengan memberikan contoh !

PERTANYAAN ANALISA KASUS

 Perkembangan tekhnologi yang semakin pesat tentu mengakibatkan berbagai


dampak positif maupun negatif di tengah kehidupan masyarakat, uraikan
dampak negatif yang terjadi dengan memperhatikan dua tema berikut :
a. Dampak negatif ilmu pengetahuan dan tekhnologi terhadap lingkungan
alam misal global warming/pemanansan global, pencemaran
lingkungan, krisis lingkungan
b. Dampak Negatif ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap kehidupan
sosial-budaya contoh perkembangan tekhnologi informasi dengan
munculnya berbagai sosial media yang berakibat pada degradasi moral.
Pilih diantara dua kasus tersebut dan buatlah laporan sederhana dengan ketentuan
berikut :
1. Buat berkelompok masksimal lima mahasiswa dengan mencari satu
kasus/realitas yang terjadi di lingkungan wilyah sekitar tempat tinggal
2. Kumpulkan dan catat data pendukung baik primer maupun sekunder yang
bersumber dari data lapangan seperti hasil wawancara dan observasi maupun
sumber data yang berasal dari buku, media cetak dan elektronik
3. Hasil pengamatan diketik dalam laporan sederhana dan sertakan lampiran
berupa foto hasil pengamatan untuk diskusikan pada pertemuan berikutnya
DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George & Godman, J Douglas, 2003, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media,
Jakarta.
Boelaars, Y. (1984). Kepribadian Indonesia Modern, Suatu Peelitian Antropologi Budaya.
Jakarta: PT Gramedia.
Herimanto dan Winarno, 2008, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, Pt. Bumi Aksara, Jakarta
Timur.
Sumaatmadja, Nursid, 1996, , Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkungan
Hidup, Alfabeta, Bandung.
TENTANG PENULIS
Muhammad Junaedi terlahir di Purworejo, 27 Agustus 1986.
Jenjang pendidikan Sarjana ditamatkan pada tahun 2009 dalam
bidang studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang, selanjutnya melanjutkan
program magister di Perguruan Tinggi Almamater yang sama
dan selesai pada tahun 2013 dalam bidang studi Ilmu Sosiologi
Universitas Muhammadiyah Malang, saat ini penulis merupakan
salah satu staf pengajar dosen di Universitas Muhammadiyah
Sidoarjo yang mengampu Mata Kuliah Umum seperti Ilmu Sosial
Budaya Dasar, Pendidikan Pancasila dan Pendiikan
Kewarganegaraan. Fokus studi penulis menyangkut tentang dinamika kehidupan sosial
masyarakat yang berkaitan dengan tema multikulturalisme, salah satu publikasi karya
tulisnya yaitu menjadi kontributornaskahdalam Buku “Hak Asasi Manusia Untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Di Indonesia Keniscayaan, Kenyataan dan
Penguatan, Penerbit Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme PUSAM kerja sama The
Asia Foundation, Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, 2014.

Anda mungkin juga menyukai