Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Pada tahun 1888, Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal


dengan perut yang kembung akibat kolon yang melebar dan penuh masa feses.
Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang
tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit
ini, tidak terdapat pleksus mienterik sehingga bagian usus yang bersangkutan
tidak dapat mengembang. Setelah penemuan kelainan histologik ini, barulah
muncul teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini.(1)

Anak yang menderita Hirschsprung sering mengalami keterlambatan


pasas mekonium. Pada bayi normal, 94% akan mengeluarkan mekonium dalam 24
jam pertama kehidupannya, dibandingkan dengan hanya 6% bayi yang menderita
penyakit Hirschsprung. Penyakit Hirschsprung, penyebab tersering obstruksi
kolon pada neonatus, dapat muncul pada periode neonatus dengan muntah,
anoreksia, dan kegagalan mengeluarkan feses. Anak-anak ini dapat mengalami
diare yang terjadi sekunder akibat peningkatan sekresi cairan kedalam proksimal
usus hingga obstruksi parsial. Diare akan berlanjut menjadi enterokolitis,
menyebabkan dehidrasi hebat dan gangguan elektrolit. Entero kolitis cenderung
berulang dan dapat fatal.(2)

Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan bawaan berupa terdapatnya


segmen aganglion pada usus dari anus ke arah proksimal. Insiden penyakit
Hirschsprung ini sebesar 1 : 5.000-12.000 kelahiran hidup dan terdapat pada
semua ras atau etnik. Diagnosis penyakit Hirschsprung secara cepat dan tepat
sangat diperlukan karena salah satu komplikasi dari penyakit Hirschsprung adalah
enterokolitis yang dapat mengakibatkan kematian. Hal ini terdapat pada 12-58%
kasus penyakit Hirschsprung.(3)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI

Penyakit hirschprung (megakolon congenital) adalah suatu kelainan


bawaan berupa aganglionosis usus, mulai dari sfingter anal internal kea rah
prokmisal dengan panjang segmen tertentu, selalu termasuk anus, dan
setidak-tidaknya sebagian rectum.(1)

B. EPIDEMIOLOGI

Insidens diperkirakan 1 Per 5000 kelahiran hidup dengan perbandingan


antara laki-laki : perempuan sebesar 4:1. Panjangnya segmen aganglionik
bervariasi, sekitar 75-80% biasanya terjadi pada kolon rektosigmoid distal
dan 5% terjadi pada usus halus. Kolon aganglionik total jarang ditemukan,
namun dapat terjadi. Terdapat kecenderungan familial pada penyakit ini.
Sekitar 80% kasus terdiagnosis pada periode neonates sedangkan 20%
terdiagnosis setelahnya.(1)
Insiden penyakit Hirschprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti,
tapi berkisar di satu diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 220 Juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap
tahun akan lahir 1540 bayi dengan penyakit Hirschprung. Kartono mencatat
40 sampai 60 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke
RS Cipto mangunkusumo Jakarta. Bersamaan dengan penyakit Hirschprung,
down Syndrome (5-10%) dan kelainan urologi (3%) adalah kelainan yang
paling sering diantara beberapa kelainan congenital lainnya.(4)
Gambaran pasien Hirschprung berdasarkan jumlah kasus per Tahun
yang dirawat di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manadi Periode Januari 2010-
September 2014, diperoleh data sebanyak 45 kasus.(4)

2
C. ANATOMI COLON DAN RECTUM

Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan


kolon kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Lapisan otot
longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, disebut taenia, yang lebih
pendek dari kolon itu sendiri sehingga berlipat-lipat dan berbentuk seperti
sakulus yang disebut haustra. Kolon transversum dan kolon sigmoideum
terletak intrsperitoneal dan dilengkapi dengan mesenterium.(5)
Batas antara kolon dan rectum tampak jelas karena pada rectum ketiga
tenia tidak tampak lagi. Batas ini terletak dibawah ketinggian promontorium,
kira-kira 15 cm dari anus. Pertemuan ketiga tenia di daerah sekum
menunjukan pangkal appendiks bila appendiks tidak jelas karena
perlengketan.(5)

Gambar 1. Anatomi Kolon dan Rektum6

Sekum, kolon ascendes, dan bagian kanan kolon transversum


diperdarahi oleh cabang arteri mesenterika superior, yaitu arteri kolika
dekstra dan arteri kolika media. Kolon transversum bagian kiri, kolon

3
descendes, kolon sigmoid, dan sebagian besar rectum diperdarahi oleh arteri
mesenterika inferior melalui kollika sinistra, arteri sigmoid, dan arteri
hemoroidalis superior. Pembuluh vena kolon berjalan parallel dengan
arterinya.(5)
Aliran darah vena disalurkan melalui vena mesentrika superior untuk
kolon ascendes dan kolon transversum, dan melalui vena mesenterika inferior
untuk kolon ascendens, sigmoid dan rectum. Keduanya bermuara kedalam
vena porta, tetapi vena mesenterika inferior melalui vena ilealis. Aliran vena
dari kanalis menuju ke vena kava inferior. Pada batas rectum dan anus,
terdapat banyak kolateral arteri dan vena melalui peredaran antara system
pembuluh darah saluran cerna dan system arteri dan vena iliaka.(5)

Gambar 2. Pembuluh darah arteri dan vena pada kolon dan rectum(6)

Aliran limfe kolon sejalan dengan aliran darahnya. Hal ini penting
diketahui sehubungan dengan penyebaran keganasan dan kepentingannya
dalam reseksi kegananasan kolon. Sumber aliran limfe terdapat pada

4
muskularis mukosa. Kolon dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari
nervus splanknikus dan pleksus presakralis serta oleh serabut parasimpatis
yang berasal dari nervus vagus.(5)

Gambar 3. Persyarafan dan pembuluh limfa colon dan rectum(6)

Instestinum crassum atau usus besar merupakan tractus digentivus yang


bermula dari ileosecal junction hingga anus. Terdiri dari secum, colon, rectum
dan canalis analis. Normalnya 18-24 jam bahan yang dibutuhkan oleh tubuh
melalui usus besar, berbeda dengan usus halus yang hanya membutuhkan 3-5
jam untuk kimus sampai ke usus halus. Dengan demikoan, gerakan usus besar
lebuh lamban dibandingkan dari usus halus. Sementara di usus besar, kimus
diubah menjadi fases. Penyerapan air dan garam, sekresi lender, dan proses
ekstensif mikroorganisme yang terlibat dalam pembentukan fases, dilakukan
usus besar hingga fases dieliminasi oleh proses defecation. Sekitar 1500 ml
kimus memasuki sekum setiap hari, tapi lebih dari 90% direasorbsi dan hanya
80-150 ml fases biasanya dikeluarkan melalui buang air besar.(7)

5
Proses percampuran segmental yang terjadi di kolon jauh lebuh sering
dibandingkan pada usus halus. Gerakan perstalktik sangat berpengaruh pada
pemindahan kimus disepanjang colon ascendens. Pada jarak interval (normal
3-4 jam perhari), sebagian besar colon transversum dan kolon descendens
mengalami kontraksi peristaltic yang kuat dan menyebabkan peregerakan dari
fases. Setiap pergerakan dari fases mengakibatkan kontraksi yang lebih lama
pada sebagian besar traktus digestivus (sekitas 20 cm) dari kontraksi
peristaltic dan mendorong isi colon menuju ke anus. Umumnya pergerakan
fases terjadi setelah makan karena masuknya makanan ke dalam lambung
atau duodenum. Terjadi sekitar 10-30 menit dan berhenti sekitar setengah
hari. Refleks local pada pleksus enteric yang disebut reflex gastrokolik, yang
dirangsan oleh gaster ataupun reflex duodenocolic yang dirangsang oleh
duodenum, mengintegrasikan gerakan dari fases.(7)
Distensi dinding rectum oleh fases merangsang stimulus yang
menimbulkan reflex untuk defekasi. Local reflex menyebabkan kontraksi
yang kecil pada rectum dan relaksasi pada spiknter ani interna. Reflex
parasimpatik menyebabkan kontraksi yang kuat pada rectum dan secara
normal berperan pada sebagian besar reflex defekasi.(7)

D. ETIOLOGI

Penyebab dari penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Diperkirakan


terjadi defek migrasi sel-sel Krista neural yang merupakan precursor sel
ganglion intestinal. Normalnya, sel-sel tersebut bermigrasi sefakaudal. Proses
tersebut selesai pada minggu 12 kehamilan. Namun, migrasi dari kolon
transversal bagian tengah ke anus memerlukan waktu selama 4 minggu. Pada
periode inilah paling rentan terjadi defek migrasi sel krista neural. Hingga
saat ini penyakit hirschprung diasosiasikan dengan mutasi tiga gen spesifik :
proto-onkogen RET, gen EDNRB (endothelin B receptor), dan gen EDN3
(endotheline 3).(1) Segmen aganglionik bersifat spastic dan menyebabkan
obstruksi.(2)

6
E. KLASIFIKASI

Pada pemeriksaan anatomi dari penyakit ini, tidak ditemukan sel


ganglion Auerbach dan Meissner, serabut saraf menebal dan serabut otot
hipertrofik. Aganglionisis ini mulai dari anus ke arah oral. Berdasarkan
panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe, yaitu :

1. Penyakit hirschprung segmen pendek


Segmen aganglionosis mulai dari anus sampau sigmoid. Merupakan 70%
dari kasus penyakit hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak
laki-laki disbanding anak perempuan.

2. Penyakit hirschprung segmen panjang


Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, malahan dapat mengenai
seluruh kolon atau sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak
laki-laki dan anak perempuan.

F. PATOFISIOLOGI

Pada penyakit hirschprung (PH) terdapat absensi ganglion Meissner dan


ganglion Auerbach. Dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfinger ani ke
arah proksimal dengan panjang yang bervariasi. Tujuh puluh sampai delapan
puluh persen terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan
sekitar 5% kurang dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus.(8)
Tiap terdapatnya ganglion Meissner dan aurbach mengakibatkan usus
yang bersangkutan tidak berjalan normal. Peristalsis tidak mempunyai daya
dorong, tidak propulsive, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam proses
evakuasi feses atapun udara. Penampilan klinis penderita sebagai gangguan
pasase usus. Tiga tanda yang khas : keterlambatan evakuasi mekonium,
muntah hijau dan distensi abdomen.(8)
Penampilan makroskopik. Bagian usus yang tidak berganglion terlihat
spastic, lumen terlihat kecil. Usus di bagian proksimalnya, disebut daerah

7
transisi, terlihat mulai melebar dari bagian yang menyempit. Usus di
proksimalnya lagi lebih melebar lagi dan umumnya mengecil kembali
mendekati caliber lumen usus normal.(8)

G. MANIFESTASI KLINIS

Pasien dengan kemungkinan penyait hirschprung dapat menunjukkan


tanda dan gejala berikut ini (1)

1. Gambaran cardinal adalah gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 jam


pertama kehidupan (keterlambatan evakuasi mekonium);
2. Tanda obstruksi intestinal nonspesifik : distensi abdomen, muntah hijau
dan intoleransi dalam pemberian makan, hal ini terjadi karena tidak
aadanya peristaltic yang bersifat propulsive pada segmen aganglionik;
3. Enterokolitis yang ditandai dengan demam, distensi abdomen, tinja
menyemprot bila dilakukan pemeriksaan colok dubur, tinja berbau busuk
serta berdarah. Enterokolitis diperkirakan terjadi karena stasis obstruktif
dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan (misalnya C. difficile dan
rotavirus)
4. Apabila sudah terjadi komplikasi berupa peritonitis ditemukan edema,
bercak kemerahan disekitar umbilicus, punggung serta pada daerah
genitalia;
5. Pada anak yang lebih dewasa : konstipasi berulang, gagal tumbuh serta
tampak letargis.

Ini timbul sebagai obstruksi distal dalam neonates dengan distensi


abdomen dan muntah. Kadang- kadang dapat timbul dengan diare dan
toksisitas akibat enterokolitis yang membawa angka kematian serius bila
berkembang dengan lengkap. Konstipasi kronis dengan nutrisi yang buruk
mungkin terjadi pada anak yang lebih besar.(2)
Obstruksi fungsional yang ditimbulkan oleh persarafan abdomal usus
distal biasanya bermanifestasi sebagai konstipasi kronis sejak lahir.

8
Keluarnya tinja mekonium pertama tertunda sampai 24 jam dan obstruksi
yang menetap mungkin memerlukan kolostomi gawat darurat. Mulainya
gejala khas ini pada awal masa bayi, merupakan petunjuk penting untuk
membedakan megakolonkongenital dari megakolon akuisita yang bisa terjadi
kemudian, sering pada waktu latihan buang air. Penyakit hirschprung bisa
juga bermanifestasi sebagai konstipasi dan diare yang bergantian atau bahkan
diare saja, disertai kegagalan pertumbuhan. Catatan khusus, bayi yang
menderita penyakit hirschprung, mempunyai kemungkinan menderita
enterokolitis yang biasanya didahului oleh diare eksplosif, disertai kehilangan
cairan, elektrolit dan protein yang masif, yang secara tepat dan progresif
menjadi sepsis dan syok. Enterokolitis merupakan komplikasi parah penyakit
Hirschprung dengan angka mortalitas tinggi.(8)

H. TANDA DAN GEJALA


Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschprung dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu :(9)
a. Periode neonatus
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen.
Terdapat 90% lebih kasus bayi dengan penyakit Hirschprung tidak dapat
mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan
mengeluarkan mekonium setelah 24 jam pertama (24-48 jam). Muntah
hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang apabila mekonium
dapat dikeluarkan segera. Bayi yang mengonsumsi ASI lebih jarang
mengalam konstipasi, atau masih dalam derajat yang ringan karena
tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan mengakibatkan feses
jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan mudah.
b. Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada
beberapa kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia
kanak-kanak (Lakhsmi, 2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-

9
anak yakni, konstipasi kronis, gagal tumbuh, dan malnutrisi. Ergerakan
peristaltic usus dapat terlihat pada dinding abdomen disebabkan oleh
obstruksi fungsional kolon yang berkepanjangan. Selain obstruksi usus
yang komplit, perforasi sekum, fecal impaction atau enterocolitis akut
yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga dapat terjadi.

Tanda- tanda dari Hirschsprung sebagai berikut ;(9)

1. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi


2. Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi kotoran
3. Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen
4. Pemeriksaan rectal touché (colok dubur) menunjukan sfingter anal yang
padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot keluar dengan
bu feses dan gas yang busuk.
5. Tanda-tanda edema, bercak-berck kemerahan khususnya disekitar
umbilicus, punggung dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat
komplikasi peritonitis.

I. DIAGNOSIS

Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fasisi serta


penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisis mencakup tanda dan gejala
yang telah diuraikan sebelumnya. Selain itu perlu dilakukan anamnesis
mengenai riwayat kehamilan dan kelahiran.(1)
Criteria patologik diagnosis Hirschprung adalah tidak ditemukannya
ganglion (aganglion), trunkus saraf hiperttofi dan immunostaining
asetilkolinesterase sangat nyata.(10)
Neonates hampir selalu dngan berat badan normal, sangat jarang
prematur. Datang rumah sakit dengan obstruksi usus, dengan tanda-tanda
keterlambatan evakuasi meconium, distensi abdomen dan muntah hijau.
Obstruksi usus ini dapat mereda spontan, atau akibat colok dubur yang
dilakukan pada waktu pemeriksaan. Dikatakan mereda, neonates dapat

10
defekasi dengan keluar mekonium bercampur udara, abdomen kemps dan
tidak muntah lagi. Kemudian dalam beberapa hari lagi neonatus menunjukan
tanda-tanda obstruksi usus berulang. Selanjutnya neonates secara klinis
menunjukkan gejalan sebagai obstipasi kronik dengan disertai abdomen yang
buncit. Sering neonatus meninggal akibat penyulit seperti enterokolitis atau
peritonitis dan sepsis.(8)
1. Anamnesis
Pada heteroanamnesis, sering didapatkan adanya keterlambatan
pengeluaran mekonium yang pertama, mekonium keluar >24 jam;
adanya muntah bilious (berwarna hijau); perut kembung; ganfggfuan
defekasi/kontipasi kronis; konsistensi feses yang encer; gagal tumbuh
(pada anak-anak); baadan tidak berubah; bahkan cenderung menurun;
nafsu makan menurun; ibu mengalami polyhidramnion; adanya riwayat
keluarga.(9)
2. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit diseluruh lapang pandang.
Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada dinding
abdomen. Saat dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus
melemah atau jarang. Untuk menentukan diagnosis penyakit Hirschprung
dapat pula dilakukan pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan sfingter
anal yang kaku dan sempit, saat jari di tarik terdapat explosive stool.
Pemeriksaaan colok anus : sangat penting dan pada pemeriksaan ini jari
akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan
keluarnya udara dan mekonium/feses yang menyemprot.(9)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan kecurigaan
penyakit Hirschprung adalah (1)
1. Pemeriksaan definitive ; biopsy rectal dapat dilakukan secara bedside
pada pasien neonatus, sedangkan pada anak yang lebih besar diperlukan
sedasi intracena. Pengambilan sampel meliputi lapisan mukosa serta
submukosa. 1 cm, 2 cm, dan 3 cm dari linea dentate. Sediaan
histopatologi penyakit Hirschprung menunjukan tidak adanya sel

11
ganglion pada pleksus myenterikus, adanya hipertrofi bundle saraf, serta
pewarnaan yang menyengat dengan asetilkolin;
Diagnosis definitive dibuat dengan biopsy rectum untuk mencari ada atau
tidak adanya sel-sel ganglion. Biopsy ini dapat biopsy sucion dari
mukosa dan submukosa atau biopsy seluruh ketebalan dari dinding rectal
sebagai prosedur bedah.(2)
2. Rontgen abdomen. Pemeriksaan ini bersifat nonspesifik. Hasil foto
menunjukan usus-usus yang terdistensi dan terisi oleh udara. Biasanya
sulit membedakan usus halus dan usus besar saat usia neonatus;(1)
Pemeriksaan foto polos abdomen : terlihat tanda tanda obstruksi usus
letak rendah. Umumnya gambaran kolon sulit dibedakan dengan
gambaran usus halus(8)

Gambar 4. Pada foto abdomen menunjukkan dilatasi berat pada


colon disertai dengan obstruksi daerah distal(11)
3. Pemeriksaan barium enema. Dilakukan untuk menunjukan lokasi zona
transisi antara segmen kolon dengan ganglion yang mengalami
konstriksi. Terdapat tanda klasik radiografis penyakit Hirschprung yakni:
a. Segmen sempit dari sfingter anal
b. Zona transisi (daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen
dilatasi)
c. Segmen dilatasi(1,10)

12
Pemeriksaan barium enema sangat berguna untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti atresia kolon, sindrom sumbatan mekonium atau
small left colon syndrome.(1)
Biasanya memperlihatkan megakolon dalam usus yang mempunyai
persarafan dan kolon aganglionik distal mempunyai ukuran yang lebih
normal. Ini tidak terlihat selama 2-3 minggu pertama kehidupan.(2)

Pemeriksaan foto dengan enema barium: Terlihat lumen rektosigmoid


kecil, bagian proksimalnya terlihat daerah transisi dan kemudian melebar.
Permukaan mukosa dibagian usus yang melebar tampak tidak teratur karena
proses enterokolitis. Enema barium tidak perlu diteruskan ke arah proksimal
bila tanda-tanda PH yang khas seperti di atas sudah terlihat. Apabila tanda-
tanda khas tersebut tidak dijumpai pemeriksaan enema barium diteruskan
untuk mengetahui gamparan kolon proksimal. Mungkin ditemukan penyebab
yang lain, pada PH dengan gambaran foto enema barium yang tidak jelas
dapat dilakukan foto retensi barium. Foto dapat dibuat sampai 48 jam setelah
foto enema barium pertama pada foto retensi, barium masih terlihat di kolon
proksimal, tidak menghiangkan atau terkumpul di daerah distal. Dan
mungkin dijumpaitanda-tanda khas PH yang lebih jelas.(8)

Pemeriksaan barium enema yang dilakukan tanpa persiapan khusus dan


memperlihatkan dilatasi serta hipertrofi kolon proksimal yang
mempunyaiinervasi saraf normal yang berkembang sebagai respon terhadap
obstruksi fungsional distal. Rontgenogram selanjutnya setelah 24 jam, sangat
bermanfaat dalam mengonfirmasi keterlambatan pengosongan normal dan
dalam menetukan tingkat obstruksi yang tepat. Tetapi diagnosis rontgenogarfi
bisa tidak dapat diandalkan pada neonatus, karena dilatasi dan hipertrofi yang
bermakna belum berkembang pada usus proksimal.(9)

13
Gambar 5. Foto lateral kontras barium enema menunjukkan
potensi rectal dan distal kolon(11)

Gambar 6. Pada tampilan anteroposterior, menunjukkan zona


transisional (panah hitam) antara bagian sempit rectum dan kolon
sigmoid yang dilaasi. Dan kontraksi rectal yang abnormal (panah
putih)(11)

Pemeriksaan patologi anatomi dimaksudkan untuk mendeteksi adanya


ganglion dilapisan submukosa dan diantara dua lapisan otot. Serta melihat

14
serabut-serabut saraf. Apabila sediaan untuk pemeriksaan patologi anatomik
didapat dari biopsi hisap dari mukosa rektum, pemeriksaan hanya untuk
melihat ganglion Meissner dilapisan submukosa dan melihat penebalan
serabut-serabut saraf. Pada PH tidak dijumpai ganglion dan terdapat
penebalan serabut saraf.(8)

Diagnosis definitiv penyakit Hirschsprung diberiksn oleh biopsi seluruh


tebal dinding rektum, yang mengonfirmasi tidak adanya sel gnaglion pleksus
meinterikus. Modifikasi berharga dari teknik ini, yang menawarkan metode
penyaring yang aman dan dapat diandalkan, mencakup fragmen mukosa dan
submukosa yang didapat dengan biopsy hisap dan pengujian
histologismengambarkan ada atau tidaknya sel ganglion pada submukosus.(9)

Pada bayi kecil dengan obstruksi usus dan atau enterokolitis fuminant,
maka kolostomi peralihan harus segera dilakukan. Setelah pasien mempunyai
berat bada 10 kg, maka koreksi definitif dapat dilakukan, menggunakan satu
dari tiga tindakan pull-through standar (Swenson, Duhannel atau Soave)
untuk menciptakan anastomosis antara usus proksimal yang persarafannya
normal dan anus. Walaupun perincian teknik spesifik dari operasi ini berbeda,
tetapi pada ahli bedah yang berpengalaman, hasil masing-masing teknik
terbukti baikdan prognosis jangka lama bagi pasien yang telah menjalani
koreksi bedah yang berhasil akan memuaskan. Tetapi pengenalan dini dan
intervensi segera jelas penting pada keadaan ini, jika ingin menghindari
komplikasi retardasi pertumbuhan dan enterekolitis yang mematikan. Sebagai
akibanya, kemungkinan penyakit Hirschsprung harus selalu dipertimbangkan
pada bayi yang memberikan gambaran konstipasi menahu, diare menetap,
konstipasi dan diare bergantian serta atau kegagalan pertumbuhan.(9)

J. DIAGNOSIS BANDING
1. Atresia ileum : mekonium sedikit, kering, berbutir-butir, warna hijau
muda

15
2. Sumbatan mekonium : pada rontgen abdomen tampak usus melebar
disertai klasifikasi
3. Atresia rectal
4. Enterokolitis nekrotikan neonatal : pasien letargis, mekonium bercampur
darah, tanda enterokolitis, muncul lebih cepat dibandingkan penyakit
Hirschprung
5. Peritonitis intra-uterin
6. Sepsis neonatorum: gagal evakuasi mekonium dalam 24-48 jam pertama
pasien menollak minum, distensi abdomen mulai dari daerah gaster,
pasien tampak letargis
7. Sindrom kolon kiri biasanya pada ibu dengan diabetes melitus, pada
pemeriksaan barium enema, kolon kiri terlihat kecil sedangkan ampula
rectum melebar
8. Obstipasi psikogenik : pada pasien usia > 2 tahun, feses seperti tanah liat
dekat sfingter anal.(1,8)
K. PENATALAKSANAAN

Semua pasien dengan penyakit hirschprung dirujuk kedokter spesialias


bedah anak untuk mendapatakan tatalaksana definitif. Namun, tatalaksana
awal dapat diberikan pada pasien dengan distensi abdomen (biasanya pada
kasus aganglionik total) (1)

1. Dekompresi saluran cerna dengan selang nasogatrik (NGT). Cairan


dihisap setiap 15-20 menit karena cairan jejunum akan mulai mengisi
lambung dalam rentang waktu ini. Dekompresi rektal juga dapat dilakukan
dengan menggunakan rectal tube. Apabila dekompresi tidak berhasil,
kolostomi menjadi pilihan terapi bedah sementara.
2. Rehidrasi (diberikan kebutuhan rumatan dan rehidrasi). Hindari pemberian
cairan dengan kecepatan tinggi untuk menghindari terjadinya edema paru.
3. Pemasangan kateter urine untuk memantau urin output. Normalnya 1,5
cc/kg/BB/jam.
4. Pemberian antibiotik apabila terjadi enterokolitis

16
Untuk neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif
dengan pemasangan sonde lambung, pemasangan pipa rektal untuk
mengeluarkan mekonium dan udara. Biopsi hisap hendaknya dikerjakan
sebelum pemeriksaan colok dubur dan pemasangan pipa rektal.(8)

Terapi pada awalnya dilakukan kolostomi melalui usus yang


berganglion. Prosedur pull-throught dilakukan bila anak sudah mempunyai
berat badan 10 kg. Jika anak sudah lebih tua dan mempunyai megakolon,
pull-trhought ditunda sampai usus kembali keukuran normal. Kolostomi
dapat ditutup pada saat dilakukan pull-throught atau sebagai langkah ketiga
tergantung kepada keputusan ahli bedah. Prosedur yang digunakan secara
bervariasi adalah prosedur Swenson, Duhameldan pull throught edorektal
Soave.(2)

Tatalaksana operatif dilakukan dalam beberapa tahap : (1)

1. Kolostomi, dilakukan pada periode neonatus, pasien anak dan dewasa


yang terlambat terdiagnosis dan pasien-pasien enterokolitis berat dengan
keadaan umum yang buruk. Apabila pasien tidak termasuk dalam ketiga
kelompok ini, tindakan bedah definitif dapat dilaksanakan.tanto Tindakan
kolostomi. Stoma dibuat dibagian kolon yang berganglion paling distal.
Kolostomi ini dimaksudkan untuk menjamin pasase usus dan mencegah
penyulit-penyulit yang tidak diinginkan seperti enterokolitis, peritonitis,
dan sepsis.
2. Pull trought operation. Prinsip operasi ini adalah membuang segmen
aganglionik dan membuat anastomosis segmen ganglion dengan anus.
Ada tiga teknik yang sering digunakan oleh dokter bedah anak, yakni
prosedur Swenson, Duhamel dan Soave. Teknik Duhamel dan Soave
memberikan hasil yang lebih baik dan dapat digunakan

17
L. KOMPLIKASI

Potensi komplikasi untuk operasi kompleks yang berhubungan dengan


penyakit Hirschsprung mencakup seluruh komplikasi bedah
gastrointestinal.(12)

Komplikasi pasca operasi paling sering meliputi enterocolitis setelah


prosedur Swenson, konstipasi setelah perbaikan Duhamel, dan diare dan
inkontinensia setelah prosedur Soave.

Secara keseluruhan, komplikasi yang paling umum adalah kebocoran


anastomosis dan pembentukan striktur 5-15%, infeksi luka post operasi 10%,
obstruksi usus 5%, abses panggul 5% dan rre-operasi 5%. Setelah pengalihan
usus, pasien juga dapat mengalami komplikasi enterostomal, seperti prolaps,
herniasi, atau striktur.(12)

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanto, Chris, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jillid I Edisi ke Empat.
Media Aesculapius. Jakarta
2. Schwartz, M.William. 2012. Pedoman Klinis Pediatric (Clinical Handbook
Pediatric). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
3. Lulik Inggarwati, Bambang Triambodo, Jurnal Kedokteran Brawijaya
Volume 26 nomor 2 : Irigasi kolon sebagai pengganti kolostomi pada
pembedahan satu tahap penyakit Hirschprung. Malang : Laboratorium Ilmu
Bedah Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang, 2010
4. Elfianto D. Corputty, Harsali F. lampus dan Alwin Monoarfa. Jurnal e-
Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2015, Gambaran pasien
Hirschsprung di RSUP Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari 2010
september 2014. Manado : Kandidat Skripsi FK Universitas Sam Ratulangi,
Bagian Bedah FK Universitas Sam Ratulangi, 2015
5. Sjamsuhidajat, R dan Dejong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
6. Netter, frank H M.D.2014. Atlas Of Human Anatomy Six Edition
7. Stephens, Seeley.2004. Digestive System: Anatomy and Physiology Six
Edition
8. Soelarto Rekso Podjo. Kumpulan kuliah ilmu bedah, Tanggerang : Bina
Rupa Aksara, 2010
9. Putu Ayu Ines Lassiyani Surya dan I Made Dharmajaya. Jurnal : Gejala dan
Diagnosis Penyakit Hirschsprung. Denpasar : Program Studi Pendidikan
Dokter FK Universitas Udayana, Bagian/SMF Ilmu Bedah FK Universitas
Udayana, RSUP Sanglah Denpasar, 2011
10. Courtney M Townsend, et al. buku saku ilmu bedah sabiston, edisi 17.
Jakarta : EGC, 2010
11. Leon, Martinez, etc.2012. Imaging For Pediatricians 100 Keys. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg

19
12. P.Wagner, Justin. 2015. Hirschsprung Disiase. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview#showall.

20

Anda mungkin juga menyukai