PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
B. EPIDEMIOLOGI
2
C. ANATOMI COLON DAN RECTUM
3
descendes, kolon sigmoid, dan sebagian besar rectum diperdarahi oleh arteri
mesenterika inferior melalui kollika sinistra, arteri sigmoid, dan arteri
hemoroidalis superior. Pembuluh vena kolon berjalan parallel dengan
arterinya.(5)
Aliran darah vena disalurkan melalui vena mesentrika superior untuk
kolon ascendes dan kolon transversum, dan melalui vena mesenterika inferior
untuk kolon ascendens, sigmoid dan rectum. Keduanya bermuara kedalam
vena porta, tetapi vena mesenterika inferior melalui vena ilealis. Aliran vena
dari kanalis menuju ke vena kava inferior. Pada batas rectum dan anus,
terdapat banyak kolateral arteri dan vena melalui peredaran antara system
pembuluh darah saluran cerna dan system arteri dan vena iliaka.(5)
Gambar 2. Pembuluh darah arteri dan vena pada kolon dan rectum(6)
Aliran limfe kolon sejalan dengan aliran darahnya. Hal ini penting
diketahui sehubungan dengan penyebaran keganasan dan kepentingannya
dalam reseksi kegananasan kolon. Sumber aliran limfe terdapat pada
4
muskularis mukosa. Kolon dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari
nervus splanknikus dan pleksus presakralis serta oleh serabut parasimpatis
yang berasal dari nervus vagus.(5)
5
Proses percampuran segmental yang terjadi di kolon jauh lebuh sering
dibandingkan pada usus halus. Gerakan perstalktik sangat berpengaruh pada
pemindahan kimus disepanjang colon ascendens. Pada jarak interval (normal
3-4 jam perhari), sebagian besar colon transversum dan kolon descendens
mengalami kontraksi peristaltic yang kuat dan menyebabkan peregerakan dari
fases. Setiap pergerakan dari fases mengakibatkan kontraksi yang lebih lama
pada sebagian besar traktus digestivus (sekitas 20 cm) dari kontraksi
peristaltic dan mendorong isi colon menuju ke anus. Umumnya pergerakan
fases terjadi setelah makan karena masuknya makanan ke dalam lambung
atau duodenum. Terjadi sekitar 10-30 menit dan berhenti sekitar setengah
hari. Refleks local pada pleksus enteric yang disebut reflex gastrokolik, yang
dirangsan oleh gaster ataupun reflex duodenocolic yang dirangsang oleh
duodenum, mengintegrasikan gerakan dari fases.(7)
Distensi dinding rectum oleh fases merangsang stimulus yang
menimbulkan reflex untuk defekasi. Local reflex menyebabkan kontraksi
yang kecil pada rectum dan relaksasi pada spiknter ani interna. Reflex
parasimpatik menyebabkan kontraksi yang kuat pada rectum dan secara
normal berperan pada sebagian besar reflex defekasi.(7)
D. ETIOLOGI
6
E. KLASIFIKASI
F. PATOFISIOLOGI
7
transisi, terlihat mulai melebar dari bagian yang menyempit. Usus di
proksimalnya lagi lebih melebar lagi dan umumnya mengecil kembali
mendekati caliber lumen usus normal.(8)
G. MANIFESTASI KLINIS
8
Keluarnya tinja mekonium pertama tertunda sampai 24 jam dan obstruksi
yang menetap mungkin memerlukan kolostomi gawat darurat. Mulainya
gejala khas ini pada awal masa bayi, merupakan petunjuk penting untuk
membedakan megakolonkongenital dari megakolon akuisita yang bisa terjadi
kemudian, sering pada waktu latihan buang air. Penyakit hirschprung bisa
juga bermanifestasi sebagai konstipasi dan diare yang bergantian atau bahkan
diare saja, disertai kegagalan pertumbuhan. Catatan khusus, bayi yang
menderita penyakit hirschprung, mempunyai kemungkinan menderita
enterokolitis yang biasanya didahului oleh diare eksplosif, disertai kehilangan
cairan, elektrolit dan protein yang masif, yang secara tepat dan progresif
menjadi sepsis dan syok. Enterokolitis merupakan komplikasi parah penyakit
Hirschprung dengan angka mortalitas tinggi.(8)
9
anak yakni, konstipasi kronis, gagal tumbuh, dan malnutrisi. Ergerakan
peristaltic usus dapat terlihat pada dinding abdomen disebabkan oleh
obstruksi fungsional kolon yang berkepanjangan. Selain obstruksi usus
yang komplit, perforasi sekum, fecal impaction atau enterocolitis akut
yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga dapat terjadi.
I. DIAGNOSIS
10
defekasi dengan keluar mekonium bercampur udara, abdomen kemps dan
tidak muntah lagi. Kemudian dalam beberapa hari lagi neonatus menunjukan
tanda-tanda obstruksi usus berulang. Selanjutnya neonates secara klinis
menunjukkan gejalan sebagai obstipasi kronik dengan disertai abdomen yang
buncit. Sering neonatus meninggal akibat penyulit seperti enterokolitis atau
peritonitis dan sepsis.(8)
1. Anamnesis
Pada heteroanamnesis, sering didapatkan adanya keterlambatan
pengeluaran mekonium yang pertama, mekonium keluar >24 jam;
adanya muntah bilious (berwarna hijau); perut kembung; ganfggfuan
defekasi/kontipasi kronis; konsistensi feses yang encer; gagal tumbuh
(pada anak-anak); baadan tidak berubah; bahkan cenderung menurun;
nafsu makan menurun; ibu mengalami polyhidramnion; adanya riwayat
keluarga.(9)
2. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit diseluruh lapang pandang.
Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada dinding
abdomen. Saat dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus
melemah atau jarang. Untuk menentukan diagnosis penyakit Hirschprung
dapat pula dilakukan pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan sfingter
anal yang kaku dan sempit, saat jari di tarik terdapat explosive stool.
Pemeriksaaan colok anus : sangat penting dan pada pemeriksaan ini jari
akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan
keluarnya udara dan mekonium/feses yang menyemprot.(9)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan kecurigaan
penyakit Hirschprung adalah (1)
1. Pemeriksaan definitive ; biopsy rectal dapat dilakukan secara bedside
pada pasien neonatus, sedangkan pada anak yang lebih besar diperlukan
sedasi intracena. Pengambilan sampel meliputi lapisan mukosa serta
submukosa. 1 cm, 2 cm, dan 3 cm dari linea dentate. Sediaan
histopatologi penyakit Hirschprung menunjukan tidak adanya sel
11
ganglion pada pleksus myenterikus, adanya hipertrofi bundle saraf, serta
pewarnaan yang menyengat dengan asetilkolin;
Diagnosis definitive dibuat dengan biopsy rectum untuk mencari ada atau
tidak adanya sel-sel ganglion. Biopsy ini dapat biopsy sucion dari
mukosa dan submukosa atau biopsy seluruh ketebalan dari dinding rectal
sebagai prosedur bedah.(2)
2. Rontgen abdomen. Pemeriksaan ini bersifat nonspesifik. Hasil foto
menunjukan usus-usus yang terdistensi dan terisi oleh udara. Biasanya
sulit membedakan usus halus dan usus besar saat usia neonatus;(1)
Pemeriksaan foto polos abdomen : terlihat tanda tanda obstruksi usus
letak rendah. Umumnya gambaran kolon sulit dibedakan dengan
gambaran usus halus(8)
12
Pemeriksaan barium enema sangat berguna untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti atresia kolon, sindrom sumbatan mekonium atau
small left colon syndrome.(1)
Biasanya memperlihatkan megakolon dalam usus yang mempunyai
persarafan dan kolon aganglionik distal mempunyai ukuran yang lebih
normal. Ini tidak terlihat selama 2-3 minggu pertama kehidupan.(2)
13
Gambar 5. Foto lateral kontras barium enema menunjukkan
potensi rectal dan distal kolon(11)
14
serabut-serabut saraf. Apabila sediaan untuk pemeriksaan patologi anatomik
didapat dari biopsi hisap dari mukosa rektum, pemeriksaan hanya untuk
melihat ganglion Meissner dilapisan submukosa dan melihat penebalan
serabut-serabut saraf. Pada PH tidak dijumpai ganglion dan terdapat
penebalan serabut saraf.(8)
Pada bayi kecil dengan obstruksi usus dan atau enterokolitis fuminant,
maka kolostomi peralihan harus segera dilakukan. Setelah pasien mempunyai
berat bada 10 kg, maka koreksi definitif dapat dilakukan, menggunakan satu
dari tiga tindakan pull-through standar (Swenson, Duhannel atau Soave)
untuk menciptakan anastomosis antara usus proksimal yang persarafannya
normal dan anus. Walaupun perincian teknik spesifik dari operasi ini berbeda,
tetapi pada ahli bedah yang berpengalaman, hasil masing-masing teknik
terbukti baikdan prognosis jangka lama bagi pasien yang telah menjalani
koreksi bedah yang berhasil akan memuaskan. Tetapi pengenalan dini dan
intervensi segera jelas penting pada keadaan ini, jika ingin menghindari
komplikasi retardasi pertumbuhan dan enterekolitis yang mematikan. Sebagai
akibanya, kemungkinan penyakit Hirschsprung harus selalu dipertimbangkan
pada bayi yang memberikan gambaran konstipasi menahu, diare menetap,
konstipasi dan diare bergantian serta atau kegagalan pertumbuhan.(9)
J. DIAGNOSIS BANDING
1. Atresia ileum : mekonium sedikit, kering, berbutir-butir, warna hijau
muda
15
2. Sumbatan mekonium : pada rontgen abdomen tampak usus melebar
disertai klasifikasi
3. Atresia rectal
4. Enterokolitis nekrotikan neonatal : pasien letargis, mekonium bercampur
darah, tanda enterokolitis, muncul lebih cepat dibandingkan penyakit
Hirschprung
5. Peritonitis intra-uterin
6. Sepsis neonatorum: gagal evakuasi mekonium dalam 24-48 jam pertama
pasien menollak minum, distensi abdomen mulai dari daerah gaster,
pasien tampak letargis
7. Sindrom kolon kiri biasanya pada ibu dengan diabetes melitus, pada
pemeriksaan barium enema, kolon kiri terlihat kecil sedangkan ampula
rectum melebar
8. Obstipasi psikogenik : pada pasien usia > 2 tahun, feses seperti tanah liat
dekat sfingter anal.(1,8)
K. PENATALAKSANAAN
16
Untuk neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif
dengan pemasangan sonde lambung, pemasangan pipa rektal untuk
mengeluarkan mekonium dan udara. Biopsi hisap hendaknya dikerjakan
sebelum pemeriksaan colok dubur dan pemasangan pipa rektal.(8)
17
L. KOMPLIKASI
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Tanto, Chris, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jillid I Edisi ke Empat.
Media Aesculapius. Jakarta
2. Schwartz, M.William. 2012. Pedoman Klinis Pediatric (Clinical Handbook
Pediatric). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
3. Lulik Inggarwati, Bambang Triambodo, Jurnal Kedokteran Brawijaya
Volume 26 nomor 2 : Irigasi kolon sebagai pengganti kolostomi pada
pembedahan satu tahap penyakit Hirschprung. Malang : Laboratorium Ilmu
Bedah Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang, 2010
4. Elfianto D. Corputty, Harsali F. lampus dan Alwin Monoarfa. Jurnal e-
Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2015, Gambaran pasien
Hirschsprung di RSUP Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari 2010
september 2014. Manado : Kandidat Skripsi FK Universitas Sam Ratulangi,
Bagian Bedah FK Universitas Sam Ratulangi, 2015
5. Sjamsuhidajat, R dan Dejong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
6. Netter, frank H M.D.2014. Atlas Of Human Anatomy Six Edition
7. Stephens, Seeley.2004. Digestive System: Anatomy and Physiology Six
Edition
8. Soelarto Rekso Podjo. Kumpulan kuliah ilmu bedah, Tanggerang : Bina
Rupa Aksara, 2010
9. Putu Ayu Ines Lassiyani Surya dan I Made Dharmajaya. Jurnal : Gejala dan
Diagnosis Penyakit Hirschsprung. Denpasar : Program Studi Pendidikan
Dokter FK Universitas Udayana, Bagian/SMF Ilmu Bedah FK Universitas
Udayana, RSUP Sanglah Denpasar, 2011
10. Courtney M Townsend, et al. buku saku ilmu bedah sabiston, edisi 17.
Jakarta : EGC, 2010
11. Leon, Martinez, etc.2012. Imaging For Pediatricians 100 Keys. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg
19
12. P.Wagner, Justin. 2015. Hirschsprung Disiase. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview#showall.
20