Anda di halaman 1dari 12

REAKSI WIDAL

Oleh :
Nama : Rizqi Nahriyati
NIM : B1A015088
Rombongan : III
Kelompok : 3
Asisten : Risa Umami

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBIOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salmonella sp. adalah suatu genus bakteri enterobakteria gram-negatif berbentuk


batang. Morfologi Salmonella typhii berbentuk batang, tidak berspora dan tidak
bersimpai tetapi mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat
gram negatif, ukuran 2-4 mikrometer x 0.5 - 0.8 mikrometer dan bergerak, pada
biakan agar darah, koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 millimeter, bulat, agak
cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis. Tumbuh pada suasana
aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15 - 41oC (suhu pertumbuhan optimum
37 oC) dan pH pertumbuhan 6 - 8. Salmonella sp. yang hanya menginfeksi manusia,
diantaranya S. typhii, S. paratyphi A, S. paratyphi C. Kelompok ini termasuk agen
yang menyebabkan demam tifoid dan paratifoid. Demam tifoid merupakan penyakit
sistemik yang menjadi masalah kesehatan dunia. Demam tifoid terjadi baik di neg ara
tropis maupun negara subtropis, terlebih pada negara berkembang. Besarnya angka
kejadian demam tifoid sulit ditentukan karena mempunyai gejala dengan spectrum
klinis yang luas. Insidensi demam tifoid berbeda pada tiap daerah. Demam tifoid
lebih sering menyerang anak usia 5-15 tahun (Karsinah,1994).
Uji reaksi Widal menggunakan suspensi bakteri S.typhii dan S. paratyphi dengan
perlakuan antigen H dan O. Antigen ini dikerjakan untuk mendeteksi antibodi yang
sesuai pada serum pasien yang diduga menderita demam typhoid. Antibodi IgM
somatik O menunjukksn awal dan merepresentasikan respon serologi awal pada
penderita demam thypoid akut dimana antibodi IgG flagela H biasanya berkembang
lebih lambat, tetapi tetap memanjang (Baratawidjaya, 2002).
Antibodi (immunoglobulin) adalah sekelompok lipoprotein dalam serum darah
dan cairan jaringan pada mamalia. Antibodi memiliki lebih dari satu tempat
pengkombinasian antigen. Kebanyakan antibodi makhluk hidup mempunyai 2 tempat
pengkombinasian yang disebut bivalen. Beberapa antibodi bivalen dapat membenuk
beraneka antibodi yang mempunyai lebih dari 10 tempat pengkombinasian antigen
(Volk & Wheeler, 1984).
1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum acara kali ini adalah untuk mengetahui penetapan titer
antibodi terhadap antigen Salmonella typhiii pada seseorang yang terserang demam
thypoid (tifus).
II. MATERI DAN CARA KERJA

2.1 Materi

Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah serum penderita
tifus, serum kontrol, dan antigen Salmonella typhii H (Murex).
Alat yang digunakan adalah spuit, tabung eppendorf, sentrifugator,
object glass, mikropipet, yellow tips, batang pengaduk, dan mikroskop.

2.2 Cara Kerja

1. 3 buah object glass diambil dan pada masing-masing object glass


dipipetkan serum sebanyak 20 μl, 10 μl, dan 5 μl.
2. Masing-masing object glass ditetesi 1 tetes reagen Salmonella typhii H.
dan dicampurkan dengan batang pengaduk supaya larutan menjadi
homogen.
3. Object glass digoyang-goyang selama 1 menit. Tepat 1 menit, diamati di
bawah mikroskop ada atau tidaknya aglutinasi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Tabel 3.1 Data Hasil Pengamatan Aglutinasi pada Serum

1/80 1/160 1/320


Kelompok
+ + +
1
- - -
2
+ + +
3
- - -
4
+ + +
5

Interpretasi : Titer 1/80 (-) = Tidak terinfeksi


Titer 1/80 (+) = Infeksi ringan
Titer 1/160 (+) = Infeksi aktif
Titer 1/320 (+) = Infeksi berat

Gambar 1. Serum Gambar 1. Serum Gambar 1. Serum


Positif Pengenceran 1/80 Positif Pengenceran Positif Pengenceran
1/160 1/320
3.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil yang didapatkan, kelompok 1, 3, dan 5 mendapatkan serum


sampel positif tifus dan menunjukkan adanya aglutinasi setelah bereaksi dengan
antigen Salmonella typhii pada pengenceran 1/80 hingga 1/320 yang menunjukkan
bahwa penderita mengalami infeksi berat, sedangkan kelompok 2 dan 4 mendapatkan
serum sampel negatif dan menunjukkan hasil negatif karena tidak terjadinya
aglutinasi yang berarti pada serum tersebut tidak mengalami infeksi yang disebabkan
oleh Salmonella typhii atau tidak terserang penyakit demam tifoid (tifus). Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Madhu et al., (2014) bahwa apabila serum
penderita tidak mengandung antibodi terhadap Salmonella typhiii maka tidak akan
terbentuk kompleks antigen antibodi. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan
Soenarjo (1989) bahwa apabila tidak ada aglutinasi maka hasilnya negatif, probandus
tidak terkena thypus, apabila terdapat aglutinasi pada titer 1/80 menandakan adanya
infeksi ringan, pada titer 1/160 tandanya ada infeksi aktif (sedang), dan apabila
masih terjadi aglutinasi pada titer 1/320, berarti menandakan bahwa ada infeksi berat
(bisa jadi probandus yang diambil sampel darahnya sedang menderita thypus).
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik, bersifat yang disebabkan
oleh bakteri S. typhii dan masih merupakan masalah kesehatan di Indonesi (Satwika
et al., 2013). Salmonella enterica serovar Typhi (S.typhi) merupakan bakteri
penyebab Demam Tifoid (DT) dan masih menjadi masalah serius di negara maju
maupun negara yang berkembang. Menurut estimasi WHO, terdapat 17 juta kasus
DT per tahun diseluruh dunia dengan kematian 600.000 jiwa. Di negara berkembang,
kasus DT dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan
rawat inap di rumah sakit, dan 5% diantaranya berakhir dengan kematian. Sekitar
70% dari seluruh kematian menimpa penderita DT di Asia. Di Indonesia, insiden
demam tifoid masih tinggi bahkan menempati tertinggi ketiga di antara negara-
negara dunia. Kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/tahun. Umur penderita yang terjangkit penyakit ini di Indonesia dilaporkan
antara 3 - 19 tahun pada 91% kasus. Salah satu faktor penyebab DT bersifat akut
bahkan menyebabkan kematian adalah sifat virulensi flagella. Flagella merupakan
alat pergerakan bakteri S.typhii yang tersusun dari protein yang disebut flagellin.
Flagella meningkatkan kemampuan motilitas dan daya invasif dari S. typhii, yang
dapat menyebabkan terjadinya perforasi pada usus (jaringan limfoid). Flagella
bakteri S. typhii tersebut terdapat gen FliC atau fase 1 yang mengkode antigen Hi-d.
gen flagelin Hi-d ini merupakan gen potensial daya invasif terhadap inang dan
dimiliki oleh S.typhi pada penderita demam tifoid diseluruh dunia (Sabir et al., 2015).
Menurut Sudoyo (2009), gejala klinis yang biasa ditemukan pada seseorang
yang mengalami demam tifoid, yaitu:
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal
bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
Reaksi widal adalah reaksi serum (sero-test) untuk mengetahui ada tidaknya
antibodi terhadap Salmonella typhii dengan jalan mereaksikan serum seseorang
dengan antigen O, H, dan Vi dari laboratorium. Bila terjadi aglutinasi, maka reaksi
widal positif, berarti serum orang tersebut mempunyai antibodi terhadap Salmonella
typhii, baik setelah vaksinasi, setelah sembuh dari penyakit tipus ataupun sedang
menderita tipus. Reaksi widal negatif artinya tidak memiliki antibodi
terhadap Salmonella typhii (tidak terjadi aglutinasi) (Volk & Wheeler, 1984).
Uji widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih
digunakan secara luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Prinsip
uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita
yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan
flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum. Uji widal dapat dilakukan dengan metode tabung atau dengan
metode peluncuran (slide). Uji widal dengan metode peluncuran dapat dikerjakan
lebih cepat dibandingkan dengan uji widal tabung, tetapi ketepatan dan spesifisitas
uji widal tabung lebih baik dibandingkan dengan uji widal peluncuran (Wardhani,
2005).
Tes widal merupakan tes sederhana dan murah yang dianggap dapat menjadi
hal yang bernilai dalam pemberdayaan darah di negara-negara berkembang,
meskipun tes widal dapat memberikan hasil tes positif dan negatif palsu. Tes lain
seperti Dot EIA, Tubex, dan ELISA, juga telah dilakukan namun juga memiliki
banyak kekurangan. Maka dari itu usaha untuk mengembangkan tes yang lebih
sensitif dan spesifik terhadap demam tifoid terus dilakukan (Khan et al., 2014).
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun
telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan
sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi
(cut-off point). Mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar
(baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti
Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat
(Jawetz et al., 1974). Kelemahan lain adalah banyak terjadi hasil negatif palsu dan
positif palsu pada tes ini (Hosoglu et al., 2008).
Menurut Olopoenia & King (1999), kemungkinan negatif palsu dan positif
palsu adalah sebagai berikut yaitu :
a. Positif palsu, dimana penderita pernah mendapatkan vaksinasi atau adanya reaksi
silang dengan spesies bakteri lain. Kemungkinan hasil positif palsu dapat terjadi
pada imunisasi dengan antigen Salmonella. Beberapa jenis serotype Salmonella
lainnya memiliki antigen O dan H juga sehingga menimbulkan reaksi silang
dengan jenis bakteri lainnya dan menimbulkan hasil positif palsu. Hasil negatif
palsu dapat terjadi pada carrier tifoid.Penderita telah mendapatkan terapi
antibiotik sebelumnya sehingga dapat menghalangi respon antibodi dan
menimbulkan hasil negatif palsu.
b. Negatif palsu, dimana penderita sudah mendapatkan terapi antibiotic, waktu
pengambilan darahnya kurang dari 1 minggu sakit, serta keadaan pasien yang
buruk dan adanya imunobiologis yang buruk. Menurut Madhu et al, (2014), pada
uji widal adanya aglutinasi tergantung pada tingkatan penyakitnya. Aglutinasi
biasanya muncul pada akhir minggu pertama, jadi jika darah diambil sebelumnya
kemungkinan akan menunjukkan hasil negatif palsu.
Menurut Olopoenia & King (1999), untuk penetapan titer antibodi dalam
serum digunakan 3 seri pengenceran, yaitu sebagai berikut:
1. Pengenceran 1:80 yang terdiri dari 20 µl serum dengan 40 µl reagen S. typhi H.
2. Pengenceran 1:160 yang terdiri dari 10 µl serum dengan 40 µl reagen S. typhi H.
3. Pengenceran 1:320 yang terdiri dari 5 µl serum dengan 40 µl reagen S. typhi H.
Antigen adalah bahan yang asing untuk badan, terdapat dalam manusia atau
organisme multiseluler lain yang dapat menimbulkan pembentukan antibodi
terhadapnya dan dengan antibodi itu antigen dapat bereaksi dengan khas. Sifat
antigenik dapat ditentukan oleh berat molekulnya. Salmonella dan jenis-jenis lainnya
dalam familyEnterobacteriaceae mempunyai beberapa jenis antigen, yaitu antigen O
(somatik), H (Flagella), K (Kapsul) dan Vi (Virulen) (Volk & Wheeler, 1984).
1. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap
pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.
2. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi
dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal
yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada
pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.
3. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman
dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan
selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini
digunakan untuk mengetahui adanya karier.
4. Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap
lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan
protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein
OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi
untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan
denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A,
protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya
masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen
OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa.
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:


1. Uji Widal serum negatif pada kelompok 2 dan 4 tidak terjadi aglutinasi yang
berarti tidak terinfeksi oleh Salmonella typhii atau tidak terserang demam tifoid
(tifus), sedangkan uji Widal serum positif pada kelompok 1, 3, dan 5 terjadi
aglutinasi yang berarti terdapat infeksi oleh Salmonella typhii dan terserang
demam tifoid (tifus).
DAFTAR REFERENSI

Baratawidjaya, K. G. 2002. Imunologi Dasar Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas


Kedokteran UI.
Hosoglu, S., Bosnak, V., Akalin, S., Geyik, M. F., Ayaz, C. 2008. Evaluation of false
negativity of the Widal test among culture proven typhoid fever cases. J Infect
Dev Ctries. 2(6), pp. 475-8.
Jawetz, E, J. L., Melnick, & E. A. Adelberg. 1974. Review of Medical Microbiology.
Canada: Lange Medical Publication.
Karsinah, Lucky, H. M., Suharto, Mardiastuti, H. M., 1994, Batang Negatif Gram
dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Bina Aksara.

Khan, S., Miah, R. A., Haque, S., & Naheen, C. R. 2014. Comparison Of Results
Obtained By Widal Agglutination Test & Polymerase Chain Reaction
Among Clinically Suspected Typhoid Fever Cases. Bangladesh Journal of
Physiology and Pharmacology, 30(2), pp. 46-50.
Madhu,Gandarajapura Nagaraj, Shankarappa Srinivasa, Kadahalli Lingegowda
Ravikumar ,Kuralayanapalya Puttahonnappa Suresh. 2014. A comparative
clinical study of effi cacy of microimmuno assay with WIDAL-test in enteric
fever in children. Journal of the Scientific Society 41. pp. 114-117.
Olopoenia, L.A., & King, A.L. 1999. Widal Aglutination Test – 100 Years Later :
Still Plaqued by Controversi. Washington: Howard University.
Sabir, M., Efendi, A., Rahman, & Hatta, M. 2015. Variasi Genetik dan Faktor Risiko
Gen Flagellin Salmonella typhii pada Demam Tifoid Akut dan Karier di
Sulawesi Tengah. Jurnal Kesehatan Tadulako. 1(1), pp. 70-84.

Satwika, A. A. P., A.A. Wiradewi, Lestari. 2013. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal
dibandingkan dengan Tes IGM Salmonella typii sebagai Baku Emas pada
Pasien Suspect demam tifoid dirumah Sakit Surya Husadha pada Bulan Januari
sampai dengan Desember 2013. Jurnal ilmu kedokteran. 1(3), pp. 1-5.
Soenarjo. 1989. Dasar-dasar Imuno Bioreproduksi pada Hewan. Purwokerto:
Fakultas Peternakan Unsoed.
Sudoyo, A. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Volk & Wheeler. 1984. Mikrobiologi Dasar. Edisi Kelima Jilid I. Jakarta:
Erlangga.

Wardhani, P., Prihatini, & Probohoesodo, M. Y. 2005. Kemampuan Uji Tabung


Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal.Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory, 12 (1), pp. 31-37.

Anda mungkin juga menyukai