Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asuransi kesehatan swasta memainkan peran besar dan

meningkat di seluruh dunia. Pengalaman internasional dan

menunjukkan bahwa peran asuransi kesehatan swasta signifikan di

negara-negara dengan disparitas tingkat pendapatan dan struktur

sistem kesehatan yang sangat tinggi. Pada negara-negara dengan

tingkat pengeluaran pribadi yang sangat tinggi, para pembuat

kebijakan menyadari peran asuransi kesehatan swasta dalam sistem

kesehatan mereka dan mengatur sektor ini dengan tepat sehingga

mendukung tujuan tercapainya cakupan universal dan ekuitas (Sekhri,

2014).

Bagaimana Peran Asuransi Kesehatan Swasta dalam

Kebijakan Kesehatan Negara Berkembang. Pengalaman menunjukkan

bahwa sistem asuransi kesehatan swasta yang buruk memang bisa

memperparah ketidaksetaraan, menyediakan cakupan hanya untuk

muda dan sehat, dan menyebabkan eskalasi biaya Namun, ketika

diatur dengan baik, asuransi kesehatan swasta dapat memainkan peran

positif dalam meningkatkan akses dan pemerataan di banyak negara.

Akhirnya, asuransi kesehatan swasta terus menjadi penting bahkan di

negara-negara di mana cakupan universal telah dicapai. Peran


Asuransi swasta akan melengkapi system public karena mereka

berkembang. (Sekhri, 2014)

Sejak diberlakukannya Undang Undang No. 24 tahun 2011

tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) maka Indonesia

mengalami reformasi dalam pembiayaan Kesehatan meskipun

demikian kebijakan ini tetap memberikan peluang kepada Asuransi

Komersial untuk bersinergi melaksanakan JKN sebagai mitra dengan

melaksanakan skema Coordination of Benefit (COB).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per 31 Desember

2013, jumlah perusahaan perasuransian yang memiliki izin usaha

untuk beroperasi di Indonesia adalah 400 perusahaan, terdiri atas 140

perusahaan asuransi dan reasuransi, dan 260 perusahaan penunjang

asuransi. Jumlah premi bruto industri asuransi padatahun 2013

mencapai Rp193,06 triliun, meningkat 9,76% dari angka tahun

sebelumnya Rp 175,89 triliun. Datam lima tahun terakhir,

pertumbuhan rata-rata premi bruto adalah sekitar 16,3%.

Hwang dan Greenford (2005) menunjukkan bahwa

pertumbuhan industri perasuransian di China memberikan kontribusi

yang sangat signifikan terhadap perkembangan ekonomi makro negara

tersebut. Menurut hasil penelitian Beck dan Levine (2004), negara-

negara yang memiliki tingkat pertumbuhan industriyang tinggi,

asuransi berpengaruh secara positif terhadap faktor produksi,

tabungan dan akumulasi modal investasi. Bukti lain pentingnya peran


industri asuransi juga ditunjukkan oleh Feyen et al (2011) yang

melakukan pengujian dan analisis antar negara (cross country

analysis) tentang kontribusi industri asuransi terhadap perkembangan

perekonomian 15 negara Eropa. Hasil studi Ward dan Zurbruegg

(2002) di negara-negara yang tergabung dalam Organization for

Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan

bahwa, terdapat hubungan kausalitas yang signifikan antara

pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan asuransi.

Di Australia, sejak diperkenalkannya asuransi kesehatan

masyarakat di pertengahan tahun 1980-an, proporsi masyarakat

Australia yang dijamin oleh asuransi komersial mengalami penurunan

sehingga pemerintah Australia membuat kebijakan pada tahun 1990-

an dengan memberikan subsidi premi sebesar 30% untuk tetap

menaikkan proporsi asuransi komersial(Stavrunova, Yerokhin, 2014).

Berbeda dengan Di Uganda, setelah skema)National Health Insurance

(NHI) yang bersifat wajib diterapkan maka 44% pekerja dan 65%

pemberi kerja akan meninggalkan asuransi komersial untuk beralih ke

NHI karena potensi kerjasama dan saling melengkapi antara keduanya

tidak mungkin terjadi (Zikusooka, et al, 2009)

Penelitian di Ghana menunjukkan bahwa 61,1% responden saat

ini sedang terdaftar di NHIS, 23,9% tidak diperpanjang asuransi

mereka setelah mendaftar pemerintah dan 15% belm pemah terdaftar.

Alasan adalah kualitas layanan yang buruk (58%), keterbatasan


financial (49%) dan provider (23%). Jenis kelamin, status perkawinan,

agama dan persepsi status kesehatan responden secara signifikan

mempengaruhi keputusan mereka untuk mendaftarkan diri dan tetap

NHIS (Boateng, Awunyor-Vitor, 2013).

Pengenalan Undang-Undang Asuransi Kesehatan (HIA) pada

tahun 2006 merupakan langkah penting menuju peraturan persaingan

datam sistem kesehatan Belanda. Pilihan asuransi merupakan

prasyarat penting untuk efisiensi datam sistem kesehatan berdasarkan

peraturan tersebut. Selain asuransi dasar yang bersifat wajib, sekitar

90% dari penduduk Belanda memiliki asuransi sukarela. Penanggung

dapat menerapkan risk rating dan seleksi risiko asuransi sukarela,

tetapi tidak untuk asuransi dasar. Karena hampir semua perusahaan

asuransi Belanda menawarkan asuransi dasar dan asuransi sukarela

sebagai produk bersama, pilihan konsumen perusahaan asuransi untuk

asuransi dasar dapat dibatasi oleh asuransi sukarela (Due imelinck,

van de Ven, 2014).

Pada era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), perusahaan

asuransi komersial ikut bersinergi datam mensukseskan pelaksanaan

JKN dengan menjadi mitra dan melakukan koordinasi manfaat atau

Coordination Of Benefit (COB) serta telah dibuktikan dengan

ditandatangani kesepakatan bersama antara PT ASKES (Persero)

dengan AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia) dan AAUI (Asosiasi

Asuransi Umum Indonesia) No 260/SPK/1113 jo. No. 774/AAJI/2013


jo. No. 02/Moll/AAUI-ASKES/2013 tentang Koordinasi Manfaat

dalam Implementasi Jaminan Sosial Bidang Kesehatan pada tanggal

14 November 2013.

Industri asuransi menjadi salah satu pilar dalam pertumbuhan

ekonomi menurut data dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia Tahun

2015, Maka di Indonesia jumlah masyarakat yang memiliki polis

private health insurance di Indonesia cukup besar, tetapi pada periode

implementasi JKN jumlah tertanggung dan premi cenderung

mengalami penurunan.

Tabel 1. Data Kepesertaan Private Health Insurance di

Indonesia

Tahun
Parameter Tahun Tahun

2012 2013 2014

Total Tertanggung 53.402. 41.659.33 40.436. 40.420

(orang) 017 5 925 .163

Total Premi (dalam


21.581. 18.811.13 19.983. 10.595
jutaan
789 8 331 .239

rupiah)

Total Klaim (dalam


5.998.6 6.124 7.109.8 4.043.
jutaan
55 .697 37 778

rupiah)

Catatan: Tahun 2015 data realisasi sampai dengan Bulan Juni 2015
Sumber :Data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia

Tahun 2015.

Ada 19 perusahaan asuransi jiwa dan 11 perusahaan asuransi

umum yang telah melakukan koordinasi manfaat dengan BPJ S

kesehatan. Koordinasi manfaat adalah suatu proses koordinaasi,

pelayanan kesehatan diantara dua atau lebih asuradur yang menjamin

orang yang sama, tujuannya untuk mencegah terjadinya Pembayaran

yang berlebih dari biaya yang harus dibayarkan kepada provider atau

tertanggung. Koordinasi manfaat atau coordination of benefit (COB)

antara BPJS Kesehatan dengan asosiasi asuransi, memiliki peran

ganda. selain, dapat dijadikan sebagai sarana sosialisasi program JKN,

kalangan asuransi swasta diijinkankan memasarkan produk kesehatan

itu.

Intinya, koordinasi manfaat berlaku apabila peserta BPJS

Kesehatan membeli asuransi kesehatan tambahan dari Penyelenggara

Program Asuransi Kesehatan Tambahan atau badan penjamin lainnya

yang notabene asuransi komersial yang bekerja sama dengan BPJS

Kesehatan. Koordinasi manfaat yang diperoleh peserta BPJS

Kesehatan tidak melebihi total jumlah biaya pelayanan kesehatannya

artinya mempunyai dua asuransi tidak menyebabkan peserta

mendapatkan keuntungan dari sakit yang dideritanya. Koordinasi

manfaat yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan adalah pelayanan


kesehatan yang sesuai kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan

asuransi komersial(Samosir, 2014).

Peraturan Presiden nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan

Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang

Jaminan Kesehatan, pada pasal


24 dimana peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih

tinggi dari haknya dapat mengikuti asuransi kesehatan tambahan.

Selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya

atas kelas yang lebih tinggi dari haknya dapat dibayar oleh peserta

yang bersangkutan , Pemberi kerja, atau Asuransi kesehatan

tambahan. Dijelaskan datam Peraturan Direksi BPJS nomor 04 tahun

2014 pada pasal 1 ayat 2 bahwa BPJS Kesehatan merupakan penjamin

utama atas program jaminan kesehatan.

Permasalahan yang terjadi pada koordinasi manfaat program

jaminan kesehatan adalah mekanisme pelayanan yang meliputi sistem

rujukan berjenjang. sistem rujukan berjenjang diberlakukan oleh BPJS

Kesehatan tujuannya untuk memastikan bahwa kasus yang dirujuk

adalah benar-benar diperlukan secara medis dan ditentukan oleh

dokter sehingga, bukan merupakan keinginan sendiri dari pasien

(tanpa indikasi medis) karena pelayanan kesehatan yang diberikan

tanpa indikasi medis adalah salah satu pelayanan yang tidak dijamin

BPJS Kesehatan. Fasilitas kesehatan tingkat pertama tersebut akan


merujuk ke rnmah sakit yang dituju dengan jenjang diatasnya. peserta

pemilik duajaminan kesehatan

BPJS Kesehatan dan asuransi komersial tidak dapat langsung

mengawinkan manfaat dari kedua jaminan tersebut. Untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dituju dan

asuransi komersial, peserta koordinasi manfaat tidak bisa memilih

rumah sakit sesuai dengan keinginannya. Selain permasalahan sistem

rujukan dan terbatasnya fasilitas kesehatan yang melayani peserta

koordinasi manfaat, ada permasalahan double cost yang dikeluarkan

oleh pihak perusahaan dimana perusahaan harus membayar premi dua

asuransi bagi karyawannya namun manfaat yang didapatkan hanya

satu.

Sesuai dengan prinsip koordinasi manfaat BPJS Kesehatan,

koordinasi manfaat yang diperoleh peserta tidak melebihi total jumlah

biaya pelayana kesehatannya artinya jika jumlah biaya perawatan

yang diklaim rumah sakit Iebih besar dari tarif Indonesia Case Based

Groups (Ina CBG's), asuransi tambahan yang akan membayar

selisihnya namun jika tidak melebihi dari tarif Ina CBG maka tidak

akan ada pembayaran dari asuransi tambahan sebagai penjamin kedua.

Salah satu contoh asuransi komersial yang telah melakukan koordinasi

Anda mungkin juga menyukai