Anda di halaman 1dari 15

Pengelolaan Sumber Daya Alam Rawa -

oleh: M.Madsalim
Rabu, 18 Agustus 2010
Pembagian Rawa dan hidrotopografi

IV Pembagian Rawa menurut kejadiannya beserta lokasinya dan penjelasan tentang


hidrotopografi.

Secara alamiah genangan air yang terjadi pada lahan rawa disebabkan oleh :
1) Air hujan
2) Pengaruh luapan pasang air laut
3) Luapan banjir dari arah hulu sungai
4) Air bawah tanah
Keempat faktor tersebut diatas dapat berperan secara bersamaan, maupun
sendiri-sendiri .
Berdasarkan keempat faktor tersebut pengertian lahan rawa dapat dibagi menjadi
dua jenis :
1) (Lahan ) rawa pasang surut
2) (Lahan) rawa non pasang surut
4.1 Rawa Pasang Surut (lihat lampiran 3)

Yang dimaksud dengan rawa pasang surut adalah rawa yang terletak pada suatu kawasan
rendah ( low lying land) yang dipengaruhi oleh gerakan pasang surutnya air laut.
Jenis rawa pasang surut dapat dibagi menjadi 4 katagori berdasarkan ketinggian
hidrotopografinya yaitu :

a. Katagori A
Lahan yang terluapi lebih dari 4 a 5 kali per siklus pasang purnama, baik pada musim hujan
maupun musim kemarau.

b. Katagori B
Lahan yang terluapi lebih dan 4 a 5 kali per siklus pasang purnama pada musim hujan saja.

c. Katagori C
Lahan yang terluapi kurang dari 4 a 5 kali per siklus pasang purnama pada musim hujan saja.
Pengaruh pasang surut hanya pada air tanahnya saja ( di daerah perakaran).

d. Katagori D
Lahan yang terletak lebih dari 0,50 m di atas pasang tertinggi musim hujan yang kurang dari
4 a 5 kali per siklus pasang purnama pada musim hujan. Lahan tak pernah terlampaui oleh
muka air pasang. Tak ada pengaruh pasang pada air tanah.
Untuk diketahui bahwa keterluapan lahan-lahan tersebut di atas pada musim kemarau dan
musim hujan tak tetap. Karenanya lahan dibagi menurut kelas irigasi pasang surutnya, yaitu :
Catatan :
Kelas I = > 4 – 5 kali terluapi per siklus pasang purnama
Kelas II = < 4 – 5 kali terluapi per siklus pasang purnama

4.2 Rawa non pasang surut / rawa lebak (lihat lampiran 4)

Yang dimaksud dengan lahan rawa non pasang surut adalah rawa yang terletak pada suatu
kawasan tanah rendah (low lying land), dan selalu atau secara periodik tergenang air baik
yang berasal dari hujan, akibat luapan banjir air sungai maupun air bawah tanah.
Berdasarkan tingkat ketinggian hidrotopografinya, maka kawasan rawa jenis ini memiliki
perbedaan tingkat kepekaan terhadap resiko genangan air yang karenanya dibagi dalam
katagori (golongan) sebagai berikut :
1) Lahan rawa dengan elevasi tertinggi disebut rawa bagian tinggi atau lebak pematang ,
yaitu lahan berelevasi pada kedalaman lebih kecil dari 0,50 m a 0,60 m di bawah muka air
tertinggi (dengan lama genangan kurang dari ± 0 s/d ± 3 bulan).
2) Lahan rawa dengan elevasi pertengahan yang disebut rawa bagian tengah atau lebak
pertengahan, yaitu lahan yang berelevasi pada kedalaman diantara 0,50 m a 0,60 m s/d 1,00
m a 1,20 m (dengan lama genangan ± 3 bulan s/d 6 bulan)
3) Lahan rawa dengan elevasi terendah yang disebut rawa bagian dalam atau lebak dalam,
yaitu lahan yang berelevasi pada kedalaman lebih dalam dari 1,00 m a1,20 m. di bawah muka
air tertinggi. (dengan lama genangan lebih dari ± 6 bulan).

4.3 Hidrotopografi (lihat lampiran-lampiran no. 3;4;22;26)

a Pengertian

Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan terhadap elevasi muka air yang
berfungsi sebagai elevasi muka air referensi.
Karenanya berdasarkan pengertian di atas, maka untuk :

Lahan rawa pasang surut, pengertian hidrotopografi diterjemahkan sebagai berikut :


Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan terhadap elevasi muka air
pasang surut di saluran terdekat (saluran tertier dan bukan sungai / saluran primer / saluran
sekunder) yang berfungsi sebagai elevasi muka air referensi.

Lahan rawa non pasang surut, pengertian hidrotopografi diterjemahkan sebagai berikut :
Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan terhadap elevasi muka air
tertinggi rawa non pasang surut (Muka Air Tertinggi = M.A.T.) yang berfungsi sebagai
elevasi muka air referensi.

• Manfaat hidrotopografi

Hidrotopografi berguna untuk informasi / petunjuk apakah suatu lahan dapat diairi atau tidak.

• Perubahan klasifikasi hidrotopografi sesuatu lahan

Akibat terjadinya penurunan muka tanah, maka elevasi lahan dapat berubah, sehingga
klasifikasi hidrotopografinya juga berubah.
Begitu juga perubahan dapat terjadi akibat perubahan elevasi muka air yang menjadi elevasi
referensi.
Faktor-faktor yang menentukan keadaan hidrotopografi di lapangan berbeda antara rawa
pasang surut dan rawa non pasang surut. Perbedaannya sebagai berikut :

a) Untuk rawa pasang surut


1. keadaan elevasi muka air pasang surut
2. peredaman fluktuasi pasang di saluran berdasarkan :
o dimensi penampang saluran
o kondisi pemeliharaan saluran
o panjang saluran
o adanya peluapan pasang yang menyimpang dari biasanya.
3. terdapatnya bangunan pengendali yang ukurannya lebih kecil dari saluran.
4. curah hujan setempat (jika tanggul dan tanahnya sudah basah, maka air pasang lebih
mudah mengalir dan menembus lahan yang kering).
5. elevasi muka tanah di lapangan yang sewaktu-waktu dapat berubah karena :
o penurunan muka tanah akibat oksidasi tanah organik.
o Perataan permukaan tanah pada lahan dan pembuatan surjan, kolam ikan dan lain
sebagainya.

b) Untuk rawa non pasang surut


1. keadaan elevasi muka air tertinggi (MAT).
2. keadaan elevasi muka tanah di lapangan yang sewaktu-waktu dapat berubah karena :
o penurunan muka tanah akibat oksidasi tanah organik.
o Penataan permukaan tanah pada lahan dan pembuatan surjan , kolam ikan dan lain
sebagainya.
Follow:
RSS
Twitter
suharnojhonblog
pasang surut

 Home
 About
 Uncategorized

pasang surut
March 9, 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laut adalah bagian dari bumi kita yang tertutup oleh air asin. Kata laut sudah dikenal sejak
dulu kala oleh kita dan bahkan oleh bangsa-bangsa di beberapa Negara di Asia Tenggara
seperti Filipina, Malaysia, Thailand, Singapura dan mungkin beberapa suku bangsa lain di
kawasan ini. Laut lepas yang dibatasi oleh benua-benua kita kenal sebagai samudera.
Lautan telah lama dikenal sebagai salah satu ekosistem yang paling besar, paling kompleks
dan paling dinamis di dunia. Terdapat berbagai macam interaksi antara faktor-faktor
penyusun komponen lingkungan laut yang berlangsung sangat cepat dan terus menerus
sehingga sangat menentukan kondisi ekosistem yang ada di lingkungan perairan tersebut.
Lebih dari 80% air yang yang berada di alam merupakan air laut. Air laut menentukan iklim
dan kehidupan di bumi. Sifat dari lingkungan kelautan adalah selalu berubah dan dinamik.
Kadang-kadang perubahan ini berlangsung dalam waktu yang relatif cepat maupun lambat.
Cepat atau lambatnya perubahan ini sama-sama mempunyai pengaruh, yakni kedua sifat
perubahan tersebut akan mengubah intensitas faktor-faktor lingkungan. Perubahan apapun
yang terjadi ada yang akan berdampak positif baik bagi suatu kehidupan dan negatif bagi
kehidupan yang lain. Karena terus berubahnya lingkungan, maka organisme yang menempati
kemungkinan juga akan berubah dan dapat merusak ekosistem tersebut. Faktor-faktor
lingkungan fisik yang mempengaruhi perairan laut adalah gerakan air, salinitas suhu dan
cahaya. Salah satu gerakan air laut yang membawa pengaruh besar bagi ekosistem laut adalah
pasang surut.
Pasang surut (pasut) merupakan salah satu gejala laut yang besar pengaruhnya terhadap
kehidupan biota laut, khususnya di wilayah pantai. Pasut adalah gerakan naik turunnya
permukaan laut secara beriramayang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. Bumi
berputar bersama kolom air di permukaannya dan menghasilkan dua kali pasang dan dua kali
surut dalam 24 jam di banyak tempat di bumi.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dianggap sangat penting untuk menyusun
makalah mengenai Pasang Surut Air Laut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih jelas
proses terjadinya pasang surut tersebut.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang terdapat dalam penyusunan makalah ini adalah
1. Bagaimana proses terjadinya pasang surut di laut?
2. Jelaskan faktor yang menyebabkan terjadinya pasang surut!
3. Jelaskan tipe-tipe pasang surut yang terjadi di perairan laut!
4. Bagaimana pengaruh pasang surut terhadap kehidupan organism di dalam perairan laut?

C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses terjadinya pasang surut di perairan air laut.
2. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya pasang surut.
3. Untuk mengetahui tipe-tipe pasang surut yang terjadi di perairan laut Indonesia khususnya.
4. Untuk memahami pengaruh pasang surut terhadap kehidupan organism yang hidup di
perairan laut.

D. Manfaat
Manfaat yang ingin diperoleh setelah menyusun makalah ini adalah:
1. Agar memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai fenomena terjadinya pasang
surut.
2. Agar memberikan kita informasi bahwa pasang surut memiliki pembagian-pembagian lagi.
3. Agar memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada kita pengaruh pasang surut
terhadap organism, sehingga kita lebih peduli terhadap lingkungan perairan lau Indonesia.
4. Melatih mahasiswa untuk menyusun suatu kariya tulis ilmiah.

BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian Pasang Surut
Menurut Nontji (2005), pasang surut adalah gerakan naik turunnya permukaan laut secara
berirama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. Matahari mempunyai massa
27 juta kali lebih besar dari massa bulan, tetapi jaraknya pun sangat jauh dari bumi (rata-rata
149,6 juta km). sedangkan buln, sebagai satelit kecil, jaraknya sangat dekat ke bumi (rata-rata
381.160 km). Dalam mekanika alam semesta, jarak lebih menentukan daripada massa,
sehingga bulan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap terjadinya pasang surut. Gaya
tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan
(bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh
deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari.
Menurut Pariwono (1989), fenomena pasang surut diartikan sebagai naik turunnya muka laut
secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan
terhadap massa air di bumi. Sedangkan menurut Dronkers (1964) pasang surut laut
merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang
diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda
astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat
diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil.

B. Teori dan Faktor Penyebab Pasang Surut


1. Teori kesetimbangan Equilibrium Theory)
Teori kesetimbangan pertama kali diperkenalkan oleh Sir Isaac Newton (1642-1727). Teori
ini menerangkan sifat-sifat pasut secara kualitatif. Teori terjadi pada bumi ideal yang seluruh
permukaannya ditutupi oleh air dan pengaruh kelembaman (Inertia) diabaikan. Teori ini
menyatakan bahwa naik-turunnya permukaan laut sebanding dengan gaya pembangkit pasang
surut (King, 1966). Untuk memahami gaya pembangkit passng surut dilakukan dengan
memisahkan pergerakan sistem bumi-bulan-matahari menjadi 2 yaitu, sistem bumi-bulan dan
sistem bumi matahari.
Pada teori kesetimbangan bumi diasumsikan tertutup air dengan kedalaman dan densitas yang
sama dan naik turun muka laut sebanding dengan gaya pembangkit pasang surut atau GPP
(Tide Generating Force) yaitu Resultante gaya tarik bulan dan gaya sentrifugal, teori ini
berkaitan dengan hubungan antara laut, massa air yang naik, bulan, dan matahari. Gaya
pembangkit pasut ini akan menimbulkan air tinggi pada dua lokasi dan air rendah pada dua
lokasi (Gross, 1987).
Teori tersebut akan benar jika digunakan anggapan seluruh permukaan bumi tertutup merata
oleh air laut (equilibrium theory), jika hanya ada pengaruh bulan saja atau matahari saja,
tetapi tidak pengaruh keduannya secara bersamaan dan jika bulan atau matahari mempunyai
orbit yang benar-benar berupa lingkaran dan orbitnya tepat di atas khatulistiwa.Tetapi pada
kenyataannya anggapan tersebut tidak benar. Karena laut tidak meliputi bumi secara merata
tetapi terputus oleh benua dan pulau. Topografi dasar laut tidak rata mendatar tetapi sangat
bervariasi dari palung yang dalam, gunung bawah laut sampai paparan yang luas dan
dangkal. Demikian pula ada selat yang sempit dan panjang atau teluk berbentuk corong
dengan dasar melandai. Hal tersebut menimbulkan penyimpangan dari kondisi yang ideal dan
menyebabkan ciri-ciri pasang surut yang berbeda-beda dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Selain itu posisi kedudukan bulan dan matahari dalam orbit selalu berubah relatif terhadap
bumi. Apabila bulan dan matahari berada kurang lebih pada satu garis lurus dengan bumi,
seperti pada saat bulan muda atau bulan purnama maka gaya tarik keduanya akan saling
memperkuat. Dalam keadaan demikian terjadi pasang surut purnama (spring tide) dengan
tinggi air yang maksimum melebihi pasang biasa. Sebaliknya surutnya sangat rendah hingga
lokasi dengan pantai yang landai bisa menjadi kering sampai ke laut. Tetapi jika bulan dan
matahari membentuk sudut siku-siku terhadap bumi maka gaya tarik keduanya akan saling
meniadakan. Akibatnya perbedaan tinggi air antara pasang dan surut kecil, keadaan ini
dikenal dengan pasang perbani (neap tide).

Keterangan:
(a) Bulan menimbulkan sebuah tonjolan di bagian bumi yang terdekat sehingga gaya gravitasi
lebih besar dari pada gaya sentrifugal yang dinetralkan. Di sisi yang berlawanan, gaya
sentrifugal lebih kuat dan menetralkan gaya gravitasi.
(b) Posisi bulan dan matahari pada pasang perbani dan pasang purnama (Nybakken, 1993. hal
221).

2. Teori Pasut Dinamik (Dynamical Theory)


Pond dan Pickard (1978) menyatakan bahwa dalam teori ini lautan yang homogen masih
diasumsikan menutupi seluruh bumi pada kedalaman yang konstan, tetapi gaya-gaya tarik
periodik dapat membangkitkan gelombang dengan periode sesuai dengan konstitue-
konstituennya. Gelombang pasut yang terbentuk dipengaruhi oleh GPP, kedalaman dan luas
perairan, pengaruh rotasi bumi, dan pengaruh gesekan dasar. Teori ini pertama kali
dikembangkan oleh Laplace (1796-1825). Teori ini melengkapi teori kesetimbangan sehingga
sifat-sifat pasut dapat diketahui secara kuantitatif. Menurut teori dinamis, gaya pembangkit
pasut menghasilkan gelombang pasut (tide wive) yang periodenya sebanding dengan gaya
pembangkit pasut. Karena terbentuknya gelombang, maka terdapat faktor lain yang perlu
diperhitungkan selain GPP.
Menurut Defant(1958), faktor-faktor tersebut adalah :
a. Kedalaman perairan dan luas perairan
b. Pengaruh rotasi bumi (gaya Coriolis)
c. Gesekan dasar
Rotasi bumi menyebabkan semua benda yang bergerak di permukaan bumi akan berubah
arah (Coriolis Effect). Di belahan bumi utara benda membelok ke kanan, sedangkan di
belahan bumi selatan benda membelok ke kiri. Pengaruh ini tidak terjadi di equator, tetapi
semakin meningkat sejalan dengan garis lintang dan mencapai maksimum pada kedua kutub.
Besarnya juga bervariasi tergantung pada kecepatan pergerakan benda tersebut.
Menurut Mac Millan (1966) berkaitan dengan dengan fenomeana pasut, gaya Coriolis
mempengaruhi arus pasut. Faktor gesekan dasar dapat mengurangi tunggang pasut dan
menyebabkan keterlambatan fase (Phase lag) serta mengakibatkan persamaan gelombang
pasut menjadi non linier semakin dangkal perairan maka semaikin besar pengaruh
gesekannya.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pasang surut berdasarkan teori kesetimbangan


adalah rotasi bumi pada sumbunya, revolusi bulan terhadap matahari, revolusi bumi terhadap
matahari. Sedangkan berdasarkan teori dinamis adalah kedalaman dan luas perairan,
pengaruh rotasi bumi (gaya coriolis), dan gesekan dasar. Selain itu juga terdapat beberapa
faktor lokal yang dapat mempengaruhi pasut disuatu perairan seperti, topogafi dasar laut,
lebar selat, bentuk teluk, dan sebagainya, sehingga berbagai lokasi memiliki ciri pasang surut
yang berlainan (Wyrtki, 1961).
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek
sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung
dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil
dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari
dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak
matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan
menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan
pasang surut ditentukan oleh deklinasi, yaitu sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang
orbital bulan dan matahari (Priyana,1994)
Bulan dan matahari keduanya memberikan gaya gravitasi tarikan terhadap bumi yang
besarnya tergantung kepada besarnya masa benda yang saling tarik menarik tersebut. Bulan
memberikan gaya tarik (gravitasi) yang lebih besar dibanding matahari. Hal ini disebabkan
karena walaupun masa bulan lebih kecil dari matahari, tetapi posisinya lebih dekat ke bumi.
Gaya-gaya ini mengakibatkan air laut, yang menyusun 71% permukaan bumi,
menggelembung pada sumbu yang menghadap ke bulan. Pasang surut terbentuk karena rotasi
bumi yang berada di bawah muka air yang menggelembung ini, yang mengakibatkan
kenaikan dan penurunan permukaan laut di wilayah pesisir secara periodik. Gaya tarik
gravitasi matahari juga memiliki efek yang sama namun dengan derajat yang lebih kecil.
Daerah-daerah pesisir mengalami dua kali pasang dan dua kali surut selama periode sedikit di
atas 24 jam (Priyana,1994)

C. Tipe-Tipe Pasang Surut


Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Tipe pasut ditentukan oleh frekuensi air
pasang dengan surut setiap harinya. Hal ini disebabkan karena perbedaan respon setiap lokasi
terhadap gaya pembangkit pasang surut. Menurut Romimohtarto dan Juwana (2007), dilihat
dari pola gerakan muka lautnya, pasang surut di Indonesia dapat dibagi menjadi empat jenis
yaitu
1. Pasut semi diurnal atau pasut harian ganda (dua kali pasang dan dua kali surut dalam 24
jam), Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. misalnya di perairan selat
Malaka;

Gambar 2. Pasang semi diurnal

2. Pasut diurnal atau pasut harian tunggal (satu kali pasang dan satu kali surut dalam 24 jam),
Periode pasangsurut adalah 24 jam 50 menit, misalnya di sekitar selat Karimata;
Gambar 3. Pasang diurnal
3. Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal)
merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi
terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan
waktu, ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.
4. Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal)
merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi
terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang
berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur

Gambar 4. Pasang Campuran

Daerah paling atas pantai hanya terendam saat pasang naik tinggi. Daerah ini dihuni oleh
beberapa jenis ganggang, moluska, dan remis yang menjadi konsumsi bagi kepiting dan
burung pantai. Daerah tengah pantai terendam saat pasang tinggi dan pasang rendah. Daerah
ini dihuni oleh ganggang, porifera, anemon laut, remis dan kerang, siput herbivora dan
karnivora,kepiting, landak laut, bintang laut, dan ikan-ikan kecil. Daerah pantai terdalam
terendam saat air pasang maupun surut. Daerah ini dihuni oleh beragam invertebrata dan ikan
serta rumput laut.
Komunitas tumbuhan berturut-turut dari daerah pasang surut ke arah darat dibedakan sebagai
berikut.
1. Formasi pes caprae, dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan
pasir adalah yang tahan terhadap hempasan gelombang dan angin;tumbuhan ini menjalar dan
berdaun tebal. Tumbuhan lainnya adalah Spinifex littorius (rumput angin), Vigna, Euphorbia
atoto, dan Canaualia martina. Lebih ke arah darat lagi ditumbuhi Crinum asiaticum (bakung),
Pandanus tectorius (pandan), dan Scaeuola Fruescens (babakoan)
2. Formasi baringtonia. Daerah ini didominasi tumbuhan baringtonia, termasuk di dalamnya
Wedelia, Thespesia,Terminalia, Guettarda, dan Erythrina. Bila tanah di daerah pasang surut
berlumpur, maka kawasan ini berupa hutan bakau yang memiliki akar napas. Akar napas
merupakan adaptasi tumbuhan di daerah berlumpur yang kurang oksigen. Selain berfungsi
untuk mengambil oksigen, akar ini juga dapat digunakan sebagai penahan dari pasang surut
gelombang. Yang termasuk tumbuhan dihutan bakau antara lain Nypa, Acathus, Rhizophora,
dan Cerbera. Jika tanah pasang surut tidak terlalu basah, pohon yang sering tumbuh adalah
Heriticra, Lumnitzera, Acgicras, dan Cylocarpus.

D. Pengaruh Pasang Surut Terhadap Organisme


Terjadinya pasang surut memberikan pengaruh terhadap kondisi lingkungan perairan.
Misalnya Gerakan air vertikal yang berhubungan dengan naik dan turunnya pasang surut,
diiringi oleh gerakan air horizontal yang disebut dengan arus pasang surut. Permukaan air
laut senantiasa berubah-ubah setiap saat karena gerakan pasut, keadaan ini juga terjadi pada
tempat-tempat sempit seperti teluk dan selat, sehingga menimbulkan arus pasut(Tidal
current). Gerakan arus pasut dari laut lepas yang merambat ke perairan pantai akan
mengalami perubahan, faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah berkurangnya
kedalaman (Mihardja et,. al 1994).
Menurut King (1962), arus yang terjadi di laut teluk dan laguna adalah akibat massa air
mengalir dari permukaan yang lebih tinggi ke permukaan yang lebih rendah yang disebabkan
oleh pasut. Arus pasang surut adalah arus yang cukup dominan pada perairan teluk yang
memiliki karakteristik pasang (Flood) dan surut atau ebb. Pada waktu gelombang pasut
merambat memasuki perairan dangkal, seperti muara sungai atau teluk, maka badan air
kawasan ini akan bereaksi terhadap aksi dari perairan lepas.
Pada daerah-daerah di mana arus pasang surut cukup kuat, tarikan gesekan pada dasar laut
menghasilkan potongan arus vertikal, dan resultan turbulensi menyebabkan bercampurnya
lapisan air bawah secara vertikal. Pada daerah lain, di mana arus pasang surut lebih lemah,
pencampuran sedikit terjadi, dengan demikian stratifikasi (lapisan-lapisan air dengan
kepadatan berbeda) dapat terjadi. Perbatasan antar daerah-daerah kontras dari perairan yang
bercampur dan terstratifikasi seringkali secara jelas didefinisikan, sehingga terdapat
perbedaan lateral yang ditandai dalam kepadatan air pada setiap sisi batas.
Zona intertidal adalah zona littoral yang secara reguler terkena pasang surut air laut,
tingginya adalah dari pasang tertinggi hingga pasang terendah. Didalam wilayah intertidal
terbentuk banyak tebing-tebing, cerukan, dan gua, yang merupakan habitat yang sangat
mengakomodasi organisme sedimenter. Morfologi di zona intertidal ini mencakup tebing
berbatu, pantai pasir, dan tanah basah/wetlands. Pengaruh pasang-surut terhadap organisme
dan komunitas zona intertidal paling jelas adalah kondisi yang menyebabkan daerah intertidal
terkena udara terbuka secara periodik dengan kisaran parameter fisik yang cukup lebar.
Organisme intertidal perlu kemampuan adaptasi agar dapat menempati daerah ini. Faktor-
faktor fisik pada keadaan ekstrem dimana organisme masih dapat menempati perairan, akan
menjadi pembatas atau dapat mematikan jika air sebagai isolasi dihilangkan.
Kombinasi antara pasang-surut dan waktu dapat menimbulkan dua akibat langsung yang
nyata pada kehadiran dan organisasi komunitas intertidal. Pertama, perbedaan waktu relatif
antara lamanya suatu daerah tertentu di intertidal berada diudara terbuka dengan lamanya
terendam air. Lamanya terkena udara terbuka merupakan hal yang sangat penting karena
pada saat itulah organisme laut akan berada pada kisaran suhu terbesar dan kemungkinan
mengalami kekeringan. Semakin lama terkena udara, semakin besar kemungkinan mengalami
suhu letal atau kehilangan air diluar batas kemampuan. Kebanyakan hewan ini harus
menunggu sampai air menggenang kembali untuk dapat mencari makan. Semakin lama
terkena udara, semakin kecil kesempatan untuk mencari makan dan mengakibatkan
kekurangan energi. Flora dan fauna intertidal bervariasi kemampuannya dalam menyesuaikan
diri terhadap keadaan terkena udara, dan perbedaan ini yang menyebabkan terjadinya
perbedaan distribusi organisme intertidal.
Pengaruh kedua adalah akibat lamanya zona intertidal berada diudara terbuka. Pasang-surut
yang terjadi pada siang hari atau malam hari memiliki pengaruh yang berbeda terhadap
organisme. Surut pada malam hari menyebabkan daerah intertidal berada dalam kondisi udara
terbuka dengan kisaran suhu relatif lebih rendah jika dibanding dengan daerah yang
mengalami surut pada saat siang hari.
Pengaruh pasang-surut yang lain adalah karena biasanya terjadi secara periodik maka pasang-
surut cenderung membentuk irama tertentu dalam kegiatan organisme pantai, misalnya irama
memijah, mencari makan atau aktivitas organisme lainnya.
1. Biota pada zona intertidal
Menurut Prajitno, 2009. Biota pada ekosistem pantai berbatu adalah salah satu daerah ekologi
yang paling familiar, habitat dan interaksinya sudah diketahui oleh ilmuan, penelitian
diadakan di pulau cruger yang pantai utaranya merupakan (freshwater) air tawar dan berbatu.
Fauna pada pantai berbatu pulau cruger berkarakteristik dominan pada binatang air tawar.
Sebagian besar berupa Dipterans, Nematodes, Microannelida, Gastropoda,Bivalves dan
Flatworms secara keseluruhan, macroinvertebrate yang ada di pantai ini berasal dari golongan
Tubellaria, Nematoda, Oligochaeta, Gastropoda, Dreissna, Acari, Amphipoda,
Ephemeroptera, Trichoptera, coteoptera, Ceratopogonidae, Chironomidae. Sama seperti
lingkungan air tawar, serangga menjadi hal umum dicruger Island. Serangga yang terdapat
adalah Epheraroptera, Trichoptera, coleoptera dan diptera.
Menurut Nybakken, 1988. Dilingkungan laut khususnya di intertidal. Spesies yang berumur
panjang cenderung terdiri dari berbagai hewan inverbrata.hewan-hewan intertidal dominan
yang menguasai ruang selain Mytilus californianus yang terdapat dalam jumlah banyak di
pesisir pasifik adalah teritip Balanus Cariogus dan Balanus glandula. Dua spesies tersebut
terdapat melimpah di wilayah intertidal walaupun kenyataannya mereka bersaing dengan
M.californianus hal ini menyebabkan pertumbuhan teritip dapat berlangsung dengan baik.
Pisaster Ochraceus merupakan predator kerang yang rakus sehingga secara efektif mencegah
kerang menempati seluruh ruang.
Pantai yang terdiri dari batu-batuan (rocky shore) merupakan tempat yang sangat baik bagi
hewan-hewan atau tumbuhan-tumbuhan yang dapat menempelkan diri pada lapisan ini.
Golongan ini termasuk banyak jenis gastropoda, moluska dan tumbuh-tumbuhan yang
berukuran besar. Dua spesies Uttorina undulata dan tectarius malaccensis, tinggal dan hidup
di bagian batas atas dari pantai di bawahnya berturut-turut ditempati oleh jenis spesies lain
monodonta labio dan Nerita undata. Kemudian oleh cerithium morus dan turbo intercostalis.
Akhirnya pada batas yang paling bawah terdapat lambis-lambis dan trochus gibberula
(Hutabarat, 2008).

2. Pola adaptasi organism intertidal


Bentuk adaptasi adalah mncakup adaptasi structural, adaptasi fisiologi, dan adaptasi tingkah
laku. Adaptasi structural merupakan cara hidup untuk menyesuaikan dirinya dengan
mengembangkan struktur tubuh atau alat-alat tubuh kearah yang lebh sesuai dengan keadaan
lingkungan dan keperluan hidup.
Adaptasi fisiologi adalah cara makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
dengan cara penyesaian proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Adaptasi tingkah laku
adalah respon-respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk perubahan tingkah
laku. (www.zonabawah.co.cc)
Organisme intertidal memilki kemampuan untuk beradaptasi dngan kondisi lingkungan yang
dapat berubah secara signifikan, pola tersebut meliputi:
a. Daya Tahan terhadap Kehilangan air
Organisme laut berpindah dari air ke udara terbuka, mereka mulai kehilangan air. Mekanisme
yang sederhana untuk menghindari kehilangan air terlihat pada hewan-hewan yang bergerak
seperti kepiting dan anemon. Hewan-hewan tersebut memiliki bentuk morfologi seperti
memiliki alat gerak yang baik untuk melakukan pergerakan yang cepat, serta struktur tubuh
yang ditutupi oleh zat kapur yang cukup kuat.

b. Pemeliharaan Keseimbangan Panas


Organisme intertidal juga mengalami keterbukaan terhadap suhu panas dan dingin yang
ekstrim dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktur tubuh untuk menjaga
keseimbangan panas internal. Contoh pada siput dan kerang-kerangan ketika pasang maka
siput tersebut akan mengeluarkan badannya dari cangkang untuk melakukan aktivitas,
sedangkan ketika keadaan surut yang mengakibatkan keberadaan siput tersebut terdedah
dengan mendapatkan suhu lingkungan yang ekstrim, maka tubuhnya akan dimasukkan ke
dalam cangkang, untuk tetap mempertahankan suhu tubuhnya yang stabil.
c. Tekanan mekanik
Gerakan ombak mempunyai pengaruh yang berbeda, pada pantai berbatu dan pada pantai
berpasir. Untuk mempertahankan posisi menghadapi gerakan ombak, organism intertidal
telah membentuk beberapa adaptasi.
d. Pernapasan
Diantara hewan intertidal terdapat kecenderungan organ pernapasan yang mempunyai
tonjolan kedalam rongga perlindungan untuk mencegah kekeringan. Hal ini dapat terlihat
jelas pada berbagai moluska dimana insang terdapat pada rongga mantel yang dilindungi
cangkang. Contoh hewan ini adalah Bivalvia.
e. Cara Makan
Pada waktu makan, seluruh hewan intertidal harusmengeluarkan bagian-bagian berdaging
dari tubuhnya. Karena ituseluruh hewan intertidal hanya aktif jika pasang naik dan
tubuhnyaterendam air. Hal ini berlaku bagi seluruh hewan baik pemakan tumbuhan, pemakan
bahan-bahan tersaring, pemakan detritus maupun predator.
f. Reproduksi
Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau bahkan melekat, sehingga dalam
penyebarannya mereka mmenghasilkan telur atau larva yang terapung bebas sebagai
plankton. Hampir semua organisme mempunyai daur perkembangbiakan yang seirama
dengan munculnya arus pasang surut tertentu, seperti misalnya pada waktu pasang purnama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal,
yaitu:
1. Pasang surut adalah gerakan naik turunnya permukaan laut secara beriramayang
disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari.
2. Teori-teori pasang surut yaitu teori kesetimbangan menerangkan sifat-sifat pasut secara
kualitatif. Teori ini menyatakan bahwa naik-turunnya permukaan laut sebanding dengan gaya
pembangkit pasang surut (King, 1966). Teori pasut dinamika, menurut teori dinamis, gaya
pembangkit pasut menghasilkan gelombang pasut (tide wive) yang periodenya sebanding
dengan gaya pembangkit pasut.
3. Faktor-faktor penyebab terjadinya pasang surut adalah berdasarkan teori kesetimbangan
adalah rotasi bumi pada sumbunya, revolusi bulan terhadap matahari, revolusi bumi terhadap
matahari. Sedangkan berdasarkan teori dinamis adalah kedalaman dan luas perairan,
pengaruh rotasi bumi (gaya coriolis), dan gesekan dasar.
4. Tipe-tipe pasang surut adalah pasut semi diurnal atau pasut harian ganda (dua kali pasang
dan dua kali surut dalam 24 jam); pasut diurnal atau pasut harian tunggal (satu kali pasang
dan satu kali surut dalam 24 jam); campuran keduanya dengan jenis ganda dominan dan
campuran keduanya dengan jenis tunggal dominan.
5. Pengaruh pasang surut terhadap organism perairan laut adalah kombinasi antara pasang-
surut dan waktu dapat menimbulkan bentuk adaptasi yang mencakup adaptasi structural,
adaptasi fisiologi, dan adaptasi tingkah laku.

B. Saran
Saran yang dapat saya ajukan dalam penyusuana makalah ini adalah agar lebih menambah
informasi-informasi atau literature yang terbaru pasang surut. Selanjutnya agar makalah ini
dapat digunakan sebaik mungkin, sebagai sumber tambahan pengetahuan.
Dampak El Nino dan La Nina Terhadap Indonesia
Filed under: Uncategorized — & Komentar
Januari 1, 2010

Indonesia adalah negara maritim, begitulah banyak orang yang mengatakan. Tetapi banyak
orang juga tidak tahu akan kekayaan, kegunaan dan efek dari laut itu sendiri terhadap negara
Indonesia. Mereka hanya tahu laut indonesia itu luas dan indah. Dan sekarang saya ingin
memberi tahu sedikit saja tentang laut di Indonesia yaitu tentang kejadiaan di laut yang bisa
memberi efek yang besar terhadap laut, bahkan sampai daratan di Indonesia. Yaitu El Nino
dan La Nina.

El Nino dan La Nina merupakan gejala yang menunjukkan perubahan iklim. El Nino adalah
peristiwa memanasnya suhu air permukaan laut di pantai barat Peru – Ekuador (Amerika
Selatan yang mengakibatkan gangguan iklim secara global). Biasanya suhu air permukaan
laut di daerah tersebut dingin karena adanya up-welling (arus dari dasar laut menuju
permukaan). Menurut bahasa setempat El Nino berarti bayi laki-laki karena munculnya di
sekitar hari Natal (akhir Desember). Di Indonesia, angin monsun (muson) yang datang dari
Asia dan membawa banyak uap air, sebagian besar juga berbelok menuju daerah tekanan
rendah di pantai barat Peru – Ekuador. Akibatnya, angin yang menuju Indonesia hanya
membawa sedikit uap air sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang.

Gilbart Walker yang mengemukaan tentang El Nino dan sekarang dikenal dengan Sirkulasi
Walker yaitu sirkulasi angin Timur-Barat di atas Perairan Pasifik Tropis. Sirkulasi ini timbul
karena perbedaan temperatur di atas perairan yang luas pada daerah tersebut.

A.)Perairan sepanjang pantai China dan Jepang, atau Carolina Utara dan Virginia, lebih
hangat dibandingkan dengan perairan sepanjang pantai Portugal dan California. Sedangkan
perairan disekitar wilayah Indonesia lebih banyak dari pada perairan disekitar Peru, Chile dan
Ekuador.

B.) Perbedaan temperatur lautan di arah Timur – Barat ini menyebabkan perbedaan tekanan
udara permukaan di antara tempat – tempat tersebut.

C.) Udara bergerak naik di wilayah lautan yang lebih hangat dan bergerak turun di wilayah
lautan yang lebih dingin. Dan itu menyebabkan aliran udara di lapisan permukaan bergerak
dari Timurk-Barat.

Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca global

a) Angin pasat timuran melemah

b) Sirkulasi Monsoon melemah

c) Akumulasi curah hujan berkurang di wilayah Indonesia, Amerika Tengah dan amerika
Selatan bagian Utara. Cuaca di daerah ini cenderung lebih dingin dan kering.

d) Potensi hujan terdapat di sepanjang Pasifik Ekuatorial Tengah dan Barat serta wilayah
Argentina. Cuaca cenderung hangat dan lembab.
Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca Indonesia

Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang,
tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung dari intensitas El Nino tersebut.
Namun karena posisi geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak
seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino.

El Nino pernah menimbulkan kekeringan panjang di Indonesia. Curah hujan berkurang dan
keadaan bertambah menjadi lebih buruk dengan meluasnya kebakaran hutan dan asap yang
ditimbulkannya.

Disektor irigasi, hasil kajian menyebutkan bahwa kondisi beberapa DAS di Indonesia cukup
kritis dan jumlahnya semakin banyak, khususnya di Jawa. Berdasrkan analisis terhadap data
debit minimum dan maksimum dari 52 sungai yang tersebar di Indonesia mulai dari Sabang
sampai Merauke terlihat bahwa jumlah sungai yang debit minimumnya berpotensi untuk
menimbulkan masalah kekeringan meningkat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa daerah
aliran sungai di wilayah Indonesia setelah tahun 1990- banyak yang sudah mengalami
degradasi sehingga adanya penyimpangan iklim dalam bentuk penurunan atau peningkatan
hujan jauh dari normal akan langsung menimbulkan penurunan atau peningkatan yang tajam
dari debit minimum atau debit maksimum (kekeringan hidrologis).

Disektor perikanan dan kelautan, hasil tangkapan ikan pada tahun-tahun el nino juga
dilaporkan menurun. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut ketersediaan pakan bagi ikan
(plankton) juga berkurang. Selain itu banyak terumbu karang yang mengalami keputihan
(coral bleaching) akibat terbatasnya alga yang merupakan sumber makanan dari terumbu
karang karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut. Memanasnya air
laut juga akan menggangu kehidupan jenis ikan tertentu yang sensitif terhadap naiknya suhu
laut. Kondisi ini menyebabkan terjadinya migrasi ikan ke perairan lain yang lebih dingin.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Sri Woro Budiati Harijono,
mengemukakan, dampak El Nino akan dirasakan signifikan di Indonesia hanya dengan satu
syarat, yakni jika suhu permukaan laut Indonesia yang mendingin. Sesuai dengan teori
hukum fisika dasar, angin berembus dari daerah yang bertekanan udara tinggi (lebih dingin)
ke daerah bertekanan udara rendah (lebih panas).

Karena suhu permukaan laut di Pasifik menghangat atau naik yang berarti bertekanan rendah,
maka jika daerah-daerah di sekitar Pasifik (termasuk Indonesia) memiliki suhu muka laut
yang dingin, maka angin termasuk uap air dari Indonesia akan ditarik ke Pasifik. Akibatnya
tentu saja bisa diketahui, yakni terjadinya musim kemarau yang sangat kering.

Namun, dampak ini tidak akan berlaku, jika suhu permukaan laut Indonesia juga
menghangat. “Jadi kalau dua-duanya menghangat, berarti tidak terjadi perbedaan tekanan
udara. Jadi, meskipun El Nino kuat, tidak akan berpengaruh signifikan untuk Indonesia,”
katanya.

BMKG memprediksi periodidasi kekuatan El Nino. Untuk bulan Juli hingga Agustus 2009,
El Nino masuk kategori lemah, bulan September, Oktober, dan November 2009 kategori
moderate (sedang), dan Desember 2009 sampai Januari 2010, kekuatan El Nino akan
mencapai puncaknya dengan kategori kuat.
La Nina merupakan kebalikan dari El Nino. La Nina menurut bahasa penduduk lokal berarti
bayi perempuan. Peristiwa itu dimulai ketika El Nino mulai melemah, dan air laut yang panas
di pantai Peru – ekuador kembali bergerak ke arah barat, air laut di tempat itu suhunya
kembali seperti semula (dingin), dan upwelling muncul kembali, atau kondisi cuaca menjadi
normal kembali. Dengan kata lain, La Nina adalah kondisi cuaca yang normal kembali
setelah terjadinya gejala El Nino.

Perjalanan air laut yang panas ke arah barat tersebut akhirnya akan sampai ke wilayah
Indonesia. Akibatnya, wilayah Indonesia akan berubah menjadi daerah bertekanan rendah
(minimum) dan semua angin di sekitar Pasifik Selatan dan Samudra Hindia akan bergerak
menuju Indonesia. Angin tersebut banyak membawa uap air sehingga sering terjadi hujan
lebat. Penduduk Indonesia diminta untuk waspada jika terjadi La Nina karena mungkin bisa
terjadi banjir. Sejak kemerdekaan di Indonesia, telah terjadi 8 kali La Nina, yaitu tahun 1950,
1955, 1970, 1973, 1975, 1988, 1995 dan 1999.

Ketika La Nina kolam panas (bagian laut yang suhunya tinggi) bergerak masuk ke arah
Indonesia bagian timur dan demikian juga anginya berhembus lebih kuat ke arah Indonesia
sehingga laut di Indonesia timur meningkat suhunya, hal ini diikuti dengan penguapan yang
lebih banyak dan terjadi konveksi kuat yang membentuk awan hujan (kumulus), sehingga
daerah Indonesia khususnya bagian timur akan curah hujanya di atas normal.
Sebaliknya ketika El Nino kolam panasnya bergerak menjauhi Indonesia sehingga yang
banyak hujan ialah di laut Pasifik, sedangkan daerah Indonesia, khususnya bagian timur
curah hujanya berkurang. Indonesia mengalami kekeringan. Proses El Nino dan La Nina ini
dapat diperlihatkan ada hubunganya dengan aktivitas matahari dan sinar kosmik.

Fenomena La Nina ditandai dengan menurunnya SPL (suhu permukaan laut) di zona Nino
3.4 (anomali negatif) sehingga sering juga disebut sebagai fase dingin. Karena sifatnya yang
dingin ini, kedatangannya juga dapat menimbulkan petaka di berbagai kawasan khatulistiwa,
termasuk Indonesia. Curah hujan berlebihan yang menyertai kedatangan La Nina dapat
menimbulkan banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah di Indonesia. Jadi, dua “lakon” di
panggung Samudera Pasifik ini sama-sama menakutkan. Yang satu menyebar petaka
kekeringan, sementara yang lain memberi ancaman banjir.

Inilah perbedaan kondisi saat La Nina dan saat kondisi Normal

1. Kondisi La Nina

Pada tahun La Nina jumlah air laut bertemperatur rendah yang mengalir di sepanjang Pantai
Selatan Amerika dan Pasifik Timur meningkat. Wilayah Pasifik Timur dan Tengah menjadi
lebih dingin dari Pasifik Barat.
Ketika terjadi La Nina :

 Angin passat Timuran menguat, sehingga massa udara dingin meluas hingga
Samudera Pasifik bagian tengah dan Timur.
 Ini menyebabkan perubahan pola cuaca. Daerah potensi hujan meliputi wilayah
Perairan Barat.

2. Kondisi Normal
Kondisi Suhu Muka Laut pada Kondisi Normal
Pada tahun-tahun normal, Suhu Muka Laut (SST) di sebelah Utara dan Timur Laut Australia
≥28°C sedangkan SST di Samudra Pasifik sekitar Amerika Selatan ±20°C (SST di Pasifik
Barat 8° – 10°C lebih hangat dibandingkan dengan Pasifik Timur).

 Angin di wilayah Samudra Pasifik Ekuatorial (Angin passat Timuran) dan air laut di
bawahnya mengalir dari Timur ke Barat. Arah aliran timuran air ini sedikit berbelok
ke Utara pada Bumi Belahan Utara dan ke Selatan pada Bumi Belahan Selatan.
 Daerah yang berpotensi tumbuh awan-awan hujan adalah di Samudra Pasifik Barat,
wilayah Indonesia dan Australia Utara.

Tidak hanya dampak negatif saja yang ada di La Nina terhadap Indonesia, tetapi juga ada
dampak positifnya.

Dampak positif

Sementara itu, Kepala Ekspedisi Mirai, Dr Keisuke Mizuno,


mengatakan, terjadi penyimpangan cuaca dapat memberi dampak
yang positif bagi sektor perikanan. Karena pada masa itu terjadi
migrasi ikan tuna ke wilayah Indonesia.

Saat La Nina suhu muka laut di barat Samudera Pasifik hingga


Indonesia menghangat. Kondisi ini mendorong ikan tuna dari Pasifik
timur yang dingin bergerak masuk ke kawasan timur Indonesia.
Seperti dikemukakan Dwi Susanto, pakar cuaca BPPT, belum lama
ini, perairan barat Pasifik selama ini diketahui merupakan kawasan
yang memiliki kelimpahan ikan tuna tertinggi, mencapai 70 persen
stok ikan tuna dunia.

Sebaliknya, ketika terjadi El Nino, ikan tuna di Pasifik bergerak ke


timur. Namun, ikan yang berada di Samudera Hindia bergerak masuk
ke selatan Indonesia. Hal itu karena perairan di timur samudera ini
mendingin, sedangkan yang berada di barat Sumatera dan selatan
Jawa menghangat.

Anda mungkin juga menyukai