Hukum Adat
NIM : 030403429
1). Jelaskan bentuk perkawinan pada masyarakat dengan sistem kekeluargaan Matrilineal,
dan jelaskan perbedaannya dengan sistem kekeluargaan yang Parental! Mohon
dikerjakan.
Jawab :
Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari
pihak ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, meskipun pada
dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang
berarti “ibu”, dan linea (bahasa Latin) yang berarti “garis”. Jadi, “matrilineal” berarti mengikuti
“garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu”. Sementara itu matriarkhat berasal dari dua kata
yang lain, yaitu mater yang berarti “ibu” dan archein (bahasa Yunani) yang berarti
“memerintah”. Jadi, “matriarkhi” berarti “kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak
perempuan”. Sistem adat matrilineal yang berada di Indonesia terdapat pada masyarakat
Minangkabau, Sumatera.
Dalam sistem keturunan matrilineal/matriahat di Minangkabau, ayah bukanlah anggota dari garis
keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga,
yang tujuannya terutama untuk memberi keturunan. Dia disebut samando atau urang samando.
Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya di mana dia berfungsi sebagai anggota
keluarga laki-laki dalam garis-keturunan itu. Secara tradisi, setidak-tidaknya, tanggung jawabnya
berada di situ. Dia adalah wali dari garis-keturunannya dan pelindung atas harta benda garis
keturunan itu sekalipun dia harus menahan dirinya dari menikmati hasil tanah kaumnya oleh
karena dia tidak dapat menuntut bagian apa-apa untuk dirinya. Tidak pula dia diberi tempat di
rumah orangtuanya (garis ibu/matrilineal) oleb karena semua bilik hanya diperuntukkan bagi
anggota keluarga yang perempuan, yakni untuk menerima suami-suami mereka di malam hari.
Posisi kaum laki-laki yang goyah ini yang memotivasi lelaki Minang untuk merantau.
Perkawinan dalam masyarakat matrilineal tidaklah menciptakan keluarga inti (nuclear family)
yang baru, sebab suami atau isteri masing-masingnya tetap menjadi anggota dari garis keturunan
mereka masing-masing. Sebab itu pengertian tentang keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan
anak-anak sebagai suatu unit tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau oleh
karena dia selalu ternaung oleh sistem garis keturunan ibu yang lebih kuat. Sebagai akibatnya,
anak-anak dihitung sebagai anggota garis keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri
kepada sang ibu serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan itu.
Sistem perkawinan matrilineal di Minangkabau menganut sistem eksogami, yakni mencari jodoh
ke luar lingkungan kerabat matrilineal. Sistem ini tidak mengenal pembayaran “jujur” atau
“kawin jujur” seperti di Tapanuli. Pada saat perkawinan, suami dijemput oleh keluarga
perempuan dengan upacara adat untuk kemudian dibawa ke rumah istri dengan nama “Alek
malapeh marapulai” (adat melepas mempelai). Sistem ini menjadikan perkawinan sebagai urusan
komunal. Mulai dari pencarian pasangan, membuat persetujuan, pertunangan, upacara
perkawinan, bahkan sampai akibat-akibat perkawinan. Sesuai dengan kebersamaan sebagai ciri
khas adat dalam masyarakat komunal, maka rumah tangga menjadi urusan bersama pula. Karena
sistem ini terkait dengan harta pusaka tinggi, maka kedua belah pihak tidak melebur dalam
kerabat pasangannya, tetapi tetap menjadi kerabat kaumnya. Keadaan inilah yang menjadikan
perkawinan eksogami menjadi rapuh. Istri pantang mengeluh kepada suami, sehingga suami
tidak mempunyai beban berat dalam rumah tangganya. Kepemilikan harta oleh perempuan
menjadikan ia berkedudukan sama seperti suaminya.
3). Jelaskan kegunaan atau makna harta perkawinan dalam pemahaman hukum adat
perkawinan!
Jawab:
Dalam sebuah perkawinan, tujuan utamanya adalah membentuk keluarga yang bahagia
dengan hadirnya buah hati. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan komitmen hidup dalam ikatan perkawinan tersebut, dibutuhkan kekayaan duniawi untuk
menunjang kelangsungan hidup mereka sehari-hari bersama anak-anaknya. Kekayaan duniawi
inilah yang disebut harta perkawinan atau benda perkawinan atau harta keluarga ataupun harta
benda keluarga.
Prof. H. Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Perkawinan adat menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami istri selama mereka
terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan
yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil
bersama suami istri, dan barang-barang hadiah. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh prinsip
kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami istri yang
bersangkutan.
Suami dan istri sebagai satu kesatuan beserta anak-anaknya dalam dalam masyarakat adat
dinamakan SOMAH atau SERUMAH (Gezin dalam bahasa Belanda). Sedangkan Kumpulan dari
SOMAH-SOMAH yang merupakan keluarga yang besar disebut KERABAT (Fammilie dalam
bahasa Belanda). Harta kekayaan yang merupakan kekayaan duniawi untuk memenuhi
kebutuhan hidup SOMAH harus dibedakan dengan harta kerabat. Sehingga pada umumnya
diperuntukkan pertama-tama bagi keperluan SOMAH yaitu suami, istri, dan anak-anak untuk
membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari.