Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nurul Fatiha Bakhtiar

NIM : 08161059

REVIEW RAYUAN PULAU PALSU

A. Review Umum
Film “Rayuan Pulau Palsu”, merupakan salah satu film dokumenter karya Sutradara
Watchdoc Dokumentary Rudy Purwosaputro. Film dokumenter ini digarap selama 3 bulan
oleh Tim Watchdoc, untuk memotret berbagai kondisi reklamasi yang terjadi di Kota Jakarta
yang berdampak pada kehidupan para nelayan sekitar. Film berdurasi 59 menit 3 detik ini,
bertema nilai-nilai kemanusian dari segala unsur permasalahan yang terjadi akibat
reklamasi Teluk Jakarta yang saat ini menjadi sorotan publik, seperti lingkungan, sosial,
ekonomi, hukum, bahkan korupsi yang terjadi pada kasus reklamasi Teluk Jakarta.

Dalam film karya Rudy Purwosaputro ini, mendokumentasikan secara sederhana warga
Kampung Muara Angke, Jakarta yang terkena dampak reklamasi Pulau G, Teluk Jakarta.
Film ini menggambarkan bagaimana dampak yang dirasakan warga Kampung Muara
Angke akibat reklamasi Pulau G. Dalam film ini, digambarkan secara jelas bagaimana
provokasi dan adu domba yang dilakukan oleh beberapa pihak yang ingin memecah belah
warga dan para nelayan dan para pedagang ikan yang nasib nya digantungkan apabila
reklamasi tetap dilanjutkan.

Film ini juga mengisahkan mengenai perjuangan nelayan Kampung Muara Angke yang
harus berhadapan dengan para kaum pemodal yang sedang giat-giatnya melakukan
ekspansi properti melalui reklamasi di Teluk Jakarta. Tetapi, nasib para nelayan Muara
Angke tidak hanya ditampilkan sendiri, melainkan diletakkan pada sebuah frame besar
proyek MP3EI, yang membagi wilayah di Indonesia untuk dijual pada para kaum investor.

Film ini dibuka dengan suasana warga di permukiman nelayan Muara Angke yang
hanya bertahan hidup dengan bertumpu pada hasil tangkapan ikan di laut Teluk Jakarta.
Kemudian, tampil Bapak Presiden, Jokowi dan Jusuf Kalla yang sedang berpidato diatas
kapal yang berlokasi tak jauh dari Muara Angke, tak lama setelah dinyatakan menjadi
presiden dan wakil presiden Indonesia.
Setelah itu, muncul sosok Ilyas. Seorang nelayan di Muara Angke yang mengaku sudah
hidup dan menjadi nelayan di tempat tersebut selama 40 tahun. Sebelum reklamasi, ia
mengaku dapat menangkap ikan minimal 20 kg dalam semalam dan mendapatkan 200 ribu
perhari. Setelah reklamasi, ia mengaku mendapatkan kerugian karena ikan-ikan di
kawasan tersebut telah mati dan bau akibat air laut yang tercemar sebagai dampak adanya
reklamasi tersebut.

Kemudian, adegan berganti saat para nelayan melakukan aksi demostrasi di depan
gedung DPRD Kota Jakarta. Beberapa pendemo dipersilahkan untuk masuk ke gedung
DPRD untuk melakukan mediasi dengan beberapa pejabat di gedung DPRD. Diantara para
pendemo yang melakukan mediasi dengan pejabat terkait, terdapat seorang ibu yang
menceritakan bahwa dirinya sejak awal telah tinggal di Ancol, lalu direlokasi ke Muara
Karang. Kemudian, direlokasi ke Muara Angke yang dulunya merupakan kawasan hutan.
Kemudian, ia dipaksa untuk kembali oleh pemerintah ke tempat lain.

Menurut penuturan warga pada film ini, kerugian yang disebabkan oleh reklamasi Teluk
Jakarta tidak hanya dirasakan oleh para nelayan, tetapi juga para pemilk restoran ikan di
tempat tersebut juga terpaksa pindah akibat setelah lama bertempat tinggal dan
menjalankan bisnis di Muara Angke.

Film ini dirilis pada 30 Maret di Muara Angke. Film ini memeberikan gambaran kepada
publik, bagaimana pesisir harus dikelola dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab demi
masa depan anak dan cucu Indonesia. Keragaman ekosistem pesisir tidak hanya untuk
kepentingan property dan menguntungkan para pemodal dan membuat kesenjangan
ekonomi semakin nyata di Negara Kepulauan ini.

B. Review Pemerintah
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 pasal 4, menjelaskan bahwa
wewenang dan tanggung jawab reklamasi berada di tangan Gubernur DKI Jakarta dan
tanggung jawab reklamasi berada di tangan Gubernur DKI Jakarta dan Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2008 menjadikan dasar hukum dari pelaksanaan reklamasi pantai utara
(Pantura) Jakarta.

Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto
pada Juli 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Lalu, Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2008 berisi tentang aturan tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor,
Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur. Selama ini, yang kerap dipermasalahkan,
adalah mengapa Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tetap digunakan sebagai dasar hukum
dari reklamasi, sementara sudah terdapat Perpres Nomor 54 Tahun 2008. Menurut Tuty
Kusumawati, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI Jakarta,
peraturan yang dicabut itu menyangkut tentang tata ruangnya. Kewenangan dan perizinan
tidak dicabut.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selaku badan eksekutif masih membahas mengenai
dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pula-
Pulau Kecil (ZWP3K) serta Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Kedua
Raperda tersebut memiliki keterkaitan dengan proyek reklamasi 17 pulau buatan di Pantura
Jakarta.

Menurut Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, reklamasi
tersebut digagas oleh Presiden kedua RI, yaitu Soeharto, reklamasi dapat dimanfaatkan
untuk pertumbuhan ekonomi. Menurut Ahok, reklamasi dapat meyerap 1 juta tenaga kerja.
Pada reklamasi Pantura, diciptakan solusi tambahan, berupa lima persen tanah yang dijual
harus diserahkan kepada Pemprov DKI Jakarta, kemudia para pembeli di Pulau Reklamasi
setiap 20 tahun sekali harus menyambung sertifikat wajib membayar NJOP 5 persen ke
Pemprov DKI Jakarta, hal ini dapat menambah pendapatan daerah DKI Jakarta.

Pemerintah sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab terhadap pembangunan
reklamasi Teluk Jakarta, seharusnya lebih memantapkan rencana pembangunan
reklamasi. Pemerintah seharusnya tidak hanya memikirkan kepentingan ekonomi daerah
saja, melainkan seharunya dengan adanya reklamasi dampaknya dapat dirasakan oleh
semua pihak, termasuk para kaum kecil. Selain itu, pemerintah juga harus menerapkan
solusi yang tepat bagi masyarakat pesisir yang direlokasi akibat reklamasi. Pemerintah
harus menyediakan tidak hanya sarana dan prasarana tempat tinggal saja, melainkan
pekerjaan dan berkelanjutan.

C. Review Pengembang
Reklamasi Pantura merupakan mega proyek yang memiliki keuntungan yang besar.
Reklamasi Pula A hingga Pulau M seluas 35.600.000 meter persegi yang terbentang pada
kawasan elit tersebut memiliki harga jual tanah yang cukup tinggi, yaitu bervariasi antara 22
juta rupiah hingga 38 juta rupiah per meter persegi, dengan rata-rata 30 juta rupiah per
meter persegi. Dapat diasumsikan, utilitas lahan 55 persen, sehingga hanya 55 persen dari
seluruh areal reklamasi yang dapat dikomersilkan. Sedangkan, 45 persen digunakan untuk
fasilitas umum, daerah hijau, dan prasarana. Berdasarkan asumsi tersebut, maka total
keuntungan proyek reklamasi seluas 35.600.000 meter persegi mencapai 516,9 triliun.
Oleh sebab itu, reklamasi di Jakarta sangat menguntungkan bagi pihak pengembang.

Para developer mengajukan beberapa solusi untuk pembangunan reklamasi Teluk


Jakarta, seperti menerapkan tiga strategi, yaitu meningkatkan kemitraan yang kuat dengan
pemerintah, melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan nelayan, dan membagi wilayah
reklamasi berdasarkan pemanfaatannya.

Para pengembang juga perlu memerhatikan AMDAL di Teluk Jakarta, selain itu
pengembang juga harus memerhatikan berbagai ekosistem pesisir di Teluk Jakarta. Para
pengembang perlu mencari cara agar bagaimana meskipun reklamasi dilakukan, ekosistem
pesisir tetap dapat hidup, sehingga keseimbangan lingkungan terjaga. Pengembang perlu
memerhatikan masyarakat pesisir di sekitar Teluk Jakarta.

D. Review Masyarakat
Menurut pengamat penataan ruang dan pengembangan, Ruchyat Deni Djakapermana,
reklamasi memberikan dampak positif bagi masyarakat. Dari sisi ekonomi, reklamasi
membuka lapangan pekerjaan baru yang lebih beragam. Dari sisi lingkungan, dengan
campur tangan manusia, reklamasi dapat mengurangi dampak perubahan iklim. Dari sisi
sosial, reklamasi dapat mengurangi kepadatan yang menumuk di perkotaan dan
menciptakan wilayah bebas dari penggusuran karena berada di wilayah yang telah
disediakan oleh pemerintah dan pengembang.

Reklamasi Teluk Jakarta memang dapat memberikan lapangan pekerjaan baru bagi
masyarakat pesisir Teluk Jakarta. Tetapi, lapangan pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan
keterampilan dan keahlian masyarakat pesisir Teluk Jakarta yang sebagian besar
berprofesi sebagai nelayan, pembudidaya ikan dan kerang, serta pelaku usaha wisata
berskala kecil. Reklamasi dinilai hanya berdampak bagi pemerintah DKI Jakarta, melalui
pajak penghasilan yang diperoleh oleh pemerintah daerah dari pihak swasta yang
memanfaatkan tanah urungan di pulau reklamasi (Qodriyatun, 2017).

Masyarakat pesisir Jakarta punya kebebasan untuk mencari nafkah di laut, hidup,
tumbuh di pesisir, bukan untuk diusir demi pembangunan yang lebih mengutamakan
estetika semata, dan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi kaum kapitalis atas
properti mewah. Jakarta dengan bentang pesisir dan lautannya, sering memberatkan
masyarakat pesisir. Guna menikmati keindahan alam pesisir, masyarakat Jakarta perlu
membayar tiket maupun property yang harganya selangit, sedangkan para masyarakat
pesisir tidak mendapatkan hasil yang menguntungkan.

Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Dinas Kelautan DKI Jakarta Tahun 2013,
menyatakan bahwa Teluk Jakarta memiliki produktivitas dan keanekaragaman hayati yang
tinggi. Hasil-hasil alam ini, digunakan oleh masyarakat sebagai kebutuhan sehari-hari,
dengan adanya reklamasi berbagai hasil laut, seperti ikan, kerang, dan lain sebagainya
berkurang produktivitasnya, hal ini menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan laut para
nelayan, sehingga penghasilan masyarakat berkurang. Hal ini sangat merugikan
masyarakat pesisir Teluk Jakarta.

Masyarakat menilai, pembangunan Teluk Jakarta sangat tidak memerhatikan kaum


kecil. Masyarakat pesisir Muara Angke tidak mendapatkan keuntungan apapun dengan
adanya reklamasi Teluk Jakarta. Dengan adanya reklamasi pula, secara tidak langsung
mengakibatkan terbatasnya masyarakat umum untuk mengakses ruang publik, berupa laut.
Karena, pada dasarnya pulau yang direklamasi akan menjadi tempat-tempat tinggal baru
bagi para kaum-kaum yang “mampu”. Masyarakat bukan menolak pembangunan, bukan
pula tidak ingin Jakarta menjadi lebih baik, akan tetapi, masyarakat ingin agar
pembangunan yang memerhatikan aspek kemanusiaan dan berpihak pada masyarakat
kecil, sehingga pembangunan dapat dirasakan oleh semua pihak dan tidak ada
kesenjangan.

Daftar Pustaka
Kompas.com. (2016, April 4). Mengapa Keppres No 52/1995 Tetap Dipakai sebagai Acuan
Reklamasi Teluk Jakarta? Retrieved Maret 22, 2018, from
https://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/04/15405441/Mengapa.Keppres.No.52.1
995.Tetap.Dipakai.sebagai.Acuan.Reklamasi.Teluk.Jakarta.

Qodriyatun, S. N. (2017, Oktober). REKLAMASI TELUK JAKARTA PERLUKAH


DILANJUTKAN? Retrieved Maret 22, 2018, from
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-IX-20-II-P3DI-Oktober-
2017-189.pdf

Anda mungkin juga menyukai