Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Semoga dengan adanya makalah yang berjudul “Akhlak Terhadap Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara” dapat membantu semua pembaca ataupun kasus kasus yang sama tentang
pokok bahasan tersebut.

Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapatkan tantangan dan hambatan,
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak yang terlibat dapat mengatasi kendala yang
ada. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, terutama dosen pengampu mata kuliah akhlak dan
tasawuf.

Kami mohon maaf kepada pembaca apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan
makalah ini serta kami juga mengharapkan bagi seluruh pihak atau pembaca dapat
memberikan kritik maupun saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini.

Kediri, 21 Oktober 2017

Penulis

AKHLAQ DAN TASAWUF 1|


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 1

DAFTAR ISI ................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 3

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 3

B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 3

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................... 5

A. Pengertian Akhlak ............................................................................................... 5

B. Akhlak Berbangsa dan Bernegara ....................................................................... 6

BAB III PENUTUP....................................................................................................... 15

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 15

B. Saran ................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 16

AKHLAQ DAN TASAWUF 2|


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam persoalan Akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak berkewajiban


menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan meninggalkan akhlak yang
buruk. Akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam. Kualitas keberagaman justru
ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat berbicara tentang syarat rukun, sah atau tidak sah,
maka akhlak menekankan pada kualitas dari perbuatan, misalnya beramal dilihat dari
keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusu’annya, berjuang dilihat dari kesabarannya, haji dari
kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, harta dilihat dari aspek
mana dari mana dan untuk apa, jabatan dilihat dari ukuran apa yang telah diberikan, bukan
apa yang diterima.

Dengan demikian, dikarenakan akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam,
maka Islam sebagai agama yang bisa dilihat dari berbagai dimensi, sebagai keyakinan,
sebagai ajaran dan sebagai aturan. Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud
untuk mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama atau sebagai hukum
dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama berisi perintah dan
larangan, ada perintah keras (wajib) dan larangn keras (haram), ada juga perintah anjuran
(sunat) dan larangan anjuran (makruh).

Dalam kehidupan bertetangga, bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara kita


sebagai umat yang senantiasa bersosialisasi, berinteraksi dengan yang lainnya, khususnya
umat muslim, sudah sepantasnya kita menmpilkan akhlak mulia yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah saw dan para sahabat beliau yang diridloi oleh Allah swt. Berperilaku/berakhlak
mulia di dalam bertetangga sangat perlu untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai sesama umat yang seakidah kita perlu menjaga keharmonisan persaudaraan yang
didasarkan atas kesamaan di dalam berkeyakinan.

AKHLAQ DAN TASAWUF 3|


B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka rumusan masalah yang
terdapat dalam penulisan makalah ini yaitu:
1. Bagaimana akhlak terhadap bangsa dan negara?
2. Bagaimana akhlak seorang warga negara terhadap pemimpin atau pemerintah?
3. Bagaimana Ajaran Islam tentang tuntutan membangun bangsa dan negara?

C. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Untuk mengetahui akhlak terhadap bangsa dan negara
2. Untuk mengetahui akhlak seorang warga negara terhadap pemimpin atau
pemerintah
3. Untuk mengetahui ajaran Islam tentang tuntutan membangun bangsa dan negara

AKHLAQ DAN TASAWUF 4|


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AKHLAK

Definisi akhlak secara etimologi.


Menurut pendekatan etimologi, perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab jama dari
bentuk mufradnya “ khuluqun” yang menurut logat di artikan: budi pekerti tingkah laku atau
tabiat.
Menurut etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab yang berarti budi pekerti “
sinonimnya etika dan moral. Etika berasal dari bahasa latin, etos yang berarti kebisaan . Moral
berasal dari bahasa latin juga, mores, yang berarti kebiasaanya.
Menurut Imam Ghazali: akhlak sifat-sifat yang melekat didalam jiwa seseorang yang
menjadikan ia dengan mudah bertindak tanpa banyak pertimbangan lagi. Atau boleh juga
dikatakan, perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan.
Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian jiwa memerlukan pendidikan
dan latihan mental yang panjang. Oleh karena itu tahap pertama teori dan amalan taswuf di
formalisasikan pada pengetahuan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat.
Dengan kata lain untuk berada di hadirat Allah dan sekaligus dapat mencapai kebahagiaan
optimal supaya manusia harus lebih dulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-
ciri keTuhanan melalui pensucian jiwa - raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang
bermoral paripurna dan berahlak mulia.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat di pahami bahwa kata ‘akhlak’ sebenarnya
jamak dari kata ‘khuluqun’, artinya tindakan. Kata ‘khuluqun’ sepadan dengan kata ‘khalqun’
yang artinya kejadian dan kata ‘khaliqun’ artinya pencipta dan kata ‘makhlukun’ artinya yang
di ciptakan. Dengan demikian, rumusan teriminologis dari akhlak merupakan hubungan erat
antara khaliq dengan mahluk serta antara mahluk dengan mahluk.
(Hamzah Ya’kub,1993:11).
Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling melengkapi, dan memiliki
lima ciri akhlak, yaitu:

1. Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat di dalam jiwa seseorang sehingga
menjadi kepribadianya.
2. Akhlak adalah perbuatan yang di lakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak
berarti bahwa saat melakukan suatu perbuatan, yang bersangkutan di dalam keadaaan
tidak sadar, hilang igatan, tidur atau gila.

AKHLAQ DAN TASAWUF 5|


3. Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari diri seseorang yang mengerjakanya, tanpa ada
paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang di ;llakukan atas
dasar kemauan, pilihan dan dasar yang bersangkutan.
4. Akhlak adalah perbuatan yang di lakuakn dengan sesu8ngguhnya, bukan main-main atau
karena bersandiwara.
5. Sejarah dengan ciri yang ke empat perbuatan akhlak ( sesungguhnya akhlak yang baik),
akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah SWT.,
Bukan karena ingin mendapatkan suatu pujian.

Allah SWT. Berfirman dalam AL-Qur’an Surat AL-Alaq ayat1-5:


Artinya:
“ Bacalah dengan menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan; dia telh menciptakan
manusia dari segumpal dearah; bacalah dan Tuhanmulah yang maha mulia; yang mengajar
(manusia) dengan pena; dan mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S AL-
Alaq: 1-5

Dari ayat-ayat diatas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa kata “khalq” telah berbuat, telah
menciptakan atau telah mengambil keputusan untuk bertindak. Secara termonologis akhlak
adalah tindakan (kreativitas) yang tercermin pada akhlak Allah SWT. Yang salah satunya
dinyatakan sebagai pencipta manusia dari segumpal darah. Allah SWT. Sebagai sumber
pengetahuan yang melahirkan kecerdasan manusia, pembebasan dari kebodohan serta peletak
dasar yang paling utama di dalam pendidikan.

B. AKHLAK BERBANGSA DAN BERNEGARA

Akhlak dalam berbangsa perlu untuk disadari oleh kita agar kita dapat menjadi
semakin sensitif terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan negara kita. Hal ini didorong
dengan kekhawatiran akan bobroknya generasi kita, apabila tidak dibekali dengan
pengetahuan tentang akhlak yang cukup, untuk menjalani kehidupan kedepannya berikut
merupakan akhlak dalam berbangsa:
1. Musyawarah.
Kata ( ‫ ) شورى‬Syûrâ terambil dari kata ( ‫ إستشاورة‬-‫ مشاورة‬-‫ )شاورة‬menjadi ( ‫ ) شورى‬Syûrâ.
Kata Syûrâ bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan
menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti

AKHLAQ DAN TASAWUF 6|


memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (‫ )شرت العسل‬saya
mengeluarkan madu dari wadahnya.
Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah
adalah surah Al-Syura ayat 38:
\ َ‫ورى بَ ْي َن ُه ْم َو ِم َّما َرزَ ْقنَا ُه ْم يُ ْن ِفقُون‬
َ ‫ش‬ُ ‫صالة َ َوأ َ ْم ُر ُه ْم‬
َّ ‫َوالَّذِينَ ا ْست َ َجابُوا ِل َر ِِّب ِه ْم َوأَقَا ُموا ال‬
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka;
dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-
Syura: 38)
Ali Bin Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting
yaitu, mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan,
menghindari celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati, mengikuti atsar.
a. Hal-hal yang boleh di musyawarahkan
Islam memberikan batasan hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan . Karena
musyawarah adalah pendapat orang, maka apa-apa yang sudah ditetapkan oleh nash (Al –
Qur’an dan As-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan , sebab pendapat orang tidak boleh
mengungguli wahyu.
Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal – hal yang bersifat Ijtihadiyah(tidak ada
. Para sahabat pun kalau dimintai pendapat mengenai suatu hal, terlebih dahulu mereka
bertanya kepada Rasulullah SAW. Apakah masalah yang dibicarakan telah diwahyukan oleh
Allah atau merupakan Ijtihad Nabi. Jika pada kenyataannya adalah ijtihad Nabi, maka mereka
mengemukakan pendapat .
b. Tata Cara Musyawarah.
Rasulullah mempunyai tata cara bermusyawarah yang sangat bervariasi ; (1) Kadang
kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau, lalu beliau melihat pendapat itu
benar, maka beliau mengamalkannya (2) Kadang-kadang beliau bermusyawarah dengan dua
atau tiga orang saja (3) Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa
melalui cara perwaklian. Dari beberapa tata cara bermusyawarah Rasulullah diatas kita dapat
menyimpulkan bahwa tata cara musyawarah , anggota musyawarah bisa selalu berkembang
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, tetapi hakekat musyawarah harus selalu
tegak ditengah masyarakat dan negara
c. Sikap Bermusyawarah.
Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan, firman
Allah dalm surat Ali Imran ayat 159 : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
AKHLAQ DAN TASAWUF 7|
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran : 159). Dapat kita
lihat Allah SWT mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan dalam
bermusyawarah yaitu:
1) Lemah Lembut
2) Pemaaf
3) Mohon Ampunan Allah SWT

2. Menegakkan Keadilan
Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (Bahasa Arab), yang mempunyai arti antara lain
sama dan seimbang. Dalam pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai membagi
sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok. Dengan
status yang sama.
Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang
dengan kewajiban, atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya.
a. Perintah Berlaku Adil
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia
berlaku adil dan menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang
khusus dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya yang terdapat dalam
Quran surah An-Nahl ayat 90, sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam
menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ 4: 58); adil dalam mendamaikan konflik (QS. Al-Hujurat
49:9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah : 8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ 4:3
dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).
b. Keadilan Hukum
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat
dalam hukum, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi,
politik dan lain sebagainya. Allah menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
An-Nisa’4:58).
c. Keadilan dalam Segala Hal
AKHLAQ DAN TASAWUF 8|
Disamping keadilan hukum, islam memerintahkan kepada umat manusia, terutama
orang-orang yang beriman untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap
diri dan keluarganya sendiri, apalagi kepada orang lain. Bahkan kepada musuh sekalipun
setiap mukmin harus dapat berlaku adil. Mari kita perhatikan beberapa nash berikut ini :
1) Adil terhadap diri sendiri
2) Adil terhadap isteri dan anak-anak
3) Adil dalam mendamaikan perselisihan
4) Adil dalam berkata
5) Adil terhadap musuh sekalipun

3. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar


Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bi ‘l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-
munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Ma’ruf
secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal.
Menurut Muhammad ‘Abduh, ma’ruf adalah apa yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati
nurani (ma ‘arafathu al-‘uqul wa ath-thaba’ as-salimah), sedangkan munkar adalah apa yang
ditolak oleh akal sehat dan hati nurani (ma ankarathu al-‘uqul wa ath-thaba’ as-salimah).

Berbeda dengan Abduh, Muhammad ‘Ali ash-Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan


“apa yang diperintahkan syara’ (agama) dan dinilai baik oleh akal sehat” (ma amara bibi asy-
syara’ wa ‘stabsanahu al-‘aqlu as-salim), sedangkan munkar adalah “apa yang dilarang syara’
dan dinilai buruk oleh akal sehat” (ma naha ‘anhu asy-syara’ wa’staqbahahu al-‘aqlu as-
salim).

Terlihat dari dua definisi diatas, bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf atau munkarnya
sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus
atau salah satunya. Semua yang diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf, begitu juga
sebaliknya, semua yang dilarang oleh agama adalah munkar.

Hal-hal yang tidak ditentukan oleh agama ma’ruf dan munkarnya ditentukan oleh akal
sehat atau hati nurani. Jadi waw dalam definisi Shabuni diatas berarti aw sebagaimana yang
didefinisikan oleh al-Ishfahani: “Ma’ruf adalah sebuah anma untuk semua perbuatan yang
dikenal baiknya melalui akal atau syara’, dan munkar adalah apa yang ditolak oleh keduanya”
(Wa al-ma’ruf ismun likulli fi’lin yu’rafu bi al-‘aqli aw as-syari’ husnuhu, wa al-munkar ma
yunkaru bihima.

Dengan pengertian diatas tentu ruang lingkup yang ma’ruf dan munkar sangat luas
sekali, baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat (sosial, politik, ekonomi,
ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, dlsb). Tauhidullah, mendirikan shalat, membayar
zakat, amanah, toleransi beragama, membantu kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin, disiplin,
transparan dan lain sebagainya adalah beberapa contoh sikap dan perbuatan yang ma’ruf.
Sebaliknya bahu-membahu dalam menjalankannya. Dalam hal ini Allah menjelaskan :

AKHLAQ DAN TASAWUF 9|


“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah 9:71)

Dalam ayat diatas juga dapat kita lihat bahwa kewajiban amar ma’ruf nahi munkar
tidak hanya dipikulkan kepada kaum laki-laki tapi juga kepada kaum perempuan, walaupun
dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kodrat dan fungsi masing-masing.

Jika umat Islam ingin mendapatkan kedudukan yang kokoh di atas permukaan bumi,
disamping mendirikan shalat dan membayar zakat mereka harus melakukan amar ma’ruf nahi
munkar. Allah SWT berfirman :

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi,
niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan
mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”(QS.
Al-Haji 22:41)

Muhammad Asad, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif, mengartikan


ungkapan in makkannahum fi ‘l ardhi dengan if We firmly establish them on earth” (manakala
Kami kokohkan posisi mereka di muka bumi”. Kedudukan yang kokoh artinya punya
kekuasaan politik maupun ekonomi.

Jika umat Islam mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar, maka hal itu tidak hanya akan
membuat mereka kehilangan posisi yang kokoh diatas permukaan bumi, tapi juga akan
mendapat kutukan dari Allah SWT sebagaimana Allah dulu mengutuk Bani Israil. Allah
berfirman :

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan “Isa putera
Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalul melampaui batas.
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah 5: 78-
79

Mereka dikutuk terutama karena mereka satu sama lain tidak melarang tindakan
munkar yang mereka lakukan, bukan karena mereka Bani Israil. Sebab Bani Israil (Ahlul
Kitab) yang masuk Islam dan setelah itu melakukan amar ma’ruf nahi munkar dipuji oleh
Allah sebagai orang-orang yang saleh. Allah berfirman :

“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka
membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud.
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada pelbagai kebajikan. Mereka itu
termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ali Imran : 113-114).

Nahi Munkar Dibandingkan dengan Amar Ma’ruf, nahi munkar lebih berat karena
berisiko tinggi, apalagi bila dilakukan terhadap penguasa yang zalim. Oleh karena itu
AKHLAQ DAN TASAWUF 10 |
Rasulullah SAW sangat memuliakan orang-orang yang memiliki keberanian menyatakan
kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. Beliau bersabda: “Jihad yang paling utama ialah
menyampaikan al-baq terhadap penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Trimizi dan Ibn
Majah)

Nahi munkar dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bagi yang mampu
melakukan dengan tangan (kekuasaannya) dia harus menggunakan kekuasaannya itu, apalagi
tidak bisa dengan kata-kata, dan bila dengan kata-kata juga tidak mampu paling kurang
menolak dengan hatinya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :

“Barang siapa diantara kamu melihat kemunkaran, hendaklah dia merobahnya dengan
tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka robahlah) dengan lisannya. Dan
apabla tidak sanggup (dengan lisan), maka robahlah dengan hatinya. Yang demikian itu
adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).

4. Hubungan Pemimpin dan yang dipimpin


Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang
beriman :
“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpin mereka adalah thaghut,
yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni
neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2:257)
Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat diatas adalah simbol dari segala bentuk
kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan. Atau dalam bahasa sekarang azh-
zhulumat adalah bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran
Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, materialisme, hedonisme dan
lain sebagainya. Sedangkan an-Nur adalah simbol dari ketauhidan, keimanan, ketaatan dan
segala kebaikan lainnya.
At-thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah SWT
dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Menurut Sayyid Qutub, Thaghut adalah
segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh
Allah SWT untuk hamba-Nya. Dia bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain
yang tidak berlandaskan ajaran Allah SWT. Secara operasional kepemimpinan Allah SWT
itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu
dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan di dalam Al-Qur’an :
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman,
yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Al
– Maidah : 55 )

AKHLAQ DAN TASAWUF 11 |


a. Kriteria Pemimpin dalam Islam
Pemimpin umat atau dalam ayat diatas di istilahkan dengan waliy dan dalam ayat lain
(Q.S An-Nisa 4:59) disebut dengan Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan
Rasulullah SAW setelah beliau meninggal dunia. Orang – orang yang dapat dipilih
menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria
sebagaimana dijelaskan dalam surat Al – Maidah ayat 55 .
1. Beriman kepada Allah SWT
Karena Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW , sedangkan
Rasulullah sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT , maka tentu saja
yang pertama kali harus dimiliki penerus beliau adalah Keimanan . Tanpa
Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin pemimpin dapat
diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah diatas permukaan bumi ini .
2. Mendirikan Shalat
Shalat adalah ibadah Vertikal langsung kepada Allah SWT . Seorang pemimpin
yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertical yang baik dengan
Allah SWT . Diharapkan nilai – nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat dalam
shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya.
3. Membayarkan Zakat
Zakat adalah ibadah madhdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian
social . Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan
hati dan hartanya . Dia tidak mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak
halal (mis : Korupsi , Kolusi , dan Nepotisme ) . Dan lebih dari pada itu dia
memiliki kepedulian social yang tinggi terhadap kaum dhu’afa dan mustadh’afin
. Dia akan menjadi pembela orang – orang yang lemah .
4. Selalu Tunduk Patuh kepada Allah SWT
Dalam ayat diatas disebutkan pemimpin itu haruslah orang selalu ruku’ . Ruku’
adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang
secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kaffah ,
baik dalam aspek aqidah , ibadah , akhlaq maupun muamalat . Aqidahnya benar ,
ibadahnya tertib , dan sesuai tuntutan Nabi , akhlaknya terpuji , dan muamalatnya
tidak bertentangan dengan syariat .
b. Konsep Leader is a Ladder
Konsep ini merupakan konsep Hubungan Pemimpin dan yang dipimpin yang
merupakan hasil ijtihad dari penulis , dimana Konsep Leader is a Ladder merupakan

AKHLAQ DAN TASAWUF 12 |


konsep dimana seorang pemimpin merupakan sebuah tangga yang akan menjadi
perantara atau jembatan bagi calon pemimpin selanjutnya .
Pemimpin yang baik disini adalah pemimpin yang mencetak sebanyak mungkin calon
Pemimpin , yang nantinya dapat melanjutkan kepemimpinan selanjutnya dengan lebih
baik dan lebih matang . Konsep ini diterapkan agar pemimpin menjadi panutan dan
teladan bagi bawahannya dan Menurut James A.F Stonen, terdapat tujuh tugas utama
seorang pemimpin adalah :
1. Pemimpin bekerja dengan orang lain : Seorang pemimpin bertanggung jawab
untuk bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja
atau atasan lain dalam organjsasi sebaik orang diluar organisasi.
2. Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas):
Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas,
mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin
bertanggung jawab untuk kesuksesan stafhya tanpa kegagalan.
3. Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas : Proses
kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin hanya dapat menyusun tugas
dengan mendahulukan prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus
dapat mendelegasikan tugas- tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus
dapat mengatur waktu secara efektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.
4. Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual : Seorang pemimpin harus
menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat
mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan
seluruh pekerjaan menjadf lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain.
5. Manajer adalah forcing mediator : Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan
organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator
(penengah).
6. Pemimpin adalah politisi dan diplomat: Seorang pemimpin harus mampu
mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang
pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya.
7. Pemimpin membuat keputusan yang sulit : Seorang pemimpin harus dapat
memecahkan masalah.
Dari ketujuh hal inilah yang harusnya pemimpin terapkan dalam tugasnya memimpin
orang - orang , dan setelah hal ini diimplementasikan maka seorang pemimpin wajib
untuk 'menurunkan ilmu' nya ini kepada bawahannya . Agar bawahannya ini kelak
akan menjadi pemimpin yang dapat menjalankan tugasnya kelak.
AKHLAQ DAN TASAWUF 13 |
Adapun hambatan yang dihadapi ketika ingin menerapkan :
1. Egois : kenapa Egois , karena kebanyakan para pemimpin hanya mau dia sajalah
merasakan bangku kepemimpinan tersebut , tanpa harus memikirkan orang
setelahnya yang akan menduduki posisi pimpinan tersebut . Sehingga mereka
terlalu 'masa bodoh' dengan bawahannya.
2. Sombong : penyakit kekuasaan yang satu ini tentunya telah mengakar sejak zaman
dahulu kala , penyakit kesombongan karena merasa sudah diatas sehingga
melupakan bawahannya . Hal ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin tidak
sepantasnya bersikap sombong , karena pemimpin bagaikan tangga maka
pemimpin harus menjadi fasilitator.
3. Iri dan Dengki : walaupun sudah menjadi pemimpin , penyakit iri dan dengki
masih saja menjangkiti para pemimpin . Sebagian kecil dari pemimpin tersebut
masih saja iri melihat bawahannya yang mendapatkan jatah lebih banyak dari
dirinya . Maka si pemimpin akan iri terhadap bawahannya , dan mengambil jatah
bawahannya.
c. Persaudaraan antara Pemimpin dan yang Dipimpin
Sekalipun dalam struktur bernegara ada hirarki kepemimpinan yang mengharuskan
umat atau rakyat patuh kepada pemimpinnya , tetapi dalam pergaulan sehari – hari
hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tetaplah dilandaskan kepada prinsip –
prinsip ukhuwah islamiyah , bukan prinsip – prinsip atasan dengan bawahan .
Demikianlah yang dicontohkan Rasulullah SAW. Kaum Muslimin yang berada di
sekitar beliau waktu itu dipanggil dengan sebutan sahabat – sahabat , suatu panggilan
yang menujukkan hubungan yang horizontal , sekalipun ada kewajiban patuh secara
mutlak kepada beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul .
Hubungan persaudaraan seperti itu dalam praktiknya tidaklah melemahkan
kepemimpinan Rasulullah SAW , tetapi malah memperkokoh , karena tidak hanya
didasari hubungan Formal , tapi juga hubungan hati yang dipenuhi kasih sayang .
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang
beriman :
“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpin mereka
adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka
itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2:257)

AKHLAQ DAN TASAWUF 14 |


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam
jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks.
Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal
shalih pun mencakup semua sektor kehidupan manusia.
Akhlak dalam bermasyarakat yaitu bertamu dan menerima tamu, menjaga hubungan
baik dengan tetangga, adab dalam bergaul dengan lawan jenis dan ukhuwah Islamiyah.
Sedangkan akhlak dalam berbangsa yaitu musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma`ruf
nahui munkar serta hubungan pemimpin dengan yang dipimpin.

B. SARAN

Agar hubungan kita dengan orang lain terkhususnya kepada masyarakat dan bangsa
dapat terjalin dengan baik maka sebaiknya kita perlu menjaga akhlak dalam masyarakat dan
berbangsa. Sehingga tercipta suasana rukun, tentram dan damai tanpa ada perselisihan antar
warga negara.

AKHLAQ DAN TASAWUF 15 |


DAFTAR PUSTAKA

Asmaran. Pengantar Studi tasawuf. Cet,1; Jakarta: Raja Grafindo, 2001.


Amin, Ahmad. Etika Ilmu Akhlak.Cet,1; Jakarta: Bulan bintang,1975.
Subaeni Ahmad Beni,dkk. Ilmu Akhlak. Cet,1; Bandung: Pustaka Setia,2010.
Ash-Shiddieqy Hasbi. Hukum Antar Golongan. Cet,1; Jakarta: Bulan bintang, 1971.
Alqur’an dan Terjemahanya, Cet,1; Jakarta: Bintang Indonesia, 1993.

AKHLAQ DAN TASAWUF 16 |

Anda mungkin juga menyukai