Anda di halaman 1dari 3

TEORI DASAR

Disolusi adalah proses melarutnya suatu bahan kimia atau obat dalam
suatu pelarut, dimana obat dalam bentuk sediaan padat akan mengalami disolusi
pada media biologis tubuh manusia, sehingga proses ini mengakibatkan zat aktif
suatu obat terlepas dari eksipennya dan selanjutnya akan diabsorpsi untuk masuk
ke dalam sirkulasi sistemik menuju target yang pada akhirnya akan menunjukkan
respon klinis (Shargel dan Yu, 2005). Pengujian disolusi pada produk obat-obatan
merupakan salah satu parameter dalam pengujian bioavaibilitas suatu obat
(Esimone et al, 2008). Selain itu uji disolusi juga digunakan dalam pengembangan
formulasi, uji kontrol kualitas (Anand et al, 2011) serta menggambarkan
bioekivalensi suatu obat (Shargel dan Yu, 2005).
Studi bioekivalensi pada produk generik perlu dilakukan untuk
memastikan tidak adanya perbedaan yang signifikan laju disolusi suatu obat
terhadap obat inovatornya dalam pemberian dan kondisi yang sama (Fahmy and
Gharbieh, 2014). Dalam pengaplikasinnya uji disolusi terbanding (UDT)
dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari proses formulasi dan fibrikasi
terhadap profil disolusi serta memperkirakan bioavaibilitas dan bioekuivalensi
antara produk obat uji dengan obat paten (inovator), sehingga dijadikan untuk
memastikan kesamaan kualitas produk obat (BPOM RI, 2004). Produk obat
generik dan obat paten dapat dikatakan sebagai produk yang bioekuivalen jika
diantara keduanya tidak memiliki perbedaan yang signifikan (Shargel dan Yu,
2005). Untuk menyatakan kesamaan profil disolusi antara obat generik dan
inovatornya, digunakan perhitungan faktor perbedaan (f1) dan faktor kesamaan
(f2). Perbedaan pola disolusi yang tampak jelas pada sampel generik dikonfirmasi
menggunakan perhitungan f1 dan f2 (Aini et al, 2015).
Faktor perbedaan (f1) dihitung dengan rumus:
Faktor persamaan (f2) dihitung dengan rumus:

Dalam rumus ini, n adalah jumlah titik waktu penarikan filtrat, Rt adalah
nilai disolusi dari produk pembanding atau inovator pada waktu t dan Tt adalah
nilai disolusi untuk produk uji pada waktu t (Aini et al, 2015).
Rentang nilai F1 0-15 dimana jika nilainya mendekati 0 maka tidak adak
ada perbedaan yang signifikan antara kedua obat tersebut sedangkan untuk nilai
F2 50-100 dimana jika nilainya mendekati 100 maka makin besar kesamaan antar
kedua obat tersebut (Ngwuluka et al, 2009).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi terhadap data yang akan diuji
diantaranya: terdapat minimal 3 point interval waktu, batch dari masing-masing
obat uji terdiri dari 12, tidak lebih dari satu titik yang memiliki persen diatas 85%
dan nilai RSD dari % disolusi kurang dari 10% (Moore dan Flanner, 1996).
DAFTAR PUSTAKA

BPOM. 2004. Pedoman Uji Biokivalensi. Jakarta : BPOM RI.


Esimone C. O., Okoye F. B.. 2008. In Vitro Bioequivalence Study of Nine Brands
of Artesunate Tablets Marketed in Nigeria. J Vector Borne Dis. Vol 45 (1):
60-65.
Shargel , L., & B. C. YU., A. 2005. Applied Biopharmacetics and
Phaemacokinetics. USA: Appeton and Lange.
Anand, O., et al. 2011. Dissolution Testing for Generic Drugs: An FDA
Perspective. AAPS J. 13(3): 328-335.
Fahmy, S., and E. A. Gharbieh. 2014. In Vitro Dissolution and In Vivo
Bioavailability of Six Brands of Ciprofloxacin Tablets Administered in
Rabbits and Their Pharmacokinetic Modeling. BioMed Research Int: 1-8.
Moore, J., & Flanner, H. 1996. Mathematical Comparison. Pharm. Technol. Vol
20 (6) : 64-74.
Ngwuluka, N., Lawal , K., Olorunfemi , P., & NA, O. 2009. Post-Market in Vitro
Bioequivalence Study of Six Brands of Ciprofloxacin Tablets/Caplets in
Jos, Nigeria. Scientific Research and Essay. Vol 4(4): 298–305.
Aini, Nurul., Ratih Dian S., dan Intan Sari O. 2015. Profil Disolusi Terbanding,
Penetapan Kadar, dan Kualitas Fisik Tablet Atorvastatin Inovator, Generik
Bernama Dagang, dan Generik. Jurnal Kefarmasian Indonesia.vol 5 (2):
90-97.

Anda mungkin juga menyukai