Anda di halaman 1dari 25
Bab 7 Penggunaan Data Akuntansi Manajemen Kita mulai memasuki bagian yang memperbincangkan "Penggunaan dalam Akuntansi Manajemen" . Dalambab7 ini kitaakan mendiskusikan pembagian laporan, dan pendekatannya terhadap biaya. Suatu aspek dari pekerjaan utama para akuntan mengenai problema perngalokasian biaya kepada berbagai bagian organisasi, akan kita diskusikan. Pengalokasian biaya, adalah sangat perlu memperoleh daya manfaatnya, serta relevansi data dalam tiga bidang dibawah ini : (1) Untuk biaya produksi dan penetapan harga, (2) Untuk ukuran-ukuran dalam pelaksanaan manajemen, dan (3) Untuk pengambilan keputusan keputusan khusus. Dalam pengalokasian biaya, akuntan dapat saja menggunakan dua macam pendekatan. Pertama, seperti telah kita ketahui di bab terdahulu, yaitu dengan pengkhususan biaya/ absorption costing. Kedua, dengan pembagian biaya (Contribution Approach to Costing), yang akan kita diskusikan dalam bab ini, sebagai lanjutan pembicaraan kita mengenai biaya, volume dan laba (CVP) dan analisisnya. Kita, akan dapat mengetahui bagaimana biaya itu sebaiknya dibagikan, baik terhadap produksi ataupun jasa, dan cara menghitungnya dalam metoda ini. Dalam beroperasi secara efektif, para manajer harus memperoleh informasi yang memberikan pengertian kepada mereka, yang sebahagian besar akan mereka peroleh dari income statement/daftar laba/rugi perusahaan. Beberapa jenis produk mungkin menguntungkan atau sangat merugikan dan beberapa jenis produk dapat merugikan. Beberapa orang tenaga penjual mungkin lebih efcktif dari teman sejawatnya; beberapa daerah penjualan mungkin perlu dilayani dengan sales mix, sedangkan daerah lainnya mungkin saja belum jelas bagaimana keinginan pemakainya. Supaya tidak ada masalah yang terlewat, maka kepada para perlu konsumen disampaikan laporan yang memuat keadaan kemajuan bagian demi bagian daripada perusahaan. Suatu bagian dapat diartikan sebagai suatu aktivitas dari organisasi, sekitar itu manajemen memerlukan data biaya. Misalnya saja bagian itu dapat merupakan: daerah penjualan, divisi pabrik, bagian produksi dan operasi, atau kelompok jenis produksi. Sesuatu yang poling 183 V— memungkinkan membantu dalam pendekatan biaya, ialah pembentukan pembagian dalam lapesan yang dapat dipergunakan sebagai penganalisisan terhadap berbagai bagian yang ada dalam organisasi 7.1. PEMBEDAAN TINGKAT DALAM PEMBAGIAN LAPORAN Laporan yang disusun bagian demi bagian, dapat disajikan menurut aktivitasnya dalam bebcrapa tingkat yang berbeda serta bentuk/lajur yang berbeda pula. lihat contoh dibawah. Disitu, nampak ada tiga tingkat laporan bagian demi bagian. Laporan bagian pertama (paling atas), memuat aktivitas bagian I, serta bagian IJ, dan jumlah keseluruhan perusahaan. Adapun laporan bagian tengah, memuat perincian dari aktivitas bagian I, beserta jumlah seluruh kegiatan bagian itu. Sedangkan laporan bagian terakhir (bawah), memuat perincian aktivitas bagian I, serta jumlah keseluruhan aktivtas bagian itu. Dengan demikian, maka seluruh kegiatan diketabui dengan kegiatan bagian-bagiannya; dan setiap bagian diketahui masing-masing cabang kegiatan/aktivitasnya. Income Statement menurut bagian-bagian: Dipisahkan bagian per bagian : Bagian-bagian Jumlah Seluruh I u Perusahaan Rp Rp Rp } Penjualan 300.000.000 200.000.000 500.000.000 Harga pokok yang dijual 120.000.000 60.000.000 120,000,000 Biaya variabel lainnya 30,000,000 | — 20,000,000 50,000,000 | Jumlah biaya variabel 150,000,000 0.000.000 230.000.000 Laba kotor 130.000.000 | 120,000,000 270,000,000 Biaya tetap bagian-bagian 90.000.000 80.000.000 170.000.000 | (x) Laba kotor bagian-bagian 60.000.000 40.000.000 100.000.000 Biaya tetap beban induk 25,000.000 Laba neto sebelum pajak 75.000.000 | (xx) Dipisahkan/segmented menurut aktivitas bagian I: | Barang A Barang B Jumlah (Penjualan) | (Penjualan) Bagian I Rp Rp Rp Penjualan 200.000.000 100.000.000 300.000.000 Harga pokok yang dijual_— | _70.000.000 '50.000.000 120.000.000 184 Biaya variabel lainnya 20,000,000 10,000,000 30,000.00 Jumlah biaya variabel 90.000,000 60,000.000 150,000,000 Laba kotor 110.000.000 40.000.000 150.000.000 Biaya tetap sub-sub bagian 60.000.000 20,000,000 80.000.000 Laba kotor 50.000.000 2.000.000 70.000.000 Biaya tetap beban bagian 10,000,000 Laba neto sebelum pajak 60.000.000 Dipisahkan/segmentasi me- nurut cara penjualannya > Jumlah Penjualan Rp Penjualan 200.000.000 Harga pokok yang dijual 70.000.000 | Biaya variabel lainnya 20.000.000 | Jumlah biaya variabel 90,000,000 Laba kotor 110.000.000 Biaya tetap seksi 50,000,000 Laba kotor seksi-seksi 60.000.000 Biayatetap sebab subbg | ~ 0.000.000 Laba neto setelah pajak 50.000.000 Catatan : (00) Setiap bagian. dikenakan pengalokasian braya. (xx) Belum diberikan contoh dibebani perhitungan pajak penghasil tahunan yang dilakukan sendiri, seperti petunjuk dalam Undang-undang Pajak Penghasilan. Bila para pembaca telah selesai menelaah contoh singkat laporan bagian demi bagian yang diberi nama Income Statement menurut bagian-bagian itu; niscayalah akan dapat merasakan sendiri, bahwa laporan tersebut (bila hanya sampai disitu), masih terdapat kekurangannya. Kekurangan tersebut berupa : (1) Contoh bagaimana memperincikan penjelasan aktivitas bagian II, yang mempunyai laba kotor Rp40.000.000,- berupa barang-barang apakah yang diusahakannya dalam penjualan di bagian II itu. (?) (2) Contoh penjelasan yang memperinci aktivitas penjulannya barang-barang (semua barang) yang dijual oleh bagian II itu. (3) Bila diatas, sudah diberikan contoh memperinci kegiatan penjualan barang A, n.ska kegiatan penjualan barang B-nya, masih belum diberikan contoh. @) & _ (4) Di seksi penjualan, barangnya dengan sendirinya perlu ada spesifikasi penjuatan setiap jenis barang, baik volume barang yang dijual, harga pokoknya, dan harga jualnya sendiri. Penulis percaya bila contoh diatas telah anda pahami, maka tiada kesukaran yang akan anda alami untuk menyelesaikan kekurangan laporan yang 4 (empat) macam lagi itu. 7.2. DASAR KONSEP-KONSEP ALOKASI Laporan-laporan yang bagian demi bagian untuk dipergunakan oleh internal perusahaan, khusus dipersiapkan dalam bentuk seperti dicontohkan diatas. Dengan cara pembiayaan yang sama dan menggunakan bentuk iaporan seperti diatas, dengan suatu pengecualian. Yang terletak pada penanganan pembebanan biaya tetap. Disitu kita melihatnya, bahwa biayatetap menjadi beban dua bagian, demi yang pertama merupakan beban bagian-bagian, dan bagian lain merupakan beban induk. Bila biaya tetap itu tidak dapat dibagikan kepada bagian-bagian, maka ia menjadi beban induk. Selanjutnya, beban biayamasing-masing bagian tersebut dibagikan lagi pembebanannya, menurut pendekatan bantuan unsur-unsur yang ada dalam bagian yang bersangkutan, dengan memperhatikan : (1) Pertama, menurut keserasian dengan kelakuan/perilaku biayanya (apakah variabel, atau tetap) (2) Kedua, menurut keadaanya, apakah dapat secara langsung atau tidak dapat dibebankan kepada bagian-bagian yang ada. Kemudian, kita akan memperhatikan bagian-bagian yang terdapat didalam bentuk laporan diatas agak melebar atau agak mendalam. 7.3. PENJUALAN DAN LABA KOTOR ‘Untuk dapat menyajikan laporan yang berbagian-bagian, sangat perlu diselenggarakan pencatatan aktivitas penjualan oleh masing-masing bagian, pada seluruh organisasi. Bila telah dilakukan pengurangan terhadapnya dengan jumlah biaya variabel yang berkaitan, maka akan segera diketahui gambaran laba kotor setiap bagian, seperti yang ditunjukkan dalam laporan bentuk itu diatas. Sejenak mengulang perbincangan kita di bab yang lalu; kita tahu bahwa laba kotor itu merupakan/dapat diartikan sebagai hasil yang dapat mengukur naik atau turunnya jumlah satuan barang atau jasa yang dijual. Bila penjualan itu naik atau turun, maka hasil/ laba bersih dengan mudah akan dapat dicari, yang secara simpelnya membagi jumlah perubahan pendapatan penjualan dengan laba kotor tiap satuan atau dengan CM/Ratio. Bagian-bagian dengan laporannya, akan memberikan kemampuan kepada para manajer untuk membuat beberapa perhitungan, secara product by product, daerah per daerah, bagian demi bagian, sehingga memperoleh informasi yang diperlukan untuk melahirkan pandangan bagaimana perusahaan harus diurus selanjutnya dari waktu ke waktu atau dimodali, agar menjadi lebih kuat. 186 — EE 7.4. PENTINGNYA KEDUDUKAN BIAYA TETAP Tekanan yang kita berikan dalam pasal ini ialah bahwa, kegunaan laba kotor kita hadapkan dengan pentingnya kedudukan biaya tetap. Biaya tetap itu dianggap sangat penting kedudukannya pada setiap perusahaan, Dalam suatu keadaan, biaya variabel dan pendapatan saja, mungkin menjadi cukup/memadai bagi para manajer. bila benar-benar tiada beban biaya tetap. Tetapi pada keadaan lain, tidak mungkin demikian, bila beban biaya tetap hadir pada keadaannya di periode itu, pertimbangannyaakan menjadi lain, karena biayatetap mempunyai kedudukan yang penting dalam menentukan laba neto sebelum pajak. Juga dalam analisis Break Even. Pun pula dalam membuat perencanaan untuk dilaksanakan dalam periode mendatang. Kalau diatas kita pernah menyinggung bahwa jumlah pendapatan dan laba kotor saja (tanpa kehadiran biaya tetap) dianggap cukup/memadai untuk melakukan perhitungan dan perencanaan, maka segala keadaan harus dibawa kepada kondisi seperti itu terlebih dahulu. Mengapa demikian (?) Kita sudah menggaris bawahi bahwa biaya tetap itu penting kedudukannya. Bila ia dibiarkan, pada saat-saat kita lari cepat mengejar laba atau membuat rencana, biaya tetap akan mengganduli kita. Karena itu biaya tetap harus kita bebaskan terlebih dahulu. Artinya, tutuplah biaya tetap itu dengan laba kotor yang tiba/masuk lebih awal. Baik itu dalam pelaksanaan aktivitas pada periode yang berjalan, pada penganalisisan atau pada perencanaan. 7.5. BIAYA TETAP YANG DAPAT DIBEBANKAN LANGSUNG KEPADA BAGIAN- BAGIAN, DAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGIKAN. Biaya tetap yang dapat langsung dibagikan kepada bagian-bagian, adalah karena relevansinya dengan kegiatan/aktivitas bagian-bagian yang bersangkutan, dan secaramudah dapat diukur kemudian dibebankan. Biaya tetap yang tidak dapat dibagikan kepada bagian- bagian yang ada* karena merangkum pembiayaan untuk kepentingan perusahaan secara menyeluruh, schingga ia tergolong kepada biaya tidak langsung (indirect costs), menjadi beban induk. Bila kita sejenak menoleh kembali kepada diskusi kita di bab 2, kita akan teringat bahwa: (1) Bilabiaya, secara nyata dan secara fisik dipergunakan untuk menghasilkan suatu barang atau menjalankan aktivitas suatu bagian, maka biaya itu ialah biaya langsung produksi barang tersebut atau biaya langsung bagian yang dimaksud. (2) Biaya yang dialokasikan supaya dapat mendukung produksi atau berjalannya aktivitas bagian-bagian, maka biaya itu dinamakan biaya tidak langsung atau common costs. ‘Sebagai contoh saja, disini kita dapat menganggap biaya tetap, termasuk gaji manajer ca staf dari pada bagian yang bersangkutan, biaya iklan bagian itu dan sejenisnya, sebagai a tetap yang langsung dapat menjadi beban biaya tetap bagian yang bersangkutan. Be ikian pula penyusutan gedung dan peralatan lainnya yang langsung sepenuhnya di Catatatan : * Dalam literatur disebut "Common Costs” pergunakan oleh bagian itu. Adapun yang tidak dapat secara langsung dibebankan kepada bagian-bagian atau sebutlah Common Costs, termasuk biaya iklan yang menyeluruh untuk kepentingan perusahaannya, gaji karyawan kantor pusatnya, juga penyusutan-penyusutan yang menyangkut beban seluruh perusahaan, 7.6. IDENTIFIKASI BIAYA YANG LANGSUNG DAPAT DIBEBANKAN Thwal membedakan biaya yang secara langsung dapat dibebankan kepada bagian dan biaya tidak dapat dibebankan secara langsung kepada bagian-bagian, (dalam hal ini biaya tetap) akan nampak nyata dalam laporan yang berbagian-bagian, dimana akan kita ketahui yang mana dibagikan kepada bagian-bagian, dan biaya mana yang tidak dibagikan (Common Costs). Sebagai pembaca, kita akan mengerti bahwa pada keadaan yang sebenamya dapatlah dipilih mana biaya tetap yang dapat dibebankan, dan mana biaya tetap yang merupakan Common Costs. Suatu pedoman pemakaian yang agak luas, ialah menghidangkan laporan yang menyatakan biaya tetap yang dapat dibebankan kepada bagian-bagian, terdiri dari : Hanya, biaya-biaya tetap yang tidak akan timbul, manakala bagiannya sendiri tidak ada juga. Contohnya pada tabel diatas, kita dapatkan bagian I. Ta tidak akan mengalami beban biaya tetap, bila bagian I itu tidak ada, Kata lain (karena melihatnya dari segi lain) akan berbunyi, "Hidangkanlah biaya tetap yang bisa dibebankan kepada suatu bagian karena adanya kreasi dari bagian itu sendiri". Dengan pengindentifikasian seperti itu, maka dalam suatu organisasi akan diketemukan adanya biaya tetap yang : (a) Dapat secara langsung dibebankan kepada bagian-bagian yang bersangkutan (sebagai directly fixed costs). (b) Tidak dapat secara langsung dibebankan kepada bagian-bagian (sebagai Common Fixed Costs). 7.7. BIAYA TETAP YANG LANGSUNG DAPAT DIBAGIKAN KEPADA BAGIAN- BAGIAN (DIRECT FIXED COSTS) DAPAT MENJADI COMMON COSTS Biaya tetap langsung dalam laporan mungkin saja dapat menjadi Common Costs, bila perusahaan diciutkan menjadi bagian-bagian yang lebih sedikit/sederhana dari semula. Hal ini mengarah kepada bagaimana pada akhimya biaya-biaya tetap itu harus dibagikan pembebannya. Banyak sekali penentuan akhir yang diambil sebagai kebijakan perusahaan, bahwa banyak biaya tetap yang asalnya directly menjadi commonly. Cobalah lihat kembali contoh laporan diatas, dari situ kita akan ambil pemisalan berikut. Bagian Il, telah mempunyai Rp 80.000.000,- beban biaya tetap sebagai beban bagian itu. Kalau saja, kemudian aktivitas bagian II mengecil dan perhitungan pembebanan biaya tetap Iangsungnya, hanya dapat dihitung sampai Rp 75.000.000 (umpamanya), maka selisihnya sebesar Rp 5.000.000,- menjadi Common Fixed Costs. 188 Periksalah hubungan data di bawah ini. Laba kotor 150,000.000 Biaya tetap bagian 90.000.000 [ Aktivitas Barang X Rp Laba kotor 70.000.000 Biaya tetap sub bag 40.000.000 Laba bagian-bagian 30.000.000 Biaya tetap yang tak dibebankan (Common) Laba neto bagian itu. Mengapa jumlah Rp 10.000.000,- itu, dari biaya tetap langsung menjadi biayatetap yang common, setelah biaya tetap langsung diatur pembebannya menurut aktivitas sub bagiannya. Mungkin sekali jumlah Rp 10.000.000.- itu berupa penyusutan gedung yang dipergunakan oleh bagian II. Penyusutan, dapat kita dudukkan sebagai biaya tetap langsung bila seluruh penggunaan aktiva tetap yang disusutkan itu mempunyai relevansi dalam penggunaannya dengan aktivitas sub-sub bagian dari bagian itu. Akan tetapi, bila ada sebagian saja yang dipergunakan bagian itu, ada yang dipergunakan untuk kegiatan kantor bagian, maka harus ada bagian penyusutan yang dianggap sebagai biaya tetap yang common. 7.8. LABA KOTOR BAGIAN Pengobservasian terhadap laporan berbagian-bagian terdahulu. laba kotor bagian, kita dapatkan dari pemotongan biaya tetap beban bagian itu terhadap laba penjualan bagian itu. Ta ditonjolkan sebagai penjamin laba perusahaan setelah bagian itu dapat menutupi biaya 189 tetap langsung yang dibebankan kepadanya, yang setelah terhimpun pada lajur keseluruhan perusahaan, akan terbentuklah laba menyeluruh setelah diperhitungkan dengan biaya tetap yang tidak dapat dibebankan kepada bagian-bagian (its Commonly). Dilihat dari segi pengambilan keputusan, laba kotor bagian itu adalah penting dalam keputusan tersebut dalam hubunganya dengan kebutuhan jangka panjang dan pelaksanaan aktivitas perusahaan, seperti kapasitas bisa berubah, kebijakan penetapan harga dalam jangka panjang, dan pengembalian modal masing-masing bagian. Sebaliknya, untuk jangka pendekpun keputusan itu penting pula, mengingat laba kotor, penting dalam hubungannya dengan penetapan harga pesanan khusus, dan memanfaatkan kemampuan berkapasitas (yang ada) melalui kegiatan promosi. 7.9. BIAYA TETAP YANG TAK DAPAT DIBEBANKAN (COMMON FIXED COSTS) Dari laporan yang dicontohkan dalam tabel ierdahulu itu, kita tidak melihat adanya percobaan untuk membebankan common fixed costs kepada setiap bagian yang ada common costs tidak dibebankan kepada bagian-bagian, melainkan dipotongkan kepada laba Kotor seluruh bagian yang ditampung dalam lajur perusahaan (keseluruhan). Akuntan untuk manajemen (Managerial Accountant), berpendapat bahwa tiada gunanya membebankaa biaya tetap yang common itu kepada seluruh bagian yang ada. Mengingat akuntan harus mengurangi ketidak gunaan hal-hal lain yang dilaporkan dalam bagian- bagian laporan tersebut. Lebih dari itu, ada argumentasi bahwa percobaan membedakan biaya tetap yang common itu kepada bagian-bagian yang ada, akan melahirkan data yang mungkin sekali dapat membingungkan pemakai laporan sendiri. 7.10. PENGHITUNGAN YANG TUNTAS ATAS HASIL/PENDAPATAN PENJUALAN Dengan maksud untuk dapat memberikan informasi yang lebih lengkap, suatuperusahaan dapat menunjukkan jumlah penjualannya bersamaan dengan berbagai tinjauan. Misalnya saja suatu perusahaun memperlihatkan hasil penjualan dengan tiga macam cara : Pertama, terbagi menurut divisi. Kedua, terbagi menurut jenis barangnya, dan Ketiga, terbagi menurut daerah penjualannya. Dalam setiap cara, dinyatakan jumlah bagian-bagiannya serta jumlah keseluruhannya. Maksudnya supaya pemakai laporan (dalam hal ini tersering adalah manajemen), dapat melihat keadaannya yang menyeluruh, atau menemukan hal-hal yang sebelumnya belum terpikirkan. Di bawah ini, diberikan beberapa contoh. (1) Harga jual, biaya variabel dan laba kotor penjualan: untuk tiap satuan barang. Q) @B) Barang"X" | Barang"Y" a. Harga jual Rp 10.000 Rp 6.000 b. Biaya variabel Rp 6.000 Rp 4.000 cc. Laba kotor penjualan Rp 4.000 | ¥ Rp 2.000 Penjualan dalam satuan barang selama tahun 1984 Daerah penjualan Jumiah Timur Barat 3.000 7.000 10.000 6.000 9.000 15.000 Biaya tetap selama tahun 1984 Jenis barang Daerah penjualan Biaya tetap produksi Biaya tetap penjualan Biaya tetap administrasi 191 —— Grafik penyajian Laporan : Penjuatan | | Penjualan Penjualan dalam melalui menurut >> Pana negeri dealer | seis Barang dalam & twarmegeri )\1 Penjualan | | Metalui Menurut lar 1 dealar jenis |e negeri di luar negeri barang J [ Mobit Menurut Menurut Penjualan oleh ! Sedan [| jens i} dealer fe» | perusahaan | mobil daerah | es Jot L i 1 f — | 1 Menurut Menurut Truck jenis dealer [> pe truck daerah Penjualan i t menurut divisi | Suku Menurut Menurut ee cadang jenis suku dealer |, cadang daerah Gambar 46 Laporan menurut bagian-bagian dalam jumtah penjualan, berdasarkan jenis barang, dan berdasarkan daerah penjualan berdasarkan daerah penjualan : Berdasarkan jenis barang : Penjualan 190.000.000 Biaya variabel | 120.000.000 Laba kotor 40,000,000 | 30,000.00 | 70.000,000 Biaya tetap; produk 6.000.000 | 14.000.000 --> Biaya tetap adm. 1.500.000 | 3,500,000 Jumlah tetap yang langsung | 7.500.000 | 17.500.000 Laba/jenis barang 3.000.000 | 2.500.000 | 52.500.000 Common Fixed Costs: Penjualan Daerah ‘Adm. Penjualan Daerah Adm. Umum Jumiah Laba neto sebelum pajak Berdasarkan daerah penjualan: Penjualan Biaya variabel Laba kotor Biaya tetap langsung menurut daerah penjualan: Biaya penjualan Biaya administrasi Jumiah Laba menurut daerah penjualan ‘Common Fixed Costs: +> Produk \_» Adm. Jenis barang Administrasi unum Jumlah Laba sebelum pajak * Penjualan menurut daerah : Barang X Barang Y Jumiah Biaya variabel, menurut daerah : Barang X Barang Y Jumlah 22.000.000 4.500.000 9.000.000 35,500,000 17.000.000 Daerah Jumlah Barat Rp Rp | 124.000.000+] 190.000.000 | 78.000.000*} 120.000,000 46.000.000 70.000.000 10.000.000 22.000.000 2.300.000 4,500,000 12,300,000 | 26,500,000 33.200.000 | 43.500.000 14,000.000 3.500.000 9.000.000 26,500,000 17.000.000 Barat Jumiah 70.000.000 | 100.000.000 54.000.000 90.000.000 124.000.000 [eae 42.000.000 60.000.000 60.000.000 78.000.000 | 120.000.000 193 jaian Persediaan Per Seperti kita diskusikan dalam bab 3, Absorption Costing mengalokasikan suatu bagian dari biaya tetap/overhead produksi kepada setiap produk yang dihasilkan dalam suatu periode, melalui jalur overhead variabel produksi. Bila absorption costing itu mencampurkan biaya variabel dan biaya tetap secara bersamaan, maka satuan-satuan produksi_ yang pembiayaannya dilakukan dengan metoda itu, adalah kurang cocok dituangkan kedalam income statement. Karena itu, dirasakan perlu ada metoda penggantinya. Pilihan untuk mengganti metoda tersebut, jatuh kepada Direct Costing. Dengan metoda ini, telah dipakai oleh banyak pihak terutama oleh perusahaan-perusahaan, karena sangat membantu memudahkan interpretasi dalam membaca Income Statement 7.11. DIRECT COSTING Dalam Direct Costing, hanyalah biaya-biaya produksi dan biaya yang ada kaitannya dongaa produksi saja, yang dapat dianggap unsur harga pokok barang yang dihasilkan. Yang, terdiri dari; bahan langsung, upah langsung dan bagian-bagian yang variabel daripada overhead produksi. Adapun overhead pabrik (misalnya), tidak dimasukkan sebagai usnur harga pokok dalam metoda ini, karena ia dimasukkan sebagai biaya periodik, dan dibebankan sebagai biaya pertodik yang berkaitan dengan pendapatan. Konsekwensinya, terhadap persediaan barang selesai tidak akan ada elemen biaya yang berupa biaya/overhead produksi tetap yang melekat sebagai unsur harga pokok. Artinya, secara luas bermakna bahwa istilah Direct Costing yang tidak dilaksanakan seperti itu dalam kenyataannya, adalah keliru. Kata lain menyebutkan, istilah pembiayaan langsung itu merupakan metoda dimana mengakui biaya-biaya variabel atau marginal semata-mata. Istilah Direct Costing itu, adalah demikian khususnya memperoleh tempat dalam literatur manapun, sehingga mendapat nama pengganti baginya, namun metodanya tidak akan beralih. 7.12. ABSORPTION COSTING Juga dalam bab 3, kita pernah memperbincangkan, bahwa Absorption Costing melihat seniua biaya sebagai biaya produksi, baik itu biaya variabel maupun biaya tetap. Jadi tidak seperti Direct Costing, yang mengalokasikan sebagian saja dari biaya overhead, itupun bila nyata-nyata ada hubungannya dengan proses produksi. Harga pokok satuan barang menurut ‘Absorption Costing, mengandung bahan langsung, upah langsung, dan kedua jenis biaya overhead (biaya overhead variabel dan biaya overhead tetap) Untuk melihat perbedaan antara Direct Costing dan Absorption Costing secara, jelas, kita perlumeneliti/memperhatikan dahulu sampai kepada bagaimana penanganan biaya penjualan dan administrasi, meaurut kedua metoda itu. 7.13, MENGHITUNG HARGA POKOK SATUAN BARANG Sebagai ilustrasi, bagaimana menghitung harga pokok satuan barang, menurut kedua metoda diatas, yaitu Direct Costing dan Absorption Costing, kita akan menggunakan asumsi data dibawah ini. Perusahaan industri "CANTIK" menghasilkan satu macam barang. Ciri dari biaya dan rencana produksinya adalah : Jumlah produk tiap tahun 3.000 satuan Biaya variabel tiap satuan - Bahan langsung Rp 400 — Upah langsung Rp 300 — Overhead variabel Rp 100 - Biaya variabel penjualan & adm. Rp 200 Biaya tetap, tiap tahun, - Overhead produksi Rp 150.000 ~ _ Biaya penjualan & administrasi Rp 200.000 Hitunglah : (1) Harga pokok tiap satuan barang, menurut Direct Costing. (2) Harga pokok tiap satuan barang, menurut Absorption Costing. Jawabanya, ialah : (1) Menurut Direct Costing: a. Bahan langsung Rp 400 b. Upah langsung Rp 300 c. Overhead produksi Rp 100 Jumiah Rp 800 Catatan : Biaya overhead tetap (sekalipun urusan produksi) dinyatakan sebagai biaya periodik Rp 150.000,- (2) Menurut Absorption Costing a) Biaya variabel - Bahan langsung Rp 400 — Upah langsung Rp 300 — Overhead variabel Rp 100 Rp 800 b) Biaya tetapnya Rp 150.000 : 3.000 Rp 50 Jumlah Rp 850 195 Pertanyaan yang terlontar diatas, yang kemudian telah kita berikan jawabannya; memberikan petunjukkan kepada kita, bahwa bila ciri-ciri pembiayaannya seperti itu, maka perusahaan-perusahaan yang : +) Menggunakan metoda Direct Costing; akan menetapkan harga pokok satuan barang yang dihasilkan, untuk tiap satuan, Rp 800 **) Menggunakan metoda Absorption Costing, menetapkan harga pokok satuan barang yang dihasilkannya, untuk tiap satuan Rp 850 Oleh karena itu, bila harga jual tiap satuan barangnya adalah sama, maka laba kotor penjualan (Contribution Margin) untuk tiap satuan barangnya, akan berbeda. 7.14. PERTENTANGAN TENTANG OVERHEAD TETAP Mungkin sekali dalam Akuntansi Manajemen, kita temukan/dapati_ perselisihan/ pertentangan ‘iantara para akuntan umpamanya dalam Direct Costing. Pertentangan tersebut, tidaklah terletak pada bagaimana seharusnya melakukan pembagian pembebanan biaya variabel dan biaya tetap, dalam penyusunan rencana dan pengawasan. Tetapi, pertentangan itu ialah pada teori dasar kebenaran (justification theory) tentang harga pokok tiap satuan barang yang dihasilkan sehingga memasuki nilai persediaan. Nasihat-nasihat mengenai Direct Costing, memberikan argumentasi bahwa biaya over- head bertalian dengan kapasitas yang menunjukkan kemampuan menghasilkan, bukan semata-mata produk yang diselesaikan selama periode yang bersangkutan. Hal itu berlatar belakang pada, pembiayaan untuk fasilitas peralatan, asuransi, gaji pengawas, dan sejenisnya yang menimbulkan biaya untuk mendorong terwujudnya produksi, yang karenanya dapat melahirkan produk dalam periode yang bersangkutan, tetapi kemungkinan adanya produk yang masih dalam proses mendapat perhatian pula. Oleh karena itu, para panasihat/ahli biaya lebih cenderung menyarankan supaya biaya-biaya seperti itu dijadikan biaya periodik, daripada dikaitkan dengan produk selesai selama periode yang bersangkutan. Penasihat-penasihat/ahli-ahli Absorption Costing, memberikan argumentasi bahwa tidak ada perbedaan antara biaya overhead yang variabel dan yang tetap, seperti sedemikian jauhnya dipersoalkan dalam Direct Costing. Mereka berpendapat, biaya overhead tetap, seperti penyusutan dan asuransi adalah erat hubungannya dengan proses produksi, dan karenanya ia harus dianggap variabel, dan karenanya tidak patut diabaikan dalam menghitung harga pokok satuan produk. Supaya pembiayaan dihitung secara sempuma, mereka menganjurkan supaya setiap satuan produk menangeung/memikul (bear) setiap bagian yang wajar dari seluruh biaya produksi. 7.15. PERBANDINGAN ABSORPTION COSTING DAN DIRECT COSTING Daftar dibawah ini, membandingkan cara kerja Absorption Costing dan Direct Costing Data yang tersedia : Biaya produksi : — Persediaan awal - Variabel ~ Produk dihasilkan 5.000 satuan Bahan langsung ) ~ Satuan dijual 4,000 satuan — Harga jual Rp 10/satuan Upah langsne) Rp 4/satuan Overhead Biaya penjualan & Adm — Variabel Rp I/satuan Overhead tetap : - Jumlah yang tetap Rp 2.000 Jumlah Rp 10.000 Harga pokok tiap satuan Menurut Biaya variabel, dalam proses produksi Biaya overhead tetap : yang berjumlah Rp 10.000 menurut : Absorption Costing : Rp 10.000 : 5.000 - Direct Costing : Dimasukkan ke biaya periodik Jumlah Absorption Direct Costing Costing —_—___—__ Rp4 Rp4 Rp2 Rp6é Rp4 Perbandingan Income Statement, Absorption Costing & Direct Costing Penjualan (4.000 satuan @ Rp 10 Harga pokok barang yang dijual Persediaan awal Produksi, 5.000 satuan @ Rp 6 Persediaan akhir, 1.000 satuan @ Rp 6 Laba kotor penjualan Biaya-biaya lain/bukan produksi Biaya penjualan dan administrasi, Tetap-Rp 2.000. variabel-Rp 4.000 Laba neto sebelum pajak Rp Rp e——_}-—_——_ 40,000 30,000 6.000 24.000 16.000 6.000 10,000 Menurut Direct Costing: Penjualan : (4.000 satuan @ Rp 10) 40.000 Harga pokok barang yang dijual — Persediaan awal — Produksi, 5.000 satuan @ Rp 4 20.000 20.000 — Persediaan akhir, 1000 satuan @ Rp 4 4.000 16.000 — Laba kotor penjualan 24.000 - Biaya-biaya Biaya variabel penjualan 4,000 Biaya overhead tetap 10.000. Biaya penjualan dan administrasi tetap 2.000 16.000 Laba neto sebelum pajak 8.000 Catatan : Letak perbedaannya, adalah pada penetapan harga pokok tiap satuan produksi sebesar Rp 2.- tiap satuan barang, yang dalam Direct Costing lebih kecil, yang dengan sendirinya dibawa ke aset di neraca, juga dalam pendapatan akan lebih kecil, dibandingkan dengan mengabsorption Costing; 1,000 x Rp 2,- = Rp 2.000. Bila kita lihat gambaran-gambaran diatas, telah menyatakan kepada kita mengenai beberapa hal : (1) Dengan Absorption Costing, overhead tetap yang jatuhnya Rp 2,- untuk tiap satuan produk, dimasukkan sebagai unsur harga pokok. Bila barang yang dihasilkannya itu dijual, maka biaya tetap yang telah melekat pada satuan produk tersebut terbawalah kepada harga pokok barang yang dijual. Yang karena dalam periode itu dijual sebanyak 4,000 satuan maka biaya tetap dimaksud telah turut pula diperhitungkan sebesar 4.000 x Rp2=Rp 8.000. Sedangkan sisanya sebesar Rp 2.000,- lagi tertahan/tertanggungkan didalam nilai persediaan produk yang masih belum dijual. (2) Dengan Direct Costing, overhead tetap tidak dimasukkan sebagai unsur harga pokok produk yang diselesaikan, tetapi jumlah Rp 10.000,- itu diklasifikasikan sebagai biaya periodik, dalam kategori biaya penjualan dan biaya administrasi. Melalui cara memperhitungkan keseluruhan biaya tetap tersebut (tanpa dalam nilai persediaan yang masih belum terjual) membuahkan hasil pembiayaan dalam produksi Rp 2.000,- lebih rendah dari penetapan biaya menurut Absorption Costing. Dalam Direct Costing, hanya biaya-biaya variabel produksi saja yang menjadi unsur harga pokok barang selesai, dan melekat pada persediaan. Nilai persediaannya — Menurut Absorption Costing, 1000x Rp6 =Rp 6.000 — Menurut Direct Costing, 1000 x Rp 4 = Rp 4.000 Oleh karena itu, perbedaannya akan terletak pada nilai persediaan sebesar Rp 2.000. (3) Income Statement ala Absorption Costing tidaklah memuat perbedaan antara biayatetap dengan biaya variabel. Itu tidak menarik/serasi untuk menghitung VCP ratio, yang harus diberikan ketegasan untuk keperluan perencanaan dan pengawasan. Untuk memperoleh data analisis CVP dengan baik, perlu menggali laporan yang berdasar kepada Absorp- tion Costing. Pendekatan.dengan Direct Costing, merupakan suatu bantuan yang memudahkan membaca Income Statement, kendati kita akan menganalisisnya hingga memperoleh CVP ratio. (4 7.16. PENGERTIAN TENTANG ASSET (HARTA) Pada dasarnya, perbedaan antara Absorption Costing dan Direct Costing, adalah terletak pada masalah waktu. Mengenai Direct Costing, para ahli mengatakan bahwa overhead tetap hendaknya dapat dibebaskan/ditutup oleh pendapatan secara keseluruhan, sedangkan tentang Absorption Costing; para ahli itu mengatakan overhead tetap itu hendaknya dapat ditutup/dibebaskan oleh mendapatkan secara keping demi keping pada saat produk dijual. Setiap satuan produk yang tak terjual, menurut Absorption Costing akan mengandung bagian biaya tetap dan melekat pada persediaan dan masuk dalam harta (asset), dibawa ke periode yang mengikutinya. Pemecahan atas pertentangan tentang metoda pembiayaan mana yang baik/benar, perlu meletakkanya pada penghayatan yang meluas apakah dibebankannya biaya tetap kepada persediaan itu cocok dengan pengertian asset (harta) dipandang dari segi teori akuntansi. Apakah Assets itu (?) Biaya, adalah wajar dipandang sebagai asset, bila ia mempunyai daya mampu untuk ‘mendatangkan/menghasilkan pendapatan, atau ia jelas merupakan manfaat untuk menjalankan operasi perusahaan dimasa mendatang. Pendeknya, biaya itu merupakan asset (harta) bila ia dapat ditunjukkan/dibuktikan mempunyai potensi jasa dimasa berikutnya. Seperti asuransi dibayar dimuka. hak konsesi (ini pun dibayar dimuka), sewa dibayar dimuka. Barang dalam proses, persediaan bahan dan sejenisnya. Bila biays tetap produkst, dibebankan kepada persediaan barang selesai (menurut absorption costing), tentu sekali akan semestinya dianggap sebagai assets (harta), tetapi ia harus mempunyai potensi jasa seperti dimaksudkan diatas, (di masa datang). Pandangan Mengenai Absorption Costing Anli-ahli Absorption Costing memberikan argumentasi, bahwa biaya produksi dibebankan kepada persediaan, akan cukup beralasan, karena mempunyai manfaat atau potensi jasa dimasa yang mengikutnya. Mereka menggunakan posisi bahwa bila produksi,melebihi penjualan, daya manfaatnya akan digunakan kemudian; sedangkan untuk sementaradinyatakan asset (harga) dalam wujud persediaan, dan kemudian dapat dijual, untuk menghasilkan pendapatan, Mereka berargumentasi bahwa semua biaya terlibatkan dalam usaha organisasi mendorong produksi, dan pada setiap produk selesai masuk terlebih dahulu kedalam ersediaan yaitu sebagai elemen dari asset (harta), bukan saja biaya variabel. Biaya tetap 199 dalam bentuknya seperti penyusutan, asuransi, PBB, gaji, dll. sejenisnya, adalah penting bagi perusahaan dalam berkreasi dalam menghasilkan satuan-satuan produksi, seperti halnya biaya variabel. Pandangan Mengenai Direct Costing Penasihat-penasihat Direct Costing, memberikan argumentasi bahwa biaya mempunyai potensi jasa dan karenanya ia merupakan asset bila ia dapat menghasilkan pendapatan yang sekurang-kurangnya sama dengan nilainya yang sekarang. Jika tidak demikian biaya tidak dapat dianggap sebagai asset. Potensi jasa, dapat dikatakan sebagai the matter of future cost avoidance. (Masalah penghindaran biaya di masa datang). Bila nilai biaya waktu sekarang tidak akan bemnilai lagi di masa yang akan datang, maka biaya tersebut sudah tidak mempunyai relevansi lagi dengan keadaan di masa datang, sehingga biaya seperti itu tak mungkin dapat dianggap sebagai asset atau mempunyai potensi jasa. Umpamanya saja, biaya dibayar dimuka untuk asuransi, dipandang sebagai asset. mengingat uang telah keluar dikala asuransi sendiri belum berjalan efektif waktu/masanya, sehingga perusahaan melebihi polis asuransi (avoid/menghindari pengeluaran) untuk masa datang. Selama pembebanan biaya asuransi masih ditangguhkan, karena belum waktunya, maka pengeluaran tersebut masih dianggap sebagai asset (future cost avoidance). Tipe future cost avoidance seperti itu, tidaklah cocok untuk kita sejajarkan dengan diskusi kita mengenai biaya tetap produksi. Kalau kita meninjaunya untuk selama satu tahun (umpamanya), maka pemisalannyapun kita perlu ambil untuk selama satu tahun pula, sehingga dalam rencana untuk tahun berikutnyapun dapat diambil jumlah yang sama. Disini akan nampak sekali kepada kita bahwa future cost avoidance, akan lebih cocok dihubungkan dengan biaya periodik dari pada dihubungkan dengan biaya berproduksi. Argumentasi dari penasihat-penasihat Direct Costing, menyatakan (Karena alasan diatas) tidak ada biaya tetap apa pun yang patut diikut sertakan diperhitungkan kedalam/sebagai unsur harga pokok produksi, dan hendaknya tidak ada bagian biaya tetap masuk ke asset untuk dibawa ke tahun yang mengikutinya. 7.17. PERBANDINGAN DATA PENDAPATAN (DIPERLUAS) Setelah kita memperoleh beberapa pandangan atas konsep perbedaan antara Absorption Costing dan Direct Costing, sekarang kita mempersiapkan diri untuk memasuki diskusi mengenai beberapa perbedaan data pendapatan diantara kedua pendekatan tersebut. Di halaman berikutnya kita akan memperoleh gambaran yang memperbandingkan pendapatan menurut kedua pengalokasian biaya itu untuk selama tiga tahun berturut-turut. Dalam tahun pertama, produksi dan penjualan merupakan yang sebenarnya terjadi. Tahun kedua, jumlah produksi melebihi jumlah penjualan. Tahun ketiga, jumlah produksi lebih kecil dari jumlah penjualan. Beberapa hal tertentu, dapat kita lihat dari data tersebut ialah : (1) Bila produksi dan penjualan adalah sama jumlah satuannya, maka laba netonya akan sama diperoleh perusahaan, baik bila menggunakan Absorption Costing, maupun menggunakan Direct Costing, seperti yang nampak dalam tahun pertama*. Alasannya, ialah bahwa bila produksi dan penjualan itu sama/equal, tidak akan ada bagian biaya overhead tetap yang tertahan dalam persediaan, karena approach Absorption Costing. (2) Manakala produksi melebihi penjualan, aba neto menurut Absorption Costing lebih besar dari pada yang dilaporkan menurut approach Direct Costing, seperti dinyatakan dalam tahun kedua. Alasannya, ialah : Bahwa bila barang yang diselesaikan lebih banyak daripada yang dijual, sebagian dari biaya overhead produksi (tetap) akan melekat pada persediaan, masuk asset (kekayaan). Dicontohkan pada tabel yang akan datang itu sebesar Rp 3.000,- (1.000 x Rp 3) Sebaliknya, bila perusahaan menggunakan approach Direct Costing, penahanan/ penangguhan pembebanan biaya overhead tetap sebesar Rp 3.000,- tidak akan terjadi. (3) Bila penjualan (volume harganya) melebihi produksi, dalam approach Absorption Costing, labanetonya ternyata lebih kecil dibandingkan dengan laba neto yang diperoleh dengan approach Direct Costing. Kenyataan tersebut memang beralasan, karena lebih banyak yang diproduksi daripada yang dijual. Banyaknya penjualan barang ditunjang oleh persediaan yang sudah siap sejak akhir tahun yang mendahuluinya yang waktu itu sudah tercatat sebagai asset termasuk sebagian biaya tetapnya. Sedangkan dalam pendekatan dengan Direct Costing, pendapatan tahun ketiga itu hanya dikaitkan dengan pembiayaan produksi selama tahun itu dan biaya tetap taht pula, tanpa dikurangi dengan bagian dari biaya tetap bukan dianggap biaya tahun itu; tidak dibebankan kepada persediaan. Untuk waktu selanjutnya atau jangka panjang, kemungkinannya besar sekali laba neto menurut laporan ala Absorption Costing dan Direct Costing menunjukkan jumlah yang hampir sama atau betul-betul sama, karena lama-kelamaan tidak akan mungkin penjualan melebihi produksi. Yang logis, akan lebih kecil atau sama volumenya. Dalam jangka waktu yang panjang, penjualan tidak akan melebihi produksi, bahkan produk yang lebih besar dari pada penjualan. Dalam jangka pendek, gambaran laba neto akan dapat menunjukkan perubahan. Catatan. Pertimbangan lain akan membawa pengusaha untuk tidak berproduksi lebih besar dari penjualan, antara lain : (1) Membengkaknya/menumpuknya persediaan bakal terjadi. (2) Pembelanjaan atas persediaan tersebut, yang berakumulasi, serta berkonsekwensi terhadap membesarnya biaya modal yang harus dipikul oleh perusahaan. 4) Catatan * _ Kebetulan pengasumsian harga pokoknya sama, juga harga jualnya diasumsikan sama pula. (3) Tempat, pemeliharaan, pengamanan. (4) Mode yang lambat laun akan ketinggalan. Dibawah ini kita akan melihat bersama-sama gambaran keadaan, bila suatu perusahaan memproduksi barang dengan konstant, penjualan berubah, dilihat dari dua versi pendekatan pembiayaan. Absorption Costing v.s. Direct Costing & Perluasan data : Data Dasar Harga jual tiap satuan Rp 16 Biaya variabel produksi, tiap satuan Rp 6 Biaya overhead tetap (total) Rp 24.600 Harga pokok produksi tiap satuan : Menurut Direct Costing Rp 6 Menurut Absorption Costing Rp 5|———— ditambah biaya overhead tetap normal Rp 24.000 : 8.000) Rp 3 (produksi normal dinyatakan 8.000) Rp 6 Biaya tetap penjualan & AdmRp 25.000/thn. Mutasi barang Jumlah Tahun I Tahun IT | Tahon DY | 3 Tahun (Satuan) (Satuan) (Satuan) | (Satuan) Persediaan awal - - 1,000 - Produksi 8.000 8.000 8.000 24.000 Penjualan 8.000 7.000 9.000 24.000 Persediaan akhir : 1.000 -| e Menurut Direct Costing (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) Penjualan 96.000 84.000 108.000 288.000 Biaya variabel (*) 40.000 35,000 45.000 120.000 Laba kotor penjualan 56.000 49.000 63.000 168.000 Biaya-biaya tetap: Overhead produksi 24.000 24.000 24,000 72.000 Penjualan & Adm 25.000 25.000 25.000 75.000 49.000 49. 49.000 147.000 Laba neto sebelum pajak 7.000 - 14.000 | _21.000** 202 Menurut Absorption Costing (Rp) (Rp) Penjualan Persediaan awal Produksi Barang siap dijual Persediaan akhir Harga pokok yang dijual Laba kotor Biaya-biaya tetap Laba sebelum pajak Catatan : * Sebagai harga pokok yang dijual, @ Rp S/satuan. ** Laba netonya sama dalam jumlah tiga tahun, karena diasumsikan semua produksi terjual habis selama ini. Merekonsiliasi atas Direct Costing, Absorption Costing dan data pendapatan; dari daftar diatas Laba Neto/Direct Costing Overhead tetap dalam persediaan Laba Neto/Absorption Costing 7.18. PENJUALAN YANG KONSTAN, DENGAN PRODUKS! BERUBAH-UBAH Di halaman berikut ini, kita akan dapatkan sebuah daftar yang menggambarkan bagaimana sensitifaya perubahan-perubahan produksi dari tahun ke tahun terhadap penjualan selama tiga tahun berturut-turut. Yang perlu kita perhatikan, ialah bagaimana pengaruhnya perubahan-perubahan produksi tersebut, terhadap laba neto yang diperoleh, bila penjualannya konstan, menurut kedua pendekatan, baik Direct Costing, maupun dengan Absorption Costing. Direct Costing, menunjukkan Laba Neto dipengaruhi oleh perubahan-perubahan jumlah produksi. Padahal bila produksinya konstan, Laba Neto yang diperoleh menurut approach Direct Costing akan mendatar terus, bila tidak ada unsur pengaruh lain, seperti perubahan harga umpamanya. Dalam keadaan harga-harga yang tetap, tiada pengaruh apa-apa yang menganggunya. Absorption Costing, dalam approachnya dapat menunjukkan, bahwa perubahan dalam produksi mempengaruhi laba neto perusahaan, Bila kita memperhatikan daftar berikut ini, nampak jelas pada kita bahwa Laba Neto telah melonjak naik dari tahun pertama ke tahun kedua, dikarenakan naiknya produksi di tahun kedua bila diperbandingkan dengan tahun pertama. Kemudian laba netonya merosot dari tahun ke dua ke tahun ke tiga yang disebabkan turunnya produksi di tahun ketiga bila diperbandingkan dengan tahun sebelumnya. Kendati, jumlah satuan barang yang dijual adalah sama untuk ketiga tahun itu. Mengapa di tahun ke tiga nampak merosot sekali laba netonya (?) Sebabnya adalah karena di tahun ke dua perusahaan tersebut dengan approach Absorption Costingnya, pernah memisahkan biaya tetap sebagai assets dalam persediaan, sehingga Laba Netonya naik di tahun kedua itu. Maka karuan saja menjadi menurun di tahun ketiga, karena sudah diakui lebih dahulu sebagian di tahun sebelumnya. Perubshan sensitif dalam produksi dan penjualan TJ Data Dasar (1) Harga jual tiap satuan Rp 12 (2) Biaya variabel produksi tiap satuan Rp 5. (3) Jumlah biaya overhead, tetap Rp 24.000 (4) Jumlah biaya penjualan & administrasi (tetap) Rp 5.000 Tahun I Tahun I | Tahun IIT (Satuan) (Satuan) | (Satuan) Barang-barang Jumlah produk yang dihasilkan 6.000 8.000 4.000 Jumiah barang yang dijual 6.000 6.000 6.000 (Rp) (Rp) (Rp) Harga-harga Harga pokok produksi Menurut Approach Direct Costing 4 4 4 Menurut Absorption Costing Biaya Produksi Variabel 4 4 4) Biaya overhead tetap, sebesar Rp 24.000 dibagi produksi 4 3 6 8 7 10 Dengan Direct Costing Penjualan Biaya produksi variabel (Harga kotor yang dijual) Laba kotor penjualan Biaya-biaya tetap Produksi Penjualan dan administrasi Jumiah Laba Neto sebelum pajak Dengan Absorption Costing Penjualan Persediaan awal Harga pokok produk selesai Barang yang siap dijual Persediaan akhir Harga pokok yang dijual Laba kotor penjualan Biaya penjualan & administrasi Laba neto sebelum pajak Harga pokok barang yang dijual: (Rp) (Rp) (Rp) tt 60.000 60.000 60.000 24.000 24.000 24.000 36.000 36.000 36.000 24.000 24.000 24.000 5.000 5.000 5.000 29.000 29.000 29.000 7.000 7.000 7.000 (Rp) (Rp) (Rp) : = 14.000 48.000 56.000 40.000 48.000 56.000 54.000 - 14.000 54.000 48.000 42.000 34.000 12.000 18.000 6.000 5.000 5.000 5.000 7.000 13.000 1.000 7.19. ANALISIS CVP DAN ABSORPTION COSTING Secara luas, Absorption Costing dipandang sebagai metoda pembiayaan produksi. Banyak perusahaan yang mempergunakan metode Absorption Costing secara exclusive atau "Full Costing", dimana seluruh biaya produksi, baik biaya langsung maupun overhead produksi tetap dibebankan kepada produksi selesai. Bila pendekatannya dilakukan dengan mingguan, akan diketabui adanya ketidak mungkinan untuk dikaitkan dengan analisis sampai melahirkan CVP ratio yang mendekati kepastian/kebenaran. Di bawah ini kita mencobanya untuk menggunakan data yang ada, dalam berbagai kemungkinan dapat dihitung. Harga jual tiap satuan Rp 12 Biaya variabel tiap satuan, Rp 5 Lata kotor penjualan/satuan Rp 7 Biaya overhead tetap Rp 24.000 Biaya tetap, penjualan dan administrasi Rp 25.000 Jumlah biaya tetap Rp 49.000 Bila data tersebut, kita pergunakan untuk menghitung break even point, maka akan lahir : Jumlah biaya tetap Rp 49.000 —____—__—__= — = 7.000 satuan Laba kotor penjualan satuan Rp7 Setelah kita selesai dengan menghitung dimana atau ditingkat penjualan berapa terdapat titik break even perusahaan tersebut, ialah pada tingkat penjualan 7.000 satuan produk. Dengan approach pembiayaan yang mana titik break even itu kita hitung. (?) Ialah dengan Contribution Approach, yang terdiri dari biaya-biaya variabel menurut Direct Costing, dalam mana secara eksak perusahaan menemukan break evennyadi tahun ke dua. Sedangkan bila perusahaan itu menggunakan approach Absorption Costing, dalam tahun ke dua ia akan mempeoroleh laba Rp 3.000 Mengapa terjadi demikian (?) Jawabannya, terletak pada kenyataan, bahwa tahun kedua itu; dengan Absorption Costing, ada sejumlah Rp 3.000,- bagian dari biaya overhead tetap yang ditahan dalam persediaan barang selesai, schingga tidak menjadi unsur memotong atas pendapatan di tahun tersebut. Oleh karenanya, Absorption Costing tidak akan cocok bila dihubungkan dengan break even point. Tetapi data menurut Absorption Costing pun dapat cocok dipergunakan dalam analisis break even, bila kedudukan persediaan barang selesai tidak berubah-ubah. Approach Absorption Costing, mempunyai kemungkinan yang sulit sekali untuk dibawa kepada penganalisisan OVP. Malahan sering-sering menimbulkan upaya pemanipulasian data, bila dipaksakan. 7.20LAPORAN UNTUK EXTERNAL DAN PAJAK PENGHASILAN Laporan keuangan yang disajikan, diantaranya diperlukan untuk kepentingan external. Perusahaan perlu menyatakan pembiayaannya dalam Approach Absorption Costing. Cara yang disukai dalam penetapan pajak penghasilan, adalah metoda Absorption Costing. Sedangkan untuk keperluan internal yang dipergunakan oleh manajemen adalah metoda Contribution Approach/Direct Costing. Mayoritas dari akuntan akan menilai bahwa ;Aasorprion Costing dipergunakan untuk keperluan laporan kepada pihak luar. Masalahnya, kebanyakan akuntan merasakan, setiap satuan produk selesai harus memikul bagian overhead variabel produksi. Absorption Costing mengargumentasikan bahwa setiap satuan produksi tidak dibiayai sepenuhnya, karena biaya tetap perusahaan sulit diukur dan dibebankan kepada setiap satuan produk. _ Contribution Approach/Direct Costing sebagian besar dikalangan intern merupakan suatu bantuan bagi manajer manakala suatu situasi data menurut approach Absorption Gosting tidak memungkinkan untuk dibuav/dilakukan analisis CVP nya.

Anda mungkin juga menyukai