Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PIDANA KERJA SOSIAL DAN PIDANA

PENJARA

2.1 Pidana Kerja Sosial


2.1.1 Pengertian dan Tujuan Pidana
Hukum pidana merupakan salah satu jenis hukuman yang ada pada ilmu

hukum di Indonesia dan diatur dalam KUHP yang di dalamnya terdapat

pengaturan mengenai sanksi pidana pokok dan pidana tambahan pada Pasal 10

KUHP. Pidana itu sendiri berasal dari kata straf (Belanda) yang lebih dikenal

dengan istilah hukuman. Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian “pidana”

yakni hukum kejahatan atau hukum untuk perkara kejahatan/kriminal.22

Moelyatno dalam bukunya Mahrus Ali yang berjudul “Dasar-Dasar Hukum

Pidana” mengatakan, istilah hukuman berasal dari kata “straf” dan istilah

“dihukum” yang berasal dari “wordt gestraft” merupakan istilah yang

konvensional.23 Beliau mengatakan tidak setuju jika istilah tersebut menggunakan

istilah yang inkonvensional, yaitu jika pidana menggantikan kata “straf” dan

diancam pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraft”. Hal ini dapat

dikatakan bahwa Moelyatno membedakan istilah “pidana” dengan “hukuman”.

22
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed.II,
Cet.IX, Balai Pustaka, Jakarta, h. 360.
23
Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Ed. 1, Cet.2, Sinar Grafika, Jakarta, h. 185.

24
25

Istilah “hukuman” merupakan suatu istilah umum dan konvensional yang

dapat mempunyai arti luas dan berubah-ubah karena istilah tersebut dapat

berkonotasi dengan bidang yang cukup luas tidak hanya dalam bidang hukum,

tetapi juga dalam istilah sehari-hari seperti dibidang pendidikan, moral, agama

dan sebagainya. Oleh karena “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka

perlu adanya pembatas pengertian yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifat

yang lebih khas mengenai pidana itu sendiri.

Andi Hamzah seorang ahli hukum di Indonesia juga membedakan istilah

pidana yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf, sedangkan

hukuman merupakan suatu istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis

sanksi baik dalam hukum perdata, administrasi, dan sebagainya. Istilah pidana

menurut Andi Hamzah dapat diartikan secara sempit yakni, sanksi yang berkaitan

dengan hukum pidana dan pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan

yang dengan sengaja diberikan.24

Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-

syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas

delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara

pada delit itu.25 Secara lebih jelas H.L.A Hart dalam bukunya Yudi Wibowo

24
Andi Hamzah, 2008, Asas - Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, (selanjutnya
disingakat Andi Hamzah I) , h. 27.
25
Mahrus Ali, op.cit, h.186.
26

Sukinto yang berjudul “Tindak Pidana Penyelundupan di Indonesia Kebijakan

Formulasi Sanksi Pidana”, menyatakan bahwa :

Punishment must :
a. involve pain or orther consequence normally considered unpleasant;
b. be for an actual or supposed for his offence;
c. be for an offence against legal rules;
d. be intentionally administered by human beings other than the offender;
be imposed and administered by an authority constited by a legal
system against with the offence is committed.26
Terjemahan bebas: Menurut H.L.A Hart, pidana harus meliputi 5 hal, yaitu :
a. rasa sakit atau sesuatu yang tidak menyenangkan;
b. ditujukan untuk perbuatan pidananya;
c. perbuatan tersebut melawan hukum;
d. dilakukan dengan niat jahatnya; dan
e. dihukum oleh kekuasaan yang berwenang untuk menangani kejahatan-
kejahatan. 27

Menurut Van Hamel dalam bukunya P.A.F dan Theo Lamintang yang

berjudul “Hukum Penitensier Indonesia”, arti pidana atau straf menurut hukum

positif dewasa ini adalah:

Een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehanhaafd

rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtrading, van wage den

staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met met de

rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken. 28

26
Yudi Wibowo Sukinto, 2013, Tindak Pidana Penyelundupan di Indonesia Kebijakan
Formulasi Sanksi Pidana, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 98.
27
Ibid.
28
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Ed. 2, Cet 2,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 33.
27

Terjemahan Bebas :

Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh

kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara

sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang

pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu

peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.29

Pada umumnya jika dilihat dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa,

pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa

yang sengaja diberikan oleh badan hukum berwenang kepada seseorang, yang

telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang perbuatan tersebut telah

melawan hukum. Akan tetapi disatu sisi tidak semua sarjana menyetujui pendapat

bahwa hakikat pidana adalah pemberian nestapa, hal ini diungkapkan oleh

Husman dalam bukunya Ninik Suparini yang berjudul “Eksistensi Pidana Denda

dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan” bahwa pidana menyerukan untuk tertib;

pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi

tingkah laku dan untuk menyelesaikan konflik.30

Pidana merupakan suatu sanksi yang dimaksudkan untuk memberikan

penderitaan kepada pelaku tindak pidana agar menimbulkan efek jera. Akan tetapi

di satu sisi sanksi pidana juga harus membuat agar pelaku tindak pidana dapat

kembali hidup bermasyarakat sebagaimana layaknya, hal ini yang menjadikan

29
Ibid.
30
Ninik Suparini, 2007, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Ed.
1 Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, h.12.
28

hukum pidana sebagai pedang bermata dua. Di Indonesia pada Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana saat ini menggunakan double track system, yaitu

mempergunakan dua jenis sanksi yakni pidana dan tindakan hal ini bertujuan agar

tercapainya tujuan hukum yakni memberikan kepastian, kemanfaatan dan

keadilan. Jika ditinjau tujuan dari pidana itu sendiri dapat dilihat dari aliran-aliran

dalam hukum pidana (strafrechtscholen) dan teori pemidanaan. Adapun aliran-

aliran dalam hukum pidana yakni :

1. Aliran Klasik
Menurut aliran ini tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi
individu dari kekuasaan penguasa atau negara, sedangkan tujuan
pidananya adalah untuk memperjuangkan hukum pidana yang lebih adil
dan obyektif dalam penjatuhan pidana.
2. Aliran Modern Aliran Kriminologi
Tujuan hukum pidana menurut aliran ini adalah mengembangkan
penyelidikan terhadap kejahatan dan penjahat, asal-usul serta cara
pencegahan agar masyarakat terlindung dari kejahatan.31

Kedua aliran tesebut di atas pada dasarnya memiliki tujuan pidana yang

sama, yakni sama-sama bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tetap

mendapatkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan dari suatu aturan perudang-

undangan baik itu kepada terdakwa ataupun korban. Pidana merupakan sanksi

yang dijatuhkan kepada seseorang sebagai upaya terakhir dalam sebuah perkara.

Perlu atau tidaknya hukum pidana dalam masyarakat terletak pada tujuan yang

hendak dicapai pada suatu perkara.

Penggunaan hukum pidana di masyarakat jika dilihat dalam kebijakan

penegakan hukum, merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah-masalah

sosial yang terjadi. Hal ini berarti bahwa kebijakan penegakan hukum termasuk

31
Ibid, h. 14.
29

dalam kebijakan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan di

masyarakat. Mengambil suatu kebijakan untuk menggunakan hukum pidana

biasanya dimulai dengan proses kriminalisasi yang perbuatan tersebut dapat

dipidana dan dalam suatu undang-undang perbuatan tersebut memang diancam

dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Mengingat hukum pidana hanyalah

penyaring dari sekian banyak perbuatan yang tercela, maka ada empat hal yang

harus diperhatikan dalam pembuatan suatu undang-undang yakni :

1. Tujuan hukum pidana;

2. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki;

3. Perbandingan antara sarana dan hasil;

4. kemampuan badan penegak 32

Berkaitan dengan tujuan pidana yang garis besarnya telah disebut dimuka,

maka muncul lah teori-teori mengenai hal tersebut. Ada tiga golongan utama teori

untuk membenarkan penjatuhan pidana :

1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeidingstheorien)

Teori absolut atau teori pembalasan merupakan teori yang meletakan

gagasan tentang hak untuk menjatukan pidana yang keras. Teori ini

mengemukakan bahwa pidana merupakan akibat mutlak yang harus diterima

sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan, dengan alasan

seseorang tersebut harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan,

sehingga dia harus menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Dari sinilah

32
Ibid, h.15.
30

sudah terlihat bahwa dasar utama teori absolut atau teori pembalasan adalah balas

dendam terhadap pelaku atau dengan kata lain, dasar pembenaran dari pidana

terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

Menurut Johannes Andenaes, tujuan dari pidana menurut teori absolut ini

adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice),

sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekundernya.33

Sementara itu, Kal O. Christiansen mengindentifikasi lima ciri pokok dari teori

absolut, yakni;

a. Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan


b. pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung
sarana untuk tujuan lain seperti kejahatan masyarakat;
c. kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat pemidanaan;
d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku
e. pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan
bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi si
pelaku.34

Kaitannya dengan pertanyaan sejauhmana pidana perlu diberikan kepada

pelaku kejahatan, teori absolut menjelaskan sebagai berikut:

1. Dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam si


korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya serta
masyarakat. Perasaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk
menuduh tidak menghargai hukum. Tipe ini disebut vindicative.
2. Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan pada pelaku
kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman
yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain
secara tidak wajar akan menerima ganjarannya. Tipe ini disebut
fairness.

33
Ibid, h.16
34
Mahrus Ali, op.cit, h.187.
31

3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya keseimbangan antara


apa yang disebut dengan the gratify of the offence dengan pidana yang
dijatuhkan. Tipe ini disebut proporsionality.35
Dilihat dari pemaparan teori absolut atau teori pembalasan diatas dapat

ditarik kesimpulan bahwa dasar pembenar dari pidana pada kejahatan itu sendiri

yakni, agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas, karena keharusan

tersebut sifatnya mutlak. Hal tersebut dilakukan karena pada teori ini

berpandangan bahwa setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari

perbuatannya, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembalasan yang semata-

mata didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan.

2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien)

Teori relatif atau teori tujuan merupakan teori yang berusaha mencari dasar

pembenar dari suatu pidana semata-mata pada satu tujuan tertentu, dimana tujuan

tersebut berupa tujuan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh

kejahatan dan tujuan untuk mencegah agar orang lain tidak melakukan

kejahatan.36

Nigel Walker menamakan teori relatif ini sebagai paham reduktif

(reduktivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan

aliran ini adalah untuk mengurangi frekwensi kejahatan. Penganut teori ini

meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau

beberapa cara sebagai berikut :

35
Mahrus Ali, op.cit, h.189.
36
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, h. 15.
32

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu


membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan
pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana
yang dijatuhkan;
2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential
imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang
potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana
yang telah di jatuhkan pada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut
akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;
3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki
tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk
cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa
ketakutan dari ancaman pidana
4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya
kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat
mengurangi frekwensi kejahatan
5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara
yang cukup lama.37

Teori ini memang sangat menekankan pada kemampuan pemidanaan

sebagai suatu upaya mencegah terjadinya kejahatan khususnya bagi terpidana.

Secara umum ciri-ciri pokok atau karakteristik teori relatif ini sebagai berikut :

a. Tujuan pidana adalah pencegahan;


b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebgai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada si pelaku saja yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
e. Pidana melihat kedepan (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung
unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan
tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan
untuk kepentingan masyarakat.38

37
Muhamad Muladi, 2008, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah Pertemuan ke 3, Medan,
(selanjutnya disingkat Muladi II), h.2.
38
Mahrus Ali, op.cit, h.191.
33

Teori relatif pada dasarnya berusaha mencari dasar pembenaran pidana

semata-mata pada suatu tujuan dari pemidanaan, yang tujuannya harus diarahkan

kepada suatu upaya agar dikemudian hari kejahatan yang telah dilakukan tidak

terulang lagi dan bisa dicegah. Adapun sifat pencegahan dari teori ini ada 2

macam, yaitu :

1. Teori Pencegahan Umum (Algemene Preventive Theorieen)

Teori ini memiliki sifat untuk menakut-nakuti agar membuat orang jera,

hal ini bertujuan agar semua masyarakat tidak melakukan kejahatan. Teori

pencegahan umum yang dilakukan dengan cara menakuti orang banyak,

dilakukan beberapa cara yaitu : menjalankan pidana yang kejam dihadapan

orang banyak, paksaan psikologis yaitu dengan kodifikasi hukum pidana

dan ancaman yang berat dan menjatuhkan hukuman lebih berat dari

kesalahan si pembuat.39

2. Teori Pencegahan Khusus (special preventive)

Teori pencegahan khusus ini menyatakan bahwa tujuan pidana yang dingin

dicapai membuat jera, memperbaiki, dan membuat penjahat itu sendiri

menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan lagi.40

Teori relatif atau teori tujuan jika dilihat dari beberapa pengertian diatas dan

dilihat dari sifat pencegahannya maka teori ini dalam penjatuhan pidana dan

pelaksanaannya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana dari

39
Andi Hamzah ,1986, Sistem Pidana dan Pemidana Indonesia dari Retribusi dan Reformasi,
Pradnya Paramita, Jakarta, (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II), h.20.
40
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, loc.cit.
34

kemungkinan mengulangi kejahatan lagi, serta mencegah masyarakat luas pada

umumnya dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang

telah dilakukan terpidana maupun lainnya. Orientasi pemidanaan tersebut dalam

rangka menciptakan dan mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat.

3. Teori gabungan (verenigingstheorien)

Teori gabungan merupakan suatu teori sebagai jalan keluar dari teori absolut

dan teori relatif yang belum dapat memberi hasil yang memuaskan. Teori

gabungan memberikan pertimbangan-pertimbangan bahwa, di dalam menjatuhkan

pidana tidak hanya mempertimbangkan masa lalu (pembalasan), tetapi juga

sekaligus wajib mempertimbangkan masa depan (teori tujuan). Menurut teori

gabungan, pidana hendaknya didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalas dan

mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi

dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa enghilangkan unsur

kecendrungan untuk melakukan perbuatan jahat.41

Tercapainya tujuan pidana tidak terlepas dari masalah pidana itu sendiri,

sehingga dalam perumusan tujuan pemidanaan bertolak atau berorientasi pada

diterapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan, sehingga jelas

kebijaksanaan yang pertama-tama harus dimasukkan dalam perencanaan strategis

dibidang pemidanaan adalah menetapkan tujuan pidana dan pemidanaan.

Mengingat akan pentingnya tujuan pemidanaan secara eksplisit dalam RUU

KUHP merumuskan tujuan pemidanaan yaitu :

41
Yudi Wibowo, op.cit, h.105.
35

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma


hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Tujuan pemidanaan selain yang disebut diatas dalam ayat (2) disebutkan

bahwa tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat

manusia, dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum di dalam RUU

KUHP tersebut merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia

meliputi usaha prevensi, koreksi, kedamaian dalam masyarakat dan pembebasan

rasa bersalah pada terpidana. Dari penjabaran di atas terlihat bahwa tujuan

pemidanaan dapat berubah-ubah, karena dalam hal ini hukum pidana berfungsi

dalam masyarakat yang pada dasarnya gambaran masanya akan bergantung pada

pikiran-pikiran yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

2.1.2 Pengertian Pidana Kerja Sosial


Pidana kerja sosial merupakan pidana jenis baru di Indonesia yang pada

prakteknya pidana tersebut sudah dilaksanakan dan diterapkan diberbagai negara.

Berdasarkan kajian baik teoritis maupun praktis pidana kerja sosial yang

dilakukan oleh negara-negara Eropa merupakan alternatif dari pidana perampasan

kemerdekaan. Secara etimologi istilah “pidana kerja sosial” berasal dari dua kata

yaitu “pidana” dan “kerja sosial”. Pidana kerja sosial adalah suatu bentuk pidana

dimana pidana yang dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial
36

yang ditentukan dan pelaksanaan pidana tersebut tidak bersifat komersial.42

Istilah pidana kerja sosial dalam wacana ilmu hukum pidana, diterjemahkan ke

dalam bahasa Inggris dengan istilah Community Service Order.

Secara sederhana “pidana kerja sosial” dapat diartikan sebagai pidana yang

berupa kerja sosial. Pidana kerja sosial merupakan jenis pidana yang berbeda

dengan pidana perampasan kemerdekaan, dimana pidana tersebut dijalani oleh

terpidana di luar lembaga dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial yang

ditentukan. Secara teoritis pidana kerja sosial mengandung beberapa dimensi

yakni :

a. Pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana kemerdekaan jangka pendek


Kencenderungan yang terjadi di internasional dalam penerapan pidana
kerja sosial di beberapa negara Eropa baik itu sebagai pidana mandiri
atau sebagai penjatuhan pidana bersyarat adalah menjadikan pidana kerja
sosial sebagai alternatif pidana kemerdekaan jangka pendek yang artinya
pidana kerja sosial hanya akan dijatuhkan kepada seseorang terdakwa
yang diancam dengan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek.
b. Pidana kerja sosial sebagai alternatif sanksi apabila denda tidak dibayar
Pidana kerja sosial di beberapa negara seperti Italia, Jerman dan Swiss
dapat dijadikan sebagai pidana alternatif apabila, ada seorang terdakwa
oleh hakim dijatuhi denda kemudian tidak dapat membayar denda
tersebut, maka sebagai ganti tidak terbayarnya denda tersebut terpidana
harus menjalani pidana pengganti yang dalam pelaksanaanya dapat
digantikan dengan pidana kerja sosial.
c. Pidana kerja sosial dalam kerangka grasi
Di beberapa negara Eropa seperti Belanda dan Jerman pidana kerja
sosial ini dapat menjadi syarat diterapkannya grasi. Grasi tersebut dapat
dijatuhkan atau diterapkan kepada seorang terpidana dengan syarat
bahwa terpidana harus melakukan pidana kerja sosial.43

42
Tongat, op.cit, h.7.
43
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradidalan Pidana, Penerbit Universitas Diponogoro,
Semarang, (selanjutnya disingkat Muladi III), h.139.
37

Secara umum di negara Eropa maupun di RUU KUHP Indonesia, pidana

kerja sosial dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang tidak terlalu berat dan

melebihi pidana denda katagori I.44 Penerapan pidana kerja sosial yang berlaku di

berbagai negara memiliki penegasan bahwa pidana kerja sosial harus atas

persetujuan terpidana. Persetujuan terpidana ini dibutuhkan untuk menghindari

adanya konflik dengan berbagai konstitusi maupun traktat yang melarang kerja

paksa (force labour), sehingga hakim dapat menjamin bahwa terpidana memang

mempunyai motivasi untuk melakukan pidana kerja sosial.45

Pidana kerja sosial jika dilihat dari aspek perlindungan masyarakat maka

terpidana dapat terhindar dari stigmatisasi, kehilangan rasa percaya diri yang

sangat diperlukan dalam pembinaan narapidana. Adanya pidana kerja sosial,

terpidana dapat menjalani kehidupannya secara normal sebagaimana orang yang

tidak sedang menjalani pidana.

2.2 Pidana Penjara


2.2.1 Pengertian Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan salah satu pidana pokok yang diatur dalam Pasal

10 KUHP maupun RUU KUHP, yang berwujud perampasan kemerdekaan

seseorang. Dikatakan perampasan kemerdekaan seseorang karena pada umumnya

44
Pasal 80 RUU KUHP Ayat (3) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan
katagori, yaitu :
a. Kategori I Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah);
b. Kategori II Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
c. Kategori III Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah);
d. Kategori IV Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
e. Kategori V Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan
f. Kategori VI Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah);
45
Tongat, op.cit, h.12.
38

pelaksanaan pidana penjara membatasi kebebasannya untuk dijalankan di dalam

gedung penjara yang sekarang ini di Indonesia dinamakan Lembaga

Pemasyarakatan, atau walaupun pada waktu-waktu tertentu di jalankan di luar

Lembaga Pemasyarakatan tetapi kebebasanya masih berada dalam pengawasan.46

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak

dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam

sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati semua

peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang

dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib.47 Menurut Pasal 69 ayat (1)

Peraturan tentang Lembaga Pemasyarakatan (gesrichtenreglement) Tahun 1917,

ada lima macam hukuman yang dapat dikenakan terpidana karena telah melanggar

tata tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan, yaitu :

a. dihentikan kemudahan-kemudahan yang berhak mereka terima


berdasarkan gesrichtenreglement dan peraturan-peraturan rumah tangga
Lembaga Pemasyarakatan untuk suatu jangka waktu yang tidak
melebihi satu bulan;
b. dikenakan suatu penutupan secara menyendiri untuk jangka waktu yang
tidak lebih lama dari delapan hari;
c. dikenakan seperti yang dimaksud huruf b, ditambah dengan pemberian
makan yang terdiri dari nasi dan air saja;
d. dikenakan seperti yang dimaksud huruf c, ditambah dengan kewajiban
untuk melaksanakan hukumannya di dalam sebuah penjara dengan
jeruji besi, dengan tidak mengurangi lamanya pidana kurungan atau
pidana penjara yang harus meraka jalankan di dalam lembaga
pemasyarakatan, untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari delapan
hari.48

46
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo,1990, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum,
Hukum Pidana Kodifikasi,Ghalia Indonesia, h.83.
47
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, h.54.
48
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, h.60-61.
39

Dilihat dari kedua pengertian di atas maka, pada intinya pidana penjara

merupakan pidana perampasan kemerdekaan yang ditempatkan disebuah

Lembaga Pemasyarakatan dan mewajibkan orang tersebut taat pada tata tertib

yang belaku dalam lembaga pemasyarakatan. Pada masa yang lampau, di dunia

Barat timbul masalah apakah terpidana penjara menjalani pidananya secara

terpisah atau diasingkan dari terpidana penjara lainnya. Ada beberapa sistem

penjara yang dikenal di dunia yakni :

1. Sistem Pennsylvania

Sistem Pennsylvania dipraktekkan di negara bagian Amerika Serikat pada

tahun 1829 dengan sistem, hukuman yang dijalani secara terasing dalam sebuah
49
sel dan yang dihukum itu hanya dapat berkontak dengan penjaga sel. Dalam

bukunya Wirjono Prodjodikoro yang berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana di

Indonesia” menyebutkan bahwa Pennsylvania menghendaki para hukuman terus-

terusan ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar sel.50

Adanya sistem Pennsylviania diharapkan yang terhukum dapat insyaf atas

dosa yang telah ia perbuat dan akan dapat memperkokoh daya menolak tiap

pengaruh yang jahat. Harapan yang dibuat untuk sistem Pennsylviania oleh

konseptornya ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, sehingga dalam

penerapannya kemudian ada perubahan bahwa, terhukum diperkenankan

49
Made Widnyana, 1988, Pidana Dan Permasalahannya, Jurusan Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.37.
50
Wirjono Prodjodikoro,2014, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia,PT. Refika Aditama,
Bandung, h.182.
40

melakukan sejenis pekerjaan tangan dan secara terbatas menerima tamu akan

tetapi tetap ia dilarang bergaul dengan sesama orang yang dihukum.51

2. Sistem Auburn

Sistem Auburn pada mulanya dipraktekkan di sebuah penjara di kota

Auburn Amerika Serikat yang menentukan bahwa para hukuman pada siang hari

disuruh bersama-sama bekerja tetapi tidak boleh berbicara.52 Hal ini ternyata pada

prakteknya susah di terapkan karena perintah untuk tidak bicara itu bertentangan

dengan tabiat manusia.

3. Sistem Irlandia

Sistem Irlandia dalam bukunya Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi yang

berjudul “Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana” memaparkan bahwa sistem

Irlandia menghendaki para hukuman mulan-mula ditutup terus-menerus, tetapi

kemudian dipekerjakan bersama-sama, dan tahap demi tahap diberi kelonggaran

bergaul satu sama lain sehingga pada akhirnya, setelah tiga perempat dari lamanya

hukuman sudah lampau, dimerdekakan dengan syarat.53 Hal ini dimaksudkan

untuk melatih yang terhukum agar menjadi seorang anggota masyarakat yang

baik. Sesuai dengan usaha reformasi (perbaikan dari yang terhukum) maka

hukuman penjara menurut sistem Irlandia tersebut dijalani melalui tiga tingkatan,

yaitu :

51
Made Widnyana, op.cit.,h.38.
52
Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h,183.
53
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, 2014, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana,
Prenadamedia Group,Jakarta, h.69.
41

a. tingkat pertama (probation), yang dihukum diasingkan dalam sebuah sel


malam dan siang hari selama delapan atau Sembilan bulan sampai satu
tahun. lamanya pengasingan di sel itu tergantung pada kelakuan yang
terhukum.
b. tingkat kedua (public work prison), yang tehukum dipindahkan ke satu
penjara lain dan dipenjara lain tersebut ia diwajibkan bekerja bersama-
sama dengan orang-orang yang dihukum itu dalam penjara yang dibagi
dalam empat kelas.
c. tingkat ketiga (ticket of lrave), yang dihukum dibebaskan dengan
perjanjian dari kewajiban untuk menjalani sisa waktu lamanya
hukumannya. Ia diberikan satu “ticket of leave” selama masa sisa waktu
lamanya hukumannya itu ia masih dibawah pengawasan. 54

4. Sistem Elmira dan Borstal

Sistem Elmira pengadilan tidak lagi menetapkan lamanya hukuman penjara

yang bersangkutan, sedangkan sistem Borstal pengadilan masih tetap menentukan

lamanya hukuman penjara yang bersangkutan akan tetapi pada prakteknya kedua

sistem ini memiliki hasil yang sama.55

5. Sistem Osborne

Sistem Obsborne ini dikemukakan oleh Thomas Mottosborne, sistem ini

memberikan “self-government” bagi dan dari yang terhukum di dalam penjara. Di

sebagian besar penjara di Indonesia, mandor-mandor penjara yang mengawasi

atau memimpin yang terhukum dalam melakukan pekerjaannya didalam maupun

diluar tembok penjara diangkat dari kalangan yang terhukum sendiri.56

Dewasa ini, pidana penjara tidak lah sama dengan pidana penjara pada

waktu dulu yang dilakukan dengan cara menutup para terpidana di menara-

54
Made Widnyana, op.cit., h.41.
55
Made Widnyana, op.cit., h.42.
56
Made Widnyana,loc.cit.
42

menara, di puri-puri, di benteng-benteng dan lain-lain. Hukum pidana penjara

ditunjukan kepada penjahat yang menunjukkan watak buruk dan nafsu jahat.

Hukuman penjara diatur dalam Pasal 12 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling
lama lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh
tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh
memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara
selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan
pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima
belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan,
pengulangan atau karena ditentukan pasal 52.
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi
dua puluh tahun.

Penjatuhan pidana penjara di Indonesia selama-lamanya adalah lima belas

tahun, hal ini merupakan batas maksimal yang diambil dari sistem pidana Jerman,

hal-hal yang bersifat khusus seperti telah terjadinya suatu pengulangan atau

recidive, ataupun karena dihubungkan dengan sifat dari pelakunya sebagai

seorang pegawai negeri maka hukumanya diperberat dengan ditambah sepertiga.57

2.2.2 Kritik terhadap Pidana Penjara


Pidana perampasan kemerdekaan atau lebih dikenal dengan pidan penjara

merupakan salah satu bentuk dan jenis pidana yang paling sering digunakan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

Pidana penjara pada umumnya mengandung beberapa aspek negatif dalam

prakteknya yang membuat narapidana tidak menjadi lebih baik. Pada prakteknya

57
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, h.65.
43

kehidupan dipenjara memungkinkan seseorang untuk menjadi lebih professional

dibidang kejahatan, hal ini didasarkan pada budaya prilaku yang ada dalam

penjara dimana “penjahat kelas teri” harus tunduk dan taat pada “penjahat kelas

kakap” yang sering kali secara tidak langsung “penjahat kelas teri” mempelajari

pola-pola kejahatan yang menyebabkan mereka menjadi lebih profesional dalam

melakukan tindak kejahatan. Selain itu adanya stigma negatif bagi narapidana

menyebabkan narapidana tidak bisa melanjutkan kehidupannya secara produktif

dalam masyarakat.

Melihat dalam penerapan pidana penjara menimbulkan hal yang negatif

baik itu pada narapidana maupun masyarakat maka dalam perkembangannya

pidana penjara menuai banyak kritikan baik dari para ahli maupun masyarakat

yang menganggap pidana penjara dewasa ini kurang efektif dalam mencapai

tujuan pemidanaan itu sendiri. Secara garis besar kritik tersebut terdiri dari kritik

yang moderat dan kritik ekstrem. Kritik moderat pada intinya masih

mempertahankan pidana penjara namun penggunaanya dibatasi; sedangkan kritik

yang ekstem menghendaki hapusnya sama sekali pidana penjara.58 Menurut Barda

Nawawi, kritik yang moderat terhadap pidana penjara dapat dikelompokkan

dalam tiga kritik yaitu:

a. Kritik dari straftmodus melihat dari sudut pelaksanaan pidana penjara, dari
sudut sistem pembinaan atau treatment dan kelembagaan atau institusinya.
b. Kritik dari sudut strafmaat melihat dari sudut lamanya pidana penjara,
khususnya ingin membatasi atau mengurangi penggunaan pidana penjara
jangka pendek.

58
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet.1,Citra Aditya Bakti,
Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi III) h.33.
44

c. Kritik dari sudut straftshort ditujukan terhadap penggunaan atau


penjatuhan pidana penjara dilihat sebagai jenis pidana, yaitu adanya
kecenderungan untuk mengurangi atau membatasi penjatuhan pidana
penjara secara limitatif dan selektif.59
Gerakan penghapusan pidana penjara (prison abolition) merupakan gerakan

yang mengkritik pidana penjara secara ekstrem. Salah satu tokoh gerakan “prison

abolition” ini ialah Prof Herman Bianchi yang menyatakan :

“The institution of prison and imprisonment are tobe for ever abolished,

entirely and totally, no trace should be lift of this darkside inhuman history”

Terjemahan Bebas:

lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selama-

lamanya secara keseluruhan. Tidak sedikitpun (bekas) yang patut diambil

dari sisi yang gelap di dalam sejarah kemanusiaan ini.60

Pada umum kritikan pidana pejara yang dilakukan oleh para ahli lebih

menitik beratkan pada pidana penjara pendek. Pidana penjara itu sendiri tidak bisa

dibuang secara keseluruhan eksistensinya, maka munculah pidana penjara jangka

pendek yang kemudian menjadi sorotan oleh para ahli. Salah satu ahli yang

berpendapat bahwa pidana penjara pendek tidak membuat perubahan yakni adalah

S.R. Brody. S.R dalam bukunya Barda Nawawi yang berjudul kapita selekta

hukum pidana menyatakan bahwa lamanya waktu yang dijalani di dalam penjara,

tampaknya tidak berpengaruh pada adanya penghukuman kembali (reconviction).

59
Ibid, h.34.
60
Ibid, h. 33.
45

Tidak ada bukti bahwa pidana penjara yang lama, membawa hasil yang lebih baik

dari pada pidana pendek.61

Pidana penjara baik itu pidana penjara jangka pendek pada dasarnya dapat

dikatakan keduanya menimbulkan berbagai masalah. Seperti halnya terpidana

akan terkontaminasi kearah hal-hal yang negatif dan jumlah narapidana di

lembaga pemasyarakatan menjadi tidak seimbang dengan jumlah bangunan

lembaga pemasyarakatannya, sehingga lambat laun LAPAS akan menjadi Over

Capacity, yang mengakibatkan penerapan hukuman menjadi kurang efektif dan

tujuan dari pidana itu sendiri tidak dapat berjalan dengan optimal.

2.2.3 Pidana Kerja Sosial sebagai alternatif Pidana Penjara


Banyaknya kritikan mengenai pidana penjara di Indonesia membuat adanya

perubahan dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dalam

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia yang

menambahkan pidana kerja sosial sebagai salah satu jenis pidana pokok.

Diadopsinya pidana kerja sosial dalam sistem hukum pidana Indonesia tidak

terlepas dari tekad untuk menjadikan hukum pidana di Indonesia yang tidak saja

berorientasi pada perbuatan tetapi juga berorientasi pada pelaku sekaligus.

Pidana kerja sosial dibeberapa negara Eropa merupakan sanksi pidana yang

menjadi suatu alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan atau yang lebih

dikenal dengan pidana penjara. Jika dilihat dari segi ekonomi maka

kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak

dari kenyataan bahwa biaya yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai

61
Ibid, h. 39.
46

pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan sangat besar baik itu dari segi

makanan maupun pakaian. Pidana kerja sosial dirasa sangatlah penting untuk

dikembangkan dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia karena mengingat

adanya beberapa dampak negatif dari pidana penjara itu sendiri yakni :

a. Seseorang narapidana dapat kehilangan kepribadian atau identitas diri,


akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan (Loos
of Personality);
b. Selama menjalani pidana narapidana selalu dalam pengawasan petugas
sehingga ia kurang merasa aman, selalu merasa dicurigai atas
tindakannya (Loos Of Security);
c. Dengan dikenai pidana jelas kemerdekaan individualnya terampas, hal
ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah,
sehingga dapat menghambat proses pembinaan (Loos of Liberty);
d. Dengan menjalankan pidana dalam lembaga pemasyarakatan, maka
kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapapun dibatasi (Loos Of
Personal Communication);
e. Selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat merasa
kehilangan pelayanan yang baik, karena semua dikerjakan sendiri (Loos
Of Good and Service);
f. Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut
jenis kelamin, jelas narapidana akan merasakan terampasnya naluri
seks, kasih sayang dan kerinduan pada keluarga (Loos Of
Heterosexual);
g. Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan
yang bermacam-macam baik dari petugas maupun sesama narapidana
lainnya, dapat menghilangkan harga dirinya (Loos Of Prestige);
h. Akibat dari berbagai perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan, narapidana dapat menjadi kehilangan akan rasa
percaya diri (Loos Of Belief);
i. Narapidana selama menjalani pidananya di dalam Lembaga
Pemasyarakatan karena perasaan tertekan dapat kehilangan daya
kreatifitasnya, gagasan-gagasannya dan imajinasinya (Loos Of
Creatifity).62

Pemaparan di atas jika ditinjau dari segi kemanusiaan sangatlah jauh dengan

tujuan pemidanaan yang menjadikan orang yang baik dan berguna serta dapat

membebaskan rasa bersalah pada terpidana, selain itu dari segi narapidana yang

62
C.I.Harsono,1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, h.60.
47

terkadang hak asasinya di langgar baik secara langsung maupun tidak langsung,

hal ini lah yang dapat menjadi dasar bahwa perlu adanya alternatif dari pidana

penjara itu sendiri dan salah satu alternatif yang bisa digunakan yakni pidana

kerja sosial. Adanya pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana penjara dapat

secara umum membawa dampak positif bagi terpidana yakni akan meniadakan

efek negatif berupa “pendidikan kejahatan oleh penjahat”, mengurangi

stigmatisasi seorang terpidana sebagai “penjahat” dan jika dilihat segi ekonomi

maka pidana kerja sosial dapat menekan biaya negara karena pemerintah tidak

perlu mengeluarkan uang terlalu besar untuk kebutuhan narapidana selama ada di

Lembaga Pemasyarakatan.

Anda mungkin juga menyukai