A. Pengertian
Diabetes Melitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemia kronik yang
disertai dengan berbagai kelainan metabolik yang diakibatkan oleh gangguan
hormonal yang menimbulkan berbagai macam komplikasi kronik pada organ
mata, ginjal, saraf, pembuluh darah disertai lesi padda membran basalis dalam
dengan menggunakan pemeriksaan dalam mikroskop (Arief Mansjoer dkk,
2005).
Menurut Arif Mansjoer (2005), klasifikasi pada penyakit diabetes mellitus
ada dua antara lain: Diabetes Tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM)). Diabetes tipe ini juga jenis diabetes yang sering disebut DMTI yaitu
Diabetes Mellitus Tergantung Pada Insulin. Pada tipe ini yaitu disebabkan oleh
distruksi sel beta pulau langerhans diakibatkan oleh proses autoimun serta
idiopatik. Diabetes Mellitus Tipe II, diabetes tipe II atau Non Insulin Dependent
Diabetes mellitus (NIDDM) atau jugu DMTTI yaitu Diabetes Mellitus Tak
Tergantung Insulin. Diabetes tipe II ini disebabkan karena adanya kegagalan
relativ sel beta dan resistensi insulin. Resistensi insulinmerupakan turunnya
kemampuan insulin dalam merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer, untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tersebut tidak
dapat mengimbangi resistensi insulin ini seutuhnya, yang dapat diartikan terjadi
nya defensiensi insulin, adanya ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya
sekresi insulin terhadap rangsangan glukosa maupun glukosa bersama
perangsang sekresi insulin yang lain, jadi sel beta pancreas tersebut mengalami
desentisisasi terhadap glukosa.
Ulkus diabetik merupakan permasalahan yang sudah sering muncul
sekarang dimana luka pada kaki penderita diabetes melitus yang diakibatkan
karena suatu infeksi yang menyerang sampai ke dalam jaringan subkutan.
Apabila luka ulkus diabetik ini tidak dilakukan perawatan yang baik maka proses
penyembuhan akan lama, dan faktor-faktor resiko infeksi semakin tinggi bahkan
apabila infeksi sudah terlalu parah seperti terjadi neuropati perifer maka dapat
juga dilakukan amputasi guna mencegah adanya pelebaran infeksi ke jaringan
yang lain. adapun tindakan lain seperti debridement, dan nekrotomi.
Debridemen merupakan sebuah tindakan pembedahan lokal yang
dilakukan pada penderita ulkus diabetik dengan cara pengangkatan jaringan
mati dari suatu luka, jaringan mati tersebut dapat dilihat, warna lebih terlihat
pucat, cokelat muda bahkan berwarna hitam basah atau kering.
B. Penyebab
Etiologi atau factor penyebab penyakit Diabetes Melitus bersifat heterogen,
akan tetapi dominan genetik atau keturunan biasanya menjanai peran utama
dalam mayoritas Diabetes Melitus (Riyadi, 2011). Adapun faktor – faktor lain
sebagai kemungkinan etiologi penyakit Diabetus Melitus antara lain :
1. Kelainan pada sel B pankreas, berkisar dari hilangnya sel B sampai dengan
terjadinya kegagalan pada sel Bmelepas insulin.
2. Faktor lingkungan sekitar yang mampu mengubah fungsi sel b, antara lain
agen yang mampu menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan
karbohidrat serta gula yang diproses secara berlebih, obesitas dan
kehamilan.
3. Adanya gangguan system imunitas pada penderita / gangguan system
imunologi
4. Adanya kelainan insulin
5. Pola hidup yang tidak sehat
C. Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi dari WHO (1985) dibagi beberapa type yaitu :
1. Diabetes Mellitus type insulin, Insulin Dependen Diabetes Mellitus (IDDM)
yang dahulu dikenal dengan nama Juvenil Onset Diabetes (JOD),
penderita tergantung pada pemberian insulin untuk mencegah terjadinya
ketoasidosis dan mempertahankan hidup. Biasanya pada anak-anak atau
usia muda dapat disebabkan karena keturunan.
2. Diabetes Mellitus type II, Non Insulin Dependen Diabetes Mellitus (NIDDM),
yang dahulu dikenal dengan nama Maturity Onset Diabetes (MOD) terbagi
dua yaitu :
a. Non obesitas
b. Obesitas
Disebabkan karena kurangnya produksi insulin dari sel beta
pancreas, tetapi biasanya resistensi aksi insulin pada jaringan perifer.
Biasanya terjadi pada orang tua (umur lebih 40 tahun) atau anak
dengan obesitas.
3. Diabetes Mellitus type lain
a. Diabetes oleh beberapa sebab seperti kelainan pancreas, kelainan
hormonal, diabetes karena obat/zat kimia, kelainan reseptor insulin,
kelainan genetik dan lain-lain.
b. Obat-obat yang dapat menyebabkan huperglikemia antara lain
:Furasemid, thyasida diuretic glukortikoid, dilanting dan asam hidotinik
c. Diabetes Gestasional (diabetes kehamilan) intoleransi glukosa selama
kehamilan, tidak dikelompokkan kedalam NIDDM pada pertengahan
kehamilan meningkat sekresi hormon pertumbuhan dan hormon
chorionik somatomamotropin (HCS). Hormon ini meningkat untuk
mensuplai asam amino dan glukosa ke fetus.
D. Epidemiologi
Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi
Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care,
2004). Sedangkan hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia
45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan
daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.
Prof. Tjandra Yoga mengatakan berdasarkan hasil Riskesdas 2007
prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk
usia >15 tahun diperkotaan 5,7%. Prevalensi nasional Obesitas umum pada
penduduk usia >= 15 tahun sebesar 10.3% dan sebanyak 12 provinsi memiliki
prevalensi diatas nasional, prevalensi nasional Obesitas sentral pada penduduk
Usia >= 15 tahun sebesar 18,8 % dan sebanyak 17 provinsi memiliki prevalensi
diatas nasional. Sedangkan prevalensi TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)
pada penduduk usia >15 tahun di perkotaan adalah 10.2% dan sebanyak 13
provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi nasional. Prevalensi kurang
makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi kurang aktifitas fisik
pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2%. Disebutkan pula bahwa prevalensi
merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% dan prevalensi
minum beralkohol dalam satu bulan terakhir adalah 4,6%.
E. Patofisiologi
Insulin merupakan hormon endokrin yang diproduksi dalam sel beta pulau
langerhans pada pankreas. Hormon ini berperan utama dalam membolehkan
sel-sel tubuh untuk menyimpan dan menggunakan karbohidrat, lemak, dan
protein. Selain itu juga insulin berperan sebagai katalis untuk menstimulasi
enzim dan bahan kimia lain untuk produksi energi. Sekresi hormon insulin
distimulasi oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah yang dihasilkan dari
makanan karbohidrat yang dikonsumsi. Sekresi ini terjadi biasanya 10 menit
setelah makan.
Glukosa merupakan sumber bahan bakar utama untuk reaksi metabolisme
energi dalam tubuh. Glukosa ini diperoleh melalui ingesti, glukoneogenesis, dan
glikogenolisis. Kadar glukosa dalam darah yaitu sekitar 70 – 140 mg/dl yang
mana dipertahankan dalam batas normal oleh regulasi dari hormon insulin dan
glukagon.
Defisiensi insulin yang bersifat absolut dan relatif pada diabetes mellitus
akan mengakibatkan proses transportasi glukosa dalam darah kedalam sel
terganggu, hal ini akan meningkatkan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia.
Pada diabetes mellitus tipe I hiperglikemia akan mengakibatkan ginjal
mengeksresikan glukosa tersebut kedalam urin yang biasanya tidak terjadi,
sehingga akan ditemukan glukosa dalam urin atau glukosuria. Peningkatan
glukosa dalam urin akan diikuti oleh peningkatan seksresi air sehingga terjadi
peningkatan eksresi urin (poliuria). Peningkatan eksresi air melalui urin akan
meningkatkan tekanan osmotik koloid plasma sehingga air dalam sel akan
tertarik kedalam intravaskuler yang akhirnya air dalam sel berkurang dan pusat
rasa haus akan terangsang dan akan membuat klien diabetes mellitus
melakukan banyak minum (Polidipsia).
Defisiensi insulin absolut pada diabetes mellitus tipe I juga akan
mengakibatkan glukosa dalam sel berkurang, sehingga mekanisme lapar
terjadi dan membuat klien diabetes ingin makan secara berlebihan (Poliphagia).
Selain itu simpanan glukosa yang berkurang dalam sel akan mengganggu
proses metabolisme energi, sehingga proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis dapat terjadi sebagai kompensasi tubuh dalam mendapatkan
sumber bahan bakar cadangan untuk metabolisme energi. Proses peningkatan
glukoneogenesis akan berakibat pada peningkatan akumulasi hasil akhir
metabolisme yang dapat mengganggu fungsi tubuh, seperti zat-zat keton
sebagai hasil akhir pemecahan asam lemak. Peningkatan akumulasi zat-zat
keton dalam tubuh ini akan mengganggu keseimbangan asam dan basa dan
klien pada saat ini jatuh pada kondisi diabetik ketosidosis.
Pada diabetes mellitus tipe II hiperglikemia sebagai akibat defisiensi insulin
relatif terjadi karena dua faktor utama yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Hiperglikemia terjadi karena insulin yang disekresi tidak mampu
untuk mentranspor glukosa kedalam sel, karena reseptor insulin di membran
sel jumlahnya berkurang, sehingga glukosa dalam darah tetap tinggi. Selain
peningkatan kadar glukosa darah pada diabetes mellitus tipe II juga terjadi
peningkatan kadar insulin dalam darah atau dalam batas normal. Hal tersebut
terjadi karena hiperglikemia akibat resistensi insulin akan terus menstimulasi
sekresi insulin oleh pankreas.
I. Pemeriksaan penunjang
1. Glukosa darah sewaktu. Ba¬tas¬nya 200 mg/dl (11 mmol/l) untuk GDS.
2. Kadar glukosa darah puasa. Batasnya 120 mg/ml (7 mmol/l) untuk GDP.
3. Tes toleransi glukosa. Dengan tes ini diabetes mellitus dapat di¬singkirkan
jika terdapat hiperglikemia atau glukosuria tanpa adanya penyebab tipikal
(penyakit kronis, terapi steroid) atau saat kondisi pasien memang mengalami
glukosuria. Tes ini dilakukan de¬ngan melakukan pemeriksaan GDP
kemudian memberikan glukosa oral (2 g/kg un¬tuk anak <3 tahun, 1.75 g/kg
untuk anak 3-10 tahun, atau 75 g untuk anak >10 ta¬hun) dan dites dua jam
kemudian. Angka GDP di atas 120 mg/dl (6,7 mmol/l) dan GDS 2 jam PP di
atas 200 mg/dl (11 mmol/l) merupakan petanda diabetes mellitus.
J. Penatalaksanaan medis
Semua penderita IDDM membutuhkan terapi insulin. Hanya anak-anak
dengan dehidrasi berat, muntah terus-menerus, kelainan metabolik, atau anak
dengan penyakit kronis yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dengan
rehidrasi intravena. Pengobatan pun harus dilaksanakan secara terpadu; orang
tua dan anak diajarkan untuk senantiasa mengecek sendiri kadar gula darah,
menginjeksi insulin, serta untuk mengenali dan mengobati hipoglikemia.
Diperlukan konsultasi ke ahli gizi, ahli diabetes, ahli oftalmologi, serta kadang
psikolog.
Diet untuk anak dengan IDDM merupakan komponen yang sangat
esensial. Tujuan diet pada IDDM ialah menyeimbangkan asupan makanan
dengan dosis insulin dan aktivitas dengan cara menjaga kadar glukosa dalam
rentang normal. Sebaiknya dapat diperkirakan jumlah karbohidrat yang
dikandung dalam suatu makanan terutama bagi yang menggunakan insulin
kerja cepat secara injeksi atau pompa ketika makan. Karbohidrat kompleks
(mis. Sereal) dapat dikonsumsi sebelum tidur untuk mencegah terjadinya
hipoglikemia nokturnal, terutama bagi yang mengkonsumsi insulin dua kali
sehari.
DM merupakan kelainan metabolisme energi sehingga asupan makanan
harus dijaga agar sebisa mungkin membatasi nutrisi yang membutuhkan
metabolisme energi. Saat ini makanan yang dianjurkan ialah tinggi serat dan
karbohidrat namun rendah lemak. Karbohidrat sebaiknya 50-60% dari total
asupan energi, tidak lebih dari 10% dari sukrosa. Lemak harus kurang dari 30%
dan protein sebanyak 10-20%.
Tidak ada pantangan untuk beraktivitas bagi penderita IDDM, namun
kadang setelah melakukan aktivitas berat dapat terjadi hipoglikemia yang
meliputi tungkai, menyebabkan sulit berjalan, lari, atau bersepeda. Setelah
beraktivitas berat disarankan mengkonsumsi makanan dalam jumlah agak
banyak sebelum tidur.
Insulin mutlak diperlukan bagi penderita IDDM dengan rute pemberian
yang beraneka macam. Januari 2006 lalu US-FDA telah menyetejui
penggunaan insulin inhaler untuk dewasa yang diekstrak dari manusia, namun
dicabut kembali karena harganya tidak dapat dijangkau semua kalangan.
Terdapat tiga golongan insulin secara klinis, yakni short-acting (mis. Regular,
soluble, lispro, aspart, glulisine), medium dan intermediate-acting (isophane,
lente, dentemir), serta long-acting (ultralente, glargine). (Baca Terapi Insulin
untuk Praktek Sehari-hari)
Selain insulin, obat-obatan lain yang perlu diwaspadai mengurangi efek
hipoglikemik insulin ialah asetazolamid, ARV, asparaginase, fenitoin, isoniazid,
diltiazem, diuretik, kortikosteroid, tiasid, estrogen tiroid, kalsitonin, kontrasepsi
oral, diazoxide, dobutamin, fenotiazin, siklofosfamid, litium karbonat, epinefrin,
morfin, dan niasin. Sedangkan obat yang meningkatkan efek hipoglikemik
insulin ialah ACE-inhibitor, alkohol, tetrasklin, penyekat beta, steroid anabolik,
piridoksin, salisilat, MAO-inhibitor, mebendazole, sulfonamid, fenilbutazon,
klorokuin, klofibrat, fenfluramin, guanethidine, octreotide, pentamidine, dan
sulfinpyrazone.
K. Penatalaksanaan keperawatan
1. Pengkajian
Fokus utama pengkajian pada klien Diabetes Mellitus adalah
melakukan pengkajian dengan ketat terhadap tingkat pengetahuan dan
kemampuan untuk melakukan perawatan diri. Pengkajian secara rinci
adalah sebagai berikut
a. Pengkajian Primer
Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik,antara lain :
1) Airway
Lidah jatuh kebelakang (coma hipoglikemik), Benda asing/ darah pada
rongga mulut
2) Breathing : Ekspos dada, Evaluasi pernafasan
a) KAD : Pernafasan kussmaul
b) HONK : Tidak ada pernafasan Kussmaul (cepat dan dalam)
c) Oxygenation : Kanula, tube, mask
3) Circulation :
a) Tanda dan gejala schok
b) Resusitasi: kristaloid, koloid, akses vena.
c) Hemorrhage control : -
4) Disability : pemeriksaan neurologis GCS
A : Allert : sadar penuh, respon bagus.
V : Voice Respon : kesadaran menurun, berespon thd suara.
P : Pain Respons : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara,
berespon thd rangsangan nyeri.
U : Unresponsive : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, tdk
bersespon thd nyeri.
b. Pengkajian Sekunder
Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan pertolongan
atau penenganan pada pemeriksaan primer.
Pemeriksaan sekunder meliputi :
4) Pemeriksaan Diagnostik
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi
6. Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius