Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat pada jaman sekarang menuntut Pemerintah lebih transparan,
responsif dan partisipatif. Selain itu Pemerintah juga dituntut menggunakan
sumber daya keuangan, SDM dan material secara 3E (ekonomis, Efisien dan
Efektif). Tambahan dengan kemajuan demokrasi dan perkembangan teknologi
maka tuntutan lainnya adalah pembagian wilayah, desentralisasi dan otonomi
daerah.
Untuk memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut, Pemerintah berusaha
memperbaiki tata kelola pemerintahannya menjadi lebih bersih, transparan dan
menerapkan good governance and good local governance. Untuk tujuan jangka
panjang, Pemerintah juga mulai berusaha menerapkan manajemen pemerintahan
yang stratejik seperti halnya pihak swasta atau dengan istilah mewirausahakan
birokrasi. Melihat kesuksesan penerapan manajemen stratejik di sektor swasta,
pemerintah mulai mempelajari penerapannya di sektor pemerintahan.
Disisi lain, Pemerintahan di era Presiden Jokowi berusaha memprioritaskan
pembangunan sesuai dengan NAWACITA dimana di point ke 3 dari 9 point
prioritas pembangunan ditekankan pentingnya pembangunan Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara
kesatuan.
Untuk memenuhi komitmen prioritas pembangunan Desa tersebut, Pemerintah
menganggarkan Dana Desa dalam RAPBN 2017 yaitu sebesar Rp.60 trilyun.
Besaran dana desa ini mengalami kenaikan 3 kali lipat dari tahun anggaran 2015
dan mengalami kenaikan 28% dari dana desa tahun 2016 ini yang sebesar
Rp.49,96 trilyun. Besaran Dana Desa ini masih belum diikuti dengan manajemen
pengelolaan desa yang handal dan stratejik.
Manajemen stratejik dapat dipahami sebagai seni dan ilmu untuk
memformulasikan, mengimplementasikan dan melakukan evaluasi keputusan
utama dalam mencapai tujuan organisasi (Wright & Nemec, 2003).

1
Unsur-unsur manajemen stratejik terdiri dari visi dan misi, analisis lingkungan
eksternal dan internal organisasi, pemilihan strateji, implementasi strateji, dan
evaluasi strateji (Rivai A., 2015).
Pada awalnya manajemen pemerintahan bersifat top down dimulai dari
pengucuran dana dari Pemerintah untuk program yang sudah direncanakannya.
Pemerintah menganggap masyarakat bersikap apatis, masa bodoh dan cenderung
menggantungkan hidup serta mengambil keuntungan dari dana yang dikucurkan
pemerintah.
Namun pandangan tersebut mulai luntur seiring dengan mulai dipercayanya
masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan. Jika masyarakat diberi
kepercayaan menentukan jenis dan proses pembangunan yang dibutuhkan mereka,
maka hasil yang lebih nyata dan berkelanjutan ternyata lebih banyak terjadi.
Contoh nyata di Indonesia dalah program PNPM Mandiri yang dibantu oleh Bank
Dunia dengan model Pembangunan Berbasis Masyarakat.
Model pendekatan pemberdayaan masyarakat ini mirip dengan Model
Kebijakan Harvard yang menekankan pengembangan kesesuaian antara organisasi
dan lingkungannya. Pencapaian kesesuaian ini dinilai oleh ahli strategi melalui
analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, dikenal sebagai analisis
SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, and threats). Penilaian ini
mengarahkan organisasi untuk mengembangkan strategi dalam membangun
kekuatan, mengatasi kelemahan, menangkal ancaman, dan mengeskploitasi
peluang.

Selain model pendekatan harvard, ada juga model perencanaan strategis

dimana manajer membuat suatu sistem, mengimplementasikannya, dan

mengendalikan keputusan penting lintas fungsi dan level dalam perusahaan.

Sistem perencanaan strategis harus menjawab empat pertanyaan mendasar yaitu

kita akan pergi kemana (misi), bagaimana cara kita sampai kesana (strategi),

apakah cetak biru tindakan kita (anggaran), dan bagaimana kita mengetahui

bahwa kita sudah berada di jalur yang benar (pengendalian) (Bryson R., 1987).

2
Perencanaan pembangunan pemerintah desa setelah melakukan analisa

SWOT harus selaras dengan perencanaan stratejik dari Pemerintah Pusat. Ketidak

selarasan tanpa alasan yang jelas akan menyebabkan pemotongan anggaran dan

peringatan dari Pemerintah Pusat.

Dalam penyelenggaraan pemerintah desa, pengelolaan berbeda dibanding


dengan sektor privat. Perbedaan ini terutama disebabkan adanya perbedaan
karakteristik diantara keduanya. Menurut Antoni dan Young (2003) karakteristik
organisasi nonprofit adalah kriteria ukuran laba tidak bisa dipakai, adanya
pertimbangan pajak dan hukum, kecenderungan menjadi organisasi jasa, kendala
yang lebih besar pada tujuan dan sasaran, kurang tergantung pada klien untuk
dukungan keuangan, dominasi profesional, perbedaan dalam tata kelola,
pentingnya pengaruh politik, dan tradisi pengendalian manajemen yang kurang.
Dari karakteristik tersebut, ketiadaan motif laba dan tradisi pengendalian
manajemen yang kurang merupakan ciri yang utama pada organisasi sektor non
profit.

Adanya perbedaan karakteristik tersebut menyebabkan konsep dan praktik


manajemen sektor privat tidak dapat diterapkan sepenuhnya pada sektor non
profit. Meskipun demikian tidak berarti bahwa sektor non profit tidak dapat
dilakukan dengan manajemen kewirausahaan. Menurut Osborne dan Gabler
(1992) terdapat sepuluh prinsip dalam menerapkan kewirausahaan pada
pemerintahan yaitu pertama, pemerintahan kewirausahaan mendorong kompetisi
diantara penyedia pelayanan. Kedua, pemerintah mendayagunakan masyarakat
dengan mendorong pengendalian masyarakat. Ketiga, ukuran kinerja adalah
outcome and impact bukan input. Keempat, Pemerintahan dikendalikan oleh
tujuannya atau misinya bukan oleh aturan dan regulasi. Kelima, pemerintah
mendefinisikan kliennya sebagai konsumen. Keenam, pemerintah berusaha untuk
mencegah timbulnya masalah daripada mencari solusi setelah masalah terjadi.
Ketujuh, pemerintah memanfaatkan tenaganya untuk menghasilkan uang tidak
sekedar membelanjakan. Kedelapan, pemerintah mendorong desentralisasi
wewenang. Kesembilan, pemerintah diharapkan lebih ke arah mekanisme

3
pasar daripada mekanisme birokrasi. Kesepuluh, pemerintah tidak menfokuskan
pada penyediaan pelayanan non profit tapi sebagai katalisator semua sektor.

Desentralisasi pengelolaan pemerintahan sampai dengan desa, yang disertai


adanya otonomi yang luas dan tata kelola pemerintahan yang mengacu pada
konsep kewirausahaan dan transparansi manajemen menyebabkan pentingnya
manajemen strategis pada pengelolaan pemerintah desa.

Weschsler dan Berry mengemukakan manajemen strategis dipandang sebagai


alat penting di pemerintahan karena beberapa alasan. Pertama, model manajemen
strategis menjanjikan pendekatan terstruktur, berurutan untuk mengelola
kompleksitas yang tinggi, masalah tidak berurutan yang dihadapi pemerintahan
(Olsen dan Eadie, 1982). Kedua, manajemen strategis dipandang oleh politisi dan
pemimpin manajerial sebagai mekanisme untuk memasukkan perspektif
rasional-teknik dalam proses pemerintah. Ketiga, manajemen strategis
menawarkan kebijakan yang lebih besar dan mengijinkan untuk mengembangkan
dasar untuk pengambilan keputusan (Bryson dan Roering, 1987; Olsen dan Eadie,
1982). Keempat, manajemen strategis menarik bagi pejabat pemerintahan karena
telah digunakan secara luas di sektor privat dan jika diadopsi oleh pemerintah
dipandang akan mendorong praktik yang paling baik untuk keberhasilan
organisasi.

Menurut Graham, manajemen strategis menggantikan perencanaan strategis


sebagai suatu konsep terintegrasi karena dua hal. Pertama, perencanaan
rasional/ekonomis harus diintegrasikan dengan sistem administratif kritis
(strategis) lainnya seperti pengendalian manajemen, komunikasi dan sistem
informasi, motivasi dan imbalan, struktur organisasi, dan biaya organisasi. Kedua,
perumusan suatu perencanaan tidak menjamin pelaksanaan dan umpan balik
berikutnya untuk telaah dan koreksi tindakan.

Liou menjelaskan manajemen strategis penting karena ia mengoreksi adanya


perumusan strategi pada tahap awal dan memberikan perhatian khusus pada
implementasi dan evaluasi strategi pada tahap akhir dari proses strategis secara
menyeluruh. Dengan kata lain, pendekatan strategis pada manajemen menekankan

4
analisis organisasional sistematis yang menguji fungsi dan tujuan organisasi,
lingkungan organisasi internal dan eksternal, dan kerangka kerja pembuatan
keputusan organisasi dari perspektif jangka panjang.

Aplikasi dari manajemen strategis pada organisasi sektor non profit terdiri dari
komponen yang sama dengan sektor privat diantaranya pernyataan visi dan misi,
pengamatan lingkungan internal dan eksternal, pengamatan organisasi, sasaran dan
implementasi, dan telaah dan monitoring implementasi. Menurut Bryson pada
organisasi sektor non profit menekankan pada pentingnya proses perumusan
strategi yang terdiri dari delapan langkah interaktif yaitu perjanjian awal diantara
pembuatan keputusan, identifikasi mandat yang dihadapi organisasi pemerintah,
klarifikasi misi dan nilai organisasi, identifikasi peluang eksternal dan
ancaman yang dihadapi organisasi, identifikasi kekuatan internal dan kelemahan
organisasi, identifikasi isu strategis, pengembangan strategi, dan gambaran
organisasi di masa mendatang.

Menurut Nunik Lestari (2012) kelemahan manajemen strategis terletak pada


proses penyusunan anggaran. Dan penjelasan atau sosialisasi sebelum
implementasi. Kedua hal ini sangat penting diberikan tekanan agar
Implementasinya berjalan lancar.

Menurut Untoro (2010) efektivitas penerapan manajemen strategis pada suatu


organisasi dipengaruhi oleh konteks yang melingkupi organisasi tersebut. Konteks
yang melingkupi organisasi pemerintah desa sangat berhubungan dengan
ketidakpastian lingkungan (lingkungan yang berubah-ubah). Oleh karena itu'
penerapan manajemen strategis harus dilaksanakan secara seksama. Konsep
mengenai manajemen strategis harus dirumuskan secara jelas dan tahap
pengimplementasiannya juga harus dijelaskan agar rencana strategis yang sudah
disusun dapat tercapai.

Proses manajemen strategis (strategic-management process) terdiri atas tiga


tahap:

5
1. Formulasi Strategi

Formulasi strategi saat mengembangkan visi dan misi' mengidentifikasi peluang


dan ancaman, menentukan kekuatan dan kelemahan, menetapkan tujuan
jangka panjang (misalnya RPJP/Rencana Pembangunan Jangka Panjang)'
merumuskan alternatif strategi dan memilih strategi tertentu yang akan
dilaksanakan. Isu formulasi strategi di pemerintah desa biasanya mencakup
pembangunan apa yang akan dilaksanakan' dan bagaimana mengalokasi
sumber daya. Manajer strategik memiliki wewenang untuk menempatkan
sumber daya yang dibutuhkan untuk implementasi strategi. Salah satu
metode untuk menentukan strategi adalah dengan analisis SWOT yang
menganalisis faktor internal dan memperhitungkan faktor eksternal
organisasi. Analisis SWOT merupakan salah satu alat manajemen strategis
untuk menentukan kekuatan dan kelemahan (faktor internal) serta kesempatan
dan ancaman (faktor eksternal) dalam organisasi. Analisis SWOT
diperlukan dalam organisasi pemerintah desa untuk menentukan strategi
terbaik agar mencapai tujuan organisasi secara ekonomis' efisien' dan
efektif.

2. Implementasi Strategi

Implementasi strategi mensyaratkan pemerintah desa untuk menetapkan


tujuan tahunan' membuat kebijakan' dan mengalokasikan sumber daya
sehingga strategi yang telah diformulasikan dapat dijalankan. Implementasi
strategi termasuk mengembangkan budaya yang mendukung strategi ,
menciptakan struktur organisasi yang efektif' mengembangkan dan
memberdayakan sistem informasi' menghubungkan kinerja pegawai dengan
kinerja organisasi' dan menyiapkan anggaran. Proses penyiapan anggaran
(penganggaran) di pemerintah desa merupakan proses yang paling dominan
dan sarat muatan politik. Implementasi strategi seringkali disebut tahap
pelaksanaan dalam manajemen strategis. Suksesnya implementasi strategi
terletak pada kemampuan pemerintah untuk memotivasi pegawai.

6
3. Evaluasi Strategi
Evaluasi strategi adalah tahap final dalam manajemen strategis. Pemerintah
desa sangat ingin mengetahui kapan strategi berjalan seperti yang
diharapkan. Evaluasi strategi adalah alat utama untuk mendapatkan
informasi tersebut. Tiga aktivitas dasar evaluasi strategi adalah: (a)
meninjau ulang faktor internal dan eksternal yang menjadi dasar strategi
saat ini; (b) mengukur kinerja; (c) mengambil tindakan korektif.
Untuk mendorong pencapaian strategi yang telah diformulasikan sebaiknya
diterapkan sistem penilaian kinerja di organisasi pemerintah desa dengan
menerapkan mekanisme penghargaan dan sanksi.

Walaupun demikian masih terdapat kendala dalam menerapkan manajemen


strategis pada sektor non profit. Menurut Toft kendala-kendala tersebut adalah:

1. pemerintah berorientasi tindakan dan biasanya jangka pendek.

2. strategi non profit pada tingkat agensi dirancang oleh legislatif.

3. perencanaan non profit dilakukan dalam lingkup intern.

4. analisis keandalan cukup rumit dan sulit.

5. agensi non profit kurang familier dengan proses kelompok informal untuk
pemecahan masalah, membangun tim, dan lain-lain.
6. karena kendala anggaran dan orientasi jangka pendek, pekerjaan untuk perencana
sektor non profit sulit dijustifikasi.
7. strategi non profit akan dicapai melalui desain organisasi, penganggaran dan
pengendalian keuangan, dan sistem dan kebijakan personil.

Ivana G., dalam penelitiannya tahun 2016 di Slovakia atas pemerintahan


otonom disana melakukan analisa SWOT berdasarkan 6 potensi dengan 42 unsur
penilaian untuk mengetahui manajemen stratejik apa yang diterapkan dalam 3
kota yang diteliti di sana. Di Indonesia sendiri Pedoman dari PNPM Mandiri
Pedesaan untuk menilai Kinerja sebagai alat stratejik menilai manajemen stratejik

7
apa yang diterapkan di PNPM. Peneliti akan mengambil kriteria dari hasil merger
antara penelitian di Slovakia dengan pedoman yang bisa diterapkan di Indonesia
untuk menentukan manajemen stratejik jenis apa yang diterapkan di Pemerintahan
Desa.

Seperti kita ketahui pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah Desa atas


Alokasi Dana Desa dan Sumber Pendanaan lainnya dilaksanakan berdasarkan
konsep Pembangunan Berbasis Masyarakat dimana konsep ini telah diterapkan
hampir di seluruh Dunia dengan disponsori oleh World Bank.

Pendekatan pemberdayaan masyarakat ini pada intinya membimbing


masyarakat agar mampu menganalisa masalah dan peluang yang ada serta
mencari jalan keluar sesuai dengan sumberdaya yang mereka miliki. Mereka
sendiri yang membuat pilihan kegiatan, perencanaan, pengadaan dan
implementasi serta evaluasi kegiatan yang dilakukan.
Pengalaman menunjukkan bahwa jika diberikan bimbingan, petunjuk yang
jelas atas seluruh proses, akses atas informasi dan ketidaktahuan, dukungan
keuangan dan non keuangan, masyarakat miskin dapat berorganisasi secara efektif
mengidentifikasikan prioritas kegiatan mereka dan bekerjasama dengan
pemerintah desa mengatasi kendala yang ada. (world Bank, n.d.)
Untuk menilai faktor-faktor kunci manajemen stratejik dalam Pemerintahan Desa
ini, peneliti menggunakan hasil penelitian Dewie Tri Wijayati yang melaksanakan
penelitian FaktorFaktor yang Mempengaruhi Manajemen Strategik pada
Organisasi Non Profit (Studi Manajemen Strategik pada Dinas Propinsi Jawa
Timur). Penelitian Dewie Tri Wijayati ini salah satu faktornya yaitu leadership
juga didukung dengan Penelitian Roberts dan Menker dalam Rabin et.al yang
mengupas mengenai manajemen stratejik pada pemerintah pusat di Amerika
Serikat hasilnya mereka megusulkan adanya pendekatan baru dalam manajemen
sektor non profit yaitu pendekatan generatif selain pendekatan yang sudah ada
yaitu pendekatan direktif dan pendekatan adaptif. Pendekatan direktif merupakan
pendekatan yang bersifat dari atas ke bawah (top – down) dan lebih sedikit
melibatkan anggota dalam organisasi sektor non profit. Pendekatan adaptif lebih
menekankan pada kebersamaan dalam organisasi dalam menetapkan tujuan
pelaksanaan dan evaluasi. Sedangkan pendekatan generatif menekankan pada

8
pentingnya seorang pemimpin (leader) dalam melakukan fungsi penetapan tujuan,
pelaksanaan dan evaluasi dengan tidak mengesampingkan anggota lain dalam
organisasi sektor non profit.

Pada akhirnya bagaimana faktor-faktor kunci stratejik ini memberikan


pengaruh kepada penerapan manajemen stratejik di pemerintahan Desa akan
ditabulasikan hasil kuesioner dalam bentuk SEM/PLS.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas yaitu untuk memahami dan meningkatkan
pengelolaan manajemen desa secara strategis serta belum banyaknya penelitian
yang ada mengenai menejemen strategis tingkat desa tersebut maka dirumuskan
pertanyaan penting sebagai perumusan masalah, yaitu faktor-faktor strategis apa
yang mempengaruhi menejemen stratejik Pemerintahan desa.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan tesis ini adalah untuk menguji faktor-faktor kritis terhadap
penerapan manajemen stratejik di pemerintahan desa.
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah maka tujuan
penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk
mengidentifikasikan pengaruh faktor-faktor kunci dalam manejemen
Pemerintahan Desa.

D. Manfaat penelitian
1. Secara akademis
a. Hasil penelitian ini dapat menambah, dan memperkaya kajian ilmu
manajemen strategis, khususnya yang berkaitan dengan manajemen
stratejik dalam Pemerintahan desa
b. Dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran untuk peneliti
selanjutnya mengenai manajemen stratejik dalam Pemerintahan desa.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berguna dan
sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah dan instansi terkait pada
umumnya dan pemerintahan Kecamatan x Kabupaten Sidoarjo pada
khususnya dalam manajemen stratejik dalam Pemerintahan desa.

Anda mungkin juga menyukai