Anda di halaman 1dari 12

DIABETES MELLITUS TIPE II

Komplikasi

Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun
komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Di Amerika Serikat,
DM merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering
amputation, dan adult blindness.

Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah
ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi akut bisa menurun
drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih
lama. Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah:

a. Kerusakan saraf (Neuropati)


Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan
sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta
susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal
ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan
baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil
diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila
dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal
maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang
memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf
tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah
kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan
saraf mana yang terkena. Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada
populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi neuropati
pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 13.1% s/d 45.0%.
b. Kerusakan ginjal (Nefropati)
Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh
darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah.
Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal
bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk
ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun
tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal
bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena
tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal.
Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau
kerusakan saraf. Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1
berkisar 4.3% s/d 37.6% pada populasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam
penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi
mikroalbuminuria pada populasi klinik berkisar 2.5% s/d 57.0% dan dalam
penelitian pada populasi berkisar 18.9% s/d 42.1%. Prevalensi overt nephropathy
dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 0.7% s/d 27% pada populasi klinis dan 0.3%
s/d 24% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2
prevalensi overt nephropathy pada populasi klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan
dalam penelitian pada populasi berkisar 9.2% s/d 32.9%.
c. Kerusakan mata (Retinopati)
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab
utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh
diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh
darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak
pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan
transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin
diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi
peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata. Prevalensi
retinopati dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 10.8% s/d 60.0% pada polpulasi
klinik dan 14.5% s/d 79.0% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada
pasien DM tipe 2 prevalensi retinopati pada populasi klinik berkisar 10.6% s/d
47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 10.1% s/d 55.0%.
d. Penyakit jantung koroner (PJK)
Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan
penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah.
Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat,
sehingga kematian mendadak bisa terjadi. Prevalensi Penyakit jantung koroner
dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada polpulasi
klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen
dari prevalensi penyakit jantung koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan Diabetes
tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan Diabetes tipe 2.
e. Stroke
Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0%
s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada
populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3%
dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2.
f. Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhanyang
dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat
hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal,
atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila
penderita diabetes juga terkena hipertensi.
g. Penyakit pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang
dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan
prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak
mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa
sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan
wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping
diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,
pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.
h. Gangguan pada hati
Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan
gula bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa
terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak
menderita diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus
hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi
orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk
pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah
terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati
yang sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty
liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan
ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak
di jaringan tubuh lainnya.
i. Penyakit paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru
dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara
sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit
paru akan menaikkan glukosa darah.
j. Gangguan saluran cerna
Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena
kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang
mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang
mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu
makan, sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi
mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan
muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom
pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat
pemakaian obat- obatan yang diminum.
k. Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam
menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah
terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-
paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang
tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita
terhadap adanya infeksi.

Penatalaksanaan

Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan sebagian
besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi
agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Dalam
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan
pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi
medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.

A. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan
secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki
perilaku sehat.1,8 Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien
penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya,
mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih
reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan
perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.8 Edukasi pada penyandang
diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-
obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori
dan diet tinggi lemak.
B. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein
10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.
C. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang
lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai,
jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.
D. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)
 Pemicu sekresi insulin:
a) Sulfonilurea
- Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas
- Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
- Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua,
gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi
b) Glinid
- Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
- Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada
sekresi insulin fase pertama.
- Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
 Peningkat sensitivitas insulin:
a) Biguanid
- Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah
Metformin.
- Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin,
dan menurunkan produksi glukosa hati.
- Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes
gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
b) Tiazolidindion
- Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan
ambilan glukosa perifer.
- Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung
karena meningkatkan retensi cairan.
 Penghambat gluconeogenesis
a) Biguanid (Metformin).
- Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga
mengurangi produksi glukosa hati.
- Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi
ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/ dL, gangguan
fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia
seperti pada sepsis
- Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia
seperti golongan sulfonylurea.
- Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna
(mual) namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah
makan.
 Penghambat glukosidase alfa
a) Acarbose
- Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.
- Acarbose juga tidak mempunyai efek samping
hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea.
- Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna
yaitu kembung dan flatulens.
- Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like
peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi
bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan
perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon.
Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang
tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat
meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat
penglepasan glukagon.
II. OBAT SUNTIKAN
 Insulin
a) Insulin kerja cepat
b) Insulin kerja pendek
c) Insulin kerja menengah
d) Insulin kerja panjang
e) Insulin campuran tetap
 Agonis GLP-1/incretin mimetic
- Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa
menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat penglepasan
glucagon
- Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonylurea
- Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual
muntah

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat dipahami bahwa yang
menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua pengobatan DM tipe 2 diawali
dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan
makan secara konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM
tipe 2 dapat terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan GHS
glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.

Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda tergantung jenisnya.
Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid diberikan sesaat sebelum makan.
Metformin bisa diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan
suapan pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat
diberikan saat makan atau sebelum makan.

Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali maka diberikan
kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja berbeda,
misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan kombinasi terapi 2 OHO
glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi
terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud
dengan insulin basal adalah insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam
hari menjelang tidur.

Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka pemberian OHO
dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini diberikan kombinasi
insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja
pendek untuk mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial ini
berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial. Algoritma tata laksana
selengkapnya dapat dilihat pada gambar 2. Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c),
merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.
Pemeriksaan ini di - anjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun. Gambar 3
menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c.

Gambar 1. Algoritma pengelolaan DM tipe 2 tanpa dekompensasi


Gambar 2. Algoritma pengelolaan DM tipe 2 berdasarkan hasi A1c

Prognosis

Prognosis Diabetes Melitus usia lanjut tergantung pada beberapa hal dan tidak selamanya
buruk, pasien usia lanjut dengan Diabetes Melitus II yang terawatt dengan baik prognosisnya
baik. Pada pasien Diabetes Melitus usia lanjut yang jatuh dalam keadaan koma hipoklikemik
atau hiperosmolas, prognosisnya kurang baik. Hipoklikemik pada pasien usia lanjut biasanya
berlangsung lama dan serius denganakibat kerusakan otak yang permanen. Karena hiporesmolas
adalah komplikasi yangsering ditemukan pada usia lanjut dan angka kematiannya tinggi.

Lebih 75% dari pasien diabetes tipe 2 akan meninggal akibat penyakit jantung dan 15%
akibat stroke. Tingkat kematian akibat penyakit jantung dan stroke hingga 5 kali lebih tinggi
pada penyandang diabetes melitus ketimbang orang non-diabetes.
DAFTAR PUSTAKA

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus


tipe 2 di Indonesia 2011. hlm.4-10, 15-29
American Diabetes Association. Diagnosis And Classification Of Diabetes Mellitus. Diabetes
Care 2011;34:s62-9.
Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. hlm.1874-8 4. Gregg
EW, Li Y, Wang J, Burrows NR, Ali MK, Rolka D, et al. Changes in Diabetes-Related
Complications in the United States, 1990–2010. N Engl J Med 2014;370:1514-23
(9)Powers AC. Diabetes mellitus. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Edition. United States:
The McGraw-Hill Companies; 2008. hal2275-304.
(10)Tapp R, Shaw J, Zimmet P. Complications of Diabetes. Dalam: Gan D, Allgot B, King H,
Lefèbvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes Atlas. Edisi ke-2. Belgium:
International Diabetes Federation; 2003:h.72-112)
Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: Mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi
pengelolaan. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006.hlm.1874-8
J Piette. Effectiveness of Self-management Education. Dalam: Gan D, Allgot B, King H,
Lefèbvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes Atlas. Edisi ke-2. Belgium:
International Diabetes Federation; 2003:h.207-15)
Sugondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2. Dalam : Sudoyo
AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.hlm.1882-5 daftar pustaka
Marić A Metformin – more than ‘gold standard’ in the treatment of type 2 diabetes mellitus.
Diabetologia Croatica 2010; 39-3
Rojas LBA, Gomes MB. Metformin: an old but still the best treatment for type 2 diabetes.
Diabetology & Metabolic Syndrome2013,5:6. Diunduh dari http://www.dmsjournal.
com/ content/5/1/6
Reinehr T, Kiess W, Kappellen T, Andler W:I nsulin sensitivity among obese children and
adolescents, according to degree of weight loss. Pediatrics 2004,114:1569–1573
Tock L, Dˆamaso A, de Piano A, Carnier J,et al: Long-Term Effects of metformin and lifestyle
modification on nonalcoholic fatty liver disease obese adolescents. J Obes2010,831901:6.
Article ID 831901
Holman RR, Paul SK, Bethel MA, Matthews DR, Neil HA:10-year follow up of intensive
glucose control in type 2 diabetes.N Engl J Med2008, 359:1577–1589
Wang J, Gallagher D, De Vito L,et al: Metformin activates an atypical PKC-CBP pathway to
promote neurogenesis and enhance spatial memory formation. Cell Stem
Cell2012,11:23–35
Rodbard HW, Jellinger PS, Davidson JA,et al: Statement by an American association of clinical
endocrinologists/American college of endocrinology consensus panel on type 2 diabetes
mellitus. An algorithm for glycemic control. Endocr Pract 2009,15(6):540–559.
Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group:Effect of intensive blood glucose control with
metformin on complications in overweight patients with type 2 diabetes (UKPDS 34).
Lancet1998,352(9131):854–865.
Ito H, Ishida H, Takeuchi Y,et al: Long-term effect of metformin on blood glucose control in
non-obese patients with type 2 diabetes mellitus. Nutr Metab2010,7:83

Anda mungkin juga menyukai