Anda di halaman 1dari 29

BAB I

CASE REPORT
1. IDENTITAS PASIEN
 Nama : AN. AI
 Umur : 3 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Alamat : Lamasi
 Agama : Kristen
 RM : 312587

2. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
 Alloanamnesis (ibu pasien) dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2016,
pukul 11.00 WITA
 Keluhan utama : Demam berulang
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, terus- menerus sepanjang
hari dan membaik jika di berikan obat, namun beberapa hari kemudian
pasien merasakan demam kembali. Menurut pengakuan ibunya, demam
yang dialami bisa sampai 4 atau 5 kali dalam 1 bulan. Sebelumnya pasien
juga mengeluh nyeri menelan disertai batuk, pilek dan hidung tersumbat,
Keluhan nyeri menelan jika mengkonsumsi makanan padat. Menurut
orang tuanya, pasien tidak mengorok jika tidur, namun pada saat malam
hari ketika pasien tertidur sering terbangun sendiri . Pasien tidak mengeluh
nyeri pada kedua telinga.
 Riwayat Penyakit Dahulu dan riwayat pengobatan
Pasien memiliki riwayat pilek yang cukup lama dan hilang timbul dan
memberat 3 bulan terakhir. Pasien telah berobat ke puskesmas. 1 minggu
SMRS, pasien pergi berobat ke dokter. Setelah diperiksa, pasien
diberitahukan bahwa amandelnya membesar dan disarankan untuk

1
dilakukan operasi pengangkatan amandel. Riwayat alergi obat (-), asma (-
), maag (-), hipertensi(-), diabetes mellitus(-).
 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa (-), alergi (-), asma(-), maag (-), hipertensi(-),
diabetes mellitus (-).

3. PEMERIKSAAN OBYEKTIF
Status Presens
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Cukup
Berat Badan : 11,5 kg
Nadi : 84 x/menit
Tensi : 90/60 mmHg
RR : 22 x/menit
Suhu : 36, O C

Kepala dan Leher


Kepala : normocephal
Wajah : Simetris
Leher lateral : JPS (+/+ ), nyeri tekan (-)

Status Lokalis
1. Telinga
Dextra Sinistra
Auricula Bentuk (N), Nyeri Bentuk (N), Nyeri
tekan (-) tekan (-)
Preauricula Fistel (-), Abses (-), Fistel (-), Abses (-),
Hiperemis (-), Nyeri Hiperemis (-), Nyeri
tekan (-) Tragus pain tekan (-), Tragus pain

2
(-) (-)
Retroauricula Hiperemis (-), udema Hiperemis (-), udema
(-), Nyeri tekan (-) (-), Nyeri tekan (-)
Mastoid Hiperemis (-), udema Hiperemis (-), udema
(-), Nyeri tekan (-) (-), Nyeri tekan (-)
CAE Hiperemis (-), udema Hiperemis (-), udema
(-), Corpus alineum (-) (-), Corpus alineum (-)
Discharge (-) Discharge (-)

Membran tympani :

Dextra Sinistra
Perforasi (-), MT Intak (-), MT Intak
Reflex cahaya (+), arah jam 5 (+), arah jam 7
Warna Putih keabu-abuan Putih keabu-abuan
Bentuk Normal, bulging(-) Normal, bulging(-)

Pemeriksaan rutin khusus : Tidak dilakukan pemeriksaan.

2. Hidung dan sinus paranasal


a. Hidung
Dextra Sinistra
Hidung Bentuk normal Bentuk normal
Sekret Mukoserous Mukoserous
Mukosa konka Hiperemis(-), Hiperemis(-),
media hipertrofi (-) hipertrofi(-)
Mukosa konka Hiperemis(-), Hiperemis(-),
inferior hipertrofi (-) hipertrofi(-)
Meatus media Hiperemis(-), Hiperemis(-),
hipertrofi (-) hipertrofi(-)

3
Meatus inferior Hiperemis(-), Hiperemis(-),
hipertrofi (-) hipertrofi(-)
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
Massa (-) (-)
FPM (-) (-)

Pemeriksaan rutin khusus : tidak dilakukan pemeriksaan


b. Sinus Paranasal
Dextra Sinistra
Frontal :
Ethmiodal :
Spheniodal : Tidak dilakukan pemeriksaan
Maksilaris :

Tenggorokan
Orofaring
 Mukosa bucal : Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
 Ginggiva : Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
 Gigi geligi : Warna kuning gading, caries (-),gangren(-)
 Lidah 2/3 anterior : Dalam batas normal
 Arkus faring : Simetris (+), hiperemis (-)
 Palatum : Warna merah muda
 Dinding posterior orofaring : Hiperemis (-), granula (-)

Tonsil :
Dextra Sinistra
Ukuran T3 T3
Kripte Melebar Melebar
Permukaan Tidak rata Tidak rata
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)

4
Detritus (-) (-)
Fixative (-) (-)
Peritonsil Abses (-) Abses (-)

Nasofaring
 Discharge : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Mukosa : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Adenoid : Kesan Hipertrofi
 Massa : (-)
Laringofaring
 Mukosa :
 Massa : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Lain-lain :

Laring
 Epiglotis :
 Plica vocalis :
- Gerakan :
- Posisi : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Tumor :
 Massa :
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Pemeriksaan darah rutin
Hb : 11,3 g/dl
Leukosit : 10 10^3/ ul
Ht : 38 %
Trombosit : 240000/ul
PT : 12, 2 detik
APTT : 30,3 detik

5
5. DIAGNOSA
Tonsilitis kronis + Hipertofi adenoid

6. ANJURAN
Operasi (Adenotonsilektomi)

7. PROGNOSIS
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Vitam : Dubia ad bonam

8. PENATALAKSANAAN
Medika Mentosa pre operatif:
- cefotaxime 250 mg/12jam/iv
- Infus RL 16 tpm
Non Medika Mentosa post operatif :
- Diet lunak (Bubur Saring)
- Tirah baring
Medikamentosa post operatif :
- Infus RL 16 tpm
- Cefotaxime 250 mg/12 jam/IV
- Ketorolac ½ amp/8 jam/IV
- Dexamethasone ½ amp/8jam/IV

4. RESUME
Pasien seorang anak laki – laki dengan umur 3 tahun datang dengan keluhan
demam berulang yang dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, terus menerus
sepanjang hari dan membaik jika di berikan obat. Demam yang dialami bisa
sampai 4 atau 5 kali dalam 1 bulan, pasien juga mengeluh odinofagi disertai
batuk, pilek, dan hidung tersumbat, keluhan odinofagi terutama jika

6
mengkonsumsi makanan yang padat. Pasien juga mendengkur jika tidur dan
pada saat malam hari pasien sering terbangun ketika tidur.
 Pada Pemeriksaan fisis didapatkan hasil
- Leher Lateral : JPS +/+, nyeri tekan –
- Hidung dan sinus paranasal : FPM (-)
- Tonsil : T3/T3, kripte melebar, permukaan tidak rata, hiperemis (-),
detritus (-)
 Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan hasil
- Hemoglobin : 11, 3 g/dl
- Leukosit : 10.000 uI
- Hematokrit : 38%
- Trombosit : 240.000 uI
- PT : 12,2 detik
- APTT : 30,3 detik
 Pada Pemeriksaan foto Thorak posisi PA
- Corakan bronchovaskular kedua paru prominent
- Tidak tampakpemadatan hilus
- Cor dalam batas normal
- Kedua sinus dan kedua diagfragma baik
- Tulang – tulang intak
- Kesan : Aspect Bronchitis
Dari hasil anamnesis didapatkan demam berulang, odinofagi (+), batuk (+),
Pilek (+), dan pasien mendengkur ketika tertidur. Pada pemeriksaan fisis di
dapatkan pembesaran kelenjar getah bening JPS (+/+), fenomena palatum molle
(-), pembesaran tonsil T3/T3, hiperemis (-), kripte melebar, permukaan tidak rata,
detritus (-). Pada pemeriksaan laboratorium tidak didapatkan nilai yang bermakna.
Maka dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang maka
dapat disimpulkan bahwa diagnosa pasien ini adalah tonsilitis kronis + hipertropi
adenoid.

7
TONSILITIS

I. PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatine
biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui
udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur,
terutama pada anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus,
termasuk strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-
Barr, enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering
pada tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30%
dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan juga merupakan penyebab radang
tenggorokan.3
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten
yang berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Tonsilitis kronis merupakan salah
satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok
usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur
menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi
berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume
tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan
adanya gejala seperti demam berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan
limfadenopati servikal dan submandibula.5
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak
adekuat.1

8
II. ANATOMI
PHARYNX
Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan larynx. Bentuknya
mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan
bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra
cervicalis enam. Dinding pharynx terdiri atas tiga lapis yaitu mucosa, fibrosa, dan
muscular.6

Gambar 1. Anatomi Pharinx6

Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasopharynx,


oropharynx, dan laringopharynx.6
1. Nasopharynx
Nasopharynx terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum
molle. Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding
posterior, dandinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis
sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid
yang disebut tonsila pharyngeal, yang terdapat didalam submucosa. Bagian
dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Dinding
anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir
posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang
berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.

9
Dinding lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring.
Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba
auditiva disebut tonsila tubaria.6

Gambar 2. Pembagian Pharinx6


2. Oropharynx
Oropharynx disebut juga mesopharynx, dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah
rongga mulut, sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal.1
Oropharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior,
dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum
molle dan isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di

10
dalam submukosa permukaan bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk
oleh sepertiga posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan anterior
epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk
irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid dibawahnya, yang
disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari lidah menuju ke
epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glosso
epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan
dan kiri plica glosso epiglotica mediana disebut vallecula.6
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus
oropharynx (isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus
linguae. Dinding posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan
bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral
terdapat arcus palate glossus dengan tonsila palatina diantaranya.6
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
pharynx, tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan
posterior, uvula, tonsila lingual dan foramen sekum.1
a. Fossa Tonsilaris
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada
dinding lateral oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus
palatopharyngeus dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. 6
Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas
yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang
dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses.
Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan
kapsul yang sebenarnya.1

11
Gambar 3. Struktur pada Oropharynx6
b. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga
macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak
didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub
bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.1
Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding
lateral rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh
otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh
otot palatofaringeus.7
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah
epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya
ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang sering
juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1

12
Gambar 4. Cincin Waldeyer

3. Laryngopharynx
Laryngopharynx terletak di belakang aditus larynges dan
permukaan posterior larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis
sampai dengan pinggir bawah cartilage cricoidea. Laryngopharynx
mempunyai dinding anterior, posterior dan lateral. Dinding anterior
dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang meliputi
permukaan posterior larynx. Dinding posterior disokong oleh corpus
vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral
disokong oleh cartilage thyroidea dan membrane thyrohyoidea. Sebuah
alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa piriformis, terletak
di kanan dan kiri aditus laryngis.6

Vaskularisasi Tonsil
Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine asendens,
cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri lingualis
dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus
tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid

13
lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus.1 Vena-vena menembus
m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan vena palatine eksterna,
vena pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe pembuluh-pembuluh limfe
bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari
kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang
angulus mandibulae6
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada6
Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves. 6

III. IMUNOLOGI
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa
tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin
Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.
Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat
kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting
sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke
saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen
makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik.
Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear
pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen.8
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang
dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri

14
atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells)
yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T,
sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder
yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi
dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.8,9
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang
terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil
membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus.
Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk
membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan
tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari
jaringan limfoid). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan
patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar
tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. 8,9

IV. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997
cakupan temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan
sasaran temuan pada penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82% ;
sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di
Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA. Tonsilitis

15
kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau
karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.8
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika
Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data epidemiologi
penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi
tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%).
Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan
tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila
dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama, maka
angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.10
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada
anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh
spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan
tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda.2 Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering
terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu:
10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering
penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50
% . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis
Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.8
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian
yang dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah
suku Bidayuh 38%, Malay 25%, Iban 20%, dan Chinese 14%.8

V. ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya
secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui
mulut masuk bersama makanan9. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh

16
serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen
pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.7
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri
aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis
kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A
(SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring.
Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu
infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S.
Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.7
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis
Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus,
Streptokokus beta hemolitikus grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman
gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E.
coli.8
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan
pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh.
Penyebab penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes
simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan
coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-
Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil
secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut. 9

VI. FAKTOR PREDISPOSISI


Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor
genetik maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko
penyakit Tonsilitis Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi
konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara relatif penelitiannya
mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor genetik
sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 11

17
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

VII. PATOFISIOLOGI
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel
atau tonsil berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya
tersebut. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi
yang akan datang akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan
infeksi atau virus.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus
tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan
detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit
tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit
tenggorokannya sehingga berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan
kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam
daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit,
sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat
pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental.
Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan

18
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh
detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.1

VIII. KLASIFIKASI
TONSILITIS AKUT
Tonsilitis Viral
Gejala tonsillitis viral yang menyerupai common cold yang disertai nyeri
tenggorokan. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Pada
pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka kecil pada palatum dan tonsil yang
sangat nyeri dirasakan pasien.

Gambar 5. Tonsilitis Viral

Tonsilitis bacterial
Disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemoliticus grup A yang
disebut strep throat, pneumococcus, strep. Viridians, strep.pyogenes. Infiltrasi
bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi inflamasi
berupa keluarnya sel PMN sehingga terbentuk detritus. Detritus ini akan mengisi
kripte dan tampak seperti bercak kuning.
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
folikularis. Bila bercak menjadi satu membentuk alur-alur makan akan menjadi

19
tonsillitis lakunaris. Bercak tersebut juga akan melebar sehingga membentuk
semacam psudomembran yang menutupi tonsil.
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala yang sering ditimbulkan adalah nyeri
tenggorok dan menelan, demam suhu tubuh yang tinggi, malaise, nyeri sendi,
anoreksia, dan nyeri telingan yang disebabkan oleh referred pain melalui N.IX
(glossipharyngeus). Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.
Terapi dengan penisilin, amoxicillin, eritromisin, antipiretik, dan obat
kumur yang mengandung desinfektan
Komplikasi berupa otitis media, sinusitis, abses peritonsiler, miokarditis,
arthritis dll.

Gambar 6. Tonsilitis Bakterial

TONSILITIS MEMBRANOSA
Tonsilitis difteri
Frekuensi penyakit ini sebenarnya sudah menurun berkat keberhasilan
imunisai pada bayi dan anak. Penyebab tonsillitis difteri adalah corynebacterium
Diphteriae suatu bakteri gram positif.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak usia kuranjg dari 10 tahun
dan tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini.
Gambaran klinik ndibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, local dan
gejala akibat eksotoksin.

20
a. Gejala umum, seperti juga pada infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu yang
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,
serta keluhan nyeri menelan.
b. gejala local, tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk pseudomembarn.
Membrane ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea,
bronkus. Membrane ini melekat pada dasarnya sehingga jika diangkat akan mudah
berdarah. Kelenjar limfe dapat membesar sedemikian rupa sehingga membentuk
bull neck.
c. Gejala akibat eksotoksin, yaitu pada jantung dapat menimbulkan miokarditis
sampai decompensatio cordis, mengenai saraf cranial sehingga terjadi
kelumpuhan faring, dan diginjal dapat menimbulkan albuminuria.
Terapi dengan Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa
menunggu hasil kultur dengan dosis 20.000-100.000 IU tergantung umur dan
beratnya penyakit. Antibiotik penicillin ataupun eritromicin dengan dosis 25-50
mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 14 hari. Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB antipiretik
untuk simptomatik. Pasien sebaiknya diisolasi dan bed rest 2-3 mingu.
Komplikasi dapat berupa laryngitis difteri dapat berlangsung cepat.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung sampai ke albuminuria.

Gambar 7. Tonsilitis Difteri

21
Tonsilitis septic
Penyebab tonsiltis septic adalah streptococcus hemoliticus yang terdapat
pada susus sapi sehingga sering timbul secara spidemi. Oleh karena di Indonesia
susu sapi dimasak terlebih dahulu dengan pasteurisasi maka penyakit ini jarang
ditemukan.

Angina Plaut Vincent (stomatisis ulsero membranasea)


Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut yang buruk dan defisiensi
vitamin C. gejala beruoa demam tinggi 39oC, nyeri kepala, kadangt diserati
gangguan pencernaan, nyeri mulkut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.
Pada pemeriksaan tampak sebagai membrane putih keabuan diatras tonsil, uvula,
mulut berbau. Terapiu dengan Antibiotik spectrum luas selama 1 minggu.
Memperbaiki hygiene mulut, vitamin C dan B kompleks.

Penyakit kelainan darah


Tidak jarang tanda leukemia akut, agranulositosis dan infeksi
mononucleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membrab semu.

TONSILITIS KRONIK
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan
saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun
tidak mencolok.
Pada pemeriksaan faringoskopi tampak tonsil membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus.
Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas
yang berbau.1 Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran
nodul servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara
menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a)
pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,

22
kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap
kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed”
dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat
yang purulent.7

Gambar 8. Tonsillitis kronik9

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan


mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan
medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :12
T0 : Post Tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa Tonsilaris
T2 : Sudah melewati pillar anterior belum melewati garis paramedian
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median

23
(A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) Grade-
IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”) 13

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara
menyeluruh untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan
yang dapat membingungkan diagnosis.
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting, karena hampir 50 %

diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang

dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu

menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada

demam dan nyeri pada leher.(7)

2. Pemeriksaan Fisik
Pada faringoskopi, tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan
jaringan parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen)
dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta

24
membesar, dan suatu bahan seperti keju/dempul amat banyak terlihat pada
kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil,
biasanya membuat lekukan dan seringkali dianggap sebagai “kuburan”
dimana tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat
pada kripta.7

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis
Kronis:
a) Mikrobiologi
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan
penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang
dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan
dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat
terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.
Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti
Staflokokus aureus.14
b) Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap

480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat

ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria

histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya

Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut

ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan

diagnosa Tonsilitis Kronis.14

25
IX. PENATLAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi
medikamentosa dan operatif.
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur,
pemberian antibiotic sesuai hasil kultur, dan pembersihan kripte tonsil dengan
alat irigasi. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis
Kronis seperti golongan cephalosporin dan golongan penisilin seperti
amoksisilin dan ditambahkan dengan asam klavulanat.
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.

Indikasi absolut. Indikasi tonsilektomi yang hampir absolut adalah berikut ini :

1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis


2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat
badan penyerta
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma)
5. Abses peritonsilar berulang atau abses yang meluas pada jaringan
sekitarnya.

Indikasi relatif. Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif.


Indikasi yang paling sering adalah episode berulang dari infeksi streptokokus beta
hemolitikus grup A. Selain itu indikasi relatifnya antara lain :

1. Serangan tonsilitis berulang (4-5x/tahun) walaupun pemberian terapi


adekuat.
2. Tonsilitis carier misalnya tonsilitis difteri
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional
4. Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang berhubungan
dengan tonsilitis yang berulang

26
5. Hipertrofi tonsil / adenoid
6. Tonsilitis kronik menetap yang respon penatalaksanaan medisnya tidak
berhasil
7. Tonsilitis kronik yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten.

Keputusan akhir untuk melakukan tonsilektomi tergnatung pada


kebijaksanaan dokter yang merawat pasien. Maka sebaiknya menyadari kenyataan
bahwa tindakan ini merupakan prosedur pembedahan mayor yang bahkan hari ini
masih belum terbebas dari komplikasi-komplikasi yang serius.

Non indikasi dan kontraindikasi untuk tonsilektomi adalah sebagai berikut :

1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang


2. Infeksi sistemis atau kronis
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala obstruksi
5. Rhinitis alergika
6. Asma
7. Diskrasia darah
8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
9. Tonus otot yang lemah
10. Sinusitis 14

X. KOMPLIKASI
Komplikasi dibagi menjadi lokal dan sistemik. Radang kronik tonsil dapat
menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik , sinusitis
atau otitis media secara perkontiinutatum. Komplikasi jauh terjadi secara
hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis , artitris , miositis,
nefritis, uveitis, iridoksilitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007.
p212-25.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011. [cited, 2015
May 27]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/
3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011 [cited,
2015 May 27]. Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-
and-adenoiditis/
4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 [cited,
2015 May 27]. Available from: URL: http://www.medicinenet.com
5. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical
and Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.
6. Hansen JT. Head and Neck. NETTER’S CLINICAL ANATOMY. 2nd ed.
USA: Saunders, Elsevier 2010.
7. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: ECG, 1997. p263-340
8. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam
Malik Medan Tahun 2009. 2011.pdf
9. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and
Adenoidectomy. In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
10. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran
Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis
Kronik Sebelum Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.
11. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kværner, Espen Røysamb, et all. Heritability of
Reccurent Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2015 May 27]. Available from:
URL: http://www. Archotolaryngelheadnecksurg.com
12. Cayonu M, Salihoglu M, Altundag A, Tekeli H, Kayabasoglu Gr. Grade 4
tonsillar hypertrophy associated with decreased retronasal olfactory function:
a pilot study. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2014(271):2311-6

28
13. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and
Neck Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
14. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed
With Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine,
Vol. 5, No. 2.

29

Anda mungkin juga menyukai