Anda di halaman 1dari 23

CASE REPORT

EPILEPSI

Perceptor :

dr. Neilan, Sp.S

Oleh :

Ria Arisandi, S.Ked

Nurulia Astri, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN SARAF

RSUD DR. H. ABDOEL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan case report dengan judul “Epilepsi”
sebagai rangkaian kegiatan Kepaniteraan Klinik di SMF SarafRSUD Dr. Abdoel
Moeloek Bandar Lampung.

Dengan ketulusan hati penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada
dr. Zam Zanariyah, Sp.S, M.Kes., selaku dosen pembimbing di bagian Saraf, atas
semua bantuan dan kesabarannya membimbing penulis sehingga penulis dapat
menjalani kepaniteraan klinik di bagianSarafRSUD Dr. Abdoel Moeloek Bandar
Lampung.

Penulis menyadari bahwa case report ini tentu tidak terlepas dari kekurangan
karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat
diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.

Penulis

Ria/ Nurulia

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. S
Umur : 28 tahun
Alamat : Dusun Tegal Rejo, Kec Sukadana. Kab/Kota
Lampung Timur
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Status : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 2 Maret 2018
Tanggal Anamnesis : 7 Maret 2018
Pasien : Bangsal saraf

B. Riwayat Perjalanan Penyakit

Anamnesis : Alloanamnesis
Keluhan Utama : Kejang berulang10 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan kejang berulang yang terjadi±10 hari yang lalu
dengan frekuensi 4kali dalam sehari dengan durasi selama kurang lebih 5
menit, pasien kejang secara tiba-tiba dengan kaku pada seluruh anggota gerak
kiri maupun kanan dengan kedua lengan dan tungkai menekuk dan kemudian
lurus (kelojotan), badan melengkung, mata mendelik keatas, lidah tidak
tergigit dan tidak mengompol namun terkadang keluar busa dari mulut. Pada
saat sebelum kejang pasien dalam keadaan sadar dan tidak merasakan gejala
akan terjadinya kejang. Demam sebelum bangkitan kejang disangkal, Saat
kejang pasien dalam keadaan berbaring tidak sadar dan tidak dapat
berkomunikasi, biasanya kejang timbul saat pasien sedang beraktivitas sehari-
sehari. Setelah kejang pasien tertidur dan merasa lemas pada seluruh tubuh.
Setalah kejang pasien merasakan kelemahan anggota gerak pada tangan dan

3
kaki kanan yang tidak bisa digerakan. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala
yang hilang tmbul dan pasien tidak bisa berbicara dengan jelas. Keluhan
kejang berulang terjadi terus menerus selama 10 hari dan pasien menjadi
lebih sering tidur atau mengalami penurunan kesadaran akibat kejang
berulang.
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien sudah mengalami kejang sejak
usia 3 tahun. Namun saat itu kejang pada pasien diawali oleh demam tinggi.
Kejang tanpa didahului demam muncul kembali saat pasien berusia 12 tahun.
Pasien rutin mengkonsumsi obat antikejang sebanyak 2 tablet per hari.
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak pernah putus obat. Pasien belum
pernah mendapatkan pemeriksaan EEG saat kecil. Keluhan mual dan muntah
disangkal. Riwayat trauma pada bagian kepala sebelumnya tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu


Ayah pasien mengatakan saat masih pasien berusia 3 tahun pernah kejang jika
demam sebanyak 1 kali selama 5 menit namun tidak pernah kejang lagi
hingga kelas 5 SD. Kejang yang terjadi pada pasien sama seperti kejang yang
dirasakan saat ini.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien dan keluarga mengaku tidak ada anggota keluarga yang memiliki
riwayat epilepsi ataupun keluarga yang mengalami penyakit kejang-kejang.

Riwayat Pengobatan
Os mengaku mengkonsumsi obat anti kejang, namun keluarga pasien tidak
tau namanya dan obatnya tidak dibawa.

Riwayat Sosioekonomi
Pasien tinggal bersama keluarga. Riwayat minum alkohol ataupun merokok
disangkal.

C. Pemeriksaan Fisik
Status Present

4
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5 (afasia)M2 = 11

Vital sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit,
RR : 26 x/menit
Suhu : 38o C
BB : 40 kg
TB : 152 cm
Status Gizi : (IMT 14,3) Gizi kurang

Status Generalis
- Kepala
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik,
edema palpebra tidak ada
Telinga : Liang telinga lapang, serumen minimal
Hidung : Sekret (-), pernafasan cuping hidung (-),
deviasi (-), epistaksis (-)
Mulut : Kering(-), lidah putih(-), sianosis (-),
stomatitis (-)
- Leher
Pembesaran KGB : tidak terlihat dan teraba pembesaran KGB
Pembesaran kelenjar tiroid : tidak terlihat dan teraba pembesaran kelenjar
tiroid
Trakhea : central, deviasi (-)

- Toraks
(Cor)
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba pada ICS IV linea

5
midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur(-),gallop(-)
(Pulmo)
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kanan-kiri simetris
Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

- Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+)

- Extremitas
Superior : oedem (-/-), edema (-/-), turgor kulit baik,
CRT ≤ 2 detik
Inferior : oedem (-/-), edema (-/-), turgor kulit baik,
CRT ≤ 2 detik

Status Neurologis
- Saraf Kranialis
N.Olfactorius (N.I)
Daya penciuman hidung : normal (normosmia)

N.Opticus (N.II)
- Tajam penglihatan : 6/60- 6/60 bedsite
- Lapang penglihatan : sama dengan pemeriksa(dalam batas
normal)
- Tes warna : tidak dilakukan
- Fundus oculi : tidak dilakukan

6
N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III – N.IV – N.VI)
Kelopak Mata
- Ptosis : (-/-)
- Endophtalmus : (-/-)
- Exopthalmus : (-/-)
Pupil
- Ukuran : 3 mm/3mm
- Bentuk : Bulat/Bulat
- Isokor/anisokor : Isokor
- Posisi : Sentral/Sentral
- Refleks cahaya langsung : (+/+)
- Refleks cahaya tidak langsung : (+/+)
Gerakan Bola Mata
- Medial : normal
- Lateral : normal
- Superior : normal
- Inferior : normal
- Obliqus superior : normal
- Obliqus inferior : normal
- Refleks pupil akomodasi : normal / normal
- Refleks pupil konvergensi : normal / normal

N.Trigeminus (N.V)
Sensibilitas
- Ramus oftalmikus : normal
- Ramus maksilaris : normal
- Ramus mandibularis : normal
Motorik
- M. masseter : normal

7
- M. temporalis : normal
- M. pterygoideus : normal

Refleks
- Refleks kornea : (+/+)

N.Fascialis (N.VII)
Inspeksi Wajah Sewaktu
- Diam : simetris
- Tertawa : simetris
- Meringis : simetris
- Bersiul : simetris
- Menutup mata : simetris
Pasien disuruh untuk
- Mengerutkan dahi : simetris
- Menutup mata kuat-kuat : simetris
- Mengembungkan pipi : simetris
Sensoris
- Pengecapan 2/3 depan lidah : tidak dilakukan

N.Acusticus (N.VIII)
N.cochlearis
- Ketajaman pendengaran : normal
- Tinitus : tidak ditemukan

N.vestibularis
- Test vertigo : negatif
- Nistagmus : tidak ditemukan

N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X)


- Suara bindeng/nasal : tidak ditemukan
- Posisi uvula : normal
- Palatum mole : normal
- Arcus palatoglossus : normal

8
- Arcus palatoparingeus : normal
- Refleks batuk : normal
- Refleks muntah : tidak dilakukan
- Peristaltik usus : Normal
- Bradikardi : (-)
- Takikardi : (-)

N.Accesorius (N.XI)
- M.Sternocleidomastodeus : normal
- M.Trapezius : normal

N.Hipoglossus (N.XII)
- Atropi : tidak ditemukan
- Fasikulasi : tidak ditemukan
- Deviasi : lidah deviasi kea rah sinistra

- Tanda Perangsangan Selaput Otak


Kaku kuduk : (-)
Kernig test : (-/-)
Laseque test : (-/-)
Brudzinsky I : (-/-)
Brudzinsky II : (-/-)

- Sistem Motorik Superior ka/ki Inferior ka/ki


Gerak (pasif/aktif) (pasif/aktif)
Kekuatan otot 0/5 0/5
Klonus (-/-) (-/-)
Atropi (-/-) (-/-)
Refleks fisiologis Biceps (-/+) Pattela (-/+)
Triceps (-/+) Achiles (-/+)
Refleks patologis Hoffman Trommer (-/-) Babinsky (-/-)
Chaddock (-/-)
Oppenheim (-/-)
Schaefer (-/-)

9
Gordon (-/-)
Gonda (-/-)
- Sensibilitas
Eksteroseptif
- Rasa raba : normal
- Rasa nyeri : normal
- Rasa suhu panas : sulit dilakukan
- Rasa suhu dingin : sulit dilakukan
Proprioseptif
- Rasa sikap : tidak dilakukan
- Rasa gerak : tidak dilakukan
- Rasa getar : tidak dilakukan
- Rasa nyeri dalam : tidak dilakukan
Fungsi kortikal untuk sensibilitas
- Steriognosis : tidak dilakukan
- Grafognosis : tidak dilakukan

- Koordinasi
Tes telunjuk hidung : tidak dilakukan
Tes pronasi supinasi : tidak dilakukan

- Susunan Saraf Otonom


Miksi : Normal
Defekasi : Tidak defekasi selama 10 hari.

- Fungsi Luhur
Fungsi bahasa : afasia
Fungsi orientasi : disorientasi
Fungsi memori : tidak baik
Fungsi emosi : normal

D. Pemeriksaan Penunjang

10
- EEG : ditemukan gelombang epileptogenik di lobus frontalis sinistra (
Maret 2018)

E. Resume
Nn. S(28 tahun) datang dengan keluhan kejang berulang yang terjadi±10 hari
yang lalu dengan frekuensi 4kali dalam sehari dengan durasiselama kurang
lebih 5 menit, pasien kejang secara tiba-tiba dengan kaku pada seluruh
anggota gerak kiri maupun kanan dengan kedua lengan dan tungkai menekuk
dan kemudian lurus (kelojotan), badan melengkung mata mendelik keatas,
lidah tidak tergigit dan tidak mengompol namun terkadang keluar busa dari
mulut. Pada saat sebelum kejang pasien dalam keadaan sadar, saat kejang
pasien dalam keadaan berbaring tidak sadar, setelah kejang pasien tertidur
dan merasa lemas pada seluruh tubuh. Pasien sudah mengalami kejang sejak
usia 3 tahun, kejang didahului oleh demam sebanyak 1x, kejang kemudian
muncul kembali saat pasien berusia 12 tahun. Kejang tanpa didahului oleh
demam dan jenis kejang sama yang dirasakan saat ini. Pasien rutin
mengkonsumsi obat antikejang sebanyak 2 tablet per hari. Pasien tidak
pernah putus obat sejak usia 12 tahun. Pasien belum pernah mendapatkan
pemeriksaan EEG saat kecil. Keluhan lain yang dirasakan pasienadalah sakit
kepala yang hilang timbul, kelemahan kaki dan tangan kanan, sulit berbicara
dan pasien sering tidur. Mual-muntah dan riwayat trauma kepala tidak ada.
RPD: pasien pernah kejang jika demam saat berusia 3 tahun namun tidak
pernah kejang lagi hingga kelas 5 SD. Kejang yang terjadi pada pasien sama
seperti kejang yang dirasakan saat ini.
RPK: tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat epilepsi ataupun
mengalami penyakit kejang-kejang.
RPO: pasien mengkonsumsi obat anti kejang 2 tablet sehari.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan,


kesadaran compos mentis, GCS E4V5M2 = 11. Tanda vital didapatkan tekanan
darah 110/70 mmHg, nadi 92 x/menit reguler, RR 26 x/menit, suhu

11
38oC.Pada status generalis dalam batas normal. Hasil pemeriksaan Nervus
Kranialis ditemukan parese N XI dengan lidah deviasi kea rah kiri. Refleks
fisiologis, bisep kanan dan trisep kanan negative. Kekutan otot tangan kanan
dan kaki kanan adalah 0. Refleks patologis Babinski (-/-), Chadock (-/-),
Schaefer (-/-) dan Gonda (-/-) H. Trommer (-/-).Rangsang meningeal Kaku
kuduk (-), Burdzinsky sign I (-), Burdzinsky sign II (-), Kernigsign (-),
Laseque sign (-).

Dari pemeriksaan EEG tanggal 9Maret 2018 didapatkan gelombang epileptik


ada lobus frontal sinistra.

F. Diagnosis

Diagnosis klinis : Konvulsi umum tonik klonik


Diagnosis topik : Kortek cerebri lobus frontal sinistra
Diagnosis etiologi : Idiopatik

G. Penatalaksanaan
1. Umum
- Kurangi aktivitas yang melelahkan
- Minum obat rutin
- Pantau tanda-tanda vital dan kejadian kejang kembali

2. Medikamentosa

- IVFD Aminofluid XV gtt/hari


- Fenitoin 200 mg/hari IV
- Asam folat 3 x 1 tab
- Paracetamol 3 x 500 mg tab

H. Prognosa

- Quo ad vitam = dubia ad bonam


- Quo ad functionam = dubia ad malam
- Quo ad sanationam = dubia ad malam

12
13
BAB II
ANALISIS KASUS

A. Apakah diagnosis pada pasien sudah tepat?

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan


epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi
(PERDOSSI, 2014). Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi
(epileptic seizure) adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh aktivitas
listrik otak yang abnormal dan belebihan dalam sekelompok neuron.
Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan
perilaku stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan
motorik, sensorik, otonom, ataupun psikik (Engel J, 2008).

International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for


Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu
suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya.
Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan atau gejala
yang timbul sepintas akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron
yang terjadi di otak.

Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru


dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu :
1. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.
2. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
3. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.

14
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut(unprovoked) (ILAE and IBE, 2005).

Diagnosis epilepsi ditegakkan secara sistematis dengan 3 langkah, yaitu


1. Langkah pertama, melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus,
diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang
diperoleh dari anamnesis yang mencakup autoanamnesis maupun
alloanamnesis.
a. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan:
 Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/berdiri/
berbaring/tidur/berkemih.
 Gejala awitan (aura gerakan/sensasi awal / speech arrest).
 Apa yang tampak selama bangkitan: gerakan tonik atau klonik,
vokalisasi otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, deviasi mata.
 Keadaan setelah kejang, bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah.
 Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal.
 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan atau terdapat
perubahan pola bangkitan
b. Ada tidaknya penyakit lain yang disertai serangan, maupun riwayat
penyakit neurologis dan riwayt penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin jadi penyebab
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi.
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologi lain, penyakit psokiatrik
atau iskemik.

15
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan
bayi atau anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal atau kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dan lain-lain.

Pada anamnesis yang dilakukan didapatkan data bahwa pasien datang dengan
keluhan Ny. WDA (34 tahun) datang dengan keluhan kejang berulang yang
terjadi±10 hari yang lalu dengan frekuensi 4kali dalam sehari dengan
durasiselama kurang dari 5 menit, pasien kejang secara tiba-tiba dengan kaku
pada seluruh anggota gerak kiri maupun kanan dengan kedua lengan dan
tungkai menekuk dan kemudian lurus (kelojotan), mata mendelik keatas,
lidah tidak tergigit dan tidak mengompol namun terkadang keluar busa dari
mulut. Pada saat sebelum kejang pasien dalam keadaan sadar, saat kejang
pasien dalam keadaan berbaring tidak sadar, setelah kejang pasien sadar dan
merasa lemas pada seluruh tubuh. Pasien mengatakan kejang biasanya terjadi
jika pasien kelelahan atau kurang istirahat.
Pasien sudah mengalami kejang sejak kelas 2 SD dan rutin mengkonsumsi
carbamazepine sebanyak 2 tablet per hari atau fenobarbitol yang diminum
sebanyak 2 tablet per hari. Pasien pernah putus obat sejak menikah dan tidak
kontrol kembali. Pasien pernah mendapatkan pemeriksaan EEG saat kecil.
Keluhan lain selain kejang tidak ada. Sakit kepala, muntah-muntah, atau
demam disangkal. Riwayat trauma kepala tidak ada. Riwayat minum alkohol
ataupun merokok disangkal.

2. Langkah kedua: untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan


memperhatikan klasifikasi ILAE.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi, antara lain :
1. Bangkitan parsial/ fokal
a. Bangkitan parsial sederana dengan gejala motorik, somato
sensorik, otonom, psikis.
b. Bangkitan parsial kompleks

16
Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum
Parsial sederhana yang menjadi umum, parsial kompleks menjadi
umum, parsial sederhana yang menjadi kompleks lalu menjadi
umum.
2. Bangkitan umum
a. Bangkitan lena (absence)
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi
mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan
klonik pada mata, dagu dan bibir.
b. Bangkitan mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat
umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih
ekstremitas, atau satu grup otot.Dapat berulang atau tunggal.
c. Bangkitan tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas
menetap dalam satu posisi.Biasanya terdapat deviasi bola mata dan
kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh.Wajah
menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat
bernafas.Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan
pupil dilatasi.
d. Bangkitan atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya
kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau
menyeluruh sehingga pasien terjatuh.
e. Bangkitan klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi
kejang kelojot.
f. Bangkitan tonik-klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat
kemudian diikuti oleh gerakan klonik.

17
3. Bangkitan tidak terklasifikasi

Berdasarkan anamnesis pasien pada kasus ini dapat ditentukan bahwa jenis
bangkitan yang dialami oleh pasien berupa bangkitan umum tonik-klonik.

3. Langkah ketiga, menentukan etiologi epilepsi


Menurut ILAE 1989, etiologi epilepsi dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
1. Idiopatik : Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit
neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi
genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik : Dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui.
3. Simtomatik : Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi
SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik,
kelinan neurodegeneratif.

Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang
umum. Secara garis besar, etiologiepilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :

Kejang fokal Kejang umum

a. Trauma kepala a. Penyakit metabolic


b. Stroke b. Reaksi obat
c. Infeksi c. Idiopatik
d. Malformasi vaskuler d. Faktor genetik
e. Tumor (Neoplasma) e. Kejang fotosensitif
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis

Epilepsi yang dialami pasien ini termasuk dalam epilepsi idiopatik, karena
pada pasien tidak didapatkan adanya kelainan struktural pada otak, dan
didapatkan tidak adanya riwayat dalam keluarga.

18
Setelah dilakukan anamnesis, penegakan diagnosis epilepsi dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa
pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologi.

1. Pemeriksaan fisik umum


Pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau
sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang,
kelainan pada kulit, kanker dan devisit neurologik fokal atau difus.

2. Pemeriksaan neurologik
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologi sangat tergantung dari
interval antara saat dilakukanya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
 Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka
akan tampak tanda pasca iktal terutama tanda vokal seperti todds
paresis, transient aphasic symptoms, yang tidak jarang jadi petunjuk
lokalisasi.
 Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan berlalu, sasaran
utama adalah untuk menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi
sistem syaraf permanent dan walaupun jarang apakah ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakanial.

Dari hasil pemeriksaan fisik dan neurologis yang dilakukan pada pasien tidak
didapatkan hasil yang menunjukkan adanya tanda-tanda gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi maupun tanda-tanda defisit neurologi karena
pemeriksaan dilakukan setelah 6 hari pasca bangkitan.

Penegakan diagnosis selanjutnya dengan melakukan pemeriksaan penunjang.


Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila memungkinkan
pemeriksaan ini mencakup :
a. Pemeriksaan electro encepalography (EEG), rekaman EEG merupakan
pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan.

19
Pemeriksaan EEG akan membantu menunjukan diagnosis dan membantu
menentukan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan
tertentudapat membantu menentukan prognosis dan menentukan perlu atau
tidaknya pengobatan dengan OAE.
b. Pemeriksaan CT scan dan MRI
Meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi lesiepileptogenik
diotak.Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologi dapat
terdiagnisi secara non infasif, misalnya nesial temporal sclerosis, glioma,
ganglioma, malformasikavernosus, DNET.Ditemukanya lesi-lesi ini
menambah pilihan terapi pada epilepsi yang refrakter terhadsap OAE.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan hematologik mencakup hemoglobin, leukosit, hematokrit,
trombosit, akusan darah tepi, elektrolit. Pemeriksaan ini dilakukan ini
dilakukan pada awal pengobatan beberapa bulan kemudian diulang
bila timbul gejala klinik dan rutin setiap tahun sekali.
2. Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai
steady state, pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.
Pemeriksaan ini diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan
pasien. Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan ini timbul lagi,
atau bila timbul gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat
lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat lain.

Hasil pemeriksaan EEG pada pasien menunjukkan gambaran epileptogenik


yang memperkuat diagnosis, bahwa bahwa pasien mengalami bangkitan
epilepsi.

B. Apakah penatalaksanaan pada pasien sudah tepat?


Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini terdiri dari penatalaksanan
umum berupa mengurangi aktivitas yang membuat os lelah, dan memantau
tanda-tanda vital, serta tanda-tanda kejadian kejang dan diberikan terapi
medikamentosa berupa carbamazepine 200 mg 2x1 tab, fenobarbitol 30 mg
2x1 tab, asam folat 1 x 1 tab.

20
Penatalaksanaan pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian OAE. Prinsip
terapi farmakologi pada pasien epilepsi antara lain :
1. OAE diberikan apabila :
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari
c. Terdapat minimal 2 bangkitan dalam satu tahun
d. Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan
e. Pasien dan keluarga sudah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping obat.
2. Terapi dimulai dengan mono terapi, penggunaan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efeksamping.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

21
Indikasi menghentikan obat pada pasien epilepsi antara lain:
1. Secara klinis: bebas bangkitan selama 2 tahun
2. Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu s/d 6 bulan)
3. Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan
kembali dengan dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol
bangkitan.

6. Berdasarkan riwayat pengobatan epilepsi pasien ini didapatkan data bahwa


pasien pernah mengkonsumsi obat anti kejang yaitu carbamazepine
sebanyak 2 tablet sehari dan fenobarbitol sebanyak 2 tablet sehari. Namun
pasien putus obat dan mengalami kejang kembali. Berdasarkan literatur,
terapi lini pertama untuk pasien kejang (epilepsi) tipe bangkitan tonik-
klonik, yaitu phenytoin, karbamazepim, atau phenobarbital. Pemberian
obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efeksamping.Bila dengan penggunaan dosis
maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE
Lini kedua (PERDOSSI, 2014). Pada pasien diberikan obat yang sama
dengan jumlah yang sama, yaitu Carbamazepine dan Fenobarbitol.
Namun, berdasarkan literatur kedua obat tersebut merupakan lini pertama
tatalaksana pasien epilepsi dengan kejang umum tonik klonik. Karena
pasien mengalami bangkitan berulang seharusnya diberikan obat tambahan
lini kedua, yaitu Klobazam, Lamotrigin, Asam Valproat, dan Topiramat.
Asam valproat dapat diberikan dengan dosis awal 2 x 250 mg tablet
perhari. Dosis dapat ditingkatkan hingga mencapai dosis maksimal.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adrian T. 2010. Carbamazepine (Antikonvulsi) Dalam Terapi Epilepsy Sebagai


Penyebab Eritema Multiformis Mayor. [SKRIPSI]. Universitas
Kedokteran Sumatera Utara.

Enjel J. Introduction : What is Epilepsy. Epilepsy a comprehensive textbook 2nd


Ed. Vol one. USA; 2008;1-7.

Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, et al. 2005.An Operational Clinical


Definition of Epilepsy. International League Against Epilepsy (ILAE).

Glauser T, Menachem B, Borgeouis B, et al. 2013.Updated ILAE evidence


review of antiepileptic drug efficacy and effectiveness as initial
monotherapy for epileptic seizures and syndromes.Epilepsia.
Mar;54(3):551-63.

International League Against Epilepsy (ILAE) and International Bureau for


Epilepsy (IBE). 2005. Definition: Epilepstic Seizures And Epilepsy.
Geneva.

Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. 2014. Pedoman dan tatalaksana


epilepsi.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

Price, A. S., Wilson M. L., 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses


penyakit. Alih Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC. hlm: 292 – 9.

23

Anda mungkin juga menyukai