Anda di halaman 1dari 35

BAKTERIAL VAGINOSIS

Definisi
Bacterial vaginosis merupakan kondisi dimana lactobacillus-predominant
vaginal flora normal digantikan dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi
(contoh : Bakteroides Spp, Mobilincus Spp), Gardnerella vaginalis, dan
Mycoplasma hominis. Jadi, bacterial vaginosis bukan suatu infeksi yang
disebabkan oleh suatu organisme, tetapi timbul akibat perubahan kimiawi dan
pertumbuhan berlebihan dari bakteri yang berkolonisasi di vagina.

Epidemiologi
Penyakit bakterial vaginosis lebih sering ditemukan pada wanita yang
memeriksakan kesehatannya daripada vaginitis jenis lainnya. Frekuensi
bergantung pada tingkatan sosial ekonomi penduduk pernah disebutkan bahwa 50
% wanita aktif seksual terkena infeksi G. vaginalis, tetapi hanya sedikit yang
menyebabkan gejala sekitar 50 % ditemukan pada pemakai AKDR dan 86 %
bersama-sama dengan infeksi Trichomonas.
Gardnerella vaginalis dapat diisolasi dari 15 % anak wanita prapubertas
yang masih perawan, sehingga organisme ini tidak mutlak ditularkan lewat kontak
seksual. Meskipun kasus bakterial vaginosis dilaporkan lebih tinggi pada klinik
PMS, tetapi peranan penularan secara seksual tidak jelas.
Bakterial vaginosis yang rekuren dapat meningkat pada wanita yang mulai
aktivitas seksualnya sejak umur muda, lebih sering juga terjadi pada wanita
berkulit hitam yang menggunakan kontrasepsi dan merokok. Bakterial vaginosis
yang rekuren prevalensinya juga tinggi pada pasangan-pasangan lesbi, yang
mungkin berkembang karena wanita tersebut berganti-ganti pasangan seksualnya
ataupun yang sering melakukan penyemprotan pada vagina.
Hampir 90 % laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi Gardnerella
vaginosis, mengandung G.vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra, tetapi
tidak menyebabkan uretritis.
Etiologi
Ekosistem vagina normal adalah sangat kompleks. Lactobacillus merupakan
spesies bakteri yang dominan (flora normal) pada vagina wanita usia subur, tetapi
ada juga bakteri lainnya yaitu bakteri aerob dan anaerob. Pada saat bakterial
vaginosis muncul, terdapat pertumbuhan berlebihan dari beberapa spesies bakteri
yang ditemukan, dimana dalam keadaan normal ada dalam konsentrasi rendah.
Penyebab bakterial vaginosis bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis
dari data flora vagina memperlihatkan bahwa ada 4 kategori dari bakteri vagina
yang berhubungan dengan bakterial vaginosis, yaitu :
• Gardnerella vaginalis
Berbagai kepustakaan selama 30 tahun terakhir membenarkan observasi
Gardner dan Dukes’ bahwa Gardnerella vaginalis sangat erat hubungannya
dengan bakterial vaginosis.

Gambar : Gardnerella vaginalis


Organisme ini mula-mula dikenal sebagai H. vaginalis kemudian diubah
menjadi genus Gardnerella atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan
asam dioksi-ribonukleat. Tidak mempunyai kapsul, tidak bergerak dan
berbentuk batang gram negatif atau variabel gram. Tes katalase, oksidase,
reduksi nitrat, indole, dan urease semuanya negatif.
Kuman ini bersifat fakultatif, dengan produksi akhir utama pada
fermentasi berupa asam asetat, banyak galur yang juga menghasilkan asam
laktat dan asam format. Ditemukan juga galur anaerob obligat. Dan untuk
pertumbuhannya dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, biotin,
purin, dan pirimidin.
Berbagai literatura dalam 30 tahun terakhir membuktikan bahwa G.
vaginalis berhubungan dengan bacterial vaginalis. Bagaimanapun dengan
media kultur yang lebih sensitive G. Vaginalis dapat diisolasi dalam
konsentrasi yang tinggi pada wanita tanpa tanda-tanda infeksi vagina. Saat ini
dipercaya bahwa G. vaginalis berinteraksi dengan bakteri anaerob dan
hominis menyebabkan bakterial vaginosis.
• Mycoplasma hominis
Pertumbuhan Mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh putrescine,
satu dari amin yang konsentrasinya meningkat pada bakterial vaginosis.
Konsentrasi normal bakteri dalam vagina biasanya 105 organisme/ml cairan
vagina dan meningkat menjadi 108-9 organisme/ml pada bakterial vaginosis.
Terjadi peningkatan konsentrasi Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob
termasuk Bacteroides, Leptostreptococcus, dan Mobilincus Spp sebesar 100-
1000 kali lipat.

Gambar : Mycoplasma hominis


• Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bacteriodes Spp
Spiegel menyimpulkan bahwa bakteri anaerob berinteraksi dengan G.
vaginalis untuk menimbulkan vaginosis. Peneliti lain memperkuat adanya
hubungan antara bakteri anaerob dengan bakterial vaginosis. Menurut
pengalaman, Bacteroides Spp paling sering dihubungkan dengan bakterial
vaginosis.

Gambar : Bacteroides Spp


Mikroorganisme anaerob yang lain yaitu Mobilincus Spp, merupakan
batang anaerob lengkung yang juga ditemukan pada vagina bersama-sama
dengan organisme lain yang dihubungkan dengan bakterial vaginosis.
Mobilincus Spp hampir tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85 %
wanita dengan bakterial vaginosis mengandung organisme ini.

Gambar : Mobilincus Spp


Aktivitas seksual diduga mempunyai peranan dalam hal timbulnya
bakterial vaginosis, bagaimanapun melakukan hubungan seksual bebas dan
berganti-ganti pasangan akan meningkatkan resiko wanita itu mendapat
bakterial vaginosis.
Faktor Resiko

Faktor Resiko terjadinya Vaginosis Baterial :

1. Pasangan seksual yang baru


2. Merokok
3. AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
4. Pembilasan vagina yang terlampau sering, menyebabkan menurunnya
jumlah laktobaksil penghasil hidrogen peroksida yang menyebabkan
pertumbuhan berlebihan dari bakteri lain khususnya yang berasal dari
bakteri anerobik.
5. Vagina yang terlalu sering dalam keadaan lembab dan jarang mengganti
celana dalam.

Patogenesis
Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan kompleks yang
terdiri dari unsur-unsur yang berbeda yang saling mempengaruhi. Salah satu
komponen lengkap dari ekosistem vagina adalah mikroflora vagina endogen,
yang terdiri dari gram positif dan gram negatif aerobik, bakteri fakultatif dan
obligat anaerobik. Aksi sinergetik dan antagonistik antara mikroflora vagina
endogen bersama dengan komponen lain, mengakibatkan tetap stabilnya
sistem ekologi yang mengarah pada kesehatan ekosistem vagina.
Beberapa faktor / kondisi yang menghasilkan perubahan keseimbangan
menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem vagina dan perubahan
pada mikroflora vagina. Dalam keseimbangannya, ekosistem vagina
didominasi oleh bakteri Lactobacillus yang menghasilkan asam organik
seperti asam laktat, hidrogen peroksida (H2O2), dan bakteriosin.Asam laktat
seperti organic acid lanilla yang dihasilkan oleh Lactobacillus, memegang
peranan yang penting dalam memelihara pH tetap di bawah 4,5 (antara 3,8 -
4,2), dimana merupakan tempat yang tidak sesuai bagi pertumbuhan bakteri
khususnya mikroorganisme yang patogen bagi vagina.
Kemampuan memproduksi H2O2 adalah mekanisme lain yang
menyebabkan Lactobacillus hidup dominan daripada bakteri obligat anaerob
yang kekurangan enzim katalase. Hidrogen peroksida dominan terdapat pada
ekosistem vagina normal tetapi tidak pada bakterial vaginosis. Mekanisme
ketiga pertahanan yang diproduksi oleh Lactobacillus adalah bakteriosin yang
merupakan suatu protein dengan berat molekul rendah yang menghambat
pertumbuhan banyak bakteri khususnya Gardnerella vaginalis.
G. vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang variabel gram
yang mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal vagina
dari yang tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi
akibat berkurangnya jumlah Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen
peroksida. Lactobacillus sendiri merupakan bakteri anaerob batang besar
yang membantu menjaga keasaman vagina dan menghambat mikroorganisme
anaerob lain untuk tumbuh di vagina.
Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia
produktif. Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu
cairan jernih yang keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang
terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolini. Pada wanita, sekret vagina ini
merupakan suatu hal yang alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai
pelicin, dan pertahanan dari berbagai infeksi.
Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh,
atau berwarna kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH kurang
dari 5,0 terdiri dari sel-sel epitel yang matur, sejumlah normal leukosit, tanpa
jamur, Trichomonas, tanpa clue cell.
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai
pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam
vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH
sekret vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G. vaginalis.
Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan
sel epitel dan menyebabkan duh tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari
vagina. Basil-basil anaerob yang menyertai bakterial vaginosis diantaranya
Bacteroides bivins, B. Capilosus dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari
infeksi genitalia.
G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian
menambahkan deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh
tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasive dan respon inflamasi
lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam
sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya bakterial
vaginosis ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita
infeksi Trichomonas.
Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan tentang faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini.
Walaupun alasan sering rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada
4 kemungkinan yang dapat menjelaskan yaitu :
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme
penyebab bakterial vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya
terinfeksi G. vaginalis mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama
dalam uretra tetapi tidak menyebabkan uretritis pada laki-laki
(asimptomatik) sehingga wanita yang telah mengalami pengobatan
bakterial vaginosis cenderung untuk kambuh lagi akibat kontak seksual
yang tidak menggunakan pelindung.
2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang
hanya dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus
sebagai flora normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.
4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor
hostnya pada penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.
Manifestasi Klinis
Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling
sering pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal
(terutama setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina
yang khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy odor).

Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan
vagina menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan
terlepasnya amin dari perlekatannya pada protein dan amin yang menguap
menimbulkan bau yang khas. Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala
yang khas, namun pada sebagian besar wanita dapat asimptomatik. Iritasi
daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar), kalau ditemukan lebih
ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau C.albicans.
Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan seperlima timbul
kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri abdomen, disuria, atau nyeri waktu
kencing jarang terjadi, dan kalau ada karena penyakit lain.
Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan
sering berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen,
dan jarang berbusa.Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat
sebagai lapisan tipis atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak
ada. Sebaliknya sekret vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan
sel epitel vagina yang memberikan gambaran bergerombol.
Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada
vagina dan vulva. Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus
genital bawah seperti trikomoniasis dan servisitis sehingga menimbulkan
gejala genital yang tidak spesifik.

Diagnosis
Agen etiologi tunggal tidak dapat teridentifikasi pada bacterial vaginosis
sehingga criteria klinis (Amsel criteria) digunakan untuk membuat diagnosis.
Diagnosis klinis pada bacterial vaginosis berdasarkan pada tiga dari empat criteria
Amsel yaitu : (1) abnormal gray discharge, (2) pH > 4.5, (3) positif amine test,
dan (4) terdapat clue cells > 20% pada sediaan basah.
A. Anamnesis
Gejala yang khas adalah cairan vagina yang abnormal (terutama setelah
berhubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis (fishy
odor). Pasien sering mengeluh rasa gatal, iritasi, dan rasa terbakar. Biasanya
kemerahan dan edema pada vulva.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan secret vagina yang tipis dan


sering berwarna putih atau abu – abu, viskositas rendah atau normal, homogen,
dan jarang berbusa. Secret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat
sebagai lapisan tipis tau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada.
Sebaliknya secret vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel
vagina yang memberikan gambaran bergerombol.

C. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan pH vagina
Pada pemeriksaan pH, kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral
vagina. Warna kertas dibandngkan dengan warna standart. pH normal vagina 3,8
– 4,2 pada 80 – 90 % bacterial vaginosis ditemukan pH > 4,5.

2. Whiff test
Whiff test dikatakan positif bila muncul bau amine ketika cairan vaginal
dicampur dengan satu tetes 10 – 20 % potassium hydroxide (KOH). Bau muncul
sebagai pelepasan amine dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob.

3. Pemeriksaan Preparat basah


Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9 % pada
secret vagina diatas objek glass kemudian ditutup dengan coverslip. Dan
dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali)
untuk melihat clue cell, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi
dengan bakteri (terutama Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan preparat basah
memiliki sensitivitas 60 % dan spesifisitas 98% untuk mendeteksi bacterial
vaginosis.

Gambar Clue Cells


4. Nugent Gram Stain test
Beberapa studi penelitian menggunakan quantitative Nugent Gram Stain
test untuk mendiagnosa bacterial vaginosis, dimana nilai uji 0-3 normal (non-BV),
4-6 intermediate, dan 7-10 positif BV. Meskipun Nugent Gram Stain test
cenderung subjektif, tetapi lebih sulit dipraktekkan pada penggunaan klinis rutin.

Gambar Gram Stain

5. Kultur Vagina
Kultur dari sampel vagina tidak terbukti berguna untuk mendiagnosa BV
karena BV berhubungan dengan beberapa organisme seperti Gardnerella
vaginalis, mycoplasma hominis, Bacteriodes species, normal flora vagina lain,
dan juga ada beberapa organisme yang tidak dapat dikultur.

6. Deteksi Hasil Metabolik


Tes proline aminopeptidase : G. vaginalis dan Mobilincus Spp
menghasilkan proline aminopeptidase, dimana laktobasilus tidak menghasilkan
enzim tersebut.

Suksinat / laktat : batang gram negative anaerob menghasilkan suksinat


sebagai hasil metabolic. Perbandingan suksinat terhadap laktat dalam secret
vagina ditunjukkan dengan analisa kromotografik cairan - gas meningkat pada
bacterial vaginosis dan digunakan sebagai test screening untuk bacterial vaginosis
dalam penelitian epidemiologi klinik.
7. Variety DNA Based Testing Methods
Penggunaan Variety DNA Based Testing Methods seperti Broad Range
dan Quantitative PCR telah mengidentifikasi novel bacteria yang berhubungan
dengan bacterial vaginosis, dan juga lebih objektif, dalam mengukur kuantitatif
bakteri. itu juga memungkinkan pemahaman yang lebih kompleks terhadap
perubahan mikroflora yang mendasari bacterial vaginosis dan untuk
mengembangkan tes diagnostic.

Gambar Algoritma Vaginal Discharge

Diagnosa Banding

1. Trikomoniasis

Pada pemeriksaan hapusan vagina, trikomoniasis sering sangat menyerupai


penampakan pemeriksaan hapusan bacterial vaginosis. Tapi mobiluncus dan clue
cells tidak pernah ditemukan pada trikomoniasis. Pemeriksaan mikroskopik
tampak peningkatan sel polimorfonuklear dan dengan pemeriksaan preparat basah
ditemukan protozoa untuk diagnostic. Whiff test dapat positif dan pH vagina 5
pada trikomoniasis.

2. Candidiasis

Pada pemeriksaan mikroskopik, secret vagina ditambah KOH 10 %


berguna untuk mendeteksi hifa dan spora candida. Keluhan yang paling sering
pada candidiasis adalah gatal dan iritasi vagina. Secret vagina biasanya putih dan
tebal, tanpa bau dan pH normal.

Gambar perbedaan BV, Trikomoniasis dan Candidiasis

Pencegahan
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menjaga kondisi tubuh adalah sbb :
1. Bersihkan organ intim dengan pembersih yang tidak mengganggu
kestabilan pH di sekitar vagina. Salah satunya produk pembersih yang terbuat
dari bahan dasar susu. Produk seperti ini mampu menjaga seimbangan pH
sekaligus meningkatkan pertumbuhan flora normal dan menekan
pertumbuhan bakteri yang tak bersahabat. Sabun antiseptik biasa umumnya
bersifat keras dan dapat flora normal di vagina. Ini tidak menguntungkan bagi
kesehatan vagina dalam jangka panjang.
2. Hindari pemakaian bedak pada organ kewanitaan dengan tujuan agar
vagina harum dan kering sepanjang hari. Bedak memiliki partikel-partikel
halus yang mudah terselip disana-sini dan akhirnya mengundang jamur dan
bakteri bersarang di tempat itu.
3. Selalu keringkan bagian ms v sebelum berpakaian.
4. Gunakan celana dalam yang kering. Seandainya basah atau lembab,
usahakan cepat mengganti dengan yang bersih dan belum dipakai. Tak ada
salahnya Anda membawa cadangan celana dalam tas kecil untuk berjaga-jaga
manakala perlu menggantinya.
5. Gunakan celana dalam yang bahannya menyerap keringat, seperti katun. 6.
6. Celana dari bahan satin atau bahan sintetik lain membuat suasana disekitar
organ intim panas dan lembab.
7. Pakaian luar juga perlu diperhatikan. Celana jeans tidak dianjurkan karena
pori-porinya sangat rapat. Pilihlah seperti rok atau celana bahan non-jeans
agar sirkulasi udara di sekitar organ intim bergerak leluasa.
8. Ketika haid, sering-seringlah berganti pembalut
9. Gunakan panty liner disaat perlu saja. Jangan terlalu lama. Misalkan saat
bepergian ke luar rumah dan lepaskan sekembalinya kerumah.
Penatalaksanaan
Penyakit baktrerial vaginosis merupakan penyakit yang cukup banyak
ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi. Sekitar 1 dari 4
wanita akan sembuh dengan sendirinya, hal ini diakibatkan karena organisme
Lactobacillus vagina kembali meningkat ke level normal, dan bakteri lain
mengalami penurunan jumlah. Namun pada beberapa wanita, bila bakterial
vaginosis tidak diberi pengobatan, akan menimbulkan keadaan yang lebih
parah. Oleh karena itu perlu mendapatkan pengobatan, dimana jenis obat
yang digunakan hendaknya tidak membahayakan dan sedikit efek
sampingnya.
Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan
pengobatan, termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara
bakterial vaginosis dengan wanita hamil dengan prematuritas atau
endometritis pasca partus, maka penting untuk mencari obat-obat yang efektif
yang bisa digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya
menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk
mengobati bakterial vaginosis.

a. Terapi sistemik
1. Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yang
memberikan keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2 x
400 mg atau 500 mg setiap hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini gagal,
maka diberikan ampisilin oral (atau amoksisilin) yang merupakan pilihan
kedua dari pengobatan keberhasilan penyembuhan sekitar 66%).
- Kurang efektif bila dibandingkan regimen 7 hari
- Mempunyai aktivitas sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat aktif
terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan inhibisi
anaerob. Metronidazol dapat menyebabkan mual dan urin menjadi gelap.
2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan
metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka
kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil
klindamisin dapat menembus ASI, oleh karena itu sebaiknya
menggunakan pengobatan intravagina untuk perempuan menyusui.
3. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari
selama 7 hari. Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap
metronidazol.
4. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.
5. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.
6. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
7. Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
b. Terapi Topikal
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
4. Triple sulfonamide cream(Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7%
dan Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini
dilaporkan angka penyembuhannya hanya 15 – 45 %.
c. Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan
Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat
muncul masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama
kehamilan karena mempunyai efek samping terhadap fetus. Dosis yang
lebih rendah dianjurkan selama kehamilan untuk mengurangi efek
samping (Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk
wanita hamil). Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi
ampisilin dan amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan
metronidazol pada wanita tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut
memberi angka kesembuhan yang rendah.
Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena
klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada
trimester II dan III dapat digunakan metronidazol oral walaupun mungkin
lebih disukai gel metronidazol vaginal atau klindamisin krim.
d. Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual
Terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak
berhubungan selama masih dalam pengobatan.
Komplikasi
Pada kebanyakan kasus, bakterial vaginosis tidak menimbulkan
komplikasi setelah pengobatan. Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi
komplikasi yang berat. Bakterial vaginosis sering dikaitkan dengan penyakit
radang panggul (Pelvic Inflamatory Disease/PID), dimana angka kejadian
bakterial vaginosis tinggi pada penderita PID.
Pada penderita bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan
komplikasi antara lain : kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat
lahir rendah, dan endometritis post partum. Oleh karena itu, beberapa ahli
menyarankan agar semua wanita hamil yang sebelumnya melahirkan bayi
prematur agar memeriksakan diri untuk screening vaginosis bakterial,
walaupun tidak menunjukkan gejala sama sekali. Bakterial vaginosis disertai
peningkatan resiko infeksi traktus urinarius.
Prinsip bahwa konsentrasi tinggi bakteri pada suatu tempat meningkatkan
frekuensi di tempat yang berdekatan. Terjadi peningkatan infeksi traktus
genitalis atas berhubungan dengan bakterial vaginosis. Lebih mudah terjadi
infeksi Gonorrhoea dan Klamidia. Meningkatkan kerentanan terhadap HIV
dan infeksi penyakit menular seksual lainnya.
Prognosis
Bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita walaupun
tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama
dapat dipakai. Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya
dapat disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3
kasus. Dengan pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka
kesembuhan yang tinggi (84-96%).
ABSES FOLIKEL RAMBUT DAN KELENJAR SEBASEA
PADA ORGAN GENITAL

Tumor jenis ini dapat menyerang organ genital wanita baik yang interna
maupun yang eksterna, seperti Vulva, Vagina, Uterus, Tuba Falopii, dan juga
Ovarium.
1. Vulva
A. Tumor Kistik Vulva
1. Kista inklusi (kista epidermis), terjadi akibat perlukaan, terutama pada
persalinan karena episiotomi atau robekan, dimana suatu segmen epitel terpendam
dan kemudian menjadi kista. Kista ini terdapat dibawah epitel vulva/ perineum
maupun vagina berwarna kekuning-kuningan atau abu-abu biasanya bergaris
tengah kurang dari 1 cm dan berisi cairan kental. Umumnya kista ini tidak
menimbulkan keluhan.

Kista inklusi (kista epidermis)


2. Kista sisa jaringan embrio
a. Kista Gartner, dianggap berasal dari saluran mesonefridikus Wolffi. Terdapat
pada dinding lateral-anterolateral vagina sampai pada vulva dekat urethra dan
klitoris. Dindingnya terdiri dari epitel thorak dan kubus berisi cairan jernih tanpa
mucin. Biasanya berukuran kecil dan multipel namun dapat mencapai ukuran
kepala janin dengan konsistensi yang lunak.
Kista Gartner
b. Kista/ Hidrokele saluran Nuck, berasal dari sisa processus vaginalis peritoneum
yang terletak dalam saluran inguinal, kadang-kadang melanjutkan diri sampai
pada labium mayor. Terletak mulai dari saluran inguinal sampai dinding labium
mayor, kadang-kadang terdiri dari beberapa kista. Kista saluran Nuck berisi cairan
jernih dengan dinding selaput peritoneum. Dengan demikian kista ini harus
dibesarkan dengan hernia (burut) inguinal dan varikokel yang sering terdapat
pada kehamilan.
3. Kista Kelenjar
a. Kista Bartholini, terjadi akibat radang. Kista Bartolini berkembang ketika
saluran keluar dari kelenjar Bartolini tersumbat. Cairan yang dihasilkan oleh
kelenjar kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan
membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi. Abses
Bartolini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk organisme yang
menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia dan Gonore serta bakteri
yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan, seperti Escherichia coli.
Kista Bartholini
b. Kista sebasea, berasal dari kelenjar sebacea kulit yang terdapat pada labium
mayor, labium minor, dan mons veneris, terjadi karena penyumbatan saluran
kelenjar sehingga terjadi penyumbatan sebum. Kelenjar ini biasanya terletak dekat
dibawah permukaan kulit berwarna kuning keabu-abuan, dengan batas yang jelas
dan konsistensi keras, ukuran kecil sering multiple. Dindingnya berlapis epitel
kelenjar dengan isi sebum yang mengandung kristal kolesterol. Kristal ini sering
mengalami infeksi.
c. Hidradenoma, berasal dari kelenjar keringat, atau bisa juga dari sisa saluran
Wolffi.

Hidradenoma
d. Penyakit Fox-Forduce, disebut juga apokrin miliaria terjadi akibat sumbatan
saluran kelenjar keringat sehingga membentuk banyak kristal kecil dengan
diameter 1-3 mm, multipel, terasa gatal. Kelainan ini dapat juga terjadi di ketiak
dan gelanggang susu. Dapat mengalami kekambuhan apabila terjadi gangguan
emosi antara lain rangsang seksual.

Penyakit Fox-Forduce
e. Kista paraurethra (Skene), terjadi karena saluran kelenjar ini tertutup oleh
infeksi. Kista ini biasanya menonjol pada dinding depan vagina dan sering
mengalami infeksi.
f. Kista endometriosis, walaupun jarang sekali terjadi, dapat tumbuh pada vulva
maupun vagina. Kista pada vulva ini umumnya hanya memerlukan pengangkatan
kalau mengganggu saja. Pada kista yang mengalami infeksi dapat dilakukan insisi.
Endometriosis

B. Tumor Solid Vulva


1. Tumor Epitel
a. Kondiloma akuminata, penyakit ini disebabkan oleh virus HPV type 6 dan 11,
dan akhir-akhir ini juga dimasukkan dalam golongan penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seksual. Gambar histologik adalah suatu papiloma. Gambar
makroskopik adalah seperti jengger ayam, dapat tumbuh pada vulva dan sekitar
anus sampai vagina dan serviks.
Kondiloma akuminata
b. Karunkula urethra
a) Karunkula urethra neoplasma, terdiri dari polip merah muda dengan
tangkai pada tepi dorsal muara urethra, mikroskopik sebagai papiloma
urethra yang ditutup oleh epitel transisional.
b) Karunkula urethra granulomatosa, penonjolan ini terdiri dari jaringan
granulomatosa pada muara urethra terutama bagian belakang yang meluas
ke samping.
c. Nevus pigmentosus, tampak sebagai lesi berwarna kehitam-hitaman pada
permukaan vulva berdiameter 1-2 mm.Menurut Masson sel nevus berasal dari
melanosit dalam epidermis atau dari sel Schwann dari serabut saraf yang menuju
kulit.
d. Hiperkeratosis, dibedakan :
a) Yang disebabkan infeksi menahun; dermatitis
b) Tumor jinak berpapil yang sudah menahun
c) Distrofi
2. Tumor jaringan mesodermal
a. Fibroma, berasal dari jaringan di sekitar labium mayus, dapat tumbuh besar
dengan konsistensi lunak dan berwarna putih keabu-abuan.

Fibroma
b. Lipoma, berasal dari jaringan lemak disekitar labium mayus dengan
konsistensi lunak, dapat bertangkai dan mencapai ukuran besar.

Lipoma
c. Leiomioma, berasal dari otot polos ligamentum rotundum dekat pada labium
mayus tersusun seperti pusaran air/ konde.
d. Neurofibroma, berasal dari sarung serabut saraf, biasanya kecil saja, lunak,
berbentuk polipoid dan berwarna seperti daging.
e. Hemangioma, yang berasal kongenital biasanya akan menghilang sendiri pada
pertumbuhan anak. Pada wanita pasca menopause biasanya terjadi karena adanya
varices yang kecil-kecil dan dapat menyebabkan perdarahan pasca menopause.
f. Limfangioma, berasal dari jaringan pembuluh limfe, jarang sekali dijumpai.
Mikroskopik tampak seperti limfangioma namun tidak berwarna.

2. Vagina
Tumor-tumor di vagina umumnya mempunyai sifat yang sama dengan
yang didapatkan pada vulva.
A. Tumor Kistik
1. Inklusi
2. Kista sisa jaringan embrio
a. Kista Garner
b. Kista saluran Maller
B. Tumor Solid
1. Tumor epitel
a. Kondiloma akuminatum
b.Granuloma, merupakan granulasi yang berbatas-batas, seringkali berbentuk
polip terutama terjadi pada bekas operasi kolporafi dan histerektomi total dan
dapat bertahan sampai bertahun-tahun.
2. Tumor jaringan mesoderm
a. Fibroma
b. Lipoma
c. Hemangioma
d. Miksoma
3. Adenosis vagina
Berasal dari sisa saluran paramesonefridikus Muller berupa tumor jinak
vagina, terletak dekat serviks uteri, terdiri dari epitel thorak yang mengeluarkan
mucus. Kelainan ini dapat disebabkan karena pemberian dietilstilbestrol atau
hormon estrogen sintetik lain pada ibu penderita pada waktu hamil muda
(Sindrom DES). Diagnosis ditegakkan dengan kolposkopi dilanjutkan dengan
biopsi dan pemeriksaan histopatologi.
Adenosis vagina

3. Uterus
A. Ektoserviks
1. Kista sisa jaringan embrional, berasal dari saluran mesonefridikus Wolffi
terdapat pada dinding samping ektoserviks
2. Kista endometriosis, letaknya superficial
3. Folikel/ kista Nabothi, kista retensi kelenjar endoserviks, biasanya terdapat
pada wanita multipara. Kista ini jarang mencapai ukuran besar, berwarna putih
mengkilap berisi cairan mukus. Bila membesar maka akan menimbulkan rasa
nyeri.
4. Papiloma, dapat tunggal maupun multipel, kebanyakan adalah merupakan sisa
epitel yang terlebih pada trauma bedah maupun persalinan.
5. Hemangioma, biasanya terletak superficial, dapat membesar pada waktu
kehamilan, dapat menyebabkan metroragi.

B. Endoserviks
Polip, sebetulnya adalah suatu adenoma maupun adenofibroma yang
berasal dari selaput lendir endoserviks. Polip berkembang karena pengaruh
radang maupun virus. Tangkainya dapat panjang, epitel yang melapisi adalah
epitel endoserviks, dapat juga mengalami metaplasi. Bagian ujung polip dapat
mengalami nekrosis dan mudah berdarah. Polip endoserviks diangkat dan perlu
diperiksa secara histologik.

Polip

C. Endometrium
1. Polip endometrium, sering didapati dengan pemeriksaan histeroskop. Polip
berasal dari adenoma, adenofibroma, mioma submukosum, plasenta.
2. Adenoma-adenofibroma, terdiri dari epitel endometrium dengan struma yang
sesuai dengan daur haid, merupakan hiperplasia endometrium, konsistensi lunak,
berwarna kemerahan. Gangguan yang sering ditimbulkan adalah metroragi sampai
menometroragi, infertilitas.
3. Mioma submukosum, sarang mioma dapat tumbuh bertangkai, keluar dari
uterus menjadi mioma yang dilahirkan (Myom geburt). Tumor berkonsistensi
kenyal berwarna putih.
4. Polip plasenta, berasal dari plasenta yang tertinggal, setelah partus maupun
abortus, menyebabkan uterus mengalami subinvolusi yang menimbulkan
perdarahan, diangkat dengan cara kuretase, dapat dilakukan dengan cara
kauteterisasi dan bedah laser.

D. Miometrium  Berasal dari otot uterus dan jaringan ikat.


Patogenesis
Menurut Meyer asal mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput otot yang matur.
Patologi anatomi
Sarang mioma di uterus berasal dari serviks uterus hanya 1-3 %, sisanya adalah
dari korpus uterus. Menurut letaknya :
a. Mioma submukosum, berada dibawah endometrium, menonjol ke dalam rongga
uterus.
b. Mioma intramural, terdapat di dinding uterus, antara serabut miometrium.
c. Mioma subserosum, tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus, diliputi oleh serosa.

Mioma

Perubahan sekunder
a. Atrofi, sesudah menopause atau sesudah kehamilan.
b. Degenerasi hialin, sering terjadi pada penderita usia lanjut.
c. Degenerasi kistik, menyerupai limfangioma.
d. Degenerasi membatu (calcareous degeneration), terjadi pada wanita berusia
lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi
e. Degenerasi merah (carneous degeneration), terjadi pada kehamilan dan nifas.
f. Degenerasi lemak, jarang terjadi, merupakan kelanjutan degenerasi hialin.
Komplikasi
Degenerasi ganas, keganasan umumnya ditemukan pada pemeriksaan histologi
uterus, keganasan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.
Torsi (putaran tangkai), sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi,
timbul gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami sindrom abdomen akut.
Gejala dan tanda
Ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan ginekologik, tumor ini
tidak menggangu, gejala yang dikeluhkan, tergantung pada tempat sarang mioma.
Gejala tersebut dapat digolongkan :
a. Perdarahan abnormal, adalah hipermenore, menoragia, dan metroragia.
Penyebab perdarahan ini adalah pengaruh ovarium, permukaan
endometrium yang lebih luas, atrofi endometrium, miometrium tidak dapat
berkontraksi optimal.
b. Rasa nyeri, bukan merupakan gejala yang khas tapi dapat timbul karena
gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis
setempat dan peradangan.
c. Gejala dan tanda penekanan, tergantung dari besar dan tempat mioma
uteri. Penekanan pada kandung kemih menyebabkan poliuri, pada urethra
menyebabkan retensio urine, pada ureter menyebabkan hidroureter dan
hidronefrosis, pada rektum menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada
pembuluh darah limfe di panggul dapat menyebabkan edema tungkai dan
nyeri panggul.
 Infertilitas dan abortus
Dapat terjadi apabila sarang mioma menutup dan menekan pars interstitialis tuba,
sedangkan mioma submukosum juga memudahkan terjadinya abortus oleh karena
distorsi rongga uterus.
 Mioma uteri dan kehamilan
Mioma dapat mempengaruhi kehamilan, menyebabkan infertilitas, rongga uterus
menghalangi kemajuan persalinan, serviks uteri menyebabkan inersia maupun
atonia uteri, menyebabkan perdarahan pasca persalinan, menyebabkan plasenta
sukar lepas, mengganggu proses involusi dalam nifas.

Diagnosis
Penderita mengeluh akan rasa berat, adanya benjolan pada perut bagian bawah.
Pemeriksaan bimanual mengungkapkan tumor pada uterus, umumnya terletak
pada garis tengah, teraba berbenjol-benjol. Sebagai diagnosis banding perlu kita
pikirkan tumor abdomen di bagian bawah panggul atau panggul dalam mioma
subserosum dan kehamilan, USG abdominal dan transvaginal dapat membantu
dalam menegakkan dugaan klinis.
Pengobatan
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah. Mioma uteri
memerlukan pengamatan setiap 3-6 bulan. Pemberian GnRH agonist selama 16
minggu pada mioma uteri menghasilkan degenerasi hialin di miometrium hingga
uterus dan keseluruhannya menjadi kecil. Perlu diingat bahwa penderita mioma
uteri sering mengalami menopause yang terlambat.

Pengobatan operatif
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan uterus.
Dapat dikerjakan pada mioma submukosum pada Myoma Geburt dengan cara
ekstirpasi lewat vagina. Penderita mioma akan masih memerlukan histerektomi.
Histerektomi adalah pengangkatan uterus yang umumnya merupakan tindakan
terpilih. Histerektomi dilaksanakan perabdominal atau pervaginam.

Radioterapi
Bertujuan agar ovarium tidak berfungsi lagi sehingga penderita mengalami
menopause. Radioterapi hendaknya hanya dikerjakan apabila tidak ada keganasan
pada uterus.

3. Tuba falopii dan jaringan sekitarnya


Tumor pada tuba uterine dapat berupa neoplasma maupun non neoplasma.
A. Tumor Tuba Uterina
1. Adenoma
2. Leiomioma
3. Fibroma
Tumor Neoplasma Jinak Jaringan Sekitarnya
A. Tumor Non Neoplasma
Disebabkan oleh radang antara lain Hidrosalping, Piosalping, dan kista
tuboovarial.
1. Ovarium
a. Tumor Ovarium Non Neoplasma
1. Tumor akibat radang ovarium
Misalnya abses ovarial, abses tubo ovarial, dan kista tubo ovarial.
2. Tumor fungsional
a. Kista folikel, berasal dari folikel de Graaf yang tidak berovulasi, atau
dari beberapa folikel primer yang setelah tumbuh dibawah pengaruh estrogen
tidak mengalami atresia yang lazim, biasanya berdiameter 1-1,5 cm. Dalam
menangani tumor ovarium dapat timbul persoalan apakah tumor yang dihadapi
neoplasma atau kista folikel. Bila diameter tumor tidak melebihi 5 cm, dapat
ditunggu dahulu karena kista folikel dalam 2 bulan akan hilang sendiri.
b. Kista korpus luteum, dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun
mengecil dan menjadi korpus albikans, kadang mempertahankan diri (korpus
luteum persistens). Dapat menimbulkan gangguan haid berupa amenore diikuti
oleh perdarahan tidak teratur, juga rasa berat di perut bagian bawah. Cara
penanganannya dengan menunggu sampai kista hilang sendiri. Bila dilakukan
operasi atas dugaan kehamilan ektopik terganggu, kista korpus luteum akan
diangkat tanpa mengorbankan ovarium.
c. Kista teka lutein, pada mola hidatidosa, koriokarsinoma, dan kadang-
kadang tanpa adanya kelainan tersebut ovarium dapat membesar menjadi dan
kistik. Tumbuhnya kista karena pengaruh hormon koriogonadotropin yang
berlebihan, dan dengan hilangnya mola atau koriokarsinoma, ovarium akan
mengecil spontan.
3. Tumor lain
a. Kista inklusi germinal, terjadi karena invaginasi & isolasi bagian-bagian
kecil dari epitel germinativum pada permukaan ovarium.
Tumor ini banyak terdapat pada wanita yang sudah lanjut, dengan besar yang
jarang melebihi diameter 1 cm.
b. Kista endometrium, Kista ini adalah endometriosis yang berlokasi di
ovarium.
c. Kista Stein-Leventhal, dikenal dengan nama sindroma Stein-Leventhal
dan disebabkan oleh gangguan keseimbangan hormonal. Pada penderita terdapat
gangguan ovulasi karena endometrium hanya dipengaruhi oleh estrogen.
Hiperplasia endometrium sering ditemukan.
Diagnosis
Dibuat atas dasar gejala-gejala klinis; laparoskopi dapat membantu dalam
pembuatan diagnosis. Pada diagnosis deferensial perlu dipikirkan tumor ovarium
yang mengeluarkan androgen.
Terapi
Dengan Wedge Resection ovarium, tetapi sekarang banyak diganti dengan
pengobatan menggunakan klomifen yang bertujuan menyebabkan ovulasi.
Wedge Resection perlu dipertimbangkan, apabila terapi klomifen tidak berhasil
menyebabkan ovulasi atau menimbulkan efek samping.

b. Tumor Ovarium Neoplasma


1. Tumor Kistik
a. Kistoma ovarii simpleks, suatu jenis kista denomaserosum yang kehilangan
epitel kelenjarnya, berhubungan dengan tekanan cairan dalam kista. Terapinya
dengan pengangkatan kista melalui reseksi ovarium, tetapi jaringan yang
dikeluarkan harus segera diperiksa secara histologik untuk mengetahui apakah
adanya keganasan.
b. Kistadenoma Ovarii Mucinosum, asalnya belum diketahui secara pasti, namun
menurut Meyer, kemungkinan berasal dari suatu teratoma yang dalam
pertumbuhannya satu elemen mengalahkan elemen-elemen lain. Ada pula penulis
yang berpendapat bahwa tumor berasal dari epitel germinativum, sedang penulis
lain menduga tumor ini mempunyai asal yang sama dengan tumor Brener.

Gambaran klinik
Lazimnya berbentuk multilokuler, oleh karena permukaan berbagala
(lobulated). Kira-kira 10 % dapat mencapai ukuran yang sangat besar, apalagi
pada penderita yang datang dari pedesaan. Tumor biasanya unilateral, tetapi dapat
dijumpai yang bilateral. Dinding kista agak tebal berwarna putih keabu-abuan.
Pada pembukaan terdapat cairan lendir yang khas kental seperti gelatin, melekat
dan berwarna kuning sampai coklat tergantung dari pencampuran dengan darah.
Penanganan
Terdiri atas pengangkatan tumor. Bila pada operasi, tumor sudah cukup besar
sehingga tidak tampak banyak sisa ovarium yang normal, biasanya dilakukan
pengangkatan ovarium beserta tuba (salpingo-ooferoktomi). Setelah k ista
diangkat, harus dilakukan pemeriksaan histologik ditempat-tempat yang
mencurigakan terhadap kemungkinan keganasan. Waktu operasi ovarium yang
lain juga perlu diperiksa.
c. Kistadenoma Ovarii Serosum, banyak penulis berpendapat berasal dari
epitel permukaan ovarium (germinal epithelium)
Gambaran klinik
Pada umumnya kista jenis ini tidak mencapai ukuran yang amat besar
dibandingkan dengan kistadenoma mucinosum. Permukaan tumor biasanya licin,
dapat pula berbentuk multilokuler, walau lazimnya berongga satu. Warna kista
putih keabu-abuan. Isi kista cair, kuning, dan kadang-kadang coklat karena
campuran darah. Tidak jarang kistanya kecil, tetapi permukaannya penuh dengan
pertumbuhan papiler (solid papiloma).
Perubahan ganas
Bila ditemukan pertumbuhan papiler, proliferasi dan stratifikasi epitel
serta anaplasia dan mitosis pada sel-sel, kistadenoma serosum secara mikroskopik
digolongkan dalam kelompok tumor ganas. Dapat dikatakan bahwa 30 sampai 35
% dari kistadenoma serosum mengalami perubahan keganasan. Bila pada satu
kasus terdapat implantasi pada peritoneum disertai dengan ascitesis, maka
prognosis penyakit itu kurang baik., meskipun diagnosis histopatologis
pertumbuhan itu mungkin jinak (histopatologically benign). Klinis kasus tersebut
menurut pengalaman harus dianggap sebagai neoplasma ovarium yang ganas
(clinically malignant).
Terapi
Berhubung lebih besarnya kemungkinan keganasan, perlu dilakukan pemeriksaan
yang teliti terhadap tumor yang telah dikeluarkan. Kadang-kadang perlu diperiksa
sedian yang dibekukan (frozen section) pada saat operasi, untuk menentukan
tindakan selanjutnya pada saat operasi.
d. Kista Dermoid, merupakan satu teratoma kista yang jinak dimana
struktur-struktur ektodermal dengan diferensiasi sempurna, seperti epitel kulit,
rambut, gigi, dan produk glandula sebacea berwarna putih kuning menyerupai
lemak nampak lebih menonjol daripada elemen-elemen ektoderm dan mesoderm.
Gambaran klinis
Dinding kista kelihatan putih keabu-abuan dan agak tipis. Konsistensi tumor
sebagian kistik kenyal, dibagian lain padat. Sepintas terlihat seperti kista berongga
satu, tetapi bila dibelah biasanya nampak satu kista besar dengan ruang kecil-kecil
dalam dindingnya. Tumor mengandung elemen-elemen ektodermal, mesodermal,
dan endodermal. Maka dapat ditemukan kulit, rambut, kelenjar sebacea, gigi
(ektodermal), tulang rawan, serat otot jaringan ikat (mesodermal), dan mukosa
traktus gastrontestinalis, epitel saluran pernafasan dan jaringan tiroid
(endodermal). Termasuk disini:
a) Struma ovarium, tumor ini terdiri atas jaringan tiroid dan kadang dapat
menyebabkan hipertiroid.
b) Kistadenoma ovarii musinosum dan kistadenoma ovarii serosum, dapat
dianggap sebagai adenoma yang berasal dari satu elemen dari epitel
germinativum.
c) Koriokarsinoma, tumor ganas yang jarang ditemukan dan untuk diagnosisnya
harus dibuktikan dengan adanya hormon koriogonadotropin. Kista dermoid adalah
salah satu teratoma kistik. Umumnya teratoma solid ialah tumor ganas, akan tetapi
biarpun jarang dapat juga ditemukan teratoma solidum yang jinak. Tetapi pada
kista dermoid terdiri atas pengangkatan, biasanya dengen seluruh ovarium.

c. Tumor Ovarium Padat dan Jinak


1. Fibroma ovarii
Semua tumor yang padat adalah neoplasma, tapi tidak berarti semuanya ganas
meskipun mempunyai potensi maligna. Potensi menjadi ganas sangat berbeda
pada berbagai jenis, sangat rendah pada fibroma ovarium dan sangat tinggi pada
teratoma embrional yang padat. Fibroma ovarii berasal dari elemen-elemen
fibroblastic stroma ovarium atau dari beberapa sel mesenkim yang multipoten.
Gambaran klinis
Diameternya dapat mencapai 22 sampai 30 cm, dan beratnya dapat mencapai 220
kg, dengan 90 % unilateral. Permukaannya tidak rata, konsistensi keras, warna
merah jambu keabu-abuan. Tentang kepadatan tumor, ada yang konsistensinya
memang betul-betul keras yang disebut fibroma durum; sebaliknya ada yang
cukup lunak disebut fibroma molle. Neoplasma ini terdiri dari jaringan ikat
dengan sel-sel ditengah-tengah jaringan kolagen. Selain mempunyai struktur
fibroma biasa, kadang-kadang terdapat bagian-bagian yang mengalami degenerasi
hialin. Yang penting ialah pada tumor ini sering ditemukan sindrom Meigs.
Potensi keganasan pada fibroma ovarii sangat rendah, kurang dari 1 %
Terapi
Terdiri atas operasi yaitu ooferoktomi. Sesudah operasi, ascites dan hidrothoraks
menghilang secara spontan.

2. Tumor Brenner
Merupakan satu neoplasma ovarium yang sangat jarang ditemukan, biasanya pada
wanita yang dekat atau sesudah menopause. Angka frekuensinya ialah 0,5% dari
semua tumor ovarium. Menurut Meyer, epitel pulau-pulau dalam tumor berasal
dari sisa-sisa sel Walthard yang belum mengadakan diferensiasi. Penyelidikan
yang terakhir memberi petunjuk bahwa sarang-sarang tumor Brenner berasal dari
epitel selomik duktus Mulleri.

Tumor Brenner
Gambaran klinis
Besarnya beraneka ragam, dari yang kecil (garis tengahnya kurang dari 5 cm),
sampai yang beratnya beberapa kilogram. Lazimnya tumor unilateral, yang pada
pembelahan berwarna kuning muda menyerupai fibroma, dengan kista kecil
(multikistik). Kadang-kadang pada tumor ini ditemukan sindroma Meigs.
Mikroskopik gambaran tumor sangat khas, terdiri dari 2 elemen yakni sarang-
sarang yang terdiri atas sel-sel epitel, yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang luas
dan padat.
Tumor Brenner tidak menimbulkan gejala-gejala kllinik yang khas, dan jika masih
kecil biasanya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan histopatologik
ovarium. Jika menjadi besar beratnya menjadi beberapa kilogram dan dapat
seperti fibroma. Meskipun tumor ini jinak, namun dapat memberi gejala; telah
dilaporkan beberapa kasus tumor jenis ini yang histopatologik maupun klinis
menunjukkan keganasan.
Terapi
Terdiri dari pengangkatan ovarium. Bila ada tanda-tanda keganasan dikerjakan
salpingo-ooforektomia bilateralis dan histerektomia totalis.
4. Maskulinovoblastoma (adrenal cell rest tumor)
Tumor ini sangat jarang, dalam kepustakaan dunia hingga kini hanya dilaporkan
30 kasus. Biasanya unilateral dan besarnya bervariasi antara 0,5-16 cm
diameternya. Ada 2 teori tentang asalnya; yang satu menyatakan bahwa tumor
berasal dari sel-sel mesenkim folikel primordial, yang lain mengatakan dari sel
adrenal ektopik dalam ovarium. Beberapa dari tumor ini menyebabkan gejala
maskulinisasi, yang terdiri atas hirsutisme, pembesaran klitoris, atrofi mamma dan
pembesaran suara. Terapi terdiri atas pengangkatan tumor beserta ovarium.

DAFTAR PUSTAKA

Wiknjosastro, Hanifa. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai