Anda di halaman 1dari 43

BAB III

HAK WARIS ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT DAN KOMPILASI

HUKUM ISLAM

B. Pengertian Waris

Pengertian hukum waris dalam sistem hukum Adat ada berbagai macam pendapat

diantaranya Betrand Ter Haar menyebutkan Hukum waris Adat adalah proses

penerusan dan peralihan kekayaan materil dan immaterial dari turunan ke

turunan. 167 Soepomo juga menyebutkan Hukum adat waris memuat peraturan-

peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta

benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari

suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.

Soerojo Wignjodipoero. 168 Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang

menetapkan harta kekayaan baik yang bersifat materil maupun yang bersifat

immateril dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.169

Pengertian hukum waris dalam sistem hukum Islam adalah aturan yang mengatur

peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini

berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing

167
Betrand Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan Soerbakti Poesponoto,
Surabaya, Fadjar, 1953, Hal : 197
168
Soepomo, Op, Cit, Bab-bab tentang Hukum Adat, Hal : 79
169
Soerojo Wignjodipoero, Op, Cit, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Hal : 161

82
81

Universitas Sumatera Utara


ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang

meninggal dimaksud.170

Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek (BW) adalah

kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang,

yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari

pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara

mereka dengan pihak ketiga.171

Kekayaan dalam pengertian waris diatas adalah sejumlah harta kekayaan yang

ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva.

Namun pada dasarnya, proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli

warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi karena adanya kematian. Oleh karena

itu, unsur-unsur terjadinya pewarisan mempunyai tiga persyaratan sebagai berikut :172

a. Ada orang yang meninggal dunia.

b. Ada orang yang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh

warisan pada saat pewaris meninggal dunia

c. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris.

Hukum waris menurut BW berlaku asas : “Apabila seseorang meninggal dunia, maka

seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli

170
Zainuddin Ali, Op, Cit, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Hal : 33
171
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Terjemahan M. Isa Arief,
Jakarta, Intermassa 1979, Hal : 1
172
Zainuddin Ali, Op, Cit, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Hal : 81

82

Universitas Sumatera Utara


warisnya”. 173 Hak-hak dan kewajiban dimaksud, yang beralih kepada ahli waris

adalah termasuk ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang

dapat dinilai dengan uang.

Hukum waris (Erfrecht), KUH Perdata pasal 380 dst) ialah hukum yang mengatur

kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama

berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain. Ciri khas hukum waris perdata

Barat atau BW antara lain : adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing

untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan. Hal itu berarti bila

seseorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di pengadilan, maka tuntutan

dimaksud, tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Hal ini berdasarkan

ketentuan Pasal 1066 BW sebagai berikut :

a. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan

tidak dapat dipaksa untuk membiarkan harta benda peninggalan dalam

keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada.

b. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun

ada perjanjian yang melarang hal tersebut.

c. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja

dilakukan hanya beberapa waktu tertentu.

d. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama

lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh

para pihak.
173
R. Surbekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermassa, 1977, Hal : 79

83

Universitas Sumatera Utara


Hukum waris Perdata Barat174 diatur dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (BW), yaitu yang mengatur tentang benda. Hal ini didasari oleh pemikiran :

a. Memperoleh warisan merupakan satu cara untuk memperoleh harta

benda.

b. Falsafah hidup orang Barat pada umumnya bersifat materialistis dan

individualistis.

Hal pertama dapat dilihat secara jelas dalamkehidupan sehari-hari bagi orang yang

memperoleh harta melalui warisan, hal kedua dapat dilihat dalam pelaksanaan hukum

waris Perdata Barat, yaitu hanya hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum

kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Kecuali itu, dalam hal pakai hasil

yang sebenarnya termasuk hukum harta benda, tidak dapat diwariskan. Sebaliknya,

hak seorang anak untuk diakui sebagai anak sah dan hak seorang ayah untuk

menyangkal sahnya anak, yang sebenarnya termasuk lapangan hukum keluarga. Hal

ini didasari oleh keberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia

yang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.175

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia ada dua acara untuk

mendapatkan harta warisan, yaitu :

a. Sebagai ahli waris menurut ketentuan Undang-Undang (ab intestate).

b. Karena seorang ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair).

174
Hukum waris yang diterjemahkan dari BW yang termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
175
Zainuddin Ali, Op, Cit, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Hal : 82

84

Universitas Sumatera Utara


Pasal 834 BW mengungkapkan bahwa seorang ahli waris berhak untuk menuntut

segala apa saja yang termasuk harta peninggalan agar diserahkan kepadanya,

berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Pemilik hak dimaksud mirip dengan hak

seorang pemilik benda. Hak menuntut ahli waris dimaksud, hanya terbatas pada

seseorang yang menguasai suatu harta warisan dengan maksud untuk memiliknya.

Jadi, penuntutan ini tidak dapat dilakukan terhadap pelaksanaan wasiat (executeur

testamentair), seorang kurator atas harta peninggalan yang tidak terurus dan penyewa

dari benda warisan.

Warisan merupakan salah satu cara yang limitative ditentukan untuk memperoleh hak

milik, dan karena benda (hak) milik merupakan salah satu unsur pokok dari benda

maka hukum waris diatur dalam Buku II bersama-sama dengan pengaturan tentang

benda yang lain. Dalam pasal 584 KUHPerdata dinyatakan bahwa “hak milik atas

suatu benda tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan pemilikan, karena

perlekatan, karena kadaluarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang

maupun menurut surat wasiat176

KUHPerdata memiliki beberapa prinsip-prinsip kewarisan, yaitu :177

a. Pewarisan karena kematian, pasal 830 KUHPerdata secara garis besar


menentukan, bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Dengan
demikian, sejak detik kematian tersebut, maka segala hak dan kewajiban
pewaris beralih pada para ahli warisnya. Yang beralih pada ahli warisnya
hanyalah hak dan kewajiban dalam hubungan hukum harta kekayaan.
Pengecualiannya : hak untuk menuntut pengakuan anak yang mempunyai hak
subyektif, tetapi beralih pada ahli waris. Pengertian meninggal dunia di sini

176
Akmaluddin Syahputra, Hukum Perdata Indonesia, Medan, Perdana Mulya Sarana, 2011, Hal : 123
177
Ibid, Hal : 125-126

85

Universitas Sumatera Utara


diartikan meninggal dunia secara alamiah, karena KUHPerdata tidak
mengenal lagi kematian perdata.
b. Keberadaan ahli waris. Pada prinsipnya, orang bertindak sebagai ahli waris,
maka ia harus ada atau sudah lahir pada saat terbukanya warisan. Orang akan
menggantikan hak dan kewajiban pewaris sebagai ahli waris selain ia harus
sudah ada atau sudah dilahirkan, ia juga harus masih ada (masih hidup) pada
saat meninggalnya si pewaris (pasal 836 dan pasal 899 ayat I KUHPerdata).
Dengan demikian, kematian dan kelahiran seseorang memegang peranan
penting dalam pewarisan. Saat tersebut pada hakekatnya, menentukan siapa
yang berhak mewaris dan sejak kapan hak dan kewajiban pewaris beralih
kepada ahli warisnya
c. Perpindahan di dalam pewarisan adalah kekayaan si pewaris. Yang dimaksud
dengan kekayaan si pewaris adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang. Hukum waris pada hakekatnya, merupakan bagian dari hukum
harta kekayaan. Artinya, yang diwariskan pada prinsipnya adalah hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, kecuali dalam hal-hal tertentu,
yaitu :
1) Pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa
(pasal 1813 KUHPerdata)
2) Hubungan kerja yang bersifat sangat pribadi tidak beralih kepada ahli
warisnya (pasal 1601 KUHPerdata)
3) Keanggotaan dalam perseroan tidak beralih kepada ahli warisnya
(pasal 1646 KUHPerdata)
4) Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang
mempunyai hak tersebut (pasal 807 KUHPerdata)
Sedangkan hak dan kewajiban dalam bidang hukum keluarga pada prinsipnya, tidak

beralih kepada para ahli warisnya. Misalnya, hak suami sebagai kepala rumah tangga,

hak wali terhadap anak yang diperwalikan, hak pengampu tidak beralih kepada ahli

waris (tidak diwariskan). Terhadap hal ini terdapat dua pengecualiannya, yaitu :

a. Hak yang dimiliki oleh seorang suami untuk menyangkal keabsahan anak

dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.

b. Hak untuk menuntut atau mengajukan keabsahan anak dapat dilanjutkan

oleh ahli warisnya.

86

Universitas Sumatera Utara


KUHPerdata mengandung asas tidak memandang sifat maupun asal-usul barang

warisan. Halini dapat kita simpulkan dari pasal 849 KUHPerdata yang menentukan,

bahwa undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal barang-barang dalam

suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya. Dengan demikian dalam

pewarisan tidak diperhatikan, apakah barang tertentu dari keluarga pihak ayah atau

dari keluarga pihak ibu orang yang meninggal dunia. Menurut pasal 850

KUHPerdata, dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam pasal 854, pasal

855, dan pasal 859 KUHPerdata, tiap-tiap warisan yang mana, baik seluruhnya

maupun untuk sebagian, terbuka atas kebahagiaan para keluarga sedarah dalam garis

lurus ke atas atau dalam garis menyimpang, harus dibelah menjadi 2 bagian yang

sama, bagian-bagian mana yang satu adalah untuk sekalian sanak-saudara dalam garis

bapak, dan yang lain untuk sanak-saudara dalam garis ibu. Bagian-bagian warisan

tersebut tidak boleh beralih dari garis yang satu ke garis yang lain, kecuali apabila

dalam salah satu garis tidak ada seorang keluarga pun, baik keluarga sedarah dalam

garis lurus ke atas maupun keponakan-keponakan.178

C. Dasar Waris Mewarisi

Kaitannya dengan sumber hukum waris nasional, ada beberapa pilihan yang dapat

dijadilak landasan pembagian harta waris oleh masyarkat di Indonesia, yaitu :

a. Menggunakan hukum adat. Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum adat

pada umumnya bersandar pada kaidah social normative dalam cara


178
Ibid, Hal : 127

87

Universitas Sumatera Utara


berfikir yang konkret, yang sudah menjadi tradisi masyarakat tertentu.

Salah satunya, masyarakat Minangkabau yang membagi harta waris

dengan hukum adat, yang secara substansial sumber utama dari hukum

adat itu sendiri adalah syariat Islam.179

b. Menggunakan hukum waris Islam, yang cara pembagiannya secara murni

mengacu pada doktrin ajaran Islam yang termuat dalam Al-Quran dan As-

Sunnah serta ijma ulama, atau Kompilasi Hukum Islam Indonesia.

c. Menggunakan Burgerlijk Wetboek (BW). Dalam BW terdapat empat

golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta warisan, yakni

golongan kesatu sebagai golongan terkuat, yang akan menutup hak

golongan kedua hingga keempat, jika golongan kesatu tidak ada, hak

waris berpindah kepada golongan kedua, demikian seterusnya.

Dalam hal ada golongan kesatu, yaitu anak-anak dan atau keturunannya serta janda,

seluruh harta warisan seluruh menurut pasal 852 BW harus dibagi sebagai berikut :180

a. Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu dan janda

mendapat masing-masing suatu bagian yang sama. Jadi, misalnya ada 4

anak dan janda maka mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian.

b. Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dahulu, dan ia

mempunyai anak (cucu si peninggal warisan), misalnya 4 cucu, maka

179
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung, 1991
180
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, Bandung, Pustaka Setia, 2012, Hal : 86-87

88

Universitas Sumatera Utara


mereka semua mendapat 1/5 bagian selaku pengganti ahli waris menurut

pasal 842 BW, jadi masing-masing cucu mendapat 1/20 bagian.

Maka dapat dipahami peraturan hukum waris di Indonesia terdiri dari tiga macam,

yaitu Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum Perdata (BW).181

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan dasar pewarisan pada pasal 174 ayat (1)

Kelompok-kelompoh ahli waris terdiri dari :182

a. Menurut hubungan darah


- Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda
Anak angkat tidak termasuk dalam katagori tersebut, karena anak angkat bukan satu

kerabat atau satu keturunan dengan orang tua angkatnya, dan bukan pula ;ahir dari

perkawinan yang sah dari orang tua angkatnya. Maka antara anak angkat dengan

orang tua angkatnya tidak berhak saling mewarisi. Hak saling mewarisi hanya

berlaku antara anak angkat dengan orang tua kandungnya atas dasar hubungan

darah.183

D. Hak Waris Anak Angkat (Adopsi)

Hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadikan anak orang

lain menjadi anak di mana memutuskan hubungan si anak dengan orang tua asalnya,

181
Zainuddin Ali, Op, Cit, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia
182
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 174 Ayat (1)
183
Musthofa, Op, Cit, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Hal : 130-131

89

Universitas Sumatera Utara


bahkan pengangkatan anak seperti itu dilarang. 184Jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan

ialah syariat Islam. Maka segala peraturan yang lain, termasuk peraturan orang kafir

yang dijalankan dalam dunia Islam, mengangkat anak orang lain jadi anak sendiri,

bukanlah jalan yang benar. Islam telah mengadakan aturan sendiri dalam menjaga

nasab dan keturunan, sehingga apabila seseorang meninggal dunia sudah ada

ketentuan pembagian harta pusaka (Faraid). Namun mengangkat anak orang lain jadi

kepada anak angkat itu adalah melanggar pula kepada ketentuan hak milik yang telah

ditentukan syari‟at. Di Indonesia sebagai Negri yang 350 tahun lamanya dijajah

diakui pula peraturan pengangkatan anak itu, nyatalah mereka melanggar syari‟at nya

sendiri. Inilah yang diperingatkan Tuhan kepada Rasulnya pada ayat pertama surat

ini, agar Rasul jangan mengikuti kepada kafir dan munafik. 185

Dalam hukum Islam, tidak ada hubungan saling mewarisi antara anak angkat dengan

orang tua angkatnya. Sehingga sering kali anak angkat berada pada posisi yang

lemah. Terlebih jika ia tidak memiliki akta otentik sebagai bukti hubungan

pengangkatan anak. Sebaliknya, tidak jarang pula anak angkat menguasai harta waris

seluruhnya. Dengan dalih bahwa ia telah memberikan kontribusi yang banyak

terhadap orang tua angkatnya. Dua kondisi di atas kemudian melahirkan sengketa

harta waris yang menjadi kompetensi absolut dari Pengadilan Agama.186

184
Achmad Ichsan, Hukum Perdata, Jakarta, Pembimbing Masa, 1969, Hal : 120
185
Al-Muhaddits, Op, Cit, Shohih Ababun Nuzul, Hal : 315-316
186
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang
Pengadilan Agama.

90

Universitas Sumatera Utara


Islam mensyariatkan sistem hubungan keluarga atas asas alami dan sesuai

tabiat keluarga, menentukan ikatan-ikatannya, dan menjadikannya jelas dan tidak

bercampur aduk serta tidak ada cacat di dalamnya. Kemudian Islam membatalkan

adat adopsi dan mengembalikan hubungan nasab kepada sebab-sebabnya yang

hakiki, yaitu hubungan darah, orang tua dan anak yang benar dan hakiki. 187

Hubungan itu merupakan hubungan perasaan dan adab. Ia tidak memiliki

konsekuensi-konsekuensi lazim dan keharusan-keharusan seperti saling mewarisi dan

membayar diyat yang semua itu merupakan konsekuensi-konsekuensi hubungan

darah. Hal itu dilakukan agar para anak angkat tersebut tidak bebas begitu saja dan

diacuhkan tanpa ikatan sama sekali dalam masyarakat setelah hubungan

pengangkatan anak dihapuskan. Nash ini “…dan jika kamu tidak mengetahui bapak-

bapak mereka…”, dapat menggambarkan betapa kacau balaunya institusi keluarga

pada masyarakat jahiliyah dan kebejatan inilah yang ingin dikoreksi dan dibenarkan

oleh Islam dengan membangun sistem keluarga atas fondasi hubungan orang tua

kandung. Juga dengan membangun sistem masyarakat di atas asas keluarga yang

sehat, aman dan benar.188

Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat sifatnya variatif,

artinya disuatu daerah mungkin berlainan dengan hukum adat di daerah lainnya.

Misalnya, dalam hukum adat Minangkabau, walaupun pengangkatan anak merupakan

perbuatan yang diperbolehkan, tetapi perbuatan itu tidak menimbulkan hubungan

187
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilali Qur’an, Jilid 9, Penerjemah As‟ad Yasin ed, al, Jakarta, Gema
Insani, 2004, Hal : 220
188
Ibid, Hal : 221

91

Universitas Sumatera Utara


kewarisan antara orang tua angkat dengan anak angkat. Sementara itu di daerah-

daerah yang menganut sistem kekerabatan bilateral (parental, keibubapakan),

misalnya di Jawa, Sulawesi, dan sebagian Kalimantan, pengangkatan anak

menimbulkan hubungan kewarisan. Hukum adat Jawa mengenal asa “ngangsu sumur

loro” untuk kewarisan anak angkat. Kata “ngangsu” berarti mencari atau

memperoleh “sumur” berarti tempat mengambil air atau perigi “loro” berarti dua.

Asas itu bermaksan bahwa anak angkat memperoleh warisan dari dua sumber, yaitu

dari orang tua kandung dan orang tua angkat.189

Hubungannya dengan masalah warisan, maka terdapat juga variasi ketentuan

hukumnya seperti misalnya daerah Lampung Utara dengan tegas menyatakan bahwa

anak angkat tidak mendapat bagian warisan dari orang tua kandungnya. Dengan

demikian jelas dia adalah ahli waris dari orang tua angkatnya.ketentuan tersebut

sesuai dengan beberapa daerah di kecamatan Duduk Kabupaten Gresik yang juga

menyatakan bahwa anak mewarisi dari orang tua angkatnya, bahkan disamping itu ia

juga mewarisi orang tuanya sendiri. Namun sebetulnya banyak daerah di Indonesia

yang hukum adatnya menyatakan bahwa anak angkat bukanlah sebagai ahli waris

seperti di Kabupaten Lahat (Palembang) pada umumnya di sini anak angkatnya hanya

mendapat warisan, apabila pada waktu pengangkatannya secara khusus dinyatakan

bahwa ia kelak mewarisi dari orang tua angkatnya. Kalau tidak disebutkan, maka

tidaklah ia sebagai ahli waris. Untuk daerah Pasemah harus tetap tinggal di dusun

189
A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 1999, Hal : 189

92

Universitas Sumatera Utara


orang tua angkatnya. Selain itu lazimnya daerah Paseman ini apabila disamping anak

angkat ada anak kandung, mereka mendapat warisan, tetapi warisannya tidak sama.

Kemudian untuk beberapa daerah di Kabupaten Batanghari dengan jelas menyatakan

hukum adatnya, bahwa anak angkat di sini tidak pernah mewarisi orang tua

angkatnya. Begitu pula di Kecamatan Bontomaranu Kabupaten Goa daerah

Kepulauan Tidore (Ambon), daerah Takengon Kabupaten Aceh Tengah, Kecamatan

Cikajang Kabupaten Garut, Kecamatan Sambas Kalimantan Barat dan beberapa

daerah lain menyatakan bahwa anak angkat bukanlah ahli waris dari orang tua

angkatnya, dia adalah ahli waris orang tua nya sendiri. Bisa menjadi waris melalui

jalur hibah/pemberian, sehingga anak angkat mendapatkan sedikit bagian dari harta

peninggalan orang tua angkatnya. Ketentuan bias tidaknya suatu pengangkatan

(adopsi) dibatalkan pada umumnya sesuai dengan kultur dan kepribadian Timur,

maka bagi masyarakat Indonesia adalah salah satu hal yang tidak etis, terkecualinya

adanya hal-hal yang luar biasa, seperti terjadi penghianatan dari anak angkatnya,

maka wajar saja terjadi pembatalan adopsi ini. Selanjutnya kalau memperhatikan

versi pengadilan, contoh Pengadilan Martapura, Kalimantan Selatan yang

menyatakan bahwa Adopsi (pengangkatan anak) bias dibatalkan bilamana syarat-

syarat formalnya itu salah atau data yang diajukan oleh pemohon tidak benar, yang

biasanya dalam hal ini orang tua angkatnya, maka batal karena hukum.190

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak membedakan

ahli waris laki-laki dan perempuan, tidak juga membedakan urutan kelahiran, hanya
190
R. Soeroso, Op, Cit, Perbandingan Hukum Perdata, Hal : 194-195

93

Universitas Sumatera Utara


ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup

hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas dan ke samping sehingga

tampak anggota keluarga yang lebih dekat menutup haknya anggota keluarga yang

lebih jauh.191

Mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan warisan maka KUHPerdata

menggolongkan ahli waris menjadi 4 golongan, yaitu :

8. Ahli waris golongan I

a. Ahli waris golongan I terdiri atas anak-anak atau sekalian

keturunannya. Anak yang dimaksud pada Pasal tersebut adalah anak

sah, karena mengenai anak luar kawin, pembuat undang-undang

mengadakan pengaturan tersendiri dalam bagian ke 3 Title/Bab ke II

mulai dari pasal 862 KUHPerdata. Termasuk dalam kelompok anak sah

adalah anak-anak yang disahkan serta anak-anak yang diadopsi secara

sah.192

b. Suami atau istri yang hidup lebih lama. Adapun besaran bagian hak

seorang istri atau suami atas warisan pewaris adalah ditentukan dengan

seberapa besar bagian satu orang anak.193

9. Ahli waris golongan II, golongan ini terdiri atas orang tua, saudara laki-laki

atau perempuan dan keturunannya. Pengaturan mengenai bagian ahli waris

golongan ini diatur dalam Pasal 854-857 KUHPerdata

191
Zainuddin Ali, Op, Cit, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Hal : 93
192
J. Satrio, Hukum Waris, alumni 1992, Bandung, 1992, Hal : 102
193
Ibid

94

Universitas Sumatera Utara


10. Ahli waris golongan III, golongan ini terdiri atas keluarga sedarah

dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua, baik dari pihak ayah maupun

dari garis ibu. Menurut pasal 853 KUHPerdata, golongan ini muncul

apabila ahli waris dari golongan I dan II tidak ada. Yang dimaksud dengan

keluarga sedarah dalam garis ibu dan garis ayah ke atas adalah kakek dan

nenek, kakek buyut dan nenek buyut terus ke atas dari garis ayah maupun

garis ibu.194

11. Ahli waris golongan IV, menurut Pasal 858 ayat (1) KUHPerdata,

dalam hal tidak adanya saudara (golongan II) dan saudara dalam salah satu

garis lurus ke atas (golongan III), maka setengah bagian warisan menjadi

bagian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas yang masih hidup.

Sedangkan setengah bagiannya lagi menjadi bagian dari para sanak saudara

garis yang lain. Pengertian sanak saudara dalam garis yang lain ini adalah

para paman dan bibi, serta sekalian keturunan mereka yang telah

meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.195

194
Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, Hal : 259
195
Ibid, Hal : 258

95

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PORSI BAGIAN WARIS BAGI ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT

DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Porsi Warisan Terhadap Anak Angkat

Dalam hukum adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat

yang berlaku. Bagi keluarga yang parental (misalnya suku jawa), pengangkatan anak

tidak otomatis memutus tali keluarga antara anak itu dengan orang tua kandungnya.

Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya, dia juga

tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan suku yang ada di

bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak

tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga asalnya ke dalam keluarga

angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan

meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya. 196 Pengaturan terhadap waris bagi

anak angkat dalam hukum adat berbeda dengan daerah satu dengan yang lain, begitu

pula terhadap porsi warisannya. Namun kebiasaan nya adalah anak angkat berhak

mewaris selaku anak, sedangkan sebagai unsur asing ia tidak berhak. Sepanjang

pengangkatan anak itu melenyapkan sifat unsur asing dan menimbulkan sifat anak.

Itulah titik pangkal hukum adat.197

KUHPerdata tidak mengatur tentang pengangkatan anak, khususnya dalam hal porsi

warisan terhadap anak angkat. Dalam beberapa pasal KUHPerdata hanya dijelaskan

196
Buddiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991
197
http://reza-rahmat.blogspot.co.id/2012/08/pembagian-harta-waris-menurut-hukum.html?m=1

98
96

Universitas Sumatera Utara


masalah perkawinan dengan istilah “anak luar kawin” atau anak yang diakui

(Erkiend).198

Ada dua acara untuk menyelenggarakan pembagian warisan yaitu : 199

1. Pewarisan menurut undang-undang, ialah pembagian warisan kepada orang-

orang yang mempunyai hubungan darah yang terdekat dengan si pewaris.

Hubungan kekeluargaan sampai derajat keberapa yang berhak menerima

warisan, adalah ditentukan oleh undang-undang.

Pada pewarisan menurut undang-undang terdapat pengisian tempat (plaatsvervulling)

artinya apabila ahli waris yang berhak langsung menerima warisan, telah mendahului

meninggal dunia atau karena sesuatu hal dinyatakan tidak patut menjadi ahli waris,

maka anak-anaknya berhak menggantikan menjadi ahli waris dan demikianlah

seterusnya.

2. Pewarisan berwasiat, yaitu pembagian warisan kepada orang-orang yang

berhak menerima warisan atas kehendak terakhir (wasiat) si pewaris. Wasiat

itu harus dinyatakan dalam bentuk tulisan, misalnya dalam akta notaris

(warisan testamenter).

Pewarisan menurut Undang-undang terbagi atas dua macam :200

a) Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofer), yaitu ahli


waris tampil mewaris secara langssung dari pewaris kepala demi kepala
(sama rata). Dengan emikian, orang yang mewaris karena kedudukannya

198
http://abdisamudera.blogspot.co.id/2014/04/anak-angkat-menurut-kuh-perdata.html, diakses pada
tanggal 12 juni 2016
199
Kansil, Cristine S. T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta,
Pradnya Paramita, 2004, Hal : 143-144
200
Akmaluddin Syahputra, Op, Cit, Hukum Perdata Indonesia, Hal : 128

97

Universitas Sumatera Utara


sendiri dalam susunan keluarga si pewaris, mempunyai posisi yang
memberikan kepadanya hak untuk mewaris. Hak tersebut adalah haknya
sendiri, bukan menggantikan hak orang lain.
b) Mewaris berdasarkan penggantian tempat (bij plaatsvervulling). Artinya,
ahli waris tampil mewaris karena menggantikan kedudukan dari ahli waris
yang sebenarnya berhak mewaris yang telah meninggal dunia lebih dahulu
dari pewaris. (pasal 852 ayat 2 KUHPerdata). Orang yang menggantikan
dengan sendirinya memperoleh hak dan kewajiban dari orang yang
digantikan tempatnya. Dengan demikian asas keluarga yang dekat
menghapus keluarga yang jauh dikesampingkan.
Berkaitan dengan anak angkat, pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menentukan:
a) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai
dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang
tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan anak angkatnya.
b) Terhadap anak angkat yag tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tuanya.

Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa antara anak angkat dengan orang tua

angkatnya tidak ada hubungan kewarisan, tetapi sebagai pengakuan mengenai

baiknya lembaga pengangkatan anak tersebut, maka hubungan antara anak angkat

dengan orang tua angkatnya dikukuhkan dengan perantaraan wasiat atau wasiat

wajibah. Untuk membedakannya dengan kedudukan ahli waris, pengaturan anak

angkat ini diatur dalam bab V tentang wasiat.201

Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai

aparat Negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang

telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu, 202 adapun disebut wasiat

wajibah karena :

201
Rachmad Budiono, Op, Cit, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Hal : 195
202
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000, Hal : 462

98

Universitas Sumatera Utara


1) Hilangnya unsur ikhtiar bagi pemberi wasiat dan munculnya

kewajiban melalui peraturan perundang-undangan atau putusan

pengadilan tanpa bergantung pada kerelaan orang yang berwasiat dan

persetujuan penerima waris.

2) Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam

penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.203

Kompilasi Hukum Islam menentukan kewajiban orang tua angkat untuk memberikan

wasiat wajibah kepada anak angkatnya untuk kemaslahatan anak angkat sebagaimana

orang tua angkat telah dibebani tanggung jawab untuk mengurus segala

kebutuhannya.

Ketentuan yang menetapkan bahwa wasiat hanya dibenarkan maksimal sepertiga

harta yang dimiliki si pewaris adalah sejalan dengan apa yang telah ditetapkan oleh

Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 201 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan

bahwa wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta yang dimiliki si pewaris, apabila

wasiat melebihi sepertiga dari harta yang dimiliki itu maka harus ada persetujuan ahli

waris, jika mereka tidak menyetujuinya, maka wasiat harus dilaksanakan hanya

sampai batas sepertiga saja dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan si pewaris.

Meskipun Kompilasi Hukum Islam tidak menetapkan secara tegas masa perhitungan

sepertiga wasiat, tetapi secara tersirat dapat ditegaskan bahwa sepertiga tersebut

dihitung dari semua harta peninggalan pada saat kematian orang yang berwasiat.

Penegasan ini penting sebab tidak jarang wasiat itu terjadi jauh dari sebelum orang
203
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung, al-Maarif, 1981, Hal : 63

99

Universitas Sumatera Utara


yang diberi wasiat itu meninggal dunia, sehingga banyak terjadi penyusutan atau

penambahan harta milik orang yang memberi wasiat pada saat ia meninggal dunia.

Selain dari itu pasal 200 Kompilasi Hukum Islam memberikan penjelasan bahwa

harta wasiat yang berupa barang tak bergerak bila karena suatu sebab yang sah

mengalami penyusutan, atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal

dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta tersisa.204

Yurisprudensi tetap di lingkungan Pengadilan Agama telah berulang kali diterapkan

oleh para praktisi hukum di Pengadilan Agama yang memberikan hak wasiat wajibah

kepada anak angkat. Dalam kasus yang terjadi di Pengadilan Agama, masalah wasiat

wajibah biasanya masuk dalam sangketa waris. Misalnya orang tua angkat yang

kerena kasih sayangnya kepada anak angkatnya lalu berwasiat dengan menyerahkan

dan mengatas namakan seluruh harta kekayaannya kepada anak angkatnya. Karena

orang tua kandung dan saudara kandung merasa berhak atas harta si pewasiat yang

hanya meninggalkan anak angkat saja, lalu mereka mengajukan gugatan waris.

Dalam kasus ini umumnya wasiat dibatalkan oleh Pengadilan Agama dan hanya

diberlakukan paling banyak 1/3 (sepertiga) saja. Selebihnya dibagikan kepada ahli

waris.205

Penerapan lembaga hukum wasiat wajibah dalam kasus sengketa anak angkat dan ahli

waris beda agama di Indonesia merupakan perkembangan hukum baru. Khusus

mengenai ahli waris beda agama yang diberikan harta warisan melalui wasiat wajibah

204
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group,
2008, Hal : 173
205
Ibid, Hal : 144

100

Universitas Sumatera Utara


harus melalui berbagai prtimbangan hukum mendalam, sehingga antara kasus yang

satu dengan lainnya tidak selalu memiliki hukum terapan yang sama. Konsepsi wasiat

wajibah mulanya hanya diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak

memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu

halangan. Misalnya, berwasiat kepada ibu atau ayah yang beragama non-Islam.

Konsep ini lahir adalah sebagai kebijakan penguasa trhadap orang-orang yang tidak

meninggalkan wasiat, sedangkan ia mempunyai harta peninggalan yang banyak.

Artinya, kebijakan dalam wasiat wajibah lebih bersifat qhadaiyah, dalam pengertian,

mewajibkan untuk mengeluarkan sebagian dari harta peninggalan sebagai wasiat,

tidak lagi disandarkan kepada atau tidaknya seseorang meninggalkan wasiat pada

masa hidupnya, tetapi kepada hukum atau undang-undang yang berlaku.206

Dari pendapat inilah kemudian lahir istilah wasiat wajibah, yang oleh Suparman

Usman didefenisikan sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau

tidak bergantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap

dilaksanakan, baik diucapkan, atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang

meninggal dunia. Jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa

wasiat tersebut diucapkan, dituliskan atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya

didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut

harus dilaksanakan. 207

206
Sa‟id Muhammad al-Jalidi, Op, Cit, Hal : 290
207
Suparno Usman, Fikih Mawaris Hukum Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1997, Hal : 163

101

Universitas Sumatera Utara


Dikatakan wasiat wajibah disebabkan dua hal :208

1) Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur


kewajiban melalui undang-undang atau surat keputusan tanpa tergantung
kepada orang yang berwasiat
2) Adanya kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam
penerimaan laki-laki dua kali lipat nagian perempuan.
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukkan kepada para ahli waris atau

kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena

adanya suatu halangan. Misalnya berwasiat kepada ibu atau ayah yang beragama non-

Islam, karena berbeda agama menjadi penghalang bagi seseorang untuk menerima

warisan, atau cucu yang tidak mendapatkan harta warisan disebabkan terhalang oleh

keberadaan paman mereka, anak angkat yang tidak termasuk ahli waris tetapi jasa dan

keberadaannya sangat berarti bagi si mayit.209

Teoritis hukum Islam (klasik dan kontemporer) berbeda pendapat dalam menetapkan

hukum wasiat wajib. Jumhur ulama berpendapat bahwa sifatnya hanya di anjurkan,

bukan wajib, dengan tujuan untuk membantu meringankan yang bersangkutan dalam

menghadapi kesulitan hidup. Akan tetapi sebagian ulama fiqh lainnya berpendapat

bahwa wasiat seperti ini wajib hukumnya, dengan alasan surat Al-Baqarah (2) ayat

180. Menurut mereka perintah untuk berwasiat dalam ayat tersebut adalah untuk para

ahli waris yang terhalang mendapat warisan. Adapun jumlah harta wasiat wajib

menurut ulama fikih yang mewajibkan adalah sesuai dengan pembagian warisan yang

mesti mereka terima, apabila tidak ada penghalangnya. Misalnya ayah dan ibu

208
Faturrahman, Op, Cit, Ilmu Waris, Hal : 62
209
Ahmad Kamil, Fauzan, Op, Cit, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Hal :
146

102

Universitas Sumatera Utara


mendapatkan seperenam harta, apabila orang yang wafat memiliki anak. Cucu

mendapatkan sebesar bagian ayahnya yang wafat. Akan tetapi para penyusun

perundang-undangan tentang wasiat di Mesir dan Suriah, yang didominasi ulama

Mazhab Hanafi, berpendapat bahwa besarnya wasiat wajib itu tidak melebihi

sepertiga harta, sesuai dengan ketentuan wasiat biasa (UU Wasiat Mesir, Pasal 76-79

; UU Suriah, Pasal 257).210

Wasiat wajibah dibatasi sepertiga harta dengan syarat bagian tersebut sama dengan

yang seharusnya diterima oleh ashabul furud secara kewarisan seandainya ia masih

hidup. Ketentuan ini ditetapkan berdasarkan penafsiran terhadap kalimat “al-khair”

yang terdapat dalam ayat wasiat surat Al-Baqarah ayat 180.211

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, istilah wasiat wajib disebutkan pada Pasal 209

Ayat 1 dan Ayat 2, sebagai berikut:

1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai

dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat

yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3

dari harta warisan anak angkatnya.

2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.212

Berdasarkan isi bunyi pasal 290 KHI ayat 1 dan 2 di atas dapat dipahami bahwa

wasiat wajibah yang dimaksud oleh KHI adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan

210
Ibid
211
Ali al-Khafif, Op, Cit, Hal : 526
212
Instruksi Presiden R.I Nomor 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 1999, Hal :94

103

Universitas Sumatera Utara


ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya

orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau

anak angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta peninggalan. Pengertian

wasiat wajibah sebagaimana dikemukakan di atas sama dan disejajarkan dengan

pengertian wasiat wajibah yang terdapat dalam undang-undang Mesit. Kuat dugaan

bahwa rumusan wasiat wajibah yang terdapat dalam KHI mengikuti pengertian

wasiat wajibah yang terdapat dalam undang-undang wasiat Mesir.213

Muhammad Daud Ali mengemukakan bahwa pemberian hak wasiat wajibah kepada

anak angkat oleh KHI dilakukan dengan mengadaptasi nilai hukum adat secara

terbatas ke dalam hukum Islam. Karena berpindahnya tanggung jawab orang tua asal

kepada orang tua angkatnya mengenai pemeliharaan kehidupan sehari-hari dan biaya

pendidikan berdasarkan keputusan pengadilan yang disebutkan dalam huruf (h) pasal

71 tentang Ketentuan Umum Kewarisan.214

B. Wasiat

Dari segi etimologi, wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, manaruh

kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang


215
lain. Menurut Ahmad Rafiq secara etimologi, para ahli hukum Islam

mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang

213
Ahmad Kamil, Fauzan, Op, Cit, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Hal :
148
214
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta, Rajawali
Pers, 1997, Hal : 137
215
Abdul Manan, Op, Cit, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Hal : 148

104

Universitas Sumatera Utara


menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan

atau tabarru. 216 Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini adalah sejalan

dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di kalangan Mahzab

Hanafi yang mengemukakan bahwa wasiat itu adalah tindakan seseorang yang

memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan

kebendaan maupun manfaat secara sukarela tanpa imbalan yang pelaksanaannya

ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut. 217

Sedangkan Al-Jaziri menjelaskan bahwa para ahli hukum Islam di kalangan mahzab

Maliki, Syafi‟I, dan Hambali memberi definisi wasiat itu adalah suatu transaksi yang

mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta

peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia.218

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan wasiat adalah, pesan terakhir yang

disampaikan oleh orang yang akan meninggal dunia (biasanya) berkenaan dengan

harta kekayaan dan sebagainya. 219 Sementara itu dalam kamus umum Bahasa

Indonesia dinyatakan, bahwa wasiat adalah pesan terakhir yang dituliskan oleh orang

yang akan meninggal dunia yang berkenaan dengan harta benda dan sebagainya.220

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau

lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf f).

216
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1987
217
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut, Darul Fikri, 1989, Hal : 415
218
Abdurrahman al-Jaziri, al Fiqhu ala Madzhibil Arba’ah, Beirut, Darul Fikri, 1982, Hal : 327
219
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996
220
W.J.S. Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1984

105

Universitas Sumatera Utara


ketentuan tentang wasiat ini terdaat dalam pasal 194-209 yang mengatur secara

keseluruhan prosedur tentang wasiat.

Menurut Eman Suparman dalam hukum adat wasiat adalah pemberian yang

dilaksanakan oleh seseorang kepada ahli warisnya atau orang yang tertentu yang

pelaksanaannya dilakukan setelah orang yang menyatakan wasiat itu meninggal

dunia. Wasiat dibuat karena berbagai alasan yang biasanya untuk menghindarkan

persengketaan, perwujudan rasa kasih sayang dari orang yang menyatakan wasiat,

orang yang menyatakan wasiat akan melaksanakan haji dan orang yang menyatakan

wasiat ajalnya sudah dekat tetapi masih ada ganjalan semasa hidupnya yang belum

terpenuhi. Orang yang menyatakan wasiat dapat mencabut kembali wasiatnya yang

dinyatakan itu atau telah diikrarkan, tetapi jika tidak dicabut sampai orang yang

menyatakan wasiat itu meninggal dunia maka para ahli waris harus menghormati

wasiat itu.pelaksanaan wasiat dalah hukum adat tidak perlu dilakukan di hadapan

Notaris, tetapi cukup diucapkan secara lisan di hadapan keluarga atau wali waris yang

hadir pada waktu pernyataan wasiat dilakukan.221

Surat wasiat atau testament adalah suatu akta yang yang memuat pernyataan

seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia,

dan yang olehnya dapat dicabut kembali (pasal 1875 KUHPerdata). Segala harta

peninggalan seorang yang meninggal dunia pada prinsipnya adalah kepunyaan

sekalian ahli waris menurut undang-undang sekadar terhadap hal itu dengan surat

wasiat tidak telah diambil suatu ketetapan yang sah (pasal 874 KUHPerdata). Dengan
221
Eman Suparman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1991, Hal : 93-94

106

Universitas Sumatera Utara


demikian, hukum waris menurut KUHPerdata sifatnya mengatur walaupun sebagian

terdapat ketentuan-ketentuan yang sifatnya memaksa. Sebenarnya, kehendak mewaris

didahulukan (sekadar terhadap hal itu dengan surat wasiat tidak telah diambil suatu

ketetapan yang sah).222

Wasiat pada umumnya adalah keterangan dari seseorang tentang hal-hal yang akan

terjadi setelah ia meninggal. Keterangan tadi dapat ditarik kembali, kecuali tentang

hal-hal yang telah ditentukan. Surat wasiat harus dibuat dengan akta notaris, dan juga

harus memenuhi syarat lain seperti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.

Mungkin juga di dalam surat wasiat itu terdapat codosil, yaitu surat di bawah tangan

untuk menunjuk pelaksanaan suatu warisan, atau menentukan pemakaman.223

Wasiat merupakan salah satu bentuk pemilikan atas harta yang dikenal dan diakui

dalam syariat Islam, disamping bentu-bentuk pemilikan lainnya.224secara terminology

wasiat adalah penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang

berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi
225
maupunberbentuk manfaat. A. Hanafi mendefinisikan wasiat dengan pesan

seseorang untuk menyisihkan sebagian harta bendanya untuk orang ditentukannya

dan pelaksanaannya terjadi sesudah ia meninggal dunia. 226 praktik wasiat sudah

dikenal jauh sebelum Islam datang, akan tetapi dalam praktiknya belum memiliki

222
Akmaluddun Syahputra, Op, Cit, Hukum Perdata Indonesia, Hal : 141-142
223
Kansil, Cristine S.T. Kansil, Op, Cit, Modul Hukum Perdata termasuk Asas-Asas Hukum Perdata,
Hal : 150
224
Abu Zahrah, Syarh Qanun al-Wasiyyah, Dar al-Fiqh a;-Arabi, 1978, Hal : 7
225
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Hal :
1929
226
A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1970, Hal : 37

107

Universitas Sumatera Utara


aturan yang jelas. Ketika itu setiap orang bebas menyerahkan harta yang dia miliki

kepada siapa saja yang dia kehendaki, tanpa adanya pengawasan dan regulasi yang

mengaturnya. Banyak diantara mereka yang menyerahkan harta mereka untuk

kejahatan dan kemudharatan. Dalam situasi dan kondisi seperti inilah syariat Islam

datang dengan membawa seperangkat aturan hukum wasiat yang bertujuan untuk

membenahi dan meluruskan praktik wasiat yang pernah ada sebelumnya.227

Menurut bentuknya ada tiga macam wasiat (testamen), yaitu :228


1) Openbaar testament,(Pasal 938 KUHPerdata) yaitu surat wasiat yang di buat
oleh seorang notaris. Orang yang akan meninggalkan warisan menghadap
pada notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris itu membuat suatu akte
dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Bentuk ini paling banyak dipakai dan
juga memang yang paling baik, karena notaris dapat mengawasi isi surat
wasiat itu, sehingga ia dapat memberikan nasihat-nasihat supaya isi testamen
tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang. Dengan kata-kata yang
jelas, notaris tersebut harus menulis atau menyuruh menulis kehendak si
pewaris, sebagaimana di dalam pokoknya ketentuan itu (pasal 939 ayat 1
KUHPerdata).
2) Olographis testament, yaitu harus ditulis dengan tangan orang yang akan
meninggalkan warisan itu sendiri (eigenhandig). Harus diserahkan sendiri
kepada seorang notaris untuk disimpan (gedeponeerd). Penyerahan tersebut
harus pula dihadiri oleh dua orang saksi. Sebagai tanggal testamen itu berlaku
diambil tanggal akta penyerahan (akte van depot). Penyerahan pada notaris
dapat dilakukan secara terbuka atau secara tertutup. Mengenai testamen yang
diserahkan secara tertutup, ditetapkan bahwa apabila si pembuat testamen itu
meninggal, testamen itu harus diserahkan oleh notaris pada Balai Harta
Peninggalan, yang akan membuka testamen itu. Pembukaan testamen itu
harus dibuat proses-verbal. Jika si pembuat surat wasiat hendak menarik
kembali wasiatnya, cukuplah ia meminta kembali surat wasiat yang disimpan
oleh notaris itu.
Penyerahan akte ini dapat dilakukan secara terbuka atau tertutup (Pasal 932

KUHPerdata). Menurut pasal 933 ayat (1) KUHPerdata, wasiat olographis yang

227
Ali Al-Khafif, Ahkam al-Wasiyah, Beirut, Ma‟hat al-Dirasat al-Arabiyah, 1962, Hal : 2
228
Kansil, Cristine S.T. Kansil, Op, Cit, Modul Hukum Perdata termasuk Asas-Asas Hukum Perdata,
Hal : 151

108

Universitas Sumatera Utara


berada dalam penyimpanan notaris sama kuatnya dengan surat wasiat umum dan

penetapan waktu yang dipakai sebagai pegangan ialah waktu di mana diadakan

penyimpanan pada notaris. Kemudian, tulisan dari surat wasiat, harus dianggap

ditulis sendiri oleh pewaris, kecuali kalau terbukti sebaliknya. Apabila si pewaris

hendak menarik kembali wasiatnya, cukuplah ia meminta kembali surat wasiatnya

yang disimpan oleh notaris itu (pasal 934 KUHPerdata).

3) Testament tertutu atau rahasia, (pasal 940 KUHPerdata) yaitu dibuat sendiri
oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan ia
menulis dengan tangannya sendiri. Suatu surat wasiat rahasia harus selalu
tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus dihadiri oleh empat
orang saksi. Orang yang menjadi saksi pada pembuatan atau penyerahan surat
wasiat kepada seorang notaris, harus orang yang sudah dewasa, penduduk
Indonesia dan mengerti benar Bahasa yang digunakan dalam surat wasiat atau
akta penyerahan itu.229
Kalau si pewaris yang meninggalkan surat wasiat tertutup atau rahasia tersebut

meninggal dunia, maka surat wasiat itu harus diserahkan oleh notaris pada balai harta

peninggalan, yang akan membuka surat wasiat tersebut. Penerimaan dan pembukaan

surat wasiat tersebut harus dibuat proses verbal (pasal 942 KUHPerdata.)

KUHPerdata menentukan beberapa pasal yang mengatur mengenai penafsiran

testament, yaitu :230

1) Pasal 877 KUHPerdata menyatakan, bahwa surat wasiat yang ditunjukkan


pada keluarga sedarah terdekat harus dicantumkan sebagai ditujukan kepada
ahli waris menurut undang-undang.
2) Pasal 878 KUHPerdata menyatakan, bahwa para fakir miskin ditafsirkan
dengan prinsip yang terkandung di dalamnya yang tidak membeda-bedakan
agama dan lembaga yang berhak menerima adalah lembaga di mana warisan
terbuka atau di tempat di mana pewaris meninggal dunia.

229
Ibid
230
BW (Burgerlijk wetboek), Pasal 877, pasal 878, pasal 885, pasal 886, pasal 888.

109

Universitas Sumatera Utara


3) Pasal 885 KUHPerdata menyatakan, bahwa jika kata-kata dari suatu testament
itu jelas, maka orang tidak boleh menafsirkan yang menyimpang dari kata-
kata itu.
4) Pasal 886 KUHPerdata menyatakan, bahwa dalam hal pelaksanaan testament,
maka maksud dan pikiran pewaris didahulukan terhadap kata-kata testament.
5) Pasal 888 KUHPerdata menyatakan, jika surat wasiat memuat syarat-syarat
yang tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin dilaksanakan atau
bertentangan dengan kesusilaan, maka hal yang demikian harus dianggap
sebagai tak tertulis.
Kemudian dalam hal pencabutan dan gugurnya surat wasiat diatur sebagai berikut :231

1) Pencabutan surat wasiat


Pada dasarnya, suatu surat wasiat (testament) dapat ditarik kembali (dicabut) setiap
waktu oleh pewaris (pembuat wasiat). Penarikan kembali (pencabutan) suatu wasiat
ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
a) Pencabutan wasiat secara tegas. Pencabutan surat wasiat dapat secara
tegas dengan dibuatnya surat wasiat baru atau dengan dibuatnya akta
notaris khusus, dengan mana diterangkan secara tegas bahwa surat wasiat
yang dahulu dicabut untuk seluruhnya atau untuk sebagian (pasal 992
KUHPerdata).
b) Pencabutan wasiat secara diam-diam. Pencabutan surat wasiat dengan
secara diam-diam terjadi dengan dibuatnya surat wasiat baru yang memuat
pesan-pesan yang bertentangan dengan surat.
2) Gugurnya surat wasiat, yaitu gugurnya wasiat apabila :
a) Satu wasiat memuat suatu ketetapan yang bergantung kepada suatu
peristiwa yang tak tentu, maka jika si ahli waris atau legataris meninggal
dunia sebelum peristiwa itu terjadi, maka wasiat itu gugur (pasal 997
KUHPerdata)
b) Seorang ahli waris atau orang yang menerima hibah wasiat menolak atau
ia tidak cakap untuk menerimanya (pasal 1001 KUHPerdata)
c) Syarat-syarat yang tercantum dalam suatu wasiat tidak dapat dipenuhi
(pasal 1004 KUHPerdata)

Wasiat mempunyai dasar yang kuat dalam syariat Islam, di dalam al-Quran yaitu :

“ diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)


maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan
karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertaqwa”.(Al-Baqarah/2 : 282), dan : “…sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau

231
Akmaluddin Syahputra, Op, Cit, Hukum Perdata Indonesia, Hal : 146-147

110

Universitas Sumatera Utara


(dan) sesudah dibayar utangnya…”, dan “….sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya…”. (Al-Nisa/4 : 11 dan 12).
Ulama fiqh menetapkan beberapa syarat untuk orang berwasiat. Adapun

syarat-syarat orang yang berwasiat232 :

1) Orang berwasiat merupakan pemilih sempurna terhadap benda yang


diwasiatkan
2) Orang yang cakap bertindak hukum, merdeka, berakal, dan adil.233
3) Wasiat dilakukan secara sadar dan sukarela.
4) Orang yang berwasiat tidak mempunyai utang yang jumlahnya
sebanyak harta yang akan ditinggalkannya.

Kompilasi hukum Islam di Indonesia, mensyaratkan pewasiat sekurang-kurangnya

telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak ada paksaan dari pihak lain. 234

Uulama fiqh juga sepakat untuk mensyaratkan penerima wasiat. Syarat penerima

wasiat :235

1) Penerima wasiat adalah orang yang ditunjuk secara khusus bahwa ia


berhak menerima wasiat.
2) Penerima wasiat mesti jelas identitasnya, sehingga wasiat dapat
diberikan kepadanya.
3) Penerima wasiat tidak berada di daerah musuh.
4) Penerima wasiat bukan orang yang membunuh pemberi wasiat, jika
yang disebut akhir ini wafatnya karena terbunuh.
5) Penerima wasiat bukan kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam) akan
tetapi diperbolehkan kepada kafir zimmi selama dia bersifat adil.
6) Wasiat tidak dimaksudkan untuk sesuatu yang merugikan umat Islam
atau sesuatu maksiat.
7) Penerima wasiat bukan ahli waris.
Kemudian ulama fiqh juga menmberikan syarat harta yang diwasiatkan, yaitu : 236

232
Sa‟id Muhammad al-jalidi, Ahkam al-Miras wa al-Wasiyah fi al-Syari’at al-Islamiyah, Kulliyatu
Da‟wah Islamiyah, tp, tth, Hal : 209
233
Wahbah al-Zuhaili, Op, Cit, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Hal : 7589
234
KHI BAB I, Pasal 194 ayat 1
235
Ahmad Kamil, Fauzan, Op, Cit, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Hal
:135
236
Ibid, Hal : 136

111

Universitas Sumatera Utara


1) Harta/benda yang diwasiatkan adalah sesuatu yang bernilai harta
secara baik.
2) Harta yang diwasiatkan adalah sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik
berupa materi maupun manfaat.
3) Harta yang diwasiatkan adalah milik pewasiat, ketika berlangsungnya
wasiat.
4) Harta yang diwasiatkan itu tidak melebihi 1/3 (sepertiga) harta
pewasiat
5) Sesuatu yang diwasiatkan tidak mengandung unsur maksiat.

Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, kepada Sa‟ad bin Abi Waqqas, mayoritas

ulama sepakat bahwa jumlah harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari sepertiga

harta pewasiat, apabila pewasiat mempunyai ahli waris. Karena Rasulullah SAW,

menyatakan jumlah harta yang boleh diwasiatkan dalam hadist tersebut adalah : “…..

sepertiga, dan sepertiga itu pun telah banyak….”. persyaratan ini berlaku bagi orang

yang berwasiat bagi orang lain sedangkan dia memiliki ahli waris, dan ahli waris

tersebut tidak mengizinkannya. Bila wasiat dalam keadaan seperti yang disebutkan,

maka ada beberapa pendapat ulama tentang status wasiatnya :237

1) Menurut pendapat yang mashur dikalangan ulama Mazhab Malikiah,


Syafi‟iyah dan Zhahiriyah wasiatn ya tidak sah (batal) meskipun ahli
waris mengizinkannya.
2) Menurut pendapat yang tidak mashur di kalangan ulama Mazhab
Hanafiah, Hambali wasiatnya sah, hanya saja terhadap sisanya
menunggu izin dari ahli waris, apakah mengizinkan atau tidak, kalau
diizinkan maka wasiat dapat diteruskan, jika tidak maka batal.

Apabila pewasiat mewasiatkan hartanya lebih dari sepertiga, baik kepada salah

seorang ahli warisnya maupun kepada orang lain, maka harus mendapatkan

persetujuan dari keseluruhan ahli waris. Jika mereka menyetujui, maka wasiatnya sah

dan dilaksanakan, sebaliknya jika ahli waris pewasiat tidak menyetujui, maka

237
Ibid, Hal : 141

112

Universitas Sumatera Utara


wasiatnya hanya berlaku sepertiga. Apabila yang diwasiati kepada seorang ahli waris,

maka ketidak setujuan ahli waris lain mengakibatkan batalnya wasiat.238

Batal/sah atau tidak sahnya wasiat tergantung pada apakah praktik wasiat sudah

memenuhi segala rukun dan persyaratan wasiat yang telah ditetapkan. Kalau wasiat

sudah memenuhi segala rukun dan persyaratannya maka wasiat dianggap sah dan bisa

dilaksanakan, sebaliknya jika tidak memenuhi segala rukun dan persyaratan, atau

tidak terpenuhi salah satu rukun dan persyaratannya maka wasiat dianggap batal dan

tidak sah, karenanya tidak menimbulkan akibat hukum apapun.

Ulama fikih menetapkan beberapa hal yang dapat membatalkan wasiat, adalah :239

1. Dari aspek pewasiat


a) Mencabut wasiatnya, beik secara terang-terangan maupun melalui
tindakan hukum.
b) Orang yang berwasiat mewasiatkan yang bukan miliknya.
c) Orang yang berwasiat tidak cakap hukum.
d) Orang yang berwasiat mencabut wasiatnya.
2. Dari aspek penerima wasiat
a) Orang yang menerima wasiat menyatakan penolakannya terhadap
wasiat tersebut.
b) Tidak jelas orang yang menerima wasiat.
c) Orang yang menerima wasiat lebih dahulu meninggal dari pada
yang berwasiat.
d) Orang yang menerima wasiat membunuh orang yang berwasiat.
3. Dari aspek yang diwasiatkan
4. Penerima wasiat lebih dahulu wafat dari pemberi wasiat
5. Syarat yang ditentukan dalam akad wasiat tidak terpenuhi.
Kompilasi Hukum Islam telah mengambil jalan tengah dari perselisihan apakah ahli

waris dapat menerima wasiat atau tidak. Ibnu Hazm dan Fuqaha Malikiyah yang

termashur tidak membolehkan sama sekali berwasiat kepada ahli waris. Sedangkan

238
Ibid, Hal : 142
239
Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Op, Cit, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Hal : 82

113

Universitas Sumatera Utara


fuqaha syi‟ah imamiyah memperbolehkan wasiat kepada ahli waris. Sementara itu,

ulama Syafi‟iyah yang termashur menegaskan bahwa berwasiat kepada ahli waris

diperbolehkan, asalkan mendapat izin dari para ahli waris lainnya.240

Orang yang sakit lazimnya tidak berdaya, baik mental maupun fisik. Oleh karena itu,

mudah sekali timbul rasa simpati pada diri orang yang sakit itu terhadap orang-orang

yang menolongnya. Dalam keadaan tang demikian ini mudah sekali timbul rasa

sentimental. Untuk mencegah berlebih-lebihannya perwujudan perasaan yang

demikian ini, maka diadakan pembatasan-pembatasan oleh hukum, supaya pihak-

pihak lain (misalnya ahli waris) tidak dirugikan. Barangkali ketentuan sebagaimana

tercantum dalam pasal 207 Kompilasi Hukum Islam itu dilatar belakangi oleh konsep

bahwa tidak tepat untuk mengatakan perasaan si sakit yang demikian itu sebagai

“tidak berakal sehat”, tetapi sesungguhnya memang “tidak sehat”. Akan tetapi, yang

agaknya mengaburkan penafsiran itu adalah klausula yang tercantum dalam pasal

tersebut, yaitu “kecuali ditentukan dengan jelas untuk membalas jasa”.241

Sangat logis apabila ditentukan bahwa notaris dan saksi-saksi yang berkaitan dengan

pembuatan akta tidak diperbolehkan menerima wasiat. Jika mereka diperbolehkan

menerima wasiat, dikhawatirkan mereka akan menyalahgunakan kedudukannya,

misalnya mengubah atau mengganti isi wasiat untuk keuntungan mereka sendiri.242

Khusus bagi harta wasiat yang berupa barang tidak bergerak, bilamana suatu sebab

yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat

240
Rachmad Budiono, Op, Cit, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Hal : 175
241
Ibid, Hal : 176
242
Ibid

114

Universitas Sumatera Utara


meninggal dunia, berdasarkan ketentuan dalam pasal 200 Kompilasi Hukum Islam,

maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa. Ketentuan dalam

pasal 202 Kompilasi Hukum Islam menentukan, kegiatan mana yang didahulukan

pelaksanaannya. Artinya sepanjang wasiat itu ditujukan untuk berbagai kebaikan dan

harta wasiat tidak mencakupi untuk itu, maka ahli waris mempunyai hak untuk

menentukan dari berbagai kegiatan yang ada untuk didahulukan lebih dulu

pelaksanaannya.243

Dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam, wasiat dapat diberikan secara lisan atau

tertulis. Hal ini disimpulkan dari kata-kata dalam pasal 195 ayat (1) Kompilasi

Hukum Islam, yang menyatakan bahwa “wasiat dilakukan secara lisan di hadaan dua

saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris”. Berdasarkan

ketentuan dalam pasal 195 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam tersebut, maka wasiat itu

dapat dilakukan secara lisan atau bawah tangan (akta di bawah tangan) atau dengan

akta notaris. Baik secara lisan maupun secara tertulis, wasiat tersebut dilakukan

dengan dipersaksikan minimal oleh dua orang saksi atau lebih.244

Pemberian wasiat juga dapat dibatalkan bilamana calon penerima wasiat telah

melakukan perbuatan yang dapat menggugurkannya sebagai calon penerima wasiat.

Dalam ketentuan pasal 197 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam ditegaskan, bahwa

wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena :

243
Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam, Bandung, Mandar Maju, 2009, Hal : 161
244
Ibid

115

Universitas Sumatera Utara


1) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat pada pewasiat.

2) Dipersalahkan secara menfitnah telah mengajukan oengaduan bahwa

pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman

lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

3) Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk

membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon

penerima wasiat.

4) Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat

wasiat dari pewasiat.

Demikian halnya pemberian wasiat dapat pula batal seperti yang termuat dalam

ketentuan pasal 197 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, bahwa wasiat menjadi batal

apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu :245

1) Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia

sebelum meninggalnya pewasiat.

2) Mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak untuk menerimanya.

3) Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima

atau menolak sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.

Selanjutnya menurut pasal 197 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, bahwa apabila

barang yang diwasiatkan musnah, maka wasiatnya pun menjadi batal. Pada

prinsipnya sebelum meninggal dunia, pewasiat berhak mencabut kembali wasiatnya


245
Pasal 197 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam

116

Universitas Sumatera Utara


sepanjang calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan-persetujuannya atau

sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali. Hal ini

ditegaskan dalam pasal 199 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Dengan kata lain,

bahwa pewasiat tidak dapat mencabut atau menarik kembali wasiatnya bilamana

calon penerima wasiat telah menyatakan peretujuan-persetujuannya atau tidak

menarik kembali persetujuan-persetujuannya, maka wasiat tersebut tidak dapat

dicabut atau ditarik kembali oleh pewasiat.dari ketentuan dalam pasal 199 ayat (1)

Kompilasi Hukum Islam ternyata bahwa Kompilasi Hukum Islam memandang wasiat

bukan merupakan perbuatan hukum sepihak, sebagaimana layaknya suatu perjanjian.

Suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan apabila mendapat peretujuan dua belah

pihak.246

Kemudian ketentuan dalam pasal 199 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Kompilasi

Hukum Islam menegaskan, bahwa pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan

dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta Notaris bila wasiat

terdahulu di buat secara lisan. Sedangkan bilamana wasiat dibuat secara tertulis, maka

hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau

berdasarkan akta Notaris. Sementara itu wasiat yang dibuat berdasarkan akta notaris,

maka hanya dapat dicabut berdasarkan akta notaris. Tentang penyimpanan surat

wasiat diatur lebih lanjut dalam pasal 203 dan pasal 204 Kompilasi Hukum Islam.

Dikemukakan bahwa surat wasiat dalam keadaan tertutup, penyimpanannya di tempat

Notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada
246
Ibid, Hal : 180

117

Universitas Sumatera Utara


hubungannya. Surat wasiat akan diserahkan kembali kepada pewasiat oleh Notaris

bilamana surat wasiat dimaksud dicabut karena tidak memenuhi persyaratan yang

telah ditentukan. Seiring dengan meninggalnya pewasiat, maka surat wasiat yang

tertutup dan disimpan pada Notaris yang bersangkutan, dibuka olehnya di hadapan

ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan

surat wasiat. Sementara itu bilamana surat wasiat yang tertutup itu disimpan bukan

pada Notaris, maka penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau

Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau kantor Urusan Agama

tersebut membuka sebagamana ditentukan di atas. Selanjutnya setelah semia isi serta

maksud surat wasiat itu diketahui, maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama

diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.247

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur wasiat wajibah, yaitu wasiat tanpa wasiat,

wasiat yang ditentukan oleh perundang-undangan walaupun yang bersangkutan tidak

mewasiatkannya. Hal mana diperuntukkan bagi orang tua dan anak angkat pewaris

yang dalam perspektif Hukum Islam tidak berhak mendapatkan harta warisan.

Ketentuan wasiat wajibah tersebut diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam

yang menentukan, bahwa terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat

diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkat

dan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasaiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya. Demikian

batas maksimal dari wasiat wajibah ini adalah sepertiga dari harta warisan anak
247
Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam, Bandung, Mandar Maju, 2009, Hal : 164

118

Universitas Sumatera Utara


angkat atau orang tua angkat, artinya tidak boleh melebihi dari sepertiga harta yang

ditinggalkan anak angkat atau orang tua angkatnya, terkecuali bilamana hal itu

disetujui oleh semua ahli waris.248 Wasiat wajibah tersebut merupakan tindakan yang

di lakukan penguasa atau hakim sebagai apparat Negara untuk memaksa atau

memberi putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan

kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.249

248
Ibid
249
Ahmad Rafiq, Op, Cit, Hukum Islam di Indonesia, Hal : 166

119

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

C. Kesimpulan

1. Masing-masing sistem hukum yang berlaku di Indonesia mempunyai sikap

sendiri-sendiri terhadap pengangkatan anak (meskipun tidak diabaikan juga

persamaannya), baik mengenai eksistensi, bentuk maupun isi dari lembaga

pengangkatan anak, sehingga dalam sistem hukum Indonesia soal pengangkatan

anak, terdapat peraturan yang tidak sama untuk seluruh golongan penduduk.

Agama Islam tidak memungkiri adanya anak angkat sejauh untuk memberi

kesejahteraan dan pendidikan kepada si anak. Yang tidak diperkenankan oleh

agama Islam ialah memutuskan hubungan darah antara si anak kandung dengan

orang tua kandungnya. Allah tidak menjadikan anak angkat menjadi anak

kandung, sehingga segala akibat sebagai anak kandung tidaklah hapus dengan

pengangkatan anak. Kedudukan anak angkat dalam hukum adat dipengaruhi oleh

sistem kekeluargaan atau keturunan, kedudukan anak angkat adalah berbeda-

beda dari satu daerah dengan daerah yang lain. Kedudukan yang timbul terhadap

pengangkatan anak tergantung kepada adat yang ada pada daerah tersebut.

Pengangkatan anak bisa saja memutus pertalian anak angkat terhadap orang tua

asal, ataupun pengangkatan anak tidak memutus hubungan anak angkat dengan

orang tua kandungnya.

2. Dalam hukum Islam, tidak ada hubungan saling mewarisi antara anak angkat

dengan orang tua angkatnya. Pengangkatan anak dalam hukum islam sebatas

120
123

Universitas Sumatera Utara


mensejahterakan, memelihara anak angkat dari keterlantaran saja, sehingga

hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya tetap ada. Akibat

hukum pengangkatan anak menurut hukum adat sifatnya variatif, artinya disuatu

daerah berlainan dengan hukum adat di daerah lainnya. Hubungannya dengan

masalah warisan, terdapat juga variasi ketentuan hukumnya, dalam hal hak

mewarisi terdapat beraneka ketentuan. Ada yang dengan pengangkatan anak

maka terjalin hubungan waris mewarisi antara orang tua angkat dengan anak

angkat dan memutus hak waris anak angkat dengan orang tua kandungnya, ada

juga yang karena pengangkatan anak hanya sekedar sebagai pengangkatan tanpa

ada hak kewarisan. Malah ada yang karena pengangkatan anak hubungan waris

terhadap anak angkat dan orang tua kandung tetap ada dan hubungan waris anak

angkat dengan orang tua kandung muncul karena pengangkatan anak tersebut.

3. Dalam hal penetapan porsi warisan bagi anak angkat, Kompilasi Hukum Islam

juga mengatur wasiat wajibah, yaitu wasiat tanpa wasiat, wasiat yang ditentukan

oleh perundang-undangan walaupun yang bersangkutan tidak mewasiatkannya.

Hal mana diperuntukkan bagi orang tua dan anak angkat pewaris yang dalam

perspektif Hukum Islam tidak berhak mendapatkan harta warisan. Ketentuan

wasiat wajibah tersebut diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yang

menentukan, bahwa terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat

diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak

angkat dan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasaiat diberi wasiat

wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya.

121

Universitas Sumatera Utara


Demikian batas maksimal dari wasiat wajibah ini adalah sepertiga dari harta

warisan anak angkat atau orang tua angkat, artinya tidak boleh melebihi dari

sepertiga harta yang ditinggalkan anak angkat atau orang tua angkatnya,

terkecuali bilamana hal itu disetujui oleh semua ahli waris. Wasiat wajibah

tersebut merupakan tindakan yang di lakukan penguasa atau hakim sebagai

apparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wasiat bagi orang yang

telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan

tertentu pula. Dalam hukum adat, ketentuan warisan bagi anak angkat suatu

daerah berlainan dengan hukum adat di daerah lainnya. Dengan cara yang

berbeda pula yaitu baik berupa wasiat ataupun memang sudah ada ketentuan

porsi terhadap anak angkat maupun tidak sama sekali mendapatkan warisan.

Begitu juga terhadap porsi warisnya, tidak dapat di pastikan berapa porsi waris

bagi anak angkat. Namun dapat diambil kesimpulan bahwa beberapa ketentuan

hukum adat menyatakan porsi anak angkat dipersamakan dengan porsi anak

kandung (apabila ada hak waris). Ataupun melalu cara wasiat dari orang tua

angkatnya.

D. Saran

1. Dikarenakan hukum di Indonesia bersifat pluralism. Maka hendaknya Pemerintah

dalam merancang Undang-Undang, khususnya tentang waris bagi anak angkat

untuk dapat melihat dari persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan

yang ada dari sistem-sistem hukum yang ada di Indonesia, sehingga nantinya

122

Universitas Sumatera Utara


Undang-Undang atau peraturan yang dibuat dapat ditegakkan bagi seluruh

masyarakat Indonesia.

2. Disarankan kepada penegak hukum, khususnya dalam membuat peraturan

mengenai waris anak angkat, untuk dapat memperhatikan pentingnya hak dan

kewajiban bagi anak angkat, sehingga ada aturan yang jelas untuk menentukan

hak kewarisan terhadap anak angkat.

3. Disarankan kepada penegak hukum, dalam hal mengadili/memeriksa dan

memutus kasus atau perkara terhadap waris anak angkat, agar harus

melakukannya dengan seadil-adilnya, dan tentunya berdasarkan hukum yang

berlaku. Sehingga porsi bagi anak angkat sesuai dengan aturan-aturan hukum,

sehingga anak angkat tidak diterlantarkan, tidak pula di istimewakan.

123

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai