HUKUM ISLAM
B. Pengertian Waris
Pengertian hukum waris dalam sistem hukum Adat ada berbagai macam pendapat
diantaranya Betrand Ter Haar menyebutkan Hukum waris Adat adalah proses
turunan. 167 Soepomo juga menyebutkan Hukum adat waris memuat peraturan-
benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari
Soerojo Wignjodipoero. 168 Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang
menetapkan harta kekayaan baik yang bersifat materil maupun yang bersifat
immateril dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.169
Pengertian hukum waris dalam sistem hukum Islam adalah aturan yang mengatur
peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini
berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing
167
Betrand Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan Soerbakti Poesponoto,
Surabaya, Fadjar, 1953, Hal : 197
168
Soepomo, Op, Cit, Bab-bab tentang Hukum Adat, Hal : 79
169
Soerojo Wignjodipoero, Op, Cit, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Hal : 161
82
81
meninggal dimaksud.170
Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek (BW) adalah
yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara
Kekayaan dalam pengertian waris diatas adalah sejumlah harta kekayaan yang
ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva.
Namun pada dasarnya, proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli
warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi karena adanya kematian. Oleh karena
itu, unsur-unsur terjadinya pewarisan mempunyai tiga persyaratan sebagai berikut :172
b. Ada orang yang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh
Hukum waris menurut BW berlaku asas : “Apabila seseorang meninggal dunia, maka
seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli
170
Zainuddin Ali, Op, Cit, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Hal : 33
171
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Terjemahan M. Isa Arief,
Jakarta, Intermassa 1979, Hal : 1
172
Zainuddin Ali, Op, Cit, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Hal : 81
82
adalah termasuk ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang
Hukum waris (Erfrecht), KUH Perdata pasal 380 dst) ialah hukum yang mengatur
berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain. Ciri khas hukum waris perdata
Barat atau BW antara lain : adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing
untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan. Hal itu berarti bila
seseorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di pengadilan, maka tuntutan
dimaksud, tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Hal ini berdasarkan
para pihak.
173
R. Surbekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermassa, 1977, Hal : 79
83
Perdata (BW), yaitu yang mengatur tentang benda. Hal ini didasari oleh pemikiran :
benda.
individualistis.
Hal pertama dapat dilihat secara jelas dalamkehidupan sehari-hari bagi orang yang
memperoleh harta melalui warisan, hal kedua dapat dilihat dalam pelaksanaan hukum
waris Perdata Barat, yaitu hanya hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum
kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Kecuali itu, dalam hal pakai hasil
yang sebenarnya termasuk hukum harta benda, tidak dapat diwariskan. Sebaliknya,
hak seorang anak untuk diakui sebagai anak sah dan hak seorang ayah untuk
menyangkal sahnya anak, yang sebenarnya termasuk lapangan hukum keluarga. Hal
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia ada dua acara untuk
174
Hukum waris yang diterjemahkan dari BW yang termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
175
Zainuddin Ali, Op, Cit, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Hal : 82
84
segala apa saja yang termasuk harta peninggalan agar diserahkan kepadanya,
berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Pemilik hak dimaksud mirip dengan hak
seorang pemilik benda. Hak menuntut ahli waris dimaksud, hanya terbatas pada
seseorang yang menguasai suatu harta warisan dengan maksud untuk memiliknya.
Jadi, penuntutan ini tidak dapat dilakukan terhadap pelaksanaan wasiat (executeur
testamentair), seorang kurator atas harta peninggalan yang tidak terurus dan penyewa
Warisan merupakan salah satu cara yang limitative ditentukan untuk memperoleh hak
milik, dan karena benda (hak) milik merupakan salah satu unsur pokok dari benda
maka hukum waris diatur dalam Buku II bersama-sama dengan pengaturan tentang
benda yang lain. Dalam pasal 584 KUHPerdata dinyatakan bahwa “hak milik atas
suatu benda tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan pemilikan, karena
176
Akmaluddin Syahputra, Hukum Perdata Indonesia, Medan, Perdana Mulya Sarana, 2011, Hal : 123
177
Ibid, Hal : 125-126
85
beralih kepada para ahli warisnya. Misalnya, hak suami sebagai kepala rumah tangga,
hak wali terhadap anak yang diperwalikan, hak pengampu tidak beralih kepada ahli
waris (tidak diwariskan). Terhadap hal ini terdapat dua pengecualiannya, yaitu :
a. Hak yang dimiliki oleh seorang suami untuk menyangkal keabsahan anak
86
warisan. Halini dapat kita simpulkan dari pasal 849 KUHPerdata yang menentukan,
bahwa undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal barang-barang dalam
pewarisan tidak diperhatikan, apakah barang tertentu dari keluarga pihak ayah atau
dari keluarga pihak ibu orang yang meninggal dunia. Menurut pasal 850
855, dan pasal 859 KUHPerdata, tiap-tiap warisan yang mana, baik seluruhnya
maupun untuk sebagian, terbuka atas kebahagiaan para keluarga sedarah dalam garis
lurus ke atas atau dalam garis menyimpang, harus dibelah menjadi 2 bagian yang
sama, bagian-bagian mana yang satu adalah untuk sekalian sanak-saudara dalam garis
bapak, dan yang lain untuk sanak-saudara dalam garis ibu. Bagian-bagian warisan
tersebut tidak boleh beralih dari garis yang satu ke garis yang lain, kecuali apabila
dalam salah satu garis tidak ada seorang keluarga pun, baik keluarga sedarah dalam
Kaitannya dengan sumber hukum waris nasional, ada beberapa pilihan yang dapat
87
dengan hukum adat, yang secara substansial sumber utama dari hukum
mengacu pada doktrin ajaran Islam yang termuat dalam Al-Quran dan As-
golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta warisan, yakni
golongan kedua hingga keempat, jika golongan kesatu tidak ada, hak
Dalam hal ada golongan kesatu, yaitu anak-anak dan atau keturunannya serta janda,
seluruh harta warisan seluruh menurut pasal 852 BW harus dibagi sebagai berikut :180
a. Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu dan janda
179
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung, 1991
180
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, Bandung, Pustaka Setia, 2012, Hal : 86-87
88
Maka dapat dipahami peraturan hukum waris di Indonesia terdiri dari tiga macam,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan dasar pewarisan pada pasal 174 ayat (1)
kerabat atau satu keturunan dengan orang tua angkatnya, dan bukan pula ;ahir dari
perkawinan yang sah dari orang tua angkatnya. Maka antara anak angkat dengan
orang tua angkatnya tidak berhak saling mewarisi. Hak saling mewarisi hanya
berlaku antara anak angkat dengan orang tua kandungnya atas dasar hubungan
darah.183
Hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadikan anak orang
lain menjadi anak di mana memutuskan hubungan si anak dengan orang tua asalnya,
181
Zainuddin Ali, Op, Cit, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia
182
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 174 Ayat (1)
183
Musthofa, Op, Cit, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Hal : 130-131
89
ialah syariat Islam. Maka segala peraturan yang lain, termasuk peraturan orang kafir
yang dijalankan dalam dunia Islam, mengangkat anak orang lain jadi anak sendiri,
bukanlah jalan yang benar. Islam telah mengadakan aturan sendiri dalam menjaga
nasab dan keturunan, sehingga apabila seseorang meninggal dunia sudah ada
ketentuan pembagian harta pusaka (Faraid). Namun mengangkat anak orang lain jadi
kepada anak angkat itu adalah melanggar pula kepada ketentuan hak milik yang telah
ditentukan syari‟at. Di Indonesia sebagai Negri yang 350 tahun lamanya dijajah
diakui pula peraturan pengangkatan anak itu, nyatalah mereka melanggar syari‟at nya
sendiri. Inilah yang diperingatkan Tuhan kepada Rasulnya pada ayat pertama surat
ini, agar Rasul jangan mengikuti kepada kafir dan munafik. 185
Dalam hukum Islam, tidak ada hubungan saling mewarisi antara anak angkat dengan
orang tua angkatnya. Sehingga sering kali anak angkat berada pada posisi yang
lemah. Terlebih jika ia tidak memiliki akta otentik sebagai bukti hubungan
pengangkatan anak. Sebaliknya, tidak jarang pula anak angkat menguasai harta waris
terhadap orang tua angkatnya. Dua kondisi di atas kemudian melahirkan sengketa
184
Achmad Ichsan, Hukum Perdata, Jakarta, Pembimbing Masa, 1969, Hal : 120
185
Al-Muhaddits, Op, Cit, Shohih Ababun Nuzul, Hal : 315-316
186
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang
Pengadilan Agama.
90
bercampur aduk serta tidak ada cacat di dalamnya. Kemudian Islam membatalkan
hakiki, yaitu hubungan darah, orang tua dan anak yang benar dan hakiki. 187
darah. Hal itu dilakukan agar para anak angkat tersebut tidak bebas begitu saja dan
pengangkatan anak dihapuskan. Nash ini “…dan jika kamu tidak mengetahui bapak-
pada masyarakat jahiliyah dan kebejatan inilah yang ingin dikoreksi dan dibenarkan
oleh Islam dengan membangun sistem keluarga atas fondasi hubungan orang tua
kandung. Juga dengan membangun sistem masyarakat di atas asas keluarga yang
artinya disuatu daerah mungkin berlainan dengan hukum adat di daerah lainnya.
187
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilali Qur’an, Jilid 9, Penerjemah As‟ad Yasin ed, al, Jakarta, Gema
Insani, 2004, Hal : 220
188
Ibid, Hal : 221
91
menimbulkan hubungan kewarisan. Hukum adat Jawa mengenal asa “ngangsu sumur
loro” untuk kewarisan anak angkat. Kata “ngangsu” berarti mencari atau
memperoleh “sumur” berarti tempat mengambil air atau perigi “loro” berarti dua.
Asas itu bermaksan bahwa anak angkat memperoleh warisan dari dua sumber, yaitu
hukumnya seperti misalnya daerah Lampung Utara dengan tegas menyatakan bahwa
anak angkat tidak mendapat bagian warisan dari orang tua kandungnya. Dengan
demikian jelas dia adalah ahli waris dari orang tua angkatnya.ketentuan tersebut
sesuai dengan beberapa daerah di kecamatan Duduk Kabupaten Gresik yang juga
menyatakan bahwa anak mewarisi dari orang tua angkatnya, bahkan disamping itu ia
juga mewarisi orang tuanya sendiri. Namun sebetulnya banyak daerah di Indonesia
yang hukum adatnya menyatakan bahwa anak angkat bukanlah sebagai ahli waris
seperti di Kabupaten Lahat (Palembang) pada umumnya di sini anak angkatnya hanya
bahwa ia kelak mewarisi dari orang tua angkatnya. Kalau tidak disebutkan, maka
tidaklah ia sebagai ahli waris. Untuk daerah Pasemah harus tetap tinggal di dusun
189
A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 1999, Hal : 189
92
angkat ada anak kandung, mereka mendapat warisan, tetapi warisannya tidak sama.
hukum adatnya, bahwa anak angkat di sini tidak pernah mewarisi orang tua
daerah lain menyatakan bahwa anak angkat bukanlah ahli waris dari orang tua
angkatnya, dia adalah ahli waris orang tua nya sendiri. Bisa menjadi waris melalui
jalur hibah/pemberian, sehingga anak angkat mendapatkan sedikit bagian dari harta
(adopsi) dibatalkan pada umumnya sesuai dengan kultur dan kepribadian Timur,
maka bagi masyarakat Indonesia adalah salah satu hal yang tidak etis, terkecualinya
adanya hal-hal yang luar biasa, seperti terjadi penghianatan dari anak angkatnya,
maka wajar saja terjadi pembatalan adopsi ini. Selanjutnya kalau memperhatikan
syarat formalnya itu salah atau data yang diajukan oleh pemohon tidak benar, yang
biasanya dalam hal ini orang tua angkatnya, maka batal karena hukum.190
ahli waris laki-laki dan perempuan, tidak juga membedakan urutan kelahiran, hanya
190
R. Soeroso, Op, Cit, Perbandingan Hukum Perdata, Hal : 194-195
93
hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas dan ke samping sehingga
tampak anggota keluarga yang lebih dekat menutup haknya anggota keluarga yang
lebih jauh.191
mulai dari pasal 862 KUHPerdata. Termasuk dalam kelompok anak sah
sah.192
b. Suami atau istri yang hidup lebih lama. Adapun besaran bagian hak
seorang istri atau suami atas warisan pewaris adalah ditentukan dengan
9. Ahli waris golongan II, golongan ini terdiri atas orang tua, saudara laki-laki
191
Zainuddin Ali, Op, Cit, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Hal : 93
192
J. Satrio, Hukum Waris, alumni 1992, Bandung, 1992, Hal : 102
193
Ibid
94
dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua, baik dari pihak ayah maupun
dari garis ibu. Menurut pasal 853 KUHPerdata, golongan ini muncul
apabila ahli waris dari golongan I dan II tidak ada. Yang dimaksud dengan
keluarga sedarah dalam garis ibu dan garis ayah ke atas adalah kakek dan
nenek, kakek buyut dan nenek buyut terus ke atas dari garis ayah maupun
garis ibu.194
11. Ahli waris golongan IV, menurut Pasal 858 ayat (1) KUHPerdata,
dalam hal tidak adanya saudara (golongan II) dan saudara dalam salah satu
garis lurus ke atas (golongan III), maka setengah bagian warisan menjadi
bagian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas yang masih hidup.
Sedangkan setengah bagiannya lagi menjadi bagian dari para sanak saudara
garis yang lain. Pengertian sanak saudara dalam garis yang lain ini adalah
para paman dan bibi, serta sekalian keturunan mereka yang telah
194
Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, Hal : 259
195
Ibid, Hal : 258
95
Dalam hukum adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat
yang berlaku. Bagi keluarga yang parental (misalnya suku jawa), pengangkatan anak
tidak otomatis memutus tali keluarga antara anak itu dengan orang tua kandungnya.
Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya, dia juga
tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan suku yang ada di
angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan
meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya. 196 Pengaturan terhadap waris bagi
anak angkat dalam hukum adat berbeda dengan daerah satu dengan yang lain, begitu
pula terhadap porsi warisannya. Namun kebiasaan nya adalah anak angkat berhak
mewaris selaku anak, sedangkan sebagai unsur asing ia tidak berhak. Sepanjang
pengangkatan anak itu melenyapkan sifat unsur asing dan menimbulkan sifat anak.
KUHPerdata tidak mengatur tentang pengangkatan anak, khususnya dalam hal porsi
warisan terhadap anak angkat. Dalam beberapa pasal KUHPerdata hanya dijelaskan
196
Buddiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991
197
http://reza-rahmat.blogspot.co.id/2012/08/pembagian-harta-waris-menurut-hukum.html?m=1
98
96
(Erkiend).198
artinya apabila ahli waris yang berhak langsung menerima warisan, telah mendahului
meninggal dunia atau karena sesuatu hal dinyatakan tidak patut menjadi ahli waris,
seterusnya.
itu harus dinyatakan dalam bentuk tulisan, misalnya dalam akta notaris
(warisan testamenter).
198
http://abdisamudera.blogspot.co.id/2014/04/anak-angkat-menurut-kuh-perdata.html, diakses pada
tanggal 12 juni 2016
199
Kansil, Cristine S. T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta,
Pradnya Paramita, 2004, Hal : 143-144
200
Akmaluddin Syahputra, Op, Cit, Hukum Perdata Indonesia, Hal : 128
97
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa antara anak angkat dengan orang tua
baiknya lembaga pengangkatan anak tersebut, maka hubungan antara anak angkat
dengan orang tua angkatnya dikukuhkan dengan perantaraan wasiat atau wasiat
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai
aparat Negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang
telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu, 202 adapun disebut wasiat
wajibah karena :
201
Rachmad Budiono, Op, Cit, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Hal : 195
202
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000, Hal : 462
98
Kompilasi Hukum Islam menentukan kewajiban orang tua angkat untuk memberikan
wasiat wajibah kepada anak angkatnya untuk kemaslahatan anak angkat sebagaimana
orang tua angkat telah dibebani tanggung jawab untuk mengurus segala
kebutuhannya.
harta yang dimiliki si pewaris adalah sejalan dengan apa yang telah ditetapkan oleh
Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 201 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan
bahwa wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta yang dimiliki si pewaris, apabila
wasiat melebihi sepertiga dari harta yang dimiliki itu maka harus ada persetujuan ahli
waris, jika mereka tidak menyetujuinya, maka wasiat harus dilaksanakan hanya
sampai batas sepertiga saja dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan si pewaris.
Meskipun Kompilasi Hukum Islam tidak menetapkan secara tegas masa perhitungan
sepertiga wasiat, tetapi secara tersirat dapat ditegaskan bahwa sepertiga tersebut
dihitung dari semua harta peninggalan pada saat kematian orang yang berwasiat.
Penegasan ini penting sebab tidak jarang wasiat itu terjadi jauh dari sebelum orang
203
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung, al-Maarif, 1981, Hal : 63
99
penambahan harta milik orang yang memberi wasiat pada saat ia meninggal dunia.
Selain dari itu pasal 200 Kompilasi Hukum Islam memberikan penjelasan bahwa
harta wasiat yang berupa barang tak bergerak bila karena suatu sebab yang sah
oleh para praktisi hukum di Pengadilan Agama yang memberikan hak wasiat wajibah
kepada anak angkat. Dalam kasus yang terjadi di Pengadilan Agama, masalah wasiat
wajibah biasanya masuk dalam sangketa waris. Misalnya orang tua angkat yang
kerena kasih sayangnya kepada anak angkatnya lalu berwasiat dengan menyerahkan
dan mengatas namakan seluruh harta kekayaannya kepada anak angkatnya. Karena
orang tua kandung dan saudara kandung merasa berhak atas harta si pewasiat yang
hanya meninggalkan anak angkat saja, lalu mereka mengajukan gugatan waris.
Dalam kasus ini umumnya wasiat dibatalkan oleh Pengadilan Agama dan hanya
diberlakukan paling banyak 1/3 (sepertiga) saja. Selebihnya dibagikan kepada ahli
waris.205
Penerapan lembaga hukum wasiat wajibah dalam kasus sengketa anak angkat dan ahli
mengenai ahli waris beda agama yang diberikan harta warisan melalui wasiat wajibah
204
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group,
2008, Hal : 173
205
Ibid, Hal : 144
100
satu dengan lainnya tidak selalu memiliki hukum terapan yang sama. Konsepsi wasiat
wajibah mulanya hanya diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak
memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu
halangan. Misalnya, berwasiat kepada ibu atau ayah yang beragama non-Islam.
Konsep ini lahir adalah sebagai kebijakan penguasa trhadap orang-orang yang tidak
Artinya, kebijakan dalam wasiat wajibah lebih bersifat qhadaiyah, dalam pengertian,
tidak lagi disandarkan kepada atau tidaknya seseorang meninggalkan wasiat pada
Dari pendapat inilah kemudian lahir istilah wasiat wajibah, yang oleh Suparman
tidak bergantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap
dilaksanakan, baik diucapkan, atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang
meninggal dunia. Jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa
206
Sa‟id Muhammad al-Jalidi, Op, Cit, Hal : 290
207
Suparno Usman, Fikih Mawaris Hukum Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1997, Hal : 163
101
kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena
adanya suatu halangan. Misalnya berwasiat kepada ibu atau ayah yang beragama non-
Islam, karena berbeda agama menjadi penghalang bagi seseorang untuk menerima
warisan, atau cucu yang tidak mendapatkan harta warisan disebabkan terhalang oleh
keberadaan paman mereka, anak angkat yang tidak termasuk ahli waris tetapi jasa dan
Teoritis hukum Islam (klasik dan kontemporer) berbeda pendapat dalam menetapkan
hukum wasiat wajib. Jumhur ulama berpendapat bahwa sifatnya hanya di anjurkan,
bukan wajib, dengan tujuan untuk membantu meringankan yang bersangkutan dalam
menghadapi kesulitan hidup. Akan tetapi sebagian ulama fiqh lainnya berpendapat
bahwa wasiat seperti ini wajib hukumnya, dengan alasan surat Al-Baqarah (2) ayat
180. Menurut mereka perintah untuk berwasiat dalam ayat tersebut adalah untuk para
ahli waris yang terhalang mendapat warisan. Adapun jumlah harta wasiat wajib
menurut ulama fikih yang mewajibkan adalah sesuai dengan pembagian warisan yang
mesti mereka terima, apabila tidak ada penghalangnya. Misalnya ayah dan ibu
208
Faturrahman, Op, Cit, Ilmu Waris, Hal : 62
209
Ahmad Kamil, Fauzan, Op, Cit, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Hal :
146
102
mendapatkan sebesar bagian ayahnya yang wafat. Akan tetapi para penyusun
Mazhab Hanafi, berpendapat bahwa besarnya wasiat wajib itu tidak melebihi
sepertiga harta, sesuai dengan ketentuan wasiat biasa (UU Wasiat Mesir, Pasal 76-79
Wasiat wajibah dibatasi sepertiga harta dengan syarat bagian tersebut sama dengan
yang seharusnya diterima oleh ashabul furud secara kewarisan seandainya ia masih
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, istilah wasiat wajib disebutkan pada Pasal 209
dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
Berdasarkan isi bunyi pasal 290 KHI ayat 1 dan 2 di atas dapat dipahami bahwa
wasiat wajibah yang dimaksud oleh KHI adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan
210
Ibid
211
Ali al-Khafif, Op, Cit, Hal : 526
212
Instruksi Presiden R.I Nomor 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 1999, Hal :94
103
orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau
anak angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta peninggalan. Pengertian
pengertian wasiat wajibah yang terdapat dalam undang-undang Mesit. Kuat dugaan
bahwa rumusan wasiat wajibah yang terdapat dalam KHI mengikuti pengertian
Muhammad Daud Ali mengemukakan bahwa pemberian hak wasiat wajibah kepada
anak angkat oleh KHI dilakukan dengan mengadaptasi nilai hukum adat secara
terbatas ke dalam hukum Islam. Karena berpindahnya tanggung jawab orang tua asal
kepada orang tua angkatnya mengenai pemeliharaan kehidupan sehari-hari dan biaya
pendidikan berdasarkan keputusan pengadilan yang disebutkan dalam huruf (h) pasal
B. Wasiat
Dari segi etimologi, wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, manaruh
mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang
213
Ahmad Kamil, Fauzan, Op, Cit, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Hal :
148
214
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta, Rajawali
Pers, 1997, Hal : 137
215
Abdul Manan, Op, Cit, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Hal : 148
104
atau tabarru. 216 Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini adalah sejalan
dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di kalangan Mahzab
Hanafi yang mengemukakan bahwa wasiat itu adalah tindakan seseorang yang
memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan
ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut. 217
Sedangkan Al-Jaziri menjelaskan bahwa para ahli hukum Islam di kalangan mahzab
Maliki, Syafi‟I, dan Hambali memberi definisi wasiat itu adalah suatu transaksi yang
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan wasiat adalah, pesan terakhir yang
disampaikan oleh orang yang akan meninggal dunia (biasanya) berkenaan dengan
harta kekayaan dan sebagainya. 219 Sementara itu dalam kamus umum Bahasa
Indonesia dinyatakan, bahwa wasiat adalah pesan terakhir yang dituliskan oleh orang
yang akan meninggal dunia yang berkenaan dengan harta benda dan sebagainya.220
dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf f).
216
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1987
217
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut, Darul Fikri, 1989, Hal : 415
218
Abdurrahman al-Jaziri, al Fiqhu ala Madzhibil Arba’ah, Beirut, Darul Fikri, 1982, Hal : 327
219
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996
220
W.J.S. Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1984
105
Menurut Eman Suparman dalam hukum adat wasiat adalah pemberian yang
dilaksanakan oleh seseorang kepada ahli warisnya atau orang yang tertentu yang
dunia. Wasiat dibuat karena berbagai alasan yang biasanya untuk menghindarkan
persengketaan, perwujudan rasa kasih sayang dari orang yang menyatakan wasiat,
orang yang menyatakan wasiat akan melaksanakan haji dan orang yang menyatakan
wasiat ajalnya sudah dekat tetapi masih ada ganjalan semasa hidupnya yang belum
terpenuhi. Orang yang menyatakan wasiat dapat mencabut kembali wasiatnya yang
dinyatakan itu atau telah diikrarkan, tetapi jika tidak dicabut sampai orang yang
menyatakan wasiat itu meninggal dunia maka para ahli waris harus menghormati
wasiat itu.pelaksanaan wasiat dalah hukum adat tidak perlu dilakukan di hadapan
Notaris, tetapi cukup diucapkan secara lisan di hadapan keluarga atau wali waris yang
Surat wasiat atau testament adalah suatu akta yang yang memuat pernyataan
seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia,
dan yang olehnya dapat dicabut kembali (pasal 1875 KUHPerdata). Segala harta
sekalian ahli waris menurut undang-undang sekadar terhadap hal itu dengan surat
wasiat tidak telah diambil suatu ketetapan yang sah (pasal 874 KUHPerdata). Dengan
221
Eman Suparman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1991, Hal : 93-94
106
didahulukan (sekadar terhadap hal itu dengan surat wasiat tidak telah diambil suatu
Wasiat pada umumnya adalah keterangan dari seseorang tentang hal-hal yang akan
terjadi setelah ia meninggal. Keterangan tadi dapat ditarik kembali, kecuali tentang
hal-hal yang telah ditentukan. Surat wasiat harus dibuat dengan akta notaris, dan juga
harus memenuhi syarat lain seperti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
Mungkin juga di dalam surat wasiat itu terdapat codosil, yaitu surat di bawah tangan
Wasiat merupakan salah satu bentuk pemilikan atas harta yang dikenal dan diakui
wasiat adalah penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang
berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi
225
maupunberbentuk manfaat. A. Hanafi mendefinisikan wasiat dengan pesan
dan pelaksanaannya terjadi sesudah ia meninggal dunia. 226 praktik wasiat sudah
dikenal jauh sebelum Islam datang, akan tetapi dalam praktiknya belum memiliki
222
Akmaluddun Syahputra, Op, Cit, Hukum Perdata Indonesia, Hal : 141-142
223
Kansil, Cristine S.T. Kansil, Op, Cit, Modul Hukum Perdata termasuk Asas-Asas Hukum Perdata,
Hal : 150
224
Abu Zahrah, Syarh Qanun al-Wasiyyah, Dar al-Fiqh a;-Arabi, 1978, Hal : 7
225
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Hal :
1929
226
A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1970, Hal : 37
107
kepada siapa saja yang dia kehendaki, tanpa adanya pengawasan dan regulasi yang
kejahatan dan kemudharatan. Dalam situasi dan kondisi seperti inilah syariat Islam
datang dengan membawa seperangkat aturan hukum wasiat yang bertujuan untuk
KUHPerdata). Menurut pasal 933 ayat (1) KUHPerdata, wasiat olographis yang
227
Ali Al-Khafif, Ahkam al-Wasiyah, Beirut, Ma‟hat al-Dirasat al-Arabiyah, 1962, Hal : 2
228
Kansil, Cristine S.T. Kansil, Op, Cit, Modul Hukum Perdata termasuk Asas-Asas Hukum Perdata,
Hal : 151
108
penetapan waktu yang dipakai sebagai pegangan ialah waktu di mana diadakan
penyimpanan pada notaris. Kemudian, tulisan dari surat wasiat, harus dianggap
ditulis sendiri oleh pewaris, kecuali kalau terbukti sebaliknya. Apabila si pewaris
3) Testament tertutu atau rahasia, (pasal 940 KUHPerdata) yaitu dibuat sendiri
oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan ia
menulis dengan tangannya sendiri. Suatu surat wasiat rahasia harus selalu
tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus dihadiri oleh empat
orang saksi. Orang yang menjadi saksi pada pembuatan atau penyerahan surat
wasiat kepada seorang notaris, harus orang yang sudah dewasa, penduduk
Indonesia dan mengerti benar Bahasa yang digunakan dalam surat wasiat atau
akta penyerahan itu.229
Kalau si pewaris yang meninggalkan surat wasiat tertutup atau rahasia tersebut
meninggal dunia, maka surat wasiat itu harus diserahkan oleh notaris pada balai harta
peninggalan, yang akan membuka surat wasiat tersebut. Penerimaan dan pembukaan
surat wasiat tersebut harus dibuat proses verbal (pasal 942 KUHPerdata.)
229
Ibid
230
BW (Burgerlijk wetboek), Pasal 877, pasal 878, pasal 885, pasal 886, pasal 888.
109
Wasiat mempunyai dasar yang kuat dalam syariat Islam, di dalam al-Quran yaitu :
231
Akmaluddin Syahputra, Op, Cit, Hukum Perdata Indonesia, Hal : 146-147
110
telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak ada paksaan dari pihak lain. 234
Uulama fiqh juga sepakat untuk mensyaratkan penerima wasiat. Syarat penerima
wasiat :235
232
Sa‟id Muhammad al-jalidi, Ahkam al-Miras wa al-Wasiyah fi al-Syari’at al-Islamiyah, Kulliyatu
Da‟wah Islamiyah, tp, tth, Hal : 209
233
Wahbah al-Zuhaili, Op, Cit, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Hal : 7589
234
KHI BAB I, Pasal 194 ayat 1
235
Ahmad Kamil, Fauzan, Op, Cit, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Hal
:135
236
Ibid, Hal : 136
111
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, kepada Sa‟ad bin Abi Waqqas, mayoritas
ulama sepakat bahwa jumlah harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari sepertiga
harta pewasiat, apabila pewasiat mempunyai ahli waris. Karena Rasulullah SAW,
menyatakan jumlah harta yang boleh diwasiatkan dalam hadist tersebut adalah : “…..
sepertiga, dan sepertiga itu pun telah banyak….”. persyaratan ini berlaku bagi orang
yang berwasiat bagi orang lain sedangkan dia memiliki ahli waris, dan ahli waris
tersebut tidak mengizinkannya. Bila wasiat dalam keadaan seperti yang disebutkan,
Apabila pewasiat mewasiatkan hartanya lebih dari sepertiga, baik kepada salah
seorang ahli warisnya maupun kepada orang lain, maka harus mendapatkan
persetujuan dari keseluruhan ahli waris. Jika mereka menyetujui, maka wasiatnya sah
dan dilaksanakan, sebaliknya jika ahli waris pewasiat tidak menyetujui, maka
237
Ibid, Hal : 141
112
Batal/sah atau tidak sahnya wasiat tergantung pada apakah praktik wasiat sudah
memenuhi segala rukun dan persyaratan wasiat yang telah ditetapkan. Kalau wasiat
sudah memenuhi segala rukun dan persyaratannya maka wasiat dianggap sah dan bisa
dilaksanakan, sebaliknya jika tidak memenuhi segala rukun dan persyaratan, atau
tidak terpenuhi salah satu rukun dan persyaratannya maka wasiat dianggap batal dan
Ulama fikih menetapkan beberapa hal yang dapat membatalkan wasiat, adalah :239
waris dapat menerima wasiat atau tidak. Ibnu Hazm dan Fuqaha Malikiyah yang
termashur tidak membolehkan sama sekali berwasiat kepada ahli waris. Sedangkan
238
Ibid, Hal : 142
239
Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Op, Cit, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Hal : 82
113
ulama Syafi‟iyah yang termashur menegaskan bahwa berwasiat kepada ahli waris
Orang yang sakit lazimnya tidak berdaya, baik mental maupun fisik. Oleh karena itu,
mudah sekali timbul rasa simpati pada diri orang yang sakit itu terhadap orang-orang
yang menolongnya. Dalam keadaan tang demikian ini mudah sekali timbul rasa
pihak lain (misalnya ahli waris) tidak dirugikan. Barangkali ketentuan sebagaimana
tercantum dalam pasal 207 Kompilasi Hukum Islam itu dilatar belakangi oleh konsep
bahwa tidak tepat untuk mengatakan perasaan si sakit yang demikian itu sebagai
“tidak berakal sehat”, tetapi sesungguhnya memang “tidak sehat”. Akan tetapi, yang
agaknya mengaburkan penafsiran itu adalah klausula yang tercantum dalam pasal
Sangat logis apabila ditentukan bahwa notaris dan saksi-saksi yang berkaitan dengan
misalnya mengubah atau mengganti isi wasiat untuk keuntungan mereka sendiri.242
Khusus bagi harta wasiat yang berupa barang tidak bergerak, bilamana suatu sebab
yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat
240
Rachmad Budiono, Op, Cit, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Hal : 175
241
Ibid, Hal : 176
242
Ibid
114
maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa. Ketentuan dalam
pasal 202 Kompilasi Hukum Islam menentukan, kegiatan mana yang didahulukan
pelaksanaannya. Artinya sepanjang wasiat itu ditujukan untuk berbagai kebaikan dan
harta wasiat tidak mencakupi untuk itu, maka ahli waris mempunyai hak untuk
menentukan dari berbagai kegiatan yang ada untuk didahulukan lebih dulu
pelaksanaannya.243
Dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam, wasiat dapat diberikan secara lisan atau
tertulis. Hal ini disimpulkan dari kata-kata dalam pasal 195 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam, yang menyatakan bahwa “wasiat dilakukan secara lisan di hadaan dua
saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris”. Berdasarkan
ketentuan dalam pasal 195 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam tersebut, maka wasiat itu
dapat dilakukan secara lisan atau bawah tangan (akta di bawah tangan) atau dengan
akta notaris. Baik secara lisan maupun secara tertulis, wasiat tersebut dilakukan
Pemberian wasiat juga dapat dibatalkan bilamana calon penerima wasiat telah
Dalam ketentuan pasal 197 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam ditegaskan, bahwa
wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang
243
Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam, Bandung, Mandar Maju, 2009, Hal : 161
244
Ibid
115
penerima wasiat.
Demikian halnya pemberian wasiat dapat pula batal seperti yang termuat dalam
ketentuan pasal 197 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, bahwa wasiat menjadi batal
Selanjutnya menurut pasal 197 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, bahwa apabila
barang yang diwasiatkan musnah, maka wasiatnya pun menjadi batal. Pada
116
ditegaskan dalam pasal 199 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Dengan kata lain,
bahwa pewasiat tidak dapat mencabut atau menarik kembali wasiatnya bilamana
dicabut atau ditarik kembali oleh pewasiat.dari ketentuan dalam pasal 199 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam ternyata bahwa Kompilasi Hukum Islam memandang wasiat
Suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan apabila mendapat peretujuan dua belah
pihak.246
Kemudian ketentuan dalam pasal 199 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Kompilasi
Hukum Islam menegaskan, bahwa pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan
dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta Notaris bila wasiat
terdahulu di buat secara lisan. Sedangkan bilamana wasiat dibuat secara tertulis, maka
hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akta Notaris. Sementara itu wasiat yang dibuat berdasarkan akta notaris,
maka hanya dapat dicabut berdasarkan akta notaris. Tentang penyimpanan surat
wasiat diatur lebih lanjut dalam pasal 203 dan pasal 204 Kompilasi Hukum Islam.
Notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada
246
Ibid, Hal : 180
117
bilamana surat wasiat dimaksud dicabut karena tidak memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan. Seiring dengan meninggalnya pewasiat, maka surat wasiat yang
tertutup dan disimpan pada Notaris yang bersangkutan, dibuka olehnya di hadapan
ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan
surat wasiat. Sementara itu bilamana surat wasiat yang tertutup itu disimpan bukan
pada Notaris, maka penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau
Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau kantor Urusan Agama
tersebut membuka sebagamana ditentukan di atas. Selanjutnya setelah semia isi serta
maksud surat wasiat itu diketahui, maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama
Kompilasi Hukum Islam juga mengatur wasiat wajibah, yaitu wasiat tanpa wasiat,
mewasiatkannya. Hal mana diperuntukkan bagi orang tua dan anak angkat pewaris
yang dalam perspektif Hukum Islam tidak berhak mendapatkan harta warisan.
Ketentuan wasiat wajibah tersebut diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam
yang menentukan, bahwa terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkat
dan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasaiat diberi wasiat wajibah
batas maksimal dari wasiat wajibah ini adalah sepertiga dari harta warisan anak
247
Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam, Bandung, Mandar Maju, 2009, Hal : 164
118
ditinggalkan anak angkat atau orang tua angkatnya, terkecuali bilamana hal itu
disetujui oleh semua ahli waris.248 Wasiat wajibah tersebut merupakan tindakan yang
di lakukan penguasa atau hakim sebagai apparat Negara untuk memaksa atau
memberi putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan
248
Ibid
249
Ahmad Rafiq, Op, Cit, Hukum Islam di Indonesia, Hal : 166
119
PENUTUP
C. Kesimpulan
anak, terdapat peraturan yang tidak sama untuk seluruh golongan penduduk.
Agama Islam tidak memungkiri adanya anak angkat sejauh untuk memberi
agama Islam ialah memutuskan hubungan darah antara si anak kandung dengan
orang tua kandungnya. Allah tidak menjadikan anak angkat menjadi anak
kandung, sehingga segala akibat sebagai anak kandung tidaklah hapus dengan
pengangkatan anak. Kedudukan anak angkat dalam hukum adat dipengaruhi oleh
beda dari satu daerah dengan daerah yang lain. Kedudukan yang timbul terhadap
pengangkatan anak tergantung kepada adat yang ada pada daerah tersebut.
Pengangkatan anak bisa saja memutus pertalian anak angkat terhadap orang tua
asal, ataupun pengangkatan anak tidak memutus hubungan anak angkat dengan
2. Dalam hukum Islam, tidak ada hubungan saling mewarisi antara anak angkat
dengan orang tua angkatnya. Pengangkatan anak dalam hukum islam sebatas
120
123
hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya tetap ada. Akibat
hukum pengangkatan anak menurut hukum adat sifatnya variatif, artinya disuatu
masalah warisan, terdapat juga variasi ketentuan hukumnya, dalam hal hak
maka terjalin hubungan waris mewarisi antara orang tua angkat dengan anak
angkat dan memutus hak waris anak angkat dengan orang tua kandungnya, ada
juga yang karena pengangkatan anak hanya sekedar sebagai pengangkatan tanpa
ada hak kewarisan. Malah ada yang karena pengangkatan anak hubungan waris
terhadap anak angkat dan orang tua kandung tetap ada dan hubungan waris anak
angkat dengan orang tua kandung muncul karena pengangkatan anak tersebut.
3. Dalam hal penetapan porsi warisan bagi anak angkat, Kompilasi Hukum Islam
juga mengatur wasiat wajibah, yaitu wasiat tanpa wasiat, wasiat yang ditentukan
Hal mana diperuntukkan bagi orang tua dan anak angkat pewaris yang dalam
wasiat wajibah tersebut diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yang
menentukan, bahwa terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat
angkat dan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasaiat diberi wasiat
121
warisan anak angkat atau orang tua angkat, artinya tidak boleh melebihi dari
sepertiga harta yang ditinggalkan anak angkat atau orang tua angkatnya,
terkecuali bilamana hal itu disetujui oleh semua ahli waris. Wasiat wajibah
apparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wasiat bagi orang yang
telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan
tertentu pula. Dalam hukum adat, ketentuan warisan bagi anak angkat suatu
daerah berlainan dengan hukum adat di daerah lainnya. Dengan cara yang
berbeda pula yaitu baik berupa wasiat ataupun memang sudah ada ketentuan
porsi terhadap anak angkat maupun tidak sama sekali mendapatkan warisan.
Begitu juga terhadap porsi warisnya, tidak dapat di pastikan berapa porsi waris
bagi anak angkat. Namun dapat diambil kesimpulan bahwa beberapa ketentuan
hukum adat menyatakan porsi anak angkat dipersamakan dengan porsi anak
kandung (apabila ada hak waris). Ataupun melalu cara wasiat dari orang tua
angkatnya.
D. Saran
yang ada dari sistem-sistem hukum yang ada di Indonesia, sehingga nantinya
122
masyarakat Indonesia.
mengenai waris anak angkat, untuk dapat memperhatikan pentingnya hak dan
kewajiban bagi anak angkat, sehingga ada aturan yang jelas untuk menentukan
memutus kasus atau perkara terhadap waris anak angkat, agar harus
berlaku. Sehingga porsi bagi anak angkat sesuai dengan aturan-aturan hukum,
123