Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 1700 juta


penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis atau TB (dari hasil uji tuberculin
positif), dari jumlah tersebut ada 4 juta penderita baru dengan basil tahan asam (BTA)
positif ditambah lagi 4 juta penderita baru dengan BTA negatif. Jumlah seluruh
penderita TB di dunia sekitar 20 juta orang dengan angka kematian sebanyak 3 juta
orang tiap tahunnya. 25% dari kematian dapat dicegah apabila penderita TB
ditanggulangi dengan baik.1
Di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat
450.000 kasus TB paru. Tiga per empat dari kasus TB ini terdiri dari usia produktif
(15 - 49 tahun), setengahnya tidak terdiagnosis dan baru sebagian yang tercakup
dalam program penanggulangan TB sesuai dengan rekomendasi WHO.1
Apabila kasus ini tidak ditangani secara tuntas dengan memutus rantai
penularan akan menjadikan sumber penularan yang potensial. Umumnya penderita
TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar 30-50 kg pada orang
dewasa. Secara tidak langsung, status gizi yang buruk akan mempengaruhi
produktivitas kerja dari sumber daya manusia pada usia produktif ini. Untuk itu
diperlukan dukungan nutrisi yang adekuat yang akan mempercepat perbaikan status
gizi dan meningkatkan sistem imunitas, yang dapat mempercepat proses
penyembuhan, disamping pemberian obat TB yang teratur sesuai metode pengobatan
TB.1
Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah TB dan malnutrisi
telah dilakukan antara lain dengan memberikan vitamin A 200.000 SI setiap 2 bulan
pada penderita TB anak. Pada kasus ini, vitamin A berpengaruh terhadap peningkatan
asupan energi, zat gizi, penurunan nilai Laju Endap Darah (LED) dan peningkatan
haemoglobin (Hb), sedangkan pemberian vitamin A dan Zink (Zn) pada penderita TB
dewasa setelah 2 dan 6 bulan berdampak pada peningkatan berat badan, indeks massa

1
tubuh (IMT), lingkar lengan atas (LLA), tebal lemak triseps dan biseps, peningkatan
proporsi lemak tubuh, kadar albumin, hemoglobin, penurunan kadar C-reactive
protein dan peningkatan Zn plasma. Pemberian diet tinggi kalori tinggi protein
(TKTP) dan obat TB pada penderita TB yang di rawat di rumah sakit memberikan
hasil berupa perbaikan secara klinis yaitu peningkatan berat badan, peningkatan kadar
Hb serta penurunan SGOT dan SGPT.1
Pada penderita TB asupan makanannya rendah, hal ini disebabkan oleh
anoreksia, mual, muntah dan suhu badan yang meningkat menyebabkan peningkatan
metabolisme energi dan protein. Asupan yang tidak adekuat dapat menimbulkan
pemakaian cadangan energi tubuh yang berlebihan. Hal ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis dan akan mengakibatkan terjadinya penurunan berat
badan dan kelainan biokimia tubuh. Dampaknya yaitu terjadi penurunan sistem
imunitas tubuh dan proses infeksi menjadi lebih progessif yang akan mengakibatkan
perlambatan penyembuhan TB.1
Perbaikan malnutrisi dengan memberikan makanan yang adekuat dan tinggi
protein akan menghentikan proses deplesi, selain itu terjadi perbaikan sel dan mukosa
jaringan serta sistem imunitas sehingga daya tahan tubuh meningkat. Diet yang cukup
selain dapat meningkatkan status gizi penderita juga berpengaruh pada peningkatan
sistem imunitas yang membantu mempercepat penyembuhan TB. Selain pemberian
obat TB yang diberikan untuk mematikan bakteri dan memutus rantai penularan
diberikan penyuluhan dan perbaikan gizi, agar penderita mengetahui kebutuhan
makanan yang meningkat pada keadaan sakit sehingga penderita dapat meningkatkan
asupan makanan. Berbagai sumber protein dengan kualitas yang baik dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein yang meningkat pada penderita TB
seperti daging, ikan, telur, susu dan kedelai (proten). 1
Perbaikan status gizi dapat terjadi dengan meningkatnya asupan makanan
diikuti dengan peningkatan berat badan, IMT, LLA, triseps, biseps dan kadar
albumin. Hal ini akan memberikan hasil pengobatan yang optimal. Kebutuhan energi
dan protein yang tinggi disertai dengan penyuluhan gizi akan mempercepat proses

2
penyembuhan, terutama pada penderita malnutrisi. Pada umumnya penderita TB
ditemukan pada usia produktif dan hal ini secara tidak langsung akan memberi
dampak terhadap produksi kerja mereka, disebabkan oleh ketidakhadiran karena
sakit, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan mereka.
Penyembuhan yang cepat dan terapi yang tepat dapat mencegah terjadinya
komplikasi serta meningkatkan kualitas hidup penderita.1

3
BAB II
ISI

2.1 Masalah Tuberkulosis


Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB
paru dan 3 juta kematian akibat TB terjadi di seluruh dunia. 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang.2
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis yaitu berusia 15-50 tahun. Diperkirakan seorang pasien TB dewasa akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3-4 bulan. Hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Apabila, pasien TB
tersebut meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15%.
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk secara sosial
dan dikucilkan oleh masyarakat.2
Angka Kejadian TB di Dunia (WHO, 2004)

4
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:2
 Kemiskinan pada masyarakat, terutama pada negara yang sedang
berkembang.
 Kegagalan program TB. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:
o Tidak memadainya pendanaan.
o Tidak memadainya organisasi pelayanan TB seperti kurang terakses
oleh masyarakat, penemuan kasus atau diagnosis yang tidak standar,
obat yang tidak terjamin penyediaannya serta tidak dilakukan
pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar.
o Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang
tidak standar dan gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis).
o Persepsi yang salah pada masyarakat tentang manfaat dan efektivitas
BCG.
o Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang
mengalami krisis ekonomi atau yang mengalami pergolakan.
 Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan.
 Dampak pandemi HIV.
Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan
banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan
dalam 22 negara dengan masalh TB besar (high burden countries). Menyikapi
masalah tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan
dunia (global emergency).2
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permaslahan TB.
Koinfeksi dengan TB akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada
ssat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug
resistance/MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil

5
disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya
epidemi TB yang sulit diatasi.2
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah
pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina
dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan
pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan 101.000 kematian.
Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.2

2.2 Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini bersifat aerob dan tahan asam, serta dapat
bersifat patogen maupun saprofit.3 Sifat aerob dari kuman ini menunjukkan bahwa
kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini,
tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga
bagian apikal ini merupakan predileksi penyakit tuberkulosis. 4 Ada beberapa
mikrobakteri patogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia yang patogenik terhadap
manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil
daripada sel darah merah.3
Penyakit yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis ini mulai menyebar ke
segala penjuru dunia pada abad XVII-XVIII. Pada saat itu, TB menyebabkan
kematian hampir seperempat jumlah kaum dewasa di Eropa, sedangkan di Amerika
Serikat bagian utara, dari tahun 1800-awal tahun 1900-an, TB merupakan penyebab
kematian utama.5
Walaupun mikrobakteri tuberkulosis sudah ditemukan oleh dr. Robert Koch
pada 24 Maret 1882 di Berlin, Jerman, penyakit TB ini baru bisa diberantas setelah
ditemukan obatnya pada 1940 sampai 1950-an. Obat pertama yang diproduksi antara
lain streptomycin, isoniazid dan para-aminosacylic acid. Kemudian, muncul obat-
obatan seperti etambutol, rifampisin, thiacetazone dan pyrazinamide. Sejak saat itu,
TB sempat mereda dan tidak menjadi masalah lagi di kalangan kedokteran. Namun,

6
awal tahun 1990-an TB kembali menjadi bahan pembicaraan dunia kedokteran karena
ternyata masih membunuh sekitar 2-3 juta penduduk dunia, khususnya di negara
ekonomi lemah dan menengah.5

2.3 Cara Penularan Tuberkulosis


Salah satu faktor yang mempermudah penularan dan berperan meningkatkan
jumlah kasus TB adalah lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di
wilayah perkotaan. Lingkungan sosial ekonomi yang baik, pengobatan teratur dan
pengawasan minum obat berhasil mengurangi angka morbiditas dan mortalitas dari
penyakit ini.4
Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi,
sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ
lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang
mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan
batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Pada TB
kulit atau jaringan lunak, penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang
disebabkan oleh M. bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan
baik atau terkontaminasi.4
Meskipun TB adalah penyakit yang menular, hal ini tidak berarti penyakit ini
mudah dideteksi. Secara umum, seseorang perlu melakukan kontak jangka panjang
dengan orang yang terinfeksi, selama delapan jam dalam sehari selama enam bulan
untuk dapat terinfeksi. Seseorang akan lebih mudah terinfeksi TB melalui anggota
keluarga atau rekan kerja yang dekat daripada orang asing yang dijmpai di jalan, bis
ataupun restoran, meskipun ada beberapa kasus penularan yang terjadi dalam suatu
penerbangan. Seseorang yang mengidap TB aktif yang telah mendapatkan perawatan
secara efektif ±2 minggu tidak dapat menularkan penyakit ini dan tidak dapat
menyebarkan bakteri pada orang lain.6
Meskipun TB dapat menyerang organ dan jaringan lain, bakteri TB ini
terutama menyerang paru-paru. Dalam waktu 2-8 minggu setelah paru-paru terinfeksi

7
dengan M. tuberculosis, sistem imun akan mulai bereaksi. Makropag yang berfungsi
menghancurkan organisme yang berbahaya bagi tubuh akan mulai mengelilingi dan
membangun dinding untuk menghalangi bakteri tuberkulosis dalam paru-paru. Bila
makropag tidak berhasil melindungi dengan baik, bakteri akan tetap berada dalam
dinding ini selama bertahun-tahun dalam keadaan hidup tapi tidak aktif. Pada kasus
ini, seseorang dapat dianggap sudah terinfeksi TB, tapi tidak akan merasa sakit atau
mengalami gejala-gejalanya serta tidak dapat menularkan penyakit ini pada orang
lain.6
Tetapi, kadang sistem pertahanan imun gagal untuk melindungi. Pada kasus
ini, bakteri TB akan mulai memanfaatkan makropag untuk kepentingannya sendiri,
menyebabkan sel darah bergerak untuk membentuk kelompok yang lebih rapat yang
disebut granuloma. Bakteri akan berkembang biak di dalam granuloma, yang pada
akhirnya akan membesar seperti nodul. Bagian tengah dari nodul ini teksturnya lunak
dan rapuh seperti keju. Setelah beberapa lama, bagian tengah ini akan menjadi cair
dan menembus dinding granuloma yang mengelilinginya, menumpahkan bakterinya
ke saluran pernapasan dan menyebabkan timbulnya lubang-lubang besar berisi udara
(cavitas). Bila berisi dengan oksigen, saluran udara adalah tempat berkembang biak
yang ideal untuk bakteri, yang akan berkembang menjadi jumlah yang amat besar.
Bakteri ini kemudian akan menyebar dari cavitas ke seluruh bagian dari paru-paru
dan bagian lain dari tubuh manusia.6

2.4 Gejala-Gejala Tuberkulosis


Sistem imunitas akan mulai menyerang bakteri TB 2-8 minggu setelah
terinfeksi. Kadang-kadang bakterinya mati dan infeksi dapat dibersihkan dengan baik.
Pada kasus lain, bakteri akan tetap berada dalam tubuh dalam keadaan tidak aktif dan
tidak menyebabkan terjadinya gejala. Sedangkan pada beberapa kasus yang lain,
bakteri TB akan berkembang aktif.6 TB terutama akan meyerang paru-paru. Gejala-
gejala TB paru aktif adalah batuk produktif yang berkepanjangan (lebih dari 3
minggu) yang menyebabkan dahak berdarah (hemoptisis) atau dahak berwarna hitam

8
dan nyeri dada. Gejala sistemik termasuk demam yang tidak terlalu tinggi, menggigil,
keringat di malam hari, kelelahan, hilangnya nafsu makan dan penurunan berat
badan.3,6 Bakteri tuberkulosis juga dapat menyerang organ tubuh yang lain, seperti
sendi, tulang, traktus urinarius, sistem saraf pusat, otak, sumsum tulang dan sistem
limpa. Bila TB terjadi di luar paru-paru, tanda dan gelalanya akan bervariasi,
tergantung pada organ yang terkena. Sebagai contoh, TB pada tulang belakang dapat
menyebabkan terjadinya sakit punggung dan TB yang menyerang ginjal dapat
menyebabkan keluarnya darah pada urin. Tuberkulosis juga dapat menyebar ke
seluruh tubuh, secara simultan menyerang berbagai sistem organ.6

2.5 Diagnosis Tuberkulosis


Seseorang yang dicurigai menderita TB dianjurkan untuk menjalani
pemeriksaan fisik, tes Tuberkulin Mantoux, foto thoraks dan pemeriksaan
bakteriologi atau histologi. Tes tuberkulin harus dilakukan pada semua orang yang
dicurigai menderita TB klinis aktif, namun nilai tes tersebut dibatasi oleh reaksi
negatif palsu, khususnya pada seseorang dengan imunosupresif (misal TB dengan
infeksi HIV). Seseorang yang diperkirakan memiliki gejala TB, khususnya batuk
produktif yang lama dan hemoptisis, harus menjalani foto toraks, walaupun reaksi
terhadap tes tuberkulin intradermalnya negatif.3

Diagnosis TB Paru
Semua suspect TB paru diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA positif). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan dahak mikroskopis berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pada pemeriksaan dahak
untuk penegakkan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak

9
yang dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu-pagi-
sewaktu (SPS)2
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspect TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspect membawa sebuah botol dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
 P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Botol dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan di laboratorium pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Diagnosis TB
hanya berdasarkan foto toraks saja tidak dibenarkan. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologi paru tidak selalu menunjukkan aktivitas
penyakit.2
Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M. tuberculosis pada penanggulangan TB
khususnya untuk mngetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap
obat antituberkulosis (OAT) yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan
dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam
beberapa situasi:2
 Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
 Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak
 Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda
Pemeriksaan Tes Resistensi
Tes resistensi hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu
melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar
internasional dan telah mendapatkan pemantapan mutu (quality assurance) oleh

10
laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut
memberikan kesimpulan yang benar sehingga kemungkinan kesalahan dalam
pengobatan dapat dicegah.2
Pemeriksaan Foto Toraks
Sebagian besar kasus TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun,
pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi
sebagai berikut:2
 Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini,
pemeriksaan foto toraks diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA
positif.
 Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak napas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumothoraks, pleuritis eksudatva,
efusi perikarditis atau efusi pleura) dan pasien yang mengalami hemoptisis
berat (untuk menyingkirkan aspergiloma atau bronkiektasis).

Diagnosis TB Ekstra Paru


Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.2
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasrkan gejala klinis TB yang kuat dengan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode

11
pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi anatomi, serologi dan foto toraks.2
Alur Diagnosis TB Paru

12
2.6 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu
”definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:2
 Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru
 Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau
BTA negatif
 Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat
 Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah menentukan
paduan pengobatan yang sesuai, registrasi kasus secara benar, menentukan prioritas
pengobatan TB BTA positif, analisis kohort hasil pengobatan.2
Beberapa istilah dalam definsi kasus:2
 Kasus TB: pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter
 Kasus TB pasti (definitif): pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat
diperlukan untuk menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
mencegah timbulnya resistensi, menghindari pengobatan yang tidak perlu
(overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber daya lebih biaya (cost-
effective) dan mengurangi efek samping.2

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:2


1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.

13
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, pericardium, kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB


paru:2
1. Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
 Sedikitnya 3 spsimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.2


1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran
foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya
proses ”far advanced” dan atau keadaan umum pasien buruk.

14
2. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
 TB ekstra paru ringan, misalnya TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
 TB ekstra paru berat, misalnya meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB
saluran kemih dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya2


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.
2. Kasus kambuh
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (transfer in)
Adalah pasien yang dipindahkan dari unit yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.

15
6. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.7 Faktor Risiko Tuberkulosis


Pada dasarnya berbagai faktor risisko TB saling berkaitan satu sama lain.
Berbagai faktor risiko dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok faktor risiko yaitu
faktor kependudukan, lingkungan dan perilaku.7
A. Faktor risiko kependudukan7
Kejadian penyakit TB merupakan hasil interaksi antara komponen
lingkungan yakni udara yang mengandung basil TB, dengan masyarakat serta
dipengaruhi berbagai variabel lainnya. Variabel pada masyarakat secara umum
dikenal sebagai variabel kependudukan.
Banyak variabel kependudukan yang memiliki peran dalam timbulnya
penyakit TB, yaitu:7
Status Gizi7
Menurut Robinson dan Weighley (1984) keadaan kesehatan
berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh. Faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi:
 Faktor langsung, dipengaruhi oleh asupan makanan dan
penyakit, khususnya penyakit infeksi.
 Faktor tidak langsung:
o Faktor ekonomi, penghasilan keluarga yang mempengaruhi
status gizi.
o Faktor pertanian, kemampuan menghasilkan produksi
pangan.

16
o Faktor budaya, adanya kepercayaan untuk memantang
makanan tertentu, yang apabila dipandang dari segi gizi
mengandung zat gizi yang baik.
o Faktor pendidikan dan pekerjaan, faktor pendidikan dapat
mempengaruhi kemampuan menyerap pengetahuan gizi
yang diperoleh. Faktor pekerjaan juga dianggap
mempunyai peranan penting.
o Faktor kebersihan lingkungan, kebaersihan lingkungan
yang jelek akan memudahkan menderita penyakit tertentu.
o Faktor fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan
sangat penting untuk menyokong status kesehatan dan gizi.

Kondisi sosial ekonomi7


WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang
kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara
kemiskinan dan TB bersifat timbal balik, TB merupakan penyebab
kemiskinan dan karena miskin manusia kekurangam gizi dan rentan untuk
menderita TB. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya
berhubungan secara langsung namun dapat merupakan penyebab tidak
langsung seperti adanya kondisi gizi buruk, perumahan yang tidak sehat,
akses terhadap pelayanan kesehatan yang menurun kemampuannya.
Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB kehilangan 3-4 bulan
waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun
secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga.

Umur7
Secara klinis terjadinya penularan tidak dipengaruhi perbedaan usia,
akan tetapi pengalaman menunjukkan bahwa median umur penderita TB

17
didominasi kelompok usia produktif (15-50 tahun sekitar 75%). Fakta ini
mungkin dikarenakan pada kelompok umur tersebut mempunyai riwayat
kontak di suatu tempat dalam waktu yang lama.

Jenis Kelamin7
Catatan statistik menunjukkan mayoritas penderita TB adalah
perempuan. Tetapi, ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, baik pada
tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun
tingkat molekuler.

B. Faktor risiko lingkungan7


1. Kepadatan
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit.
Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui
udara, akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu, kepadatan dalam
rumah maupun kepadatan hunian tempat tinggal merupakan variabel yang
berperan dalam kejadian TB. Departemen kesehatan telah membuat
peraturan tentang rumah sehat, dengan rumus jumlah penghuni/luas
bangunan. Syarat ruamh dianggap sehat adalah 10 m2 per orang (Depkes
2003), jarak antar tempat tidur satu dan lainnya adalah 90 cm, kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni 2 orang atau lebih, kecuali anak di bawah 2 tahun.
2. Lantai rumah
Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses
kejadian TB, lanatai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan
demikian viabilitas kuman TB di lingkungan juga sangat dipengaruhi oleh
kelembaban tersebut.
3. Ventilasi
Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta
mengurangi kelembaban. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara,

18
dengan kata lain mengencerkan konsentrasi basil TB dan kuman lain,
terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet. Menurut persyaratan
ventilasi yang baik adalah 10% dari luas lantai (Kepmenkes, 1999.
Depkes, 2003).
4. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, khususnya cahaya
alam berupa cahaya matahari. Cahaya matahari masuk minimal 60 lux
dengan syarat tidak menyilaukan. Semua cahaya pada dasarnya dapat
mematikan kuman, namun hal itu tergantung jenis dan lamanya cahaya
tersebut.

C. Faktor risiko perilaku7


Faktor risiko perilaku adalah kebiasaan yang dilakukan sehari-hari
yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan atau penyebaran penyakit.
faktor risiko perilaku dalam terjadinya penularan TB adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan tidur penderita TB bersama-sama dengan anggota keluarga.
2. Tidak menjemur kasur secara berkala.
3. Kebiasaan membuang ludah/dahak sembarangan.
4. Kebiasaan tidak pernah membuka jendela ruangan.
5. Kebiasaan tidak pernah membuka jendela kamar tidur.
6. Kebiasaan tidak pernah membersihkan lantai.
7. Kebiasaan merokok.

19
Faktor Risiko Kejadian TB

2.8 Hubungan Malnutrisi dengan Kejadian Tuberkulosis


Proses penyakit infeksi merupakan konfigurasi asing dalam tubuh manusia,
sehingga terjadi suatu komplek interaksi antara mikroorganisme yang menyerang
tubuh manusia dengan mekanisme imunitas tubuh. Malnutrisi akibat respon
metabolik dan biokimia dalam tubuh manusia mempunyai kontribusi dalam
mekanisme pertahanan tubuh tersebut, yang selanjutnya menentukan hasil setiap
episode infeksi.7
Malnutrisi energi protein merupakan gangguan nutrisi yang sering dijumpai
pada keadaan sakit berat yang ditimbulkan oleh infeksi. Tanpa pemberian nutrisi yang
adekuat, stres metabolik akibat infeksi akan menimbulkan kehilangan berat badan dan
rusaknya sel bagian tubuh organ vital yang penting. Penurunan berat badan 10-20%
dari semula akan sangat mengurangi kemampuan daya tahan tubuh dan meningkatkan

20
morbiditas serta mortalitas, bahkan kehilangan 40% berat badan dapat menyebabkan
kematian.7
Manusia mempunyai berbagai mekanisme pertahanan untuk mencegah
masuknya organisme patogen ke dalam tubuh. Mekanisme pertahanan tubuh ini
ditandai oleh komponen pasif dan aktif yang akan bereaksi terhadap infeksi.7
Serum secara normal mengandung protein yang menolong sebagai faktor anti
mikroba dalam sistem immunitas, termasuk lisozim, komplemen transferin dan
protein lain dengan fungsi opsonik seperti glutamin. Masuknya parasit dalam tubuh
manusia akan menyebabkan interaksi dengan status gizi, yang mana besar kecilnya
pengaruh interaksi tersebut tergantung pada (1) pengaruh parasit pada metabolisme
host, (2) efek nutrisi host terhadap perkembangan pertumbuhan populasi parasit, (3)
perkembangan respon imunitas dari host dan (4) patofisiologi infeksi.7
Malnutrisi terbagi atas malnutrisi primer dan sekunder.8
Malnutrisi Primer
Gejala klinis malnutrisi primer sangat bervariasi tergantung derajat dan
lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita dan adanya gejala
kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus tersebut sering dijumpai pada anak
usia 9 bulan hingga 5 tahun, meskipun dapat dijumpai pada anak lebih besar.
Pertumbuhan yang terganggu dapat dilihat dari kenaikan berat badan terhenti atau
menurun, ukuran lengan atas menurun, pertumbuhan tulang (maturasi) terlambat,
perbandingan berat terhadap tinggi menurun. Gejala dan tanda klinis yang tampak
adalah anemia ringan, aktifitas berkurang, kadang di dapatkan gangguan kulit dan
rambut. Kasus marasmik atau malnutrisi berat karena kurang karbohidrat disertai
tangan dan kaki bengkak, perut buncit, rambut rontok dan patah, gangguan kulit.
Pada umumnya penderita tampak lemah sering digendong, rewel dan banyak
menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.
Marasmik adalah bentuk malnutrisi primer karena kekurangan karbohidrat. Gejala
yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan
otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah berwarna

21
kemerahan dan terjadi pembesaran hati. Anak tampak sering rewel, cengeng dan
banyak menangis.8
Malnutrisi primer dapat mempengaruhi metabolisme di otak sehingga
mengganggu pembentukan DNA di susunan saraf. Pertumbuhan sel-sel otak baru atau
mielinasi sel otak juga terganggu yang berpengaruh terhadap perkembangan mental
dan kecerdasan anak. Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita
malnutrisi primer yang berat.8

Malnutrisi Sekunder
Malnutrisi sekunder adalah gangguan pencapaian kenaikkan berat badan yang
bukan disebabkan penyimpangan pemberian asupan gizi pada anak Tetapi karena
adanya gangguan pada fungsi dan sistem tubuh yang mengakibatkan gagal tumbuh.
Gangguan sejak lahir yang terjadi pada sistem saluran cerna, gangguan metabolisme,
gangguan kromosom atau kelainan bawaan jantung, ginjal dan lain-lain.
Data penderita gagal tumbuh di Indonesia belum ada, di negara maju kasusnya terjadi
sekitar 1-5%. Artinya bila di Indonesia terdapat sekitar 30 juta anak, maka diduga
terdapat 300.000 – 500.000 anak yang kurang gizi bukan karena masalah ekonomi.
Bila di Jakarta terdapat 1 juta anak maka sekitar 10.000 – 50.000 anak mengalami
kurang gizi bukan karena masalah ekonomi. Kasus tersebut bila tidak ditangani
dengan baik akan jatuh dalam keadaan gizi buruk.
Gambaran yang sering terjadi pada gangguan ini adalah adanya kesulitan makan atau
gangguan penyerapan makanan yang berlangsung lama. Tampilan klinis gangguan
saluran cerna yang harus dicermati adalah gangguan Buang Air Besar (sulit atau
sering BAB), BAB berwarna hitam atau hijau tua, sering nyeri perut, sering muntah,
mulut berbau, lidah sering putih atau kotor. Manifestasi lain yang sering menyertai
adalah gigi berwarna kuning, hitam dan rusak disertai kulit kering dan sangat sensitif.
Berbeda pada malnutrisi primer, pada malnutrisi sekunder tampak anak sangat
lincah, tidak bisa diam atau sangat aktif bergerak. Tampilan berbeda lainnya,
penderita malnutrisi sekunder justru tampak lebih cerdas, tidak ada gangguan

22
pertumbuhan rambut dan wajah atau kulit muka tampak segar.
Ketua Tim Adhoc Program Revitalisasi Posyandu Rini Sutiyoso mengatakan bahwa
penderita gizi buruk di Jakarta sering diikuti penyakit penyerta TBC (kompas, 5
Oktober 2006). Tetapi fenomena tersebut harus lebih dicermati. Karena, pada kasus
malnutrisi sekunder sering terjadi overdiagnosis tuberkulosis (TB). Overdiagnosis
adalah diagnosis TB yang diberikan terlalu berlebihan padahal belum tentu
mengalami infeksi TB. Penelitian yang dilakukan penulis didapatkan overdiagnosis
pada 42 (22%) anak dari 210 anak dengan gangguan kesulitan makan disertai gagal
tumbuh yang berobat jalan di Picky Eaters Clinic Jakarta (Klinik Khusus Kesulitan
Makan). Laporan Badan Koordinasi Keluarga Berencana DKI Jakarta, bahwa kasus
TB sering menyertai. Overdiagnosis tersebut terjadi karena tidak sesuai dengan
panduan diagnosis yang ada. Hal lain adalah kesalahan dalam menginterpretasikan
gejala klinis, kontak dan pemeriksaan penunjang khususnya tes mantoux dan foto
polos paru.8

2.9 Pengobatan Tuberkulosis

Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.2

23
Jenis, Sifat dan Dosis OAT

Dikutip dari 2.

Prinsip Pengobatan2
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)2


 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

24
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan2
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia2


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
 Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini
disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak2
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

25
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.2
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:2
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

Paduan OAT dan Peruntukannya2


A. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien baru TB paru BTA positif.
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.
 Pasien TB ekstra paru.

Dosis untuk Paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Dikutip dari 2.

26
Dosis OAT-Kombipak untuk Kategori 1

Dikutip dari 2.

B. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)2


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
 Pasien kambuh.
 Pasien gagal.
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2

Dikutip dari 2.

27
Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

Catatan:
 Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak
3,7ml sehingga menjadi 4ml (1ml = 250mg).
Dikutip dari 2.

C. OAT Sisipan (HRZE)2


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori
1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Dosis KDT untuk Sisipan

Dikutip dari 2.

28
Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Dikutip dari 2.

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya


kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT
lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi
pada OAT lapis kedua.2

2.10 Penataan Gizi pada Penderita Tuberkulosis


Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar
30-50 kg pada orang dewasa. Secara tidak langsung, status gizi yang buruk akan
mempengaruhi produktivitas kerja dari sumber daya manusia pada usia produktif ini.
Untuk itu diperlukan dukungan nutrisi yang adekuat yang akan mempercepat
perbaikan status gizi dan meningkatkan sistem imunitas, yang dapat mempercepat
proses penyembuhan, disamping pemberian obat TB yang teratur sesuai metode
pengobatan TB.9
Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah TB dan malnutrisi
telah dilakukan antara lain:9
 memberikan vitamin A 200.000 SI setiap 2 bulan pada TB anak, ditemukan
vitamin A berpengaruh terhadap peningkatan asupan energi, zat gizi, penurunan
nilai laju endap darah (LED) dan peningkatan haemoglobin (Hb).
 Memberikan vitamin A dan Zink (Zn) pada penderita TB dewasa setelah 2 dan 6
bulan berdampak pada peningkatan berat badan, IMT, LILA, tebal lemak triseps

29
dan biseps, peningkatan proporsi lemak tubuh, kadar albumin, hemoglobin,
penurunan kadar C-reactive protein dan peningkatan Zn plasma.
 memberikan diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP) dan obat TB pada penderita
TB yang di rawat di rumah sakit dan hasilnya terjadi perbaikan secara klinis
berupa; peningkatan berat badan, peningkatan kadar Hb, dan penurunan SGOT,
SGPT.
Rendahnya asupan makanan pada infeksi disebabkan oleh anoreksia, mual,
muntah, suhu badan yang meningkat menyebabkan peningkatan metabolisme energi
dan protein dan utilisasi dalam tubuh. Asupan yang tidak adekuat menimbulkan
pemakaian cadangan energi tubuh yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis dan mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan dan kelainan
biokimia tubuh. Hal ini berdampak terhadap sistem imunitas dan penurunan daya
tahan tubuh dan infeksi menjadi progessif yang mengakibatkan perlambatan
penyembuhan TB.9
Perbaikan malnutrisi dengan memberikan makanan yang adekuat dan tinggi
protein akan menghentikan proses depletion dan perbaikan sel, mukosa jaringan serta
integritas sel dan sistem imunitas sehingga daya tahan meningkat dan
menguntungkan pengobatan TB.9
Diet yang cukup selain dapat meningkatkan status gizi penderita juga
berpengaruh pada peningkatan sistem imunitas yang membantu mempercepat
penyembuhan TB. Selain pemberian obat TB yang diberikan untuk mematikan
bakteri dan memutus rantai penularan diberikan penyuluhan gizi, agar penderita
mengetahui kebutuhan makanan yang meningkat pada keadaan sakit, dan dapat
meningkatkan asupan makanan. Berbagai sumber protein dengan kualitas yang baik
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein yang meningkat untuk
penyembuhan TB seperti daging, ikan, telur, susu dan kedelai (proten). Perbaikan
status gizi dapat terjadi dengan meningkatnya asupan makanan diikuti dengan
peningkatan berat badan, IMT,LILA, triseps, biseps dan kadar albumin. Hal ini akan

30
memberikan hasil pengobatan yang optimal. Kebutuhan energi dan protein yang
tinggi disertai dengan penyuluhan gizi akan mempercepat proses penyembuhan,
terutama pada penderita malnutrisi.9

2.11 Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein pada Penderita Tuberkulosis


Tujuan dari diet tiinggi kalori tinggi protein (TKTP) pada penderita
tuberkulosis adalah untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein yang bertambah
guna mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh atau berguna untuk
menambah berat badan sehingga mencapai nilai normal.10
Menurut keadaan penderita dapat diberikan salah satu dari dua macam diet
TKTP di bawah ini:10
1. Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein I (TKTP I)
Kalori: 2600 kkal
Protein 100 gram (2 gram/kg berat badan)
2. Diet Tinggi Kalori Tinggi protein II (TKTP II)
Kalori: 3000 kkal
Protein 125 gram (2,5 gram/kg berat badan)
Untuk memudahkan penyelenggaraan, makanan yang diperlukan untuk
menambah konsumsi kalori dan protein ditambahkan pada makanan biasa berupa
tambahan lauk dan susu.10
Bahan Makanan yang Ditambahkan pada Makanan Biasa Sehari

TKTP I TKTP I TKTP II TKTP II


(Berat dalam (URT) (Berat dalam (URT)
Gram) gram)
Susu 200 1 gls 400 2 gls
Telur ayam 50 1 btr 100 2 btr
Daging 50 1 ptg sdg 100 2 ptg sdg
Formula komersial 200 1 gls 200 1 gls
Gula pasir 30 3 sdm 30 3 sdm

Dikutip dari 10.

31
Nilai Gizi

TKTP I TKTP II
Kalori 2690 3040
Protein 103 g 120 g
Lemak 73 g 98 g
Karbohidrat 420 g 420 g
Kalsium 700 mg 1400 mg
Besi 30,2 mg 36 mg
Vitamin A (RE) 2746 2965
Thiamin 1,5 mg 1,7 mg
Vitamin C 114 mg 116 mg
Dikutip dari 10.

Pembagian Makanan Sehari


(sebagai tambahan pada makanan biasa)
Waktu TKTP I TKTP II
Pagi 1 butir telur ayam 1 butir telur ayam
Pukul 10.00 - 1 gls susu
Siang 1 ptg daging 1 ptg dging
Pukul 16.00 1 gls susu 1 gls susu
Malam - 1 ptg daging
Pukul 21.00 1 gls formula komersial 1 btr telur ayam
1 gls formula komersial
Dikutip dari 10.

Bahan Makanan yang Baik Diberikan10


 Sumber protein hewani: ayam, daging, hati, ikan, telur, susu, keju.
 Sumber protein nabati: kacang-kacangan dan hasilnya yaitu tahu, tempe,
oncom.

Bahan Makanan yang Dihindarkan10


Makanan yang terlalu manis dan gurih yang dapat mengurangi nafsu makan
seperti: gula-gula, dodol, cake dan sebagainya.

32
Contoh Menu Sehari TKTP II
(sebagai tambahan pada makanan biasa)
Pagi Siang Malam
Nasi Nasi Nasi
Telur dadar Ikan bumbu acar Daging empal
Daging semur Ayam goreng Telur balado
Ketimun + tomat iris Tempe bacam Sup sayuran
Susu Sayur asam Pisang
Pepaya

Pukul 10.00 Pukul 16.00 Pukul 21.00


Bubur kacang hijau Susu Telur ½ masak
Susu Formula komersial

Dikutip dari 10.

2.12 Perhitungan Kebutuhan Kalori dan Protein pada Penderita Tuberkulosis


Perhitungan Kebutuhan Kalori
Tabel di bawah ini yang digunakan untuk memperkirakan kebutuhan kalori
pasien dalam keadaan sehat dan sakit.11
Kebutuhan Energi
Tingkat Aktivitas atau Intensitas Penyakit
Tujuan Rendah Sedang Berat
Menurunkan berat badan 15 kal/kg 20 kal/kg 25 kal/kg
Mempertahankan berat 20 kal/kg 25 kal/kg 30 kal/kg
badan 25 kal/kg 30 kal/kg 35 kal/kg
Menambah berat badan
Catatan:
Pada keadaan demam, penambahan 13% dari total energi per hari diperlukan untuk setiap 1 0C
kenaikan suhu tubuh di atas suhu tubuh normal (370C).
Dikutip dari 11.

33
Tabel yang kedua di bawah ini adalah kebutuhan kalori tambahan bagi
seorang yang sedang sakit.11
Kebutuhan Energi pada Keadaan Sakit
Beratnya Penyakit Kebutuhan Kalori Tambahan
Ringan +10%
Sedang +25%
Berat +50-100%
Dikutip dari 11.

Contoh kasus:
Hitunglah perkiraan kebutuhan kalori per hari bagi seorang pasien dengan
sakit yang sedang dan memiliki berat badan normal 60 kg.
Jawab:
Kebutuhan energi/hari untuk mempertahankan berat badan normal :
BB x 25 kal/kg BB = 60 x 25 = 1500 kal/hari
Dengan demikian kebutuhan total energi/hari selama sakit :
1500 kal/hari + 25% x 1500 kal/hari = 1500 kal/hari + 375 kal/hari = 1875 kal/hari
Atau bila dibulatkan menjadi 1900 kal/hari.
Selama sakit, kebutuhan kalori meningkat menurut beratnya penyakit yang
diderita pasien. Perhitungan kebutuhan energi tersebut dilakukan menurut kebutuhan
energi masing-masing pasien seperti pada tabel pertama ditambah dengan kebutuhan
energi tambahan seperti tabel kedua.11

Perhitungan Kebutuhan Protein


Memperkirakan kebutuhan protein dapat dilakukan secara sederhana dengan
pemeriksaan balans nitrogen. Secara kasar, kita dapat mengukur jumlah nitrogen yang
dikeluarkan dari dalam tubbuh, yaitu dengan mengukur jumlah ureum (urinary urea
nitrogen) dalam urin 24 jam yang hasilnya ditambah 4 gram (jumlah nitrogen bukan
ureum). Asupan nitrogen dihitung dari asupan protein dalam 24 jam dari makanan
yang bisa diukur dengan dengan bantuan ahli gizi dan kemudian jumlah asupan

34
protein ini dibagi dengan 6, 25 untuk memperoleh jumlah asupan nitrogen dalam 24
jam.11
Jika asupan nitrogen lebih besar dari pengeluarannya, keadaan ini
menunjukkan balans nitrogen positif yang menggambarkan anabolisme
(pembentukan jaringan protein tubuh). Sebaliknya, jika asupan nitrogen lebih kecil
daripada pengeluarannya, balans nitrogen menjadi negatif dan akan menimbulkan
katabolisme (perombakan jaringan protein tubuh, khususnya lean body mass) yang
menyebabkan atropi otot. Pada orang dewasa yang sehat umumnya terdapat
keseimbangan nitrogen sedangkan dalam keadaan sakit yang berat atau kronis seperti
kanker, infeksi dan KKP yang kronis, akan terdapat balans nitrogen yang negatif.11
Dalam memberikan protein, kita harus memastikan dahulu apakah pemberian
energi atau kalorinya sudah memadai. Jika tidak memadai, protein yang diberikan
akan dimetabolisasi menjadi energi sehingga tidak memenuhi tujuan untuk
mempertahankan balans nitrogen yang positif. Dalam keadaan normal, tubuh akan
menggunakan protein sebagai sumber energi pada 2 keadaan, yaitu : asupan energi
dari karbohidrat dan lemak yang tidak mencukupi kebuthan dan asupan protein yang
berlebihan. Kebutuhan protein bisa diukur berdasarkan rasio kalori :nitrogen yaitu
150 :1 untuk terapi diet yang standar bagi penderita tuberkulosis. Dengan catatan
bahwa 1 gram nitrogen setara dengan 6,25 protein. Dengan rasio kalori :nitrogen =
150 :1, maka kebutuhan protein/hari:
Kebutuhan nitrogen x 6,25 = kebutuhan kalori total
150 x 6,25
Jadi, untuk menghitung kebutuhan protein pada penderita tuberkulosis, kita harus
mengetahui kebutuhan kalori total pada penderita tersebut.11

35
BAB III
KESIMPULAN

Di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat


450.000 kasus TB paru. Tiga per empat dari kasus TB ini terdiri dari usia produktif
(15 - 49 tahun), setengahnya tidak terdiagnosis dan baru sebagian yang tercakup
dalam program penanggulangan TB sesuai dengan rekomendasi WHO.1
Apabila kasus-kasus TB itu tidak ditangani secara tuntas maka akan menjadi
sumber penularan yang potensial. Oleh sebab itu, diperlukan pengobatan TB dengan
pemberian obat yang teratur sesuai metode pengobatan TB. Selain itu, pada penderita
TB terjadi keadaan malnutrisi sehingga diperlukan dukungan nutrisi yang adekuat
yang akan mempercepat perbaikan status gizi dan meningkatkan sistem imunitas,
yang dapat mempercepat proses penyembuhan, disamping pemberian obat TB yang
teratur sesuai metode pengobatan TB.1
Perbaikan malnutrisi dengan memberikan makanan yang adekuat dan tinggi
protein akan menghentikan proses deplesi, selain itu terjadi perbaikan sel dan mukosa
jaringan serta sistem imunitas sehingga daya tahan tubuh meningkat. Diet Tinggi
Kalori Tinggi Protein (TKTP) sangat penting bagi penderita TB karena dengan diet
ini selain dapat meningkatkan status gizi penderita juga berpengaruh pada
peningkatan sistem imunitas yang membantu mempercepat penyembuhan TB.
Penyembuhan yang cepat dan terapi yang tepat dapat mencegah terjadinya
komplikasi serta meningkatkan kualitas hidup penderita.1
Perhitungan diet TKTP pada pasien tuberkulosis dapat disimpulkan sebagai
berikut : jika tujuan diet untuk menambah berat badan, maka kalori yang dibutuhkan
pada penderita TB dengan tingkat aktivitas atau intensitas penyakit ringan adalah 25
kal/kgBBxBB, intensitas penyakit sedang adalah 30 kal/kg BBxBB dan untuk
intensitas penyakit berat adalah 35 kal/kg BBxBB. Kebutuhan kalori ini harus
ditambah lagi dengan beratnya penyakit pada masing-masing penderita, jika penyakit
11
ringan +10%, sedang +25% dan berat +50-100%. Pada keadaan demam,

36
penambahan 13% dari total energi per hari diperlukan untuk setiap 1 0C kenaikan suhu
tubuh di atas suhu tubuh normal (370C).
Kebutuhan protein pada penderita tuberkulosis tergantung pada kebutuhan
kalori total yang telah dihitung karena kebutuhan protein/hari dapat dihitung
berdasarkan rumus:
Kebutuhan kalori total
150 x 6,25
Jadi, untuk mengetahui kebutuhan protein/hari, kita harus menghitung terlebih dahulu
kebutuhan karlori total/hari.11

37

Anda mungkin juga menyukai