OLEH :
PEMBIMBING :
IDENTITAS PASIEN
Nama Penderita : Ny L
Jenis Kelamin : Perempuan
Tgl lahir : 31/12/1970
Umur : 46 tahun
Pekerjaan : IRT
Status Pernikahan : Sudah menikah
Alamat : Jl. Sukaria 5 No.04 RW 02 RT 002
Tanggal Pemeriksaan : 26 September 2017
ANAMNESIS
Keluhan utama : Batuk
Anamnesis Terpimpin : Pasien datang ke RS. Ibnu Sina poli Interna untuk
kontrol TB Paru yang sudah diderita kira-kira 2 bulan yang lalu. Saat ini pasien
mengeluh terasa lemas. Pasien mengatakan, awalnya berobat ke RS. Ibnu Sina
dikarenakan batuk berdahak selama 2 bulan, batuk berdahak ada lendir yang keluar
berwarna kuning kehijauan, tidak ada darah. Pasein sering merasa demam, dan
keringat dingin dimalam hari yang membuat pasien sulit tidur, nyeri kepala sejak 2
minggu sebelum RS. Ibnu, mual tidak ada, muntah tidak ada, nafsu makan menurun
sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu, berat badan dirasakan menurun sejak 1 bulan
yang terakhir, Pasien sering merasa dadanya sakit apabila pasien sedang batuk.
BAB : lancar, warna coklat, Konsistensi lunak.
BAK : lancar, warna kuning, kesan cukup, nyeri saat berkemih tidak ada
Riw. Penyakit Sebelumnya :
2
Riwayat malaria (-)
Riwayat demam berdarah (+)
Riwayat demam thypoid (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat hiperkolesterol/ hiperlipidemia (-)
Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat penyakit ginjal (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Di keluarga ada yang memiliki keluhahan serupa dengan pasien yaitu Ayah
pasien yang sementara berobat 6 bulan.
Riw. Penderita penyakit yang sama disekitar lingkungan tidak ada.
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat hiperkolesterol/ Hiperlipidemia (-)
Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat penyakit ginjal (-)
Riwayat penyakit asam urat (-)
PEMERIKSAAN FISIS
Tinggi Badan : 158 cm
Berat Badan : 39 kg
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 74 x/menit
Pernapasan : 23 x/menit
Suhu : 37.0 oC
Kepala
3
Anemis (-)
Sianosis (-)
Ikterus (-)
Injektio konjungtiva (-)
Mulut
Lidah kotor (-)
Tonsil T1-T1, hiperemis (-)
Faring granula hipertrofi (-)
Leher
Massa Tumor (-)
Nyeri Tekan (-)
Pembesaran kelenjar (+)
Desakan vena sentralis : R-2cm H2O
Thorax
Inspeksi : Simetris Kiri = Kanan
Palpasi : Massa tumor (-), Nyeri Tekan (-),
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi Tambahan : Rh : +/+, Wh : -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kesan normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler
Bising (-)
Abdomen
4
Inspeksi : Datar , ikut gerak napas,
Palpasi : Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Thoraks : Tuberkulosis paru aktif
Hasil pemeriksaan dahak pasien BTA (+2, +2)
DIAGNOSIS
Tuberkulosis Paru
PENATALAKSANAAN
Pengobatan farmakologi yang diberikan adalah:
- OAT blister merah (FDC) 3 x 1
- Glyceril Guaiacolat 3 x 1
- Paracetamol 500mg bila demam
- Vitamin B complex 2 x1
- Vitamin C 2 x 1
Pengobatan non farmakologi yang dianjurkan kepada pasien antara lain :
Istirahat absolut.
Makan makanan yang bersih, sehat, dan bergizi.
Kontrol kesehatan secara teratur dan minum obat teratur dan menggunakan
masker.
5
Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan anamnesis secara holistik yaitu,
aspek personal, aspek klinik, aspek risiko internal, dan aspek risiko eksternal serta
pemeriksaan penunjang dengan melakukan pendekatan menyeluruh dan pendekatan
diagnostik holistik.
1. Aspek Personal
Pasien datang sendiri ke RS.Ibnu sina naik bentor, pasien dengan keluhan
batuk sejak 2 bulan yang lalu. Harapan pasien setelah berobat agar pasien dapat
sembuh. Pasien khawatir jika batuk yang di deritanya akan menjadi lebih parah
ataupun dapat menular ke anggota keluarga dan tetangganya.
2. Aspek Klinik
- Pasien mengeluhkan batuk sejak 2 bulan yang lalu, lender kuning kehijauan.
- Malaise, sakit kepala 2 minggu terakhir.
- Riwayat demam subfebril
- Riwayat keringat malam
- Nafsu makan menurun
- Penurunan berat badan yang bermakna
- Pembesaran kelenjar getah bening pada leher
- Rhonki halus kedua apeks paru
- Sputum BTA +
3. Aspek Faktor Resiko Internal
- Pasien kurang memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungan sekitar.
- Pasien menyepelekan batuk yang di deritanya.
- Tingkat penegetahuan tentang tuberculosis yang rendah.
- Kemudian melihat kondisi ekonomi rendah yang berkaitan erat dengan
pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, dan gizi yang kurang pada pasien.
4. Aspek Faktor Resiko Eksternal
Lingkungan perumahan yang padat, ventilasi rumah yang kurang memadai.
6
Sedangkan faktor yang dapat mendukung kesembuhan pasien yaitu adanya dukungan
dan motivasi dari anggota keluarga baik secara moral dan materi.
6. Aspek Fungsional
Sebelumnya pasien masih dapat menjalankan aktivitas biasa seperti memasak,
berbelanja ke warung maupun pasar hingga melakukan pekerjaan rumah tangga
lain,akan tetapi dari hari ke hari aktifitas fisik yang dilakukan pasien L semakin
berkurang dikarenakan sakit yang dideritanya. Bahkan sejak pasien L batuknya
semakin parah, dia hampir tidak dapat melakukan pekerjaan rumah atapun keluar
rumah untuk kepentingan berbelanja maupun bersosialisasi dengan tetangga sekitar.
7. Derajat fungsional
Derajat 3, ada beberapa kesulitan, perawatan diri masih bisa dilakukan, hanya
dapat melakukan kerja ringan.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara kedokteran keluarga pada pasien ini meliputi
pencegahan primer, pencegahan sekunder (terapi untuk pasien dan keluarga pasien).
Pencegahan Primer
Pencegahan Primer
Pencegahan primer diperlukan agar orang sehat tidak terinfeksi Tuberkulosis
Paru antara lain :
- Menghindari faktor risiko penularan TB
- Memberikan edukasi kepasa pasien untuk selalu menerapkan perilaku hidup
sehat berupa menutup mulut saat batuk dan tidak meludah di sembarang tempat
- Menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri
- Memperhatikan kebersihan rumah
- Istirahat yang cukup dan rajin berolah raga
Pencegahan Sekunder
7
1. Pengobatan farmakologi berupa :
- OAT FDC 3x 1
- Glyceril Guaiacolat 3 x1
- Paracetamol bila demam
- Vitamin B comp/C 2x1
2. Pengobatan non farmakologis
- Istirahat cukup
- Konsumsi makanan yang bergizi.
- Faktor internal : Edukasi memperbaiki pengetahuan tentang TB, mengajarkan
perilaku batuk, edukasi mengenai pembuangan dahak dengan dengan
menyiapkan botol yang tutupnya rapat, dimasukkan kantung plastik ke
dalamnya, kemudian diberi bayclin jadi pasien dapat membuang dahak di
dalamnya dan kantung plastik diganti setiap sudah penuh. Pembuangan kantung
plastik dengan cara dibakar agar kuman Tuberkulosis hilang. Kemudian
mengenai pemakaian masker, harus selalu dipakai agar mencegah penularan
dapat terjadi. Masker yang sudah dipakai harus dibuang di tempat yang tepat dan
menyuruh isteri pasien sebagai PMO.
- Faktor eksternal: memperbaiki ventilasi rumah (minimal 10% luas lantai),
pencahayaan (minimal 60 lux) dan kelembaban (dengan membuka pintu dan
jendela khususnya pada pagi hari jam 6-8 dan sore hari guna mencapai standar
kelembaban 40-70%).
- Motivasi keluarga agar terus konsisten mendukung proses pengobatan pasien
- Anjuran pemeriksaan sputum BTA pada akhir fase intensif (bulan ketiga atau
keempat) masa pengobatan untuk mengetahui keberhasilan terapi OAT.
8
HASIL KUNJUNGAN RUMAH
Profil Keluarga :
Pasien I merupakan istri dari Tn. S. Suami pasien berumur 44 tahun sebagai
karyawan swasta dan pasien berumur 38 tahun sebagai ibu rumah tangga. Pasien
9
memiliki 3 orang anak, dua anak laki-laki berusia 19 dan 17 tahun, serta satu anak
perempuan berusia 15 thun.
KAMAR
KAMAR RUANG
9 METER KELUARGA
KAMAR
RUANG TAMU
5 METER
10
Ayah menderita Tuberkulosis paru dan
sementara berobat 6 bulan.
Lingkungan
Lingkungan pemukiman keluarga kurang bersih, padat dan tidak tertata
dengan baik. Sampah tidak tersimpan pada tempatnya, hubungan dengan masyarakat
di lingkungan tempat tinggal terbina dengan baik.
LAMPIRAN
Teras
11
Dapur WC/Kamar Mandi
Dapur
12
TUBERKULOSIS PARU
Pengertian
Penyakit TBC atau yang biasa dikenal dengan tuberkulosis merupakan suatu
penyakit infeksi kronis / menahun dan menular yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberklosa yang dapat menyerang pada siapa saja tanpa memandang
usia dan jenis kelamin.
Etiologi
Morfologi dan Struktur Bakteri
13
Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen
Epidemologi
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB
tertinggi didunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 dan
estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematianakibat
TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnyaAngka MDR-TB diperkirakan sebesar
2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendahdari estimasi di tingkat regional sebesar
4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar
6.300 kasus MDR TB setiaptahunnya.Meskipun memiliki beban penyakit TB yang
tinggi, Indonesia merupakan negar pertama diantara High Burden Country (HBC) di
wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk
deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009,
tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal
Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian,
Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate
73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir
adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target
global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional
yang utama.Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka
14
penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70%
CDR dan 85% kesembuhan.6
a. Agent
TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri gram positif,
berbentuk batang halus, mempunyai sifat tahan asam dan aerobic.
Karakteristik alami dari agen TB hampir bersifat resisten terhadap disifektan
kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering
untuk jangka waktu yang lama.Pada Host, daya infeksi dan kemampuan
tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis
hampir rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi
Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul
15
setelah penggunaan kemoterapi modern, sehingga menyebabkan keharusan
mengembangkan obat baru.Umumnya sumber infeksinya berasal dari
manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui
kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi congenital yang jarang
terjadi.11,12
b. Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TB. Terdapat 3
puncak kejadian dan kematian :a).Paling rendah pada awal anak (bayi)
dengan orang tua penderita b) Paling luas pada masa remaja dan dewasa
muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen
kehamilan pada wanita c). Puncak sedang pada usia lanjut .Dalam
perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak
berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup
sampel usia ini atau tidak terlindung dari risiko infeksi .Pria lebih umum
terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan
psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk pribumi
memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TB sejak lama,
yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan
distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TB, tetapi mungkin
mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan
sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan
peranan dalam infeksi TB, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian
Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan
tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan
besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan
beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.11,12
c. Environment
Distribusi geografis TB mencakup seluruh dunia dengan variasi
kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya.
16
Penularannya pun berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak
geografis .Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TB.
Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TB
dengan kelas sosial yang mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan
kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek
dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas
perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, pengangguran dan
tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TB dapat juga menjadi
pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini. Pada lingkungan
biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan
ternak yang terinfeksi adalah berbahaya.12
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
17
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis).
18
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan
ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak
dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen.Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.
19
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB
ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
20
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar
Tuberkulosis Paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial,
dan Tuberkulosis Paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan
menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah
infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya Tuberkulosis Paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. Tuberkulosis Paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna.Reaktivasi ini jarang
terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
21
Patogenesis Tuberkulosis11
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru.Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma & mediastinum.
22
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di
daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”
Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
A. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
23
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquorcerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
24
tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke
laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas
objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9%
3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke
dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah
tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium.
25
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
/BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila
:
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative :BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative :ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto
toraks, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
26
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.
27
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M. Tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini
adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak
dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
b. Immunochromatographic (ICT)
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum.Uji ICT
merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yangberasal
dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M. tuberculosis 38
kDa. Ke-5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis)
di samping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan
kebantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen.
Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.Tuberculosis, maka antibodi
28
akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji
dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu
dari empat garis antigen pada membran.
F. Pemeriksaan Lain
3. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat
29
besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil
negatif.
30
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
31
2) Tuberkulosis Paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk
luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk
memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang
ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji
resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
32
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif /
perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan
analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB
maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan
kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori
II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan
radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi)
terhadap OAT.
33
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT.
34
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
35
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu)
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml. (1 ml = 250 mg).
Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
36
(dosis
harian)
B. Tatalaksana TB Anak
Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada
anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan
sistem skor .
37
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/ Bawah garis merah Klinis gizi buruk
keadaan gizi (KMS) atau BB/U (BB/U < 60%)
< 80 %
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm, jumlah > 1,
kelenjar linfe tidak nyeri
koli, aksila,
inguinal
Pembengkakan Ada pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Kesan TB
tidak jelas
Jumlah
Catatan :
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan
badan.
e. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
38
a. kejang, kaku kuduk
b. penurunan kesadaran
c. kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis
39
Dosis OAT KDT pada anak
Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c. Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.
Pengobatan dan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan
sistem skoring.Bila hasil evaluasi dengan skoring system didapat skor < 5, kepada
anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6
bulan.Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG
dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.
40
Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
pada kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis Imbas Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Obat (penyebab lain sampai ikterik
disingkirkan) menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol
Kelainan sistemik, Rifampisin Hentikan Rifampisin
termasuk syok dan
purpura
41
Tuberkulosis Paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. Tuberkulosis Paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat.
E. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya
setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
42
1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengobatan
43
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala)
setelah dinyatakan sembuh.Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh.
Prognosis
Prognosis dari Tuberkulosis Paru adalah berdasarkan dari cepat atau
lambatnya penanganan serta kepatuhan pasien dalam meminum obat. Bila penyakit
berat, pengobatan terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat maka prognosis
buruk.6
DISKUSI
Pasien adalah seorang wanita berusia 46 tahun datang ke Puskesmas untuk
kontrol TB Paru yang sudah diderita kira-kira 1 bulan yang lalu. Saat ini pasien
mengeluh terasa lemas. Pasien mengatakan, awalnya berobat ke Puskesmas
dikarenakan batuk berdahak selama 2 bulan, batuk berdahak ada lendir yang keluar
berwarna kuning kehijauan, tidak ada darah. Pasein sering merasa demam, dan
keringat dingin dimalam hari yang membuat pasien sulit tidur, nyeri kepala sejak 2
minggu sebelum ke puskesmas, nafsu makan menurun sejak kurang lebih 1 bulan
yang lalu, berat badan dirasakan menurun sejak 1 bulan yang terakhir, Pasien sering
merasa dadanya sakit apabila pasien sedang batuk.
Obat yang diminum oleh Ny.L adalah OAT FDC dan Glyceril Guaiacolat. dan
vitamin B kompleks, vitamin C dan mineral lain yang dibutuhkan untuk menaikkan
daya tahan tubuh.
Pasien tinggal Lingkungan pemukiman keluarga kurang bersih, padat dan
tidak tertata dengan baik. Sampah tidak tersimpan pada tempatnya, hubungan dengan
masyarakat di lingkungan tempat tinggal terbina dengan baik.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of
Tuberculosis JAMA 1995 ; 273 : 220-26.
2. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
3. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei
Darussalam and in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 :3- 7.
4. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium
dan Semiloka TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.
5. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Jakarta. 2002.
6. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007;
3-4.
7. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan
Dalam Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
8. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI.
2002.Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan
pertama
9. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Kelompok Kerja TB
AnakDepkes – IDAI. 2008
45
10. International Standards for Tuberculosis Care : Diagnosis, Treatment,
PublicHealth. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA). 2006
46