Anda di halaman 1dari 46

KEDOKTERAN KELUARGA LAPORAN KASUS

IKM-IKK APRIL 2017


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

LAPORAN KASUS INFEKSI TUBERKULOSIS PARU


LAPORAN KASUS NON INFEKSI HIPERTENSI
DAN PROFIL RUMAH SEHAT

OLEH :

MUHAMMAD SHUBHY 111 2015 2203


IRWAN MUNANDAR 111 2015 2222

PEMBIMBING :

dr. Hj. Hermianty Nasrudin, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


KEDOKTERAN KELUARGA PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
LAPORAN KASUS INFEKSI
TUBERKULOSIS PARU

IDENTITAS PASIEN
Nama Penderita : Ny L
Jenis Kelamin : Perempuan
Tgl lahir : 31/12/1970
Umur : 46 tahun
Pekerjaan : IRT
Status Pernikahan : Sudah menikah
Alamat : Jl. Sukaria 5 No.04 RW 02 RT 002
Tanggal Pemeriksaan : 26 September 2017

ANAMNESIS
Keluhan utama : Batuk
Anamnesis Terpimpin : Pasien datang ke RS. Ibnu Sina poli Interna untuk
kontrol TB Paru yang sudah diderita kira-kira 2 bulan yang lalu. Saat ini pasien
mengeluh terasa lemas. Pasien mengatakan, awalnya berobat ke RS. Ibnu Sina
dikarenakan batuk berdahak selama 2 bulan, batuk berdahak ada lendir yang keluar
berwarna kuning kehijauan, tidak ada darah. Pasein sering merasa demam, dan
keringat dingin dimalam hari yang membuat pasien sulit tidur, nyeri kepala sejak 2
minggu sebelum RS. Ibnu, mual tidak ada, muntah tidak ada, nafsu makan menurun
sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu, berat badan dirasakan menurun sejak 1 bulan
yang terakhir, Pasien sering merasa dadanya sakit apabila pasien sedang batuk.
BAB : lancar, warna coklat, Konsistensi lunak.
BAK : lancar, warna kuning, kesan cukup, nyeri saat berkemih tidak ada
Riw. Penyakit Sebelumnya :

2
 Riwayat malaria (-)
 Riwayat demam berdarah (+)
 Riwayat demam thypoid (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat hiperkolesterol/ hiperlipidemia (-)
 Riwayat diabetes melitus (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat penyakit ginjal (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Di keluarga ada yang memiliki keluhahan serupa dengan pasien yaitu Ayah
pasien yang sementara berobat 6 bulan.
 Riw. Penderita penyakit yang sama disekitar lingkungan tidak ada.
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat hiperkolesterol/ Hiperlipidemia (-)
 Riwayat diabetes melitus (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat penyakit ginjal (-)
 Riwayat penyakit asam urat (-)

PEMERIKSAAN FISIS
Tinggi Badan : 158 cm
Berat Badan : 39 kg
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 74 x/menit
Pernapasan : 23 x/menit
Suhu : 37.0 oC
Kepala

3
Anemis (-)
Sianosis (-)
Ikterus (-)
Injektio konjungtiva (-)

Mulut
Lidah kotor (-)
Tonsil T1-T1, hiperemis (-)
Faring granula hipertrofi (-)

Leher
Massa Tumor (-)
Nyeri Tekan (-)
Pembesaran kelenjar (+)
Desakan vena sentralis : R-2cm H2O
Thorax
Inspeksi : Simetris Kiri = Kanan
Palpasi : Massa tumor (-), Nyeri Tekan (-),
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi Tambahan : Rh : +/+, Wh : -/-

Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kesan normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler
Bising (-)
Abdomen

4
Inspeksi : Datar , ikut gerak napas,
Palpasi : Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Thoraks : Tuberkulosis paru aktif
Hasil pemeriksaan dahak pasien BTA (+2, +2)

DIAGNOSIS
Tuberkulosis Paru

PENATALAKSANAAN
Pengobatan farmakologi yang diberikan adalah:
- OAT blister merah (FDC) 3 x 1
- Glyceril Guaiacolat 3 x 1
- Paracetamol 500mg bila demam
- Vitamin B complex 2 x1
- Vitamin C 2 x 1
Pengobatan non farmakologi yang dianjurkan kepada pasien antara lain :
 Istirahat absolut.
 Makan makanan yang bersih, sehat, dan bergizi.
 Kontrol kesehatan secara teratur dan minum obat teratur dan menggunakan
masker.

5
Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan anamnesis secara holistik yaitu,
aspek personal, aspek klinik, aspek risiko internal, dan aspek risiko eksternal serta
pemeriksaan penunjang dengan melakukan pendekatan menyeluruh dan pendekatan
diagnostik holistik.
1. Aspek Personal
Pasien datang sendiri ke RS.Ibnu sina naik bentor, pasien dengan keluhan
batuk sejak 2 bulan yang lalu. Harapan pasien setelah berobat agar pasien dapat
sembuh. Pasien khawatir jika batuk yang di deritanya akan menjadi lebih parah
ataupun dapat menular ke anggota keluarga dan tetangganya.
2. Aspek Klinik
- Pasien mengeluhkan batuk sejak 2 bulan yang lalu, lender kuning kehijauan.
- Malaise, sakit kepala 2 minggu terakhir.
- Riwayat demam subfebril
- Riwayat keringat malam
- Nafsu makan menurun
- Penurunan berat badan yang bermakna
- Pembesaran kelenjar getah bening pada leher
- Rhonki halus kedua apeks paru
- Sputum BTA +
3. Aspek Faktor Resiko Internal
- Pasien kurang memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungan sekitar.
- Pasien menyepelekan batuk yang di deritanya.
- Tingkat penegetahuan tentang tuberculosis yang rendah.
- Kemudian melihat kondisi ekonomi rendah yang berkaitan erat dengan
pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, dan gizi yang kurang pada pasien.
4. Aspek Faktor Resiko Eksternal
Lingkungan perumahan yang padat, ventilasi rumah yang kurang memadai.

5. Aspek Psikososial Keluarga


Didalam keluarga terdapat faktor-faktor yang dapat menghambat dan mendukung
kesembuhan pasien. Diantara faktor-faktor yang dapat menghambat kesembuhan
pasien yaitu, kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit yang diderita pasien.

6
Sedangkan faktor yang dapat mendukung kesembuhan pasien yaitu adanya dukungan
dan motivasi dari anggota keluarga baik secara moral dan materi.
6. Aspek Fungsional
Sebelumnya pasien masih dapat menjalankan aktivitas biasa seperti memasak,
berbelanja ke warung maupun pasar hingga melakukan pekerjaan rumah tangga
lain,akan tetapi dari hari ke hari aktifitas fisik yang dilakukan pasien L semakin
berkurang dikarenakan sakit yang dideritanya. Bahkan sejak pasien L batuknya
semakin parah, dia hampir tidak dapat melakukan pekerjaan rumah atapun keluar
rumah untuk kepentingan berbelanja maupun bersosialisasi dengan tetangga sekitar.
7. Derajat fungsional
Derajat 3, ada beberapa kesulitan, perawatan diri masih bisa dilakukan, hanya
dapat melakukan kerja ringan.

Diagnosis Holistik (Bio-Psiko-Sosial)


Diagnose Klinis: Tuberkulosis paru

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara kedokteran keluarga pada pasien ini meliputi
pencegahan primer, pencegahan sekunder (terapi untuk pasien dan keluarga pasien).
Pencegahan Primer
Pencegahan Primer
Pencegahan primer diperlukan agar orang sehat tidak terinfeksi Tuberkulosis
Paru antara lain :
- Menghindari faktor risiko penularan TB
- Memberikan edukasi kepasa pasien untuk selalu menerapkan perilaku hidup
sehat berupa menutup mulut saat batuk dan tidak meludah di sembarang tempat
- Menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri
- Memperhatikan kebersihan rumah
- Istirahat yang cukup dan rajin berolah raga
Pencegahan Sekunder

7
1. Pengobatan farmakologi berupa :
- OAT FDC 3x 1
- Glyceril Guaiacolat 3 x1
- Paracetamol bila demam
- Vitamin B comp/C 2x1
2. Pengobatan non farmakologis
- Istirahat cukup
- Konsumsi makanan yang bergizi.
- Faktor internal : Edukasi memperbaiki pengetahuan tentang TB, mengajarkan
perilaku batuk, edukasi mengenai pembuangan dahak dengan dengan
menyiapkan botol yang tutupnya rapat, dimasukkan kantung plastik ke
dalamnya, kemudian diberi bayclin jadi pasien dapat membuang dahak di
dalamnya dan kantung plastik diganti setiap sudah penuh. Pembuangan kantung
plastik dengan cara dibakar agar kuman Tuberkulosis hilang. Kemudian
mengenai pemakaian masker, harus selalu dipakai agar mencegah penularan
dapat terjadi. Masker yang sudah dipakai harus dibuang di tempat yang tepat dan
menyuruh isteri pasien sebagai PMO.
- Faktor eksternal: memperbaiki ventilasi rumah (minimal 10% luas lantai),
pencahayaan (minimal 60 lux) dan kelembaban (dengan membuka pintu dan
jendela khususnya pada pagi hari jam 6-8 dan sore hari guna mencapai standar
kelembaban 40-70%).
- Motivasi keluarga agar terus konsisten mendukung proses pengobatan pasien
- Anjuran pemeriksaan sputum BTA pada akhir fase intensif (bulan ketiga atau
keempat) masa pengobatan untuk mengetahui keberhasilan terapi OAT.

Terapi untuk keluarga


Terapi untuk keluarga berupa terapi non farmakologis terutama yang berkaitan
dengan emosi, psikis, dan proses pengobatan pasien. Dimana anggota
keluargadiberikan pemahaman agar bisa memberikan dukungan dan motivasi kepada
pasien untuk berobat secara teratur dan membantu memantau terapi pasien serta
pentingnya menjaga hygiene baik dari suami,anak maupun pasien.

8
HASIL KUNJUNGAN RUMAH

Kunjungan rumah dilaksanakan untuk melihat keadaan lingkungan sekitar


pasien dan hubungan antara lingkungan dengan penyakit yang diderita. Dengan
demikian pasien dan keluarga dapat memahami bagaimana pengaruh lingkungan
terhadap suatu penyakit dan sebaliknya bagaimana suatu penyakit dapat
mempengaruhi lingkungan.

Profil Keluarga :
Pasien I merupakan istri dari Tn. S. Suami pasien berumur 44 tahun sebagai
karyawan swasta dan pasien berumur 38 tahun sebagai ibu rumah tangga. Pasien

9
memiliki 3 orang anak, dua anak laki-laki berusia 19 dan 17 tahun, serta satu anak
perempuan berusia 15 thun.

Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga


Status kepemilikan rumah : milik sendiri
Daerah perumahan : padat
Karakteristik Rumah dan Lingkungan Kesimpulan
Luas rumah : 9 x 5 m2 Ny. L tinggal di rumah
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 5 orang
milik sendiri dengan
Luas halaman rumah : -
Tidak bertingkat lingkungan padat penduduk
Lantai rumah dari : kayu dengan ventilasi yang tidak
Dinding rumah dari : tripleks
Jamban keluarga : ada memadai. Ada listrik dan
Tempat bermain : tidak ada menggunakan sumur sebagai
Penerangan listrik : ada
Ketersediaan air bersih : ada sumber air untuk minum,
Tempat pembuangan sampah : tidak ada masak dan mandi.
KAMAR
MANDI
DAPUR

KAMAR

KAMAR RUANG
9 METER KELUARGA
KAMAR

RUANG TAMU

5 METER

Riwayat Penyakit Keluarga

10
Ayah menderita Tuberkulosis paru dan
sementara berobat 6 bulan.

Pola Konsumsi Makanan Keluarga


Pola konsumsi keluarga tersebut tidak teratur, dan mengonsumsi makanan yg
kurang bervariasi.

Psikologi Dalam Hubungan Antar Anggota Keluarga


Pasien memiliki hubungan yang baik, rukun dan harmonis dengan anggota
keluarga lainnya.

Lingkungan
Lingkungan pemukiman keluarga kurang bersih, padat dan tidak tertata
dengan baik. Sampah tidak tersimpan pada tempatnya, hubungan dengan masyarakat
di lingkungan tempat tinggal terbina dengan baik.
LAMPIRAN

Teras

Ruang Tamu Ruang Tidur

11
Dapur WC/Kamar Mandi

Dapur

12
TUBERKULOSIS PARU
Pengertian
Penyakit TBC atau yang biasa dikenal dengan tuberkulosis merupakan suatu
penyakit infeksi kronis / menahun dan menular yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberklosa yang dapat menyerang pada siapa saja tanpa memandang
usia dan jenis kelamin.

Etiologi
Morfologi dan Struktur Bakteri

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung,


tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan
panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan
lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam
mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord
factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat
merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan
fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna
tersebut dengan larutan asam–alkohol.

13
Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen
Epidemologi
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB
tertinggi didunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 dan
estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematianakibat
TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnyaAngka MDR-TB diperkirakan sebesar
2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendahdari estimasi di tingkat regional sebesar
4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar
6.300 kasus MDR TB setiaptahunnya.Meskipun memiliki beban penyakit TB yang
tinggi, Indonesia merupakan negar pertama diantara High Burden Country (HBC) di
wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk
deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009,
tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal
Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian,
Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate
73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir
adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target
global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional
yang utama.Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka

14
penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70%
CDR dan 85% kesembuhan.6

Tabel 1. Pencapaian Target Pengendalian TB per provinsi 2009(6)

Trias Epidemiologi : Host, Agen dan Environtment

Skema Teori Gordon

a. Agent
TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri gram positif,
berbentuk batang halus, mempunyai sifat tahan asam dan aerobic.
Karakteristik alami dari agen TB hampir bersifat resisten terhadap disifektan
kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering
untuk jangka waktu yang lama.Pada Host, daya infeksi dan kemampuan
tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis
hampir rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi
Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul

15
setelah penggunaan kemoterapi modern, sehingga menyebabkan keharusan
mengembangkan obat baru.Umumnya sumber infeksinya berasal dari
manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui
kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi congenital yang jarang
terjadi.11,12
b. Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TB. Terdapat 3
puncak kejadian dan kematian :a).Paling rendah pada awal anak (bayi)
dengan orang tua penderita b) Paling luas pada masa remaja dan dewasa
muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen
kehamilan pada wanita c). Puncak sedang pada usia lanjut .Dalam
perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak
berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup
sampel usia ini atau tidak terlindung dari risiko infeksi .Pria lebih umum
terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan
psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk pribumi
memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TB sejak lama,
yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan
distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TB, tetapi mungkin
mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan
sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan
peranan dalam infeksi TB, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian
Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan
tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan
besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan
beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.11,12
c. Environment
Distribusi geografis TB mencakup seluruh dunia dengan variasi
kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya.

16
Penularannya pun berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak
geografis .Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TB.
Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TB
dengan kelas sosial yang mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan
kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek
dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas
perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, pengangguran dan
tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TB dapat juga menjadi
pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini. Pada lingkungan
biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan
ternak yang terinfeksi adalah berbahaya.12

PATOGENESIS DAN CARA PENULARAN


Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan

17
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan


logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin.Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya


mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

18
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan
ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak
dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen.Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.

19
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB
ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic


spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang
secara histologi merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted


hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar kesaluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak
dapatdibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat
terjadisecara berulang.

20
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar
Tuberkulosis Paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial,
dan Tuberkulosis Paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan
menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah
infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya Tuberkulosis Paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. Tuberkulosis Paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna.Reaktivasi ini jarang
terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi


TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak
terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi
5-25 tahun setelah infeksi primer.12

Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan


Penyembuhannya9

21
Patogenesis Tuberkulosis11

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru.Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari


banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

22
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di
daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

Gambar 7. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior

Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.

A. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka

23
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

3. Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas &
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
B. Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquorcerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/ spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/
ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan
tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen

24
tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke
laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas
objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9%
3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke
dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah
tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium.

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan


pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara
pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari
kertas saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman,
misal di dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong
plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan
sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

25
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
/BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila
:
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative :BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative :ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto
toraks, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD


(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst


Skala Bronkhorst (BR) :
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M. Tuberculosis dengan metode


konvensional ialah dengan cara :

26
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan


dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa
cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid,
uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen
yang timbul.
C. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura
D. Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional.
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Polymerase chain reaction (PCR)

27
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M. Tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini
adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak
dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis


sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain
tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat
dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.

Pada pemeriksaan deteksi M. Tuberculosis tersebut diatas, bahan / spesimen


pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ
yang terlibat.

2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :


a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon
humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam
teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang
cukup lama.

b. Immunochromatographic (ICT)
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum.Uji ICT
merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yangberasal
dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M. tuberculosis 38
kDa. Ke-5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis)
di samping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan
kebantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen.
Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.Tuberculosis, maka antibodi

28
akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji
dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu
dari empat garis antigen pada membran.

F. Pemeriksaan Lain

1. Analisis Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil
analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan
glukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
TB.Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi,
trans thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan


dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk
dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat

29
besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil
negatif.

Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru


PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan.Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan.

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Prinsip pengobatan

30
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. Tuberkulosis Paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) Tuberkulosis Paru BTA (+), kasus baru

31
2) Tuberkulosis Paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk
luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk
memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang
ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji
resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi

b. Tuberkulosis Paru kasus kambuh


Pada Tuberkulosis Paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai
hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga
paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan
pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit.
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan
obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).

c. Tuberkulosis Paru kasus gagal pengobatan


Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan
minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap
diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil
uji resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai
uji resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan
obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. Tuberkulosis Paru kasus putus berobat


Pasien Tuberkulosis Paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria sebagai berikut :

32
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif /
perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan
analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB
maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan
kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori
II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan
radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi)
terhadap OAT.

e. Tuberkulosis Paru kasus kronik


1) Pengobatan Tuberkulosis Paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan
dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih
sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat
lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.
4) Kasus Tuberkulosis Paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
Paket Kombipak

33
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT.

Pengembangan pengobatan Tuberkulosis Paru yang efektif merupakan hal


yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug
resistant tuberculosis).Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB
merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal
dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998.

Jenis dan Dosis OAT


Dosis (mg) / BB (kg)
Obat Dosis
Dosis Dosis yang dianjurkan Maksimum
(mg/kgBB/Hari)
Harian Intermitten
(mg/kgBB/Hari) (mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)

34
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

3.Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobata Pengobata Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
n n @ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru Tuberkulosis Paru BTA positif.
b. Pasien Tuberkulosis Paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomisin Jumlah/
Pengobata Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet Injeksi kali menelan
n @ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg @ 400 mg obat
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56

35
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu)

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml. (1 ml = 250 mg).
Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg menelan
obat
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28

36
(dosis
harian)

B. Tatalaksana TB Anak

Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada
anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan
sistem skor .

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman


Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.Pedoman tersebut secara
resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis
TB anak.Lihat tabel 8.tentang sistem pembobotan (scoring system) gejala dan
pemeriksaan penunjang.

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah
skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis
kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi
pleura, foto tulang dan sendi,
funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.

Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB


Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak Laporan BTA (+)
jelas keluarga, BTA
(-) atau tidak
tahu, BTA tidak
jelas

37
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/ Bawah garis merah Klinis gizi buruk
keadaan gizi (KMS) atau BB/U (BB/U < 60%)
< 80 %
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm, jumlah > 1,
kelenjar linfe tidak nyeri
koli, aksila,
inguinal
Pembengkakan Ada pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Kesan TB
tidak jelas
Jumlah

Catatan :
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan
badan.
e. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:

38
a. kejang, kaku kuduk
b. penurunan kesadaran
c. kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis

Gambar 9.Alur Tatalaksana Pasien TB Anak Pada Unit Pelayanan


Kesehatan Dasar

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup


adekuat.Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik
untuk menilai keberhasilan pengobatan.Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata
walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT
tetap dihentikan.
Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan
dalam waktu 6 bulan.OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif
maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Dosis OAT Kombipak pada anak
Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 - 19 kg BB 2 - 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

39
Dosis OAT KDT pada anak
Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c. Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.
Pengobatan dan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan
sistem skoring.Bila hasil evaluasi dengan skoring system didapat skor < 5, kepada
anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6
bulan.Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG
dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.

C. Efek Samping OAT

Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Tatalaksana
Penyebab
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam
sakit perut sebelum tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100
rasa terbakar di kaki mg/hari
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu
seni diberi apa-apa

40
Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
pada kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis Imbas Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Obat (penyebab lain sampai ikterik
disingkirkan) menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol
Kelainan sistemik, Rifampisin Hentikan Rifampisin
termasuk syok dan
purpura

D. Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya.Bila


keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan.
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan


a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.

2. Pasien rawat inap


Indikasi rawat inap :

41
Tuberkulosis Paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. Tuberkulosis Paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat.

E. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek


samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya
setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)


1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
2. Bila ada fasilitas biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

42
1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik


1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek
samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat


1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum /
tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau
pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan.Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.

43
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala)
setelah dinyatakan sembuh.Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh.

Prognosis
Prognosis dari Tuberkulosis Paru adalah berdasarkan dari cepat atau
lambatnya penanganan serta kepatuhan pasien dalam meminum obat. Bila penyakit
berat, pengobatan terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat maka prognosis
buruk.6

DISKUSI
Pasien adalah seorang wanita berusia 46 tahun datang ke Puskesmas untuk
kontrol TB Paru yang sudah diderita kira-kira 1 bulan yang lalu. Saat ini pasien
mengeluh terasa lemas. Pasien mengatakan, awalnya berobat ke Puskesmas
dikarenakan batuk berdahak selama 2 bulan, batuk berdahak ada lendir yang keluar
berwarna kuning kehijauan, tidak ada darah. Pasein sering merasa demam, dan
keringat dingin dimalam hari yang membuat pasien sulit tidur, nyeri kepala sejak 2
minggu sebelum ke puskesmas, nafsu makan menurun sejak kurang lebih 1 bulan
yang lalu, berat badan dirasakan menurun sejak 1 bulan yang terakhir, Pasien sering
merasa dadanya sakit apabila pasien sedang batuk.
Obat yang diminum oleh Ny.L adalah OAT FDC dan Glyceril Guaiacolat. dan
vitamin B kompleks, vitamin C dan mineral lain yang dibutuhkan untuk menaikkan
daya tahan tubuh.
Pasien tinggal Lingkungan pemukiman keluarga kurang bersih, padat dan
tidak tertata dengan baik. Sampah tidak tersimpan pada tempatnya, hubungan dengan
masyarakat di lingkungan tempat tinggal terbina dengan baik.

44
DAFTAR PUSTAKA
1. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of
Tuberculosis JAMA 1995 ; 273 : 220-26.
2. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
3. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei
Darussalam and in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 :3- 7.
4. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium
dan Semiloka TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.
5. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Jakarta. 2002.
6. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007;
3-4.
7. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan
Dalam Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
8. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI.
2002.Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan
pertama
9. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Kelompok Kerja TB
AnakDepkes – IDAI. 2008

45
10. International Standards for Tuberculosis Care : Diagnosis, Treatment,
PublicHealth. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA). 2006

46

Anda mungkin juga menyukai