Anda di halaman 1dari 15

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/307955462

KEBUDAYAAN DAN KEPEMIMPINAN

Data · August 2007


DOI: 10.13140/RG.2.2.10165.47840

CITATIONS READS

0 2,652

1 author:

Muhammad Takari
University of Sumatera Utara
54 PUBLICATIONS 5 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

My current project is research about senam Melayu in Serdang culture area. View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Takari on 09 September 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KEBUDAYAAN DALAM KONTEKS
SUKSESI KEPEMIMPINAN
DI SUMATERA UTARA

Muhammad Takari
Dosen Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara

(Makalah pada Seminar Dua Negara


Hubungan Melayu Serantau: Sumatera Malaysia,
yang diselenggarakan tanggal 24 sampai 26 Agustus 2007
di Melaka)

MELAKA
2007

1
KEBUDAYAAN DALAM KONTEKS
SUKSESI KEPEMIMPINAN DI SUMATERA UTARA
Oleh: Muhammad Takari
Dosen Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara
(Makalah pada Seminar Dua Negara Hubungan Melayu Serantau: Sumatera Malaysia,
yang diselenggarakan tanggal 24 sampai 26 Agustus 2007 di Melaka)

Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan sebuah dimensi yang harus ada dalam kelompok
sosial manusia. Bahkan sebuah rumah tangga pun harus memiliki pemimpin, yang
dipegang dan dikendalikan oleh ayah, dan “wakilnya” adalah ibu rumah tangga.
Kepemimpinan akhirnya akan meluas sampai kepada rukun tangga, rukun warga,
kepala desa atau lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, sampai presiden. Selain
pemimpin eksekutif termasuk juga legislatif dan yudikatif. Secara tradisional pula,
beberapa kelompok masyarakat di Indonesia memiliki sistem kepemimpinan yang
diwarisi dari era sebelumnya. Misalnya kepala suku, ada pula sistem kerajaan seperti
sultan, raja, perdana menteri, wazir, orang besar kerajaan, dan lain-lainnya.
Dalam konteks Indonesia, sejak merdeka tahun 1945 hingga kini, pilihan
sistem kepemimpinan yang diambil adalah sistem demokrasi, yaitu pemerintahan
yang ditentukan oleh suara rakyat. Dalam praktiknya, Indonesia menggunakan sistem
demokrasi terpimpin pada era Orde Lama. Kemudian diteruskan dengan sistem
demokrasi Pancasila di zaman Orde Baru. Seterusnya di Era Reformasi diteruskan
dengan menggunakan sistem demokrasi saja, tak ada embel-embelnya. Belajar dari
sejarah bangsa Indonesia, tampak bahwa sistem demokrasi ini sangat ditentukan oleh
“selera” penguasa.
Dalam era reformasi, kita telah berulangkali menjalankan pemilihan kepala
daerah, dengan sistem demokrasi. Sebahagian besar berjalan dengan damai, aman,
terkendali, dan kondusif. Namun ada juga di sejumlah kecil daerah pemilihan terjadi
pergolakan sosial. Hal ini terjadi karena belum dewasanya kita berpolitik dalam
konteks kepemimpinan dalam sebuah sistem demokrasi.
Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara dalam beberapa bulan ke depan,
tepatnya 16 April 2008, akan memilih gubernur dan wakil gubernurnya yang baru.
Lima pasangan cagubsu dan cawagubsu, telah mendaftar secara legal, menjadi calon.
Calon-calon itu secara etnisitas terdiri dari etnik: Batak Toba, Jawa, Mandailing-
Angkola, dan Melayu. Masyarakat Sumatera Utara dan seluruh bangsa Indonesia
berharap bahwa calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara dari berbagai
etnik ini, seharusnya juga mengambil nilai-nilai positif dari latar belakang
kebudayaan etniknya. Kemudian mengaplikasikannya dalam pemerintahan, setelah ia
terpilih memenangkan pilihan gubernur. Keempat pasangan calon lainnya juga secara
ikhlas (legawa), menerima pasangan yang terpilih secara demokratis.
Tulisan ini akan mengkaji nili-nilai kebudayaan etnik, yang memberikan
orientasi dan persepsi calon pemimpin kita, dari etnik mana ia berasal. Kebudayaan
akan mendorong perilaku seseorang, termasuk pemimpin. Kebudayaan dalam bentuk
gagasan sifatnya agak abstrak, dan hanya dapat didekati dengan cara mengkaji dan
meneliti kebudayaan itu. Sementara kebudayaan dalam bentuk perilaku dan benda-

2
benda budaya lebih mudah dilihat dan lebih tampak nyata dibandingkan dalam bentuk
ide.
Sesuai dengan topik tulisan ini, maka latar kebudayaan itu akan dikaji.
Adapun sesuai dengan latar belakang etnisitas, maka kebudayaan yang akan dikaji,
terutama dalam hal nilai-nilai untuk kepemimpinan pada kebudayaan Batak Toba,
Jawa, Mandailing-Angkola, dan Melayu, namun juga membandingkannya sekilas
dengan kebudayaan etnik-etnik lainnya. Tujuannya adalah memberikan pencerahan
kepada para pembaca tulisan ini. Juga sebagai bahan perenungan dan masukan bagi
para calon pasangan gubsu dan wagubsu yang akan datang. Namun sebelumnya
dideskripsikan secara sekilas Sumatera Utara.

Sumatera Utara
Berdasarkan aspek historis, wilayah Sumatera pada saat pemerintahan
kolonial Belanda disebut Gouverment van Sumatra, yang mencakup keseluruhan
wilayah Sumatera dan pulau-pulau di seputarnya. Pusat pemerintahan ini berada di
Medan, yang dipimpin oleh seorang gubernur. Pada masa penjajahan Belanda ini,
Sumatera Utara dibagi ke dalam berbagai daerah administratif yang disebut regency
(keresidenan).
Pada saat Indonesia merdeka tahun 1945, Sumatera tetap dipertahankan
sebagai satu wilayah pemerintahan yang disebut Provinsi Sumatera, yang dipimpin
oleh seorang gubernur. Terdiri dari beberapa kabupaten yang dipimpin oleh bupati.
Untuk memudahkan jalannya pemerintahan, maka Komite Regional Nasional
Indonesia membagi Sumatera ke dalam tiga provinsi: (1) Sumatera Utara yang di
dalamnya termasuk Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli; (2) Sumatera Tengah, dan
(3) Sumatera Selatan. Awal tahun 1949, sistem pemerintahan ini direstrukturisasi.
Sumatera Utara dibagi dua daerah militer: (a) Aceh dan Tanah Karo dipimpin oleh
Teungku Mohammad Daud Beureuh, sementara itu wilayah militer Sumatera Timur
dan Sumatera Selatan dipimpin oleh Dr. F.L. Tobing.
Sumatera Utara berada pada 1°LU sampai 4°LU pada garis latitudinal dan
98°BT-100°BT pada garis longitudinal, dan berbatasan dengan wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam di Utara, Pprovinsi Sumatera Barat dan Riau di Selatan,
selat Melaka di Timur, dan samudera Hindia di sebelah Barat. Keseluruhan area
Sumatera Utara adalah 71.680 kilometer persegi dengan jumlah penduduk saat ini,
sekitar 13 juta jiwa. Sumatera Utara dihuni oleh berbagai kelompok etnik dengan
berbagai agama yang dianut.
Pada masa sekarang Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh tiga kategori, yaitu:
(a) etnik setempat, terdiri dari: Melayu, Karo, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Simalungun,
Mandailing-Angkola, Pesisir, Nias, ditambah Lubu dan Siladang; (b) etnik Nusantara:
Aceh (Rayeuk, Simeuleu, Tamiang, Alas, Gayo, aneuk Jamee), Minangkabau, Banjar,
Sunda, Jawa, dan lannya; serta (c) Etnik Dunia pendatang, seperti: Hokkian, Khek,
Hakka, Kanton, Tamil, Punjabi, Sikh, Hindustani, Eropa, dan lain-lain. Keberadaan
etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut: “The three major
[North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ... North
Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the
province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku). ... The broad
Batak ethnic group is ussually divided into six main communities - Pakpak Dairi,
Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a

3
broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus clans) and related
languages, but important social, religious and linguistic differences also divide
them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak Dairi groups in
the north and west and the Toba/Mandailing/Angkola-Sipirok groups in the
south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast”
(Goldsworthy 1979:6). Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak,
Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam
sembilan populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa
disebut dengan suku-suku. Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi
pada lima komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok,
Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai
organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang
eksogamus. Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda.
Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi
di utara dan barat--dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok
di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini. Daerah Sumatera
Timur awalnya dihuni oleh tiga etnik setempat, yaitu: Melayu, Karo, dan
Simalungun. Sumatera sendiri dihuni oleh beberapa kelompok etnik setempat,
yaitu: Aceh, Alas dan Gayo, Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung,
Kubu, Nias, Mentawai, dan Enggano.
Pada masa pemerintahan Belanda, Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra)
terbentang dari perbatasan Aceh sampai kerajaan Siak mempunyai batas-batas
geografis sebagai berikut: (1) sebelah utara dan barat berbatasan dengan wilayah
Aceh; (2) sebelah timur berbatasan dengan Selat Melaka; (3) sebelah selatan dan
tenggara berbatasan dengan daerah Riau; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan
daerah Tapanuli (Volker 1928) Luasnya 94.583 km² atau sekitar 20 % dari luas pulau
Sumatera (Pelzer 1985). Di antara daerah Aceh di utara serta Riau di selatan dan
tenggara inilah terletak kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur.
Selama 63 tahun Indonesia merdeka, Sumatera Utara dipimpin oleh beberapa
gubernur yang sebagian besar adalah etnik setempat, terutama Mandailing-Angkola.
Gubernur Sumatera Utara ini, perilaku dan kebijakannya sedikit banyaknya
dilatarbelakangi oleh faktor kebudayaan etnik darimana ia berasal. Nilai-nilai
kepemimpinan ini sebenanya sangat potensial untuk dikembangkan dalam
memerintah atau mengelola penduduk Sumatera Utara yag heterogen, dengan
didasari oleh ajaran-ajaran agama samawi yang dianutnya..

Batak Toba
Berbicara tentang kepemimpinan dalam kebudayaan Batak Toba, maka hal
penting yang menopangnya adalah konsep dalihan na tolu (DNT). Konsep ini
berasas kepada hubungan darah dan perkawinan, yang membagi kelompok
kekerabatan dalam tiga kategori, yaitu: (a) hula-hula, pihak pemberi isteri, (b) anak
boru, pihak penerima isteri, dan (c) dongan sabutuha, rekan satu keturunan atau satu
marga yang ditarik berdasarkan garis patrilineal. Hubungan ketiga kelompok kerabat
ini dilukiskan dalam konsep adat: (1) molo naeng ho sangap, manat mardongan
tubu, artinya jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat
dalam bergaul dengan dongan sabutuha (teman semarga); (2) molo naeng ho
gabe, somba ma ho marhula-hula, artinya jika ingin keturunan banyak hormatilah

4
hula-hula; (3) molo naeng namora, elek ma ho marboru, artinya kalau ingin kaya,
baik-baiklah kepada boru.
Dari tiga golongan kerabat ini, maka tak heran seorang Batak Toba kadang
menjadi hula-hula dan dihormati, kadang dalam konteks kerabat lain ia menjadi anak
boru yang melakukan horja untuk suksesnya sebuah acara adat. Tentu saja iapun
mempunyai marga dalam klen tertentu. Dengan demikian kedudukan kelompok
kekerabatan sedemikian sebenarnya menjaga harmonisasi struktur sosial. Klen
eksogamus dibentuk marga-marga induk atau cabangnya. Bila diperhatikan lebih
dalam khususnya terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba merupakan satu
hal yang sangat rumit, karena erat sekali hubungannya dengan mite dan sejarah
penyebaran masyarakat Batak Toba. Pada umumnya setiap idividu dalam
masyarakat Batak Toba mempercayai dirinya sebagai keturunan Si Raja Batak,
yang kalau diurutkan juga sebagai keturunan dari Debata Mula Jadi Na Bolon,
yaitu dewa yang mempunyai kekuasaan paling tinggi dalam sistem religi Batak
Toba Lama.
Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah
kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak Toba. Masyarakat Batak
Toba mengenal beberapa kesatuan tempat sosioekonomis dan sosial, yaitu: (1)
kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di
tengah-tengahnya, (2) huta, "republik" kecil yang diperintah seorang raja, (3) onan,
daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4) homban (mata air), (5) huta
parserahan, kampung induk, dan lain-lainnya. Dalam sistem kepemimpinan
derapkan juga nilai-nilai demokrasi.
Religi selain agama Kristen dan Islam, yang dianut oleh sebagian masyarakat
Batak Toba adalah Parmalim. Religi ini sering pula disebut agama Si Raja Batak,
karena religi ini diyakini oleh sebagian besar orang Batak Toba, dianut oleh Raja Si
Singamangaraja XII. Menurut Batara Sangti didirikannya religi-religi tersebut
adalah sengaja diperintahkan oleh Si Singamangaraja XII, sebagai gerakan
keagamaan dan politik, yaitu Parmalim; dan sebagai gerakan berani mati, yaitu
Parhudamdam (Sangti 1977:79). Setelah perang Lumban Gorat Balige pada tahun
1883, seorang kepercayaan Raja Si Singamangaraja XII yang bernama Guru
Somalaing Pardede, ditugaskan memperkuat pertahanan di wilayah Habinsaran,
terutama untuk membendung pengaruh agama Kristen dan dengan membentuk suatu
sekte agama baru yang disebut Parmalim, yang ajarannya diadopsi dari Islam dan
dipadukan dengan religi Batak Toba. Unsur-unsur agama tersebut dapat dilihat dari
kegiatan-kegiatan para penganutnya seperti di Barus Hulu, Humbang Barat,
Tanggabatu (Tampahan), Sigaol (Uluan), Simalungun, dan Serdang Hulu, dan
Dairi. Di Tanah Karo dinamakan Silimin.
Salah satu ciri masyarakat Batak Toba di samping mempunyai nama diri selalu
mengikutsertakan marga, sistem garis keturunan yang diambil dari bapak atau bersifat
patrilineal. Orang-orang yang mempunyai satu marga dianggap keturunan satu
kakek. Keturunan dari sesuatu leluhur menurut garis bapak selagi masih kompak,
berdiam di suatu tempat membentuk suatu ikatan bernama marga. Mereka saling
mengenal dan erat bergaul, yang satu memperlakukan yang lain sebagai saudara
kandung.
Dalam konteks politik tradisional, dahulu masyarakat Toba mengenal tiga
kelompok, yaitu: (1) raja-raja, yaitu para tuan tanah, bangsawan, merekalah yang

5
menjadi kepala huta, yang mempunyai hak-hak sebagai pembesar atau pengagung; (2)
tipe orang-orang bebas, yaitu mereka yang bersemenda dengan raja, mereka diijinkan
mendirikan satu huta, dan kemudian menjadi raja baru; (3) orang kebanyakan, dan (4)
para hatoban atau hamba sahaya, yang menjadi milik mutlak raja, termasuk mereka
yang menjadi tawanan perang.
Di pusat kawasan budaya Toba, di beberapa negeri (bius), tipe orang-orang
bebas bisa menjadi raja di negeri yang bersangkutan. Sementara hamba sahaya
(hatoban) dalam budaya Toba tak ditemui mereka yang semarga dengan rajanya.
Jika ia kembali ke masyarakat marganya ia kembali menjadi bagian dari marga raja
yang ditinggalkannya (Batara Sangti 1977:56).

Jawa
Masyarakat Jawa, struktur sosialnya terdiri dari tripartit kelompok, yaitu:
priyayi (golongan bangsawan), santri (kalangan ulama Islam), dan abangan (rakyat
biasa). Namun seorang Jawa abangan bisa saja berpindah status mejadi santri atau
bahkan bangsawan. Jadi pengelompokan ketiga struktur sosial maysrakat Jawa itu
sifatnya dinamik tak statis. Kelompok ini mempunyai hubungan pula dengan sistem
kepemimpinan.
Dalam kebudayaan Jawa, orientasi kepemimpinan bentuknya adalah lingkaran
konsentris dengan pusatnya adalah raja dan keraton. Dalam konteks ini, pada
kebudayaan Jawa sistem kepemimpinan ini dikonsepkan dalam empat domain utama.
Yang pertama adalah Negara Agung, yaitu daerah keraton dan sekelilingnya. Kedua,
daerah Mancanegara (Mancanegara Wetan/Timur dan Mancanegara Kilen/Barat).
Ketiga adalah daerah Pasisiran. Terakhir, keempat adalah daerah Sabrang.
Pembagian di atas sebenarnya adalah lebih tepat disebut sebagai susunan
geografis, yang tidak menunjuk kepada batas wilayah, namun lebih memfokuskan
perhatian kepada persepsi bahwa yang terpenting adalah pusat kekuasaan politik atau
kepemimpinan. Konsep kebudayaan Jawa ini melihat bahwa raja yang bertakhta di
keraton merefleksikan kekuasaannya yang disebut cahaya ke seluruh penjuru negara.
Dalam konsep kebudayaan seperti ini, mereka yang jauh dari kedudukan raja maka
akan memperoleh sedikit saja “cahaya” (dalam arti kekuasaan) raja itu. Dalam
dimensi sosial, mereka yang memiliki status sosial rendah sekali, maka akan sedikit
saja merasakan pengaruh pusat (raja).
Dalam kebudayaan Jawa, sistem kepemimpinan dapat dikaji melalui
pertunjukan wayang dengan berbagai jenisnya, ada wayang kulit, wayang beber,
wayang wong, wayang klitik, dan seterusnya. Pada setiap pertunjukan wayang
biasanya dimulai dengan cerita tentang kerajaan besar dan rajanya dengan kekusaan
besar pula. Selain itu orientasi sistem kepemimpinan politis ini dapat juga dilihat dari
genre-genre seni pertunjukan Jawa lainnya seperti: ketoprak (di Sumatera Utara
disebut ketoprak dor), reyog, dan ludruk. Kesenian tradisional Jawa hingga hari ini
masih menjadi bagian penting dalam konteks kebudayaan Jawa, baik itu di Jawa
Tengah dan Timur, maupun diasporanya seperti di Sumatera Selatan, Kalimantan,
Sumatera Utara, Suriname, dan tempat-tempat lainnya.
Orientasi kepemimpinan politik kepada raja dan menjadi satu kesatuan dengan
negara dan bumi, dapat pula dilihat dengan gelar-gelar yang diberikan kepada raja di
Jawa. Gelar Paku Buwono, yang arti harfiahnya adalah memaku bumi (universe)--
Hamengku Buwono, yang arti harfiahnya memangku bumi, memiliki arti kultural

6
bahwa kalau paku bumi itu dicabut maka kiamatlah dunia ini dan seluruh peradaban.
Atau kalau raja itu tidak lagi memangku bumi akan kacaulah dunia ini. Konsep
hancurnya negara apabila terjadi kekacauan di suatu negara, dan raja tak memiliki
kekuasaan lagi, dapat dilihat dalam Babad Tanah Jawi, yang menggambarkan
jatuhnya kerajaan Majapahit, yang digambarkan dalam parafrase sirna ilang kertaning
bumi, hilangnya semua kejayaan di dunia ini.
Dalam negara tradisional di Jawa, struktur kekuasaan sangat jauh dari alat-alat
kekuasaan yang sangat lemah. Keraton-keraton baru muncul bergantian setiap seratus
sampai seratus lima puluh tahun sekali, atau lebih singkat dari usia itu. Dengan
demikian, menurut Onghokam (1985) negara tradisional Jawa ini sangat bergantung
dengan kekerasan, dan elit tradisional ini menjadi elit penakluk, yang salah satunya
terungkap dalam istilah “senopati.” Negara tradisional ini tak sempat
mengembangkan struktur birokratis yang ketat. Jadi negara berorientasi kepada
stabilitas yang dibangun berdasarkan kekuatan (angkatan perang). Ciri lain negara
tradisional Jawa ini, dilengkapi dengan satu ideologi, yang merupakan satu kebulatan
konsep kenegaraan, namun struktur konkretnya lemah. Ideologi negara biasanya
bersifat teokratis, dan merangkumi semua agama dan kepercayan. Misalnya Negara
Mataram abad ke-16 menyatukan unsur-unsur animisme, Hindu, Buddha, dan Islam
sekali gus. Pada kurun ini, negara tradisional Asia Tenggara merupakan satu refleksi
dari susunan makrokosmos. Ciri lain dari negara tradisional Jawa ini adalah bersifat
sinkretik, artinya terjadi kecenderungan orang-orang Jawa untuk menyatukan dan
menyamaratakan berbagai unsur yang berbeda, bahkan yang betentangan sekalipun.
Dalam konteks negara bangsa Indonesia merdeka, Sukarno menerapkan ide
sinkretisme ini dalam nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Yang dalam
realitasnya antara agama plus nasionalis berseberangan ideologi dan terapannya
dengan komunis. Akhirnya pupuslah gagasan Sukarno itu, dan kemudian muncullah
pemerintahan berikutnya yang menumpas habis komunisme.
Pada masa Mataram Islam, aspek yang dominan adalah tumbuh dan
berkembangnya aliran sufi (A.H. John 1975). Islam sufi berkisar pada persoalan-
persoalan mengenai sang pencipta dan ciptannya, serta posisi manusia dalam semesta
ini. Aliran sufi Islam ini lebih berhasil mempolarisasikan kepercayaan-kepercayaan
masyarakat pada masa itu—dibandingkan dengan Islam yang lebih menitikberatkan
pada syariat. Salah satu dari sembilan sunan di Jawa, yang paling menonjol memakai
pendekatan sufistik adalah Sunan Bonang. Menurutnya Allah direfleksikan dari sifat
manusia, yang dikonsepkan dalam manunggalnya antara manusia dengan Allah,
manunggaling kawula lan gusti, yag sampai sekarang ini menjadi asas sufi di Jawa.
Melihat dalam konteks dunia Islam, tampak bahwa konsep wahdatul wujud atau
wujudiyah, yang terpusat pada ajaran tentang alam dan manusia melalui penampakan
diri Tuhan dalam tujuh martabat, yaitu: ahadiyyah, wahdah, wahidiyyah, alam misal,
alam arwah, alam ajsam, dan insan kamil. Teori ide dasarnya berasal dari ajaran
Ibnu Arabi, yang untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Ibnu Fadlullah al-
Burhanpuri. Terdapat hubungan erat antara konsep-konsep agama Islam dan politik
di Jawa. Hubungan antara raja dan para kawula (bawahan)nya juga disebut sebagai
hubungan kawula lan gusti.
Dalam kebudayaa Jawa, kepemimpinan ini juga dikonsepkan dalam
reinkarnatif monarki dan ilham, raja atau sekitaran kerajaan bisa saja tak stabil, yang
memungkinkan untuk terjadinya usurpasi, pemberontakan, pengkhianatan, dan lain-

7
lain. Konsep manunggaling kawula lan gusti, di satu sisi meminta ketaatan
keseluruhan rakyat kepada rajanya dan pemujaan terhadap raja. Namun di sisi lain,
bisa terjadi kegoncangan politik. Stabilitas dan kegoncangan politik adalah dua
kejadian yang menjadi satu kesatuan. Ideologi dalam sistem kepemimpinan Jawa
membenarkan adanya kegoncangan-kegoncangan ini (lihat Onghokam 1978).

Mandailing-Angkola
Masyarakat Mandailing-Angkola, secara tradisional membagi kelompok
kekerabatannya ke dalam tiga golongan, berdasarkan hubungan darah dan
perkawinan, yaitu dalam sistem yang disebut dalian na tolu (DNT). Ketiga kelompok
itu adalah: mora yaitu pihak pemberi isteri, kahanggi yaitu kelompok satu marga atau
keturunan, dan anak boru, yaitu pihak penerima isteri. Ada yang khusus sistem
kekerabatan masyarakat Mandailing-Angkola ini. Ketiga kelompok kekerabatan
tersebut, diperluas lagi, dengan tambahan mora ni mora dan pisang raut (kijang
jorat). Mora ni mora adalah kelompok mora daripada mora atau moranya mora.
Sementara itu kelompok pisang raut (kijang jorat) adalah anak borunya anak boru.
Satu lagi kelompok kekeraatan yang khas Mandailing adalah kahanggi pareban, yaitu
kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga yang berlainan marga, tetapi
sama-sama merupakan anak boru dari satu keluarga dalam marga tertentu. Hubungan
kekerabatan ini, menurut Z. Pangaduan Lubis dalam salah satu karya monumentalnya
dalam bentuk skripsi Jurusan Antropologi USU, yang bertajuk Namora Na Toras:
Pemimpin Tradisional Mandailing (1987) berdasar kepada filsafat hidup orang
Mandailing, yaitu na sahancit na hasonangan (sama-sama skit dan sama-sama
senang), sasiluluton sasiriaon (sama-sama berduka dan sama-sama gembira), mate
mangolu sapartahian (hidup dan mati mengikuti musyawarah mufakat), satumtum
sapartahian (seia sekata menyatu dalam musyawarah dan mufakat).
Kemudian aspek ciri khas masyarakat tradisional Mandailing-Angkola adalah
sistem sosioekonomi yang berdasar kepada pertanian. Kesatuan teritorialnya disebut
huta. Sekelompok orang Mandailing-Angkola yang membuka teritorial baru
(mamungka huta), masing-masing akan mendapat bagian lahan. Mereka
melaksanakan pekerjaan yang terutama dalam taraf huta dengan cara bergotong-
royong (marsialap ari). Biasanya seorang raja (pemimpin huta) memiliki lahan
pertanian yang relatif lebih luas (saba bolak) dibanding orag yang dipimpinnya. Jika
musik paceklik tiba seorang raja akan memberikan pinjaman padi (inganan marsali)
kepada penduduk.
Sistem nilai kebudayaan terhadap alam juga ditambah dengan konsep banua,
yaitu satu kesatuan wilayah yang utuh dengan batas-batas tertentu yang jelas.
Sejumlah tertentu penduduk berupa marga-marga yang hidup bersama sebagai
sebuah komunitas, mendiami wilayah itu di bawah pemerintahan otonomi dan
demokratis, yang dikepalai oleh seorang raja. Kesatuan banua ini dikonsepkan
dengan ganopganop banua martano rura, yang maksudnya setiap banua mempunyai
tanah dan sumber airnya sendiri.
Sebelum sampai dalam bentuknya satu banua, terlebih dahulu, pemukiman
yang masih kecil ukurannya disebut dengan banjar, kemudian berkembang lebih luas
baik wilayah atau juga penduduknya disebut dengan pagaran, kemudian menjadi
lumban, dan akhirnya menjadi huta. Dalam bentuk banjar, pagaran, dan lumban
mereka mengangkat pemimpin yang disebut raja ihutan, yang fungsi sosiopolitisnya

8
hanya sebagai ikutan saja, bukan kepala pemerintahan demokratis. Baru setelah
dalam bentuk huta dengan masalah sosial yang tentunya lebih kompleks barulah
diangkat seorang raja, yang kemudian dilengkapi dengan sistem kepemimpinan
namora na toras, dengan sistem musyawarah mufakat, dan disaksikan oleh
pemimpin banua dan huta tetangga, sekali gus diresmikan wilayah kekuasaan berupa
tano rura (tanah dan sumber air). Bila sebuah huta belum memiliki “cabang baru”
kepala pemerintahan ini disebut raja pamusuk. Namun, jika banua atau huta
memiliki “anak” atau “cabang”nya maka pemimpinnya disebut raja panusunan
bulung. Pada masa lampau, beberapa huta melakukan penyatuan adat (bukan politik),
dalam bentuk persekutuan wilayah yang disebut janjian.
Sistem kepemimpinan masyarakat Mandailing-Angkola, berdasar kepada
stratifikasi sosial yang diwarisi secara turun temurun. Pada dasarnya masyarakat
Mandailing dibangi ke dalam tiga strata sosial: (a) namora-mora yaitu strata
bangsawan, (b) si tuan na jaji si tuan na torop, yaitu lapisan orang kebanyakan, dan
(c) hatoban atau partangga bulu yaitu strata hamba sahaya. Antara strata pertama dan
kedua di beberapa kawasan di Mandailing terdapat strata perantara yang disebut
natoras-toras. Kelompok ini adalah para tokoh masyarakat yang tidak berstatus
bangsawan, namun tidak pula sebagai kelompok rakyat biasa. Status sosialnya berada
di tengah antara bangsawan dan rakyat jelata. Di lain pihak, menurut Keuning dalam
sebuah artikelnya yang berjudul “Batak Toba dan Batak Mandailing” (1979),
kelompok namora-mora merupakan kelompok tersendiri dalam marganya, yang
secara patriachart berasal dari pendiri pertama sebuah huta (desa) tempat kediaman
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa status sosial kebangsawanan dalam masyarakat
Mandailing di masa lalu pada awalnya bukan dibawa lahir, tetapi tercipta dari
pnghormatan yang tinggi dari peran sosial pendiri pertama sebuah huta, yang
diwariskan kepada keturunannya. Status kebangsawanan dalam kebudayaan
Mandailing dapat dilihat dari gelar yang digunakannya (umumnya kelompok lelaki),
seperti: Sutan, Baginda, Mangaraja, dan Soripada.

Melayu
Di Pesisir Timur Sumatera Utara, yang pada masa kesultanan lazim disebut
Sumatera Timur, etnik Melayu mendiami wilayah yang meliputi kawasan:
Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, dan Labuhan Batu.
Pada masa-masa pemerintahan sistem kesultanan, etnik Melayu di Sumatera Timur
ini berada dalam tiga kesultanan besar, yaitu: Langkat, Deli, dan Serdang, dan
ditambah sultan-sultan yang secara geografis dan politis lebih kecil, yaitu: Asahan,
Bilah, Kotapinang, Merbau, dan Kualuh.
Dalam kebudayaan Melayu konsep kepemimpinan ini mencakup hubungan
antara masyarakat awam dengan kelompok bangsawan. Adapun yang memerintah
rakyat, yaitu sultan dan para jajarannya, adalah berasal dari golongan bangsawan dan
rakyat biasa. Sultan adalah wakil atau bayang-bayang Allah di muka bumi
(khalifatullah fil ardh). Turai (susunan sosial) masyarakat Melayu, diisi oleh semua
unsur masyarakat, dari strata masyarakat kebanyakan sampai golongan bangsawan,
yang dikonsepkan sebagai satu kesatuan. Di antara golongan bangsawan dalam
kebudayaan Melayu adalah: Tengku, Wan, Raja, Orang Kaya, Datuk, dan seterusnya.
Di Malaysia, dalam konteks multirasial, gelar-gelar seperti: Datuk (Dato’), Datuk
dan Seri, Datuk Wira, dan sejenisnya dapat diberikan kepada ras lain, yaitu China,

9
India, dan Dayak. Sementara di kawasan Melayu di Indonesia, termasuk Sumatera
Utara, gelar kehormatan seperti datuk dan biasanya diteruskan dengan kata-kata gelar
lainnya, biasanya diberikan kepada mereka yang memiliki kapasistas tertentu, dan
berdasar kepada identitasnya Islam.
Dalam kebudayaan Melayu, aspek kepemimpinan ini telah dimasukkan dalam
konsep adat. Dalam kebudayaan Melayu dikenal tetrapartit adat, yaitu: (a) adat yang
sebenar adat, yaitu hukum alam yang berasal dari Allah, misalnya adat matahari terbit
dari timur, adat air membasahi, adat api membakar; (b) adat yang teradat yaitu
kebiasaan-kebiasaan yang lama-lama dijadikan bahagian dari adat Melayu, misalnya
zaman abad awal sampai pertengahan orang Melayu pakaian adatnya menggunakan
destar (“ikat kepala”), namun setelah itu orang Melayu memakai kopiah atau peci.
Akhirnya peci ini menjadi bagian adat busana Melayu, (c) adat istiadat, yaitu kegiatan
berupa upacara-upacara seperti perkawinan (walimatul urs), melepas lancang,
melenggang perut, turun tanah, dan lain-lain; (d) adat yang diadatkan, yaitu sistem
kepemimpinan dalam kebudayaan Melayu. Keseluruhan adat ini dipandu dan berasas
kepada ajaran Islam, yang dikonsepkan dalam adat beresndikan syarak, dan syarak
bersendikan kitabullah. Dalam kata yang lebih general, adat dalam kebudayaan
Melayu berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam.
Sistem kepemimpinan ini, sejak abad ke-13 didasari oleh ajaran-ajaran Islam,
yang juga meneruskan peradaban Melayu sebelum Islam, yang kemudian diberi nilai-
nilai Islam. Konsep kepemimpinan dalam kebudayaan Melayu ini, terwujud dalam
berbagai ide budaya seperti, sultan atau raja adalah wakil Allah di atas dunia. Sultan
atau raja juga bertindak sebagai pemimpin agama tertinggi, selain sebagai umara ia
juga bertindak sebagai ulama.
Sistem kepemimpinan tradisional Melayu biasanya selalu merujuk kepada
zuriat orang Melayu sebagai keturunan dari Iskandar Zulkarnain (Alexander de
Groote, Alexander The Great), yang keturunannya kemudian pergi ke Bukit
Siguntang Mahameru, dan menurunkan raja-raja Melayu. Lihat saja misalnya dalam
Hikayat Deli, dikatakan bahwa mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain.
Muhammad Dalek, putera Bahashid Sjaich Matijoeddin, adalah keturunan Raja
Iskandar, yang mengabdikan diri kepada Kesultanan Aceh, yang dikawinkan kepada
puteri Tengku Kejuruan Hitam, Raja Percut di Sumatera Timur. Demikian juga
dengan silsilah raja-raja Melayu di kawasan lain seperti di Pagarruyung
Minangkabau, Pasai, Negeri Kedah, Jambi, Siak Sri Inderapura, dan lain-lainnya.
Sebelum datangnya penjajahan Barat ke Dunia Melayu, raja, sultan, atau yang
dipertuan negeri menjadi dasar dalam sistem kepemimpinan Melayu. Dalam
pandangan masyarakat awam, mereka aalah tokoh yang paling berkuasa di negeri
mereka. Di era Hindu dan Buddha pemimpin ini disebut dengan Dewaraja. Setelah
era Islam hingga ke hari ini, mereka disebut Khalifah Allah atau Bayangan Allah.
Mereka dan keturunannya dihormati rakyat, dan bila mendurhakai pemimpin
dipercayai akan ditimpa tulah oleh Allah. Di sisi lain nilai-nilai demokratis juga
ditumbuhkan di dalam sistem kepemimpinan masyarakat Melayu. Pemimpin yang
bersalah layak diberikan amaran, dan wajib memperbaiki kesalahannya. Hal ini
tergambar dengan jelas dalam adagium: raja adil raja disembah, raja lalim raja
disanggah. Dalam konteks sejarah Melayu, jika pemimpin tak mau mendengarkan
kata dan suara rakyat maka ia akan ditinggalkan rakyatnya yang pergi ke negeri lain.

10
Kedaulatan (daulah al-islamiyah) yang diperoleh kesultanan Melayu tidak
hadir begitu saja. Ia hadir melalui jalinan upacara dan pendaulatan. Seorang calon
sultan, seperti Raja Muda, Yang Dipertuan Muda, atau Tengku Mahkota, diumumkan
sebagai pengganti sultan yang mangkat, di depan jenazah sultan yang meninggal ini.
Kemudian sultan yang mangkat dimakamkan dan ditabalkanlah sultan yang baru,
dengan pesta yang sifatnya kolosal, bisa mencapai waktu 40 hari 40malam, diiringi
dengan ensambel nobat dan berbagai pertunjukan, yang bermuara kepada
kegemilangan yang akan disongsong oleh sultan yang baru. Dalam menjalankan
kekuasaannya sultan didukung oleh perangkat kesultanan seperti: bendahara,
temenggung, dan laksamana. Sultan-sultan Melayu juga dalam rangka memperkuat
kedudukan politisnya selalu menyertakan susur galur keturunan, ditambah dengan
mitos dan legenda tentangnya dan kerajaannya.
Dalam Sejarah Melayu, kedudukan raja adalah sebagai mitra dengan rakyat
dalam konteks daulat. Kedudukan sebagai mitra ini dapat dilihat dari kisah Sang
Sapurba (sebagai raja) dan Demang Lebar Daun (mewakili rakyat). Raja Sang
Sapurba telah beristeri 39, dan kesemuanya akan menjadi kidal setelah berhubungan
suami isteri dengan raja, yang melambangkan raja tak setaraf dengan isterinya.
Namun ketika Sang Sapurba meminang anak Demang Lebar Daun yang bernama
Wan Sendari, Demang lebar Daun mengajukan syarat bahwa segala anak-cucu
Demang lebar Daun akan menjadi rakyat yang setia kepada Sang Sapurba, dan
terapkanlah hukum syarak jika ada kesalahan. Kemudian Sang Sapurba menuruti
syarat itu, dengan mengingatkan agar keturunan Demang Lebar Daun tidak akan
mendurhaka kepada keturunan Sang Sapurba. Kemudian Demang Lebar Daun pun
melakukan negosiasi, bahwa jika keturunan Sang Sapurba melanggar kesepakatan ini
maka keturunan Demang Lebar Daun akan meninggalkannya pula. Keduanya
bersumpah tidak mengingkari perjanjian ini. Kemudian Wan Sendari dipersunting
oleh Raja Sang Sapurba, dan ia tidak menjadi kidal. Dari kisah dalam Sejarah
Melayu ini, dapat diambil kesimpulan bahwa rakyat yang diperintah juga memiliki
haknya, sementara raja harus mengambil kira, tidak sewenang-wenang terhadap
rakyat yang diperintahnya. Jika terjadi benturan sosial antara pihak raja dan rakyat,
pemutus keadilan adalah hukum Islam (syarak). Dengan demikian tertanam sudah
nilai-nilai demokratis dalam sistem kesultanan Melayu. Sampai akhirnya datang
nilai-nilai demokratis dalam dimensi lain, yang berasal dari budaya Barat. Kemudian
masyarakat Melayu mengadunnya berdasarkan kepentingan orang Melayu sendiri
yang dijiwai oleh nilai-nilai universal Islam.

Nilai-nilai Universal Kepemimpinan dari Kebudayaan Etnik


Dari uraia-uraian di atas ergambar dengan jelas bahwa dalam kebudayaan
etnik: Batak Toba, Jawa, Mandailing-Angkola, dan Melayu terdapat nilai-nilai
universal kemanusiaan dalam konteks kepemimpinan tradisional. Dalam kebudayaan
Batak Toba dan Mandailing-Angkola pola kepemimpinan ini berasas pada struktur
sosial dali(h)an na tolu (DNT) yang berasas pada hubungan darah dan perkawinan.
Konsep DNT ini, dalam konteks kepemimpinan di Sumatera Utara, mungkin boleh
diluaskan maknanya. Misalnya kelompok satu marga atau keturunan yang disebut
dongan sabutuha atau kahanggi, dapat diluaskan maknanya sesama kita yang
berbeda-beda suku dan agama ini sebenarnya adalah satu keturunan juga yaitu
keturunan Nabi Adam dan Siti Hawa (Eva). Pemeluk agama Islam dan Kristen juga

11
merujuk pada asal-usul keturunan yang sama yaitu Nabi Ibrahim Alaihissalam.
Dengan demikian nilai-nilai persaudaraan yang universal ini dapat menjadi pengikat
rasa kebersamaan dan persatuan yang akhinya dapat menjadi daya dorong penggerak
pembangunan Sumatera Utara. Dalam budaya Mandailing sendiri, pihak penerima
isteri yang disebut boru dan pihak pemberi isteri atau mora, strukturnya diluaskan
menjadi pisang raut dan mora ni mora. Struktur ini mungkin dapat diperluas lagi,
bahwa setiap warga Sumatera Utara adalah juga sebagai kerabat atau keluarga besar
kita. Dengan demikian akan terjadi harmonisasi sosial dan menjadi modal dasar
dalam mengisi kehidupan sosial di Sumatera Utara, karena merasa sebagai satu
kesatuan sosial.
Begitu juga dalam budaya Jawa, terdapat konsep sederek atau sedulur
(saudara). Bahwa masyarakat Jawa di Sumatera Utara awalnya memang pendatang,
tetapi harmonisasi dan adaptasi adalah suatu kewajiban untuk dilakukan, hingga
akhirnya terbentuk organisasi sosial Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma).
Konsep sederek ini memiliki makna dari kesatuan saudara terkecil keluargi sampai
menjadi sederek tonggo, sederek tunggal kringkel, sederek tunggal kapal, sederek
tunggal ndeso, sampai ke sederek Sumatera Utara.
Dalam kebudayaan Melayu pula, aspek universal dalam memandang manusia
ini, sudah wujud sejak orang Melayu ada. Bahwa seperti diketahui yang dikatakan
etnik Melayu (termasuk di Semenanjung Malaysia, Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Bangka Belitung, Kalimantan, dan lainnya) merupakan hasil percampuran berbaga
suku di Nusantara yang mengamalkan kebudayaan Melayu dan berasaskan Islam
(lihat Tengku Luckman 1996 dan Lah Husni 1986). Etnik Melayu merupakan
campuran dari keturunan orang Semananjung, Siak, Sumatera Selatan, Jambi,
Minangkabau (seperti di Negeri Sembilan), Jawa (seperti di Johor dan Melaka), dan
lain-lainnya. Selain itu, sesuai dengan ajaran agama Islam, bahwa orang Melayu
wajib menjadi rahmatan lil’alamin, menjadi rahmat ke seluruh alam. Artinya orang
Melayu harus mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan etnisitasnya Melayu, agama
Islam, dan semua makhluk termasuk yang tidak beragama Islam. Inilah nili-nilai
universal yang apat diterapkan untuk persatuan dan kesatuan dalam konteks Sumatera
Utara, Indonesia, Dunia Melayu, dan bumi ini. Kebudayaan Melayu juga memiliki
aspek-aspek pemersatu di Nusantara, misalnya bahasa Melayu sejak awal menjadi
bahasa pengantar di Nusantara ini, yang dapat menghubungkan berbagai kebudayaan
etnik yang berbeda, yang dikonsepkan dalam lingua franca (bahasa pengantar). Ke
depan mungkin pula kebudayaan Melayu secara umum menjadi kebudayaan
pengantar (kultura franca) di Nusantara ini. Karena bagaimanapun sejumlah besar
etnik yang berbeda itu, sebenarnya adalah rumpun Melayu, yang memiliki asas
terdalam psikokultur yang sama pula.
Konsep-konsep universal kebudayaan etnik ini sedang dan terus dilakukan
oleh para pemimpin di Sumatera Utara. Kita lihat ada pencairan (“kreolisasi”)
etnisitas di kalangan cagubsu dan cawagubu kali ini. Ada calon dari etnik Jawa
mengadopsi marga dari kebudayaan Toba. Ada pula calon yang bermarga
Mandailing, tetapi perilaku budaya dan tindak tanduknya didasari juga oleh
kebudayaan Melayu, karena ia dibesarkan di lingkungan budaya Melayu. Terjadi
proses bietnisitas atau multietnisitas dalam diri dan keluarganya. Yang menarik ada
pula calon dari kalangan etnik Melayu, tetapi ia juga diberi ruang untuk menjadi
warga kehormatan dari berbagai etnik: Karo, Dairi, Tamil, dan lainnya. Bahkan ia

12
menyatakan identitas diri dan sikapnya, dengan motto: putera Melayu sahabat semua
suku.
Nilai uiversal lainnya adalah sistem politik yang terdapat dalam kebudayaan
etnik. Bahwa masyarakat Batak Toba dan Mandailing-Angkola memiliki sistem raja
yang juga sudah ada nilai demokrasi di dalamnya. Sistem ini masih relevan
diterapkan di era demokrasi sekarang ini. Bahwa raja adalah pemimpin sebuah huta
dengan wilayah teritorial sedemikian rupa dan harus memiliki sifat dermawan untuk
kepentingan masyarakat yang diperintahnya. Ia harus dapat membagikan atau
meminjamkan padi saat musim paceklik, ia juga menjadi pemimpin yang mampu
mengarahkan ke arah kesejahteraan rakyatnya. Sistem kewilayahan tradisional Batak
Toba seperti homban dan bius, serta Mandaling-Angkola, terdiri dari: banjar,
pagaran, banua, huta—kiranya sangat relevan diterapkan hingga ke hari ini dalam
konteks kenegaraan Rpublik Indonesia, seperti: RT, RW, Kelurahan/Desa,
Kecamatan, Provinsi, dan Republik Indonesia. Nilai-nilai dan semangatnya adalah
sama.
Dalam kebudayaan Jawa, sistem politik adalah sangat bersuasana keraton
sentris, namun nilai-nilai kekuasaan dibagi juga kepada orang sekitar raja, dan rakyat
juga punya peran dalam politik. Aspek integrasi kebudayaan yang terdapat dalam
budaya Jawa, juga boleh diterapkan dalam konteks Sumatera Utara yang heterogen.
Bahwa budaya Jawa sebenarnya adalah mengutamakan harmonisasi sosial, dan tidak
berasas keadaan konflik. Seperti sudah dikaji sebelumnya konsep manunggaling
kawula lan gusti, di satu sisi meminta ketaatan keseluruhan rakyat kepada emimpin
dan pemujaan terhadap raja. Sebaliknya bisa terjadi kegoncangan politik. Stabilitas
dan kegoncangan politik adalah dua kejadian yang menjadi satu kesatuan dalam
konsep politik di Jawa. Apa yang berlaku dalam sistem politik di Indonesia sekarang
ini, sedikit-banyaknya juga diadopsi dari Jawa. Sistem unitarianisme adalah bukti
dari ide keraton sentris, meskipun kita juga pernah mencoba menjadi negara yang
berasas federalisme, namun yang lama diterapkan adalah sistem unitarianisme. Kini
kita agak sedikit mengarah ke federalisme, yang dituangkan dalam konsep otonomi
daerah.
Dalam kebudayaan Melayu sendiri nilai-nilai demokratis sudah terwujud sejak
menggunakan sistem kesultanan. Raja dan rakyat adalah dua sisi yang saling
memerlukan dan punyai kewenangan masing-masing. Ada hak rakyat mengkritisi
raja jika dipandang menyalhi syarak. Demikian juga raja memiliki kedaulatan sebagai
bayang-bayang Allah di muka bumi. Adanya hak dan wewenang raja dan rakyat yang
diperintahnya ini, terlukis dalam Hikayat Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun.
Nilai-nilai universal Islam juga menjadi karakteristik utama dalam sistem politik
Melayu. Dalam sejarah kebudayaan Melayu, kesultanan Melayu ada yang kekuasaan
politisnya besar, seperti: Melaka, Pagarruyung, Kedah, Johor, Siak Sri Inderapura,
namun ada juga yang kekuasaan politisnya relatif kecil, seperti: Kota Pinang, Kualuh,
Merbau, Batubara, dan lainnya. Sultan atau Raja tidak sendiri dalam mengatur
(mentadbir) rakyatnya ia dibantu oleh perangkat kerajaannya seperti: laksmana,
menteri, wajir, orang besar, dan lain-lainnya. Dengan demikian raja Melayu juga
menggunakan sistem delegasi wewenang kepada orang yang dipercayainya.

13
Penutup
Nilai-nilai kebudayaan etnik yang ada di Sumatera Utara dapat menjadi asas
bagi calon pemimpin Sumatera Utara, dalam memerintah kawasan ini. Nilai-nilai
kebudayaan ini ada yang dapat digunakan bahkan menjadi ruh dalam menjalankan
roda pemerintahan yang “demokratis.” Nilai-nilai demokrasi telah ada dalam sistem
pemerintahan tradisional di kawasan ini, tinggal mempolarisasikannya dalam konteks
Sumatera Utara dan Indonesia. Semoga apa yang dicita-citakan rakyat Sumatera
Utara, dapat dilaksanakan oleh pemimimpinnya. Wassalam.

Daftar Pustaka
Blagden, C.O., "The Name Melayu", Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society, 1899.
Goldsworthy, David J., Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes, (Sydney: Disertasi Doktoral
Monash University, 1979).
Hall, D.G.E., A History of South-east Asia, (t.p: St. Martin's Press,1968).
Hamzah, Mohd. Zain Hj., Pengolahan Muzik dan Tari Melayu, (Singapura: Dewan Bahasa dan Kebudayaan
kebangsaan, 1961).
Hill, A.H., "The Coming of Islam to North Sumatra," Journal of Southeast Asian History, 4(1), 1968.
Kadir, Wan Abdul, Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1988).
Legge, J.D., Indonesia (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1964).
Narrol,R., "Ethnic Unit Classification," Current Anthropology, volume 5 No. 4, 1965, p. 32.
Nasharuddin, Mohammed Ghouse, Teater Tradisional Melayu, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 2000).
Nettl, Bruno, Folk and Traditional of Western Continents, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1973).
Nor, Mohd Anis Md., "Lenggang dan Liuk dalam Tari Pergaulan Melayu," Tirai Panggung, jilid 1, nomor 1, 1995.
Sheppard, Mubin, Taman Indera: Malay Decorative Arts and Pastimes, (London: Oxford University Press, 1972).
Sinar, Tengku Luckman, Sari Sejarah Serdang, (Medan: t.p., 1971).
Sinar, Tengku Luckman, Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu, (Medan: Perwira, 1990).
Sinar, Tengku Luckman, Jatidiri Melayu, (Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia, 1994), p. 2.
Swettenham, F.A., Malay Sketches, (London: t.p., 1895), p. 44-52.
Wilkinson, R.J., A Malay-English Dictioary (Romanised), (London: Macmillan, 1959), p. 755.
Yoshiyuki, Tsurumi, Malaka Monogatari: Sebuah Kisah di Melaka, (Tokyo: Jiji Tsuushinsa, 1981), p. 78.
Zam, Ku Zam, "Muzik Tradisional Melayu Kedah Utara: Ensembel-ensembel Wayang Kulit, Mek Mulung dan
Gendang Keling dengan Tumpuan kepada Alat-alat, Pemuzik-pemuzik dan Fungsi." Tesis Sarjana, Jabatan
Pengajian Melayu, Universiti Malaya.

14

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai