Anda di halaman 1dari 5

SEPSIS

Terdapat beberapa istilah yang erat kaitannya dengan infeksi serta sepsis. Inflamasi adalah
respons lokal yang dipicu oleh jejas atau kerusakan jaringan, bertujuan untuk menghancurkan,
melarutkan bahan penyebab, jejas ataupun jaringan yang mengalami jejas, yang ditandai dengan
gejala klasik dolor, calor, rubor, tumor, dan functio laesa. Infeksi adalah ditemukannya organisme
pada tempat yang normal steril, yang biasanya disertai dengan respons inflamasi tubuh.
Bakteremia adalah ditemukan bakteri di dalam darah, dibuktikan dengan biakan, dapat bersifat
transien. Septikemia adalah bakteremia disertai dengan gejala klinis yang bermakna.

Sepsis adalah infeksi disertai dengan respon sistemik; respons sistemik tersebut ditandai dengan 2
atau lebih tanda1,2 :

Temperatur > 38°C atau < 36°C

Denyut jantung >90 kali/menit

Respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg (< 4.3 kPa)

Sel darah putih > 12 000/mm3 atau < 4000/mm3 atau >10% bentuk immature/band

Sepsis syndrome adalah gejala klinis infeksi disertai dengan respons sistemik yang menyebabkan
gangguan organ berupa : insufisiensi respirasi, disfungsi renal, asidosis atau gejala mental. Septik
shock adalah sepsis syndrome disertai dengan hipotensi dan adanya gangguan perfusi. Refractory
septik shock adalah syok septik yang berlangsung lebih dari satu jam tanpa respons terhadap
intervensi cairan atau obat farmakologis.

Dalam 5 dekade terakhir, jumlah penduduk dengan kategori lanjut usia (lansia) terus meningkat,
di mana menurut WHO, batasan usia lansia adalah 60 tahun. Secara global, jumlah penduduk
lansia meningkat 1.2% per tahunnya, di mana hampir 2/3 di antaraya berada di negara-negara
berkembang. Jika pada tahun 1950 terdapat 8 lansia dari 100 orang, maka pada tahun 2050
diperkirakan akan ada 22 lansia dari 100 orang tersebut. Sementara usia harapan hidup akan
bertambah dari 65 tahun pada 1995 menjadi 76 tahun pada 2050. Bertambahnya jumlah Sepsis
pada Lansia & lansia ini akan menimbulkan masalah kesehatan baru, mengingat kelompok usia
ini memiliki prevalensi terbesar dalam hal penyakit kronis dan multipatologis.

Faktor Resiko Terhadap Pasien Lansia


Proses penuaan adalah suatu proses yang berhubungan dengan berbagai faktor resiko yang
meningkatkan insidens dan mortalitas sepsis. Beberapa di antaranya yaitu:

Status performans

Beberapa perubahan tubuh akibat proses penuaan dapat menyebabkan status performans yang
lebih buruk, yang merupakan prediktor independen untuk mortalitas:

1. disuse atrophy akibat inakitivitas fisik

2. sarcopenia karena semakin meningkatnya pengurangan massa otot

3. perubahan pada respons terhadap hormon-hormon tropic ( growth hormone, androgen, estrogen)

4. perubahan neurologis

5. perubahan regulasi sitokin

6. perubahan metabolisme protein

7. perubahan asupan makanan

Nutrisi

Salah satu perubahan fisiologis akibat proses menua adalah penurunan signifikan pada sensitivitas
diskriminasi rasa setelah usia 70 ; sensasi rasa manis, asam, pahit, dan asin terganggu. Hal ini
menyebabkan lansia kurang menikmati makan sehingga dapat memicu penurunan berat badan.
Status gizi lansia juga dipengaruhi oleh : 1. inaktivitas 2. kekurangan sumber daya 3. permasalahan
mobilitas dan transportasi 4. isolasi sosial 5. keterbatasan fungsional 6. demensia 7. depresi 8.
status kesehatan gigi yang buruk 9. polifarmasi 10. penyalahgunaan obat dan alkohol

Perubahan sosial

Perawatan lansia di rumah-rumah perawatan atau panti jompo cukup sering dialami lansia. Mereka
harus menjalani tahap-tahap penyesuaian terhadap lingkungan barunya. Dukungan sosial dapat
membantu mereka melewati proses tersebut, dan mengurangi masalah yang dapat muncul seperti
depresi dan kekurangan perhatian, yang dapat memberikan dampak terhadap status gizi dan
imunitas mereka.

Fungsi imun
Pasien lansia sering mengalami gangguan nutrisi atau imunologis, sehingga menjadi lebih mudah
terkena infeksi dan komplikasinya. Pasien lansia kerapkali mengalami gangguan komorbid yang
membutuhkan penanganan dengan peralatan medis (misalnya kateter urin, gastrostomi, sistostomi,
trakeostomi, pemasangan infus) yang mengakibatkan peningkatan resiko infeksi dan
komplikasinya. Terdapat juga bukti adanya penurunan fungsi sel B dan sel T pada
lansia, walaupun mungkinekspresi sitokin proinflamasi dapat normal.

Obat-obatan

Bersihan obat dari tubuh, terutama melalui mekanisme renal, terganggusejalan dengan proses
penuaan. Penurunan fungsi ginjal terkait usia adalah faktorutama yang menyebabkan penurunan
bersihan obat.karena ginjal merupakan organyang sangat berperan bagi ekskresi sebagian
antibiotik, penyesuaian dosis danpemantauan kadar obat dalam darah mungkin diperlukan
terhadap sebagian obat.Beberapa antibiotik efek samping nya dapat meningkat pada lansia.
Interaksi obat juga meningkat pada lansia namun
demikian hal ini adalah terutama akibatbanyaknya obat yang dikonsumsi, bukan akibat proses
penuaan itu sendiri.

Manifestasi Klinis Sepsis Pada Lansia

Proses sepsis dicirikan dengan beberapa tanda dan gejala yang mencakup :

• demam atau hipotermi

• leukositosis atau leucopenia

• takikardi

• takipnea

Gejala-gejala ini jika tidak dikenali dan ditangani secara cepat dan tepat, dapat berlanjut
menjadi sebuah runtutan kejadian yang dapat mengakibatkan cedera endovascular difus,
thrombosis mikrovaskuler, iskemia organ dan kematian. Pasien lansia memiliki kesulitan-
kesulitan tertentu dalam diagnosis dan penatalaksanaan sepsis. Pertama, mendapatkan sampel
diagnostik dari pasien membutuhkan kerja sama dengan pasien tersebut, padahal pasien lansia
dapat berada dalam kondisi rapuh, mengalami penurunan kognitif, atau sakit parah sehingga
kurang dapat bekerja sama dengan tim medis. Kedua, manifestasi klinis SIRS dapat tidak terlihat,
atau kurang dapat diamati dengan jelas. Hal ini dapat menunda tindakan intervensi penting yang
pada akhirnya akan mempengaruhi outcome dari pasien ini. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa jika terapi empiris untuk sepsis ditunda 8-24 jam, maka mortalitas dapat meningkat 8
sampai 22 kali lipat. Manifestasi infeksi pada lansia sering tidak khas, dan karenanya perlu
pengamatan yang cermat. Demam misalnya, seringkali tidak mencolok. Banyak studi yang
mendapatkan penderita lansia yang jelas menderita infeksi tidak menunjukkan gejala demam.
Demam dapat tidak ditemui pada sepertiga pasien berusia di atas 65 tahun yang mengalami infeksi
akut berat yang membahayakan nyawa. Bahkan pada 20% penderita sepsis, justru didapatkan
hipotermia. Hal ini menyebabkan timbulnya istilah the older the colder. Tidak dijumpainya demam
pada pasien lansia dengan sepsis dapat terjadi karena beberapa alasan. Variasi harian dari suhu
tubuh berkurang, dan suhu basal lansia adalah sekitar 0.6-0.8°C lebih rendah dari dewasa muda.
Mekanisme yang mendasarinya adalah : berkurangnya produksi sitokin (misalnya IL-6),
berkurangnya sensitivitas reseptor hipotalamik terhadap sitokin dan rusaknya adaptasi
termoregulasi perifer terhadap perubahan suhu. Sebagai tambahan, penggunaan obat-obatan yang
sering dipakai lansia misalnya NSAID, kortikosteroid, B-reseptor blocker, antihistamin, ranitidin
dapat menekan respon febril terhadap inflamasi. Peningkatan suhu tubuh di atas 1.5°C dapat
diartikan sebagai reaksi febris dan indikator infeksi. Metode pengukuran suhu adalah hal penting
yang harus diperhatikan. Pengukuran suhu rektal dapat mendeteksi demam pada sekitar 86%
pasien, sublingual 66%, dan aksila hanya 32%. Pengukuran suhu rektal secara klinis adalah metode
pengukuran yang terbaik pada pasien lansia. Sama halnya dengan demam, indikator klasik untuk
infeksi, seperti C-reactive protein atau jumlah leukosit pada lansia spesifisitas dan sensitivitasnya
berkurang. Hal ini diistilahkan sebagai immunosenescence, yaitu kurang berfungsinya respon
imun pada pasien lansia. Begitu juga dengan gejala-gejala lain, seperti batuk pada pneumonia,
nyeri khas pada apendisitis dan kolesistitis, sering tidak dikeluhkan dan dianggap ‘biasa’. Fokus
infeksi yang sering dijumpai pada lansia serupa dengan kelompok umur yang lain, mencakup
sistem pernafasan, kemih dan gastrointestinal. Organisme yang paling sering dijumpai adalah basil
gram negatif, namun terdapat peningkatan tajam insidens infeksi kokus gram positif. Peningkatan
ini mungkin diakibatkan perawatan pasien lansia di rumah jompo, dan peningkatan penggunaan
dini antibiotik spektrum luas
Pilihan Terapeutik

Proses sepsis dapat diubah atau dimodifikasi jika dikenali secara dini dan perawatan
suportif yang adekuat diberikan. Intervensi yang paling penting adalah dengan membuat diagnosa
dini – suatu hal yang sulit mengingat gambaran tidak khas dari sepsis pada lansia ini. Saat diagnosa
telah dibuat, antibiotik yang sesuai harus diberikan sebagai upaya untuk menghentikan
berlanjutnya kaskade inflamasi. Penggunaan antibiotik yang tertunda dapat mengurangi survival
pasien. Pengobatan awal untuk infeksi hampir selalu berdasarkan pengalaman empiris. Seorang
klinisi harus menyadari pathogen apa yang paling sering menyebabkan sebuah infeksi,
antimikroba apa yang sesuai untuk setiap pathogen, dan pola resistensi antibiotik lokal. Pada lansia
yang sering dirawat di rumah sakit, memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena infeksi
nosokomial dan pathogen resisten seperti metihicillin-resistant Staphylococcus aureus. Walaupun
terapi empiris adalah yang pertama sekali diberikan, namun sangat penting untuk mendapatkan
spesimen untuk analisis mikrobiologi ( seperti kultur darah, kultur urin) sebelum pasien
mendapatkan antibiotik terapi. Rejimen terapi empiris dapat diubah sesuai hasil pemeriksaan
mikrobiologi jika pasien tidak respon secara klinis terhadap terapi empiris tersebut. Hasil
pemeriksaan mikrobiologis harus ditafsirkan sesuai dengan presentasi klinis pasien, sehingga tidak
semua hasil kultur yang positif harus diberikan antibiotik. Misalnya, bakteriuria asimtomatik tidak
membutuhkan antibiotik. Dalam memilih antibiotik untuk pasien lansia, umumnya semua obat
dapat diberikan sesuai indikasi yang sama dengan pasien dewasa muda. Namun, dosis dan interval
obat harus disesuaikan pada lansia yang memiliki berat badan yang rendah dan fungsi ginjal yang
terganggu. Efek samping obat terjadi 2-3 kali lebih sering pada lansia dibandingkan dewasa muda.
Pada suatu studi di Belgia, insidens terjadinya efek samping obat pada lansia diperkirakan sekitar
20% pada pasien rawat inap. Antibiotik juga sering berinteraksi dengan obat-obatan lain yang
sering dipakai lansia.

Penggunaan dosis obat yang tepat tidak hanya penting untuk menentukan keberhasilan
terapi, tetapi juga untuk mencegah terjadinya resistensi. Dosis antibiotik suboptimal dapat
menyebabkan munculnya pathogen-patogen yang resisten. Pemilihan dosis yang tepat untuk lansia
merupakan sebuah ‘seni’ yang harus mempertimbangkan kurangnya penetrasi obat ke jaringan,
terganggunya farmakokinetik obat, penyakit-penyakit penyerta dan lemahnya system imun tubuh.

Anda mungkin juga menyukai