Anda di halaman 1dari 59

PROPOSAL PENELITIAN

I. Nama Peneliti : Afifah Husnun Fathimah


NIM / Semester : G0015009 / VI

II. Judul Penelitian:


Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Kelor (Moringa oleifera, Lam.) terhadap
Ekspresi (Cyclooxygenase-2) COX-2 Jaringan Ginjal Tikus (Rattus norvegicus)
Model Diet Tinggi Lemak Tinggi Fruktosa

III. Bidang Ilmu : Patologi Anatomi

IV. Latar Belakang Masalah


Pola diet yang berkembang pada masyarakat modern saat ini adalah diet
tinggi lemak jenuh, garam yang berlebihan, dan tinggi gula. Perubahan pola
makan ini menyebabkan meningkatnya angka kejadian sindrom metabolik.
(Myles, 2014)
Prevalensi sindrom metabolik di indonesia adalah 28,4%. Angka ini
melebihi prevalensi sindrom metabolik global pada tahun 2014 yang hanya
mencapai angka 22,7%. Tingginya kejadian sindrom metabolik berhubungan
dengan semakin meningkatnya kasus diabetes mellitus tipe 2, penyakit
kardiovaskuler, obesitas, dan kerusakan ginjal seperti gagal ginjal kronis.
(Moreira et al., 2014; Srikanthan et al., 2016)
Ginjal merupakan organ yang penting di dalam tubuh. Ginjal memiliki
fungsi untuk mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh, memelihara
volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka
panjang tekanan darah arteri, membantu memelihara keseimbangan asam basa
pada tubuh, mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh, dan
mengeskresikan senyawa asing seperti obat-obatan. (Sherwood, 2011)

1
Diet tinggi lemak dan tinggi fruktosa pada tikus menunjukkan
peningkatan berat badan yang progresif, peningkatan asupan energi,
peningkatan endapan lemak abdominal, dan peningkatan lingkar perut yang
disertai dengan intoleransi glukosa, dyslipidemia, hyperinsulinemia, dan
peningkatan leptin plasma. (Panchal et al., 2010)
Pada organ ginjal tikus dengan diet tinggi lemak dan tinggi fruktosa
didapatkan inflamasi dan fibrosis. Selain itu didapatkan peningkatan massa,
lisis dari glomerular tuft dan lesi tubuler yang terdiri dari hyalin dan atau
degenerasi vakuolar dan single-cell necrosis. (Panchal et al., 2010)
Menurut Prasad (2014), Pada organ ginjal manusia, sindroma metabolik
telah jelas terkait dengan tanda-tanda penyakit ginjal kronik, seperti penurunan
Glomerular Filtration Rate (GFR), proteinuria dan atau mikroalbuminuria, dan
tanda-tanda histopatologi seperti atrofi tubuler dan fibrosis interstisial.
Diet tinggi lemak dan tinggi fruktosa menyebabkan kadar asam lemak
bebas yang tinggi pada perderaran darah dan disimpan di dalam ginjal dalam
bentuk trigliserida. Trigliserida dalam ginjal berhubungan dengan
meningkatnya ekspresi TNF-∝ yang pada akhirnya akan mengaktivasi gen
Cyclooxygenase-2 (COX-2) dan terjadi peningkatan produksi COX-2 pada
ginjal. COX-2 merupakan enzim yang bertanggung jawab untuk pembentukan
mediator biologis penting yang disebut prostanoids, termasuk prostaglandin,
prostasiklin dan tromboksan.
Kelor (Moringa oleifera, Lam.) merupakan salah satu tumbuhan yang
tumbuh di India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan. Afrika Barat, Afrika
Timur, Afrika Selatan, Amerika Latin, Samudera Pasifik, dan Asia yang
beriklim tropis termasuk Indonesia (Anwar, Latif, Ashraf, & Gilani, 2007).
Kelor di Indonesia tersebar Jawa, Sunda, Bali, Lampung, Buru, Madura, Flores,
Gorontalo, Bugis, Sumba, Bima, dan Timor.
Kelor merupakan salah satu tumbuhan yang berpotensi sebagai antioksidan
dan herba yang mampu menurunkan kadar kolesterol darah(Silva, Nishi,
Farooqi, & Bergamasco, 2014). Dalam beberapa penelitian dikemukakan
bahwa daun kelor memiliki khasiat sebagai antiantioksidan dan antiinflamasi.

2
Kandungan yang terdapat dalam Moringa oleifera, Lam. antara lain saponin,
alkaloid, fitosterol, tannin, fenolik dan flavonoid (Rajanandh, et al., 2012).
Menurut Mahajan et al., (2007), Moringa menekan biosintesis prostaglandin
melalui efek inhibisi pada enzim COX-1 dan COX-2. Mereka juga menemukan
bahwa moringa efektif dalam menghambat produksi beberapa sitokin seperti
TNF-∝, IL-4 dan IL-6. Mekanisme tambahan seperti stabilisasi sel mast dan
aktivitas anti-spasmodik juga mungkin berperan dalam efek protektif dari
Moringa.
Penelitian tentang efek ekstrak etanolik biji kelor terhadap penurunan kadar
kolesterol dalam darah telah banyak dilaporkan. Namun demikian, efek diet
tinggi lemak tinggi fruktosa dan pengaruh pemberian ekstrak biji kelor terhadap
ekspresi COX-2 pada kelompok hewan coba belum pernah dilaporkan. Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek ekstrak biji kelor
(Moringa oleifera, Lam.) terhadap ekspresi COX-2 tikus putih (Rattus
norvegicus) yang diberi diet tinggi lemak dan tinggi fruktosa melalui
pengamatan mikroskopis jaringan ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) dengan
pewarnaan Immunohistokima (IHC).

V. Perumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Apakah pemberian ekstrak biji kelor (Moringa oleifera, Lam.) berpengaruh
terhadap ekspresi COX-2 (Cyclooxygenase-2) jaringan ginjal tikus Wistar
(Rattus norvegicus) dengan diet tinggi lemak tinggi fruktosa?

VI. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Kelor (Moringa oleifera,
Lam.) terhadap Ekspresi COX-2 Jaringan Ginjal Tikus (Rattus
norvegicus) Model Tinggi Lemak Tinggi Fruktosa

3
2. Mengetahui pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Kelor (Moringa oleifera,
Lam.) terhadap Gambaran Inflamasi pada Jaringan Ginjal Tikus (Rattus
norvegicus) Model Tinggi Lemak Tinggi Fruktosa

VII.Manfaat Penelitian
A. Manfaat Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
pengaruh pemberian ekstrak biji kelor (Moringa oleifera, Lam.)
terhadap gambaran inflamasi dan ekpresi COX-2 ginjal pada tikus
Wistar (Rattus norvegicus) Model Tinggi Lemak Tinggi Fruktosa
2. Penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan bagi penelitian selanjutnya
tentang pemanfaat biji kelor atau bagian kelor yang lain.
B. Manfaat Aplikatif
1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat biji kelor
(Moringa oleifera, Lam.) dalam mencegah progesivitas penyakit yang
diakibatkan oleh diet tinggi lemak dan diet tinggi fruktosa

VIII. Tinjauan Pustaka


A. Ginjal
1. Fisiologi Ginjal
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan
zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi
plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut
dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat
terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem
pengumpulan urin (Price dan Wilson, 2012).
Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu:

4
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal
kemudian akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang
diambil dari darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan
dan dialirkan ke ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu
di kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan
keadaan memungkinkan, maka urin yang ditampung dikandung kemih akan
di keluarkan lewat uretra (Sherwood, 2011).
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin,
yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan
filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler
glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali
protein, di filtrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat
glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya
zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi,
kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian akan
dieksresi (Sherwood, 2011).
2. Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding
abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3.
Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar.
Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsula
renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan jaringan terluar adalah
fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini 9 berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan
memfiksasi ginjal (Tortora, 2011).

5
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang dan
medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa triangular
disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian apeks yang
menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi
yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal (Tortora,
2011).
Suplai darah untuk ginjal adalah dari arteri renalis dan vena renalis. Arteri
renalis bercabang dari aorta abdominalis manakala vena renalis bermuara ke dalam
vena kava inferior. Hilus renalis merupakan tempat masuk dan keluar darah melalui
vena renalis dan ateri renalis. Sistem vena pada bagian kiri adalah sedikit berbeda
dari sistem vena di sebelah kanan karena vena dari gonad (testis dan ovari)
bermuara pada vena renalis kiri. Pembuluh darah pada ginjal bercabang dari besar
menjadi kecil yang bermula dari aorta abdominalis bercabang menjadi arteri renalis
yang kemudian menjadi arteri segmentalis dan kemudiannya menjadi arteri
interlobaris dan arteri arcuate. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yang
bermaksud tidak anastomosis dengan cabang dari arteri lain (Tortora, 2011).
Interstitium meduler adalah ruang fungsional dalam ginjal di bawah filter
individu (glomeruli), yang kaya akan pembuluh darah. Interstitium menyerap cairan
pulih dari urin. Berbagai kondisi dapat menyebabkan jaringan parut dan kemacetan
dari daerah ini, yang dapat menyebabkan disfungsi ginjal dan gagal. Setelah
penyaringan terjadi pengaliran darah melalui jaringan kecil venula yang menyatu
ke dalam pembuluh darah interlobular. Seperti dengan distribusi arteri vena
mengikuti pola yang sama, maka interlobular memberikan darah ke vena arkuata
kemudian kembali ke vena interlobar, yang datang untuk membentuk vena renalis
keluar ginjal untuk transfusi darah (Moore,2008).
3. Histologi Ginjal
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi
yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari

6
fungsi semua nefron tersebut (Price dan Wilson, 2006). Setiap nefron terdiri atas
bagian yang melebar yakni korpuskel renalis, tubulus kontortus proksimal, segmen
tipis, dan tebal ansa henle, tubulus kontortus distal, dan duktus koligentes
(Junquiera dan Carneiro, 2002).
3.1 Korpuskel Renalis
Korpuskel Renalis Setiap korpuskel renalis terdiri atas seberkas kapiler, yaitu
glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda yang disebut
kapsula bowman. Lapisan dalam kapsul ini (lapisan visceral) menyelubungi kapiler
glomerulus. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskel renalis dan disebut
lapisan parietal kapsula bowman. Lapisan parietal kapsula bowman terdiri atas
epitel selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis dan selapis tipis serat retikulin
(Junquiera dan Carneiro, 2002).
Sel viseral membentuk tonjolan–tonjolan atau kaki–kaki yang dikenal sebagai
podosit, yang bersinggungan dengan membran basalis pada jarak–jarak tertentu
sehingga terdapat daerah– daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel (Price dan
Wilson, 2006). Sel endotel kapiler glomerulus merupakan jenis kapiler bertingkap
namun tidak dilengkapi diafragma tipis yang terdapat pada kapiler bertingkap lain
(Junquiera dan Carneiro, 2002).
Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri
dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial aktivitas fagositik dan
menyekresi prostatglandin (Price dan Wilson, 2006). Sel mesangial bersifat
kontraktil dan memiliki reseptor untuk angiotensin II. Bila reseptor ini teraktifkan,
aliran glomerulus akan berkurang. Sel mesangial juga memiliki beberapa fungsi
lain, sel tersebut memberi tunjangan struktural pada glomerulus, menyintesis
matriks ekstrasel, mengendositosis dan membuang molekul normal dan patologis
yang terperangkap di membran basalis glomerulus, serta menghasilkan mediator
kimiawi seperti sitokin dan prostaglandin (Junquiera dan Carneiro, 2002).
3. 2 Tubulus Kontortus Proksimal
Pada kutub urinarius di korpuskel renalis, epitel gepeng di lapisan parietal
kapsula bowman berhubungan langsung dengan epitel tubulus kontortus proksimal
yang berbentuk kuboid atau silindris rendah. Filtrat glomerulus yang terbentuk di

7
dalam korpuskel renalis, masuk ke dalam tubulus kontortus proksimal yang
merupakan tempat dimulainya proses absorbsi dan ekskresi. Selain aktivitas
tersebut, tubulus kontortus proksimal mensekresikan kreatinin dan subsatansi asing
bagi organisme, seperti asam para aminohippurat dan penisilin, dari plasma
interstitial ke dalam filtrat (Junquiera dan Carneiro, 2002).
3.3 Ansa Henle
Ansa henle adalah struktur berbentuk huruf U yang terdiri atas segmen tebal
desenden, segmen tipis desenden, segmen tipis asenden dan segmen tebal asenden.
Ansa henle terlibat dalam retensi air, hanya hewan dengan ansa demikian dalam
ginjalnya 20 yang mampu menghasilkan urin hipertonik sehingga cairan tbuh dapat
dipertahankan (Junquiera dan Carneiro, 2002).
3.4 Tubulus Kontortus Distal
Segmen tebal asenden ansa henle menerobos korteks, setelah menempuh jarak
tertentu, segmen ini menjadi berkelak–kelok dan disebut tubulus kontortus distal.
Sel–sel tubulus kontortus distal memiliki banyak invaginasi membran basal dan
mitokondria terkait yang menunujukkan fungsi transpor ionnya (Junquiera dan
Carneiro, 2002).
3.5 Tubulus Duktus Kolegentes
Tubulus koligentes yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid. Di sepanjang
perjalanannya, tubulus dan duktus koligentes terdiri atas sel–sel yang tampak pucat
dengan pulasan biasa. Epitel duktus koligentes responsif terhadap vasopressin
arginin atau hormon antidiuretik yang disekresi hipofisis posterior. Jika masukan
air terbatas, hormon antidiuretik disekresikan dan epitel duktus koligentes mudah
dilalui air yang diabsorbsi dari filtrat glomerulus (Junquiera dan Carneiro, 2002).

3.6 Aparatus Jukstaglomerulus


Aparatus jukstaglomerulus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang
letaknya dekat dengan kutub vaskular masing– masing glomerulus yang berperan
penting dalam mengatur pelepasan renin dan mengontrol volume cairan
ekstraseluler dan tekanan darah. JGA terdiri dari tiga macam sel yaitu:
1. Jukstagomerulus atau sel glanular

8
2. Makula densa tubulus distal
3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis (Price dan Wilson, 2006).
Sel jukstaglomerulus menghasilkan enzim renin, yang bekerja pada suatu
protein plasma angiotensinogen menghasilkan suatu dekapeptida non aktif yakni
angiotensin I. Sebagai hasil kerja enzim pengkonversi yang terdapat dalam jumlah
besar di dalam sel–sel endotel paru, zat tersebut kehilangan dua asam aminonya dan
menjadi oktapeptida dengan aktviitas vasopresornya, yakni angiotensin II
(Junquiera dan Carneiro, 2002).

B. Metabolisme Lemak dan Fruktosa


1. Metabolisme Lemak
Lemak tidak larut dalam air, berarti lemak juga tidak larut dalam plasma
darah. Agar lemak dapat diangkut ke dalam peredaran darah, maka di dalam
plasma darah, lemak akan berikatan dengan protein spesifik membentuk
suatu kompleks makromolekul yang larut dalam air. Ikatan antara lemak
(kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid) dengan protein ini disebut
lipoprotein. Berdasarkan komposisi, densitas, dan mobilitasnya, lipoprotein
dibedakan menjadi kilomikron, very low density lipoprotein (VLDL), low
density lipoprotein (LDL), dan high density lipoprotein (HDL). Setiap jenis
lipoprotein memiliki fungsi yang berbeda dan dipecah serta dibuang dengan
15 cara yang sedikit berbeda. Lemak dalam darah diangkut dengan dua cara,
yaitu melalui jalur eksogen dan jalur endogen (Adam, 2009).
a. Jalur eksogen
Makanan berlemak yang kita makan terdiri atas trigliserid dan kolestrol.
Trigliserida & kolesterol dalam usus halus akan diserap ke dalam enterosit
mukosa usus halus. Trigliserida akan diserap sebagai asam lemak bebas
sedangkan kolestrol, sebagai kolestrol. Di dalam usus halus asam lemak
bebas akan diubah lagi menjadi trigliserida, sedangkan kolestrol mengalami
esterifikasi menjadi kolestrol ester. Keduanya bersama fosfolipid dan
apolipoprotein akan membentuk partikel besar lipoprotein, yang disebut
Kilomikron. Kilomikron ini akan membawanya ke dalam aliran darah.

9
Trigliserid dalam kilomikron tadi mengalami penguraian oleh enzim
lipoprotein lipase yang berasal dari endotel, sehingga terbentuk asam lemak
bebas (free fatty acid) dan kilomikron remnant (Adam, 2009).
Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserida kembali di
jaringan lemak (adiposa), tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak
sebagian akan diambil oleh hati menjadi bahan untuk pembentukan trigiserid
hati. Sewaktu-waktu jika kita membutuhkan energi dari lemak, trigliserida
dipecah menjadi asam lemak dan gliserol, untuk ditransportasikan menuju
sel-sel untuk dioksidasi menjadi energi. Proses pemecahan lemak jaringan
ini dinamakan lipolisis. Asam lemak tersebut ditransportasikan oleh albumin
ke jaringan yang memerlukan dan disebut sebagai asam lemak bebas (Adam,
2009).
Kilomikron remnan akan dimetabolisme dalam hati sehingga
menghasilkan kolesterol bebas. Sebagian kolesterol yang mencapai organ
hati diubah menjadi asam empedu, yang akan dikeluarkan ke dalam usus,
berfungsi seperti detergen & membantu proses penyerapan lemak dari
makanan. Sebagian lagi dari kolesterol dikeluarkan melalui saluran empedu
tanpa dimetabolisme menjadi asam empedu kemudian organ hati akan
mendistribusikan kolesterol ke jaringan tubuh lainnya melalui jalur endogen.
Pada akhirnya, kilomikron yang tersisa (yang lemaknya telah diambil),
dibuang dari aliran darah oleh hati. Kolesterol juga dapat diproduksi oleh hati
dengan bantuan enzim yang disebut HMG Koenzim-A Reduktase, kemudian
dikirimkan ke dalam aliran darah. (Adam, 2009)

b. Jalur endogen
Pembentukan trigliserida dan kolesterol disintesis oleh hati diangkut
secara endogen dalam bentuk VLDL. VLDL akan mengalami hidrolisis
dalam sirkulasi oleh lipoprotein lipase yang juga menghidrolisis kilomikron
menjadi IDL(Intermediate Density Lipoprotein). Partikel IDL kemudian
diambil oleh hati dan mengalami pemecahan lebih lanjut menjadi produk

10
akhir yaitu LDL. LDL akan diambil oleh reseptor LDL di hati dan mengalami
katabolisme. LDL ini bertugas menghantar kolesterol kedalam tubuh. HDL
berasal dari hati dan usus sewaktu terjadi hidrolisis kilomikron dibawah
pengaruh enzim lecithin cholesterol acyltransferase (LCAT). Ester kolesterol
ini akan mengalami perpindahan dari HDL kepada VLDL dan IDL sehingga
dengan demikian terjadi kebalikan arah transpor kolesterol dari perifer
menuju hati. Aktifitas ini mungkin berperan sebagai sifat antiterogenik
(Adam, 2009).
c. Jalur Reverse Cholesterol Transport
HDL dilepaskan sebagai partikel kecil miskin kolestrol yang
mengandung apolipoprotein (apo) A, C, E dan disebut HDL nascent. HDL
nascent berasal dari usus halus dan hati, mempunyai bentuk gepeng dan
mengandung apolipoprotein A1. HDL nascent akan mendekati makrofag
untuk mengambil kolestrol yang tersimpan di makrofag. Setelah mengambil
kolestrol dari makrofag, HDL nascent berubah menjadi HDL dewasa yang
berbetuk bulat. Agar dapat diambil oleh HDL nascent, kolestrol di bagian
dalam makrofag harus dibawa ke permukaan membran sel makrofag oleh
suatu transporter yang disebut adenosine triphosphate binding cassette
transporter 1 atau ABC 1. Setelah mengambil kolestrol bebas dari sel
makrofag, kolestrol bebas akan diesterifikasi menjadi kolestrol ester oleh
enzim lecithin cholesterol acyltransferase (LCAT). Selanjutnya sebagian
kolestrol ester yang dibawa oleh HDL akan mengambil dua jalur. Jalur
pertama ialah ke hati dan ditangkap oleh scavenger receptor class B type I
dikenal dengan SR-B1. Jalur kedua adalah kolestrol ester dalam HDL akan
dipertukarkan dengan trigliserid dari VLDL dan IDL dengan bantuan
cholestrol ester transfer protein (CETP). Dengan demikian fungsi HDL
sebagai penyerap kolestrol dari makrofag mempunyai dua jalur yaitu
langsung ke hati dan jalur tidak langsung melalui VLDL dan IDL untuk
membawa kolestrol kembali ke hati (Adam, 2009).
2. Metabolisme Fruktosa

11
Fruktosa adalah monosakarida yang paling banyak terkandung
dalam buah-buahan, sayur-sayuran dan madu. Fruktosa sudah sangat umum
dikonsumsi oleh manusia, bagaimanapun juga konsumsi harian dari fruktosa
meningkat selama 40 tahun terakhir dikarenakan kemajuan industri.
Konsumsi fruktosa sebagai nutrisi tunggal sangat jarang ditemui. Biasanya
fruktosa yang dikonsumsi adalah fruktosa yang sudah diolah menjadi sirup
dan terkandung dalam permen, kue maupun minuman kemasan. (Celep et al,
2015)
Fruktosa ditransport melalui epitel intestinal oleh transporter
glukosa GLUT-5 pada enterosit. Fruktosa yang berada di dalam sel
ditransport ke peredaran darah oleh GLUT-2 yang berlokasi di permukaan
basolateral dari enterosit. GLUT-2 adalah Natrium Dependen sementara
GLUT-5 tidak. Perjalanan GLUT-2 ke membran brush border dianggap
sebagai adaptasi yang penting ketika terekspos oleh fruktosa dengan dosis
tinggi. GLUT-5 terdeteksi di usus halus, ginjal, jantung, otot rangka dan otak,
dan di membran plasma adiposit. (Celep et al, 2015)
Fruktosa yang terdapat di dalam darah ditransportasikan ke hati
untuk selanjutnya dimetabolisme. Hati merupakan organ utama dalam
metabolisme fruktosa. Di dalam hati fruktosa dimetabolisme oleh
fruktokinase menjadi fruktosa-1-fosfat yang selanjutnya diubah menjadi
gliserildehida dan dihidroksiaseton fosfat (DHAP) oleh fruktosa-1-fosfat
aldolase (aldolase B). DHAP kemudian diubah menjadi gliseril-3-fosfat
(GA3P) oleh triose fosfat isomerase. Gliserildehida difosfolirasi oleh ATP
dan triose kinase menjadi GA3P. Maka dari itu, kedua produk dari hidrolisis
fruktosa ini memasuki fase glikolisis dalam bentuk GA3P. (Celep et al, 2015)

12
Gambar 1. Jalur metabolisme fruktosa di hati (Sun & Empie, 2012)

3. Efek Diet Tinggi Lemak dan Tinggi Fruktosa terhadap Ginjal


Penuaan ginjal ditandai oleh berbagai perubahan struktural yang
bermanifestasi menjadi glomerulosclerosis (GS), atrofi tubuler dan fibrosis
interstisial. Perubahan terkait usia ini akhirnya menyebabkan penurunan fungsi
ginjal dan dapat menyebabkan gagal ginjal kronis. peningkatan obesitas yang
diakibatkan oleh kebiasaan diet dan gaya hidup yang berubah-ubah, telah
terbukti dapat meningkatkan kejadian gagal ginjal kronis. Meskipun
perkembangan dan perkembangan gagal ginjal kronis jelas multifaktorial, bukti
kuat menunjukkan low-grade inflamasi sebagai faktor pencetus. Walaupun
penuaan dan obesitas keduanya terkait dengan inflamasi kronis, Peradangan
kronis akibat obesitas dapat ditemukan pada usia yang lebih muda.

Penelitian yang telah dilakukan (Altunkaynak et al., 2008) tikus


yang diberikan diet tinggi lemak selama tiga bulan mengalami perubahan
histopatologi ginjal. Perubahan tersebut meliputi: 1) Dilatasi pada pembuluh
darah glomerulus dan pembuluh darah lain; 2) Pembesaran lumen tubulus dan
kapsula Bowman; 3) Infiltrasi sel mononuklear pada korteks ginjal; 4)
Degenerasi nefron yang meliputi glomerulosklerosis, nekrosis segmental, dan
kerusakan tubulus; 5) Penebalan membrana basalis; 6) Nekrosis sel-sel
interstisial; 7) Pemendekan jaringan epitel tubulus; 8) Akumulasi adiposit pada

13
jaringan sub-kapsular; dan 9) Nekrosis tubulus. Selain itu, pada tikus juga
didapatkan penurunan jumlah glomerulus karena terjadinya atrofi.
Pada tikus yang diberi perlakuan diet tinggi fruktosa selama 8 delapan
minggu mampu menginduksi kondisi sindrom metabolik yang ditandai dengan
terjadinya hipertensi, hiperinsulinemia, resistensi insulin dan
hipertrigliseridemia, serta kondisi lain yaitu hiperurisemia. (Hwang, Ho,
Hoffman, & Reaven, 1987). Hal ini dapat terjadi karena fruktosa bersifat
lipogenik sehingga dapat meningkatkan kadar trigliserida secara cepat yang
dapat memicu terjadinya resistensi insulin (Hallfrisch, 1990; Sánchez-Lozada et
al., 2007).
Pada pemeriksaan histopatologi ginjal tikus yang diberikan diet tinggi
fruktosa didapatkan penebalan dinding pembuluh darah arteriol afferent baik
pada nefron kortikal atau juxtamedullaris. Kondisi patologi ginjal lain yang
diamati adalah hipertrofi ginjal, arteriolopati, hipertensi glomerular, dan
vasokonstriksi kortikal (Sánchez-Lozada et al., 2007).
Menurut Salvetti et al., (1993) resistensi insulin dapat meningkatkan
tekanan darah melalui beberapa mekanisme, seperti meningkatkan reabsorpsi
natrium pada ginjal, mengaktifkan sistem saraf simpatik, meningkatkan transport
ion transmembrane dan hipertrofi dari pembuluh darah yang mengalami
resistensi.
Kelebihan gula di dalam tubuh akan diubah menjadi senyawa Acetyl-CoA
terlebih dahulu. Selanjutnya Acetyl-CoA tersebut akan diubah menjadi malonyl-
CoA melalui serangkaian proses. Malonyl-CoA yang sudah terbentuk akan
diubah kembali menjadi asam lemak bebas yang nantinya akan disimpan dalam
bentuk trigliserida dalam jaringan adiposa. Semakin banyak kelebihan gula
dalam tubuh, maka semakin banyak pula asam lemak yang akan terbentuk. Hal
inilah yang membuat mengapa kelebihan karbohidrat dapat menyebabkan
kegemukan.
Kadar asam lemak bebas yang tinggi pada perderaran darah dapat disimpan
di dalam ginjal dalam bentuk trigliserida. Asam lemak bebas akan ditangkap
oleh Faty Acid Transport Protein (FATP) yang bertugas memindahkan asam

14
lemak menjadi trigliserida dalam jaringan. Pada jaringan ginjal, FATP yang
paling banyak diekspresikan adalah FATP2. Berdasarkan penlitian yang
dilakukan oleh Kerstin et al., (2012) tikus yang diberikan diet tinggi lemak
menunjukkan ekspresi FATP2 yang rendah. Hal ini bertujuan untuk mencegah
masuknya asam lemak secara massif. Terbentuknya jaringan lemak pada ginjal

meningkatkan ekspresi adipostikoin proinflamasi seperti IL-6, IL-1ᵝ, Tumor


Necrosis Factor dan infiltrasi monosit, yang selanjutnya mengakibatkan
inflamasi pada ginjal. (Elmarakby dan Imig, 2010)
4. Inflamasi
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh
cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi,
atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera
itu (Dorland, 2002).
Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang
memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti
yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan
untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan
nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Robbins, 2004).
Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat
kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik
protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar
dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk,
membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan
(Corwin, 2008)
Respons inflamasi terjadi dalam tiga fase dan diperantarai oleh mekanisme
yang berbeda:
a. Fase akut, dengan ciri vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas
kapiler
b. Reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit
c. Fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya degenerasi dan fibrosis
(Wilmana, 2007)

15
Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya
permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala oproses
inflamasi yang sudah dikenal ialah:
a. Kemerahan (rubor)
Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke
daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke
tempat cedera (Corwin, 2008).
b. Rasa panas (kalor)
Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa
panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang
daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila
terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak
dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana, 2007).
c. Rasa sakit (dolor)
(1) adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi
peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya
pengeluaran zat-zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin,
histamine, bradykinin yang dapat merangsang saraf-saraf perifer di sekitar
radang sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007).
d. Pembengkakan (tumor)
Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang
disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya
peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera
sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang
interstitium (Corwin, 2008).
e. Fungsiolaesa
Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena
inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi (Wilmana, 2007).

Respons inflamasi memiliki banyak sel yang berperan penting yaitu sel dan
protein plasma dalam sirkulasi, sel dinding pembuluh darah, dan sel serta matriks

16
ekstraselular jaringan ikat di sekitarnya (Gambar 1). Sel dalam sirkulasi adalah
leukosit polimorfonuklear (PMN) yang berasal dari sumsum tulang (neutrofil),
eosinofil, dnn basofil; limfosit dan monosit; serta trombosit; protein dalam
sirkulasi, meliputi faktor pembekuan, kininogen, dan komponen komplemen,
sebagian besar disintesis oleh hati. Sel dinding pembuluh darah meliputi sel
endotel yang berkontak langsung dengan darah, dan sel otot polos yang
mendasarinya yang memberikan tonus pada pembuluh darah. Sel jaringan ikat
meliputi sentinel untuk menginvasi, misalnya sel mast, makrofag, dan limfosit,
serta fibroblas yang menyintesis matriks ekstraselular dan dapat berproliferasi
untuk proses jaringan baru pada luka. Matriks ekstraselular (ECM) terdiri atas
protein penyusun fibrosa (misalnya, kolagen dan elasttn) , proteoglikan yang
membentuk gel, dan glikoprotein adhesif (misalnya, fibronektin) yang merupakan
penghubung sel-ECM dan ECM-ECM. Keseluruhan sel akan berinteraksi untuk
mengatasi secara ideal suatu cedera lokal dan memulihkan fungsi jaringan
normal.2,5

Gambar 1. Komponen respons radang akut dan kronik: (1) sel dan protein dalam sirkulasi, (2) sel dinding
pembuluh darah,dan (3) sel serta elemen pada jaringan ikat ekstravaskular.Sel dan protein tidak tergambar. 2

Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar yaitu inflamasi akut dan inflamasi
kronik. Inflamasi akut adalah radang yang berlangsung relatif singkat dari
beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan dan
protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol. Inflamasi

17
kronik berlangsung lebih lama (berhari-hari sampai bertahun-tahun) dan ditandai
khas dengan influks limfosit dan makrofag disertai dengan proliferasi pembuluh
darah dan pembentukan jaringan parut.
Inflamasi akut merupakan respons segera terhadap jejas yang dirancang untuk
mengirim leukosit ke tempat jejas. Sesampainya di tempat jejas, leukosit
membersihkan setiap mikroba yang menginvasi dan memulai proses penguraian
jaringan nekrotik. Proses ini memiliki dua komponen:
(1) Perubahan vaskular : perubahan dalam kaliber pembuluh darah yang
mengakibatkan peningkatan aliran darah (vasodilatasi) dan perubahan
struktural yang memungkinkan protein plasma untuk meninggalkan sirkulasi
(peningkatan/permeabilitas vaskular).
(2) Berbagai kejadian yang terjadi pada sel : emigrasi leukosit dari
mikrosirkulasi dan akumulasinya di fokus jejas (rekrutmen dan aktivasi selular)
Rentetan bertingkat (kaskade) kejadian pada inflamasi akut diintegrasikan
oleh pelepasan lokal mediator kimiawi. Perubahan vaskular dan rekrutmen sel
menentukan tiga dari lima tanda lokal klasik inflamasi akut: panas (kalor), merah
(rubor), dan pembengkakan (tumor). Dua gambaran kardinal tambahan pada
inflamasi akut, yaitu nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi (functio laesa),
terjadi akibat perluasan mediator dan kerusakan yang diperantarai leukosit.
Inflamasi kronik dapat dianggap sebagai inflamasi memanjang (berminggu-minggu
hingga berbulan, bahkan bertahun-tahun), dan terjadi inflamasi aktif, jejas jaringan,
dan penyembuhan secara serentak. Berlawanan dengan inflamasi akut, yang
dibedakan dengan perubahan vaskular, edema, dan infiltrat neutrofilik yang sangat
banyak, inflamasi kronik ditandai dengran hal-hal berikut :
- InfiItrasi sel mononuklear ("radang kronik” ), mencakup makrofag, limfosit,
dan sel plasma
- Destruksi jaringan, sebagian besar diatur radang
- Repair (perbaikan), melibatkan proliferasi pembuluh darah baru
(angiogenesis) dan fibrosis

4 . Cyclooxygenase-2 pada Ginjal

18
Cyclooxygenase (COXs) yang juga dikenal dengan prostaglandin H
synthases atau prostaglandin endoperoxide Synthases, adalah asam lemak
oksigenase dari superfamili myeloperoksidase yang sangat erat hubungannya
dengan oksidase yang dapat diinduksi oleh pathogen dan sintesis linoleate diol
pada tanaman dan jamur. Purifikasi dari COX pada domba dan vesicular
seminalis dari bovine pada tahun 1976 menjadi dasar cloning dari gen COX pada
1988.
Selama bertahun-tahun, diperkirakan bahwa protein COX-1 yang aktif
secara konstitutif adalah satu-satunya siklooksigenase pada sel eukariotik. tetapi
pada tahun 1991 enzim kedua yang dapat diinduksi diidentifikasi melalui studi
pembelahan sel; Enzim kedua ini sekarang disebut COX-2. Semua vertebrata
termasuk ikan, burung dan mamalia, memiliki 2 gen COXs: satu mengkode
konstitutif COX-1 dan yang lain menginduksi COX-2. COX-1 dan COX-2
berbagi kira-kira 60-65% identitas asam amino satu sama lain.
COX-1 terdistribusi luas dan diekspresikan pada semua jaringan tempat
COX-1 berada. Ptgs-1 yang merupakann gen dari COX-1 mengkode 2.8 kb
mRNA yang relatif stabil. Sementara, gen untuk COX-2, yaitu Ptgs-2 adalah gen
awal yang segera diaktifkan oleh beragam rangsangan inflamasi, Perbedaan
dalam pola ekspresi gen memberikan penjelasan yang jelas untuk keberadaan
dua isoform COX, menunjukkan bahwa COX-1 menyediakan prostaglandin
yang diperlukan untuk fungsi homeostatik, termasuk sitoproteksi gaster dan
hemostasis, sedangkan COX-2 memainkan peran utama dalam formasi
prostaglandin selama keadaan patofisiologis, seperti pembengkakan dan
tumorigenesis. (Chandrasekharan & Simmons, 2004)
Asam arachidonat adalah asam lemak tak jenuh yang didistribusi melalui
membrane lipid sel. Asam arachidonat dapat dimetabolisme melalui tiga jalur
mayor: 1) Jalur Cyclooxygenase; 2) Jalur Lipooxygenase; 3) Jalur sitokrom P-
450 monooxygenase.
Cyclooxygenase mengkatalisis konversi asam arachidonat menjadi PGH2.
Hal ini terjadi melalui proses dua langkah, di mana langkah pertama
mempresentasikan dua molekul oksigen ke arachidonat, membentuk

19
prostaglandin G2 (PGG2). Tahap kedua terjadi di tempat reaktif yang berbeda
yang terletak di sisi lain molekul, dan memerlukan difusi PGG2. Pada tahap ini
peroksidasi mengakibatkan reduksi dari PGG2 menjadi PGH2 bebas yang dapat
berdifusi. (Williams et al., 1999)

Gambar2. Eicosanoid biosynthesis (Sun & Empie, 2012)

Perbedaan ekspresi dan distribusi dua COX isoform melibatkan


mereka dalam regulasi berbagai fungsi fisiologis di dalam ginjal. COX-1 adalah
isoform dominan yang akan diekspresikan dalam sel mesangial glomerular, sel
endotel arteriolar, serta pada duktus kortikal dan meduler di ginjal sapi, kelinci,
dan tikus. Di ginjal manusia, COX-1 telah diidentifikasi pada sel duktus
kolektivus, sel interstisial, dan vasa recta. Sebaliknya, ekspresi basal COX-2
kurang signifikan dan menunjukan variasi diantara spesies-spesies. Distribusi
COX-2 terlokalisasi di makula densa dari ascending limb lengkung henle dan sel
interstisial di tikus, kelinci dan anjing. Imunoreaktivitas COX-2 juga dapat
ditemukan pada sel interkalatus ductus kolektivus ginjal tikus. Pada manusia,
COX-2 berkaitan dengan peredaran darah ginjal, lengkung henle, dan podosit.
Lebih jauh lagi, COX-2 terdeteksi pada makula densa manusia usia lebih dari 60
tahun. Pada respon inflamasi, COX-2 dapat diekspresikan pada lebih banyak tipe
sel di ginjal.
Menurut penelitian, tikus yang memiliki gangguan pada gen COX-
1 terlihat lebih sehat tanpa adanya defek pada ginjal. Sebaliknya, tikus yang
memiliki gangguan pada gen COX-2 memperlihatkan nefropati berat dan ginjal
terlihat lebih pucat dan lebih kecil daripada sebelumnya. Pada fase yang lebih
awal, ginjal menunjukan glomerulus kecil imatur pada bagian subkapsuler dan
pembesaran glomerulus di luar area hipoplastik tersebut. Dengan bertambahnya

20
umur, kerusakan ginjal berkembang menjadi lebih berat dan sampai pada
stadium akhir dari penyakit ginjal.

Gambar 3. Distribusi isoform cyclooxygenase pada nefron (Sun & Empie, 2012)

Penerlitian yang dilakukan oleh Amarkaby dan Imig pada tahun 2010
menunjukkan bahwa pada korteks dari ginjal tikus yang diberikan diet tinggi lemak
didapatkan ekspresi TNF-ᵅ yang lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol.
TNF-ᵅ akan menstimulasi transkripsi dari NF-kB yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi dari gen COX-2. Aktivasi dari gen COX-2 menyebabkan
peningkatan produksi enzim COX-2.
Peningkatan dari protein COX-2 juga menstimulasi perubahan asam arakidonat
(AA) menjadi tromboksan dan berbagai macam prostaglandin, salah satu
prostaglandin yang diproduksi pada ginjal adalah prostaglandin E-2 (PGE-2). PGE-
2 selanjutnya dapat meningkatkan kerja dari berbagai sitokin pro-inflamasi, salah
satunya adalah Fibroblast Growth Factor (FGF) yang memiliki peran dalam
terbentuknya jaringan fibrosis pada ginjal model diet tinggi lemak dan tinggi
fruktosa. (Castelao, 2013)

21
Selain FGF, PGE-2 juga menstimulasi ekspresi dari Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF) pada ginjal. VEGF dapat menyebabkan terjadinya angiogenesis.
Pada ginjal, angiogenesis mengakibatkan semakin banyak darah yang masuk ke
ginjal sehingga fungsi filtrasi ginjal dipaksa untuk bekerja lebih, jika ginjal sudah
tidak dapat mengkompensasinya maka dapat terjadi kerusakan pada ginjal. VEGF
juga berperan dalam terjadinya inflamasi pada ginjal karena memiliki kemampuan
untuk menstimulasi ekspresi dari makrofag dan monosit. (Cohen, 2018) Seluruh
mekanisme diatas pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi vaskuler.

A. Tumbuhan Kelor
1. Taksonomi Kelor
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super divisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta / Angiospermae
Kelas : Magnoliopsida / Dicotyledoneae
Subkelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera, Lam (Mishra et al., 2011)

22
Gambar 5. Biji kelor berbentuk bulat dan berwarna coklat kehitaman yang dilapisi
oleh pembungkus dengan tiga sayap simetris (Ali, Muyibi, Salleh, Alam,
& Salleh, 2010).

2. Deskripsi tumbuhan
Kelor (Moringa oleifera Lam.) merupakan tanaman dikotil perennial
yang dapat ditemui di negara beriklim tropis dan subtropis (Leone et al., 2016).
Tanaman kelor berasal dari sub pegunungan Himalaya dan kini telah tersebar
di negara-negara tropis dan subtropis seperti Indonesia, India, Kenya, Pakistan,
Afghanistan, Madagaskar, beberapa negara di Afrika Tengah,dan beberapa
negara di Amerika Latin. Persebaran tanaman kelor yang cukup luas
dikarenakan tanaman ini mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi
lingkungan yang mengalami kekeringan dan pada lingkungan dengan curah
hujan yang rendah (Saini et al, 2016).
Kelor mampu tumbuh setinggi 7-11 meter. Batangnya berkayu dan
memiliki akar tunggang. Biji kelor berbentuk bulat kecil dan berwarna coklat

23
kehitaman yang dilapisi oleh pembungkus dengan tiga sayap simetris (Leone et
al., 2016). Biji kelor telah dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan pangan,
penjernih air, dan penjernih gula (Fahey, 2005).
3. Kandungan Biji Kelor
Biji kelor mengandung minyak sebesar 36.7% dari berat total.
Kandungan protein biji kelor cukup tinggi, yakni 31.4%. Kandungan asam
amino sistein dan metionin pada biji kelor dilaporkan hampir setara dengan
kandungan asam amino tersebut pada susu dan telur (Ferreira, Farias, Oliveira,
& Carvalho, 2008). Selain itu, pada biji kelor juga mengandung karbohidrat
sebanyak 18,4%, serat 7.4%, dan abu 6.2% (Leone et al., 2016).
Selain itu pada biji kelor juga terdapat senyawa fitokimia yang masing–
masing memiliki efek farmakologi tertentu. Contohnya adalah alkaloid
moringin dan moringinin, serta flavonoid (Leone et al., 2016). Senyawa
fitokimia lainnya adalah saponin, tannin, terpen, antraquinon, karotenoid, asam
askorbat, tokoferol, dan -sitosterol (Ajibade, Arowolo, & Olayemi, 2013;
Leone et al., 2016; Singh et al., 2009).
4. Peran Biji Kelor terhadap Sindrom Metabolik
Biji kelor mengandung senyawa antioksidan yang dapat mencegah dan
memperlambat progresivitas sindrom metabolik. Antioksidan yang ditemukan
pada biji kelor antara lain adalah polifenol, saponin, dan antioksidan lain seperti
karotenoid, tokoferol, vitamin C, -sitosterol, dan kaemferol.
a. Polifenol
Polifenol merupakan antioksidan alami yeng dapat ditemukan pada
tumbuhan. Kandungan antioksidan pada senyawa polifenol mampu mencegah
terjadinya stress oksidatif karena polifenol menerima sebuah elektron dan
membentuk senyawa phenoxyl radical yang cukup stabil (Pandey & Rizvi,
2009). Maka dari itu, polifenol berperan dalam mencegah atau memperlambat
kerusakan jaringan yang disebabkan oleh ROS dan radikal bebas (Mohammed
& Manan, 2015; Nadjiba Meziou-Chebouti, 2016).

24
i.) Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang terdapat pada
tumbuhan. Flavonoid umumnya ditemukan pada buah dan sayuran yang
berwarna hijau atau merah (Peterson, Dwyer, Jacques, & McCullough, 2015).
Kandungan flavonoid yang terdapat pada tiap 1 gram biji kelor adalah sebesar
2.900 ± 0.002 mg (Mohammed & Manan, 2015).
Flavonoid mempunyai efek antioksidan yang terkandung pada gugus
OH aromatiknya (Heijnen, Haenen, Vekemans, & Bast, 2001). Efek antioksidan
ini mampu mencegah kerusakan yang disebabkan ROS. Senyawa flavonoid
yang terkandung pada biji kelor adalah catechin, epicatechin, quercetin, dan
kaempferol (Leone et al., 2016).
Kandungan kaempferol yang merupakan flavonoid pada ekstrak daun
kelor dapat menurunkan aktifitas NFκβ. Flavonoid menurunkan aktifitas NFκβ
dengan cara menghambat pembentukan ROS sehingga Iκβ tidak terfosforilasi
dan NFκβ dapat dihambat (Andjani et al. 2016). Ekstrak etanolik bunga kelor
menghambat aktivitas NO dan sitokin proinflamasi (IL-6, IL-1, TNF-, PGE2)
serta meningkatkan ekspresi Iκβ yang merupakan regulator yang menghambat
NFκβ (Kalappurayil, 2016).

NFκβ sendiri merupakan faktor transkripsi utama dalam ekspresi


berbagai sitokin proinflamasi seperti TNF α, IL-1, 1L-6, 1L-8 dan COX-2 serta
molekul adhesi seperti E-selectin, ICAM-1, VCAM-1 (Rastini et al., 2010).

25
Gambar 5. Struktur kimia senyawa flavonoid (Kumar & Pandey, 2013)

Senyawa lain yang dapat menghambat COX-2 adalah kuersetin yang


merupakan golongan flavonoid komponen bioaktif utama kelor yang memiliki
mekanisme sebagai antiinflamasi. Penelitian Mediavillla dkk (2006) dan
Cheong (2004) menunjukkan kuersetin dapat menghambat ekspresi COX-2.
Aktivitas penghambatan COX-2 oleh kuersetin disebabkan oleh gugus 3’4’ OH
pada cincin B. Mekanisme kerja ekstrak etanol tumbuhan kelor dalam
menghambat ekspresi COX-2 menyebabkan asam arakhidonat tidak berubah
menjadi prostaglandin endoperoksida siklik. Prostaglandin endoperoksida
siklik merupakan prazat untuk semua prostaglandin sehingga biosintesis
prostaglandin terhenti. Prostaglandin berfungsi untuk meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan udem dan kemotaksis
neutrofil. Dengan demikian penghambatan terhadap aktivitas enzim
siklooksigenase oleh ekstrak etanol daun kelor akan menurunkan volume udem
dan ekspresi COX-2 melalui neutrofil.
b. Antioksidan Lainnya
Antioksidan lain yang terkandung dalam biji kelor antara lain karotenoid,
tokoferol, vitamin C, -sitosterol, dan kaemferol (Singh et al., 2009).
Antioksidan berperan dalam mencegah atau memperlambat kerusakan jaringan
yang disebabkan oleh ROS.
ROS merupakan molekul yang sangat reaktif dan tidak stabil yang dapat
merusak penyusun sel seperti karbohidrat, asam nukleat, lemak, dan protein.
Kerusakan struktural sel tersebut mampu mengganggu fungsi sel. Selain itu,
ROS dapat mempengaruhi regulasi siklus sel sehingga mengakibatkan
proliferasi sel terganggu. (Birben, Sahiner, Sackesen, Erzurum, & Kalayci,
2012). ROS terbentuk karena adanya penambahan satu elektron bebas pada
unsur oksigen sehingga didapatkan suatu senyawa yang tidak stabil.
Antioksidan mampu mencegah atau memperlambat kerusakan jaringan yang
diakibatkan ROS karena antioksidan mampu menerima sebuah elektron pada
ROS sehingga dapat membentuk senyawa yang stabil (Sindhi et al., 2013).

26
IX. Kerangka Pemikiran

cC

Keterangan : : menyebabkan : menghambat

27
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran

X. Hipotesis
1. Pemberian ekstrak biji kelor (Moringa oleifera, Lam.) dapat menurunkan
ekspresi COX-2 (cyclooxygenase-2) dan inflamasi pada jaringan ginjal
tikus putih (Rattus norvegicus) model tinggi lemak tinggi fruktosa

XI. Metode Penelitian


A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. Pada
penelitian ini digunakan subjek yang diberikan perlakuan tertentu dan
dibagi menjadi beberapa kelompok. Setelah pemberian perlakuan,
kemudian peneliti membandingkan parameter yang akan diukur pada
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. (Sarwono, 2006). Pada
penelitian ini hal yang dibandingkan adalah kadar kreatinin serum tikus
sebelum dan sesudah perlakuan diet tinggi lemak tinggi fruktosa, kadar
kreatinin serum setelah pemberian ekstrak biji kelor, dan gambaran
histopatologi ginjal kanan dan kiri tikus yang telah diberikan perlakuan.
Eksperimen yang dilakukan merupakan gabungan antara pretest-
post-test control group design untuk pengukuran kadar kreatinin serum dan
post-test only control group design untuk pemeriksaan perubahan
histopatologi ginjal. Pada penelitian ini pengukuran kadar kreatinin serum
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian perlakuan. Sedangkan
pengamatan histopatologi organ hanya dilakukan setelah pemberian
perlakuan (Sarwono, 2006).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan
Gizi (PSPG) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan di Laboratorium
Patologi Anatomi FK UNS.

28
C. Subjek Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini merupakan tikus putih (Rattus
Norvegicus) jantan dengan galur Wistar, usia 2-3 bulan dengan berat
badan 150-200 gram.
2. Sampel penelitian dan besar sampel
Pada penelitian ini akan digunakan 28 hewan coba yang terbagi
4 kelompok perlakuan secara acak (randomized). Menurut Federer
(1967), penentuan besar sampel minimal dalam penelitian eksperimental
dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
(𝑘 − 1)(𝑛 − 1) ≥ 15 Keterangan
(4 − 1)(𝑛 − 1) ≥ 15 𝑘 : Jumlah kelompok
3𝑛 − 3 ≥ 15 𝑛 : Jumlah sampel tiap kelompok
3𝑛 ≥ 18
𝑛≥6
Sehingga didapatkan jumlah sampel minimal adalah 6 ekor.
Sebagai cadangan ditambahkan satu ekor tikus sehingga besar sampel
adalah 7 ekor dalam satu kelompok. Sehingga pada penelitian ini
dibutuhkan 28 ekor tikus.
D. Teknik Sampling
Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan melalui metode
purposive sampling. Pada teknik ini, peneliti memilih sampel menurut
kriteria tertentu yang ditetapkan oleh peneliti. Kriteria pemilihan sampel
dijabarkan sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
a. Jenis tikus : Tikus galur Wistar
b. Berat badan : 150 – 200 gram
c. Umur : 2 – 3 bulan

29
d. Jenis kelamin : Jantan
2. Kriteria Ekslusi
Tikus yang menunjukkan tanda – tanda sakit seperti :
a. Piloereksi, rambut tampak kusam, kasar, berminyak, dan rontok
b. Kulit tampak longgar, berat badan menurun drastis setelah adaptasi
c. Kelopak mata sedikit menutup, mata cekung, sekret berwarna merah
di sekitar mata (kromodakriorrhea).
d. Feses lembek, cair, dan berbau
e. Lebih agresif kemudian menjadi pasif, tidak mau makan, tidak mau
minum, sering tidur di kandang
f. Sering mencicit saat dipegang
g. Bersin – bersin, tampak pucat, napas berbunyi
(Junaid, 2016).
Setelah terpilih 28 ekor tikus, seluruh sampel kemudian dibagi ke
dalam empat kelompok dengan randomisasi sederhana. Tujuan
dilakukannya randomisasi sederhana adalah untuk mendistribusikan
variabel perancu sehingga variabel perancu yang tidak terkendali dapat
terdistribusi merata pada semua kelompok (Harun, Putra, Chair, &
Sastroasmoro, 2014).
E. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Ekstrak etanolik biji kelor (Moringa oleifera, Lam.).

2. Variabel terikat :
 Ekspresi COX-2 tikus Wistar (Rattus norvegicus) setelah diberi
perlakuan diet tinggi lemak tinggi fruktosa dalam jangka waktu yang
ditentukan dalam kelompok perlakuan.

30
3. Variabel perancu
Terkendali Tidak Terkendali
 Jenis hewan percobaan  Kondisi psikologis hewan
 Jenis kelamin percobaan
 Umur  Infeksi mikroorganisme dan
 Berat badan sistem imun
 Jenis makanan tikus
 Parameter sebelum perlakuan

F. Definisi Operasional Variabel


1. Variabel bebas :
Ekstrak etanolik biji kelor (Moringa oleifera, Lam.)
a. Definisi konsep
Ekstrak biji kelor yang digunakan pada penelitian ini dibuat melalui
proses ekstraksi dengan metode maserasi. Pada ekstraksi dengan metode
maserasi. Simplisia kering biji kelor direndam dengan menggunakan pelarut
etanol 70%. Etanol dipilih karena senyawa tersebut mengandung gugus OH
dan C2H5 sehingga etanol dapat mengikat senyawa polar dan non polar.
Selain itu, etanol juga bersifat kurang toksik apabila dibandingkan dengan
sesama pelarut polar seperti metanol.
Biji kelor yang dipergunakan diperoleh dalam kondisi kering dari
petani lokal yang beralamat di Pacetan, Pendowoharjo, Sewon, Bantul,
Yogyakarta. Pembuatan simplisia dan proses ekstraksi dilakukan di
Laboratorium PSPG UGM Yogyakarta.
Pada penelitian ini ekstrak biji kelor diberikan kepada hewan coba
secara per oral menggunakan sonde lambung dalam dosis 150
mg/kgBB/hari dan 300mg/kgBB/hari selama 28 hari berturut – turut.
b. Alat ukur : Spuit
c. Satuan : ml
d. Skala : Rasio

31
2. Variabel terikat
a. Ekspresi COX-2 Tikus Wistar
Ekspresi COX-2 dengan pengecatan imunohistokimia antibodi anti
COX-2. Interpretasi positif bila terjadi reaksi warna pada nucleus dan
sitoplasma setelah pengecatan. Dinilai secara semikuantitatif
menggunakan Intensity Distribution Score (IDS). Yang didapatkan dari
formula sebagai berikut: IDS = (%Kx3) + (%Sx2) + (%Lx1) + (%Nx0)
Dengan % K adalah persentase sel positif kuat, % S adalah persentase
sel positif sedang, % L adalah persentase sel positif lemah, dan % N
adalah persentase sel negatif.
1) Alat ukur : mikroskop cahaya
2) Satuan :-
3) Skala : numerik rasio

3. Variabel Perancu
a. Terkendali
1) Jenis Hewan Percobaan
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini dipilih dari
tikus yang sehat dan tidak terdapat kelainan anatomi untuk
menjaga genotipe, fenotipe (efek maternal), dan dramatipe (efek
lingkungan terhadap fenotipe) sehingga didapatkan hasil
penelitian yang reliabel (Ridwan, 2013).
Menurut Marquez, dkk (2016), variasi genetik pada hewan
coba dapat menyebabkan perbedaan respons hewan coba
terhadap diet yang diberikan pada percobaan sehingga dapat
mempengaruhi kadar kolesterol dan glukosa. Maka dari itu,
untuk dapat meminimalisasi variasi genetik, hewan coba yang
digunakan berasal dari galur yang sama, yaitu galur Wistar.
Galur Wistar dipilih karena dinilai lebih responsif terhadap diet
tinggi lemak daripada tikus Sprague-Dawley. Hewan coba yang

32
dipergunakan pada penelitian ini diperoleh dari laboratorium
PSPG UGM.
Setelah didapatkan jumlah sampel yang sesuai, peneliti
kemudian membagi populasi tikus menjadi empat kelompok
dengan randomisasi sederhana sehingga variasi genetik lain
dapat terdistribusi merata (Harun et al., 2014).
2) Jenis Kelamin
Pada penelitian ini hewan coba yang dipilih merupakan tikus
berjenis kelamin jantan. Jenis kelamin jantan dipilih untuk
menyeragamkan populasi serta untuk menghindari pengaruh
hormon estrogen pada penelitian. Hormon estrogen pada tikus
betina dapat mengakibatkan: 1) meningkatnya HDL dan
trigliserida, 2) menurunnya LDL dan kolesterol. 3)
Meningkatnya deposit lemak pada jaringan subkutan. (Hall,
2016; Suherman, 2007)
3) Umur
Berdasarkan penelitian (Ihedioha, Noel-uneke, & Ihedioha,
n.d.), umur hewan percobaan dapat mempengaruhi hasil
penelitian. Pengaruh tersebut dapat terjadi karena pada tikus
kadar kolesterol, HDL, dan LDL meningkat pada umur 4
minggu, mencapai puncak pada umur 6 minggu. Setelah itu tikus
berumur 6 minggu, kadar ketiga parameter tersebut akan turun
secara progresif sesuai umur. Sedangkan, kadar trigliserida dan
VLDL mencapai puncak pada umur 4 minggu, turun secara
progresif, dan stabil pada umur 20 – 50 minggu.
Maka dari itu, pada penelitian ini dipilih tikus yang berumur
2–3 bulan untuk meminimalisasi pengaruh umur terhadap kadar
kolesterol.
4) Berat Badan
Hewan percobaan yang digunakan memiliki berat badan 150 –
200 gram.

33
5) Jenis Makanan
Makanan yang diberikan untuk semua tikus adalah :
a. Pakan standar pellet BR-2 yang diberikan untuk kelompok
kontrol negatif.
b. Pakan standar pellet BR-2 dan pakan tinggi lemak tinggi
fruktosa yang diberikan untuk kelompok perlakuan.
 Kuning telur bebek 2 ml/200 gramBB dan lemak sapi 2
ml/200 gramBB.
 Fruktosa 0,36 gram/200 gramBB.
 Minyak teroksidasi 1 ml/200 gramBB.
Ketiga pakan tersebut diberikan secara bertahap
menggunakan sonde lambung selama 50 hari berturut-turut.

6) Kadar Kreatinin Serum Sebelum Perlakuan


Sebelum diberikan pakan tinggi lemak tinggi fruktosa, kadar
kreatinin serum pada tikus diperiksa terlebih dahulu (pretest)
menggunakan kitDiaSys (Diagnostic System Holzheim
Germany). Kadar kreatinin serum dinyatakan dalam satuan
mg/dL. Apabila tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara
kadar kreatinin serum pada kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan, maka penelitian dilanjutkan. Jika terdapat perbedaan
yang bermakna, maka maka peneiliti akan memasukkan hal
tersebut sebagai variabel perancu dalam uji statistik.
b. Tidak Terkendali
1) Kondisi Psikologis Hewan Percobaan
Kondisi psikologis tikus amat dipengaruhi oleh perlakuan
yang dialami tikus, suasana lingkungan yang ramai, dan
kompetisi antar tikus. Apabila kondisi-kondisi tersebut buruk
dapat menyebabkan tikus menjadi stress. Terdapat beberapa cara

34
yang dapat dilakukan untuk mencegah masalah tersebut antara
lain:
 Memelihara tikus pada kandang yang luas dan berukuran
sama untuk setiap kelompok.
 Menyamakan jumlah tikus dalam setiap kandang untuk
menghindari dominansi atau kekurangan makanan.
 Menciptakan kondisi kandang dan suasana lingkungan yang
tenang dan tidak ramai.
 Mengatur suhu, pencahayaan, ventilasi, dan kelembapan
kandang secara optimal.
2) Infeksi Mikroorganise dan Sistem Imun
Selama perlakuan, hewan coba rentan mengalami infeksi
yang disebabkan karena mikroorganisme. Sistem kekebalan
tubuh hewan coba dapat mempengaruhi respons terhadap infeksi
tersebut. Kedua hal tersebut dapat mempengaruhi hasil
penelitian, tetapi tidak dapat dikendalikan karena sulit dideteksi.
Peneliti hanya dapat mengetahui terjadinya infeksi apabila
hewan coba menunjukkan tanda–tanda seperti tampak lemas dan
lesu, kurang aktif, dan tidak mau makan.
G. Instrumen Penelitian
1. Alat
 Kandang untuk hewan percobaan
 Timbangan digital
 Gelas ukur, pipet tetes, pipet ukur, pengaduk
 Sonde
 Seperangkat kit DiaSys
 Wadah atau jar untuk menampung organ
 Sonde lambung
 Alat bedah seperti scalpel, gunting, pinset
2. Bahan

35
 Pakan standar pellet BR-2
 Akuabides
 Pakan tinggi lemak tinggi fruktosa yaitu kuning telur bebek, lemak
sapi, fruktosa, dan minyak teroksidasi
 Air PAM
 Etanol 70% sebagai pelarut ekstrak
 Ekstrak biji kelor
 Formalin buffer pH 7.0 1 M

H. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data


1. Tahap Persiapan
a. Persiapan Alat dan Bahan
1) Membuat ethical clearance dan surat penelitian
2) Persiapan hewan percobaan
3) Pembuatan diet tinggi lemak tinggi fruktosa yang terdiri dari
kuning telur bebek, lemak sapi, fruktosa, dan minyak teroksidasi

b. Pembuatan Ekstrak Biji Kelor (Moringa oleifera)


Pada penelitian ini, biji kelor kering diperoleh dari petani lokal
yang beralamat di Pacetan, Pendowoharjo, Sewon, Bantul,
Yogyakarta. Peneliti kemudian melakukan penyortiran secara
manual untuk mengeliminasi biji yang rusak serta untuk membuang
bagian biji yang tidak dibutuhkan. Biji kelor yang telah disortir
kemudian akan diolah menjadi simplisia lalu diekstraksi. Pembuatan
simplisia dan proses ekstraksi biji kelor dilakukan di Laboratorium
PSPG UGM Yogyakarta
Cara melakukan ekstraksi adalah sebagai berikut:
1) Biji kelor yang terpilih diubah menjadi serbuk menggunakan
mesin grinder. Serbuk kemudian diayak menggunakan ayakan
berukuran 25 mesh untuk memperoleh simplisia halus dengan
ukuran yang homogen.

36
2) Merendam simplisia dengan pelarut etanol 70% dengan
perbandingan 1:6 selama 72 jam sambil diaduk sesekali untuk
menghindari terjadinya gumpalan.
3) Hasil rendaman kemudian disaring sehingga diperoleh filtrat dan
residu. Jika residu yang didapatkan masih berwarna, maka
dilakukan remaserasi residu hingga membentuk larutan yang
tidak berwarna. Remaserasi dilakukan agar didapatkan jumlah
ekstrak yang maksimal.
4) Filtrat yang didaptkan kemudian diuapkan menggunakan
vacuum rotary evaporator dan pemanas water bath pada suhu
700C sehingga terbentuk ekstrak kental.
5) Ekstrak kental dibuat suspensi dengan pelarut CMC-Na 0,5%.

c. Perhitungan Dosis Ekstrak Biji Kelor


Menurut (Chivapat et al., 2012), pemberian ekstrak etanolik biji
kelor dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dan 500 mg/kgBB/hari
selama 90 hari dapat menurunkan kadar glukosa, kreatinin, asam
urat, trigliserida, dan kolesterol. Selain itu, (Olayemi, Olanrewaju,
& Christopher Oloruntoba, 2016), menyatakan bahwa pemberian
ekstrak metanol biji kelor dengan dosis 100 mg/kgBB dan 200
mg/kgBB selama 28 hari dapat menurunkan kadar kreatinin secara
bermakna
Dalam penelitian ini, ekstrak biji kelor diberikan dalam dosis
150 mg/kgBB/hari dan 300 mg/kgBB/hari selama 28 hari. Dosis
tersebut jauh di bawah dosis letal median (LD50) yang bernilai 6,68
gram/kgBB (Chivapat et al., 2012).

2. Tahap Adaptasi
Sebelum diberikan perlakuan, semua hewan coba akan
diadaptasikan terlebih dahulu dengan lingkungan laboratorium selama

37
1 minggu. Pada tahap adaptasi ini, semua tikus diberikan pakan standard
pellet BR-2 dan air PAM secara ad libitum.
3. Tahap Pemberian Diet Tinggi Lemak Tinggi Fruktosa
Tahap pemberian diet tinggi lemak tinggi fruktosa ini bertujuan
untuk menginduksi kondisi hiperkolesterol, hiperglikemia, dan
kerusakan berbagai organ pada hewan coba. Pada tahap ini semua
hewan coba diberikan diet tinggi lemak dan tinggi fruktosa. Komposisi
diet yang diberikan antara lain :
a. Pakan tinggi lemak yang terdiri dari kuning telur bebek 2 ml/200
gramBB dan lemak sapi 2 ml/200 gram BB yang diberikan selama
50 hari berturut–turut.
b. Pakan tinggi fruktosa yang terdiri dari fruktosa 0,36 gram/200
gramBB yang diberikan selama 50 hari berturut – turut.
c. Minyak teroksidasi 1 ml/200 gramBB yang diberikan selama 50 hari
berturut – turut.
4. Tahap Pengukuran Parameter
Pengukuran berbagai parameter dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu :
a. Pada hari ke-0, yaitu hari terakhir adaptasi dan sebelum pemberian
pakan tinggi lemak tinggi fruktosa.
b. Pada hari ke-51, yaitu satu hari setelah hari terakhir pemberian
pakan tinggi lemak tinggi fruktosa.
c. Pada hari ke-79, yaitu satu hari setelah hari terakhir pemberian
ekstrak biji kelor.
Kadar kreatinin serum diukur dari darah hewan coba yang diambil
melalui vena retro orbitalis. Darah diambil melalui vena retro orbitalis
karena vena tersebut terletak superfisial sehingga tidak menyakiti hewan
coba. Setelah darah diambil, darah kemudian didiamkan selama 15
menit. Kemudian darah disentrifugasi menggunakan mesin centrifuge
dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Hasil sentrifugasi berupa
serum yang berwarna jernih digunakan sebagai sampel untuk

38
menganalisis kadar kreatinin serum menggunakan kit DiaSys
(Diagnostic System Holzheim Germany).
Pada pengukuran kadar kreatinin serum menggunakan kit DiaSys
tersebut menggunakan metode tes kinetik tanpa deproteinasi. Prinsip
pengukuran kadar kreatinin serum ini adalah penambahan asam pikrat
pada serum tanpa deproteinasi akan menghasilkan kompleks kreatinin-
pikrat yang berwarna oranye kemerahan. Absorbsi warna tersebut akan
diukur dengan sinar pada panjang gelombang 492 nm. Kadar kreatinin
serum akan berbanding lurus dengan laju absorbsi warna.

5. Tahap Pemberian Ekstrak


Setelah tikus dalam kondisi hiperkolesterolemia dan hiperglikemia,
maka tikus dibagi menjadi 5 kelompok secara random, yaitu :
 Kelompok I : Kontrol negatif, diberikan pakan standard pellet
BR-2 dan akuades selama 78 hari.
 Kelompok II : Kontrol positif, diberikan pakan tinggi lemak tinggi
fruktosa (kuning telur bebek 2 ml/200 gramBB,
lemak sapi 2 ml/200 gram BB, fruktosa 0,36
gram/200 gramBB, dan minyak teroksidasi 1
ml/200 gramBB) selama 50 hari kemudian
diberikan CMC-Na 0,5% per oral 2 kali sehari
selama 28 hari.
 Kelompok III : Diberikan pakan tinggi lemak tinggi fruktosa
(kuning telur bebek 2 ml/200 gramBB, lemak sapi
2 ml/200 gram BB, fruktosa 0,36 gram/200
gramBB, dan minyak teroksidasi 1 ml/200
gramBB) selama 50 hari kemudian diberikan
ekstrak biji kelor dengan dosis 150 mg/kgBB/hari
selama 28 hari.
 Kelompok IV : Diberikan pakan tinggi lemak tinggi fruktosa
(kuning telur bebek 2 ml/200 gramBB, lemak sapi

39
2 ml/200 gram BB, fruktosa 0,36 gram/200
gramBB, dan minyak teroksidasi 1 ml/200
gramBB) selama 50 hari kemudian diberikan
ekstrak biji kelor dengan dosis 300 mg/kgBB/hari
selama 28 hari
Untuk memudahkan identifikasi, setiap kandang tikus diberikan
label nama kelompok.

6. Tahap Terminasi dan Pengamatan Makroskopis


Pada hari ke-79, setelah diperiksa kadar kreatinin serum, hewan
coba akan dimatikan dan dibedah untuk diambil ginjal kanan dan kiri.
Kemudian ginjal tersebut diletakkan pada meja kaca dengan millimeter
blok untuk mengamati sediaan makroskopis jaringan. Pada pengamatan
makroskopis akan diamati ukuran, warna, dan konsistensi ginjal kanan
dan kiri hewan coba. Kemudian ginjal dipotong secara membujur untuk
mengamati gambaran makroskopis jaringan ginjal pada bagian dalam.
Pengamatan makroskopis dilakukan di laboratorium PSPG UGM.
Hal yang diamati dalam pengamatan makroskopis meliputi:
a. Ukuran
Ginjal kanan dan kiri tikus diletakkan pada kaca yang dibawahnya
terdapat kertas millimeter blok. Sehingga dapat diamati ukuran ginjal
yang meliputi panjang dan diameter terbesar ginjal. Ginjal tikus yang
normal memiliki volume ±1,7cm3. Pada ginjal tikus yang diberi
perlakuan diet tinggi lemak cenderung memiliki ukuran yang lebih besar
dibandingkan dengan ginjal normal (Altunkaynak et al., 2008;
Jayapalan, Saboorian, Edmunds, & Aukema, 2000).
b. Warna
Pengamatan warna ginjal dilakukan pada kaca dengan kertas
berwarna putih. Sehingga dapat teramati dengan jelas warna ginjal
kanan dan kiri. Ginjal yang sehat berwarna merah kecoklatan.
c. Konsistensi

40
Penilaian konsistensi dilakukan dengan menggunakan jari atau
pinset anatomis dan menekan ginjal secara hati-hati. Pada pengamatan
konsistensi ini perlu dilakukan secara hati-hati supaya tidak merusak
jaringan ginjal. Konsistensi ginjal yang sehat kenyal, tidak keras
ataupun lembek.
d. Kondisi lain
Kondisi lain yang dimaksud adalah kondisi permukaan ginjal dan
adanya lemak pada permukaan ginjal. Ginjal yang normal mempunyai
permukaan yang halus. Pada penelitian yang dilakukan oleh (Jayapalan
et al., 2000) ginjal pada tikus yang diberikan diet tinggi lemak
cenderung memiliki permukaan yang berbenjol karena terbentuknya
kista.
Ginjal yang telah diamati gambaran makroskopisnya kemudian
dimasukkan ke dalam wadah yang berisi formalin buffer 10% hingga
semua bagian organ terendam sempurna. Formalin buffer yang
digunakan terdiri atas formalin 10% di dalam Phospate Buffered Saline
sebesar 1M.
7. Tahap Pembuatan Preparat Histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Laboratorium
Patologi Anatomi FK UNS. Pada penelitian ini akan diamati ginjal
kanan dan kiri hewan coba. Masing-masing ginjal dipotong secara
membujur pada bagian yang representatif. Potongan tersebut lalu
dimasukkan ke kaset jaringan yang sudah diberi identitas sampel supaya
tidak tertukar.
a. Tahap Pemrosesan Jaringan
1) Fiksasi jaringan dengan cara memasukkan jaringan ke dalam
kaset jaringan kemudian kaset jaringan direndam di dalam buffer
formalin 10% selama 0 – 3 jam.
2) Tahap dehidrasi menghilangkan kandungan air di dalam
jaringan ginjal. Proses ini dilakukan dengan cara memasukkan
kaset jaringan secara berurutan ke dalam larutan: a) alkohol 50

41
–70% selama 30 menit; b) alkohol 95% selama 30 menit; c)
alkohol absolut selama 1 jam; d) alkohol absolut selama 1 jam;
kemudian e) alkohol absolut selama 1 jam.
3) Proses clearing untuk membersihkan sisa–sisa alkohol pada
jaringan ginjal. Proses ini dilakukan dengan cara memasukkan
kaset jaringan secara berurutan ke dalam: a) xylol 1 selama 30
menit; b) xylol 2 selama 1 jam; kemudian c) xylol 3 selama 1
jam.
4) Impregnasi jaringan dengan cara merendam kaset jaringan
dalam parafin selama 12 jam pada inkubator dengan suhu
maksimal 600C.

b. Tahap Pembuatan Blok Parafin dan Pemotongan


1) Parafin cair dituangkan secara perlahan ke dalam paper boat
mould. Setelah itu, memasukkan kaset jaringan ke dalam parafin
menggunakan pinset secara hati–hati. Tunggu beberapa saat
hingga parafin membeku. Orientasi jaringan perlu diperhatikan
supaya didapatkan gambaran jaringan yang representatif ketika
dilakukan pemotongan.
2) Pemotongan blok parafin sesuai dengan orientasi ginjal.
Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom
sebanyak 3 irisan dengan ketebalan masing–masing 5 m dan
jarak antar irisan adalah 20 slice. Dari ketiga irisan akan diambil
satu irisan untuk diamati.
3) Hasil sayatan diapungkan pada floating bath dengan suhu 550C
untuk menghilangkan kerutan
4) Hasil sayatan ditangkap pada kaca objek yang telah diberi
identitas untuk identifikasi sampel.

c. Tahap Pewarnaan

42
1) Deparafinisasi untuk menghilangkan sisa parafin. Deparafinisasi
dilakukan dengan cara memasukkan kaca objek pada xylol 1, 2,
3, dan 4 masing–masing selama 5 menit. Kemudian mencuci
kaca objek dengan alkohol secara berurutan mulai dari kadar
95%, 80%, 70%, dan 50% masing–masing selama 5 menit.
2) Pencucian preparat dengan air mengalir selama 5 menit
kemudian memasukkan preparat ke dalam pewarna hematoksilin
selama 10 menit. Kemudian mencuci kembali preparat dengan
air mengalir selama 2 menit kemudian memasukkan preparat ke
dalam pewarna eosin selama 30 detik
3) Pencucian preparat dengan air mengalir selama 2 menit, preparat
dicelupkan dua kali ke dalam alkohol 50%, kemudian
dikeringkan dengan cara diangin – anginkan
4) Mounting dengan xylol kemudian menutup preparat dengan
kaca penutup.

8. Tahap Pengamatan
Pengamaan histopatologi dilakukan menggunakan mikroskop
cahaya Olympus CX-21 dengan perbesaran 400 kali pada sembilan
lapang pandang. Untuk mempermudah identifikasi, pengamatan dibantu
dengan Scope Image 9.0 dalam 1 lapang pandang
Proses pengamatan dilakukan oleh dua orang, yaitu oleh
pembimbing dan oleh peneliti secara double blind. Kode preparat
dirahasiakan dan kunci kode dipegang oleh pembimbing 1. Sehingga
masing–masing pengamat tidak mengetahui jenis sampel yang diamati.

43
I. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah experimental
randomized control group pre and post-test design.

Sampel Tikus Putih Wistar (28 ekor)

Kelompok I (Kelompok Kontrol Negatif): Kelompok II, III, IV (Perlakuan):


7 ekor tikus putih wistar 21 ekor tikus putih wistar

Cek kadar gula darah dan berat badan tikus

Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV

Pemberian Makanan Standar + Diet Tinggi Lemak Tinggi Fruktosa:


Makanan Standar 2cc/200gBB kuning telur bebek dan 2cc/200gBB minyak teroksidasi
BR-2 ad libitum selama 50 hari dengan cara sonde lambung.

Cek kadar gula darah dan berat badan tikus


Cek kadar kreatinin serum setelah pemberian perlakuan
Diberi CMC Na Diberi ekstrak Diberi ekstrak
0.5% etanolik biji kelor etanolik biji kelor
dengan dosis 150 dengan dosis 300
mg/kgBB selama mg/kgBB selama
28 hari. 28 hari.

Pembuatan sedian preparat histopatologi menggunakan pengecatan

Pengecatan HE Pengecatan IHC

Pengamatan preparat mikroskopis ginjal kanan dan kiri

Analisis Data dan Simpulan

44
J. Analisis Data
1. Analisis Pemberian Ekstrak Biji Kelor terhadap Ekspresi COX-2
Jaringan Ginjal
Pada penelitian ini pemeriksaan ekspresi COX-2 dilakukan pada
ginjal kanan dan kiri. Sehingga, didapatkan sejumlah 56 preparat
histopatologi ginjal tikus. Dengan pengecatan IHC antibodi anti COX-
2 , positif bila terjadi reaksi warna coklat pada membran sel dan
sitoplasma setelah pengecatan. Dinilai dengan Intensity distribution
Score (IDS).
Data gambaran histopatologi ginjal sesudah pemberian ekstrak biji
kelor diperiksa distribusinya menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.
Uji Kolmogorov-Smirnov dipilih karena jumlah sampel yang digunakan
lebih dari 50. Apabila data terdistribusi normal, selanjutnya digunakan
one-way ANOVA yang dilanjutkan analisis post hoc menggunakan LSD
test. Apabila distribusi data tidak normal, maka digunakan uji Kruskal-
Wallis yang dilanjutkan analisis post hoc dengan uji Mann-Whitney
(Dahlan, 2011).

XII. Jadwal Penelitian


Mingggu ke-
No Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Bimbingan dan
1.
konsultasi

Minggu tenang
2.
ujian blok

3. Proposal siap

4. Ujian proposal

Pelaksanaan
penelitian dan
5.
pengumpulan
data

45
6. Penulisan skripsi

7. Ujian skripsi

XIII. Daftar Pustaka

Ajibade, T. O., Arowolo, R., & Olayemi, F. O. (2013). Phytochemical screening


and toxicity studies on the methanol extract of the seeds of moringa oleifera.
Journal of Complementary and Integrative Medicine, 10(1).
https://doi.org/10.1515/jcim-2012-0015

Ali, E. N., Muyibi, S. A., Salleh, H. M., Alam, M. Z., & Salleh, M. R. M. (2010).
Production of Natural Coagulant from Moringa Oleifera Seed for
Application in Treatment of Low Turbidity Water. Journal of Water
Resource and Protection, 02(03), 259–266.
https://doi.org/10.4236/jwarp.2010.23030

Altunkaynak, M. E., Özbek, E., Altunkaynak, B. Z., Can, İ., Unal, D., & Unal, B.
(2008). The effects of high-fat diet on the renal structure and morphometric
parametric of kidneys in rats. Journal of Anatomy, 212(6), 845–852.
https://doi.org/10.1111/j.1469-7580.2008.00902.x

46
Anwar, F., Latif, S., Ashraf, M., & Gilani, A. H. (2007). Moringa oleifera: a food
plant with multiple medicinal uses. Phytotherapy Research, 21(1), 17–25.
https://doi.org/10.1002/ptr.2023

Birben, E., Sahiner, U. M., Sackesen, C., Erzurum, S., & Kalayci, O. (2012).
Oxidative Stress and Antioxidant Defense. The World Allergy Organization
Journal, 5(1), 9–19. https://doi.org/10.1097/WOX.0b013e3182439613

Brown GT dan Kleiner DE (2016). Histopathology of nonalcoholic fatty liver


disease and nonalcoholic steatohepatitis. Metabolism, 65(8): 1080–1086.

Chivapat, S., Sincharoenpokai, P., Suppajariyawat, P., Rungsipipat, A.,


Phattarapornchaiwat, S., & Chantarateptawan, V. (2012). Safety evaluations
of ethanolic extract of Moringa oleifera Lam. seed in experimental animals.
The Thai Journal of Veterinary Medicine, 42(3), 343–352.

Dahlan, S. (2011). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba


Medika.

Fahey, J. W. (2005). Moringa oleifera: a review of the medical evidence for its
nutritional, therapeutic, and prophylactic properties. Part 1. Trees for Life
Journal, 1(5), 1–15.

Ferreira, P. M. P., Farias, D. F., Oliveira, J. T. de A., & Carvalho, A. de F. U.


(2008). Moringa oleifera: bioactive compounds and nutritional potential.
Revista de Nutrição, 21(4), 431–437. https://doi.org/10.1590/S1415-
52732008000400007

Hall, J. E. (2016). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology (13th ed.).
Philadelphia: Elsevier.

Hallfrisch, J. (1990). Metabolic effects of dietary fructose. The FASEB Journal,


4(9), 2652–2660.

Harun, S. R., Putra, S. T., Chair, I., & Sastroasmoro, S. (2014). Uji Klinis. In
Dasar - dasar Metodologi Penelitian Klinis (5th ed., pp. 187–216). Jakarta:

47
Sagung Seto.

Heijnen, C. G., Haenen, G. R., Vekemans, J. A., & Bast, A. (2001). Peroxynitrite
scavenging of flavonoids: structure activity relationship. Environmental
Toxicology and Pharmacology, 10(4), 199–206.

Hwang, I. S., Ho, H., Hoffman, B. B., & Reaven, G. M. (1987). Fructose-induced
insulin resistance and hypertension in rats. Hypertension, 10(5), 512–516.
https://doi.org/10.1161/01.HYP.10.5.512

Ihedioha, J. I., Noel-uneke, O. A., & Ihedioha, T. E. (n.d.). Reference values for
the serum lipid profile of albino rats ( Rattus norvegicus ) of varied ages and
sexes. Comparative Clinical Pathology, 22(1), 93–99.
https://doi.org/10.1007/s00580-011-1372-7

Jayapalan, S., Saboorian, M. H., Edmunds, J. W., & Aukema, H. M. (2000). High
Dietary Fat Intake Increases Renal Cyst Disease Progression in Han:SPRD-
cy Rats. The Journal of Nutrition, 130(9), 2356–2360.

Junaid, J. (2016). The Welfare of Animals Used in Research, Practice and Ethics.
The Canadian Veterinary Journal, 57(2), 175.

Kumar, S., & Pandey, A. K. (2013). Chemistry and Biological Activities of


Flavonoids: An Overview. The Scientific World Journal, 2013, e162750.
https://doi.org/10.1155/2013/162750

Leone, A., Spada, A., Battezzati, A., Schiraldi, A., Aristil, J., & Bertoli, S. (2016).
Moringa oleifera Seeds and Oil: Characteristics and Uses for Human Health.
International Journal of Molecular Sciences, 17(12).
https://doi.org/10.3390/ijms17122141

Mishra, G., Singh, P., Verma, R., Kumar, S., Srivastav, S., Jha, K., & Khosa, R.
L. (2011). Traditional uses, phytochemistry and pharmacological properties
of Moringa oleifera plant : An overview. Der Pharmacia Lettre, 3(2), 141–
164.

48
Mohammed, S., & Manan, F. A. (2015). Analysis of total phenolics, tannins and
flavonoids from Moringa oleifera seed extract. Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research, 7(1), 135–137.

Myles, I. A. (2014). Fast food fever: reviewing the impact of the Western diet on
immunity. Myles Nutrition Journal, 13, 1–17.

Nadjiba Meziou-Chebouti. (2016). Anti Inflammatory And Healing Activity Of


Seed Extracts Of Moringa Oleifera Harvested In Tamanrasset (Algeria).
International Journal of Advances in Chemical Engineering and Biological
Sciences, 2(2). https://doi.org/10.15242/IJACEBS.IAE1115409

Olayemi, A. T., Olanrewaju, M. J., & Christopher Oloruntoba, A. (2016).


Toxicological evaluation of Moringa oleifera Lam seeds and leaves in Wistar
rats. Pharmacognosy Communications, 6(2), 100–111.
https://doi.org/10.5530/pc.2016.2.8

Pandey, K. B., & Rizvi, S. I. (2009). Plant polyphenols as dietary antioxidants in


human health and disease. Oxidative Medicine and Cellular Longevity, 2(5),
270–278.

Peterson, J. J., Dwyer, J. T., Jacques, P. F., & McCullough, M. L. (2015).


Improving the estimation of flavonoid intake for study of health outcomes.
Nutrition Reviews, 73(8), 553–576. https://doi.org/10.1093/nutrit/nuv008

Ridwan, E. (2013). Ethical Use of Animals in Medical Research. Journal of the


Indonesian Medical Association, 63.

Sánchez-Lozada, L. G., Tapia, E., Jiménez, A., Bautista, P., Cristóbal, M.,
Nepomuceno, T., … Franco, M. (2007). Fructose-induced metabolic
syndrome is associated with glomerular hypertension and renal
microvascular damage in rats. American Journal of Physiology - Renal
Physiology, 292(1), F423–F429. https://doi.org/10.1152/ajprenal.00124.2006

Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

49
Silva, M. F., Nishi, L., Farooqi, A., & Bergamasco, R. (2014). The many health
benefits of Moringa oleifera. Journal of Medical and Pharmaceutical
Innovation, 1(3), 9–12.

Sindhi, V., Gupta, V., Sharma, K., Bhatnagar, S., Kumari, R., & Dhaka, N.
(2013). Potential applications of antioxidants – A review. Journal of
Pharmacy Research, 7(9), 828–835.
https://doi.org/10.1016/j.jopr.2013.10.001

Singh, B. N., Singh, B. R., Singh, R. L., Prakash, D., Dhakarey, R., Upadhyay, G.,
& Singh, H. B. (2009). Oxidative DNA damage protective activity,
antioxidant and anti-quorum sensing potentials of Moringa oleifera. Food
and Chemical Toxicology, 47(6), 1109–1116.
https://doi.org/10.1016/j.fct.2009.01.034

Suherman, S. K. (2007). Estrogen dan Progestin, Agonis dan Antagonisnya. In


Farmakologi dan Terapi Edisi 5 (pp. 455–467). Jakarta: Departemen
Farmakologik dan Terapeutik FK UI.

Sun, S. Z., & Empie, M. W. (2012). Fructose metabolism in humans – what


isotopic tracer studies tell us. Nutrition & Metabolism, 9, 89.
https://doi.org/10.1186/1743-7075-9-89

Aboutalebi R, Monfared A (2016). Saponin terpenoids: A brief review of


mechanisms of actions and anti-cancerous effects. American Chemical Science
Journal, 12: 1–8.

Aguilar M, Bhuket T, Torres S, Liu B, Wong, RJ (2015). Prevalence of the


metabolic syndrome in the united states, 2003-2012. The Journal of
American Medical Association, 313: 1973–1974.

Alberti, KGMM, Eckel RH, Grundy SM, Zimmet PZ, Cleeman JI, Donato KA,
Fruchart JC, James WPT, et al. (2009). Harmonizing the metabolic
syndrome. American Heart Association – Circulation, 120: 1640–1645.

50
Alexander MP, Patel TV, Farag YMK, Florez A, Rennke HG, Singh AK (2009).
Kidney pathological changes in metabolic syndrome: a cross-sectional
study. American Journal of Kidney Disease, 53: 751–759.

Ali EN, Muyibi SA, Salleh HM, Alam MZ, Salleh MRM (2010). Production of
natural coagulant from moringa oleifera seed for application in treatment
of low turbidity water. Journal of Water Resource and Protection, 2: 259–
266.

Altunkaynak ME, Özbek E, Altunkaynak BZ, Can İ, Unal D, Unal B (2008). The
effects of high-fat diet on the renal structure and morphometric parametric
of kidneys in rats. Journal of Anatomy, 212: 845–852.

Araújo LCC, Aguiar JS, Napoleão TH, Mota FVB., Barros ALS, Moura MC,
Coriolano MC, et al. (2013). Evaluation of cytotoxic and anti-
inflammatory activities of extracts and lectins from moringa oleifera seeds.
Public Library of Science One, 8 (12): 1-15.

Ashok PK, Upadhyaya K (2012). Tannins are astringent. Journal of


pharmacognosy and phytochemistry, 1:45-50.

Barrett KE, Boitano S, Barman SM (2010). Ganong’s Review of Medical


Physiology. Edisi ke 23. New York: McGraw-Hill Professional Publishing,
pp: 673-680.

Bhattacharyya A, Chattopadhyay R, Mitra S, Crowe SE (2014). Oxidative Stress:


An Essential Factor in the Pathogenesis of Gastrointestinal Mucosal
Diseases. Physiology Review, 94: 329–354.

Bhowmik D, Tiwari SC (2008). Metabolic syndrome and chronic kidney disease.


Indian Journal of Nephrology, 18: 1–4.

Bian S, Gao Y, Zhang M, Wang X, Liu W, Zhang D, Huang G (2013). Dietary


nutrient intake and metabolic syndrome risk in Chinese adults: a case–
control study. Nutrition Journal, 12: 106.

Bray GA (2007). How bad is fructose? American Journal of Clinical Nutrition, 86:
895–896.

51
Castelao J, Bart R, DiPerna C, Sievers E, Bremner E (2013). Lung Cancer and
Cyclooxygenase-2. Journal of Thoracic Surgeons.

Charlton-Menys V, Durrington PN (2008). Human cholesterol metabolism and


therapeutic molecules. Journal of Experimental Physiology, 93: 27–42.

Chivapat S, Sincharoenpokai, P, Suppajariyawat P, Rungsipipat A,


Phattarapornchaiwat S, Chantarateptawan V (2012). Safety Evaluations of
Ethanolic Extract of Moringa oleifera Lam. Seed in Experimental Animals.
The Thai Journal of Veterinary Medicine, 42: 343–352.

Choe E dan Min DB (2006). Chemistry and reactions of reactive oxygen species
in foods. Critical Review of Food Science and Nutrition, 46(1): 1-22.

Chung KT, Wong TY, Wei CI, Huang YW, Lin Y (1998). Tannins and human
health: a review. Critical Reviews on Food Science and Nutrition, 38: 421–
464.

Dahlan, Muhamad Sopiyudin. (2011). Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan.


Jakarta: Salemba Medika.

de Castro UGM, dos Santos RAS, Silva ME, de Lima WG, Campagnole-Santos
MJ, Alzamora AC (2013). Age-dependent effect of high-fructose and high-
fat diets on lipid metabolism and lipid accumulation in liver and kidney of
rats. Lipids in Health and Disease, 12: 136.

Douard V, Ferraris RP (2008). Regulation of the fructose transporter GLUT5 in


health and disease. American Journal of Physiology - Endocrinology and
Metabolism, 295: E227–E237.

Eroschenko VP, Fiore MSH (2013). diFiore’s atlas of histology with functional
correlations. Edisi ke 12. Philadelpia: Wolters Kluwer Health/Lippincott
Williams & Wilkins, pp: 422-423.

Fahey JW, (2005). Moringa oleifera: a review of the medical evidence for its
nutritional, therapeutic, and prophylactic properties, Part 1. Trees for life
Journal, 1: 1–15.

52
Falade AO, Oboh G, Ademiluyi AO, Odubanjo OV, (2015). Consumption of
thermally oxidized palm oil diets alters biochemical indices in rats. Beni-
Suef University Journal of Basic and Applied Sciences, 4: 150–156.

Ferreira PMP, Farias DF, Oliveira JT, Carvalho A, (2008). Moringa oleifera:
bioactive compounds and nutritional potential. Revista de Nutrição, 21:
431–437.

Gowda S, Desai PB, Kulkarni SS, Hull VV, Math AAK, Vernekar SN (2010).
Markers of renal function tests. North American Journal of Medical
Sciences, 2: 170–173.

Gröne EF, Walli, AK, Gröne HJ, Miller B, Seidel D, (1994). The role of lipids in
nephrosclerosis and glomerulosclerosis. Atherosclerosis, 107: 1–13.

Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH, Franklin BA, Gordon
DJ, et al. (2005). Diagnosis and management of the metabolic syndrome.
American Heart Association – Circulation, 112: 2735–2752.

Gwinner W, Landmesser U, Brandes RP, Kubat B, Plasger J, Eberhard O, Koch


KM, et al. (1997). Reactive oxygen species and antioxidant defense in
puromycin aminonucleoside glomerulopathy. Journal of American Society
in Nephrology, 8: 1722–1731.

Hall JE (2016). Guyton and Hall textbook of medical physiology. Edisi ke 13.
Philadelphia: Elsevier, pp 307-313.

Hallfrisch J (1990). Metabolic effects of dietary fructose. Federation of American


Societies for Experimental Biology Journal, 4: 2652–2660.

Harun SR, Putra ST, Chair I, & Sastroasmoro S. (2014). Uji Klinis. In Sudigdo
Sastroasmoro & Sofyan Ismael. Dasar - dasar Metodologi Penelitian
Klinis. Jakarta: Sagung Seto, pp: 187-216

Heijnen CG, Haenen GR, Vekemans JA, Bast A (2001). Peroxynitrite scavenging
of flavonoids: structure activity relationship. Journal of Toxicology and.
Pharmacology, 10: 199–206.

53
Hwang IS, Ho H, Hoffman BB, Reaven GM (1987). Fructose-induced insulin
resistance and hypertension in rats. American Heart Association Journal –
Hypertension, 10: 512–516.

Jayapalan S, Saboorian MH, Edmunds JW, Aukema HM (2000). High dietary fat
intake increases renal cyst disease progression in Han:SPRD-cy rats.
Journal of Nutrition, 130: 2356–2360.

Joles JA, Kunter UTA, Janssen ULF, Kriz W, Rabelink TJ, Koomans HA (2000).
Early mechanisms of renal injury in hypercholesterolemic or
hypertriglyceridemic rats. Journal of the American Society of Nephrology,
11: 669–683.

Junaid J. (2016). The Welfare of Animals Used in Research, Practice and Ethics.
Canadian Veterinary Journal, 57: 175.

Kaur J (2014). A comprehensive review on metabolic syndrome. Cardiology


Research and Practice, 1: 1-21.

Kitiyakara C, Yamwong S, Cheepudomwit S, Domrongkitchaiporn S,


Unkurapinun N, Pakpeankitvatana V, Sritara P, (2007). The metabolic
syndrome and chronic kidney disease in a Southeast Asian cohort. Kidney
International, 71: 693–700.

Kumar SV, Nagesh A, Leena M, Shravani G, Chandrasekar V (2013). Incidence


of metabolic syndrome and its characteristics of patients attending a
diabetic outpatient clinic in a tertiary care hospital. Journal of National
Science, Biology, and Medicine, 4: 57–62.

Kumar V, Abbas AK, Aster JC, Robbins SL (2013). Robbins basic pathology.
Edisi ke 9. Philadelphia: Elsevier/Saunders, pp 12-15

Leone A, Spada A, Battezzati A, Schiraldi A, Aristil J, Bertoli S (2016). Moringa


oleifera seeds and oil: characteristics and uses for human health.
International Journal of Molecular Science, 2: 17.

54
Lin J, Judd S, Le A, Ard J, Newsome BB, Howard G, Warnock DG, McClellan W
(2010). Associations of dietary fat with albuminuria and kidney
dysfunction. American Journal of Clinical Nutrition, 92: 897–904.

Marrelli M, Conforti F, Araniti F, Statti GA (2016). Effects of Saponins on lipid


metabolism: a review of potential health benefits in the treatment of
obesity. Molecules 21(10): 1404.

Martini F, Nath JL, Bartholomew EF (2012). Fundamentals of anatomy &


physiology. Edisi ke 9. San Francisco: Benjamin Cummings, pp 953-981.

Mescher AL, Junqueira LCU (2013). Junqueira’s basic histology: text and atlas.
Edisi ke 13. New York: McGraw Hill Publishing, pp 387-400.

Mohammed S, Manan FA (2015). Analysis of total phenolics, tannins and


flavonoids from Moringa oleifera seed extract. Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research, 7: 135–137.

Moreira GC, Cipullo JP, Ciorlia LAS, Cesarino CB, Vilela-Martin JF (2014).
Prevalence of metabolic syndrome: association with risk factors and
cardiovascular complications in an urban population. Public Library of
Science ONE, 9: 1-10

Murti B. (2010). Penerapan Metode Statistik Non Parametrik dalam Ilmu


Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, pp: 85-114.

Nadjiba Meziou-Chebouti (2016). Anti inflammatory and healing activity of seed


extracts of moringa oleifera harvested in tamanrasset (Algeria).
International Journal of Advances in Chemical Engineering and
Biological Sciences, 2: 100-102.

Odermatt A (2011). The western-style diet: a major risk factor for impaired kidney
function and chronic kidney disease. American Journal of Physiology -
Renal Physiology, 301: 919–931.

55
Olayemi AT, Olanrewaju MJ, & Christopher Oloruntoba A. (2016). Toxicological
evaluation of Moringa oleifera, Lam. seeds and leaves in Wistar rats.
Pharmacognosy Communications, 6(2): 100–111.

O’Neill S, O’Driscoll L (2015). Metabolic syndrome: a closer look at the growing


epidemic and its associated pathologies. Obesity Review, 16: 1–12.

Ozbek E (2012). Induction of Oxidative Stress in Kidney. International Journal of


Nephrology, 2: 1-10.

Pandey KB, Rizvi SI (2009). Plant polyphenols as dietary antioxidants in human


health and disease. Oxidative Medicine and Cellular Longevity, 2: 270–
278.

Prasad GVR (2014). Metabolic syndrome and chronic kidney disease: Current
status and future directions. World Journal of Nephrology, 3: 210–219.

Ranasinghe P, Mathangasinghe Y, Jayawardena R, Hills AP, Misra A (2017).


Prevalence and trends of metabolic syndrome among adults in the asia-
pacific region: a systematic review. Bioorganic and Medicinal Chemistry
Public Health, 17: 101.

Ridwan E. (2013). Ethical Use of Animals in Medical Research. Journal of the


Indonesian Medical Association, 63(3): 112-116.

Ross MH, Pawlina W (2011). Histology: a text and atlas: with correlated cell and
molecular biology. Edisi ke 6. Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott
Williams & Wilkins Health, pp 700-706.

Saini RK, Sivanesan I, Keum YS (2016). Phytochemicals of Moringa oleifera: a


review of their nutritional, therapeutic and industrial significance. Biotech,
6: 203.

Sarwono J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:


Graha Ilmu, pp 32-35.

56
Sánchez-Lozada LG, Tapia E, Jiménez A, Bautista P, Cristóbal M, Nepomuceno
T, Soto V, Ávila-Casado C, et al. (2007). Fructose-induced metabolic
syndrome is associated with glomerular hypertension and renal
microvascular damage in rats. American Journal of Physiology - Renal
Physiology, 292: 423–429.

Scheuer H, Gwinner W, Hohbach J, Gröne EF, Brandes RP, Malle E, Olbricht CJ,
et al. (2000). Oxidant stress in hyperlipidemia-induced renal damage.
American Journal of Physiology - Renal Physiology, 278: 63–74.

Shackelford RE, Kaufmann WK, Paules RS (2000). Oxidative stress and cell cycle
checkpoint function1. Free Radical Biology and Medicine, 28: 1387–1404.

Shah SV, Baliga R, Rajapurkar M, Fonseca VA (2007). Oxidants in Chronic


Kidney Disease. Journal of American Society in Nephrology, 18: 16–28.

Sheng CS, Hu BC, Fan WX, Zou J, Li Y, Wang, JG (2011). Microalbuminuria in


relation to the metabolic syndrome and its components in a Chinese
population. Diabetology & Metabolic Syndrome, 3: 6.

Shepherd J (2001). The role of the exogenous pathway in hypercholesterolaemia.


European Heart Journal Supplements, 3: 2–5.

Sherwood L (2016). Human physiology: from cells to systems. Edisi ke-9. Boston:
Cengage Learning, pp 511-521.

Sindhi V, Gupta V, Sharma K, Bhatnagar S, Kumari R, Dhaka N (2013). Potential


applications of antioxidants – A review. Journal of Pharmacy Research, 7:
828–835.

Silverthorn DU, Johnson BR, Ober WC, Garrison CW, Silverthorn AC (2013).
Human physiology: an integrated approach. Edisi ke 6. Boston: Pearson
Education, pp 629-636.

Snell RS (2004). Clinical anatomy: an illustrated review with questions and


explanations. Edisi ke 4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, pp
69-76.

57
Soewondo P, Purnamasari D, Oemardi M, Waspadji S, Soegondo S (2010).
Prevalence of metabolic syndrome using NCEP/ATP III criteria in Jakarta,
Indonesia: the Jakarta primary non-communicable disease risk factors
surveillance 2006. Acta Medica Indonesiana, 42: 199–203.

Sowers JR (2007). Metabolic risk factors and renal disease. Kidney International,
71: 719–720.

Srikanthan K, Feyh A, Visweshwar H, Shapiro JI, Sodhi K (2016). Systematic


Review of Metabolic Syndrome Biomarkers: A Panel for Early Detection,
Management, and Risk Stratification in the West Virginian Population.
International Journal of Medical Science, 13: 25–38.

Sun SZ, Empie MW (2012). Fructose metabolism in humans – what isotopic tracer
studies tell us. Nutrition and Metabolism Journal (London) 9: 89.

Tappy L Lê (2010). Metabolic effects of fructose and the worldwide increase in


obesity. Physiological Reviews, 90: 23–46.

Thomas G, Sehgal AR, Kashyap SR, Srinivas TR, Kirwan JP, Navaneethan SD
(2011). Metabolic syndrome and kidney disease: a systematic review and
meta-analysis. Clinical Journal of American Society in Nephrology, 6:
2364–2373.

Tomaszewski M, Charchar FJ, Maric C, McClure J, Crawford L, Grzeszczak W,


et al. (2007). Glomerular hyperfiltration: a new marker of metabolic risk.
Kidney International, 71: 816–821.

Tortora GJ, Derrickson B (2012). Principles of anatomy & physiology, Edisi ke


13. New Jersey: Wiley, pp 1097-1069.

Walker LM, York JL, Imam SZ, Ali SF, Muldrew KL, Mayeux PR (2001).
Oxidative stress and reactive nitrogen species generation during renal
ischemia. Journal of Toxicological Science, 63: 143–148.

58
Whaley-Connell A, Sowers K, Sowers JR (2006). Hypertension and
cardiovascular disease, in: The Diabetic Kidney. Springer, 28: 499–513.

Whaley-Connell AT, Chowdhury NA, Hayden MR, Stump CS, Habibi J,


Wiedmeyer CE, Gallagher PE, et al. (2006). Oxidative stress and
glomerular filtration barrier injury: role of the renin-angiotensin system in
the Ren2 transgenic rat. American Journal of Physiology. Renal
Physiology, 291: 1308-1314.

59

Anda mungkin juga menyukai