Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH

CASE ANALYSIS METHOD SIROSIS HEPATIS

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II

Disusun Oleh :

Anggy Agustina Rahayu (032016060) Penyaji


Neni Nuraenah (032016022) Penyaji
Nanda Abdurahman Fathir (032016026) Pembanding
Sintia Mustopa (032016050) Pembanding
Mia Kusumah (032016002) Moderator
Mayang Arlita Afandi (032016044) EO
Astri Nurul Siti Patimah (032016056) EO
Ressa Oktaviani (032016003) Audience
Alya Nurhaliza (032016059) Audience
Sindy Erma Lestari (032016005) Audience
Retno Anesti (032016041) Audience

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN‘AISYIYAH BANDUNG
2017 – 2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,


karena atas rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
penyakit serosis hepatis pada system pencernaan. Penyusunan makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah keperawatan medical bedah II.

Akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran
agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu kami
mengucapkan banyak terimakasih dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca, amiin.

Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Bandung, 4 April 2018

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh
obstruksi difus dan regenerasi fibrotik sel-sel hepar. Karena jaringan yang
nekrotik menghasilkan fibrosis, maka penyakit ini akan merusak jaringan
hati sertapembuluh darah yang normal, mengganggu aliran darah serta
cairan limfe, dan pada akhirnya menyebabkan insufisiensi hati. Sirosis
hepatis ditemukan pada laki-laki dengan insidensi dua kali lebih sering
dibandingkan pada wanita dan khususnya prevalen diantara para penderita
malnutrisi usia diatas 50 tahun dengan alkoholisme kronis. Angka
mortalitasnya tinggi dan banyak pasien meninggal dalam lima tahun sejak
awitan kronis tersebut (Kowalak, dkk, 2003).
Menurut Sutadi (2003) dalam Medula, Vol 1, No 2 (2013), sirosis
hepatis adalah suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur hati
akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan yang mengalami fibrosis.
Secara lengkap sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro,
anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sistem arsitektur hati
mengalami perubahan menjadi tidak teratur serta terjadi penambahan
jaringan ikat (fibrosis) di sekitar parenkim hati yang mengalami
regenerasi. Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-
laki jika dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur
terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun.
Menurut Sudoyo Aru, dkk (2009) dalam Buku Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc (2015)
sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi fisiologi dari sistem pencernaan ?
2. Apa definisi dari penyakit serosis hepatis?
3. Bagaimana etiologi dan factor resiko dari penyakit serosis hepatis?
4. Bagaimana proses perjalanan penyakit atau patofisiologi penyakit
serosis hepatis?
5. Bagaiamana tanda dan gejala dari penyakit serosis hepatis?
6. Apa saja prosedur pemeriksaan diagnostic pada penyakit serosis
hepatis?
7. Apa saja farmakoterapetik dan rasional pemilihan obat penyakit serosis
hepatis?
8. Bagaimana interpretasi data normal dan abnormal dari kasus serositis
hepatis?
9. Bagaimana pendokumentasian hasil pengkajian pada kasus hepatis
serosis?
10. Apa saja diagnose keparawatan prioritas NANDA?
11. Apa saja rancangan intervensi dan rasional untuk kasus Serosis
Hepatis?
12. Apa saja implementasi yang digunakan?
13. Apa saja rancangan evaluasi (SOAP)?
14. Melakukan telaah jurnal (EBP) yang berkaitan dengan intervensi
keperawatan?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi sistem pencernaan.
2. Untuk mengetahui definisi dari penyakit Serosis Hepatis.
3. Untuk mengetahui etiologi dan factor resiko dari penyakit Serosis
Hepatis.
4. Untuk mengetahui proses perjalanan penyakit atau patofisiologi
penyakit Serosis Hepatis.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari penyakit Serosis Hepatis.
6. Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan diagnostic pada penyakit
Serosis Hepatis.
7. Untuk mengetahui farmakoterapetik dan rasional pemilihan obat
penyakit Serosis Hepatis.
8. Untuk mengetahui interpretasi data normal dan abnormal dari kasus
Serosis Hepatis.
9. Untuk mengetahui pendokumentasian hasil pengkajian pada kasus
Serosis Hepatis.
10. Untuk mengetahui diagnose keparawatan prioritas NANDA.
11. Untuk mengetahui rancangan intervensi dan rasional untuk kasus
Serosis Hepatis.
12. Untuk mengetahui implementasi yang digunakan.
13. Untuk mengetahui rancangan evaluasi (SOAP).
14. Melakukan telaah jurnal (EBP) yang berkaitan dengan intervensi
keperawatan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologi Hepar


Hati merupakan kelenjar terbesar ditubuh, beratnya sekitar
1-2,3 kg. Hati berada di bagian atas rongga abdomen yang
menempati bagian terbesar region hipokondriak (Ross and Wilson,
2011).

Fungsi Hati :
Menurut Sherwood (2009), hati adalah organ metabolic
terbesar dan terpenting ditubuh, organ ini dapat dipandang sebagai
pabrik biokimia utama tubuh. Perannya dalam sistem pencernaan
adalah sekresi garam empedu, yang membantu pencernaan dan
penyerapan lemak. Hati juga melakukan berbagai fungsi yang tidak
berkaitan dengan pencernaan, yaitu :
1. Memproses secara melabolis ketiga kategori utama nutrient
(karbohidrat, protein, dan lemak) setelah zat-zat ini diserap dari
saluran cerna.
2. Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormone
serta obat dan senyawa asing lain.
3. Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan
untuk pembekuan darah dan yang mengangkut hormone steroid
dan tiroid serta kolesterol dalam darah.
4. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak
vitamin.
5. Mengaktifkan vitamin D, yang dilakukan hati bersama dengan
ginjal
6. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua berkat adanya
makrofag residennya.
7. Mengekskresikan kolesterol dan bilirubin, bilirubin adalah
produk penguraian yang berasal dari destruksi sel
Meskipun memiliki beragam fungsi kompleks ini namun
tidak banyak spesialisasi ditemukan antara sel-sel hati. setiap sel
hati, atau hepatosit, melakukan beragam tugas metabolik dan
sekretorik yang sama. Spesialisasi ditimbulkan oleh organel-
organel yang berkembang maju didalam sistem hepatosit. Satu-
satunya fungsi hati yang tidak dilakukan oleh hepatosit adalah
aktifitas fagosit yang dilaksanakan oleh makrofag residen yang
dikenal sebagai sel Kupffer.
Menurut Ross and Wilson (2011) ada 8 fungsi hati, yaitu :
1. Metabolisme karbohidrat
Hati berperan penting dalam mempertahankan kadar glukosa
plasma. Setelah makan, saat glukosa darah meningkat, glukosa
diubah menjadi glikogen sebagai cadangan dan memengaruhi
hormone insulin. Selanjutnya, saat glukosa turun, hormone
glucagon merangsang perubahan glikogen kembali menjadi
glukosa dan menjaga kadar dalam kisaran normal.
2. Metabolisme lemak
Cadangan lemak dapat diubah menjadi suatu bentuk energy
yang dapat digunakan jaringan.
3. Metabolisme protein
Terdiri dari tiga proses :
a. Deaminasi asam amino melibatkan beberapa proses :
menyingkirkan bagian nitrogen dari asam amino yang tidak
diperlukan untuk membentuk protein baru, pemecahan
asam nukleat menjadi asam urat, yang disebut asam
nukleat.
b. Transaminasi merupakan penyingkiran bagian nitrogen
asamaminodan melekatkan asam amino pada molekul
karbohidrat untuk membentuk asam amino non-esensial.
c. Sintesis protein plasma dan sebagian besar faktor
pembekuan darah dari asam amino.
4. Pemecahan eritrosit dan pertahanan tubuh terhadap mikroba
Hal ini disebabkan sel Kupffer yang berada di sinusoid.
5. Detoksifikasi obatdan zat berbahaya
Hal ini meliputi etanol dan toksin yang dihasilkan mikroba.
6. Inaktivasi hormone
Hal ini meliputi hormone insulin, glucagon, kortisol, aldsteron,
hormone seks, dan hormone tiroid.
7. Produksi panas
Hatimenggunakan banyak energy, memiliki laju metabolic dan
menghasilkan panas. Hati merupakan organ penghasil panas
utama.
8. Cadangan
Hepatosit menyimpan glikogen, vitamin yang larut dalam
lemak(A, D, E, K), zat besi, dan kuprum, serta beberapa
vitamin yang larut dalam air (missal vitamin B12).

Aliran Darah Hati


Untuk melaksanakan beragam tugas ini, susunan anatomic
hati memungkinkan setiap hepatosit berkontak langsung dengan
darah dari dua sumber yaitu, darah arteri yang datang dari aorta
dan darah vena yang datang langsung dari saluran cerna. Seperti
sel lain, hepatosit menerima darah arteri segar melalui arteri
hepatica, yang menyalurkan oksigen dan metabolit – metabolit
darah untuk diproses oleh hati. Darah vena juga masuk ke hati
melalui sistem portal hati, suatu koneksi vaskuler unik dan
kompleks antara saluran cerna dan hati. Vena vena yang mengalir
dari saluran cerna tidak langsung menuju ke vena caava inferior,
vena besar yang mengembalikan darah ke jantung.
Namun vena-vena dari lambung dan usus masuk ke vena
porta hati, yang membawa produk yang diserap dari saluran cerna
langsung kehati untuk diproses, disimpan, atau didetoksifikasi
sebelum produk-produk ini memperoleh akses kesirkulasi umum.
Didalam hati, vena porta kembali bercabang-cabang menjadi
anyaman kapiler (sinusoid hati) untuk memungkinkan terjadinya
pertukaran antara darah dan hepatosit sebelum darah mengalir
kedalam vena hepatica, yang kemudian menyatu dengan vena cava
inferior.
Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal
sebagai lobules, yaitu susunan jaringan berbentuk heksagonal
mengelelilingi satu vena sentral. Di setiap enam sudut luar lobulus
terdapat tiga pembuluh, yaitu cabang arteri hepatika, cabang vena
porta hati, dan ductus biliaris. Darah dari cabang arteri hepatika
dan vena porta mengalir dari perifer globulus ke ruang kapiler luas
yang disebut sinusoid yang berjalan diantara jejeran sel hati ke
vena sentral seperti jari-jari roda sepeda. sel Kupffer melapisi
bagian dalam sinusoid serta menelan dan menghancurkan sel darah
merah dan beakteri yang melewatinya dalam darah. Hepatosist -
hepatosit tersusun antara sinusoid dalam lempeng-lempeng yang
tebalnya dua sel sehingga masing masing tepi rateral menghadap
ke genangan darah sinusoid. Vena sentral disemua lobulus hati
menyatu untuk membentuk vena hepatika yang mengalirkan darah
keluar dari hati. Saluran tipis pengangkut empedu kanalikulus
biliaris berjalan diantara sel-sel didalam setiap lempeng hati.
Hepatosit terus menerus mengeluarkan empedu kedalam saluran
tipis ini, yang mengangkut empedu keduktus biliaris ditepi lobules.
Duktus-duktus biliaris dari berbagai lobules menyatu untuk
akhirnya membentuk ductus biliaris komunis, yang mengangkut
empedu dari hati ke duodenum. Setiap hepatosit berkontak dengan
sinusoid disatu sisi dan kanalikulus biliaris di sisi lain.
Lubang ductus biliaris kedal duodenum di jaga oleh sfingter
oddi, yang mencegah empedu masuk kedua denum kecuali
sewaktu pencernaan makanan. Ketika sfingter ini terbuka, sebagian
besar empedu yang disekresikan oleh hati dialihkan balik ke dalam
kantung empedu, sewaktu struktur kecil berbentuk kantung yang
terselip dibawah tetapi tidak langsung berhubungan dengan hati.
Karena itu, empedu tidak diangkut langsung dari hati ke kandung
empedu. Empedu kemudian disimpan dan dipekatkan dikandung
empedu diantara waktu makan. Setelah makan, empedu masuk ke
duodenum akibat efek kombinasi pengesongan kandung empedu
dan peningkatan sekresi empedu oleh hati. Jumlah empedu yang
disekresikan perhari berkisar dari 250 ml -1 liter, bergantung pada
derajat perangsangan.
Empedu mengandung bebrapa konstituen organic, yaitu
garam empedu, kolesterol, lesitin, dan bilirubin (berasal dari
aktivitas hepatosit) dalam suatu cairan encer alkalis (ditambahkan
oleh sel ductus) serupa dengan sekresi Na HCO3 pankreas).
Meskipun empedu tidak mengandung enzim pencernaan apapun
namun bahan ini, penting dalam pencernaan dan penyerapan
lemak, terutama melalui aktivitas garam empedu.
Garam empedu adalah turunan kolesterol. Garam- garam
ini secara aktif disekresikan kedal empedu dan akhirnya masuk
kedalam dua denum Bersama dengan konstituen empedu lainnya.
Setelah ikut serta dalam pencernaan dan penyerpan lemak sebagian
besar garam empedu diserap kembali kedalam darah oleh
mekanisme transor aktif khusus yang terletak di ileum terminal.
Dari sini garam empedu dikembalikan ke sistem portal hati yang
meresekresikannya kedalam empedu. Daur ulang garam empedu
ini (dan sebagian dari konstituen empedu lainnya) antara usus
halus dan hati disebut sirkulasi enterohepatic (entero artinya usus ;
hepatic artinya hati).
Apabila tubuh kehilangan garam empedu maka kehilangan
ini akan diganti oleh pembentukan garam empedu baru oleh hati ;
dengan demikian, jumlah total garam empedu dijaga konstan.
B. Definisi Penyakit
Menurut Sutadi (2003) dalam Medula, Vol 1, No 2 (2013),
sirosis hepatis adalah suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari
struktur hati akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan yang
mengalami fibrosis. Secara lengkap sirosis hati adalah suatu
penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar
dan seluruh sistem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi
tidak teratur serta terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) di
sekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi. Penderita sirosis
hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan
dengan kaum wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur terbanyak antara
golongan umur 30 – 59 tahun.
Menurut Sudoyo Aru, dkk (2009) dalam Buku Aplikasi
Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-
Noc (2015) sirosis adalah suatu keadaan patologis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung
progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regenerative.
Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis yang ditandai
oleh obstruksi difus dan regenerasi fibrotik sel-sel hepar. Karena
jaringan yang nekrotik menghasilkan fibrosis, maka penyakit ini
akan merusak jaringan hati serta pembuluh darah yang normal,
mengganggu aliran darah serta cairan limfe, dan pada akhirnya
menyebabkan insufisiensi hati. Sirosis hepatis ditemukan pada
laki-laki dengan insidensi dua kali lebih sering dibandingkan pada
wanita dan khususnya prevalen diantara para penderita malnutrisi
usia diatas 50 tahun dengan alkoholisme kronis. Angka
mortalitasnya tinggi dan banyak pasien meninggal dalam lima
tahun sejak awitan kronis tersebut (Kowalak, dkk, 2003).

C. Etiologi dan Faktor Resiko


Menurut Kowalak (2003), sirosis hepatis dapat terjadi
karena berbagai macam penyakit.
1. Penyakit Hepatoseluler
a. Sirosis pasca-nekrotik terdapat pada 10% hingga 30%
pasien sirosis dan berasal dari berbagai tipe hepatitis
(seperti hepatitis virus tipe A, B, C, D) atau terjadi karena
intoksikasi.
b. Sirosis Laennec yang juga dinamakan sirosis portal, sirosis
nutrisional, atau sirosis alkoholik merupakan tipe yang
paling sering ditemukan dan terutama disebabkan oleh
hepatitis C serta alkoholisme. Kerusakan hati terjadi karena
malnutrisi (khususnya kekurangan protein dari makanan)
dan kebiasaan minum alcohol yang menahun. Jaringan
fibrosis terbentuk didaerah porta dan disekitar vena
sentralis.
c. Penyakit autoimun, seperti sarkoidosis atau penyakit usus
inflamatorik, yang kronis dapat menyebabkan penyakit
sirosis hepatis.
2. Penyakit Kolestatik
Kelompok ini meliputi penyakit pada percabangan bilier
(sirosis bilier terjadi karena penyakit pada saluran empedu yang
menekan aliran empedu) dan kolangitis sclerosis.
3. Penyakit Metabolik
Kelompok ini meliputi gangguan, seperti penyakit Wilson, alfa,
-antitripsin, dan hemokromatosis (sirosis pigmen).
4. Tipe sirosis lain
Meliputi sindrom Budd-Chiari (nyeri epigastrium, pembesaran
hati, dan asites akibat obstruksi vena hepatica), sirosis jantung,
dan sirosis kriptogenik.

Etiologi lain yang diketahui menurut jurnal Fakultas


Kedokteran Universitas Lampung, Medulla, Volume 1, Nomor 2,
(2013) :
1. Virus Hepatitis B, C dan D
2. Alkohol
3. Metabolik
4. Hemakhomatosis
5. Penyakit Wilson
6. Defisiensi Alphalaantiripsin
7. Galaktosemia
8. Tyrosinemia
9. Kolestasis
10. Sumbatan saluran vena hepatica
11. Sindroma Budd-Chiari
12. Payah Jantung
13. Gangguan Imunitas
14. Toksin
15. Obat-obatan

D. Patofisiologi
Beberapa factor yang terlibat dalam kerusakan sel hati
adalah defisiendi ATP (akibat gangguan metabolisme sel),
peningkatan pembentukan metabolit oksigen yang sangat reaktif
dan defisiensi anti oksidan atau kerusakan enzim perlindungan
(glutatoin piroksida) yang timbul secara bersama. Sebagai contoh
metabolit oksigen akan berekasi dengan asam lemak tak jenuh
pada fosfolipid. Hal ini membantu kerusakan membrane plasma
dan organ sel (lisosom, reticulum endoplasma), akibatnya
konsentrasi kalsium di sitosom meningkat, serta mengaktifkan
protease dan enzim lain yang akhirnya kerusakan sel menjadi
ireversibel (Sibernagl, 2007).
Pembentukan jaringan fibrotic didalam hati terjadi dalam
beberapa tahap, jika hepatosit (sel hati) yang rusak atau mati,
diantaranya akan terjadi kebocoran enzim lisosom dan pelapasan
sitokin dari matriks ekstra sel. Sitokin dengan debris sel yang mati
akan mengaktifkan sel Kufler di sinus soid hati dan menarik sel
inflamasi (granulosit, limfosit, dan monosit). Berbagai factor
pertumbuhan dan sitokin kemudian dilepaskan dari sel kufler dan
dari sel imflamasi yang terlibat.
Berbagai interaksi ini memberikan manifestasi peningkatan
pembentukan matriks ekstrasel oleh miofibroblas. Hal ini
menyebabkan peningkatan akumulasi kolagen (Tipe I, III dan IV),
proteoglikan, dan glikoprotein di hati. Jumlah matriks yang
berlebihan dapat dirusak (mula mula oleh metaloprotease) dan
hepatosit dapat mengalami regenerasi. Jika nekrosis terbatas pada
lobulus hati, maka pergantian struktur hati yang sempurna
memungkinkan terjadi. Namun, jika nikrosis telah meluas
menembus parenkim perifer lobular hati, maka akan terbentuk
jaringan ikat. Akibatnya, terjadi regenerasi fungsional dan
arsitektur yang tidak sempurna dan terbentuk nodul nodul (sirosis).
(Arif Muttaqin, 2011).
Multifaktor penyebab: Nekrosis Kebocoran
Hepatosit enzim
ALCOHOL

Debris Sel dan


Pelepasan Sitokinin

Imflamasi sel (monosit, Aktivasi Sel Kufler


granulosit dan melepaskan factor
limposit) pertumbuhan dari sitokinin

Mengubah monosit yang


mengubah sel ito (tempat
bermigrasi menjadi
penyimpanan lemak) menjadi
makrofag aktif
miofibroblas.
Liver fibrosis
Proliferasi fibroblas Pembentukan Matriks
Ekstraseluler
Aliran darah vena porta terganggu

Peningkatan tekanan vena porta Peningkatan penimbunan


kolagen tipe I, II, IV Regenerasi nodular dan
hilangnya struktur lobulus
Proteoglikogen
Peningkatan tekanan
hidrostatis glikoprotein

Serosis Hepatis
Varises esofagus

Vena Esofagus pecah


Gangguan Metabolise Gangguan metabolism lemak
Protein

pendarahan Peningkatan Diafragma Pembentukan trigliserida


Hipoalbuminemia secara berlebihan

Tekanan Perpindahan cairan ke Penurunan ekspansi paru


Lambung ekstrasel Tekanan Osmotik menurun Oksidasi lemak menurun
Pola nafas tidak efektif

Muntah Darah Edema dan Asites Peningkatan cairan peritonium Hepatomegali


Mual muntah

Resiko Kelebihan Volume Cairan Menekan Saluran Cerna


Asites Ketidakseimbangan nutrisi <
Perdarahan dr kebutuhan tubuh
E. Tanda dan Gejala
Menurut Brunner & Suddarth (2001), manifestasi klinik
dari sirosis hepatis yaitu :
1. Pembesaran hati
Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-
selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan
memiliki tepi tajam yang dapatdiketahui melalui palpasi. Nyeri
abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati
yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan
regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada
perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan
berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan
jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan
teraba berbenjol-benjol (noduler).
2. Obstruksi portal dan asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi
hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi
portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan
berkumpul dalam vena porta dan dibawa ke hati. Karena hati
yang sirotik dan tidak memungkinkan perlintasan darah yang
bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa
dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-
organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan
kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan
dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien
dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia
kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien secara
berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk dirongga peritoneal
akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi
akan adanya shifting dullnes atau gelombang cairan.
Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau
dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru
kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap
wajah dan keseluruhan tubuh.
3. Varises gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan
fibrotik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah
kolateral dalam system gastrointestinal dan pemintasan
(shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam pembuluh
darah dengan tekanan yang lebih rendah, sebagai akibatnya,
penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh
darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi
abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah
diseluruh traktus gastrointestinal. Esophagus, lambung dan
rectum bagian bawah merupakan daerah yang sering
mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi
pembuluh darah ini akan membentuk varises atau hemoroid
tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan
tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini
dapat mengalami ruptur dan menimbulkan pendarahan. Kurang
lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan, sisanya
akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada
lambung dan esophagus.
4. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh
gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun
sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema.
Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
5. Defisiensi vitamin dan anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin
tertentu yang tidak memadai (terutama vitamin A, C,dan
K),maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering
dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang
berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan
gangguan fungsi gastrointestinal bersam-sama asupan diet yang
tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan
anemia yang sering menyertai serosis hepatis. Gejala anemia
dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan
mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan
untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
6. Kemunduran mental
Manifestasi klinik lainya adalah kemunduran fungsi mental
dengan ensefalopati dan komahepatik yang membakat. Karena
itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada serosis hepatis
dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif,
orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.
Menurut Kowalak (2003), tanda dan gejala dari sirosis
hepatis dibagi menjadi dua berdasarkan stadium, yaitu :
1. Stadium awal
a. Anoreksia akibat perubahan citra rasa terhadap makanan
tertentu
b. Mual dan muntah akibat respon inflamasi dan efek sistemik
inflamasi hati
c. Diare akibat malabsorbsi
d. Nyeri tumpul abdomen akibat inflamasi hati

2. Stadium lanjut
a. Respirasi : efusi pleura, ekspansi toraks yang terbatas
karena terdapat asites dalam rongga perut; gangguan pada
efisiensi pertukaran gas sehingga terjadi hipoksia.
b. System saraf pusat : tanda dan gejala ensefalopati hepatic
yang berlangsung progresif dan meliputi letargi, perubahan
mental, bicara pelo, asteriksis, neuritis perifer, paranoia,
halusinasi, somnolensia berat dan koma, yang semua terjadi
sekunder karena terganggunya proses perubahan amonia
yang toksikitu akan terbawa ke dalam otak.
c. Hematologik : kecenderungan berdarah (epistaksis, gejala
mudah memar, gusi yang mudah berdarah), splenomegali,
anemia yang disebabkan oleh trombositopenia (terjadi
sekunder karena splenomegali serta penurunan absorpsi
vitamin K), dan hipertensi porta.
d. Endokrin : atrofi testis, ketidakteraturan haid, ginekomastia
dan bulu dada serta ketiak rontok akibat penurunan
metabolism hormon.
e. Kulit : pigmentasi yang abnormal, spider angioma (spider
navi), eritema palmarum, dan gejala ikterus yang
berhubungan dengan kerusakan fungsi hati; pruritus hebat
yang terjadi sekunder karena ikterus akibat
hyperbilirubinemia; kekeringan kulit yang ekstrim dan
turgor jaringan yang buruk, yang semua ini berhubungan
dengan malnutrisi.
f. Hepatik : ikterus akibat penurunan metabolisme bilirubin;
hepatomegaly yang terjadi sekunder karena pembentukan
parut pada hati dan hipertensi porta; asites serta edema pada
tungkai akibat hipertensi porta dan penurunan kadar protein
plasma; ensefalopati hepatik akibat intoksikasi ammonia;
dan sindrom hepatorenal akibat penyakit hati yang lanjut
dan gagal ginjal yang kemudian terjadi.
g. Lain-lain : napas yang berbau pesing dan gejala ini terjadi
sekunder karena penumpukan ammonia; pelebaran vena
supervisial abdomen yang disebabkan oleh hipertensiporta;
rasa nyeri pada abdomen kuadran kanan atas yang semakin
bertambah parah pada waktu pasien duduk atau
membungkukkan tubuh ke depan, dan gejala ini disebabkan
oleh inflamasi serta iritasi pada serabut saraf didaerah
tersebut; hati atau limpa yang teraba akibat pembesaran
organ tersebut; suhu tubuh yang berkisar dari 38,3o hingga
39,4oC akibat respon inflamasi; perdarahan dari varises
esophagus, yang terjadi karena hipertensi porta.

F. Prosedur Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah : bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom
normositer, hipokrom normositer, hipokrom mikrositer atau
hiprokom makrositer. Anemia bisa diakibatkan
hipersplenisme dengan leucopenia dan trombositopenia.
Kolestrol darah yang selalu rendah mempunyai prognosis
yang kurang baik. Kenaikan kadar enzim transaminase atau
SGOT, SGPT bukkan merupakan petunjuk tentang berat
dan luasnya keruskan perenkim hati. Kenaikan kadarnya
dalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yang
mengalami kerusakan. Peningkatan kadar gamma GT sama
dengan transaminase, ini lebih sensitive tetapi kurang
spesifik. Pemeriksaan laboratorium bilirubin, transamilase
dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
b. Albumin : kadar albumin yang merendah merupakan
cerminan kemapuan sel hati yang kurang. Penurunan kadar
albumin dan peningkatan kadar globulin merupakan tanda
kurangnya daya tahan hati dalam menghadapi stres seperti
tindakan oprasi.
2. Pemeriksaan CHE (kolinesterase) : penting dalam menilai sel
hati. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun,
pada perbaikan terjadi kenaikan CHE menuju nilai normal.
Nilai CHE yang bertahan dibawah nilai normal, mempunyai
prognosis yang jelek.
3. Pemeriksaan kadar elektrolit : penting dalam penggunaan
diuretic dan pembatasan garam dalam diet. Dalam hal
ensefalopati, kadar Na 500-1000, mempunyai nilai diagnostic
suatu kanker hati primer
4. Pemeriksaan fisik
a. Perkiraan besar hati, biasa hati membesar pada awal sirosis,
bila hati mengecil artinya prognosis kurang baik. Besar hati
normal selebar telapak tangannya sendiri ( 7-10 cm ). Pada
sirosis hati, konsistensi hati biasanya kenyal atau firm,
pinggir hati biasanya tumpul dan ada sakit pada peraab hati.
Pemebesaran limpa diukur dengan dua cara, yaitu :
1) Schuffner adalah hati membesar kemedial dan kebawah
menuju umbilicus ( SI-IV ) dan dari umbilicus ke SIAS
kanan ( SV-VIII ).
2) Hacket adalah limpa membesar kearah bawah saja ( HI-
V ). Perut dan ekstra abdomen, pada perut diperhatikan
vena kolateral dan ascites. Manifestasi diluar perut,
perhatikan adanya spider nevi pada tubuh bagian atas,
bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae, dan tubuh
bagian bawah. Perlu diperhatikan adanya eritema
Palmaris, ginekomastia dan atropi testis pada pria. Bisa
juga dijumpai hemoroid. (Diyono, 2013)

Menurut Kowalak (2014), pemeriksaan diagnostic sirosis


hati terdiri dari :

1. Biopsi hati mengungkapkan destruksi jaringan dan fibrosis.


2. Foto rontgen abdomen memperlihatkan pembesaran hati, ada
kista, atau gas di dalam saluran empedu atau hati, klasifikasi
hati, dan akumulasi cairan yang massif (asites).
3. CT-Scan dan pemindaian hati menunjukan ukuran hati, masa
yang abnormal dan obstruksi aliran darah hepatica.
4. Esofagogastroduodenoskopi memperlihatkan varises esophagus
yang berdarah, iritasi atau ulserasi lambung, atau perdarahan
iritasi duodenum.
5. Pemeriksaan urin memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin
dan urobilirubinogen dalam urin.
6. Pemeriksaan feses memperlihatkan penurunan kadar
urobilirubinogen dalam feses.
G. Farmakoterapeutik dan Rasional Pemilihan Obat
Menurut Brunner & Suddarth (2001), penatalaksanaan
pasien sirosis biasanya didasarkan pada gejala yang ada. Sebagai
contoh, antacid diberikan untuk mengurangi distress lambung dan
meminimalkan kemungkinan pendarahan gastrointestinal. Vitamin
dan suplemen nutrisi akan meningkatkan proses kesembuhan pada
sel-sel hati yang rusak dan memperbaiki status gizi pasien.
Pemberian preparat diuretic yang mempertahankan kalium
(spironolakton) mungkin diperlukan untuk mengurangi asites jika
gejala ini terdapat, dan meminimalkan perubahan cairan serta
elektrolit yang umum terjadi pada penggunaan jenis diuretic
lainnya. Asupan protein dan kalori yang adekuat merupakan bagian
esensial dalam penanganan sirosis bersama-sama upaya untuk
menghindari penggunaan alkohol selanjutnya. Meskipun proses
fibrosis pada hati yang sirotik tidak dapat diputar balik,
perkembangan keadaan ini masih dapat dihentikan atau
diperlambat dengan tindakan tersebut.
Beberapa penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa
colchicine, yang merupakan preparat anti-inflamasi untuk
mengobati gejala gout, dapat memperpanjang kelangsungan hidup
penderita sirosis ringan hingga sedang.
H. Data Normal dan Abnormal
Data Normal Data Abnormal
Tekanan Darah 120/80 mmHg Perut membesar dan kaki
membengkak
Nadi 64x/mnt Sesak napas
Suhu 36 oC Edema
MCV 87 Asites
MCH 27 Muntah darah
Bab cair berwarna hitam
Shifting dullnes (+)
Fluid wave (+)
Sklera ikterik
Bak 5x/hari
Urine pekat
Lingkar abdomen 104 cm
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

A. Gambaran Kasus
Pada tanggal 20 Mei 2017 Tn. A (46 th) masuk ke UGD RS Dr.
Hasan Sadikin dengan keluhan perut membesar sejak 1 bulan SMRS
dengan kaki yang membengkak disertai dengan napas sesak. BAB cair
warna hitam sekitar 10 kali dalam sehari, muntah darah (+), sering
mimisan, mual (+), mudah lelah. BAK berwarna gelap seperti the sejak
1 bulan SMRS. Riwayat penyakit terdahulu : riwayat transfuse 1x 3
bulan yang lalu karena Hb rendah. Riwayat konsumsi alkohol sejak
muda sampai 1 tahun yang lalu dan merokok sejak usia 20 tahun.
Tampak adanya edema dibagian kedua ekstermitas bawah dengan
derajat +1 dan pada pemeriksaan fisik didapati shifting dullnes (+) dan
fluid wave (+) yang menandakan adanya asites. Klien juga memiliki
riwayat hematemesis. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital TD 120/80
mmHg, nadi : 64 x/menit (regular, sedang), suhu 36oC, tidak tampak
distensi vena jugularis, sklera ikterik. Pola BAK >5 kali sehari,
karakteristik urine pekat berwarna gelap seperti teh. Saat ini klien
mendapat terapi diuretic 1x dalam sehari (furosemide 40 mg dan
aldactone 100 mg). Nyeri tekan (+) di kuadran kanan atas abdomen.
Lingkar abdomen berukuran 104 cm. Hasil laboratorium : Hemoglobin
9,8 g/dl; hematocrit 31%; eritrosit 3,6jt/μl; leukosit 2720/μl; trombosit
53000rb/μl; MCV 87 fL; MCH 27 pg; MCHC 31g/dl.
USG Abdomen
Hasil dari pemeriksaan USG abdomen memberikan kesan : sirosis
hepatis dengan asites, mukosa kandung empedu menebal, perlemakan
berat pankreas, splenomegaly, dan kedua ginjal, buli-buli, prostat
normal.
B. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Tn. A
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Pria
Status Marital : Tidak terkaji
Pendidikan : Tidak terkaji
Pekerjaan : Tidak terkaji
Agama : Tidak terkaji
Suku Bangsa : Indonesia
Tanggal Masuk RS : 20 Mei 2017
Tanggal Pengkajian : Tidak terkaji
No Medrec : Tidak terkaji
Diagnosa Medis : Sirosis Hepatis
Alamat : Tidak terkaji
2. Identitas Penanggung Jawab
Tidak terkaji
3. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Sesak napas
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien masuk ke UGD RS. Dr. Hasa Sadikin dengan keluhan
perut membesar sejak 1 bulan SMRS dengan kaki yang
membengkak disertai dengan nafas sesak. BAB cair dan
berwarna hitam sekitar 10x dalam sehari, muntah darah (+),
sering mimisan, mual (+), mudah lelah. BAK berwarna gelap
seperti teh sejak 1 bulan SMRS.
Tampak adanya edema dibagian kedua ekstremitas bawah
dengan derajat positif 1 dan pemeriksaan fisik didapati shifting
dullness (+), dan fluid wave (+) yang menandakan adanya
asites.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat Transfusi 1x 3 bulan yang lalu karena Hb rendah.
Riwayat konsumsi alcohol sejak muda sampai 1 tahun yang
lalu dan meroko sejak usia 20 tahun. Klien juga memiliki
riwayat hematemesis.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak Terkaji

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Tingkat Kesadaran: Compos Mentis
b. Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 120/ 80 mmHg
Nadi : 64 x/menit
Respirasi : Tidak terkaji
Suhu : 36oC
2. Antropometri
Berat Badan Sekarang : Tidak terkaji
Berat Badan Dahulu : Tidak terkaji
Tinggi Badan : Tidak terkaji
IMT : Tidak terkaji
Lingkar Abdomen : 104 cm
3. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Pernapasan
Klien terlihat sesak
b. Sistem Kardiovaskular
TD 120/80 mmHg, frekuensi nadi 64 x/menit. Tidak tampak
distensi vena jugularis
c. Sistem Pencernaan
Perut membesar, BAB cair berwarna hitam, Muntah darah,
mual (+), Shifting Dullnes (+) fluid wave (+) yang menandakan
adanya asites, ada nyeri tekan pada area abdomen dikuadran
kanan atas, lingkar abdomen 104 cm
d. Sistem Integument
Terdapat edema pada area ektremitas bawah dengan derajat + 1
e. Sistem Perkemihan
Pasien mengalami pola BAK Lebih dari 5x sehari, karakteristik
urine pekat dan berwarna gelap seperti teh
f. Sistem Indera
Sklera ikterik
g. Sistem Persyarafan
1) Nervus I (Olfaktorius) : Tidak terkaji. Kaji apakah klien
dapat membedakan bau.
2) Nervus II (Optikus) : Mata kanan sudak tidak dapat
digunakan, mata kiri samr-samar.
3) Nervus III, IV, V (Okulomotoris, troclearis, dan
abdusen) : Tidak terkaji. Kaji respon pupil klien terhadap
cahaya (miosis ketika terkenan cahaya dan medriasis ketika
tidak diberi cahaya)
4) Nervus VI (Trigeminus) : Tidak terkaji. Kaji reflek
mengedip klien dan sensasi pada kelopak mata ketika diberi
sentuhan kapas dengan mata tertutup.
5) Nervus VII (Fasialis) : Tidak terkaji. Kaji adanya tremor
atau kelumpuhan dimuka.
6) Nervus VIII (Vestibulochoclearis) : Tidak terkaji. Kaji
apakah klien dapat menjawab pertanyaan yang diberikan
perawat dan keseimbangan ketika berjalan.
7) Nervus IX dan X (Glossofaringeus dan Vagus) : Tidak
terkaji. Kji reflex mentah dan menelan.
8) Nervus XI (Accesorius) : Tidak terkaji. Kaji kemampuan
klien untuh menoleh kea rah kanan dan kiri terhadap
lawanan yang diberikan.
9) Nervus XII (Hipoglosus) : Tidak terkaji. Kaji kesimetrisan
lidah klien.
h. Sistem Endokrin
Tidak terkaji, kaji apakah ada pembesaran kelenjar tiroid dan
kelenjar limfe di servikal
i. Sistem Muskuloskeletal
Tidak terkaji

D. Riwayat ADL (Activity Daily Living)

No Aktivitas Di rumah Di rumah sakit


1. Nutrisi
a. Makan
Frekuensi
Jenis
Keluhan
Tidak Terkaji Tidak Terkaji

b. Minum
Frekuensi
Jenis
Keluhan
2. Eliminasi
a. BAB
Frekuensi 10x sehari
Cair Tidak terkaji
Konsistensi
Tidak terkaji
Bau
Hitam
Warna
Keluhan
b. BAK
Frekuensi <5x dlm sehari
Tidak terkaji
Warna gelap seperti teh
gelap seperti teh
Bau Tidak terkaji Tidak terkaji
Keluhan Tidak terkaji Tidak terkaji
3. Istirahat tidur
a. Siang Tidak terkaji Tidak terkaji
b. Malam
4. Personal hygiene
a. Mandi
Tidak terkaji Tidak terkaji
b. Keramas
c. Gosok gigi
5. Olahraga Tidak terkaji Tidak terkaji

E. Data Psikologis
1. Status Emosi
Tidak terkaji
2. Konsep Diri
a. Gambaran Diri
Tidak terkaji
b. Harga Diri
Tidak terkaji
c. Peran Diri
Peran sebagai ibu rumah tangga terganggu.
d. Identitas Diri
Tidak terkaji
e. Ideal Diri
Tidak terkaji
3. Pola Koping
Tidak terkaji
4. Gaya Komunikasi
Tidak terkaji
F. Data Sosial
1. Pendidikan dan Pekerjaan
Tidak terkaji
2. Gaya Hidup
Konsumsi alcohol sejak muda dan satu tahun yang lalu. dan
merokok sejak usia 20 tahun
3. Hubungan Sosial
Tidak terkaji
G. Data Spiritual
1. Konsep ke Tuhanan
Tidak terkaji
2. Ibadah Praktik
Tidak terkaji
3. Makna Sehat – Sakit Spiritual
Tidak terkaji
4. Support Spiritual
Tidak terkaji
Kaji hubungan klien dengan Allah, spirit dari siapa saja,
melaksanakan sholat saat sehat-sakit, sakit menurut agama klien
seperti apa.

H. Data Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil
Normal Satuan Interpretasi
Pemeriksaan
Hb 9,8 12-14 gr/dl Menurun
Ht 31 37-43 % Menurun
Eritrosit 3,6 4-5 jt/μl Menurun
Leukosit 2.720 5.000-10.000 /μl Menurun
Trombosit 53.000 rb 150.000- Μl
450.000
MCV 87 82-92 fL normal
MCH 27 27-31 Pg normal
MCHC 31 32-37 gr/dl Menurun

2. Hasil USG Abdomen


Hasil dari pemeriksaan USG abdomen memberikan kesan: sirosis
hepatis dengan asites, mukosa kandung empedu menebal,
perlemakan berat prankreas, splenomegaly, dan kedua ginjal, buli-
buli, dan prostat normal.

I. Terapi
No Nama Obat Dosis Indikasi
1 Furosemid 1 x 40 mg Mengurangi cairan
dalam tubuh
(edema) obat
diuretik yang
menyebabkan sering
BAK membantu
buang air dan garam
yang berlebihan
2 Aldactone 1 x 100 mg Golongan diuretik
yang mengandung
spironolactone
untuk meningkatkan
air seni
J. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1 DS: Liver Fibrosis Resiko Perdarahan berhubungan dengan
- Klien mengatakan muntah ↓ Gangguan fungsi hati (serosis)
darah Aliran darah vena portal terganggu
- Klien mengatakan pernah ↓
ditransfusi darah karena Hb Peningkatan tekanan vena portal
yang rendah ↓
DO: Peningkatan tekanan hidrostatis
- Hb = 9,8 (rendah) ↓
- Ht = 31 % (rendah) Varises esophagus
- Eritrosit = 3,6 (rendah) ↓
- Leukosit = 27200 (rendah) Vena esophagus pecah

Resiko perdarahan
2 DS: Alcohol Ketidakefektifan pola nafas
Klien mengeluh sesak ↓ berhubungan dengan menurunnya
DO: Imflamasi Hepar ekspansi paru
Shifting dullness(+) dan fluid ↓
wave (+) Pembentukan jaringan ikat

Terjadinya Fibrosis

Serosis hati

Gangguan metabolisms protein

Hypoalbuminemia

Tekanan osmotic menurun

Peningkatan cairan peritonium

Asites

Penekanan Diafragma

Penurunan ekspansi paru

Pola nafas tidak efektif
3 DS: Liver Fibrosis Kelebihan volume cairan berhungan
- Klien mengeluh perut ↓ dengan gangguan mekanisme regulasi
membesar, kaki yang Aliran darah vena portal terganggu
membengkak. ↓
- BAK > 5x/hari Peningkatan tekanan vena portal
DO: ↓
- Edema di bagian kedua Peningkatan tekanan hidrostatis
ekstrenitas bawah +1 ↓
- Shifting dullness (+), fluid Perpindahan cairan ke ekstrasel
wave (+) yg menandakan ↓
adanya asites. Edema dan asites
- Nyeri tekan diabdomen ↓
- Diberika furosemide dan Kelebihan volume cairan
aldactone
4 DS: Gangguan metabolisme lemak Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
- BAB cair berwarna hitam ↓ kebutuhan tubuh perasaan tidak
10x/hari Pembentukan trigliserida secara nyaman di kuadran atas.
- Muntah darah berlebihan
- Mual (+) ↓
- Mudah lelah. Oksidasi lemak menurun
DO : ↓
- Hematemesis Akumulasi lemak di hati
- Nyeri tekan (+) di kuadran ↓
kanan atas abomen. Hepatomegaly
- Lingkar abdomen berukuran ↓
104 cm. Menekan saluran cerna

Mual muntah

Ketidakseimbangan nutrisi < dari
kebutuhan tubuh

Diagnosa Keperawatan Prioritas


1. Resiko Perdarahan berhubungan dengan Gangguan fungsi hati (serosis)
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
3. Kelebihan volume cairan berhungan dengan gangguan mekanisme regulasi
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh perasaan tidak nyaman di kuadran atas

K. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Resiko Perdarahan Setelah dilakukan 1. Monitor dengan ketat risiko 1. Agar tidak terjadi hal yang tidak
berhubungan dengan tindakan keperawatan terjadinya perdarahan pada diharapkan kepada pasien.
Gangguan fungsi hati selama 3 x 24jam, pasien 2. Agar perawat dapat mengetahui
(serosis). Resiko Perdarahan 2. Catat Hb dan Ht sebelum dan perubahan pada pasien baik itu
dengan kriteria hasil : setelah pasien mengalami perubhan yang kearah lebih
 Peningkatan kehilangan darah baik ataupun buruk
Hemoglobin 3. Intruksikan pasien untuk 3. Agar tidak terjadi perdarahan
(Hb) meningkatkan makanan yang dalam hati
 Peningkatan kaya vitamin K (berfungsi 4. Agar pasien mampu mempu
Hematokrit (Ht) untuk pembekuan darah) menilai tingkat perdarahan
4. Monitor tanda dan gejala pasien
 Tidak terjadi pendarahan menetap (cek 5. Apabila perawat sedang tidak
hematemesis semua ekskresi darah yang Bersama pasien, keluarga
terlihat jelas maupun yang ataupun pasien dapat
tersembunyi). memberitahu perubahan pada
5. Instruksikan pasien dan pasien baik itu perubahn yang
keluarga untuk memonitor baik ataupun buruk.
tanda-tanda perdarahan dan
mengambil tindakan yang
tepat jika terjadi perdarahan
yaitu lapor kepada perawat.
2 Ketidak efeketifan Dalam waktu 1x24 1. Posisikan klien untuk 1. Untuk meningkatkan ekspansi
pola napas b.d jam pola napas klien memaksimalkan ventilasi paru optimal
menurunnya ekspansi kembali efektif (posisi semi fowler). 2. Untuk mengetahui apakah ada
paru. dengan kriteria hasil 2. Auskultasi suara napas, catat suara napas tambahan atau
: apabila ada suara tambahan. tidak, seperti wheezing .
1. Klien tidak sesak 3. Monitor respirasi dan status 3. Untuk memantau O2 yang
napas. O2. dibutuhkan oleh tubuh.
2. TTV dalam 4. Monitor TTV. 4. Untuk mempertahankan TTV
rentang normal klien dalam rentang normal.
3. Menunjukan
jalan napas
yang paten
(frekuensi
pernapasan
dalam rentang
normal, tidak
ada suara
napas
abnormal).
3 Kelebihan volume Dalam waktu 1x24 1. Catat intake dan output klien. 1. Menunjukkan status volume
cairan b.d mekanisme jam kadar cairan pada 2. Batasi asupan natrium dan sirkulasi.
regulasi. klien seimbang cairan. 2. Mengikuti diet rendah natrium
dengan kriteria hasil 3. Ukur lingkar abdomen. dan pembatasan cairan.
: 4. Jelaskan rasional 3. Menunjukkan akumulasi cairan
1. Terbebas dari pembatasan natrium dan (asites) di akibatkan oleh
edema. cairan. kehilangan protein/cairan
2. Elektrolit dalam 5. Berikan diuretic, suplemen kedalam area peritoneal.
batas normal. kalium dan protein. 4. Meminimalkan pembentukan
3. Output dan input dan asites.
dapat kembali 5. Meningkatkan eksresi cairan
normal. lewat ginjal dan
mempertahankan keseimbangan
cairan.
4 Ketidakseimbangan Dalam waktu 1x24 1. Kaji intake diet klien sesuai 1. Membantu dalam
nutrisi kurang dari jam kebutuhan nutrisi kebutuhan. mengidentifikasi defisiensi dan
kebutuhan b.d klien terpenuhi 2. Anjurkan makan dengan keburuhan diet.
perasaan tidak dengan kriteria hasil porsi sedikit tapi sering 2. Makanan dengan porsi kecil dan
nyaman di kuadran : 3. Identifikasi makanan yang sering lebih ditolelir oleh
atas. 1. Adanya disukai termasuk kebutuhan penderita anoreksia.
peningkatan berat kultural. 3. Jika makanan yang disukai klien
badan sesuai dapat dimasukkan dalam
dengan tujuan perencanaan makan, maka dapat
2. BMI dalam batas meningkatkan nafsu makan
normal klien.
3. Mampu
mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
L. Implementasi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Implementasi
1 Resiko Perdarahan 1. Memonitor dengan ketat risiko terjadinya perdarahan pada pasien
berhubungan dengan 2. Mencatat Hb dan Ht sebelum dan setelah pasien mengalami kehilangan
Gangguan fungsi hati darah
(serosis). 3. Mengintruksikan pasien untuk meningkatkan makanan yang kaya vitamin K
4. Memonitor tanda dan gejala pendarahan menetap (cek semua ekskresi darah
yang terlihat jelas maupun yang tersembunyi).
5. Menginstruksikan pasien dan keluarga untuk memonitor tanda-tanda
perdarahan dan mengambil tindakan yang tepat jika terjadi perdarahan yaitu
lapor kepada perawat.
2 Ketidak efeketifan pola napas 1. Memposisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi (posisi semi fowler).
b.d menurunnya ekspansi 2. Melakukan auskultasi suara napas, catat apabila ada suara tambahan.
paru. 3. Memonitor respirasi dan status O2.\
4. Memonitor TTV.
3 Kelebihan volume cairan b.d 1. Mencatat intake dan output klien.
mekanisme regulasi. 2. Membatasi asupan natrium dan cairan.
3. Mengukur lingkar abdomen.
4. Menjelaskan rasional pembatasan natrium dan cairan.
5. Memberikan diuretic, suplemen kalium dan protein.
4 Ketidakseimbangan nutrisi 1. Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan keburuhan diet.
kurang dari kebutuhan b.d 2. Makanan dengan porsi kecil dan sering lebih ditolelir oleh penderita
perasaan tidak nyaman di anoreksia.
kuadran atas. 3. Jika makanan yang disukai klien dapat dimasukkan dalam perencanaan
makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan klien.

M. Evaluasi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Evaluasi


1 Resiko Perdarahan Tujuan Tercapai
berhubungan dengan S : Klien mengatakan sudah tidak muntah darah
Gangguan fungsi hati O : Hb, Ht, Eritrosit, dan Leukosit kembali normal
(serosis). A : Resiko pendarahan berkurang
P : Intervensi dihentikan
2 Ketidak efeketifan pola napas Tujuan Tercapai
b.d menurunnya ekspansi S : Klien mengatakan sudah tidak merasa sesak
paru. O : Shifting dullness(-) dan fluid wave (-)
A : Ketidakefektifan pola napas teratasi
P : Intervensi dihentikan
3 Kelebihan volume cairan b.d Tujuan Tercapai
mekanisme regulasi. S : Klien sudah tidak mengeluh edema di kaki
O : Edema di bagian kedua ekstrenitas bawah (-), Shifting dullness (+),
fluid wave (+)
A : Kelebihan volume cairan teratasi
P : Intervensi dihentikan
4 Ketidakseimbangan nutrisi Tujuan Tercapai
kurang dari kebutuhan b.d S : Klien mengatakan BAB kembali normal
perasaan tidak nyaman di O : Hematemesis (-)
kuadran atas. A : Ketidakseimbangan nutrisi teratasi
P : Intervensi dihentikan
N. Telaah Jurnal (EBP)
Judul Jurnal : Karakteristik Pasien Sirosis Hati Di RSUD
Dr. Soedarso Pontianak Periode Januari
2008 – Desember 2010
Penulis : Aprinando Tambunan, Yustar Mulyadi,
Muhammad Ibnu Kahtan
Tahun : 2010
Penelaah : Kelompok 1
Tanggal telaah jurnal : 7 April 2017
Telaah Jurnal :
I:
Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif, ditandai
dengan rusaknya struktur hati dan pembentukan nodulus regeneratif.
Penyakit ini sangat meningkat sejak Perang Dunia II, sehingga sirosis
hati menjadi salah satu penyebab kematian yang paling menonjol dan
termasuk sepuluh besar penyebab kematian di Amerika Serikat dan
Korea.
Data prevalensi sirosis hati di Indonesia belum banyak. Di Rumah
Sakit dr. Sardjito Yogyakarta, pada tahun 2004 jumlah pasien sirosis
hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam.
Sedangkan penelitian di Pontianak oleh Saefulmuluk tahun 1978
dalam buku Sulaiman dkk, prevalensi sirosis hati sebesar 0,8%.
Pentingnya mengetahui etiologi yang mendasari terjadinya
penyakit sirosis hati ini menjadi alasan penulis untuk melakukan
penelitian. Hal lain yang mendasari penelitian ini yaitu bahwa di
Indonesia sirosis hati dengan komplikasinya masih merupakan
masalah kesehatan yang sulit diatasi. Dari hasil penelitian ini
diharapkan gambaran penderita sirosis hati di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) dr. Soedarso Pontianak yang merupakan rumah sakit
rujukan Kalimantan Barat dapat diketahui, sehingga selanjutnya dapat
menjadi parameter untuk melakukan pengelolaan yang optimal agar
meningkatkan survival dan menurunkan angka kematian penderita
sirosis hati.

M:
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif.

R:
1. Proporsi Pasien Sirosis Hati Di RSUD dr. Soedarso Pontianak
Selama periode penelitian didapatkan jumlah seluruh pasien
dengan penyakit hati dan saluran empedu yang dirawat di RSUD
dr. Soedarso Pontianak sebanyak 861 pasien. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 184 pasien diidentifikasi sebagai sirosis hati
dekompensata. Proporsi pasien sirosis hati dekompensata sebesar
21,37% dari seluruh pasien dengan penyakit hati dan saluran
empedu yang dirawat di RSUD dr. Soedarso Pontianak.
2. Proporsi Pasien Sirosis Hati yang Meninggal Dunia Di RSUD
dr. Soedarso Pontianak
Selama periode penelitian, penderita yang diketahui meninggal
dunia selama masa perawatan di rumah sakit sebanyak 34 pasien,
sedangkan 150 penderita lainnya keluar dari rumah sakit dalam
keadaan hidup. Persentase penderita sirosis hati dekompensata
yang meninggal dunia dalam jangka waktu 3 tahun tersebut adalah
18,48 %.
3. Distribusi Pasien Sirosis Hati Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan pengelompokkan pasien sirosis hati dekompensata
sesuai dengan jenis kelamin, didapatkan sebanyak 128 pasien
(69,6%) adalah laki-laki dan 56 pasien (30,4%) adalah perempuan.
Proporsi sirosis hati lebih banyak terjadi pada laki-laki dengan
ratio antara laki-laki dan perempuan 2,3 : 1.
4. Distribusi Pasien Sirosis Hati Berdasarkan Usia
Diketahui bahwa kasus terbanyak terjadi pada kelompok usia 50-
59 tahun, yaitu sebanyak 57 pasien (31,0%) diikuti kelompok usia
40-49 tahun, yaitu sebanyak 52 pasien (28,3%), dan kelompok usia
> 59 tahun sebanyak 48 pasien (26,1%).
5. Distribusi Etiologi Sirosis Hati
Sirosis hati dekompensata cukup banyak ditemukan pada penderita
dengan riwayat penyakit hepatitis. Sebanyak 80 kasus hepatitis B
ditemukan pada penderita sirosis hati, 5 kasus hepatitis C, 1 kasus
koinfeksi hepatitis B dan C. Penyebab yang lain yaitu alkohol,
diabetes mellitus, kardiak sirosis, dan sirosis hati non B-non C.
Sedangkan 46 kasus tidak diketahui penyebabnya.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa penderita sirosis hati
yang dirawat di RSUD dr. Soedarso lebih banyak yang menderita
hepatitis B dibandingkan C. Hal yg sama juga disampaikan oleh
Karina sedangkan dari tiga penelitian di Pakistan hepatitis C adalah
penyebab utama sirosis hati. Lebih rendahnya prevalensi sirosis
hati terkait hepatitis B di Pakistan karena angka vaksinasi hepatitis
B di negara tersebut cukup tinggi sehingga kontribusi hepatitis B
untuk mengakibatkan sirosis hati menjadi berkurang. Selain itu
juga, meningkatnya program skrining terhadap donor darah
menunjukkan angka pravalensi hepatitis C yang cukup tinggi
berkisar 0,5-14%.15 Hal ini berbeda dengan kondisi di Indonesia
dimana vaksinasi terhadap hepatitis B masih belum optimal.
Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, angka imunisasi hepatitis B pada anak usia 12 – 23
bulan adalah yang paling rendah dari semua jenis imunisasi dasar
yaitu sebesar 62,8%.
6. Komplikasi Pasien Sirosis Hati
Dari hasil penelitian, sebanyak 116 pasien (63,04%) telah memiliki
komplikasi sedangkan sebanyak 68 pasien sisanya (36,96%) tidak
terdapat komplikasi yang dimaksud. Jenis komplikasi tersering
pasien sirosis hati dekompensata pada penelitian ini adalah
perdarahan saluran makanan bagian atas sebanyak 92 kasus.
Diikuti dengan ensefalopati hepatik sebanyak 33 kasus.
Komplikasi lain seperti karsinoma hepatoselular, peritonitis
bacterial spontan, dan sindrom hepatorenal jarang dijumpai.
7. Kriteria Child-Turcotte Pasien Sirosis Hati
Diketahui bahwa sebanyak 6 pasien (3.3%) tergolong kriteria
Child-Turcotte A, 69 pasien (37.5%) tergolong kriteria Child-
Turcotte B dan 98 pasien (53,3%) tergolong kriteria Child-Turcotte
C. Sementara 11 pasien (5,9%) tidak dapat dinilai skor Child-
Turcotte-nya.

A:

D:

1. Proporsi Pasien Sirosis Hati Di RSUD dr. Soedarso Pontianak


Belum ada data resmi nasional tentang sirosis hati di Indonesia,
namun dari beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di
Indonesia, berdasarkan diagnosis klinis saja, prevalensi sirosis hati
yang dirawat di bangsal penyakit dalam umumnya berkisar antara
3,6-8,4% di Jawa dan Sumatera, sedang di Kalimantan dan
Sulawesi dibawah 1%. Secara keseluruhan rata-rata jumlah pasien
sirosis hati sebesar 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di
bangsal penyakit dalam atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien
penyakit hati dan saluran empedu yang dirawat. Kekerapan
penyakit sirosis hati di seluruh rumah sakit di Indonesia membuat
sirosis hati merupakan perawatan utama, kedua sampai kelima di
rumah sakit.
2. Proporsi Pasien Sirosis Hati yang Meninggal Dunia Di RSUD
dr. Soedarso Pontianak
Sirosis hati merupakan penyakit kronik dengan angka kematian
yang cukup tinggi. Tingginya angka kematian pada sirosis hati ini
karena pada umumnya penderita datang dengan fase lanjut
sehingga penanganannya menjadi sulit. Sirosis fase lanjut
seringkali disertai komplikasi akibat hipertensi porta dan faktor-
faktor lain yang diduga dapat memperberat perjalanan penyakit ini
sehingga menyebabkan kematian penderitanya.
3. Distribusi Pasien Sirosis Hati Berdasarkan Jenis Kelamin
Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Juliana dan Wibawa
dan juga penelitian-penelitian di luar negeri umumnya
mendapatkan prevalensi sirosis hati lebih banyak terjadi pada laki-
laki. Kecenderungan ini belum diketahui secara pasti penyebabnya.
Laki-laki lebih banyak menderita sirosis hati kemungkinan karena
mereka lebih sering terpapar dengan sejumlah agen penyebab
sirosis hati, seperti virus hepatitis dan alkohol.9,15 Selain itu juga
dapat dikarenakan minimnya penggunaan sumber-sumber layanan
kesehatan oleh kaum wanita sehingga mereka yang menderita
sirosis hati kurang terdeteksi dan tidak terlaporkan.
4. Distribusi Pasien Sirosis Hati Berdasarkan Usia
Penderita sirosis hati semakin banyak dijumpai seiring dengan
bertambahnya usia. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa
sebagian besar pasien didiagnosis menderita sirosis hati pada
dekade keempat dan kelima (59,3%) dengan rerata usia 51,5 tahun
dan median 51 tahun. Hal ini sesuai dengan beberapa studi yang
telah dilakukan sebelumnya, seperti di RSUP dr. Kariadi
Semarang, RSUP Sanglah Denpasar, dan di Saidu Teaching
Hospital, Pakistan.
Sirosis hati adalah penyakit hati kronis atau menahun. Progresi dari
kerusakan sel hati menuju sirosis dapat muncul dalam beberapa
minggu sampai dengan bertahun-tahun. Peneliti-peneliti
memperkirakan 15-20% pasien dengan hepatitis B kronik akan
mengalami sirosis setelah 20-30 tahun. Pasien dengan hepatitis C
dapat mengalami hepatitis kronik selama 40 tahun sebelum
akhirnya menjadi sirosis. Oleh karena itu, infeksi virus yang terjadi
di masa muda dapat menunjukkan manifestasi sebagai sirosis hati
pada dekade yang lebih lanjut.
5. Distribusi Etiologi Sirosis Hati
Sebanyak 33 kasus sirosis hati dengan HBsAg dan anti HCV
negatif, tidak menyingkirkan bahwa mereka tidak menderita sirosis
hati terkait hepatitis. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan
dengan seromarker yang lain, misalnya DNA HBV atau RNA
HCV. Sebesar 30% - 50% penderita sirosis hati dengan HBsAg
negatif ditemukan DNA HBV pada serum dan hati. Hal ini dapat
menurunkan prevalensi sirosis hati yang berasosiasi dengan virus
hepatitis di daerah endemis, seperti di Kalimantan Barat. Akan
tetapi pemeriksaan ini sangat mahal sehingga memang cukup sulit
untuk dilakukan. Metode yang digunakan untuk pemeriksaan
seromarker hepatitis ini adalah dengan immunochromatographic
technique (ICT), yang mana sensitifitas dan spesifisitasnya rendah
bila dibandingkan dengan teknik lain seperti Enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) sehingga juga menjadi peluang
untuk memperoleh hasil negatif palsu pada pemeriksaan.
Pemeriksaan hepatitis belum menjadi pemeriksaan yang rutin
dilakukan pada penderita sirosis di RSUD dr. Soedarso Pontianak
sehingga etiologi dari sirosis tersebut tidak semuanya dapat
diketahui. Padahal Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi
dengan tingkat endemisitas hepatitis yang cukup tinggi, sudah
selayaknya pemeriksaan hepatitis menjadi pemeriksaan yang rutin
dilakukan untuk pasien-pasien yang didiagnosis menderita sirosis
hati. Sirosis alkoholik yang diketahui dalam penelitian ini
sebanyak 5 kasus (2,7%). Kurangnya data yang lengkap tentang
kebiasaan minum alkohol memungkinkan prevalensi sirosis
Laennec pada penelitian ini lebih rendah. Hal ini tentunya menjadi
perhatian penting bagi peneliti mengingat kebiasaan minum
alkohol dan minuman keras lainnya di Provinsi Kalimantan Barat
masih cukup tinggi terkait keadaan sosiodemografik masyarakat.
6. Komplikasi Pasien Sirosis Hati
Sebagian besar penderita sirosis hati dekompensata memiliki
komplikasi. Penelitian oleh Khan dan Zarif8 juga menunjukkan
keadaan yang sama dimana pasien yang sudah mengalami
komplikasi mencapai 52,46% sedangkan 47,54% tidak memiliki
komplikasi.
Perjalanan penyakit sirosis hati dekompensata biasanya dipersulit
oleh sejumlah komplikasi. Komplikasi yang utama adalah
disfungsi hepatoselular, karsinoma hepatoselular dan hipertensi
portal dengan segala konsekuensinya. Tingginya jumlah pasien
yang sudah mengalami komplikasi dapat dimungkinkan karena
stadium awal sirosis hati yang mungkin tidak menyebabkan gejala
klinis selama periode yang lama hingga pada tahap yang lebih
lanjut (dekompensata) dimana terdapat manifestasi klinik yang
lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi gagal hati dan
hipertensi porta yang menyebabkan pasien dibawa ke rumah sakit.
Tiga puluh sampai tujuh puluh persen penderita sirosis hati
dekompensata dengan hipertensi portal mengalami perdarahan
varises esofagus dan 10-15% akan terbentuk varises tiap tahun.
Komplikasi ini merupakan keadaan kedaruratan medik karena
penderita bisa mengalami kematian akibat syok hemoragik.20 Oleh
karena itu diperlukan pemeriksaan yang lebih dini untuk melihat
apakah sudah terbentuk varises esofagus pada penderita sirosis
hati. Pemeriksaan standar baku yang digunakan untuk menegakkan
diagnosis varises esofagus adalah endoskopi.
Tidak banyak penelitian mengenai komplikasi KHS pada penderita
sirosis hati. Penelitian Nurhasni tahun 2007 di Rumah Sakit Haji
Medan dengan desain case series pada 164 penderita sirosis hati,
35 orang (21,3%) sudah mengalami komplikasi transformasi
keganasan. Sedangkan penelitian oleh Mahsud dkk di Pakistan,
komplikasi KHS pada pasien sirosis hati sebesar 11,8%.
Prevalensi terjadinya peritonitis bakterial spontan (PBS) pada
penelitian ini jauh berbeda dengan penelitian-penelitian lain di
berbagai tempat. Penelitian di Rumah Sakit Sanglah Denpasar
menemukan prevalensi PBS pada sirosis hati sebesar 30,6%27
sementara di Korea oleh Jang, PBS ditemukan 39-41% pada pasien
sirosis hati. Rendahnya prevalensi PBS pada penelitian ini karena
tidak adanya kultur atau isolasi mikroorganisme sebagai diagnosis
baku PBS. Selain itu tidak semua pasien sirosis dengan asites
dilakukan parasentesis sehingga tidak dapat dilakukan hitung sel
PMN terhadap cairan asites. Beberapa pakar berpendapat bahwa
parasentesis sebaiknya dilakukan pada semua pasien sirosis hati
dengan asites pada saat menjalani hospitalisasi, karena PBS
asimtomatik sangat mungkin terjadi.28 Kunci keberhasilan
penanganan PBS adalah penggunaan regimen antibiotik yang tepat
dan antisipasi terhadap faktor resiko infeksi, seperti asites dan
perdarahan saluran cerna.
Sindrom hepatorenal (SHR) pada penelitian Khan dan Zarif8
dilaporkan insidennya sebesar 3,28% pada kasus sirosis hati.
Sementara itu Mahsud dkk melaporkan insiden SHR mencapai
11,30%. Penatalaksanaan SHR masih belum memuaskan walaupun
ada sebagian kecil pasien yang berhasil selamat. Masih banyak
kegagalan dalam penanganan sehingga menimbulkan kematian.
Prognosis pasien dengan penyakit ini buruk. Dilaporkan angka
mortalitasnya adalah lebih besar dari 95% dengan survival rata-rata
kurang dari 2 minggu.
7. Kriteria Child-Turcotte Pasien Sirosis Hati
Ini berarti bahwa penderita sirosis hati yang datang berobat
sebagian besar dengan derajat penyakit sedang dan berat dimana
tanda-tanda dekompensasi umumnya terjadi. Sebagaimana
dijelaskan dalam kepustakaan bahwa sirosis hati sering merupakan
silent disease dimana sebagian besar penderita tetap asimtomatis
hingga munculnya tandatanda dekompensasi. Tanda-tanda
dekompensasi ini lebih banyak muncul pada penderita sirosis hati
dengan derajat penyakit sedang dan berat. Penderita sering datang
ke dokter karena keluhan muntah darah, asites, atau ikterus.
Setiap tahun, sepuluh persen pasien sirosis hati kompensata dapat
menjadi dekompensata. Oleh karena itu, perlu diketahui dan
dipahami faktor prognosis yang mempengaruhi perubahan tersebut.
Pada penyakit hati kronik, seperti sirosis hati, evaluasi prognostik
menjadi penting dalam pengelolaan kondisi pasien.
Dengan berbagai pertimbangan, disebutkan bahwa untuk
memeriksa pasien secara bedside, skor Child-Turcotte dinilai lebih
baik digunakan, tentunya dengan kombinasi dari temuan klinik
lainnya yang didapatkan pada pasien sirosis hati tersebut.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hati merupakan kelenjar terbesar ditubuh, beratnya sekitar
1-2,3 kg. Hati adalah organ metabolic terbesar dan terpenting
ditubuh, organ ini dapat dipandang sebagai pabrik biokimia
utama tubuh. Perannya dalam sistem pencernaan adalah sekresi
garam empedu, yang membantu pencernaan dan penyerapan
lemak.
Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis yang ditandai
oleh obstruksi difus dan regenerasi fibrotik sel-sel hepar.
Karena jaringan yang nekrotik menghasilkan fibrosis, maka
penyakit ini akan merusak jaringan hati serta pembuluh darah
yang normal, mengganggu aliran darah serta cairan limfe, dan
pada akhirnya menyebabkan insufisiensi hati. Sirosis hepatis
ditemukan pada laki-laki dengan insidensi dua kali lebih sering
dibandingkan pada wanita dan khususnya prevalen diantara
para penderita malnutrisi usia diatas 50 tahun dengan
alkoholisme kronis. Angka mortalitasnya tinggi dan banyak
pasien meninggal dalam lima tahun sejak awitan kronis
tersebut.
Sirosis hepatis dapat terjadi karena berbagai macam
penyakit, yaitu penyakit hepatoseluler seperti Hepatitis (A, B, C,
D), penyakit autoimun seperti sarkoidosis, penyakit kolestatik
seperti penyakit pada percabangan, penyakit metabolic seperti
penyakit Wilson, dan tipe sirosis lain seperti sindrom Budd-Chiari.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai