Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN (LP): HEPATITIS

Mata Kuliah: Keperawatan Medikal Bedah II


Dosen Pembimbing: Ns. Muh. Zukri Malik, S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh:
Kelompok IIIA
Atikah Asri Putri 1901003
Azizah Azzahra A. Hasan 1901004
Dita Indah Sari 1901007
Dwi Lestari 1901008
Ika Lestari 1901016
Putri Irawani 1901030

STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR PRODI S1 KEPERAWATAN


2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia
termasuk di Indonesia, yang terdiri dari Hepatitis A, B, C, D, E, dan G. Hepatitis A
dan E sering muncul sebagai kejadian luar biasa, ditularkan secara fecal oral dan
biasanya berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, bersifat akut dan
dapat sembuh dengan baik. Sedangkan Hepatitis B, C, dan D (jarang) ditularkan
secara parenteral, dapat menjadi kronis dan menimbulkan cirrhosis dan kanker
hati. Virus Hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 miliar orang di dunia, sekitar
240 juta orang di antaranya menjadi pengidap Hepatitis B kronik, sedangkan untuk
penderita Hepatitis C di dunia diperkirakan sebesar 170 juta orang. Sebanyak 1,5
juta penduduk dunia meninggal setiap tahunnya karena Hepatitis.
Indonesia merupakan nagara dengan endemisitas tinggi Hepatitis B,
terbesar kedua di negara south East Asian Region (SEAR) setalah Myanmar.
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas), studi dan uji sering darah donor
PMI maka di perkirakan diantara 100 orang Indonesia, 10 diantaranya telah
terinfeksi Hepatitis B atau C. Sehingga saat ini diperkirakan terdapat 28 juta
penduduk Indonesia yang terinfeksi Hepatitis B dan C, 14 juta diantaranya
berpotensi untuk menjadi kronis, dan dari yang kronis tersebut 1,4 juta orang
berpotensi untuk menderita kanker hati. Besaran masalah tersebut tentukan akan
berdampak sangat besar terhadap masalah kesehatan masyarakat, produktifitas,
umur harapan hidup, dan dampak sosial ekonomi lainnya.
Melihat kenyataan bahwa hepatitis merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius baik di tingkat nasional maupun global, maka pada tahun
2010 pada sidang WHA (Word Health Assembly) ke 63 di Geneva tanggal 20 Mei
2010, Indonesia bersama Brazil dan Colombia menjadi sponsor utama untuk
keluarnya resolusi tentang hepatitis virus, sebagai Global Public Health Concern.
Usulan ini diterima dan keluarlah resolusi tentang Hepatitis no 63.18 yang
menyatakan bahwa:
1. Hepatitis virus merupakan salah satu agenda prioritas dunia.
2. Tanggal 28 juli ditetapkan sebagai hari hepatitis sedunia.

1
Sejak keluarnya resolusi tersebut, setiap 2 tahun sekali diakukan evaluasi
tingkat global tentang respon pengadilan hepatitis bagi negara-negara anggota
WHO. Untuk akselerasi program pengadilan hepatitis tingkat global, berdasarkan
evaluasi respin sejak keluarnya resolusi 63.18, maka indonesia bersama 14 negara
lain, pada sidang WHA bulan Mei 2014, mengusulkan resolusi untuk pengendalian
Hepatitis virus, yaitu keluarlah resolusi 67.7 tentang aksi konkrit dalam
pengendalian Hepatitis (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI,
2014).

B. Anatomi Fisiologi Kasus


Fungsi utama sistem pencernaan (gastrointestinal atau GI) (gastro berarti
"lambung") adalah memindahkan nutrien, air, dan elektrolit dari makanan yang kita
telan ke dalam lingkungan internal tubuh. Makanan yang dicerna merupakan
sumber energi, atau bahan hakar, yang esensial. Bahan bakar tersebut digunakan
oleh sel untuk menghasilkan ATP untuk melaksanakan berbagai aktivitas yang
memerlukan energi, misalnya transpor aktif, kontraksi, sintesis, dan sekresi.
Makanan juga merupakan sumber bahan baku untuk mem- perbarui dan menambah
jaringan tubuh. Tindakan makan tidak secara otomatis menyebabkan
molekulmolekul yang telah ada di makanan tersedia bagi sel tubuh. Makanan mula-
mula harus dicerna, atau diuraikan secara kimiawi, menjadi molekul-molekul kecil
sederhana yang dapat diserap dari saluran cerna ke dalam sistem sirkulasi untuk
didistribusikan ke sel-sel. Dalam keadaan normal, sekitar 95% makanan yang
tercerna dapat tersedia untuk digunakan oleh tubuh (Sherwood, 2013).

2
Organ Pencernaan
Terdapat empat proses pencernaan dasar: motilitas, sekresi, digesti, dan
absorpsi.
1. Motilitas. Kata motilitas merujuk kepada kontraksi otot yang mencampur dan
mendorong maju isi saluran cerna. Meskipun otot polos di dinding saluran
cerna merupakan otot polos fasik yang tnemperlihatkan lonjakan kontraksi
yang terinduksi oleh potensial aksi, otot ini juga mempertahankan kontraksi
berkadar rendah dan konstan yang dikenal sebagai tonus. Tonus penting untuk
mempertahankan tekanan tetap pada isi saluran cerna serta untuk mencegah
dindingnya teregang permanen setelah mengalami distensi. Pada aktivitas
tonus yang terus-menerus terjadi ini terdapat dua tipe dasar motilitas fasik
saluran cerna: gerakan propulsif dan gerakan mencampur. Gerakan propulsif
mendorong isi maju melalui saluran cerna, dengan kecepatan pergerakan
bervariasi bergantung pada fungsi yang dilakukan oleh berbagai bagian saluran
cerna. Sebagai contoh, transit makanan melalui esofagus berlangsung cepat,
yang sesuai karena struktur ini hanya berfungsi sebagai saluran dari mulut ke

3
lambung. Sebagai perhandingan, di usus halus—tempat utama pencernaan dan
penyerapan—isi bergerak maju dengan lambat, menyediakan waktu untuk
penguraian dan penyerapan makanan. Gerakan mencampur memiliki fungsi
ganda. Pertama, dengan mencampur makanan dengan getah pencernaan,
gerakan ini meningkatkan pencernaan makanan. Kedua, gerakan ini
mempermudah penyerapan dengan memajankan semua bagian isi saluran cerna
ke permukaan serap saluran cerna Pergerakan bahan melalui sebagian besar
saluran cerna terjadi berkat kontraksi otot polos di dinding organ-organ
pencernaan. Pengecualiannya adalah di ujung-ujung saluran: mulut melalui
bagian pangkal esofagus di awal saluran dan sfingter anus eksternus di akhir
saluran. Pada daerah ini, motilitas lebih melibatkan otot rangka daripada
aktivitas otot polos. Karena itu, tindakan mengunyah, menelan, dan defekasi
memiliki komponen volunter karena otot rangka berada di bawah kontrol
sadar. Sebaliknya, motilitas di seluruh saluran lainnya dilaksanakan oleh otot
polos yang dikontrol oleh mekanisme involunter kompleks.
2. Sekresi. Sistem pencernaan menghasilkan sekresi endokrin dan eksokrin. Sel
kelenjar eksokrin pencernaan adalah sel epitel khusus yang ditemukan pada
permukaan saluran cerna dan di dalam organ pencernaan tambahan seperti
kelenjar eksokrin pankreas yang menyekresikan getah pencernaan ke dalam
lumen saluran cerna melalui stimulasi hormonal atau neural yang spesifik.
Setiap sekresi pencernaan terdiri dari air, elektrolit, dan konstituen organik
spesifik yang penting daIam proses pencernaan, misalnva enzim, garam
empedu, atau mukus. Sel-sel sekretorik mengekstraksi dari plasma sejumlah
besar air dan bahan mentah yang diperlukan untuk menghasilkan sekresi
tertentu mereka. Sekresi semua getah pencernaan memerlukan energi, baik
untuk transpor aktif sebagian bahan mentah ke dalam sel (yang lain berdifusi
secara pasif) maupun untuk sintesis produk sekretorik. Dalam keadaan normal,
sekresi pencernaan direabsorpsi dalam suatu bentuk atau bentuk lain kembali
ke darah setelah ikut serta dalam proses pencernaan. Kegagalan reabsorpsi ini
(misalnya karena muntah atau diare) menyebabkan hilangnya cairan yang
"dipinjam" dari plasma ini. Sistem pencernaan dianggap merupakan organ
endokrin yang terbesar di tubuh. Sementara jaringan endokrin perifer biasanya

4
disusun menjadi kelenjar-kelenjar yang berbeda, jaringan endokrin saluran
cerna disusun sebagai sel tunggal individual yang tersebar di sepanjang saluran
pencernaan. Sel epitel khusus ini menghasilkan satu kisaran protein sinyal,
yang diklasifikasikan sebagai hormon GI atau peptida GI, yang memasuki
darah dan dihaiva ke target di dalam saluran cerna dan di luar saluran cerna.
Terlepas dari klasifikasinya, berbagai sekresi endokrin ini mengatur fungsi
digestif.
3. Digesti. Manusia mengonsumsi tiga kategori utama bahan makanan kaya-
energi: karbohidrat, protein, dan lemak. Molekul-molekul besar ini tidak dapat
melewati membran plasma secara utuh untuk diserap dari lumen saluran cerna
ke dalam darah atau limfe. Oleh sebab itu, tujuan digesti adalah untuk
menguraikan struktur kompleks makanan secara kimiawi menjadi satuan-
satuan yang lebih kecil dan dapat diserap melalui prosesproses berikut ini:
a. Bentuk karbohidrat yang paling sederhana adalah gula sederhana atau
monosakarida (malekul "satu-gula"), misalnya glukosa, fruktosa, dan
galaktosa, yang dalam keadaan normal sangat sedikit ditemukan dalam
makanan. Sebagian besar karbohidrat yang kita telan berada dalam bentuk
polisakarida (molekul "banyak- gula") yang terdiri dari rantai-rantai
molekul glukosa yang saling berikatan. Polisakarida yang paling umum
dikonsumsi adalah tepung, yang mengandung polisakarida amilosa
(glukosa rantai tak bercabang) dan amilopektin (glukosa rantai bercabang)
yang berasal dari sumber tanaman. Selain itu, daging mengandung
glikogen, polisakarida bentuk simpanan glukosa di otot yang lebih sangat
bercabang. Selulosa, polisakarida lain dalam makanan dan diternukan di
dinding tumbuhan, karena itu, karbohidrat ini membentuk serat yang tidak
tercerna, atau "massa" makanan kita. Selain polisakarida, sumber
karbohidrat lain dalam makanan adalah dalarn bentuk disakarida (molekul
"dua-gula"), termasuk sukrosa (gula pasir, yang terdiri dari satu molekul
glukosa dan satu fruktosa) dan laktosa (gula susu yang terdiri dari satu
molekul glukosa dan satu galaktosa). Melalui proses pencernaan, tepung,
glikogen, dan disakarida diubah menjadi monosakarida konstituen-

5
konstituennya, terutarna glukosa dengan sejumlah kecil fruktosa dan
galaktosa. Monosakarida ini adalah satuan karbohidrat yang dapat diserap.
b. Protein dalam makanan terdiri dari berbagai kombinasi asam amino yang
disatukan oleh ikatan peptida. Melalui proses pencernaan, protein
diuraikan terutama menjadi asam-asam amino konstituennya serta
beberapa polipeptida kecil (beberapa asam amino yang disatukan oleh
ikatan peptida), keduanya adalah satuan protein yang dapat diserap.
c. Sebagian besar lemak dalam makanan berada dalam bentuk trigliserida,
yaitu lemak netral yang terdiri dari satu Semua nutrien, molekul gliserol
dengan tiga asam lemak yang melekat (tri artinya"tiga"). Pencernaan
enzimatik lemak netral memisahkan dua molekul asam lemak dari
trigliserida sehingga meninggakan satu monogliserida, yaitu satu molekul
gliserol dengan satu molekul asam lemak melekat padanya (mono artinya
"satu"). Karena itu, produk akhir pencernaan lemak adalah monogliserida
dan asam lemak bebas, yaitu satuan lemak yang dapat diserap. Pencernaan
semua bahan makanan dalam diet dituntaskan Garam dan air, oleh
hidrolisis enzimatik. Dengan menambahkan H2O di tempat ikatan,
enzimenzim dalam sekresi pencernaan menguraikan ikatan-ikatan yang
menyatukan subunit-subunit molekular di dalam molekul nutrien sehingga
terjadi pembebasan molekul-molekul kecil. Pada proses hidrolisis terjadi
pengeluaran H2O di tempat ikatan yang semula menyatukan subunit-
subunit kecil ini wituk membentuk molekul nutrien. Hidrolisis mengganti
H2O dan membebaskan unitunit kecil molekul makanan yang dapat
diserap enzim-enzim pencernaan bersifat spesifik utuk ikatan yang dapat
dihidrolisis mereka. Sewaktu bergerak melaiui saluran cerna, makanan
menjadi suhjek herbagai enzim, yang masing-masing menguraikan
molekul tnakanan lebih lanjut. Dengan cara ini, molektil molekul makanan
yang besar diuhah menjadi unit-unit kecil yang dapat diserap melalui
proses bertahap progresif, seperti antrian di pabrik yang berjalan terbalik,
seiring dengan terdarong majunya isi saluran cerna.
4. Absorpsi. Di usus halus, pencernaan telah tuntas dan terjadi sebagian besar
penyerapan. Melalui proses absorpsi, unit-unit kecil makanan yang dapat

6
diserap yang dihasilkan oleh pencernaan, bersama dengan air, vitatnin, dan
elektrolit, dipindahkan dari lumen saluran cerna ke dalam darali atau limfe
(Sherwood, 2013).
Salah satu unit pencernaan tambahan adalah hati. Hati adalah organ
metabolik terbesar dan terpenting di tubuh; organ ini dapat dipandang sebagai
pabrik biokimia utama tubuh. Perannya dalam sistem pencernaan adalah sekresi
empedu, yang membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Hati juga melakukan
berbagai fungsi yang tidak berkaitan dengan pencernaan, termasuk yang berikut:
1. Pemrosesan metabolik kategori-kategori utama nutrien (karbohidrat, protein,
dan lemak) setelah zat-zat ini diserap dari saluran cerna.
2. Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan
senyawa asing lain.
3. Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan untuk
pembekuan darah, yang mengangkut hormon steroid dan tiroid serta kokesterol
dalam darah, dan angiotensinogen yang penting dalam SRAA yang
mengonservasi garam.
4. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5. Mengaktitkan vitamin D, yang dilakukan hati bersama dengan ginjal.
6. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua, berkat adanya makrofag
residen.
7. Menyekresi hormon trombopoietin (merangsang produksi trombosit), hepsidin
(menghambat penyerapan besi dari usus), faktor pertumbuhan mirip insulin-1
(merangsang pertumbuhan).
8. Memproduksi protein fase akut yang penting dalam inflamasi.
9. Mengekskresi kolesterol (dan bilirubin). Bilirubin adalah produk penguraian
yang berasal dari destruksi sel darah merah tua.
Meskipun memiliki beragam fungsi kompleks ini, tidak banyak
spesialisasi ditemukan di antara sel-sel hati. Setiap sel hati, atau hepatosit,
melakukan beragam tugas metabolik dan sekretorik yang sama (hepato artinya
"hati"; sit artinya "sel"). Spesialisasi ditimbulkan oleh organel-organel yang sangat
berkembang di dalam setiap hepatosit. Satu-satunya fungsi hati yang tidak

7
dilakukan oleh hepatosit adalah aktivitas fagosit yang dilaksanakan oleh makrofag
residen yang dikenal sebagai sel Kupffer.
Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagai lobulus,
yaitu susunan jaringan berbentuk heksagonal mengelilingi satu vena sentral dan
dibatasi oleh vaskuler dan saluran empedu.

Organ Hati
Di setiap enam sudut luar lobulus terdapat tiga pembuluh: cabang arteri
hepatika, cabang vena porta hati, dan duktus biliaris. Darah dari cabang arteri
hepatika dan vena porta mengalir dari perifer lobulus ke ruang kapiler luas yang
disebut sinusoid yang berjalan di antara jeJeran sel hati ke vena sentral seperti jari-
jari roda sepeda. Sel Kupffer melapisi bagian dalam sinusoid serta menelan dan
menghancurkan sel darah merah usang dan bakteri yang melewatinya dalam darah.
Hepatosit-hepatosit tersusun antara sinusoid dalam lempeng-lempeng yang tebalnya
dua sel, sehingga masing-masing tepi lateral menghadap ke kumpulan darah
sinusoid. Vena sentral di sernua lobulus hati menyatu untuk membentuk vena
hepatika, yang mengalirkan darah keluar dari hati. Saluran tipis pengangkut
empedu, kanalikulus biliaris, berjalan di antara sel-sel di dalam setiap lempeng hati.
Hepatosit terus-menerus mengeluarkan empedu ke dalam saluran tipis ini, yang
mengangkut empedu ke duktus biliaris di tepi lobulus. Duktus-duktus biliaris dari
berbagai lobultrs menyatu untuk akhirnya membentuk duktus biliaris komunis,
yang mengangkut empedu dari hati ke duodenum. Setiap hepatosit berkontak
dengan sinusoid di satu sisi dan kanalikulus biliaris di sisi lain (Sherwood, 2013).

8
BAB II
KONSEP MEDIS

A. Pengertian
Hepatitis adalah proses peradangan jaringan hati. Peradangan hati dapat
juga karena paparan agen farmakologik atau kimia baik dengan inhalasi, ingesti
atau pemberian parenteral (Bachrudin & Najib, 2016).
Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang
hati. Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima
jenis virus yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis
C (HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Jenis virus lain
yang ditularkan pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat
diidentifikasi akan tetapi tidak menyebabkan hepatitis. Semua jenis hepatitis virus
yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang
merupakan virus DNA. Walaupun virus-virus tersebut berbeda dalam sifat
molecular dan antigen, akan tetapi semua jenis virus tersebut memperlihatkan
kesamaan dalam gejala klinis dan perjalanan penyakitnya. Gambaran klinis
hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari asimtomatik sampai yang sangat berat
yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian. Selain itu, gejala juga
bisa bervariasi dari infeksi persisten subklinis sampai penyakit hati kronik progresif
cepat dengan sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler yang umum ditemukan
pada tipe virus yang ditransmisi melalui darah (HBV, HCV, dan HDV) (Wahyudi,
2017).

B. Klasifikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2020) ada 5 jenis Hepatitis Virus yaitu
Hepatitis A, B, C, D, E, dan G:
1. Hepatitis A disebabkan oleh virus RNA dari gen Enterovirus. Bentuk hepatitis
ini ditularkan terutama melalui rute fekal-oral, melalui konsumsi makanan atau
minuman yang terinfeksi virus. Virus ditemukan di feses pasien yang terinfeksi
sebelum awitan gejala dan selama beberapa hari pertama penyakit. Periode
inkubasi diperkirakan berlangsung selama 2 sampai 6 minggu, dengan rata-rata
4 minggu. Perjalanan penyakit dapat berlangsung selama 4 sampai 8 minggu.

9
Virus terdapat di dalam serum dalam waktu singkat; pada saat ikterik terjadi,
pasien cenderung tidak terinfeksi. Individu yang imun/kebal terhadap hepatitis
A dapat terkena bentuk hepatitis yang lain. Pemulihan dari hepatitis A biasa
terjadi; hepatitis A jarang berlanjut menjadi nekrosis hati akut dan hepatitis
berat (fulminant). Tidak ada status carier, dan tidak ada kasus hepatitis kronis
yang disebabkan oleh hepatitis A.
2. Hepatitis B. Virus hepatitis B (HBV) adalah virus DNA yang ditularkan
terutama melalui darah. Virus ditemukan di saliva, semen, dan sekresi vagina
serta dapat ditularkan melalui membran mukosa dan luka pada kulit. Hepatitis
B memiliki periode inkubasi yang panjang (1 sampai 6 bulan). Virus hepatitis
B memperbanyak diri dalam hati dan tetap berada di dalam serum dalam
periode waktu yang lama sehingga memungkinkan penyebaran virus. Mereka
yang beresiko mencakup semua tenaga kesehatan, pasien di unit hemodialisis
dan onkologi, pria biseksual dan homoseksual yang seksual-aktif, dan
pengguna obat-obatan IV. Sekitar 10% pasien berstatus carrier atau menderita
hepatitis kronis. Hepatitis B tetap menjadi penyebab sirosis dan karsinoma
hepatoseluler utama di selurus dunia.
3. Hepatitis C. Sebagian besar kasus hepatitis yang disebabkan oleh virus
bukanlah hepatitis A, B, atau D, melainkan hepatitis C. Hepatitis C adalah
bentuk primer hepatitis yang ditularkan melalui cara parenteral (penggunaan
bersama jarum yang terkontaminasi, teetusuk jarum atau cedera pada petugas
kesehatan, transfusi darah) atau hubungan seksual. Periode inkubasi beragam
dan dapat berkisar dari 15 sampai 160 hari. Perjalanan klinis hepatitis C serupa
dengan hepatitis B; gejala biasanya ringan. Status carrier kronis sering kali
dijumpai. Terdapat peningkatan risiko sirosis dan kanker hati setelah hepatitis
C. Terapi kombinasi menggunakan ribavirin (Rebetol) dan interferon (Intron-
A) efektif untuk mengobati pasien hepatitis C dan mengatasi kekambuhan.
4. Hepatitis D. Hepatitis D (agen delta) terjadi pada beberapa kasus hepatitis B.
Karena virus memerlukan antigen permukaan hepatitis B untuk melakukan
replikasi, hanya pasien hepatitis B yang beresiko. Hepatitis D sering terjadi
pada penggunaan obat IV, pasien hemodialisis, dan penerima transfusi darah
multipel. Kontak seksual adalah metode penularan hepatitis B dan D yang

10
penting. Inkubasi beragam antara 30 dan 150 hari. Gejala serupa dengan
hepatitis B; bedanya, pasien lebih cenderung menderita hepatitis fulminan dan
berkembang menjadi hepatitis aktif kronis dan sirosis. Terapi serupa dengan
terapi untuk bentuk hepatitis yang lain.
5. Hepatitis E. Virus hepatitis E ditularkan melalui rute fekal-oral, terutama
melalui air yang terkontaminasi dan sanitasi yang buruk. Inkubasi beragam dan
diperkirakan berkisar antara 15 dan 65 hari. Secara umum, hepatitis E
menyerupai hepatitis A. Hepatitis E dapat sembuh dengan sendirinya dan
awitannya mendadak. Ikterik hampir selalu terjadi. Bentuk kronis tidak terjadi.
Metode pencegahan utamanya adalah menghindari kontak dengan virus
melalui higiene (mencuci tangan). Efektivitas imunoglobin dalam memberi
perlindungan terhadap virus hepatitis E tidak pasti.
6. Hepatitis G. Hepatitis G (bentuk terbaru) adalah hepatitis pascatransfusi
dengan periode inkubasi berkisar dari 14 sampai 145. Tidak terdapat
autoantibodi. Faktor risiko ini serupa dengan faktor risiko untuk hepatitis C
(Brunner & Suddarth, 2020).

C. Etiologi
1. Hepatitis A: Virus hepatitis A merupakan partikel dengan ukuran diameter 27
nanometer dengan bentuk kubus simetrik tergolong virus hepatitis terkecil,
termasuk golongan pikornavirus. Ternyata hanya terdapat satu serotype yang
dapat menimbulkan hepatitis pada manusia. Dengan mikroskop electron
terlihat virus tidak memiliki mantel, hanya memiliki suatu nukleokapsid yang
merupakan ciri khas dari antigen virus hepatitis A.
Seuntai molekul RNA terdapat dalam kapsid, satu ujung dari RNA ini disebut
viral protein genomik (VPg) yang berfungsi menyerang ribosom sitoplasma sel
hati. Virus hepatitis A bisa dibiak dalam kultur jaringan. Replikasi dalam tubuh
dapat terjadi dalam sel epitel usus dan epitel hati. Virus hepatitis A yang
ditemukan di tinja berasal dari empedu yang dieksresikan dari sel-sel hati
setelah replikasinya, melalui sel saluran empedu dan dari sel epitel usus. Virus
hepatitis A sangat stabil dan tidak rusak dengan perebusan singkat dan tahan
terhadap panas pada suhu 60ºC selama ± 1 jam. Stabil pada suhu udara dan pH

11
yang rendah. Tahan terhadap pH asam dan asam empedu memungkinkan VHA
melalui lambung dan dikeluarkan dari tubuh melalui saluran empedu.
2. Hepatitis B: Virus hepatitis B adalah virus DNA berselubung ganda berukuran
42 nm memiliki lapisan permukaan dan bagian inti dengan masa inkubasi
sekitar 60 sampai 90 hari. Terdapat 3 jenis partikel virus yaitu: (1) Sferis
dengan diameter 17 – 25 nm dan terdiri dari komponen selubung saja dan
jumlahnya lebih banyak dari partikel lain. (2) Tubular atau filamen, dengan
diameter 22 – 220 nm dan terdiri dari komponen selubung. (3) Partikel virion
lengkap atau partikel Dane terdiri dari genom HBV dan berselubung, diameter
42 nm. Protein yang dibuat oleh virus ini bersifat antigenik serta memberi
gambaran tentang keadaan penyakit (pertanda serologi khas) adalah : (1)
Surface antigen atau HBsAg yang berasal dari selubung, yang positif kira-kira
2 minggu sebelum terjadinya gejala klinis. (2) Core antigen atau HBcAg yang
merupakan nukleokapsid virus hepatitis B. (3) E antigen atau HBeAg yang
berhubungan erat dengan jumlah partikel virus yang merupakan antigen
spesifik untuk hepatitis B.
3. Hepatitis C: HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal
berselubung glikoprotein dengan partikel sferis, inti nukleokapsid 33 nm, yang
dapat diproduksi secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus (hal
ini dikarenakan HCV merupakan virus dengan RNA rantai positif). Hanya ada
satu serotipe yang dapat diidentifikasi, terdapat banyak genotipe dengan
distribusi yang bervariasi di seluruh dunia, misalnya genotipe 6 banyak
ditemukan di Asia Tenggara. Genom HCV terdiri atas 9400 nukleotida,
mengkode protein besar sekitar residu 3000 asam amino. Sepertiga bagian dari
poliprotein terdiiri atas protein struktural. Protein selubung dapat menimbulkan
antibodi netralisasi dan sisa dua pertiga dari poliprotein terdiri atas protein
nonstruktural (dinamakan NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5 B) yang terlibat
dalam replikasi HCV. Replikasi HCV sangat melimpah dan diperkirakan
seorang penderita dapat menghasilkan 10 trilion virion perhari.
4. Hepatitis D: Virus Delta bila dilihat dari pandangan virology binatang memang
merupakan virus unik. Virus ini termasuk virus RNA yang sangat kecil. Virion
VHD hanya berukuran kira-kira 36 nm tersusun atas genom RNA single

12
stranded dan kira-kira 60 kopi antigen delta yang merupakan satu-satunya jenis
protein di kode oleh VHD. Antigen Delta terdiri dari 2 jenis yakni large (L)
dan small (S) Virion VHD mempunyai kapsul terdiri atas protein yang
dihasilkan oleh VHB. Dinding luar tersebut terdiri atas lipid dan seluruh
komponen HBsAg. Komponen HBsAg yang mendominasi adalah small
HBsAg kira-kira sebanyak 95%. Proporsi seperti ini sangat berbeda dengan
proporsi yang terdapat pada VHB. Selain menjadi komponen utama dinding
VHD, HBsAg juga diperlukan VHD untuk transmisi dan masuk ke hepatosit.
HBsAg akan melindungi virion VHD tetapi secara langsung tidak
mempengaruhi replikasi VHD (Wahyudi, 2017).

D. Patofisiologi
1. Hepatitis A: Antigen hepatitis A dapat ditemukan dalam sitoplasma sel hati
segera sebelum hepatitis akut timbul. Kemudian, jumlah virus akan menurun
setelah timbul manifestasi klinis, baru kemudian muncul IgM anti HAV
spesifik. Kerusakan sel-sel hati terutama terjadi karena viremia yang terjadi
dalam waktu sangat pendek dan terjadi pada masa inkubasi. Serngan antigen
virus hepatitis A dapat ditemukan dalam tinja 1 minggu setelah ikterus timbul.
Kerusakan sel hati disebabkan oleh aktifasi sel T limfosit sitolitik terhadap
targetnya, yaitu antigen virus hepatitis A. Pada keadaan ini ditemukan HLA-
Restricted Virus specific cytotoxic CD8+ T Cell di dalam hati pada hepatitis
virus A yang akut. Gambaran histologis dari sel parenkim hati yaitu
terdapatnya nekrosis sel hati berkelompok, dimulai dari senter lobules yang
diikuti oleh infiltrasi sel limfosit, makrofag, sel plasma, eosinofil, dan neutrofil.
Ikterus terjadi sebagai akibat hambatan aliran empedu karena kerusakan sel
parenkim hati, terdapat peningkatan bilirubin direct dan indirect dalam serum.
Ada 3 kelompok kerusakan yaitu di daerah portal, di dalam lobules, dan di
dalam sel hati. Dalam lobules yang mengalami nekrosis terutama yang terletak
di bagian sentral. Kadang-kadang hambatan aliran empedu ini mengakibatkan
tinja berwarna pucat seperti dempul (faeces acholis) dan juga terjadi
peningkatan enzim fosfatase alkali, 5 nukleotidase dan gama glutamil
transferase (GGT). Kerusakan sel hati akan menyebabkan pelepasan enzim

13
transminase ke dalam darah. Peningkatan SGPT memberi petunjuk adanya
kerusakan sel parenkim hati lebih spesifik daripada peningkatan SGOT, karena
SGOT juga akan meningkat bila terjadi kerusakan pada myocardium dan sel
otot rangka. Juga akan terjadi peningkatan enzim laktat dehidrogenase (LDH)
pada kerusakan sel hati. Kadang-kadang hambatan aliran empedu (cholestasis)
yang lama menetap setelah gejala klinis sembuh.
2. Hepatitis B: Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari
peredaran darah, partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi replikasi virus.
Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh,
partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut
membentuk partikel virus. VHB merangsang respon imun tubuh, yaitu respon
imun non-spesifik dan respon imun spesifik. VHB merangsang pertama kali
respon imun non-spesifik ini (innate immune response) karena dapat
terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam.
Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan
memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T. Untuk prosese eradikasi VHB lebih
lanjut diperlukan respon imun spesifik yaitu dengan mengaktivasi limfosit T
dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor T
tersebut dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada
permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding APC (Antigen
Precenting Cell) dan dibantu dengan rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya
sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada
dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati
dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah peptida kapsid, yaitu HBcAg
atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada
dalam neksrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau
mekanisme sitolitik. Disamping itu dapat juga terrjadi eliminasi virus intrasel
tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas Interferon Gamma
dan TNF alfa (Tissue Necroting Factor) yang dihasilkan oleh sel T CD8+
(mekanisme nonsitolitik). Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+
akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, dan anti
HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas akan mencegah

14
masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah
penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan
gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B Kronik
ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa dideteksi dengan
metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam kompleks
dengan HBsAg. Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi
VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi
infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang
tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor viral maupun faktor pejamu. Setelah
terinfeksi VHB, penanda virologis pertama yang terdeteksi dalam serum adalah
HBsAg. HBsAg dalam sirkulasi mendahului peningkatan aktivitas
aminotransferase serum dan gejala-gejala klinis dan tetap terdeteksi selama
keseluruhan fase ikterus atau simtomatis dari hepatitis B akut atau sesudahnya.
Pada kasus yang khas HBsAg tidak terdeteksi dalam 1 hingga 2 bulan setelah
timbulnya ikterus dan jarang menetap lebih dari 6 bulan. Setelah HBsAg
hilang, antibodi terhadap HBsAg (Anti-HBs) terdeteksi dalam serum dan tetap
terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya. Karena HBcAg
terpencil dalam mantel HBsAg, maka HBcAg tidak terdeteksi secara rutin
dalam serum pasien dengan infeksi VHB. Di lain pihak, antibodi terhadap
HBcAg (anti-HBC) dengan cepat terdeteksi dalam serum, dimulai dalam 1
hingga 2 minggu pertama setelah timbulnya HBsAg dan mendahului
terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa bulan. Karena terdapat variasi
dalam waktu timbulnya anti-HBs setelah infeksi, kadang terdapat suatu
tenggang waktu beberapa minggu atau lebih yang memisahkan hilangnya
HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama “periode jendela” (window period)
ini, anti-HBc dapat menjadi bukti serologi pada infeksi VHB yang sedang
berlangsung, dan darah yang mengandung anti-HBc tanpa adanya HBsAg dan
anti-HBs telah terlibat pada perkembangan hepatitis B akibat transfusi.
Perbedaan antara infeksi VHB yang sekarang dengan yang terjadi di masa lalu
dapat diketahui melalui penentuan kelas imunoglobulin dari anti-HBc.
AntiHBC dari kelas IgM (IgM anti-HBc) terdeteksi selama 6 bulan pertama
setelah infeksi akut. Oleh karena itu, pasien yang menderita hepatitis B akut

15
yang baru terjadi, termasuk mereka yang terdeteksi anti-HBc dalam periode
jendela memilik IgM anti-HBc dalam serumnya. Pada pasien yang menderita
VHB kronik, antiHBc terutama dari kelas IgG yang terdapat dalam serum.
Umumnya orang yang telah sembuh dari hepatitis B, anti-HBs dan anti-HBc
nya menetap untuk waktu yang tidak terbatas.
3. Hepatitis C: Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati oleh HCV
masih belum jelas karena terbatasnya kultur sel untuk HCV. Namun beberapa
bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan
kerusakan selsel hati. Protein core misalnya, diperkirakan menimbulkan reaksi
pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini mampu
berinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan
dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis. Jika masuk ke dalam
darah maka HCV akan segera mencari hepatosit dan mengikat suatu reseptor
permukaan yang spesifik (reseptor ini belum diidentifikasi secara jelas).
Protein permukaan sel CD81 adalah suatu HCV binding protein yang
memainkan peranan masuknya virus. Protein khusus virus yaitu protein E2
nenempel pada receptor site di bagian luar hepatosit. Virus dapat membuat sel
hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama proses ini
virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi
hepatosit yang terinfeksi. Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat
diperlukan untuk terjadinya eliminasi menyeluruh pada infeksi akut. Reaksi
inflamasi yang dilibatkan meliputi rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan
menyebabkan aktivitas sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini
sebelumnya dalam keadaan tenang (quiescent) kemudian berploriferasi
menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks
kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif menghasilkan sitokin pro-
inflamasi. Proses ini berlangsung terus-menerus sehingga dapat menimbulkan
kerusakan hati lanjut dan sirosis hati. Sama seperti virus hepatitis lainnya,
HCV dapat menyebabkan suatu hepatitis akut yang sulit dibedakan dengan
hepatitis virus akut lain. Gejala hanya dilaporkan terjadi pada 15% kasus,
sehingga diagnosa harus tergantung pada positifnya hasil pemeriksaan anti-
HCV atau pemeriksaan HCV RNA yang biasanya terdeteksi lebih awal

16
sebelum munculnya antibodi anti-HCV (serokonversi). Dari semua individu
dengan infeksi hepatitis C akut, 75-80% akan berkembang menjadi infeksi
kronik.
4. Hepatitis D: Virus Delta bila dilihat dari pandangan virology binatang memang
merupakan virus unik. Virus ini termasuk virus RNA yang sangat kecil. Virion
VHD hanya berukuran kira-kira 36 nm tersusun atas genom RNA single
stranded dan kira-kira 60 kopi antigen delta yang merupakan satu-satunya jenis
protein di kode oleh VHD. Antigen Delta terdiri dari 2 jenis yakni large (L)
dan small (S) Virion VHD mempunyai kapsul terdiri atas protein yang
dihasilkan oleh VHB. Dinding luar tersebut terdiri atas lipid dan seluruh
komponen HBsAg. Komponen HBsAg yang mendominasi adalah small
HBsAg kira-kira sebanyak 95%. Proporsi seperti ini sangat berbeda dengan
proporsi yang terdapat pada VHB. Selain menjadi komponen utama dinding
VHD, HBsAg juga diperlukan VHD untuk transmisi dan masuk ke hepatosit.
HBsAg akan melindungi virion VHD tetapi secara langsung tidak
mempengaruhi replikasi VHD.
5. Hepatitis E: HEV merupakan virus RNA dengan diameter 27-34 mm. Pada
manusia hanya terdiri atas satu serotipe dengan empat sampai lima genotipe
utama. Genome RNA dengan tiga overlap ORF (open reading frame)
mengkode protein struktural dan protein non-struktural yang terlibat pada
replikasi HEV. Virus dapat menyebar pada sel embrio diploid paru akan tetapi
replikasi hanya terjadi pada hepatosit (Wahyudi, 2017).

E. Tanda dan Gejala


1. Hepatitis A: Hepatitis A merupakan penyakit yang terutama menyerang anak
dan dewasa muda. Pada fase akut hepatitis A umumnya 90% asimtomatik atau
bentuk yang ringan dan hanya sekitar 1% yang timbul ikterus. Pada anak
manifestasinya sering kali asimtomatk dan anikterik. Gejala dan perjalanan
klinis hepatitis virus akut secara umum dapat dibedakan dalam 4 stadium:
a. Masa Tunas. Lamanya viremia pada hepatitis A 2-4 Minggu.
b. Fase pra-ikterik/prodromal. Keluhan umumnya tidak spesifik, dapat
berlangsung 2-7 hari, gambaran sangat bervariasi secara individual seperti

17
ikterik, urin berwarna gelap, lelah/lemas, hilang nafsu makan, nyeri & rasa
tidak enak di perut, tinja berwarna pucat, mual dan muntah, demam
kadang-kadang menggigil, sakit kepala, nyeri pada sendi, pegal-pegal pada
otot, diare dan rasa tidak enak di tenggorokan. Dengan keluhan yang
beraneka ragam ini sering menimbulkan kekeliruan pada waktu
mendiagnosis, sering diduga sebagai penderita influenza, gastritis maupun
arthritis.
c. Fase Ikterik. Fase ini pada awalnya disadari oleh penderita, biasanya
setelah demam turun penderita menyadari bahwa urinnya berwarna kuning
pekat seperti air teh ataupun tanpa disadari, orang lain yang melihat sclera
mata dan kulitnya berwarna kekuning-kuningan. Pada fase ini kuningnya
akan meningkat, menetap, kemudian menurun secara perlahan-lahan, hal
ini bisa berlangsung sekitar 10-14 hari. Pada stadium ini gejala klinis
sudah mulai berkurang dan pasien merasa lebih baik. Pada usia lebih tua
dapat terjadi gejala kolestasis dengan kuning yang nyata dan bisa
berlangsung lama.
d. Fase penyembuhan. Fase penyembuhan dimulai dengan menghilangkan
sisa gejala tersebut diatas, ikterus mulai menghilang, penderita merasa
segar kembali walau mungkin masih terasa cepat capai.
Umumnya, masa penyembuhan sempurna secara klinis dan biokimia
memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Menurut Koff (1992) pada beberapa kasus
dapat terjadi penyimpangan : sebanyak 20% penderita memperlihatkan
perjalanan yang polifasik, setelah penderita sembuh terjadi lagi peningkatan
SGPT. Dilaporkan 50-90 hari setelah timbul keluhan dan hepatitis kolestasis
timbul pada sebagian kecil kasus dimana terjadi peningkatan kembali bilirubin
serum yang baru menghilang 2-4 bulan kemudian (prolonged cholestasis)
hepatitis fulminant, merupakan komplikasi yang sangat jarang kurang dari 1%,
kematiannya yang tinggi tergantung dari usia penderita.
2. Hepatitis B: Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala
yang berat seperti muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat
ringan dan apabila ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Gejala
itu berupa demam ringan, mual, lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning,

18
kencing berwarna gelap, diare dan nyeri otot. Pada sebagian kecil gejala dapat
menjadi berat dan terjadi fulminan hepatitis yang mengakibatkan kematian.
Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa perinatal dan balita biasanya
asimtomatik dan dapat menjadi kronik pada 90% kasus. Sekitar 30% infeksi
hepatitis B yang terjadi pada orang dewasa akan menimbulkan ikterus dan pada
0,1-0,5% dapat berkembang menjadi fulminan. Pada orang dewasa 95% kasus
akan sembuh dengan sempurna yang ditandai dengan menghilangnya HBsAg
dan timbul anti HBs. Infeksi kronik ditandai oleh persistensi HBsAg dan anti
HBc dan serum HBV DNA dapat terdeteksi lebih dari 6 bulan dengan
menggunakan pemeriksaan non PCR. Pada hepatitis kronik B ada 3 fase yaitu
fase imunotoleran, fase replikatif, dan fase integrasi. Pada fase imunotoleran
akan didapatkan HBsAg serta HBeAg di dalam serum serta titer HBV DNA
nya tinggi akan tetapi ALT normal. Pada fase ini gejala bisa timbul dan terjadi
peningkatan aminotransferase yang nantinya akan diikuti dengan terdapatnya
anti-HBe (serokonversi). Pada fase non replikatif akan ditemukan HBV DNA
yang rendah dan anti-HBe positif. Fase non replikatif ini sering pula disebut
dengan keadaan pengidap tidak aktif dan dapat pula terjadi pada keadaan ini
resolusi hepatitis B sehingga HBsAg tidak terdeteksi lagi. Pada beberapa
pasien dapat pula ditemukan serokonversi HBeAg yang diakibatkan oleh
karena mutasi dari virus. Pada kelompok pasien ini mungkin pula akan
ditemukan peningkatan kadar HBV DNA yang disertai pula peninggian ALT.
Apabila seorang terinfeksi hepatitis B pada usia yang lebih lanjut biasanya
gejala peradangannya singkat dan gejala penyakit tidak berat. Pada fase
nonreplikatif masih dapat ditemukan replikasi virus hepatitis B akan tetapi
sangat sedikit sekali karena ditekan oleh respons imun penderita. Sebagian
pasien dengan antigen negative dapat menjadi aktif kembali akan tetapi dengan
e antigen tetap negatif. Jadi karena itu terdapat 2 jenis hepatitis kronik B yaitu
hepatitis B kronik dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronik dengan
HBeAg negative. Pasien yang mengalami infeksi perinatal dapat pula menjadi
hepatitis kronik dengan HBeAg yang positif disertai dengan peningkatan ALT
akan tetapi sesudah waktu yang cukup lama (10-20/tahun).

19
Serokonvesi HBeAg biasanya akan diikuti membaiknya keadaan biokimiawi
dan histology. Serokonveri e antigen menjadi e antibody dapat terjadi pada 50-
70% pasien yang mengalami peninggian ALT dalam waktu 5-10 tahun setelah
terdiagnosis. Biasanya hal ini akan terjadi pada orang dengan usia yang lebih
lanjut, dan perempuan dan ALT nya tinggi. Pada umumnya apabila terjadi
serokonversi, maka gejala hepatitisnya juga menjadi tidak aktif walaupun pada
sebagian kecil masih ada gangguan biokimiawi dan aktivitas histology serta
peningkatan kadar HBV DNA. Infeksi HBsAg inaktif ditandai oleh HBsAg-
positif, anti HBe dan tidak terdeteksinya HBV DNA serta ALT normal.
Meskipun demikian kadang-kadang masih didapatkan sedikit tanda peradangan
pada pemeriksaan patologi anatomic. Apabila serokonversi terjadi sesudah
waktunya cukup lama dapat pula ditemukan gejala kelainan pada sediaan
patologi anatomic.
3. Hepatitis C: Sama seperti virus hepatitis yang lain, HCV dapat menyebabkan
suatu penyakit hepatitis akut yang kemungkinannya, sulit dibedakan dengan
hepatitis virus akut lain. Akan tetapi gejala-gejalanya hanya dilaporkan terjadi
pada 15% kasus sehingga, diagnosisnya harus tergantung pada positifnya hasil
pemeriksaan anti-HCV atau pemeriksaan HCV RNA yang biasanya terdeteksi
lebih awal sebelum munculnya antibody anti-HCV (serokonversi).
Masa inkubasi hepatitis C umumnya sekitar 6-8 minggu (berkisar antara 2- 26
minggu) pada beberapa pasien yang menunjukkan gejala malaise dan jaundice
dialami oleh sekitar 20-40% pasien. Peningkatan kadar enzim hati (SGPT > 5-
15 kali rentang normal) terjadi pada hampir semua pasien. Selama masa
inkubasi ini, HCV RNA pasien bisa positif dan meningkat hingga munculnya
jaundice. Selain itu juga bisa muncul gejala-gejala fatique, tidak napsu makan,
mual dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Dari semua individu dengan
hepatitis C akut, 75- 80% akan berkembangmenjadi infeksi kronis.
Infeksi HCV sangat jarang terdiagnosis pada saat infeksi fase akut. Manifestasi
klinis bisa saja muncul dalam waktu 7-8 minggu (dengan kisaran 2-26 minggu)
setelah terpapar dengan HCV, namun sebagian besar penderita umumnya tidak
menunjukkan gejala atau kalaupun ada hanya menunjukkan gejala yang ringan.
Pada kasus-kasus infeksi akut HCV yang ditemukan, gejala-gejala yang

20
dialami biasanya jaundice, malaise, dan nausea. Infeksi berkembang menjadi
kronik pada sebagian besar penderita dan infeksi kronik biasanya tidak
menunjukkan gejala. Hal ini menyebabkan sangat sulitnya menilai perjalanan
alamiah infeksi HCV.
4. Hepatitis D: Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama denagn infeksi
VHB. Gambaran klinis secara umum dapat dibagi menjadi: koinfeksi,
superinfeksi dan laten. Disebut koinfeksi bila infeksi VHD terjadi bersama-
sama secara simultan dengan VHB, sedangkan superinfeksi bila infeksi VHD
terjadi pada pasien infeksi kronik VHB. Koinfeksi akan dapat menimbulkan
baik hepatitis akut B maupun hepatitis akut D. Sebagian besar koinfeksi VHB
dan VHD akan sembuh spontan. Kemungkinan menjadi hepatitis kronik D
kurang dari 5%. Masa inkubasi hepatitis akut D sekitar 3-7 minggu. Keluhan
pada masa preikterik biasanya merasa lemah, tak suka makan, mual, keluhan-
keluhan seperti flu. Fase ikterus ditandai dengan feses pucat, urine berwarna
gelap dan bilirubin serum meningkat. Keluhan kelemahan umum dan mual
dapat bertahan lama bahkan pada fase penyembuhan. Superinfeksi VHD pada
hepatitis kronik B biasanya akan menimbulkan hepatitis akut berat, dengan
masa inkubasi pendek, dan kira-kira 80% pasien akan berlanjut menjadi
hepatitis kronik D. Hepatitis kronik D akibat superinfeksi biasanya berat,
progresif, dan sering berlanjut menjadi sirosis hati.
5. Hepatitis E: Pada infeksi yang sembuh spontan:
a. Spectrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata
sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut.
b. Sindrom klinis mirip pada semua virus penyebab mulai dari gejala
prodromal yang tidak spesifik dan gejala gastrointestinal, seperti: malaise,
anoreksia, mual dan muntah. Gejala flu, faringitis, batuk, sakit kepala dan
myalgia.
c. Gejala awal cenderung muncul mendadak pada HAV dan HEV.
d. Demam jarang ditemukan, kecuali pada infeksi HAV.
e. Gejala prodromal menghilang pada saat timbul kuning, tetapi gejala
anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap.

21
f. Icterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus
(biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika icterus meningkat.
g. Pemeriksaan fisik menunjukan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada
hati.
h. Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien (Wahyudi,
2017).

F. Komplikasi
Komplikasi hepatitis terdiri dari edema serebral, perdarahan saluran
cerna, gagal ginjal gangguan elektrolit, gangguan pernapasan, hipoglokemia, sepsis,
gelisah, koagulasi intra vaskuler diseminata, hipotensi dan kematian (Mansjoer,
2000).

G. Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium: Alanine aminotransferase (ALT) > 1000mU/ml,
Aspartate aminotransferase (AST) > 1000-2000 mu/ml, Serum total bilirubin > 2.5
mg/dl, HAV diidentifikasi dengan adanya anti HAV dalam darah, Keradangan yang
berlanjut ditandai dengan adanya IgM dalam darah, infeksi sebelumnya ditandai
dengan IgG antibodi. Adanya HBsAg dan IgM anti HBc indikasi terkena HBV,
adanya Anti HBs indikasi sembuh atau kebal terhadap Hep B, Untuk HCV
discreening dengan ELISA dan lebih spesifik RIBA (recombinant imunoblot assay)
(Bachrudin & Najib, 2016).

H. Penatalaksanaan Medik & Keperawatan


1. Penatalaksanaan Medik
Tidak ada pengobatan spesifik difokuskan pada penegakan diagnosis. Terapi
suportif: cairan dan elektrolit, vitamin K, antihistamin untuk pruritus,
antiemetik. kortikosteroid untuk hepatitis virus fulminan, obat untuk
mengurangi kegelisahan & malaise harus dicegah (mengandung sedatif &
detoksifikasi hepar) (Bachrudin & Najib, 2016).
2. Penatalaksanaan Keperawatan

22
a. Waktu pemulihan mungkin akan memanjang dan pasien dapat kembali
pulih dalam 3 sampai 4 bulan; dorong aktivitas bertahap setelah ikterik
benar-benar hilang.
b. Identifikasi isu dan kekhawatiran psikososial, terutama efek perpisahan
dari keluarga dan teman jika pasien menjalani perawatan di RS; jika tidak
dirawat, pasien tidak akan mampu bekerja dab harus menghindari kontak
seksual.
c. Libatkan keluarga dalam membuat perencanaan untuk membantu
mengurangi ketakutan dan kecemasab mereka mengenai penyebaran
penyakit.
d. Edukasi pasien dan keluarga mengenai perawatan di rumah dan
pemulihan.
e. Intruksikan pasien dan keluarga untuk meluangkan cukup waktu untuk
istrahat dan mendapatkan yang adekuat.
f. Informasikan keluarga dan teman dekat mengenai resiko hepatitis B.
g. Atur agar keluarga dan teman intik untuk mendapatkan vaksin hepatitis B
atau imunoglobin hepatitis B sesuai program.
h. Ingatkan pasien untuk menghindari meminum alkohol dan memakan
kerang mentah.
i. Informasikan keluarga bahwa kunjungan rumah lanjutan oleh perawat
home care diindikasikan untuk mengkaji kemajuan dan pemahaman,
memperjelas penyuluhan yang di berikan, dan menjawab pertanyaan.
j. Dorong pasien untuk menggunakan strategi guna mencegah pertukaran
cairan tubuh, seperti menghindari hubungan seksual atau menggunakan
kondom.
k. Tekankan pentingnya memenuhi jadwal kunjungan tibdak lanjut dan
berpartisipasi dalam aktivitas promosi kesehatan lain serta melakukan
skrining kesehatan yang direkomendasikan (Brunner & Suddarth, 2020).

23
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Pasien
Meliputi nama klien, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agama, alamat
rumah, nama suami atau istri (Mulyasmi, 2018).
2. Keluhan Utama
Klien biasa datang dengan keluhan: demam, sakit kepala, nyeri pada bagian
perut kanan atas, mual, muntah, ikterik, lemah, letih, dan anoreksia (Putri,
2020).
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Demam, sakit kepala, nyeri pada bagian perut kanan atas, mual, muntah,
ikterik, lemah, letih, dan anoreksia (Putri, 2020).
4. Riwayat Penyakit Masa Lalu
Yang dikaji meliputi apakah pasien pernah menderita penyakit ini sebelumnya,
pernah masuk rumah sakit, riwayat opname, riwayat alergi (Pratama, 2020).
5. Riwayat Psikososial
Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri,
biasanya pada keluarga yang kurang mampu, masalah berhubungan dengan
kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang
banyak, masalah tentang masa depan atau pekerjaan pasien, tidak bersemangat
dan putus harapan. (Ambarwati, 2019).
6. Pola Aktivitas Sehari-hari
Yang dikaji pada pasien hepatitis adalah mengenai kelelahan, kelemahan dan
malaise (Pratama, 2020).
7. Riwayat Kesehatan Keluarga
Yang dikaji meliputi apakah di dalam anggota keluarga ada yang menderita
penyakit yang sama, menderita penyakit manurun, lingkungan dan sanitasi baik
atau buruk (Pratama, 2020).
8. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda vital: hasil pemeriksaan tanda-tanda vital klien biasanya
didapatkan peningkatan suhu tubuh, frekuensi napas normal, denyut nadi

24
meningkat, dan tekanan darah biasanya meningkat sesuai dengan factor-
faktor yang mempengaruhi seperti usia ataupun factor keturunan (Darni,
2019).
b. Tinggi Badan: kaji tinggi badan klien.
c. Berat Badan: kaji berat badan klien
d. Kepala: warna rambut, ada tidaknya ketombe pada kulit kepala, rambut
rontok atau tidak, ada atau tidaknya massa, ada tidaknya nyeri tekan
(Mulyasmi, 2018).
e. Mata:
Konjungtiva : pink.
Sklera : putih
Palpebra : normal
Strabismus : tidak ada
Ketajaman penglihatan: baik (Pratama, 2020).
f. Hidung : normal
Mukosa hidung : lembab
Sekret : tidak ada sekret
Ketajaman penciuman: normal
Kelainan lain : tidak ada kelainan (Pratama, 2020).
g. Mulut: mukosa lembab atau tidak, sianosis atau tidak, lidah bersih atau
tidak, ada karies atau tidak, bagaimana kelengkapan gigi (Mulyasmi,
2018).
h. Telinga : bentuk simetris kanan dan kiri
Keluhan : tidak ada keluhan
Ketajaman pendengaran: normal, tidak ada alat bantu (Pratama, 2020).
i. Dada:
Inspeksi : bentuk dada simetris, susunan ruas tulang belakang
normal, irama nafas teratur, retraksi otot bantu nafas (-), nyeri dada (-),
batuk (-), sputum (-).
Palpasi : vocal premitus sama antara kanan dan kiri.
Perkusi : terdengar suara sonor.
Auskultasi : terdengar suara ronkhi (Pratama, 2020).

25
j. Jantung:
Inspeksi : nyeri dada (-), sianosis (-), clubbing finger (-), jvp (-).
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, crt < 3 detik, nyeri tekan (-).
Perkusi : terdengar suara redup/ pekak, letak jantung masih dalam
batas normal di ics ii sternalis dextra sinistra sampai dengan ics v
midclavikula sinistra.
Auskultasi : suara jantung s1 s2 tunggal (Pratama, 2020).
k. Abdomen:
Inspeksi : nafsu makan menurun, muntah,bentuk abdomen buncit
jika terdapat asites, kulit tipis dan licin, warna feses kuning/pucat.
Palpasi : ada hepatomegali, abdomen teraba keras.
Perkusi : pekak pada kuadran kanan atas, redup pada kuadran
kanan bawah.
Auskultasi : peristaltik usus 6 kali permenit, tidak terdengar bising
usus (Pratama, 2020).
l. Ekstremitas:
Ekstremitas atas: edema.
Ekstremitas bawah: edema, reflek patella (Mulyasmi, 2018)
9. Pemeriksaan penunjang
a. Urin. Kelainan pertama yang terlihat yaitu adanya bilirubin dalam urin
bahkan dapat terlihat sebelum ikterus timbul. Juga bilirubinuria timbul
sebelum kenaikan bilirubin dalam serum dan kemudian menghilang dalam
urin, walaupun bilirubin serum masih positif. Urobilinogen dalam urin
dapat timbul pada akhir fase preikterus. Pada waktu ikterus sedang
menaik, terdapat sangat sedikit bilirubin dalam intestin, sehingga
urobilinogen menghilang dalam urin.
b. Tinja. Pada waktu permulaan timbulnya ikterus, warna tinja sangat pucat.
Analisis tinja menunjukkan kembali normal, berarti ada proses ke arah
penyembuhan.
c. Darah. Yang penting ialah perlu diamati serum bilirubin, sgot, sgpt, dan
asam empedu, seminggu sekali selama diawat di rs. Pada masa preikterik
hanya ditemukan kenaikan dari bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk),

26
walaupun bilirubin total masih dalam batas normal. Pada minggu pertama
dari fase ikterik, terdapat kenaikan kadar serum bilirubin total (baik yang
terkonjugasi maupun yang tidak terkonjugasi). Kenaikan kadar bilirubin
bervariasi antara 6-12 mg%, tergantung dari berat ringannya penyakit.
Kenaikan bilirubin total terus meningkat selama 7-10 hari. Umumnya
kadar bilirubin mulai menurun setelah minggu kedua dan fase ikterik, dan
mencapai batas normal pada masa penyembuhan (Wahyudi, 2017).
10. Pengobatan
a. Pernah berobat tetapi tidak sembuh.
b. Pernah berobat namun tidak teratur (Ambarwati, 2019).

B. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang biasanya muncul pada penderita hepatitis adalah
sebagai berikut:
1. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
ditandai dengan nafsu makan menurun.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kekurangan volume cairan
ditandai dengan kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ditandai dengan
mengeluh nyeri.
4. Risiko infeksi dibuktikan dengan malnutrisi.
5. Risiko ketidakseimbangan cairan ditandai dengan asites.
6. Defisit pengetahuan tentang Hepatitis berhubungan dengan kurang terpapar
informasi ditandai dengan menanyakan masalah yang dihadapi.
7. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan suhu tubuh
diatas nilai normal (Pratama, 2020. Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

C. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan merupakan proses perawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan yang telah direncanakan dalam
intervensi keperawatan. Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal
diantaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada klien, teknik komunikasi,

27
kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak pasien serta
memehami tingkat perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan terdapat dua jenis tindakan yaitu tindakan keperawatan mandiri dan
tindakan kolaborasi. Sebagai profesi perawat mempunyai kewenangan dan
tanggung jawab dalam menentukan asuhan keperawatan (Hidayat, 2009).

No
Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana
Dx
1 Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nutrisi
keperawatan selama 2x24 jam, Observasi
maka Status Nutrisi membaik a. Identifikasi status nutrisi.
dengan kriteria hasil: Identifikasi alergi dan Intoleransi
a. Porsi makanan yang makanan.
dihabiskan (skor 5) b. Identifikasi makanan yang disukai.
b. Sikap terhadap c. Identifikasi kebutuhan kalori dan
makanan/minuman sesuai Jenis nutrient.
dengan tujuan kesehatan (skor d. Identifikasi pertunya penggunaan
5) selang nasogastric.
c. Frekuensi makan (skor 5) e. Monitor asupan makanan.
d. Nafsu makan (skor 5) f. Monitor berat badan.
g. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik
a. Lakukan oral hygiene sebelum
makan, jika perlu.
b. Faslitasi menentukan pedoman diet
(mis. piramida makanan).
c. Sajikan makanan secara menarik
dan suhu yang sesuai.
d. Berikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi.
e. Berikan makanan tinggi kalori dan

28
tinggi protein.
f. Berikan suplemen makanan, jika
perlu.
g. Hentikan pemberian makan melalui
selang nasogatrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi
a. Anjurkan posisi duduk, jika
mampu.
b. Ajarkan diet yang diprogramkan.
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis. pereda nyeri,
antiemetik). Jika perlu.
b. Kolaborasi dengan ahll gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrien yang dibutuhkan jika
perlu.
2 Setelah dilakukan intervensi Perawatan Integritas Kulit
keperawatan selama 2x24 jam, Observasi
maka Integritas Kulit dan Jaringan a. Identifikasi penyebab gangguan
meningkat dengan kriteria hasil: integritas kulit (mis. perubahan
a. Kerusakan lapisan kulit (skor sirkulasi, perubahan status nutrisi,
5) penurunan kelembaban, suhu
b. Tekstur (skor 5) lingkungan ekstrem, penurunan
mobilitas)
Terapeutik
a. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah
baring.
b. Lakukan pemijatan pada area
penonjolan tulang. jika perlu.
c. Bersihkan perineal dengan air

29
hangat, terutama selama periode
diare.
d. Gunakan produk berbahan
petrolium atau minyak pada kulit
kering.
e. Gunakan produk berbahan
ringan/alami dan hipoalergik pada
kulit sensitive.
f. Hindari produk berbahan dasar
alkohol pada kulit kering.
Edukasi
a. Anjurkan menggunakan pelembab
(mis. Jotion, serum).
b. Anjurkan minum air yang cukup.
c. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi.
d. Anjurkan meningkalkan asupan
buah dan sayur.
e. Anjurkan menghindari terpapar
suhu ekstrem.
f. Anjurkan menggunakan tabir surya
SPF minimal 30 saat berada di luar
rumah.
g. Anjurkan mandi dan menggunakan
sabun secukupnya.
3 Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri
keperawatan selama 2x24 jam, Observasi
maka Tingkat Nyeri menurun a. Identifikasi lokasi, karakteristik,
dengan kriteria hasil: durasi, frakuensi, kualitas,
a. Keluhan nyeri (skor 5) Intensitas nyeri.
b. Meringis (skor 5) b. Identifikasi skala nyeri Identifikasi
c. Gelisah (skor 5) respons nyeri non verbal.

30
c. Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan
nyeri.
d. Identifikasi pengetahuan dan
keyaninan tentang nyeri.
e. Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri.
f. Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup.
g. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan.
h. Monitor efek samping penggunaan
analgetik.
Terapeutik
a. Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnoais, akupresur, terapi
musik, biofeodback, terapi pijat,
aromaterapl, teknik imajinasi
terbimbing- kompres
hangatidingin, terapi bermain).
b. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahaya kebisingan).
c. Fasilitasi Istirahat dan tidur.
d. Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strutegi
meredakan nyeri.
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri.

31
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
c. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri.
d. Anjurkan menggunakan ansigetik
secara tepat.
e. Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu.
4 Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi
keperawatan selama 2x24 jam, Observasi
maka Kontrol Risiko meningkat a. Monitor tanda dan gejala infeksi
dengan kriteria hasil: lokal dan sistemik
a. Kemampuan mengidentifikasi Terapeutik
faktor risiko (skor 5) a. Batasi jumlah pengunjung.
b. Kemampuan melakukan b. Berikan perawatan kulit pada area
strategi kontrol resiko (skor 5) edema.
c. Kemampuan mengenali c. Cuci tangan sebelum dan sesudah
perubahan status kesehatan kontak pasien dan lingkungan
(skor 5) pasien.
d. Pertahanan teknik aseptik pada
pasien beresiko tinggi.
Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
b. Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar.
c. Ajarkan cara kemeriksa kondisi
luka atau luka operasi.
d. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi.
e. Anjurkan meningkatkan cairan

32
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian imunisasi,
jika perlu.
5 Setelah dilakukan intervensi Manajemen Cairan
keperawatan selama 2x24 jam, Observasi
maka Kontrol Risiko meningkat a. Monitor status hidrasi (mis.
dengan kriteria hasil: Frekuensi nadi, kekuatan nadi,
a. Kemampuan mengidentifikasi akral, pengisian kapiler,
faktor risiko (skor 5) kelembapan mukosa, turgor kulit,
b. Kemampuan melakukan tekanan darah).
strategi kontrol resiko (skor 5) b. Monitor berat badan harian.
c. Kemampuan mengenali c. Monitor hasil pemeriksaan
perubahan status kesehatan laboratorium (mis. Hematokrit, Na,
(skor 5) K. Cl, jenis urin, BUN).
d. Monitor status hemodinamik (mis.
MAP, CVP, PAP, PCWP, jika
tersedia).
Terapeutik
a. Catat intake-output dan hitung
balans cairan 24 jam.
b. Berikan asupan cairan, sesuai
kebutuhan.
c. Berikan cairan intravena, jika
perlu.
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian dierutik, jika
perlu.
6 Setelah dilakukan intervensi Edukasi Kesehatan
keperawatan selama 2x24 jam, Observasi
maka Tingkat Pengetahuan a. Identifikasi kesiapan dan
meningkat dengan kriteria hasil: kemampuan menerima informasi.
a. Perilaku sesuai anjuran (skor b. Identifikasi faktor-faktor yang

33
5) dapat meningkatkan dan
b. Kemampuan menjelaskan menurunka motivasi perilaku hidup
pengetahuan tentang suatu bersih dan sehat.
topik (skor 5) Terapeutik
c. Perilaku sesuai pengetahuan a. Sediakan materi da media
(skor 5) pendidikan kesehatan.
d. Persepsi yang keliru terhadap b. Jadwalkan pendidikan kesehatan
masalah (skor 5) sesuai kesepakatan.
c. Berikan kesempatan untuk
bertanya.
Edukasi
a. Jelaskan faktor resiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan.
b. Ajarkan perilaku hidup bersih dan
sehat.
c. Ajarkan strategi yang dapat
digunakan untuk mengingatkan
perilaku hidup bersih dan sehat.
7 Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertermia
keperawatan selama 2x24 jam, Observasi
maka Termoregulasi membaik a. Identifikasi penyebab hipertermia
dengan kriteria hasil: (mis. Dehidrasi, terpapar
a. Suhu tubuh (skor 5) lingkungan panas, penggunaan
b. Suhu kulit (skor 5) inkubator).
c. Tekanan darah (skor 5) b. Monitor suhu tubuh.
c. Monitor kadar elektrolit.
d. Monitor keluaran urine.
e. Monitor komplikasi akibat
hipetermia.
Terapeutik
a. Sediakan lingkungan yang dingin.
b. Longgarkan atau lepaskan pakaian.

34
c. Basahi dan kipasi permukaan
tubuh.
d. Ganti linen setiap atau lebih sering
jika mengalami hipohidrosis
(keringat berlebih).
e. Lakukan pendinginan eksternal
(mis. Selimut hipotermia atau
kompres dingin pada dahi, leher,
dada, abdomen, aksila).
f. Hindari pemberian antipiretik atau
aspirin.
g. Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi
a. Anjurkan tirah baring.
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian cairan dan
elektroloit inravena, jika perlu.
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)

35
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, A.A.I.M. 2019. Gambaran Asuhan Keperawatan pada Pasien Tuberkulosis


dengan Ketidakpatuhan Program Pengobatan di UPT Kesmas Sukawati 1
Gianyar Tahun 2019. Denpasar: Politeknik Kesehatan Kemenkes Denpasar
Jurusan Keperawatan

Bachrudin M., Moh. Najib. 2016. Keperawatan Medikal Bedah I. Jakarta: Pusdik SDM
Kesehatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan

Brunner & Suddarth. 2020. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth Edisi 12.
Jakarta: EGC

Darni, Zahri, dkk. 2019. Pelaksanaan Pengukuran Tanda-Tanda Vital pada Pasien
Sirosis Hepatis Untuk Mencegah Hipertensi Portal. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Othopedi (JIKO), 3(2), 47-54.

Hidayat, A.A. 2009. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Mulyasmi. 2018. Asuhan Keperawatan pada An. F dengan TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Pasar Baru Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2018. Bukittinggi:
Program Studi DIII Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis
Bukitinggi

Pratama, Bagus Indra. 2020. Laporan Pendahuluan Hepatitis B. Banjarmasin:


Universitas Muhammadiyah Banjarmasin

Putri, Yani Oksanti. 2020. Asuhan Keperawatan pada Tn. S dengan Diagnosa Medis
Hepatitis di Ruang Melati RSUD Bangil Pasuruan. Sidoarjo: Akademi
Keperawatan Kerta Cendekia

Wahyudi, Heri. 2017. Hepatitis. Denpasar: Universitas Udayana

Sherwood, Lauralee. 2013. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC

36
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi
dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia

37

Anda mungkin juga menyukai